i
KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA
SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG
BERBEDA
ARIE FEBRETRISIANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Kompetensi
Perkembangan Oosit Domba pada Suhu dan Waktu Penyimpanan yang Berbeda”
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Arie Febretrisana
NRP. B352090021
iii ABSTRACT
ARIE FEBRETRISIANA. Development Compatence of Sheep Oocyte with Diferent Duration Time and Temperature Storage of Ovary.
Under direction of MOHAMAD AGUS SETIADI and NI WAYAN KURNIANI KARJA
The present study was conducted to investigate the effects of storage time and temperature of sheep ovaries on nuclear maturation of oocyte and in vitro fertilization rate of oocytes. The ovaries were stored in physiological saline for 2-4 h, 5-7 h and 8-10 h at 27-28°C, 36-37°C and 2-4°C respectively. There was no difference between the proportions of oocytes that underwent maturation to metaphase II when collected from ovaries stored at 27-28°C and 36-37°C for 2-7 h of slaughter (P>0.05). However, the percentages of oocytes from ovaries stored at 4°C were significantly lower than those of oocytes stored at higher temperature (69.23%, and 70.83%, 45.65%, for 27-28°, 36-37° and 4° C at 2-4 h, respectively; 59.61%, and 64,58%, 36.36%, for 27-28°, 36-37° and 4° C at 5-7 h, respectively) (P<0.05). The proportion of oocytes underwent meiosis to MII were significanly decreased when the ovary stored at 27-28°C and 36-37°C for 8-10 h but not in oocytes collected from ovaries stored at 4°C (24.37%, 7.84% and 45.23%, respectively) (P<0.05). There was no difference between the proportions of fertilization when collected from ovaries stored at 27-28°C, 36-37°C and 4°C for 2-7 h of slaughter (53%, 66,66% and 63%, resperctively) (P>0.05). Same phenomena showed for fertilization rate of oocyte that the ovaries storage for 5-7 h. However fertilization rate decrease when storage for 8-10 h. The prensentage of fertilization rate were 9,8%, 22,22%, 12,24% respectively for 27-28°C, 36-37°C dan 4°C. Our finding indicate that the storage of ovaries at 27°C-28°C, 36-37°C for 5-7 h is effective for maintaining the developmental competence of sheep oocytes compare with 4°C.
Key words: Ovary, In vitro fertilization, sheep oocyte, temperature, time storage
iv
RINGKASAN
ARIE FEBRETRISIANA. Kompetensi Perkembangan Oosit Domba pada Suhu dan Waktu Penyimpanan Ovarium yang Berbeda.
Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI KARJA.
Teknologi in vitro fertilisasi (FIV) merupakan salah satu bidang bioteknologi reproduksi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan pada reproduksi hewan. Keunggulan teknologi ini salah satunya dapat dimanfaatkan dalam upaya penyelamatan materi genetik dari hewan yang fungsi reproduksinya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, akibat kematian atau karena penyakit. Upaya penyelamatan materi genetik sangat penting dilakukan terutama terhadap hewan-hewan langka yang sudah dikategorikan dalam status dilindungi, juga penyelamatan terhadap plasma nutfah ternak unggul di Indonesia. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan FIV, diantaranya adalah kualitas oosit yang digunakan, keberadaan hormon serta waktu transportasi dan suhu medium yang digunakan untuk membawa ovarium. Lamanya waktu dan suhu medium yang digunakan selama transportasi dapat mempengaruhi kualitas oosit. Kualitas oosit akan tetap terjaga apabila koleksi oosit dan pengerjaan proses FIV dilakukan sesegera mungkin pasca kematian hewan. Akan tetapi karena keterbatasan sarana, peralatan dan jarak yang jauh dari lokasi kematian hewan dengan laboratorium IFV menyebabkan oosit tidak dapat segera dikoleksi. Di Indonesia keberadaan laboratorium FIV jumlahnya masih sangat terbatas dan penyebarannya masih belum merata di seluruh daerah. Kondisi ini menjadi kendala tersendiri karena pada saat terjadi kematian mendadak dari hewan yang lokasinya jauh dari laboratorium FIV, akan diperlukan waktu perjalanan untuk membawa ovarium ke laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu penyimpanan ovarium terhadap tingkat maturasi inti oosit dan tingkat fertilisasi oosit secara in vitro pada domba.
Ovarium dibawa dari RPH dalam medium NaCl fisiologi pada suhu yang berbeda yaitu 27-28°C, 36-37°C dan 4°C. Oosit kemudian dikoleksi dari setiap kelompok berdasarkan waktu penyimpanan yang berbeda yaitu 2-4 jam, 5-7 dan 8-10 jam setelah domba dipotong. Oosit dikoleksi di dalam medium Phosphate Buffered Saline (PBS) ditambah 0,3% Bovine Serum Albumin (BSA) (Sigma, F-7524) dan penicillin-strepromycin 100 IU/ml. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium maturasi sebanyak dua kali dan selanjutnya dimaturasi dalam Tissue Culture Medium (TMC) 199 (Sigma, USA) ditambahkan 5% FBS, 2 IU/ml Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) (Intergonan, Intervet Deutschland GmbH), 2 IU/ml human Chorionic Gonadotrophin (hCG) (chorulon, intervet international B.V. Boxmeer-Holland), dan 10 µg/ml gentamycin (Sigma, G-1264). Oosit diletakkan ke dalam drop dari medium maturasi masing-masing 100 µl untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410) kemudian dimaturasi dalam inkubator 5% CO2, temperatur 38,5o C selama 28 jam.
v
penyimpanan ovarium pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda. Tahap fertilisasi dilakukan pada oosit yang berasal dari setiap kelompok perlakuan setelah sebelumnya dimaturasi. Tahap proses maturasi oosit dilakukan mengikuti prosedur yang sama seperti pada penelitian tahap pertama. Fertilisasi in vitro menggunakan semen beku domba garut yang berasal dari satu individu yang sama pada setiap kali IVF. Proses thawing dilakukan dengan menempatkan semen beku domba dalam air bersuhu 37°C selama 30 detik. Selanjutnya semen disentrifugasi dengan 1600 rpm selama 5 menit dalam medium fertilisasi. Setelah disentrifugasi, supernatan dibuang kemudian dilakukan penghitungan konsentrasi sperma. Tahap selanjutnya adalah menambahkan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi spermatozoa yang digunakan untuk keperluan IVF yaitu sebesar 5.106 spermatozoa/ml. Spermatozoa yang telah disiapkan kemudian ditempatkan dalam bentuk drop masing-masing sebanyak 100 µl pada cawan petri. Kemudian persiapan juga dilakukan pada oosit yang akan difertilisasi. Oosit yang telah dimaturasi selama 24 jam kemudian dicuci dalam medium fertilisasi sebanyak dua kali. Oosit kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa, masing-masing drop untuk 10-15 oosit dan kemudian diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO2 5%, 38,5°C.
Tingkat maturasi inti dari oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada pada suhu 27-28°C tidak berbeda dengan oosit yang disimpan pada suhu 36-37°C sampai 8-10 jam dari penyimpanan ovarium (P>0,05). Tingkat maturasi dari kelompok ini mengalami penurunan secara signifikan setelah penyimpanan selama 8-10 jam (69,23%, 59,61%, 24,32% dan 70,83%, 64,58%, 7,84% berturut-turut untuk penyimpanan selama 2-4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam) (P<0,05). Sedangkan tingkat maturasi inti dari oosit yang disimpan pada suhu 4°C tidak mengalami penurunan hingga 8-10 jam penyimpanan. Meskipun tingkat maturasi oosit pada penyimpanan 2-4 dan 5-7 jam lebih rendah masing-masing 59,61% dan 36,36% dibandingkan tingkat maturasi oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada kelompok suhu lainnya yaitu Tetapi setelah periode waktu 8-10 jam tingkat maturasi inti mencapai 45,23%, lebih tinggi dari kedua kelompok lainnya. Tingkat fertilisasi oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan selama 2-4 jam pada suhu 27-28°C mencapai 53% dan tidak berbeda nyata dengan tingkat fertilisasi baik pada penyimpanan 36-37°C (66,66%) maupun pada suhu 4°C (63%) (P>0,05). Fenomena yang sama juga terlihat pada penyimpanan ovarium selama 5-7 jam, tingkat fertilisasi oosit tidak berbeda pada ketiga kelompok. Tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C sama dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 36-37°C (50%) dan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 4°C adalah sebesar 40,81% (P>0,05). Tingkat fertilisasi oosit mulai mengalami penurunan pada tiga kelompok perlakuan setelah ovarium disimpan selama 8-10 jam. Tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 27-28°C, 36-37°C dan suhu 4°C masing-masing sebesar 9,8%, 22,22%, 12,24%. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu 27-28°C dan 36-37°C selama 5-7 jam dapat mempertahankan kompetensi oosit dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4°C.
Kata kunci: ovarium, maturasi in vitro, oosit domba, suhu, periode penyimpan.
v
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA
SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG
BERBEDA
ARIE FEBRETRISIANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
vii
Judul Tesis : Kompetensi Perkembangan Oosit Domba pada Suhu dan Waktu Penyimpanan Ovarium yang Berbeda
Nama : Arie Febretrisiana
NRP : B352090021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi drh. Ni Wayan Kurniani Karja, M.P., Ph.D
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi
Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 24 Januari 2012 Tanggal Lulus:
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Iman Supriatna
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini mengemukakan tentang
upaya menjaga kualitas oosit yang akan digunakan pada teknik fertilisasi in vitro.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Mohamad Agus Setiadi dan
Drh. Ni Wayan Kurniani Karja MP., PhD selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan. Disamping itu penghargaan penulis
sampaikan kepada Pimpinan dan staf Rumah Potong Hewan Kambing/Domba
Kampung Cikanyong Babakan Madang, Bogor yang telah banyak membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ayah, Ibu, serta keluarga dan sahabat-sahabat atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
Arie Febretrisiana
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Pamela Sumatra Utara, 4 Februari 1984 dari
ayah Ismail dan Ibu Rodiah. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMU) dari
SMUN 1 Dolok Batu Nanggar, Sumatra Utara dan pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada
Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Penulis bekerja
dipeternakan lebah madu JK Sukabumi hingga tahun 2009 dan kemudian
berkesempatan melanjutkan pendidikan Pasca Sarjana pada Program Studi
Biologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Perkembangan Folikel dan Oosit ... 4
Daya Tahan Hidup Oosit ... 5
Maturasi Oosit In Vitro ... 6
Seleksi Oosit ... 7
Fertilisasi ... 9
Pengaruh Waktu dan Suhu Penyimpanan ... 10
BAHAN DAN METODE ... 14
Tempat dan Waktu ... 14
Metode Penelitian ... 14
Tingkat Maturasi Inti Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu Penyimpanan ... 14
Tingkat Fertilisasi In Vitro (IVF) Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu Penyimpanan ... 16
Analisis Data ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
HASIL ... 19
Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda ... 19
Tingkat fertilisasi oosit domba dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda ... 21
PEMBAHASAN ... 23
KESIMPULAN ... 30
xi SARAN ... 30
DAFTAR PUSTAKA ... 31
LAMPIRAN ... 37
xii
DAFTAR TABEL
1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang
berbeda. ... 20 2. Tingkat fertilitas oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu
penyimpanan yang berbeda ... 22
Hal
xiii DAFTAR GAMBAR
1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang
berbeda. ... 20 2. Tingkat fertilisasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu
penyimpanan yang berbeda ... 22 Hal
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal 1. Komposisi medium koleksi oosit (modified Phosphate Buffered Saline,
m-PBS) ... 38 2. Komposisi medium TCM-199 untuk maturasi oosit ... 39 3. Komposisi medium fertilisasi in vitro ... 40
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teknologi in vitro fertilisasi (FIV) merupakan salah satu bidang
bioteknologi reproduksi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan pada
reproduksi hewan (Wolf & Wooten 2001). Teknik FIV memiliki kelebihan yang
memungkinkan penerapan proses aspirasi dan maturasi oosit (IVM), pembuahan
dengan spermatozoa (IVF), dan perkembangan embrio (IVC) dilakukan di luar
tubuh hewan (Mamo 2004). Keunggulan teknologi ini salah satunya dapat
dimanfaatkan dalam upaya penyelamatan materi genetik dari hewan yang fungsi
reproduksinya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, akibat kematian atau
karena penyakit. Upaya penyelamatan materi genetik sangat penting dilakukan
terutama terhadap hewan-hewan langka yang sudah dikategorikan dalam status
dilindungi, juga penyelamatan terhadap plasma nutfah ternak unggul di Indonesia.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan FIV, diantaranya
adalah kualitas oosit yang digunakan, keberadaan hormon serta waktu transportasi
dan suhu medium yang digunakan untuk membawa ovarium (Gordon 2003;
Nakao & Nakatsuji 1992). Lamanya waktu dan suhu medium yang digunakan
selama transportasi dapat mempengaruhi kualitas oosit. Kualitas oosit akan tetap
terjaga apabila koleksi oosit dan pengerjaan proses FIV dilakukan sesegera
mungkin pasca kematian hewan. Akan tetapi karena keterbatasan sarana, peralatan
dan jarak yang jauh dari lokasi kematian hewan dengan laboratorium IFV
menyebabkan oosit tidak dapat segera dikoleksi. Di Indonesia keberadaan
laboratorium FIV jumlahnya masih sangat terbatas dan penyebarannya masih
belum merata di seluruh daerah. Kondisi ini menjadi kendala tersendiri karena
pada saat terjadi kematian mendadak dari hewan yang lokasinya jauh dari
laboratorium FIV, akan diperlukan waktu perjalanan untuk membawa ovarium ke
laboratorium.
Setelah kematian hewan, ovarium akan kehilangan suplai oksigen dan
energi akibat dari terputusnya aliran darah yang pada akhirnya menempatkan
ovarium pada kondisi ischemia (Lopes et al. 2009). Hal ini memicu perubahan
2
dan proton. Selain hal tersebut, terjadi pula depolarisasi sel yang memicu
gangguan pada keseimbangan ion yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel
(Taylor 2006).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kompetensi
perkembangan oosit yang terkait permasalahan waktu dan suhu penyimpanan
selama transportasi menuju laboratorium FIV pada berbagai spesies hewan,
namun hasil yang didapatkan sangat beragam. Wang et al. (1995) melaporkan
bahwa penyimpanan ovarium sapi pada suhu 4°C atau pada temperatur kamar
selama 24 jam menurunkan kemampuan oosit untuk berkembang. Matstushita et
al. (2004) melaporkan bahwa penyimpanan ovarium sapi pada suhu 10-20°C
selama 24 jam tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada kompetensi
perkembangan oosit baik setelah maturasi maupun kemampuan embrio untuk
membelah dan berkembang menjadi stadium blastosis setelah FIV. Selain itu,
penelitian penyimpanan ovarium sapi juga dilakukan pada suhu 37° selama 8 jam
yang secara signifikan menunjukkan pengaruh penurunkan pada tingkat
pembelahan embrio dan juga pembentukan blastosis setelah IVM/IVF (Yang et al.
1990). Pada kuda, ovarium dapat disimpan selama 6-8 jam pada suhu 27-37°C
selama transportasi tanpa memberikan pengaruh buruk terhadap tingkat maturasi
dan integritas membran sitoplasma (Guignot 1999). Penelitian penyimpanan
ovarium babi juga dilaporkan pada suhu 25-35°C selama 6 jam, dimana
kompetensi perkembangan oosit masih dapat terjaga (Wongsrikeao et al. 2005).
Hingga saat ini informasi pengaruh waktu penyimpanan dan sensitivitas
oosit domba terhadap suhu setelah IVF masih sangat jarang. Sehingga penelitian
untuk mengevaluasi waktu dan suhu yang optimal pada ovarium domba sangat
penting. Penelitian ini akan membantu penanganan yang baik bagi ovarium pasca
pemotongan hewan dan dapat mempertahankan tingkat pematangan oosit
3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi:
1. Tingkat maturasi inti oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang
disimpan pada suhu medium yang berbeda masing-masing pada suhu
ruang 27-28°C, suhu 36-37°C dan suhu 4oC dan disimpan pada waktu penyimpanan yang berbeda yaitu selama 2-4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam.
2. Tingkat fertilisasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan
pada suhu medium yang berbeda yaitu pada suhu ruang 27-28°C, suhu
36-37°C dan suhu 4°C dan disimpan pada waktu penyimpanan yang berbeda
yaitu selama 2- 4 jam, 5-7 jam dan 8-10 jam.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi sistem transportasi
yang baik sehingga mampu mempertahankan kualitas ovarium yang optimal.
Hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat menjadi model untuk hewan
langka yang mati mendadak yang kekerabatannya dekat dengan domba maupun
bagi domba-domba dari jenis yang unggul.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Folikel dan Oosit
Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di
ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama
menghasilkan sel gamet betina dan juga berfungsi memproduksi hormon
reproduksi. Ovarium terdiri dari dua bagian yaitu korteks (bagian lateral) dan
medula (bagian medial). Bagian korteks ovarium dilapisi oleh satu lapis epitelium
kuboid dan stroma yang terdiri dari jaringan ikat longgar. Sedangkan pada bagian
medula terdapat pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat (Senger 1999).
Oosit berada di dalam folikel yang terdapat pada bagian korteks ovarium.
Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan folikulogenesis. Folikel
mengalami berbagai tahap perkembangan yang berawal dari terbentuknya folikel
primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan oosit siap
diovulasikan. Berdasarkan morfologinya perkembangan folikel dibedakan
menjadi dua yaitu folikel preantral dan folikel antral. Folikel prentral merupakan
tahapan folikel yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan
tahapan folikel yang telah memiliki antrum. Folikel primordial merupakan bentuk
awal dari folikel dan ditemukan pada hewan setelah lahir dengan jumlah oosit
tertentu pada setiap spesies (Hafez & Hafez 2000). Folikel ini mengandung oosit
yang diselaputi oleh selapis sel somatis berbentuk pipih (Cushman et al. 2000).
Folikel primordial kemudian mengalami pertumbuhan menjadi folikel
primer dan sekunder. Folikel primer ditandai dengan adanya pembesaran diameter
oosit yang meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, kemudian diikuti dengan
perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari bentuk
pipih menjadi kuboid (Hafez & Hafez 2000). Pembentukan folikel sekunder
ditandai dengan terjadinya proliferasi sel kuboid membentuk beberapa lapisan sel
granulosa dan terbentuk sebuah membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit
(Cushman et al. 2000). Folikel sekunder juga dikelilingi oleh lapisan sel epiteloid
yang selanjutnya membentuk sel teka interna. Folikel sekunder dengan sel teka
interna disebut folikel preantral (Guerin 2003). Pada tahap akhir perkembangan
5
estrogen dalam konsentrasi tinggi. Penumpukan cairan ini menyebabkan
munculnya antrum di dalam massa sel granulosa. Perkembangan folikel tersier
ditandai dengan antrum yang semakin meluas dan sel yang ada di sekeliling zona
pelusida mulai membentuk korona radiata (Chusman 2000). Diameter folikel
semakin meningkat karena produksi cairan folikuli yang semakin meningkat
sehingga oosit terdesak ke bagian tepi folikel, dinding folikel semakin menipis
hingga akhirnya terjadi ovulasi. Pada kondisi ini, folikel disebut sebagai folikel de
Graaf (Hafez & Hafez 2000).
Proses folikulogenesis juga diikuti dengan proses pertumbuhan dan
pematangan oosit yang disebut dengan oogenesis. Perkembangan oosit terdiri dari
tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan dan pematangan. Pada tahap proliferasi
terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia yang terjadi pada saat
pralahir atau sesaat setelah lahir dan kemudian oogonia berdiferensiasi menjadi
oosit primer dengan inti tahap profase I. Inti oosit pada tahap ini disebut germinal
vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang utuh dan nukleus
yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki tahap pertumbuhan dan pematangan
yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel. Pertumbuhan
oosit ditandai dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari
organel-organel seperti kompleks golgi, retikulum endoplasmik halus, butir
lemak, peningkatan proses transkrip untuk sintesis protein. Tahap pematangan
oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez & Hafez
2000).
Daya Tahan Hidup Oosit
Oosit yang telah diovulasikan dan didisposisikan di oviduk mengalami
degradasi jika tidak segera difertilisasi. Hal ini disebabkan karena oosit akan
mengalami proses kerusakan akibat waktu yang terlalu lama pasca ovulasi
sehingga tidak akan dapat difertilisasi. Mekanisme disposal terjadi akibat dua
proses yaitu nekrosis dan apoptosis (Buja et al. 1993). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kematian oosit disebabkan oleh proses apoptosis (Perez et al.
1995). Proses apoptosis ditandai dari ciri morfologis pembentukan badan
6
biokimia sel yaitu kenaikan regulasi protein pro-apoptosis dan penurunan regulasi
protein anti-apoptosis (Kerr et al. 1972; Zimmermann et al. 2001). Apoptosis
pada oosit dapat pula disebabkan oleh ekpresi yang terlalu tinggi dari protein
anti-apoptosis Bcl2 di dalam ovarium (Morita et al. 1999). Seperti yang dilaporkan
oleh Takese et al. (1995) dan Fujino et al. (1996) yang menyatakan bahwa
apoptosis oosit berhungan erat dengan fregmentasi di dalam sitoplasma.
Dilaporkan pula bahwa terjadi abnormalitas pada spindel termasuk spindel yang
pendek maupun spindel yang tidak utuh (Eichenlaub et al. 1986).
Penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa kematian oosit terjadi di
dalam ovidak setelah 48 jam, sedangkan secara in vitro kematian oosit pertama
terdeteksi lebih lama yaitu setelah 96 jam. Hal ini menandakan bahwa beberapa
faktor dan atau keadaan oviduk yang mempercepat proses kematian sel (Lim &
Choi 2004). Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian Allen et al. (1998) yang
menyebutkan bahwa oosit hamster, tikus, mencit, kelinci dan babi mengalami
perubahan antara 6-18 jam setelah ovulasi yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk terfertilisasi. Jika oosit mengalami fertilisasi maka akan
banyak menghasilkan blastosis yang abnormal. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa fertilisasi pada oosit yang telah mengalami penuaan dapat meningkatkan
resiko aborsi (Guerrero & Rojas 1975; Gray et al. 1995).
Maturasi Oosit In Vitro
Oosit yang diperoleh dan digunakan pada produksi embrio secara in vitro
adalah oosit yang belum mengalami pematangan (immature), baik pematangan
inti maupun pematangan sitoplasma (Krisher et al. 2007). Tahap fertilisasi dan
perkembangan embrio akan dapat terjadi setelah oosit mengalami pematangan inti
dan pematangan sitoplasma.
Pematangan inti meliputi berbagai perubahan kronologis tahapan meiosis
(Gordon, 2003). Proses pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis
RNA, ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metaphase II.
Membran inti akan mengadakan penyatuan dengan vesicle membentuk germinal
vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk
7
dibungkus oleh mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pembelahan meiosis. Oosit yang telah mengalami GVBD
selanjutnya akan mencapai tahap metaphase I (MI). Pada oosit sapi, metaphase I
terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase (AI) dan
telophase (TI) yang berlangsung relatif singkat (14-18 jam) setelah masa inkubasi
(Chohan & Hunter, 2003; Miyano et al., 2007). Tahap metaphase II (MII) akan
terjadi dan ditandai dengan terbantuknya badan kutub I dan oosit yang sudah
matang siap untuk difertilisasi (Pawshe et al. 1994).
Tahap pematangan sitoplasma dicapai oleh perkembangan organel dan
struktur di dalam sitoplasma. Perubahan sitoplasma selama pematangan oosit
masih sulit untuk di evaluasi. Pematangan sitoplasma ditandai dengan
penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur
dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan
potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu mendukung pembentukan
dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon, 2003). Beberapa perubahan
akan terjadi selama proses pematangan sitoplasma diantaranya terjadi migrasi
kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan lipid droplet yang
akan menyebabkan perubahan susunan apparatus golgi dan keberadaan reticulum
endoplasmic granular, aktivitas maturation promoting factor (MPF) dan
metabolisme oosit (Rahman et al. 2008). Pematangan sitoplasma dapat diketahui
secara tidak langsung antara lain dari terjadinya reaksi korteks, pembentukan
pronukleus dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).
Seleksi Oosit
Kompetensi perkembangan oosit ke tahap selanjutnya sangat dipengaruhi
oleh kualitas oosit yang digunakan pada proses FIV. Oosit yang berkualitas baik
tidak hanya akan berhasil mencapai tahap pematangan inti namun juga akan
mampu melewati berbagai tahap dalam pematangan sitoplasma yang dibutuhkan
untuk dapat mencapai tahap fertilisasi. Kualitas oosit memberikan pengaruh
terhadap pematangan oosit (maturasi), perkembangan dan kemampuan embrio
untuk tetap bertahan hidup dan pemeliharaan pada kebuntingan dan
8
Penentuan kualitas oosit dapat dilakukan dengan melakukan beberapa
evaluasi terhadap oosit yang akan digunakan pada proses FIV. Seleksi oosit yang
banyak digunakan adalah pemilihan oosit berdasarkan morfologi sel kumulus
yang berada di sekitar oosit (Alvarez et al. 2009; Lonergan et al 1994). Wood dan
Wildt (1997) melaporkan bahwa teknik grading dengan mengevaluasi sel-sel
kumulus oosit yang kompleks dapat mengindetifikasi kualitas oosit dengan lebih
mudah dan objektif. Keberadaan sel kumulus mendukung pematangan oosit
sampai pada tahap metafase II dan berkaitan dengan pematangan sitoplasma yang
diperlukan untuk kemampuan perkembangan setelah fertilisasi (Abeydeera 2002).
Umumnya oosit dengan kumulus yang multilayer digunakan dalam produksi
embrio secara in vitro (Qian et al. 2005). Menurut Gordon (2003), kriteria
pemilihan oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari bagian ooplasma yang
homogen, sel kumulus yang kompak mengelilingi zona pelusida.
Oosit yang didapatkan dari proses koleksi dikategorikan dalam 4 grade
berdasarkan kualitasnya. Oosit dengan grade I (A) adalah oosit yang
dikategorikan sebagai oosit yang paling baik. Oosit dengan grade ini memiliki
kumulus yang seragam dan kompak dengan dikelilingi oleh lima lapisan atau
lebih sel kumulus. Oosit dengan grade II (B) adalah oosit dengan katogeri baik
yang ditandai dengan oosit yang seragam dan memiliki sitoplasma yang gelap
dengan komplemen dari korona radiata yang lengkap tetapi dikelilingi tidak lebih
dari lima lapisan sel kumulus. Oosit dengan grade III (C) adalah oosit dengan
kategori kurang baik yang ditandai dengan oosit yang kurang seragam dan warna
sitoplasma lebih transparan dan tidak merata, korona radiata dan sel-sel kumulus
yang mengelilingi oosit tidak merata dan terlihat tidak kompak. Oosit dengan
kategori grade IV (D) dikelompokkan sebagai oosit dengan kualitas buruk. Oosit
dengan kategori ini mempunyai sitoplasma yang transparan maupun terjadi
fragmentasi pada sitoplasma. Sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit terlihat
sangat jarang dan bahkan beberapa oosit tidak memiliki sel kumulus (Wood dan
9 Fertilisasi
Fertilisasi merupakan tahap penting dalam proses reproduksi. Pada tahap
awal pembuahan, gamet yang spesifik pada tiap spesies melalui proses
pengenalan dan adhesi yang diduga melibatkan suatu molekul pengenalan
tertentu pada sperma dan sel telur. Protein yang berasosiasi pada sperma
berinteraksi dengan zona pelusida oosit dan kemudian terjadi proses reaksi
akrosom dan penetrasi sperma pada sel telur (Sun & Nagai 2003).
Proses fertilisasi melibatkan dua sel gamet jantan dan betina dan
masing-masing sel gamet harus melalui tahap persiapan terlebih dahulu agar dapat terjadi
proses fertilisasi. Oosit yang dapat terfertilisasi adalah oosit yang telah memasuki
tahap metafase II (MII), pada fase ini oosit telah mengalami pematangan inti
maupun sitoplasm. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit
menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan
kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan
kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi
dan kemudian membentuk pronukleus jantan (Cleine 1996).
Sebelum memasuki proses fertilisasi sel sperma terlebih dahulu harus
melalui tahap reaksi akrosom. Reaksi akrosom adalah proses kemampuan untuk
membuat enzim yang diperlukan untuk dapat terjadinya penetrasi sperma pada
zona pelusida oosit. Menurut Mattioli et al. 1991, reaksi akrosom terjadi akibat
adanya interaksi antara laminin yang bergabung dengan sel kumulus yang
ekspand dengan integrin spesifik yang terdapat pada membran sperma. Secara in
vitro, reaksi akrosom terjadi karena adanya interaksi antara progesteron dan zona
pelusida (Berger et al. 1989; Melendrez et al. 1994; Barboni et al. 1995). Proses
reaksi akrosom diawali dengan kenaikan tingkat Ca2+ yang disebabkan oleh masuknya Ca2+ melalui membran plasma sperma dan memicu terjadinya reaksi akrosom (Okamura et al. 1993; Tiwari & Cox 1995). Selain itu reaksi akrosom
terjadi karena sperma mengandung bicarbonat yang penting untuk dapat
terjadinya reaksi akrosom (Tardif et al. 2003). L-arginine menginduksi sintesis
oksidasi nitrit dan menstimulasi kapasitasi dan reaksi akrosom ketika terdapat
transport anion sperma aktif dan menghasilkan suplementasi bicarbonat
10
terkativasi dan kemudian terbentuk pronukleus. Setelah proses fertilisasi,
mitogen-activated protein (MAP) kinase tetap aktif dalam level yang tinggi pada
resume meiosis kedua dan terbentuknya polar body yang kedua.
Mitogen-activated protein (MAP) kinase mulai mengalami penurunan pada saat pronukleus
mulai terbentuk (Sun et al. 2001; Miyano et al. 2000). Segera setelah penetrasi
spermatozoa, maka konsentrasi cytostatic factor (CSF) yang terkandung dalam
oosit akan menurun dan oosit akan memasuki interfase dengan mengeluarkan
badan kutub-II dan membentuk pronukleus betina. Penurunan aktivitas
Extracellular signal Regulated Kinase (ERK)1/2 mitogenactivated protein kinase
(MAPK) sangat penting untuk pembentukan pronukleus setelah fertilisasi pada
mencit. Hal berbeda pada babi, bahwa pembentukan pronukleus betina dapat
terjadi sebelum penurunan aktivitas ERK1/2MAPK.
Pengaruh Waktu dan Suhu Penyimpanan
Nakao&Nakatsuji (1992) melaporkan bahwa waktu perjalanan, teknik
penyimpanan ovarium dan suhu medium yang digunakan selama perjalanan juga
memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit dan tingkat keberhasilan
fertilisasi oosit. Ovarium yang dipisahkan dari tubuh hewan akan mengalami
pemberhentian aliran darah dan berarti bersamaan pula dengan terputusnya
pasokan oksigen ke ovarium. Beberapa saat setelah penghentian oksigen ke dalam
ovarium akan terjadi perubahan mekanisme ATP dan memicu perubahan
metabolisme aerobic menjadi anaerobic. Perubahan ini menyebabkan terjadinya
akumulasi asam sebagai hasil ikutan metabolisme sel seperti asam laktat dan asam
posphor yang kemudian meningkatkan jumlah ion H+. Plasma membran oosit memiliki permeabilitas yang tinggi bagi ion H+ dan tidak memiliki regulasi pada konsentrasi H+ yang terjadi. Sehingga, apabila oosit berada pada lingkungan yang lebih asam dibandingkan dengan lingkungan sitoplasma maka pH oosit akan
menurun mengikuti pH medium eksternal yang kemudian memicu terjadinya
fragmentasi DNA oosit (Wongsrikeao et al. 2005). Setelah kematian hewan,
depolarisasi sel juga terjadi dengan cepat dan memicu untuk rusaknya
homeostasis ion, berbagai rangkain intaselluler lain dan asosiasi membran.
11
pada kematian sel sebagai hasil dari kondisi ischemia. Dibutuhkan perhatian dan
perjagaan yang baik terutama terkait dengan waktu dan suhu dalam penanganan
ovarium sebelum dilakukan tahapan IVF di laboratorium (Gordon 2003).
Oosit yang dikoleksi dari ovarium sapi yang disimpan pada suhu 37oC selama 8 jam secara signifikan menunjukkan penurunan baik pada tingkat
pembelahan maupun pada pembentukan blastosis (Yang et al. 1990). Tetapi hasil
yang sebaliknya terjadi pada ovarium sapi yang disimpan pada suhu 10oC–20oC selama 24 jam, yang memperlihakan tidak terjadi penurunan pada kompetensi
pematangan pada oosit (Matsushita et al. 2004). Berbeda dengan yang dilaporkan
pada ovarium anjing yang menunjukkan viabilitas oosit yang baik jika
ditempatkan pada medium dengan suhu mendekati suhu tubuh yakni 37oC dan disimpan selama 8 jam bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4°C.
Kondisi tersebut dikarenakan oosit anjing sangat sensitif terhadap perubahan pH
selama penyimpanan (Hanna et al. 2008).
Guignot et al. (1999) mengemukakan bahwa tidak ditemukan pengaruh
negatif baik pada rataan jumlah oosit yang dikoleksi, tingkat pematangan inti
maupun pematangan sitoplasma jika oosit kuda ditempatkan pada suhu 37oC-27oC selama 6-8 jam. Lebih jauh dijelaskan bahwa penyimpanan tersebut juga tidak
berpengaruh buruk pada integritas membran sitoplasma. Akan tetapi penyimpanan
ovarium dalam waktu yang lebih lama berpengaruh terhadap kualitas membran.
Penyimpanan oosit kambing dengan menambahkan Indole-3-axetic acid, dapat
menjaga kualitas jaringan ovarium jika disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam (Ferreira et al. 2000).
Yuge et al (2003) menyatakan bahwa sebelum dilakukan aspirasi oosit pada
ovarium yang ditempatkan pada suhu lebih rendah dari 25oC, menunjukkan pengaruh yang merugikan terhadap pematangan in vitro. Penyimpanan ovarium
dalam waktu yang lama (> 12 jam) pada suhu yang hangat atau menempatkan
ovarium pada suhu kurang dari 25oC sebelum proses aspirasi oosit akan meningkatkan fragmentasi DNA pada oosit (Wongsrikeao et al. 2003). Berbeda
12
memungkinkan kualitas dan kompetensi oositnya tetap terjaga jika disimpan pada
suhu 4oC (Naoi et al. 2007).
Proses kerusakan yang terkait kondisi ischemia dimediasi oleh reaksi kimia
yang terjadi. Suhu medium yang berbeda digunakan untuk upaya
mempertahankan kompetensi perkembangan oosit. Suhu medium yang digunakan
selama perjalanan pada umumnya menggunakan medium dengan suhu 30°C
(Gordon 2003), atau suhu 35°C dan 38°C yang merupakan suhu yang mendekati
suhu tubuh (Wongsrikeao et al. 2005; Naoi et al. 2006). Suhu medium yang
mendekati suhu tubuh tidak akan memberikan perbedaan yang berbeda pada
lingkungan oosit di dalam ovarium akan tetapi pada suhu hangat metabolisme sel
akan berjalan dengan tingkat yang paling maksimal. Akibatnya akan mempercepat
akumulasi berbagai hasil metabolisme sel yang akan memperburuk lingkungan
oosit dan dapat menyebabkan kematian sel (Taylor 2006).
Perubahan lingkungan oosit yang disebabkan oleh akumulasi hasil
metabolisme dapat dicegah dengan proses pendinginan. Upaya penempatan sel
pada suhu yang rendah dilakukan karena dapat memperlambat metabolisme,
menurukan kebutuhan oksigen, hasil metabolisme dapat dikurangi dan dapat
menghemat energi. Namun upaya ini tidak mempengaruhi semua reaksi pada
tingkat yang sama (Taylor 2006). Menurut Arav et al. (1996) sensitivitas oosit
terhadap pendinginan menunjukkan tingkat yang berbeda. Pada oosit yang
immature, sensitivitas plasma membran terhadap pendinginan lebih tinggi
dibandingkan dengan plasma membrane oosit pada tahap metaphase-II.
Sedangkan pada oosit yang mature menunjukkan kerusakan pada bagian
microtubule dan microfilament Penyimpanan oosit domba pada temperature yang
rendah dapat menyebabkan degenarasi struktur protein dan enzim (Özdaş et al,
2006).
Pengaruh suhu medium maupun lamanya waktu perjalanan yang dialami
oleh oosit berbeda-beda pada masing-masing spesies. Hal ini berkaitan dengan
perbedaan metabolisme pada masing-masing oosit. Faktor yang berperan dalam
pematangan oosit adalah protein pada oosit yaitu mitogen-activated protein kinase
13
yang spesifik ini berbeda-beda pada tiap spesies sehingga terjadi perbedaan
14
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Ovarium diperoleh dari Rumah Potong Hewan Kambing/Domba, Kampung
Cikanyong Desa Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi dan
Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari hingga Agustus 2011.
Metode Penelitian
I. Tingkat Maturasi Inti Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan Waktu
Penyimpanan
Transportasi Ovarium dari RPH Menuju Laboratorium FIV
Ovarium domba di koleksi dari rumah potong hewan dan ditempatkan di
dalam larutan 0,9% NaCl yang ditambahkan dengan 0,06 g/l penicillin dan 0,1 g/l
streptomicyn . Ovarium yang diperoleh dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan
dengan suhu medium penyimpanan yaitu suhu 27-28°C, 36-37°C dan 4°C.
Gambar 1 . Metode transportasi ovarium dari rumah potong hewan. A: Ovarium
didalam larutan NaCL, B: Termos untuk membawa ovarium pada suhu 36-37°C, C: Tas untuk membawa ovarium dalam suhu 4°C
Kelompok ovarium dengan suhu 27-28°C dibawa dengan menempatkan
ovarium didalam plastik yang berisi cairan NaCl fisiologis dan dibawa ke
laboratorium. Kelompok ovarium dengan suhu 36-37°C ovarium ditempatkan di
dalam plastik yang berisi NaCl fisiologis dan dimasukkan kedalam termos yang
diberi air dengan suhu 37°C. Kelompok ovarium dengan suhu 4°C dibawa dengan
menempatkan ovarium didalam plastik yang berisi NaCl fisiologis dan kemudian
menempatkannya didalam termos yang diberi ice gel didalamnya. Metode dan alat
15
yang digunakan untuk membawa ovarium dari RPH ke laboratorium seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Setelah tiba di laboratorium, oosit dikoleksi
masing-masing dari ketiga kelompok suhu penyimpanan pada 2-4 jam setelah pemotongan
hewan. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk kelompok penyimpanan
selanjutnya yaitu oosit dikoleksi setelah 5-7 jam dan 8-10 jam setelah pemotongan.
Penentuan 0 jam didefinisikan berdasarkan waktu awal pemotongan hewan di RPH.
Koleksi dan Pematangan Oosit In Vitro
Koleksi oosit dilakukan dengan metode pencacahan (slicing) menggunakan
pisau bedah steril dan oosit diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma yang
homogen dan sel-sel kumulus yang kompak. Hasil koleksi oosit dikategorikan
dalam 4 kelompok berdasarkan kualitas sitoplasma dan sel-sel kumulus. Penelitian
ini hanya menggunakan oosit dengan kualitas yang baik seperti yang ditunjukkan
pada gambar 2A.
Gambar 2. Oosit dengan kualitas yang baik (A), oosit dengan kualitas yang
tidak baik (B)
Oosit dikoleksi di dalam medium Phosphate Buffered Saline (PBS) ditambah
0,3% Bovine Serum Albumin (BSA) (Sigma, F-7524) dan penicillin-strepromycin
100 IU/ml. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium maturasi sebanyak dua kali
dan selanjutnya dimaturasi dalam Tissue Culture Medium (TMC) 199 (Sigma,
USA) ditambahkan 5% FBS, 2 IU/ml Pregnant Mare Serum Gonadotrophin
(PMSG) (Intergonan, Intervet Deutschland GmbH), 2 IU/ml human Chorionic
Gonadotrophin (hCG) (chorulon, intervet international B.V. Boxmeer-Holland),
dan 10 µg/ml gentamycin (Sigma, G-1264). Oosit diletakkan ke dalam drop dari
medium maturasi masing-masing 100 µl untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan B
16
mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410) kemudian dimaturasi dalam inkubator
5% CO2, temperatur 38,5o C selama 28 jam.
Pembuatan Preparat Fiksasi Oosit
Oosit yang telah dimaturasi dicuci dan dihilangkan semua bagian sel kumulus
dengan bantuan 0,25% enzim hyaluronidase dengan cara dipipet berulang-ulang
menggunakan pipet yang disesuaikan dengan ukuran oosit. Kemudian oosit
diletakkan pada drop 0,7% KCl diatas gelas objek yang sebelumnya telah direndam
dalam alkohol, lalu difiksir dengan cara ditutup dengan cover glass yang memiliki
bantalan paraffin dan vaselin (1:9) pada kedua sisinya. Preparat tersebut
dimasukkan dalam larutan fiksasi yang mengandung asam asetat dan ethanol (1:3)
selama 3 hari.
Evaluasi Pematangan Inti Oosit
Preparat yang telah difiksasi selama 3 hari selanjutnya diwarnai dengan
pewarna 2 % aceto-orcein selama ±5 menit. Kemudian zat pewarna dibersihkan
dengan 25 % asam asetat dan keempat sisi cover glass diberi larutan kuteks bening
untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dengan mikroskop fase kontras
(Olympus IX 70, Japan).
Evaluasi tingkat kematangan inti dinilai dengan cara menghitung jumlah
oosit pada setiap tahap pembelahan meiosis. Status inti oosit dikelompokkan
menjadi tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle break down (GVBD),
metaphase I (MI), anaphase I- telophase I (AI-TI) dan metaphase II (MII). Tahap
GV ditandai dengan membran inti yang masih menyatu dengan vesicle, GVBD
ditandai dengan robeknya membran inti dan inti sudah tidak terlihat jelas,
sedangkan MI ditandai dengan adanya kromosom homolog yang berderet di bidang
ekuator serta MII ditandai dengan adanya badan kutub I dan susunan kromosom
yang sama dengan tahap MI. Oosit dikategorikan sebagai oosit yang telah matur
jika telah berada pada tahap Metaphase II.
II. Tingkat Fertilisasi In Vitro (IVF) Oosit Domba pada Berbagai Suhu dan
Waktu Penyimpanan
Kompetensi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada
17
Fertilisasi dilakukan terhadap oosit yang dikoleksi dari setiap kelompok perlakuan
penyimpanan ovarium pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda. Tahap
fertilisasi dilakukan pada oosit yang berasal dari setiap kelompok perlakuan setelah
sebelumnya dimaturasi. Tahap proses maturasi oosit dilakukan mengikuti prosedur
yang sama seperti pada penelitian tahap pertama.
Penyiapan Spermatozoa
Fertilisasi in vitro menggunakan semen beku domba garut yang berasal dari
satu individu yang sama pada setiap kali IVF. Proses thawing dilakukan dengan
menempatkan semen beku domba dalam air bersuhu 37°C selama 30 detik.
Selanjutnya semen disentrifugasi dengan 1600 rpm selama 5 menit dalam medium
fertilisasi. Setelah disentrifugasi, supernatan dibuang kemudian dilakukan
penghitungan konsentrasi sperma. Tahap selanjutnya adalah menambahkan medium
fertilisasi hingga mencapai konsentrasi spermatozoa yang digunakan untuk
keperluan IVF yaitu sebesar 5.106 spermatozoa/ml.
Fertilisasi In Vitro
Spermatozoa yang telah disiapkan kemudian ditempatkan dalam bentuk drop
masing-masing sebanyak 100 µl pada cawan petri. Kemudian persiapan juga
dilakukan pada oosit yang akan difertilisasi. Oosit yang telah dimaturasi selama 24
jam kemudian dicuci dalam medium fertilisasi sebanyak dua kali. Oosit kemudian
dipindahkan ke dalam drop spermatozoa, masing-masing drop untuk 10-15 oosit
dan kemudian diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO2 5%, 38,5°C.
Evaluasi Tingkat Fertilisasi In Vitro
Pengamatan tingkat fertilisasi dilakukan dengan membuat preparat oosit
seperti pada penelitian tahap maturasi oosit. Tingkat fertilisasi diamati dengan
melihat terjadinya pembentukan pronukleus (PN). Oosit yang telah mengalami
fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus (jantan dan betina, 2 PN)
atau lebih (>2 PN) dalam sitoplasma oosit. Tingkat fertilisasi merupakan
perbandingan antara jumlah sel telur yang dibuahi (membentuk dua atau lebih
18
Analisis Data
Penelitian ini dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial.
Tingkat maturasi inti oosit pada masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali,
sedangkan perlakuan pada tingkat fertilisasi diulang sebanyak 4 kali. Data status
inti oosit yaitu tahap GV, GVBD, MI, A/T dan MII yang diperoleh dianalisis
dengan analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Begitu
pula dengan data tingkat fertilisasi yang didapatkan yaitu jumlah oosit dengan
status 1 PN, 2 PN dan >2PN yang diperoleh juga dianalisis dengan ANOVA dan
19 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
I.
Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpananyang berbeda
Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan
menjadi 5 tahap yaitu GV (Germinal Vesicle), GVBD (Germinal Vesicle Break
Down), M-I (Metafase I), A/T (Anafase/Telofase) dan M-II (Metafase II). Status
inti maturasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan dengan suhu
dan waktu penyimpanan yang berbeda seperti terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Status inti sel oosit setelah maturasi in vitro: A. Germinal Vesicle (GV), B. Metaphase I (MI), C. Anaphase-Telophase (A/T), D. Metaphase II (MII), Pb: Polar body
Cromosome Plate Pb
C
B
20
Hasil tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu
penyimpanan yang berbeda disajikan pada tabel 1. Penyimpanan ovarium selama
2-4 jam tidak menunjukkan perbedaan dalam kemampuan oosit untuk mencapai tahap
metaphase II antara oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu
27-28°C dengan suhu 36-37°C. Tingkat maturasi oosit yang koleksi dari ovarium yang
disimpan pada suhu 27-28°C adalah sebesar 69,23% dan 70,83% untuk oosit yang
berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 36-37°C (P>0,05). Akan tetapi hasil
sebaliknya ditunjukkan oleh tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu
4°C yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan tingkat maturasi oosit yang
disimpan pada kedua kelompok suhu lainnya yaitu sebesar 45,65% (P<0,05).
Fenomena yang sama juga terlihat pada waktu penyimpanan ovarium selama 5-7
jam. Tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 27-28°C (59,61%)
dan 36-37°C (64,58%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat maturasi oosit
domba yang disimpan pada suhu 4°C (36,36%) (P<0,05).
Tabel 1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari
ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda.
Kelompok jlh
Ket: Germinal vesicle (GV), Germinal Vesicle Breakdown (GVBD), Metafase I (MI), Metafase II (MII), Anafase/Telofase (A/T), Metafase II (MII). Angka dengan hurup kecil superskrip berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap perlakuan (P < 0,05).
Proporsi tingkat maturasi oosit domba yang disimpan selama 8-10 jam
21
maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C dan
36-37°C masing-masing sebesar 24,32% dan 7,48% (P<0,05). Hasil yang menarik
ditunjukkan oleh tingkat oosit yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada
suhu 4°C yang justru menunjukkan tingkat maturasi yang lebih tinggi dibandingkan
dua kelompok penyimpanan suhu yang lain. Tingkat maturasi oosit yang berasal
dari ovarium yang disimpan selama 8-10 jam pada suhu 4°C mencapai 45,23%.
II. Tingkat fertilisasi oosit domba dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda
Tingkat fertilisasi oosit domba diamati dengan melihat pembentukan
pronukleus pada oosit (gambar 4).
Gambar 4. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah proses fertilisasi. A:
Oosit dengan 1 Pronukleus (1PN), B: Oosit dengan 2 pronukleus (2PN), C: Oosit dengan lebih dari 2 pronukleus (>2PN), tanda panah menunjukkan pronukleus.
C
22
Tabel 2. Tingkat fertilisasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu
penyimpanan yang berbeda
Ket: Pronukleus (PN). Angka dengan hurup kecil superskrip berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap perlakuan (P < 0,05).
Tingkat fertilisasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan
pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2.
Penyimpanan ovarium selama 2-4 jam tidak menunjukkan perbedaan tingkat
fertilisasi meskipun tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang
disimpan pada suhu 27-28°C lebih rendah yaitu sebesar 53% tetapi tidak berbeda
dengan tingkat fertilisasi baik pada penyimpanan 36-37°C sebesar 66,66% maupun
penyimpanan pada suhu rendah 4°C yaitu sebesar 63% (P>0,05). Begitu juga waktu
penyimpanan ovarium selama 5-7 jam, tidak menunjukkan perbedaan tingkat
fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada ketiga kelompok
suhu penyimpanan. Tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang
disimpan pada suhu 27-28°C sama dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan
pada suhu 36-37°C yaitu sebesar 50%, sedangkan tingkat fertilisasi oosit yang
disimpan pada suhu 4°C adalah sebesar 40,81% (P>0,05). Tingkat fertilisasi oosit
domba tidak mengalami penurunan tingkat fertilisasi hingga 5-7 jam penyimpanan.
Perbedaan tingkat fertilisasi hanya terlihat pada tingkat fertilisasi oosit yang
disimpan pada suhu 36-37°C selama 2-4 jam yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 4°C selama 5-7 jam.
Tingkat fertilisasi oosit mulai mengalami penurunan yang signifikan setelah
23
penyimpanan suhu dan terlihat tidak ada perbedaan tingkat fertilisasi oosit baik
yang disimpan pada suhu 27-28°C, 36-37°C maupun pada suhu 4°C. Persentase
tingkat maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C
adalah sebesar 9,8%, penyimpanan suhu 36-37°C adalah sebesar 22,22%
sedangkan 12,24% untuk oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu
4°C.
PEMBAHASAN
Tingkat maturasi oosit yang diperoleh dari ovarium yang disimpan selama
2-4 jam setelah pemotongan pada suhu 27-28°C dan 36-37°C memperlihatkan
persentase yang tinggi dan tetap dapat dipertahankan hingga penyimpanan 5-7 jam
setelah pemotongan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penyimpanan
ovarium pada suhu hangat dapat menjaga keadaan yang baik di dalam folikel
sehingga kualitas oosit masih dapat terjaga. Seperti yang dilaporkan oleh Sirad &
Blondin (1996) yang mengemukakan bahwa kompetensi perkembangan oosit dapat
ditingkatkan dengan menempatkan ovarium pada kondisi inkubasi yang hangat
beberapa jam sebelum dilakukan proses koleksi oosit. Tingkat maturasi oosit yang
tinggi seperti yang disebutkan di atas juga diperkuat dengan tingkat fertilisasi yang
tinggi hingga penyimpanan 5-7 jam setelah pemotongan pada suhu 27-37°C dan
36-37°C (Tabel 2). Kondisi ini memperlihatkan bahwa suhu 27-28°C dan 36-37°C
dapat mempertahankan kualitas oosit tetap baik hingga 5-7 jam setelah
pemotongan. Blondin et al. (1995) melaporkan bahwa penyimpanan ovarium pada
suhu hangat (30°C) selama 3-4 jam setelah pemotongan secara signifikan dapat
meningkatkan kompetensi perkembangan oosit. Hal ini dapat terjadi karena 4 jam
setelah waktu pemotongan dapat menciptakan lingkungan mikro yang baik pada
folikel yang spesifik dimana terjadi perubahan pada oosit yang menyerupai kondisi
normal didalam tubuh hewan pada saat terjadi proses preovulatori folikel ketika
akan terjadi proses ovulasi.
Meskipun penyimpanan ovarium selama 5-7 jam setelah pemotongan pada
suhu 27-28°C dan 36-37°C masih mampu mempertahankan kemampuan oosit
24
penurunan setelah disimpan selama 8-10 jam seperti terlihat pada Tabel 1.
Beberapa penelitian Elder & Dale (2000); Yang et al. (1990); Nakano & Nakatsuji
(1992) menyatakan bahwa waktu perjalanan yang digunakan dapat memberikan
pengaruh buruk terhadap tingkat pematangan oosit. Pengaruh buruk tersebut diduga
disebabkan selama transportasi yang memerlukan waktu yang lama, ovarium
kehilangan suplai oksigen dan energi akibat dari terputusnya aliran darah yang pada
akhirnya menempatkan ovarium pada kondisi ischemia (Lopes et al. 2009). Kondisi
ini memicu perubahan metabolisme aerobic menjadi anaerobic dan lebih lanjut
menyebabkan terjadinya akumulasi asam sebagai hasil ikutan dari metabolisme sel
seperti asam laktat dan asam phospor yang kemudian meningkatkan jumlah ion H+. Plasma membran oosit memiliki permeabilitas yang tinggi bagi ion H+ dan tidak memiliki regulasi pada konsentrasi H+ yang terjadi. Sehingga, apabila oosit berada pada lingkungan yang lebih asam dibandingkan dengan lingkungan sitoplasma
maka pH oosit akan menurun. Selain hal tersebut terjadi pula depolarisasi sel yang
memicu gangguan pada keseimbangan ion (Taylor 2006). Lebih lanjut Holt &
Picard (1999) juga menyebutkan bahwa selama periode perjalanan dengan waktu
yang lama dapat menyebabakan autolysis selular pada ovarium.
Menurunnya kemampuan oosit mencapai metafase II mengindikasikan telah
terjadi kerusakan pada oosit yang disimpan selama 8-10 jam. Hal ini diperkuat
dengan tingginya jumlah oosit yang berada pada fase GV (Tabel 1). Diduga telah
terjadi kerusakan pada matriks mitokondria sehingga oosit tidak mampu
berkembang ke fase berikutnya. Seperti yang dilaporkan oleh Wongsrikeao et al.
(2005) penyimpanan ovarium babi selama 6-12 jam dapat menyebabkan penurunan
pH pada cairan folikel yang dapat mengakibatkan induksi asidosis pada cairan
folikel didalam ovarium dan menyebabkan fragmentasi DNA sebagai akibat dari
terjadinya kondisi ischemia. Penurunan pH terjadi sebagai konsekuensi dari
terjadinya produksi lactic pada keadaan asidosis yang dapat merusak dan
menginaktifkan mitokondria. Selain itu juga terjadi degradasi NADH yang
disebabkan oleh kehadiran asam laktat dan diduga juga dapat menggangu tingkat
kecukupan ATP setelah terjadinya ischemia (Lowry et al. 1961). Asam laktat juga
dapat meningkatkan decompartmentalisasi zat besi yang pada akhirnya akan dapat
25
(Seisjo et al. 1985). Lebih lanjut dijelaskan oleh Silva et al. (2001) yang melakukan
observasi pada ovarium kambing, bahwa kerusakan pada mitokondria merupakan
pertanda awal terjadinya degenerasi pada folikel selama penyimpanan secara in
vitro. Kenaikan suhu dan waktu penyimpanan dapat menyebabkan perubahan
struktur yang menyebabkan peningkatan degenerasi sel. Disamping itu, kondisi
ischemia dapat mengganggu energi metabolisme seluler yang menurunkan aktifitas
pompa Na+ /K+-ATPase (Bonz et al. 1998) dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya pembengkakan pada matriks mitokondria yang disebabkan oleh
penyerapan sodium (Garlid 1996).
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada ovarium yang disimpan pada suhu 4°C
dimana tidak terjadi perubahan sejak awal waktu penyimpanan yaitu 2-4 jam
hingga akhir waktu penyimpanan 8-10 jam setelah pemotongan (P>0,05). Akan
tetapi, tingkat maturasinya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat
maturasi oosit kedua kelompok penyimpanan lainnya. Hal ini mengindikasikan
bahwa telah terjadi penurunan kemampuan oosit untuk mencapai tahap maturasi.
Metode pendinginan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan
kemampuan sel untuk tetap hidup karena dengan penyimpanan dingin akan dapat
memperlambat metabolisme sel. Sehingga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
dan dapat memperlambat akumulasi asam sebagai hasil dari proses apoptosis. Dasar
dari semua proses biologi dan kimia yang terjadi di dalam sel adalah aktifitas
molekuler dan mobilitas ion yang diatur oleh energi termal maka apabila terjadi
penurunan suhu maka pergerakan molekul akan diperlambat. Proses biokimia juga
tidak terlepas dari proses interaksi antar molekul dalam reaksi-reaksi katalis oleh
enzim dan metode pendinginan sangat berpengaruh pada semua komponen reaksi
tersebut (Taylor 2006). Akan tetapi seperti dikemukakan oleh Gardner et al. (2001)
bahwa oosit dan embrio hewan dan manusia sangat rentan terhadap suhu dingin dan
pembekuan. Özdaş et al. (2006) menyatakan bahwa oosit domba lebih rentan
terhadap penyimpanan suhu dingin karena lingkungan folikuler disekitar oosit tidak
mampu melindungi oosit dari kerusakan akibat suhu yang dingin. Meskipun
Matsushita et al. (2004) menyebutkan bahwa lingkungan intrafolikel disekeliling
26
pada suhu yang rendah. Metabolisme yang berbeda pada struktur oosit
menyebabkan perbedaan reaksi sebagai akibat pengaruh suhu dingin pada oosit.
Faktor yang berperan dalam pematangan oosit adalah protein pada oosit yaitu
mitogen-activated proteinkinase (MAP) dan maturation promoting factor (MPF)
cdc2-kinase. Akan tetapi jumlah protein yang spesifik ini berbeda-beda pada tiap
spesies sehingga terjadi perbedaan metabolisme pada tiap oosit (Gardner et al.
2004). Lebih lanjut Matsushita et al. (2004) juga menyatakan bahwa penyimpanan
ovarium pada suhu dingin telah menyebabkan degenerasi struktur protein dan
enzim.
Kerusakan akibat penyimpanan pada suhu dingin pada penelitian ini juga
diperkuat dengan rendahnya tingkat fertilisasi oosit setelah penyimpanan 8-10 jam
setelah pemotongan (Tabel 2). Menurut Taylor (2006) perubahan lingkungan oosit
yang disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme dapat dicegah dengan proses
pendinginan. Upaya penempatan sel pada suhu yang rendah dilakukan karena dapat
memperlambat metabolisme, menurukan kebutuhan oksigen, hasil metabolisme
dapat dikurangi dan dapat menghemat energi. Akan tetapi menurut Arav et al.
(1996) sensitivitas oosit terhadap pendinginan menunjukkan tingkat yang berbeda.
Pada oosit yang immature, sensitivitas plasma membran terhadap pendinginan lebih
tinggi dibandingkan dengan plasma membrane oosit pada tahap metafase-II.
Sedangkan pada oosit yang mature menunjukkan kerusakan pada bagian
microtubule dan microfilament. Selain itu rendahnya tingkat fertilisasi diduga
karena beberapa efek samping yang terjadi akibat penyimpanan pada suhu rendah
seperti terjadinya pengerasan zona pellucida, kerusakan pada mikrotubulus dan
sitoskeleton, dan kerusakan pada membran sitoplasma, juga diamati pada oosit
terkena suhu rendah selama transportasi ovarium (Lee et al. 2006). Menurut Wang
et al. (2009) yang melaporkan bahwa sitoplasma dan nukleus rentan terhadap
cekaman panas maupun dingin. Lebih lanjut disebutkan bahwa penyimpanan
ovarium in vitro dapat menyebabkan disorganisasi dari mikrotubulus, kerusakan
kromosom, akumulasi metabolit, kenaikan indeks apoptosis sel granulosa, dan
perubahan struktur membran cytoplastic (Pedersen et al. 2004; Wongsrikeao et al.
27
Spindel meiosis yang merupakan penyusun dari mikrotubulus dan memiliki
fungsi penting untuk menyelaraskan kromosom dan pemisahan kromosom induk
baik selama tahap maturasi maupun tahap fertilisasi. Selain itu juga oosit terdiri
dari mikrofilamen aktin yang berfungsi mengontrol kejadian yang terjadi pada
sitoplasma seperti orientasi spindel dan migrasi periphery, migrasi kortikal
granulosa dan pembentukan polar body. Baik mikrotubulus maupun mikrofilamen
bekerja bersama-sama untuk mengontrol fungsi spindel meiosis. Akan tetapi
spindel meiosis diketahui sangat sensitif terhadap suhu dingin. Penyimpanan pada
suhu dingin menyebabkan depolimerisasi mikrotubulus (Brunet & Maro 2005 dan
Calarco 2005). Aman & Parks (1994) melaporkan bahwa penurunan tingkat
fertilisasi oosit berhubungan dengan depolimerisasi tubulin yang terjadi selama
penyimpanan pada suhu dingin yang memicu kerusakan mikrotubulus dari spindel
meiosis. Seperti yang dilaporkan oleh Parks et al. (1992) yang menyatakan bahwa
depolimerisasi mikrotubulus juga terjadi pada oosit yang disimpan pada suhu
kamar. Lebih lajut Parks et al. (1992) juga menyatakan bahwa penyimpanan oosit
pada suhu dingin menyebabkan pengerasan pada zona pelusida yang dapat
menyebabkan permasalahan pada rendahnya tingkat fertilisasi.
Block & Hansen (2007) melaporkan bahwa penelitian fertilisasi in vitro pada
ovarium sapi menunjukkan bahwa kondisi optimal untuk penyimpanan ovarium
sapi adalah 25-30°C dan hanya mampu mempertahankan tingkat fertilisasi yang
optimal selama 3-6 jam. Hasil tersebut tidak berbeda dengan penelitian yang
dilakukan saat ini dimana tingkat fertilisasi oosit domba masih dapat dipertahankan
hingga penyimpanan selama 5-7 jam.
Penghitungan persentase tingkat fertilisasi pada penelitian ini didasarkan oleh
pembentukan pronukleus yaitu terdiri dari 2 pronukleus atau lebih dari 2
pronukleus. Persentase oosit dengan pembentukan lebih dari dua pronukleus pada
penelitian ini menunjukkan jumlah yang cukup tinggi. Persentase kejadian
polispermia pada oosit yang disimpan selama 2-4 jam pada suhu 27-28°C sebesar
9,52% dan tidak ada perbedaan yang nyata baik dengan oosit yang disimpan pada
suhu 36-37°C (18,18%) maupun dengan penyimpanan 4°C (18,57%). Tidak
28
disimpan selama 5-7 jam pada ketiga kelompok penyimpanan. Persentase
polispermia mengalami penurunan setelah disimpan selama 8-10 jam. Hal ini
disebabakan telah terjadi penurunan kompetensi oosit untuk difertilisasi.
Kejadian terbentuknya 2 atau lebih pronukleus atau yang dikenal dengan
polispermia merupakan kejadian abnormal pada proses fertilisasi karena dapat
menyebabkan kegagalan pada perkembangan zigot. Zona pelusida adalah 3
selubung glikoprotein utama yaitu ZPA, ZPB dan ZPC. Reseptor yang bekerja pada
saat fusi antara sperma dan sel telur adalah ZPC. Penetrasi oleh spermatozoa pada
zona pelusida merupakan tahap terpenting pada fertilisasi. Saat terjadinya ikatan
antara sperma dan zona pelusida, komponen pada bagian akrosom sperma yaitu
akrosin dilepaskan dan berikatan dengan glikoprotein pada zona pelusida dan
menyebabkan terjadinya fusi antara membran plasma sperma dan membran plasma
oosit. Reaksi ini dikenal dengan reaksi akrosom. Penyatuan membran plasma
sperma dan membran plasma oosit menginduksi Ca2+ dan bersamaan dengan itu pada oosit terjadi reaksi kortikal (Florman & Wassarman 1985) Reaksi kortikal
menyebabkan penghentian pengeluaran dari oosit yang terjadi setelah fusi dan
aktivasi oleh sperma dan bertindak sebagai blok untuk mencegah terjadinya
polisprmia. Reaksi kortikal menyababkan hilangnya reseptor untuk spermatozoa
pada permukaan ZPC sehingga dengan cara demikian maka dapat mecegah
terjadinya reaksi akrosom pada permukaan lainnya pada oosit.
Blok untuk mencegah terjadinya polispermia terutama terjadi 2 tahap pada
oosit yaitu pada membran plasma oosit dan pada zona pelusida. Blok pada zona
pelusida yang dikenal dengan blok lambat pada banyak spesies melibatkan
exocytosis pada granulosa kortikal dari korteks sel telur. Beberapa faktor dapat
menjadi penyebab peningkatan terjadinya kejadian polispemia. Menurut Wortsmas
& Evans (2005) melaporkan bahwa umur sel telur dapat menjadi penyebab
terjadinya peningkatan pada kejadian polispermia dimana sel telur yang telah
mengalami penuaan akan mengalami penurunan kemampuan untuk terjadinya
membran blok yang dapat mencegah terjadinya polispermia. Sel telur yang telah
mengalami penuaan akan mempengaruhi exocytosis kortikal granulosa dimana
29
proses penuaan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya abnormalitas
30
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyimpanan
ovarium pada suhu 27-28°C dan 36-37°C selama 5-7 jam mampu mempertahankan
kompetensi oosit lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan ovarium pada suhu
4°C.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh waktu dan suhu
penyimpanan pada perkembangan embrio serta diperlukan juga evaluasi
penambahan oksigen (O2) pada medium selama waktu trnasportasi. Selain itu perlu
dilakukan evaluasi gambaran ultrastruktur pada oosit terhadap suhu dan waktu