• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Type and Primary Abnormality Level of Bulls Sperm at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Type and Primary Abnormality Level of Bulls Sperm at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

JENIS DAN TINGKAT ABNORMALITAS PRIMER

PADA SPERMATOZOA SAPI PEJANTAN DI

BEBERAPA BALAI INSEMINASI BUATAN

DI INDONESIA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan Dibeberapa Balai Inseminasi Buatan di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

Muhammad Riyadhi

(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD RIYADHI. The Type and Primary Abnormality Level of Bulls Sperm at Several Artificial Insemination Centers in Indonesia. Under supervision of BAMBANG PURWANTARA and R. IIS ARIFIANTINI

Sperm abnormalities have long been associated with male infertility and sterility in most species studied. Therefore, it is very important to evaluate the level of sperm abnormalities in semen. The objective of this study was to investigate the type and sperm abnormality level (primary abnormality) of bull’s semen at several artificial inseminations centre (AIC) in Indonesia. A total of 164 bulls from 13 AI centers and AI laboratory were used in this study, comprised of 70 Simmental, 30 Limousine, 12 Brahman, 22 Bali, 3 Brahman-Angus cross, 2 Angus, 1 Ongole, 1 Ongole cross (PO), 1 Simmental-Brahman cross and 22 Friesian Holstein (FH) bulls, respectively. An ejaculate from each bull were smeared and stained with carbolfluchsin-eosin (well known as Williams staining method). The type of morphological abnormalities were recorded from 500 cells on each sample. There were found 13 types of primary sperm abnormalities such as: pearshaped, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, underdeveloped, round head, variable size (macro and microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, and diadem. The level of primary sperm abnormalities affected by age in Simmental and Limousine bulls. The sperm abnormalities in bulls ≥9 years old was significantly higher (p<0.05) compared to of those 2 and 4 years old. On the other hand, ages did not affect the level of sperm abnormalities in Brahman and Bali, as well as in dairy cattle (FH). It was observed that Bos taurus bulls showed higher level of primary sperm abnormality (p<0.05) compared to Bos indicus. However, no significant differences were found (p>0.05) on the total number of primary sperm abnormalities among Simmental, Limousine, FH, Brahman and Bali cattle bulls. However pearshape type of abnormality was the most frequently found in all sample, and showed higher (p<0.05) in Simmental bulls if compared to Bali cattle and FH bulls semen. Among AIC, the higher level of primary sperm abnormalities was ranging from1.58% (AIC: A) to 8.57% (AIC: H). Based on conception rate value, it was found a negative correlation between the level of primary sperm and fertility (r = -0.95, p<0.05). In conclusion, the level of primary sperm abnormality of bulls semen at AIC was remained low, but by individual evaluation, there were 11 bulls (6.7%) indicated ≥10% primary sperm abnormalities. It is suggested that evaluation on sperm morphology to detect sperm abnormality has to be performed prior to sperm production and distribution.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD RIYADHI. Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan di Beberapa Balai Inseminasi Buatan di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA dan R. IIS ARIFIANTINI.

Balai inseminasi buatan (BIB) sebagai penghasil sumber bibit (berupa semen beku) harus mampu memproduksi semen beku berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, pejantan-pejantan yang terdapat di BIB harus berasal dari bibit yang unggul dan melalui seleksi yang ketat. Seleksi mutu bibit tersebut dapat dilakukan berdasarkan uji zuriat (progeny test). Sementara itu, untuk melihat kapasitas reproduksi pejantan dapat digunakan seleksi individu menggunakan teknik breeding soundness evaluation (BSE).

Breeding soundness evaluation adalah suatu prosedur seleksi untuk menilai kemampuan fertilitas pejantan yang dapat dilakukan secara cepat dan ekonomis. Evaluasi yang dilakukan dalam BSE meliputi pengamatan fisik dan reproduksi secara umum, pengukuran lingkar skrotum serta motilitas dan morfologi spermatozoa. Secara umum analisis semen yang dilakukan meliputi pemeriksaan konsentrasi, motilitas dan morfologi spermatozoa. Pemeriksaan konsentrasi dan motilitas secara umum telah dilakukan dengan baik di BIB. Namun demikian, untuk pemeriksaan morfologi spermatozoa, abnormal selama ini tidak pernah dilaksanakan. Padahal telah banyak dilaporkan bahwa morfologi spermatozoa yang abnormal akan mempengaruhi fertilitas.

Sampel semen diperoleh dari 164 ekor pejantan sapi yang berasal dari 13 BIB dan satu laboratorium IB. Pejantan yang dievaluasi berada pada kisaran umur 2 sampai 13 tahun (rata-rata 5.4±3.0 tahun). Pengambilan sampel semen berupa preparat ulas dilakukan di masing-masing BIB dan dikirimkan ke laboratorium. Pewarnaan dilakukan menggunakan pewarnaan carbolfluchsin-eosin (Williams stain). Morfologi spermatozoa diamati melalui mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x, dengan mengevaluasi kelainan bentuk kepala spermatozoa dari sekitar 500 spermatozoa pada setiap pemeriksaaan. Semua abnormalitas yang ditemukan pada saat pengamatan dicatat dan diklasifikasikan.

Pada penelitian ini, evaluasi abnormalitas spermatozoa lebih ditekankan pada abnormalitas primer (abnormalitas pada bagian kepala), dengan pertimbangan bahwa abnormalitas sekunder dan tersier yang umumnya terdapat pada bagian ekor spermatozoa akan terseleksi pada saat penilaian motilitas atau gerakan individu. Sementara itu, abnormalitas spermatozoa primer seperti

microcephalic, pearshape serta narrow at the base, umumnya mempunyai gerakan motilitas yang normal. Untuk melihat adanya korelasi antara abnormalitas primer spermatozoa terhadap fertilitas seekor pejantan, dilakukan dengan cara menelusuri pencatatan hasil inseminasi dari pejantan-pejantan yang diuji abnormalitas spermatozoanya. Selanjutnya angka konsepsi (conception rate

atau CR) ditetapkan dengan menghitung jumlah sapi yang bunting dari hasil inseminasi pertama yang dinyatakan dalam ukuran persentase kebuntingan.

(5)

abnomalitas primer spermatozoa ditemukan 13 jenis kelainan, yaitu pearshape, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, underdeveloped, round head, variable size (macrocephalus/ microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head dan diadem.

Berdasarkan bangsa sapi potong dan sebaran umur dari kelompok sapi dengan jumlah sampel lebih dari 10 ekor, abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditemukan pada sapi-sapi yang berumur sembilan tahun keatas. Abnormalitas tertinggi berturut-turut pada sapi Simmental, Limousine dan Bali masing-masing 7.93, 7.49 dan 2.35%. Sementara itu, pada sapi Brahman ditemukan pada pejantan yang berumur dua tahun (3.30%). Selain itu ditemukan juga tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% pada umur kurang dari sembilan tahun. Analisis statistik menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa pejantan Simmental yang berumur ≥9 tahun berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan yang berumur 2-3 tahun tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan pejantan jenis yang sama pada umur 4-6 tahun. Akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa pejantan Simmental yang berumur ≥9 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berumur 4-6 tahun. Pada sapi Limousine yang berumur ≥9 tahun, tingkat abnormalitas primer spermatozoanya berbeda nyata (p<0.05) dengan pejantan Limousin dengan umur 3-4 tahun. Akan tetapi pada sapi Brahman umur dua, enam dan sembilan tahun keatas serta sapi Bali yang berumur tiga, empat dan sembilan tahun keatas, masing-masing tidak berbeda nyata (p>0.05).

Pengamatan abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah, menunjukkan abnormalitas primer spermatozoa tertinggi dilaporkan pada umur dua tahun (6.53%) dan terendah pada umur tiga tahun (2.24%). Analisis sidik ragam menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah umur dua tahun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur sembilan tahun. Namun demikian, tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada umur dua tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur tiga dan sembilan tahun.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0.05), jumlah abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10 ekor), dengan jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine, FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12, 2.60±1.01 dan 1.85±0.64%. Dari 13 jenis abnormalitas primer spermatozoa, bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi Dari 13 jenis abnormalitas primer spermatozoa, bentuk

pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi, dan secara umum tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara 12 jenis abnormalitas primer spermatozoa lainnya. Jenis abnormalitas spermatozoa pearshape pada sapi Simmental berbeda nyata (p<0.05) dengan sapi Bali dan FH, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Limousine dan Brahman. Namun demikian abnormalitas primer spermatozoa pearshape sapi Limousine dan Brahman tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Bali dan

Friesian Holstein.

(6)

Berdasarkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa antar BIB, menunjukkan tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi BIB H (8.57%), sedangkan terendah pada BIB A (1.58±%). Tingkat abnormalitas primer spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan BIB A, C, E, G, J, K, L, dan N, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M. Terdapat korelasi negatif (r=-0,95, p<0,05) antara tingkat abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas dengan parameter berupa angka konsepsi atau conception rate (CR). Dari hasil penelitian ini, dipandang perlu untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut adanya pengaruh abnormalitas primer spermatozoa terhadap kinerja genetik (perkembangan dan pertumbuhan) dari pedet yang dilahirkan.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

JENIS DAN TINGKAT ABNORMALITAS PRIMER

PADA SPERMATOZOA SAPI PEJANTAN DI

BEBERAPA BALAI INSEMINASI BUATAN

DI INDONESIA

MUHAMMAD RIYADHI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan Di Beberapa Balai Inseminasi Buatan Di Indonesia

Nama : Muhammad Riyadhi

NRP : B352080021

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Drh. Bambang Purwantara, MSc Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, MSi Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi

Prof. Dr. Drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, sehingga akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan Salam tercurah kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta muslimin dan muslimat. Tesis ini disusun sebagai suatu syarat akhir bagi calon Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun tema yang akan diangkat dalam penelitian berjudul “Jenis dan Tingkat Abnormalitas Primer Pada Spermatozoa Sapi Pejantan di Beberapa Balai Inseminasi Buatan di Indonesia”.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing; Dr. drh. Bambang Purwantara, MSc. dan Dr. dra. R. Iis Arifiantini, MSi., yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran demi mewujudkan penyusunan hasil karya ilmiah yang baik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada penguji luar komisi Ibu Prof. Dr.drh. Tuty L. Yusuf MS. dan ketua Mayor Biologi Reproduksi Bapak Prof. Dr.drh. Iman Supriatna atas kritik dan saran yang sangat bermanfaat.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya tidak lupa penulis sampaikan kepada Istri, anak, kedua Orang tua yang selalu memberikan dorongan moril, inspirasi, dan materil kepada penulis selama menempuh pendidikan di program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu angkatan mayor Biologi Reproduksi 2008 (Gholib, Hasbi, Danang, Sri, Juli, dan Reni) serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan tenaga, fasilitas dan pikirannya. Selanjutnya ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas bantuan penelitian melalui program Hibah Kompetisi Dikti, serta seluruh BIB yang berpartisipasi, sehingga penelitian ini akhirnya bisa terlaksana.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang reproduksi.

Bogor, Juli 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Barabai, Kalimantan Selatan pada tanggal 1 Desember 1973 dari ayah Drs. HM. Fahmi dan ibu Hj. Habibah. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi pada perguruan tinggi yang sama diperoleh dari Beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional.

(13)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi ... 4

Fisiologi Semen ... 5

Morfologi Spermatozoa ... 5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa ... 9

Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi ... 10

METODE PENELITIAN... 14

Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Metode ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN... 16

Abnomalitas Primer Spermatozoa ... 16

Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Potong Berdasarkan Umur Sapi ... 22

Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Perah Berdasarkan Umur Sapi ... 24

Jumlah dan Jenis Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa sapi ... 25

Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa antara bos taurus dan Bos indicus ... 27

Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antar BIB ... 28

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik dan Komponen Kimia Semen Beberapa Hewan

Ternak ... 6 2. Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan 11 3. Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB ... 16 4. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada 4 bangsa sapi

potong berdasarkan sebaran umur ... 23 5. Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan ... 26 6. Abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bos taurus

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur sel spermatozoa sapi ... 6

2. Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi ... 7

3. Membran Plasma Spermatozoa ... 8

4. Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa ... 17

5. Abnormalitas primer sapi perah di BIB Indonesia ... 24

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Rekapitulasi sampel dari 13 BIB dan satu laboratorium IB ... 39

2. Cara pembuatan preparat ulas semen segar ... 43

3. Larutan stok dan cara pembuatan Williams ... 44

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otonomi Daerah (Otda) telah mendorong berdirinya Balai Inseminasi

Buatan (BIB) diberbagai provinsi yang dikenal dengan nama Balai Inseminasi

Buatan Daerah (BIBD). Sampai dengan tahun 2008 ini telah berdiri BIBD dalam

struktur Unit Pelaksana Teknis (UPT) perbibitan daerah di 14 provinsi, yaitu tiga

BIBD: Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Bali diarahkan untuk proses akreditasi,

serta 11 BIBD: Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung,

DIY, Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan

Kalimantan Timur diarahkan sebagai penguatan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)

BIB nasional (Dirjennak 2008). Berdirinya 14 BIBD ini selanjutnya memperkuat

dua BIB tingkat nasional yang telah lama berdiri, yakni BIB Lembang dan BBIB

(Balai Besar Inseminasi Buatan) Singosari Malang.

Balai inseminasi buatan daerah didirikan dengan tujuan untuk menunjang

produksi dan distribusi semen beku agar dapat lebih menjangkau seluruh wilayah

Indonesia, dalam rangka meningkatkan kualitas ternak. Salah satu tugas utama

BIB adalah menyediakan sumber bibit berupa semen beku yang berasal dari

pejantan yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu dilakukan

seleksi terhadap pejantan-pejantan yang akan digunakan. Dasar seleksi pemilihan

pejantan unggul dapat dilakukan dengan menggunakan silsilah tetuanya atau

menggunakan sapi-sapi yang telah dinyatakan melalui uji zuriat (progeny test).

Uji kapasitas reproduksinya dapat dilakukan melalui seleksi individu

menggunakan teknik breeding soundness evaluation (BSE) atau disebut juga BBSE (bull breeding soundness evaluation) (Alexander 2008).

Breeding soundness evaluation adalah suatu prosedur seleksi pejantan yang dengan tepat, cepat dan ekonomis untuk melihat kemampuan fertilitas

(Spitzer 2000). Aplikasi BSE telah dilakukan pada berbagai ternak diantaranya

pada domba (Bagley 2009), babi (Shipley 1999), kuda (Griffin 2000) dan sapi

(McPeake & Pennington 2009). Format evaluasi yang digunakan dalam BSE

(18)

eksternal dan eksplorasi rektal, pengukuran lingkar skrotum serta koleksi dan

analisis semen.

Analisis semen yang umum dilakukan dalam pelaksanaan BSE meliputi

konsentrasi spermatozoa per mililiter, motilitas spermatozoa dan morfologi

spermatozoa (Bagley 2009; Shipley 1999; Griffin 2000; LeaMaster & DuPonte

2007; McPeake & Pennington 2009), gerakan massa (Fitzpatrick et al. 2002) serta keutuhan tudung akrosom (Hoflack et al. 2006)

Di Indonesia pengujian motilitas dan konsentrasi spermatozoa sudah

dilakukan dengan baik. Di beberapa BIB bahkan sudah dilengkapi dengan

peralatan yang canggih, yakni dengan alat bantu komputer (Sperm Vision). Namun demikian analisis morfologi spermatozoa sampai sejauh ini masih belum

dilakukan secara rutin, meskipun pada BIB yang telah lebih dahulu berdiri.

Pada penelitian ini, evaluasi abnormalitas spermatozoa lebih ditekankan

pada abnormalitas primer (abnormalitas pada bagian kepala). Hal ini dilakukan

atas pertimbangan bahwa abnormalitas sekunder dan tersier yang umumnya

terdapat pada bagian ekor spermatozoa akan terseleksi pada saat penilaian

motilitas atau gerakan individu, sementara abnormalitas primer spermatozoa

seperti microcephalic, pearshape serta narrow at the base, mempunyai gerakan motilitas spermatozoa yang normal. Jika pengujian morfologi spermatozoa tidak

dilakukan dengan benar maka dikhawatirkan semen cair ataupun beku dengan

tingkat abnormalitas primer yang tinggi akan didistribusikan dan diinseminasikan,

sehingga tentunya hal ini akan dapat mengurangi keberhasilan fertilisasi yang

pada akhirnya akan menurunkan keberhasilan program inseminasi buatan.

Kerangka Pemikiran

Abnormalitas spermatozoa berdasarkan kejadiannya dibedakan menjadi

abnormalitas primer dan sekunder, sedangkan berdasarkan dampaknya terhadap

fertilitas dibedakan menjadi abnormalitas mayor dan minor. Abnormalitas

sekunder umumnya terjadi pada bagian ekor dan akan mudah terseleksi pada saat

pengujian motilitas, sedangkan abnormalitas primer terjadi pada bagian kepala

dan sebagian bersifat genetik dan berdampak mayor terhadap fertilitas. Dengan

(19)

spermatozoa dengan fertilitas, maka penelitian jenis dan tingkat abnormalitas

primer pada spermatozoa sapi pejantan di beberapa BIB di Indonesia dilakukan

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengevaluasi tingkat morfologi spermatozoa, khususnya abnormalitas

primer pada sapi-sapi yang ada di berbagai BIBD yang ada di Indonesia.

2. Membandingkan jenis abnormalitas spermatozoa yang terdapat pada

berbagai jenis sapi pejantan yang ada di BIBD.

3. Membandingkan tingkat abnormalitas spermatozoa berdasarkan umur

pejantan.

4. Mengevaluasi korelasi abnormalitas spermatozoa primer terhadap

fertilitas.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat membantu dalam menentukan tingkat

abnormalitas spermatozoa pada sapi-sapi yang ada di BIBD dan memberikan

rekomendasi untuk penanganan sapi pejantan yang mempunyai tingkat

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi

Inseminasi buatan merupakan bioteknologi yang pertama diterapkan untuk

meningkatkan genetik dan reproduksi pada hewan ternak. Sejalan dengan

perkembangan waktu, penerapan IB melibatkan berbagai metode seperti

pengelolaan pejantan dan koleksi semen, evaluasi, preservasi serta inseminasi

(Foote 2002). Selain itu keberhasilan IB juga tidak lepas dari faktor betina,

seperti deteksi estrus dan kontrol siklus estrus.

Untuk menjaga kualitas genetik dan menghindari terjadinya hal yang tidak

diinginkan maka perlu dilakukan seleksi calon-calon pejantan sebelum digunakan

atau dikoleksi semennya. Balai inseminasi buatan Lembang mengelompokan

pejantan dalam tiga kategori, yaitu proven bull (keunggulan sudah terbukti berdasarkan produksi dari anak-anaknya), register bull (keunggulan didasarkan pada catatan produksi (susu dan pertambahan berat badan) dari tiga generasi

diatasnya), serta performances bull (keunggulan berdasarkan tampilan individu pejantan tersebut) (Tumbuh Agribisnis Indonesia 2008).

Sementara itu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) sapi perah

Batu Raden menerapkan seleksi berdasarkan; berat sapih (weaning weight), berat setahun (yearling weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat, dengan metode seleksi dilakukan secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat melampaui salah satu kriteria tersebut di atas, akan

disingkirkan sebagai calon pejantan elit (BBPTU 2009).

Cara lain untuk seleksi atau melihat potensi pejantan yang biasa dilakukan

di luar negeri dengan menggunakan metode breeding soundness evaluation

(BSE). Breeding soundness evaluation merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan.

Breeding soundness evaluation atau bull breeding soundness evaluation

(BBSE) mudah dilakukan dan relative tidak mahal serta sangat berguna untuk

peternakan. Society for Theriogenology (SFT) menggunakan standar BBSE yang diadopsi pada tahun 1993, empat katagori standar minimum yang harus dipenuhi

(21)

indeks lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai umurnya, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa (Alexander 2008).

Untuk dapat digunakan dalam program breeding, seekor pejantan harus melebihi nilai minimum dari ketentuan yang ditetapkan. Menurut Godfrey dan

Dodson (2005), minimum lingkar skrotum seekor sapi ditetapkan berdasarkan

umur, dimana minimal berukuran 30 cm pada umur 12-15 bulan, dengan

morfologi spermatozoa normal sekurang-kurangnya 70%, dan sedikitnya 30%

spermatozoa memiliki motilitas progresif. Lebih lengkap lagi Alexander (2008)

menguraikan batasan minimum BSE yang harus dipenuhi seekor pejantan sapi

adalah; lingkar skrotum, 30 cm (umur < 15 bulan), 31 cm (umur 15-18 bulan), 32

cm (umur 18-21 bulan), 33 cm (umur 21-24 bulan), dan 34 cm (> 24 bulan);

morfologi spermatozoa (≥ 70% spermatozoa normal); motilitas spermatozoa (≥ 30% motilitas individu).

Fisiologi Semen

Semen terdiri atas sel spermatozoa (gamet jantan) dan campuran antara

cairan seluler dan sekresi-sekresi kelenjar asesoris (plasma seminalis) yang

berasal dari saluran reproduksi jantan (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa

dibentuk didalam tubuli seminiferi testes dan selanjutnya mengalami proses penyempurnaan untuk kemudian disimpan pada epididimis, sedangkan plasma

seminalis merupakan cairan dengan pH basa serta banyak mengandung

bahan-bahan kimia yang diperlukan bagi spermatozoa. Karakteristik dan komponen

kimia dari beberapa hewan ternak tersaji dalam Tabel 1.

Morfologi Spermatozoa

Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri atas bagian kepala

berbentuk datar dan ekor yang mengandung mitokondria yang penting bagi

pergerakan sel, dimana diantara kepala dan ekor dihubungkan oleh bagian yang

disebut leher (Garner & Hafez 2000)(Gambar 1). Komponen utama kepala adalah

nukleus, yang tersusun atas kromatin, dengan 60% bagian anterior kepala diliputi

(22)

Tabel 1 Karakteristik dan komponen kimia semen beberapa hewan ternak

Hewan ternak Komponen

Sapi Domba Babi Kuda Ayam

Volume (ml) 5-8 0.8-1.2 150-200 60-100 0.2-0.5

Konsentrasi spermatozoa (106/ml)

800-2000 2000-3000 200-300 150-300 3000-7000

Spermatozoa/ejakulat (109)

5-15 1.6-3.6 30-60 5-15 0.06-3.5

Motilitas (%) 40-75 60-80 50-80 40-75 60-80

Morfologi normal (%) 65-95 80-95 70-90 60-90 85-90

Protein (g/100 ml) 6.8 5.0 3.7 1.0 1.8-2.8

pH 6.4-7.8 5.9-7.3 7.3-7.8 7.2-7.8 7.2-7.6

Fruktosa 460-600 250 9 2 4

Sorbitol 10-140 26-170 6-18 20-60 0-10

Asam sitrat 620-806 110-260 173 8-53 -

Inositol 25-46 7-14 380-630 20-47 16-20

Glyceryl phosphoryl choline (GPC)

100-500 1100-2100 110-240 40-100 0-40

Ergitionin 0 0 17 40-110 0-2

Sodium 225±13 178±11 587 257 352

Potassium 155±6 89±4 197 103 61

Kalsium 40±2 6±2 6 26 10

Magnesium 8±0.3 6±0.8 5-14 9 14

Chlorida 174-320 86 260-430 448 147

(Sumber; Hafez & Hafez 2000)

*Nilai rataan komponen kimia (mg/100ml±S.E)

Dibagian tengah dan ekor dibagi menjadi tiga daerah. Dimulai dari bagian

anterior adalah bagian tengah, bagian yang lebih tipis adalah bagian utama ekor,

dan bagian yang sangat tipis merupakan bagian ujung. Bagian utama ekor,

merupakan pusat metabolisme, dihubungkan dengan bagian kepala spermatozoa

dengan suatu segmen yang sangat pendek yang disebut ekor.

Annulus

Gambar 1 Struktur sel spermatozoa sapi. Potongan melintang dari bagian tengah, utama dan ujung memperlihatkan serat-serat axonema yang dilapisi oleh mitokondria

(23)

(Sumber; Barth & Oko 1989)

Membran sel

Selubung postacrosomal Nukleus

Akrosom Rigi apikal akrosom

Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi (Sumber; Saacke & Almquist 1964)

Kepala Spermatozoa

Pada hewan ruminan, kepala spermatozoa berbentuk oval, datar/flat,

dengan nukleus terdiri atas kromatin yang kompak. Kromatin yang sangat padat

mengandung deoksiribonuklead asid (DNA) kromosom. Jumlah kromosom yang

terdapat pada spermatozoa adalah haploid atau setengah dari jumlah DNA sel

somatik pada spesies yang sama, yang dihasilkan dari pembelahan miosis yang

terjadi selama pembentukan spermatozoa (Ball & Peters 2004).

Membran Plasma

Membran plasma atau disebut juga plasmalemma merupakan bagian yang mengandung sedikit sisa sitoplasma dan meliputi seluruh permukaan spermatozoa

dan merupakan bagian luar spermatozoa juga berfungsi sebagai sebagai tempat

keluar-masuknya cairan seluler (Garner & Hafez 2000). Bagian utama membran

spermatozoa terdiri atas lipoprotein yang tersusun ganda (Gambar 3). Menurut

Salisbury et al. (1978) membran plasma pada sapi mengandung 31.1% lipoprotein.

Pentingnya fungsi membran plasma pada spermatozoa dikarenakan

keutuhan membran plasma akan menjadi tolak ukur bagi keberhasilan fertilisasi

spermatozoa dengan sel telur. Menurut Colenbrander et al. (1992) kerusakan membran pada bagian tengah spermatozoa akan menyebabkan produksi ATP

(24)

(2000) menyatakan membran plasma akan mengalami modifikasi sehingga

menyebabkan spermatozoa menjadi lebih aktif atau yang disebut dengan

kapasitasi untuk proses fertilisasi.

Gambar 3 Membran plasma spermatozoa (Sumber; Amann & Graham 1993 dalam Morel 1999)

Akrosom

Akrosom terletak pada bagian ujung anterior dari nukleus, yang menutupi

spermatozoa. Akrosom merupakan kantong membran dengan lapisan ganda, yang

melapisi nukleus selama tahap akhir pembentukkan spermatozoa, mengandung

unsur-unsur enzim yang penting, seperti akrosin, hialuronidase, dan berbagai

enzim hidrolisis lain yang berperan dalam proses fertilisasi. Pada akrosom

terdapat bagian equatorial (equatorial segmen) yang merupakan bagian akrosom yang penting dari spermatozoon, bagian ini terdapat di sepanjang anterior dari

daerah setelah akrosom (post acrosomal region), yang menginisiasi penggabungan dengan membran oosit selama fertilisasi (Garner & Hafez 2000).

Ekor Sperma

Ekor spermatozoa terbagi atas bagian leher (neck), tengah (middle), utama (principal), dan bagian ujung (end piece). Pada bagian tengah serta seluruh ekor terdiri atas aksonema. Aksonema merupakan tersusun dari sembilan pasang

(25)

tengah ini tersusun 9+2 mikrotubulus yang di bagian luar dibungkus oleh

sembilan lapisan kasar atau serabut tebal yang berhubungan dengan sembilan

pasang aksonema (Garner & Hafez 2000). Selanjutnya aksonema dan serabut

tebal ini di bagian periper dilapisi oleh sejumlah mitokondria, yang merupakan

sumber energi yang diperlukan bagi spermatozoa untuk motilitasnya (Silva &

Gadella 2006)

Bagian utama (principal piece) merupakan lanjutan dari annulus sampai mendekati ujung ekor, dibagian tengahnya disusun oleh aksonema yang

berhubungan dengan serabut tebal. Selanjutnya bagian ujung ekor (end piece), merupakan bagian posterior dari pembungkus berserabut, yang terdiri hanya

bagian aksonema yang dibungkus oleh membran plasma (Ball & Peters 2004).

Protoplasmik atau sitoplasmik droplet biasanya dilepaskan pada saat

spermatozoa diejakulasikan, yang merupakan sisa sitoplasma. Pada beberapa

spesies, abnormal ejakulasi spermatozoa, droplet dapat tertahan didaerah leher

sering disebut proksimal droplet, dan pada bagian yang mendekati annulus disebut distal droplet (Garner & Hafez 2000).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa

Tingginya persentase abnormalitas spermatozoa dapat berpengaruh

terhadap peningkatan fertilitas (Al-Makhzoomi 2008). Abnormalitas spermatozoa

merupakan kelainan struktur spermatozoa dari struktur normal yang dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, genetik atau kombinasi dari

keduanya (Chenoweth 2005).

Faktor Lingkungan

Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan sekitar. Miller et al. (1982) menemukan adanya peningkatan abnormalitas spermatozoa jenis diadem diakibatkan oleh obat-obatan, ketidak seimbangan hormonal dan stress. Sementara Barth dan Oko (1989) menemukan

kurangnya pakan dan keadaan iklim yang terlalu ekstrim dapat berpengaruh

(26)

coiled tail, amorphous head, pinpoint head, narrow, dilated midpiece dan short thick tail pada orang-orang yang bekerja dengan temperatur tinggi.

Faktor Genetik

Menurut Chenoweth (2005), ada beberapa katagori kelainan spermatozoa

bersifat genetik yaitu, kelainan pada akrosom (KA defect, ruffled dan incomplete acrosome), kepala (abnormal DNA condensation, decapitated (disintegrated) sperm defect, round head, rolled-head, nuclear crest, dan giant head syndrome), kelainan pada midpiece (dag, pseudo-droplet, dan corkscrew midpiece defect) dan kelainan pada ekor spermatozoa (coiled tails, tail stump defect, dan primary ciliary dyskinesia (immotile cilia syndrome)).

Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi

Pada dasarnya analisis semen bertujuan mengukur kemampuan pejantan

dalam menghasilkan semen yang berkualitas. Beberapa analisis tersebut

diantaranya adalah; 1) Kapasitas produksi semen seekor pejantan yang biasanya

digambarkan dengan pengukuran lingkar skrotum atau melalui pengukuran

volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa, 2) Viabilitas spermatozoa yang

diukur melalui pengamatan motilitas, rasio hidup/mati. Pada kasus semen beku

umumnya diamati persentase tudung akrosom utuh, dan 3) Persentase

spermatozoa yang memiliki struktur anatomi normal (morfologi), dimana

parameter ini secara umum akan saling berhubungan (Barth & Oko 1989). Untuk

mengetahui bagaimana batasan struktur normal dan abnormalitas spermatozoa,

Barth dan Oko (1989), menyimpulkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh

William pada tahun 1920 dan Lagerlof pada 1934, yaitu ; 1) Ukuran kepala

spermatozoa dari pejantan-pejantan yang mempunyai fertilitas yang baik

benar-benar seragam, 2) Pada pejantan-pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas

>17% tidak mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi, dan 3) Jumlah yang

diijinkan bagi abnormalitas spermatozoa dalam satu ejakulat bergantung besarnya

jenis abnormalitas yang ada.

Hubungan antara abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas dipengaruhi

oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal dan internal. Adanya pengaruh faktor

(27)

dikendalikan dan ditangani. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

abnormalitas spermatozoa diantaranya adalah teknik penampungan. Penelitian

yang dilakukan oleh Arifiantini dan Ferdian (2004) menemukan bahwa koleksi

semen dengan teknik masase pada kerbau lumpur menghasilkan abnormalitas

spermatozoa sebesar 31.86%. Pengaruh faktor internal yang mempengaruhi

fertilitas dapat dikontrol ketika melakukan analisis semen di laboratorium. Hal ini

dimaksudkan agar dapat semakin meningkatkan kualitas spermatozoa yang akan

digunakan dalam program breeding.

Abnormalitas sel spermatozoa dapat terjadi pada saat pembentukkan

spermatozoa dan selama penanganan semen (baik selama dan setelah koleksi).

Abnormalitas spermatozoa dapat dihasilkan oleh kegagalan proses

spermatogenesis atau spermiogenesis yang disebabkan faktor genetik, penyakit

dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Selain itu juga dapat disebabkan

karena penanganan semen yang tidak benar.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat tingkat abnormalitas

spermatozoa yang terdapat pada beberapa sapi pejantan (Tabel 2). Beberapa jenis

abnormalitas spermatozoa, yang apabila tinggi ditemukan pada satu individu akan

berpengaruh besar terhadap tingkat fertilitas individu tersebut, seperti pada

abnormalitas inti aneuploid, kandungan gen yang abnormal atau perubahan struktur, dapat menurunkan fertiltas pejantan dan masih belum dapat diketahui

melalui pengamatan secara morfologi (Salisbury et al. 1978).

Tabel 2 Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan

Jenis abnormalitas (%) Friesian1) Hereford2) SRB/SLB3) Friesian3) Sahiwal3) Sim4)

(28)

Sumber ; 1) Willmington (1981) di dalam Ball dan Peters (2004), 2) Söderquist et al. (1996), 3. Sarder (2004), 4. Bart (1986), SRB = Swedish Red and White, SLB = Swedish Holstein, Sim = Simmental

Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti

maupun laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa

terbagi dalam dua katagori, yakni berdasarkan sekuen proses proses pembentukan

spermatozoa (primer dan sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas.

Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat

spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi.

Pengelompokkan kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap

fertilitas jantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas,

sebaliknya kelainan yang bersifat minor dampaknya kecil pada fertilitas.

Sementara itu Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke dalam tiga katagori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala

spermatozoa dan akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah

ekor) dan tersier (kerusakan pada ekor). McPeake dan Pennington (2009),

mengelompokkan abnormalitas dalam dua katagori, yaitu primer (yang meliputi

abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas midpiece dan tightly coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan ekor yang membengkok).

Di Amerika dan Eropah kajian morfologi (abnormalitas) spermatozoa

telah banyak dilaporkan (Barth & Oko 1989; Ax et al. 2000). Pada pejantan sapi potong dan perah ( Soderquist et al. 1996; Sarder 2004; Rocha et al. 2006; Al-Makhzoomi et al. 2007; Freneau et al. 2009), kuda (Morrell et al. 2008), rodensia (dasyprocta leprorina) (Mollineau et al. 2008), ruminansia kecil (capricornis sumatraensis) (Suwanpugdee et al. 2009), anjing (Freshman, 2002), dan sterlet (golongan ikan) (Psenicka et al. 2009). Pada beberapa ternak, morfologi spermatozoa yang abnormal telah banyak dilaporkan akan

mempengaruhi fertilitas (Jasko et al. 1990; Chenoweth 2005).

Spermatozoa yang abnormal kemungkinan tidak dapat digunakan untuk

membuahi oosit. Menurut Salisbury et al. (1978) kemampuan membuahi seekor pejantan tergantung perbandingan antara spermatozoa normal dan abnormal

dalam semen, akan tetapi penurunan fertilitas tidak selalu berhubungan dengan

(29)

dapat ditemukan dalam satu ejakulat dan telah diinterpretasikan berbeda-beda

antar peneliti dan laboratorium, demikian juga untuk tinggi dan rendahnya tingkat

abnormalitas.

Berbagai kemungkinan morfologi abnormalitas primer dapat ditemui dalam

melakukan pengamatan morfologi. Adapun abnormalitas morfologi primer yang

mungkin teramati meliputi tapered head, micro dan macrocephalic, head less, amorphous, double head, dan immature sperm (Ax et al. 2000), selain itu jenis abnormalitas kepala lainnya dapat pula teramati seperti underdeveloped, knobbed acrosome defect, diadem defect, pearshape, narrow at the base, narrow, abnormal contour, detached head, dan abaxial implantation (Salisbury et al.

(30)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Sebanyak 164 sampel semen dari pejantan sapi potong dan perah diperoleh

dari 13 BIB ditambah 1 laboratorium IB yang ada di Indonesia (Lampiran 1).

Evaluasi terhadap sampel dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi

Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan,

pewarnaan, dan pengamatan sampel serta koleksi data di lapangan dimulai pada

bulan Juli sampai Desember 2009.

Metode

Pengambilan Sampel Semen

Pengambilan sampel dilakukan di masing-masing BIB/D untuk kemudian

dilakukan pewarnaan. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan protokol yang

diberikan (Lampiran 2), yaitu satu tetes semen diletakkan diatas gelas objek

pertama, selanjutnya empat tetes NaCl fisiologis diteteskan diatas gelas objek dan

dihomogenkan dengan menggunakan batang pengaduk. Dengan menggunakan

gelas objek kedua, sudut-sudut objek gelas tersebut ditempelkan pada campuran

semen-NaCl dan ditempatkan pada permukaan objek gelas ketiga dan dibuat

preparat ulas (smear) tipis. Preparat ulas yang telah terbentuk selanjutnya dikering-udarakan, diberi kode pejantan dan ditempatkan pada kotak objek gelas.

Pewarnaan Sampel

Sampel diberi pewarnaan dengan metode Williams menggunakan

carbolfluchsin-eosin yang dikembangkan pada tahun 1920 dan dimodifikasi oleh

Lagerlof pada tahun 1934 (Kavak et al. 2004). Sebelum melakukan pewarnaan terlebih dahulu disiapkan larutan stok Williams dan pembuatan pewarna Williams

(Lampiran 3). Selanjutnya setelah itu dilakukan pewarnaan Williams (Lampiran

4), dengan cara sebagai berikut : preparat sampel ulas semen yang berasal dari

BIB/BIBD difiksasi menggunakan bunsen selama ± 1 menit. Selanjutnya sample

dicuci dengan alkohol absolut selama 4 menit, dan dikering udarakan. Setelah itu

(31)

mukus (lendir) hilang dan ulasan terlihat jernih. Berikutnya preparat dicuci

dengan distilled water, alkohol 95% dan diwarnai dengan larutan Williams selama 8-10 menit. Tahap akhir preparat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan.

Pengamatan Morfologi Spermatozoa

Morfologi spermatozoa sebanyak 500 sel diamati menggunakan mikroskop

dengan perbesaran 400x dan 1000x (Olympus CH20) dan untuk dokumentasi

digunakan mikroskop perbesaran 1000x (Nikon Eclipse E600) dilengkapi dengan

peralatan GrabeeXplus + USB 2.0 AV Grabber. Semua jenis abnormalitas spermatozoa yang ditemukan diklasifikasikan dan didokumentasikan. Klasifikasi

jenis morfologi abnormalitas kepala dilakukan berdasarkan Al-Makhzoomi et al. (2008). Tingkat abnormalitas spermatozoa dikelompokkan menjadi 0-3%, >3-6%

(rendah), >6-9% (sedang) dan >9% (tinggi).

Analisis Korelasi Abnormalitas Spermatozoa dan Fertilitas

Data fertilitas diperoleh langsung di lapangan berdasarkan pencatatan hasil

IB pertama (persentase sapi betina bunting dari IB pertama) selama 2-3 tahun dari

pejantan-pejantan yang terlibat dalam penelitian. Ada delapan ekor pejantan yang

dapat ditelusuri recording IB dengan 186 ekor betina. Dari delapan ekor pejantan tersebut dikelompokkan sesuai dengan tingkat abnormalitas primer spermatozoa,

sebagai berikut ; 0-3%, >3-6%, >6-9%, dan >9%. Hasil IB pertama tersebut

selanjutnya dihitung nilai conception rate, yakni jumlah betina yang bunting dari hasil IB pertama dibagi jumlah pelayanan (IB) dikali 100%.

Analisis Statistik

Data disajikan dalam bentuk rataan dan simpangan baku. Data

abnormalitas diolah menggunakan sidik ragam dengan software Minitab versi 14.0. Untuk melihat korelasi antara tingkat abnormalitas dan conception rate

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel semen sapi yang diuji dalam penelitian ini berasal dari 13

(76.47%) BIB ditambah satu laboratorium IB dari total 17 BIB/BIBD yang ada

di Indonesia, dengan jumlah total sapi jantan 164 ekor. Sapi-sapi tersebut terdiri

atas jenis Simmental, Limousine, Brahman, Bali, Brangus, Angus, Ongole,

Peranakan Ongole (PO), peranakan Simmental Brahman (Simbrah) dan Friesian Holstein atau FH(Tabel 3). Dari jumlah tersebut jenis Simmental merupakan sapi yang paling banyak (42.68%) sedangkan PO, Ongole dan Simbrah jenis yang

paling sedikit masing-masing hanya satu ekor (0.61%).

Tabel 3 Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB

Bangsa Sapi Jumlah (ekor) (%)

Abnomalitas primer merupakan kelainan yang bersifat serius dikarenakan

terjadi pada proses spermatogenesis dan beberapa kelainan dapat diturunkan

(Chenoweth 2005), sehingga apabila ditemukan dalam jumlah tinggi pada semen,

maka pejantan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai sumber bibit.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 13 jenis kelainan spermatozoa primer

(33)

Bentuk kepala pearshape atau pyriform dalam Barth et al. (1992) disebut juga narrow at the base. Akan tetapi berdasarkan derajat penyempitan pada bagian post acrosome regional, bentuk pearshape dibedakan dengan kelainan yang berbentuk seperti buah pear di mana daerah akrosom (anterior) tampak

penuh berisi kromatin atau membesar, sedangkan post acrosome sempit sedikit memanjang dengan batas jelas antara daerah anterior dan posterior.

g h

b c

e f

i a

d

Gambar 4 Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa (Pewarnaan Williams)

(34)

Pada penelitian ini tanpa melihat bangsa sapi terdapat 2.02% dan 0.34%

abnormalitas pearshape dan narrow at the base. Penelitian yang dilakukan oleh Sarder (2004) terhadap enam kelompok bangsa sapi menemukan tingkat

abnormalitas pearshape lebih rendah dari hasil penelitian ini yaitu hanya 0.79%, sebaliknya jumlah kelainan narrow at the base justru lebih tinggi yaitu 1.71%. Al-Makhzoomi et al. (2007) melaporkan tingkat abnormalitas pearshape dan

narrow at the base yang cukup tinggi yaitu 6.5% dan 4.3% pada pejantan sapi perah Swedia.

Menurut Barth et al. (1992) kelainan pearshape dan narrow at the base

ini biasa ditemukan pada semen seekor pejantan sapi dengan jumlah yang

bervariasi dan tidak mempengaruhi fertilitas sepanjang derajat penyimpitan yang

tidak terlalu parah. Sebelumnya Barth dan Oko (1989) juga melaporkan kelainan

pearshape dalam jumlah yang tinggi dapat menurunkan fertilitas. Kelainan ini bersifat genetik, hal ini terbukti sapi jantan keturunan dari tetua dengan tingkat

abnormalitas pearshape yang tinggi memperlihatkan gambaran semen yang sama dengan tetuanya (Barth & Oko 1989)

Bentuk kepala narrow (tapered) merupakan jenis kelainan kepala dimana daerah akrosom dan postacrosome mengalami penyempitan akibat perkembangan yang tidak sempurna pada saat spermatosit primer. Pada bentuk narrow, kepala spermatozoa terlihat lebih kecil dan panjang daripada kepala normal tanpa batas

yang jelas. Bentuk narrow ini hampir sama dengan bentuk pearshape, akan tetapi bagian nukleus pada bentuk narrow terlihat lebih menyempit atau memanjang. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk narrow ditemukan sebesar 0.21% lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan Sarder (2004) dan Al-Makhzoomi et al.

(2008), masing-masing sebesar 1.03% dan 0.4%. Bentuk narrow yang tidak terlalu sempit didaerah postregional acrosome serta tidak disertai kelainan pada spermatogenesis tidak menurunkan fertilitas (Barth et al. 1992).

Abnormal contour dan undeveloped. Kedua istilah ini oleh Barth dan Oko (1989) disebut teratoid spermatozoa yaitu spermatozoa yang mengalami aberasi struktur yang menyebabkan spermatozoa tidak dapat melakukan fungsinya dalam

(35)

secara keseluruhan tidak normal, baik pada bagian kepala maupun ekor.

Sedangkan undeveloped merupakan spermatozoa yang tidak mengalami perkembangan sehingga dapat berbentuk kecil, ekor pendek dan dengan

pemeriksaan lanjut diperoleh bahwa sel tersebut tidak disusun oleh materi genetik

yang lengkap (Barth & Oko 1989).

Pada penelitian ini abnormalitas bentuk abnormal contour dan

undeveloped ditemukan sebesar 0.14% dan 0.16%. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa bentuk abnormal contour ditemukan sebesar 0.3% (Al-Makhzoomi et al. 2008), dan abnormalitas bentuk undeveloped sebesar 0.13% (Sarder 2004) sampai dengan 0.7% (Al-Makhzoomi et al. 2008). Besarnya variasi abnormalitas teratoid spermatozoa dipengaruhi oleh genetik, dimana hal ini didasarkan oleh penelitian yang dilakukan Barth dan Oko (1989) pada sapi

Charolais dengan tingkat teratoid dari 1-2,5 x 106 per ml semen, tanpa ada latar belakang kecelakaan, penyakit dan stress.

Round head adalah abnormalitas pada kepala spermatozoa, dimana kepala spermatozoa berbentuk bulat tanpa ada batas akrosom. Menurut Chenoweth

(2005) kebanyakan kepala spermatozoa mempunyai kantung tanpa disertai

pembentukkan akrosom. Pada penelitian ini abnormalitas round head ditemukan sebesar 0.06%. Abnormalitas round head jarang dilaporkan pada pejantan sapi (Chenoweth 2005), tetapi sering ditemukan pada spermatozoa manusia (Jones et al. 2003).

Variable size, merupakan istilah untuk abnormalitas pada spermatozoa memiliki ukuran kepala lebih besar (macrocephalus) atau lebih kecil (microcephalus) dari ukuran normal spermatozoa umumnya pada spesies tersebut. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk macrocephalus dan microcephalus

ditemukan masing-masing sebesar 0.03% dan 0.12%. Penelitian sebelumnya oleh

Al-Makhzoomi et al. (2008) menemukan abnormalitas variable size sebesar 1.4%. Menurut Barth dan Oko (1989) ukuran kepala spermatozoa yang lebih

kecil atau lebih besar dari ukuran normal akan mempengaruhi kandungan

kromosom inti pada kepala, sehingga dapat lebih sedikit atau lebih banyak

dibandingkan normal, dimana selanjutnya akan menyebabkan tidak terdapat atau

(36)

dipengaruhi oleh genetik, dimana tingkat abnormalitas macrocephalus pada khususnya, ditemukan lebih tinggi pada sapi-sapi inbreeding dibandingkan persilangan (Salisbury & Baker 1966).

Double head adalah kejadian dimana kepala spermatozoa memiliki dua kepala dengan satu ekor. Kedua kepala tersebut dapat berukuran serupa atau

berbeda. Pada penelitian ini tingkat kejadian double head ditemukan paling sedikit dari abnormalitas jenis lainnya, yaitu sebesar 0.01%. Kejadian ini pernah

dilaporkan pada babi yang menderita demam (pyrexia) (Kojima 1973). Penyebab utama kejadian ini adalah abnormalitas pada saat proses miosis spermatogenesis

(Zukerman et al. 1986).

Abaxial merupakan bentuk abnormalitas dimana posisi ekor spermatozoa tidak terletak dibagian tengah. Ekor yang seharusnya terletak menempel pada

bagian tengah kepala, bergeser ke arah samping dengan membentuk fosa

implantasi baru sebagai tempat pertautan ekor. Pada penelitian yang dilakukan,

abnormalitas abaxial ditemukan sebesar 0.13%. Menurut Barth (1989) abnormalitas abaxial merupakan gambaran normal yang biasa ditemukan pada semen kuda dan babi, cenderung bersifat genetik, akan tetapi tidak berpengaruh

terhadap fertilitas (Barth & Oko 1989), sehingga dikatagorikan sebagai suatu

bentuk variasi dari spermatozoa normal pada sapi (Barth 1989).

Knobbed acrosome (KA) defect. merupakan kelainan yang terjadi pada bagian akrosom spermatozoa, dimana bentuk kepala tidak mulus tetapi seperti ada

lekukan ke arah dalam atau ke arah luar. Barth (1986) pernah melaporkan

persentase KA defect yang sangat tinggi yaitu 25-100% pada 16 dari 2054 ekor sapi potong serta pada bangsa Charolais. Sebelumnya Donald dan Hancock

(1953) melaporkan bahwa KA defect yang tinggi pada FH berhubungan erat dengan autosomal seks resesif.

Kelainan ini disebabkan oleh berlebihnya matriks akrosomal dan pelipatan

bagian akrosom sampai ke bagian apeks dari kepala spermatozoa dan kejadian

disebabkan keterlambatan pembentukkan fase akrosomal saat spermiogenesis

(Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas KA defect ditemukan sebesar 0.16%, angka ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah

(37)

Söderquist et al. (1996) sebesar 0.8% pada jenis sapi yang sama. Menurut Chenoweth (2005) peningkatan KA defect pada semen sapi pejantan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Detached head adalah keadaan dimana kepala spermatozoa patah atau sampai terlepas dari bagian leher dan ekor. Pada penelitian ini abnormalitas

detached head sebesar 0.02%. Penelitian yang dilakukan oleh Söderquist et al.

(1996) pada sapi perah Swedia melaporkan jumlah yang lebih tinggi, yaitu 1.6%.

Kejadian detached head biasanya dihubungkan dengan hipoplasia testikular, akan tetapi apabila ditemukan dalam jumlah tinggi dapat disebabkan oleh pengaruh

genetik (Barth & Oko 1989).

Diadem merupakan jenis abnormalitas spermatozoa dimana terlihat seperti ada lubang-lubang yang ditemukan di daerah nukleus posterior sampai apikal

akrosom, batas selubung acrosome atau diseluruh kepala spermatozoa, akan tetapi lebih sering terdapat pada bagian apeks nukleus yang disebabkan invaginasi

membran nuklear ke dalam nukleoplasma. Lubang tersebut juga terlihat sebagai

sebuah kantung, sehingga beberapa peneliti menamakan diadem dengan pouches, craters dan nuclear vacuoles (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas diadem ditemukan sebesar 0.18%. Hasil ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu sebesar 0.1% sampai dengan 0.2%

(Söderquist et al. 1996; Al-Makhzoomi et al. 2008).

Menurut Barth dan Oko (1989) jumlah spermatozoa dengan kelainan

diadem ini dapat meningkat akibat stress karena cedera, kekurangan pakan, kondisi iklim yang ekstrim, serta beberapa kondisi lain yang tidak mendukung.

Abnormalitas jenis diadem cenderung menyebabkan infertilitas, pejantan yang mempunyai fertilitas yang rendah ternyata pada semennya ditemukan

abnormalitas diadem >80% (Miller et al. 1982).

Berdasarkan hasil penelitian maka abnormalitas primer spermatozoa

secara umum dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dada et al. (2001) menyatakan abnormalitas spermatozoa akan menyebabkan terjadinya gangguan

terhadap proses pembuahan. Ada dua kemungkinan yang terjadi terhadap

kemampuan fertilitas seekor pejantan dengan persentase abnormalitas

(38)

fertilisasi dan kedua spermatozoa tidak dapat membuahi sel telur atau

mempertahankan perkembangan tahap awal embrio (Chenoweth 2005).

Selain itu ditemukan juga beberapa abnormalitas primer spermatozoa yang

apabila ditemukan tinggi di dalam semen akan dapat menurunkan fertilitas, akan

tetapi abnormalitas morfologi spermatozoa dan fertilitas berbeda-beda antar

bangsa (Al-Makhzoomi et al. 2007).

Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Potong Berdasarkan Umur Sapi

Berdasarkan bangsa sapi potong dan sebaran umur dari kelompok sapi

dengan jumlah sampel lebih dari 10 ekor, ternyata tingkat abnormalitas primer

spermatozoa tertinggi ditemukan pada sapi-sapi yang berumur sembilan tahun ke

atas yaitu pada sapi Simmental, Limousine dan Bali berturut-turut adalah 7.93,

7.49 dan 2.35%, sedangkan pada sapi Brahman ditemukan pada umur dua tahun

(3.30%). Tetapi ditemukan juga tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10%

pada umur kurang dari sembilan tahun (Tabel 4).

Tingkat abnormalitas primer spermatozoa sapi Simmental yang berumur ≥9 tahun berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 2-3 tahun tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur 4-6 tahun. Akan tetapi tingkat abnormalitas primer

spermatozoa yang berumur ≥9 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan 4-6 tahun. Pada sapi Limousine berumur ≥9 tahun, tingkat abnormalitas primer spermatozoa berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 3-4 tahun. Pada sapi Brahman

umur 2, 6 dan 9 tahun keatas serta Bali yang berumur 3, 4, 6 dan 9 tahun keatas,

masing-masing tidak berbeda nyata (p>0.05).

Tingginya abnormalitas primer spermatozoa pada sapi-sapi Simmental,

dan Limousine yang berumur ≥9 tahun dapat disebabkan oleh terjadinya degenerasi sel pada saluran reproduksi jantan karena pengaruh penuaan.

Sebelumnya Dowsett dan Knott (1996) melaporkan terjadinya peningkatan

abnormalitas spermatozoa pada kuda berumur >11 tahun yang disebabkan oleh

berkurangnya kemampuan proses spermatogenesis dan fungsi epididimis.

Pernyataan ini diperkuat oleh Söderquist et al. (1996) bahwa terdapat pengaruh umur yang sangat signifikan terhadap abnormalitas primer spermatozoa dan total

(39)

tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% akan dapat berpengaruh terhadap

fertilitas. Oleh karena itu sangat tepat jika batasan umur penggunaan pejantan

untuk produksi semen beku di Indonesia telah ditetapkan antara umur 6-7 tahun

(Dirjennak 2007).

Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer

spermatozoa pada sapi Brahman dan sapi Bali kemungkinan dipengaruhi oleh

jumlah sampel yang diamati pada masing-masing umur sapi-sapi tersebut.

Tabel 4 Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada empat bangsa sapi potong berdasarkan sebaran umur

Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05)

Pada penelitian ini tingginya abnormalitas primer spermatozoa yang

ditemukan pada sapi Brahman berumur dua tahun mungkin dipengaruhi oleh

jumlah sampel pada sapi Brahman tersebut. Jumlah sampel pada masing-masing

umur berkisar antara 2-3 ekor. Ditemukannya tingkat abnormalitas primer

spermatozoa yang tinggi pada pejantan umur produksi 3-5 tahun telah diprediksi

(40)

dilakukan evaluasi abnormalitas spermatozoa sebelumnya. Adanya pengaruh

genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan, memungkinkan abnormalitas

spermatozoa dapat ditemukan pada umur yang lebih muda.

Kejadian abnormalitas spermatozoa juga tidak berhubungan dengan

penampilan kesehatan secara umum, sehingga tidak mudah dideteksi tanpa

melalui analisis semen di laboratorium. Penelitian yang dilakukan oleh Miller et al. (1982) menemukan bahwa tingginya abnormalitas spermatozoa terkadang tidak ditunjukkan oleh adanya perubahan anatomi atau gangguan fungsional organ

reproduksi, akan tetapi menunjukkan tingkat fertilitas yang rendah.

Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Perah Berdasarkan Umur Sapi

Pengamatan abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah

dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur (Gambar 5), dimana jumlah

sampel dari masing-masing kelompok, yaitu umur 2 tahun 3 ekor, 3 tahun 14 ekor

dan 9 tahun keatas 2 ekor. Hasil analisis menunjukkan abnormalitas primer

spermatozoa tertinggi pada umur 2 tahun (6.53%) dan terendah pada umur 3 tahun

(2.24%). Berdasarkan analisis sidik ragam, tingkat abnormalitas primer

spermatozoa pada sapi perah umur 2 tahun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan

umur ≥9 tahun, akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada umur 2 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur 3 dan ≥9 tahun.

6.53

(41)

MenurutAl-Makhzoomi et al. (2008) menemukan adanya korelasi antara abnormalitas primer spermatozoa >10% dengan fertilitas pada sapi perah Swedia.

Pada penelitian ini, abnormalitas primer spermatozoa secara individu ditemukan

sebesar 18.2% pada pejantan umur 2 tahun. Tingginya abnormalitas primer

spermatozoa umur 2 tahun menunjukkan adanya kemungkinan abnormalitas

primer dapat terjadi pada umur muda. Selain itu abnormalitas individu seekor

pejantan juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti stress (Barth & Oko

1989; Söderquist et al. 1996), genetik dan gangguan pada tubuli seminiferi (Barth & Oko 1989). Secara umum pejantan di BIB dipelihara dengan nutrisi pakan,

perkandangan dan perawatan kesehatan yang baik, serta telah melalui tahapan

seleksi yang cukup ketat, sehingga sudah selayaknya abnormalitas primer

spermatozoa ditemukan dalam jumlah rendah.

Ditemukannya individu yang diproduksi semennya dengan abnormalitas

primer lolos dalam proses produksi dan distribusi menunjukkan pengamatan

morfologi spermatozoa penting dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya

penelitian yang menemukan abnormalitas primer spermatozoa >10% berkorelasi

dengan fertilitas, diantaranya pada anjing (Freshman 2002) dan pada sapi perah

(Al-Makhzoomi et al. 2007; Al-Makhzoomi et al. 2008). Selain itu juga akan menurunkan keberhasilan program inseminasi buatan (Sarder 2004; Saacke 2008).

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh peningkatan umur

terhadap tingginya abnormalitas primer spermatozoa, meskipun menurut

Söderquist et al. (1996) terdapat korelasi antara peningkatan umur dengan jumlah abnormalitas primer spermatozoa. Hal ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya

jumlah sampel pada umur ≥9 tahun, sehingga tidak memperlihatkan adanya korelasi tersebut.

Jumlah dan Jenis Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa Sapi

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0.05), jumlah

abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10

ekor), dimana jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine,

FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12,

(42)

bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi dan bentuk pearshape pada Simmental tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan Limousine serta Brahman, akan tetapi lebih tinggi (p<0.05)

jika dibanding dengan Bali dan Friesian Holstein. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara 12 jenis abnormalitas primer spermatozoa lainnya (Tabel 5).

Tabel 5 Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan

Bangsa Sapi

Pearshape 0.87±0.23bA 2.81±0.36aA 2.13±0.67abA 1.38±0.46abA 0.86±0.22bA 2.02±0.22

Narrow at the base 0.05±0.03bB 0.51±0.10aB 0.26±0.07abB 0.10±0.04bB 0.29±0.14abBC 0.34±0.05

Narrow 0.17±0.04bB 0.20±0.03bC 0.15±0.03bB 0.10±0.06bB 0.42±0.14aB 0.21±0.03

Abnormal contour 0.14±0.10aB 0.17±0.02aC 0.06±0.03aB 0.08±0.04aB 0.19±0.12aBC 0.14±0.03

Underdevelope 0.06±0.02aB 0.17±0.05aC 0.27±0.09aB 0.03±0.02aB 0.16±0.12aBC 0.16±0.03

Round head 0.01±0.01aB 0.07±0.03aC 0.11±0.05aB 0.03±0.03aB 0.04±0.02aC 0.06±0.02

Macrocephalus 0.04±0.02bB 0.01±0.01bC 0.03±0.01bB 0.10±0.06aB 0.06±0.02abC 0.03±0.01

Microcephalus 0.05±0.02aB 0.16±0.04aC 0.09±0.03aB 0.08±0.03aB 0.15±0.12aBC 0.12±0.02

Double head 0.01±0.01aB 0.01±0.01aC 0.01±0.01aB 0.00±0.00aB 0.03±0.02aC 0.01±0.00

Abaxial 0.15±0.07abB 0.11±0.03bC 0.07±0.03bB 0.30±0.11aB 0.13±0.07bBC 0.13±0.02

KA defect 0.15±0.05aB 0.13±0.04aC 0.20±0.12aB 0.15±0.04aB 0.17±0.04aBC 0.16±0.03

Detached head 0.00±0.00aB 0.02±0.01aC 0.04±0.03aB 0.00±0.00aB 0.01±0.01aC 0.02±0.01

Diadem 0.14±0.04aB 0.21±0.04aC 0.14±0.06aB 0.23±0.12aB 0.14±0.07aBC 0.18±0.03

Total 1.85±0.64a 4.58±0.75 a 3.56±1.22 a 2.60±1.01 a 2.65±1.12 a

Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM (%); Huruf kecil untuk baris dan huruf kapital untuk kolom ; Huruf berbeda mengikuti angka pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Jenis abnormalitas spermatozoa pearshape pada sapi Simmental berbeda nyata (p<0.05) dengan sapi Bali dan FH, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05)

dengan sapi Limousine dan Brahman. Namun demikian abnormalitas primer

spermatozoa pearshape sapi Limousine dan Brahman tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Bali dan Friesian Holstein.

Abnormalitas pearshape merupakan jenis yang lebih sering ditemukan pada semen seekor pejantan. Sarder (2004) pada sapi-sapi perah di Bangladesh,

(43)

abnormalitas pearshape biasa ditemukan dalam jumlah kecil pada semen sapi pejantan dengan fertilitas yang baik.

Tingginya abnormalitas pearshape pada individu pejantan harus ditindak lanjuti dengan evaluasi berkala dan pengamatan yang intensif mengingat laporan

penelitian sebelumnya oleh Barth dan Oko (1989), jenis abnormalitas ini dapat

menurunkan fertilitas apabila ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) yang menemukan korelasi negatif abnormalitas pearshape terhadap tingkat fertilitas.

Pada kebanyakan kasus abnormalitas spermatozoa bentuk pearshape, disebabkan oleh kondisi abnormal akibat perubahan fungsi testis, seperti

gangguan pengaturan temperatur testis atau gangguan hormonal (Barth & Oko

1989). Beberapa peneliti melaporkan kelainan ini bersifat genetik (Barth et al.

1992; Chenoweth 2005). Tingginya perbedaan abnormalitas spermatozoa

pearshape pada berbagai jenis sapi dapat disebabkan oleh tingginya variasi jumlah sampel yang diamati, seperti keseragaman umur, lingkar skrotum, bangsa

sapi dan berat badan, hal ini dapat terlihat dari tingginya ragam hasil.

Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antara bos taurus dan bos indicus

Sapi-sapi yang ada dibalai IB Indonesia, selain sapi bali (bos sondaicus) terdapat sapi-sapi bukan asli Indonesia seperti Bos taurus (FH, Simmental, Limousine dan Angus) dan Bos indicus (Brahman dan Ongole). Sapi-sapi tersebut didatangkan untuk tujuan meningkatkan kualitas genetik.

Pada penelitian ini, berdasarkan pengelompokkan B.taurus meliputi Simmental, Limousine, Angus dan FH sebanyak 34 ekor sedangkan B.indicus

hanya berasal dari Brahman sebanyak delapan ekor (Tabel 6). Dari hasil

tersebut, tanpa membedakan umur, abnormalitas primer spermatozoa sapi

B.taurus lebih tinggi (6.81%) dibandingkan dengan B.indicus (3.13%). Hasil sidik ragam tingkat abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan B.taurus dan

B.indicus terdapat perbedaan nyata (p<0.05) dimana tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada B.taurus lebih tinggi dibandingkan dengan B.indicus, hasil ini menguatkan laporan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sarder (2004),

(44)

total abnormalitas spermatozoa antara sapi Friesian (B.taurus) dan sapi Sahiwal (B.indicus). Sebelumnya Söderquist et al. (1996) telah melaporkan adanya pengaruh bangsadan umur terhadap tingkat abnormalitas spermatozoa.

Tabel 6 abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bos taurus dan bos indicus

No. Jenis sapi Jumlah (ekor) Total abnormalitas (%)

Bos Taurus 34 6.81±0.79a

Hansen (2004) menemukan sapi-sapi dari golongan B.indicus mempunyai daya tahan selular terhadap peningkatan temperatur dibandingkan dengan

B.taurus, sehingga heat stress tidak begitu berpengaruh terhadap B.indicus

dibandingkan dengan B.taurus. Setchell (1978), diacu dalam Hansen (2004) menyatakan heat stress dapat meningkatkan temperatur testis, sehingga lebih lanjut berakibat mengganggu proses spermatogenesis. Brito et al. (2004) membandingkan antara anatomi testis antara B.indicus dan B.taurus hasilnya ternyata B.indicus mempunyai arteri testis yang lebih panjang dengan ketebalan jarak dinding arteri dan vena lebih tipis serta lebih dekat, sehingga proses

termoregulatoris testis dapat lebih baik sehingga temperatur testis lebih rendah

dibandingkan dengan B.taurus.

Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antar BIB

Sampel semen sapi pejantan dari beberapa BIB yang dipergunakan untuk

melakukan pengamatan abnormalitas primer spermatozoa berasal dari sapi-sapi

yang berumur 5.4±3.0 tahun. Dari 164 sampel semen yang diamati 11 ekor

(6.7%) menunjukkan abnormalitas spermatozoa primer >10% terdiri atas sapi

potong 10 ekor dan sapi FH 1 ekor. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa

tertinggi ditunjukkan oleh BIB H (8.57%), sedangkan terendah ditunjukkan oleh

(45)

Tabel 7 abnormalitas primer spermatozoa antar BIB

BIB Jumlah sample (ekor) Abnormalitas (%) Kisaran (%)

A 10 1.58 ± 0.94e 0.4-3.4

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat

abnormalitas antara balai inseminasi buatan. Tingkat abnormalitas primer

spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan BIB A, C, E, G, J, K,

L, dan N. Selanjutnya tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H tidak

berbeda nyata (p>0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M, namun tingkat abnormalitas

primer spermatozoa pada BIB H masih lebih tinggi dari BIB tersebut.

Dari hasil penelitian ini ditemukan 42.85% BIB memiliki sapi-sapi dengan

tingkat abnormalitas primer spermatozoa ≥10%. Kondisi ini dapat disebabkan karena pengamatan morfologi spermatozoa saat evaluasi semen tidak dilakukan.

Hal ini dapat terjadi karena evaluasi morfologi spermatozoa belum secara tegas

disampaikan pada petunjuk teknis pengawasan mutu semen beku sapi dan kerbau,

ataupun yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4869.1-2005)

yang merupakan peraturan dari Direktur Jenderal Peternakan (Dirjennak)(BSN

2005). Padahal jika dicermati di dalam SNI tersebut telah tercantum sumber

pustaka yang menyebutkan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa sapi harus

kurang dari 20%. Sebab lain adalah keterbatasan Sumber daya manusia (SDM)

Gambar

Tabel 1 Karakteristik dan komponen kimia semen beberapa hewan ternak
Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi
Gambar  3  Membran plasma spermatozoa (Sumber; Amann & Graham 1993  dalam  Morel  1999)
Tabel 2 Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat pengetahuan caring angkatan 2011 dan 2012 memiliki tingkat pengetahuan yang baik dibandingkan angkatan 2013. Hal ini dikarenakan mahasiswa angkatan 2011 dan

ada di Desa Bangunsari Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna dapat dilihat dari hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pengusaha maupun buruh mebel yaitu: 1. Hak dan

BANGKOK - Bagi memahami senario pertanian di negara lain yang lebih kurang sama iklimnya serta gunatanah untuk pertanian, seramai 25 pelajar Master Pengurusan Sumber

Dalam penelitian ini, dilakukan analisa secara analitis, numerik dan eksperimen model SPAR (skala 1:125) di laboratorium Hidrodinamika ITS dalam kondisi free floating

Pada 16 dan 17 Disember 2017, telah berlangsung bengkel pengukuhan kendiri latihan industri 2017 yang dianjurkan oleh Unit Latihan Industri Diploma Fakulti Kejuruteraan

Optimasi kinerja suatu persimpangan bersinyal dapat dilakukan dengan cara penentuan waktu sinyal lalulintas, pengaturan ulang batasan parkir di badan jalan dapat menurunkan

Untuk mengaplikasikan metode hermeneutika dalam kajiannya terhadap al-Qur’an terlebih dahulu Abu Zaid menurunkan kedudukan teks al-Qur’an dari teks wahyu menjadi teks

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan mulai dilaporkan pada tahun 2005 dan setiap penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan tahunnya cenderung meningkat.. Pada