• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel semen sapi yang diuji dalam penelitian ini berasal dari 13 (76.47%) BIB ditambah satu laboratorium IB dari total 17 BIB/BIBD yang ada di Indonesia, dengan jumlah total sapi jantan 164 ekor. Sapi-sapi tersebut terdiri atas jenis Simmental, Limousine, Brahman, Bali, Brangus, Angus, Ongole, Peranakan Ongole (PO), peranakan Simmental Brahman (Simbrah) dan Friesian Holstein atau FH(Tabel 3). Dari jumlah tersebut jenis Simmental merupakan sapi yang paling banyak (42.68%) sedangkan PO, Ongole dan Simbrah jenis yang paling sedikit masing-masing hanya satu ekor (0.61%).

Tabel 3 Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB Bangsa Sapi Jumlah (ekor) (%)

Simmental 70 42,68 Limousine 30 18,29 Bali 22 13,42 FH 22 13,42 Brahman 12 7,32 Brangus 3 1,83 Angus 2 1,22 Simbrah 1 0,61 PO 1 0,61 Ongole 1 0,61 Jumlah 164 100%

Abnormalitas Primer Spermatozoa

Abnomalitas primer merupakan kelainan yang bersifat serius dikarenakan terjadi pada proses spermatogenesis dan beberapa kelainan dapat diturunkan (Chenoweth 2005), sehingga apabila ditemukan dalam jumlah tinggi pada semen, maka pejantan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai sumber bibit. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan 13 jenis kelainan spermatozoa primer yaitu pearshape, narrow at the base, narrow (tapered head), abnormal contour, undeveloped, round head, variable size (macrocephalus/microcephalus), double head, abaxial, knobbed acrosome defect, detached head, dan diadem (Gambar 4).

(2)

Bentuk kepala pearshape atau pyriform dalam Barth et al. (1992) disebut juga narrow at the base. Akan tetapi berdasarkan derajat penyempitan pada bagian post acrosome regional, bentuk pearshape dibedakan dengan kelainan yang berbentuk seperti buah pear di mana daerah akrosom (anterior) tampak penuh berisi kromatin atau membesar, sedangkan post acrosome sempit sedikit memanjang dengan batas jelas antara daerah anterior dan posterior.

g h b c e f i a d

Gambar 4 Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa (Pewarnaan Williams)

a) Bentuk sperma normal, b) Pearshape, c) Narrow at the base,

d) Abnormal contour, e) Undeveloped f) Round head, g) Abaxial, h) Microsephalus dengan KA defect, i) Detached head

(3)

Pada penelitian ini tanpa melihat bangsa sapi terdapat 2.02% dan 0.34% abnormalitas pearshape dan narrow at the base. Penelitian yang dilakukan oleh Sarder (2004) terhadap enam kelompok bangsa sapi menemukan tingkat abnormalitas pearshape lebih rendah dari hasil penelitian ini yaitu hanya 0.79%, sebaliknya jumlah kelainan narrow at the base justru lebih tinggi yaitu 1.71%. Al-Makhzoomi et al. (2007) melaporkan tingkat abnormalitas pearshape dan narrow at the base yang cukup tinggi yaitu 6.5% dan 4.3% pada pejantan sapi perah Swedia.

Menurut Barth et al. (1992) kelainan pearshape dan narrow at the base ini biasa ditemukan pada semen seekor pejantan sapi dengan jumlah yang bervariasi dan tidak mempengaruhi fertilitas sepanjang derajat penyimpitan yang tidak terlalu parah. Sebelumnya Barth dan Oko (1989) juga melaporkan kelainan pearshape dalam jumlah yang tinggi dapat menurunkan fertilitas. Kelainan ini bersifat genetik, hal ini terbukti sapi jantan keturunan dari tetua dengan tingkat abnormalitas pearshape yang tinggi memperlihatkan gambaran semen yang sama dengan tetuanya (Barth & Oko 1989)

Bentuk kepala narrow (tapered) merupakan jenis kelainan kepala dimana daerah akrosom dan postacrosome mengalami penyempitan akibat perkembangan yang tidak sempurna pada saat spermatosit primer. Pada bentuk narrow, kepala spermatozoa terlihat lebih kecil dan panjang daripada kepala normal tanpa batas yang jelas. Bentuk narrow ini hampir sama dengan bentuk pearshape, akan tetapi bagian nukleus pada bentuk narrow terlihat lebih menyempit atau memanjang. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk narrow ditemukan sebesar 0.21% lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan Sarder (2004) dan Al-Makhzoomi et al. (2008), masing-masing sebesar 1.03% dan 0.4%. Bentuk narrow yang tidak terlalu sempit didaerah postregional acrosome serta tidak disertai kelainan pada spermatogenesis tidak menurunkan fertilitas (Barth et al. 1992).

Abnormal contour dan undeveloped. Kedua istilah ini oleh Barth dan Oko (1989) disebut teratoid spermatozoa yaitu spermatozoa yang mengalami aberasi struktur yang menyebabkan spermatozoa tidak dapat melakukan fungsinya dalam fertilisasi. Abnormal contour merupakan kelainan bentuk spermatozoa yang

(4)

secara keseluruhan tidak normal, baik pada bagian kepala maupun ekor. Sedangkan undeveloped merupakan spermatozoa yang tidak mengalami perkembangan sehingga dapat berbentuk kecil, ekor pendek dan dengan pemeriksaan lanjut diperoleh bahwa sel tersebut tidak disusun oleh materi genetik yang lengkap (Barth & Oko 1989).

Pada penelitian ini abnormalitas bentuk abnormal contour dan undeveloped ditemukan sebesar 0.14% dan 0.16%. Laporan sebelumnya menyatakan bahwa bentuk abnormal contour ditemukan sebesar 0.3% (Al-Makhzoomi et al. 2008), dan abnormalitas bentuk undeveloped sebesar 0.13% (Sarder 2004) sampai dengan 0.7% (Al-Makhzoomi et al. 2008). Besarnya variasi abnormalitas teratoid spermatozoa dipengaruhi oleh genetik, dimana hal ini didasarkan oleh penelitian yang dilakukan Barth dan Oko (1989) pada sapi Charolais dengan tingkat teratoid dari 1-2,5 x 106 per ml semen, tanpa ada latar belakang kecelakaan, penyakit dan stress.

Round head adalah abnormalitas pada kepala spermatozoa, dimana kepala spermatozoa berbentuk bulat tanpa ada batas akrosom. Menurut Chenoweth (2005) kebanyakan kepala spermatozoa mempunyai kantung tanpa disertai pembentukkan akrosom. Pada penelitian ini abnormalitas round head ditemukan sebesar 0.06%. Abnormalitas round head jarang dilaporkan pada pejantan sapi (Chenoweth 2005), tetapi sering ditemukan pada spermatozoa manusia (Jones et al. 2003).

Variable size, merupakan istilah untuk abnormalitas pada spermatozoa memiliki ukuran kepala lebih besar (macrocephalus) atau lebih kecil (microcephalus) dari ukuran normal spermatozoa umumnya pada spesies tersebut. Pada penelitian ini abnormalitas bentuk macrocephalus dan microcephalus ditemukan masing-masing sebesar 0.03% dan 0.12%. Penelitian sebelumnya oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) menemukan abnormalitas variable size sebesar 1.4%.

Menurut Barth dan Oko (1989) ukuran kepala spermatozoa yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran normal akan mempengaruhi kandungan kromosom inti pada kepala, sehingga dapat lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan normal, dimana selanjutnya akan menyebabkan tidak terdapat atau berlebihnya kromosom. Tinggi rendahnya kejadian abnormalitas variable size

(5)

dipengaruhi oleh genetik, dimana tingkat abnormalitas macrocephalus pada khususnya, ditemukan lebih tinggi pada sapi-sapi inbreeding dibandingkan persilangan (Salisbury & Baker 1966).

Double head adalah kejadian dimana kepala spermatozoa memiliki dua kepala dengan satu ekor. Kedua kepala tersebut dapat berukuran serupa atau berbeda. Pada penelitian ini tingkat kejadian double head ditemukan paling sedikit dari abnormalitas jenis lainnya, yaitu sebesar 0.01%. Kejadian ini pernah dilaporkan pada babi yang menderita demam (pyrexia) (Kojima 1973). Penyebab utama kejadian ini adalah abnormalitas pada saat proses miosis spermatogenesis (Zukerman et al. 1986).

Abaxial merupakan bentuk abnormalitas dimana posisi ekor spermatozoa tidak terletak dibagian tengah. Ekor yang seharusnya terletak menempel pada bagian tengah kepala, bergeser ke arah samping dengan membentuk fosa implantasi baru sebagai tempat pertautan ekor. Pada penelitian yang dilakukan, abnormalitas abaxial ditemukan sebesar 0.13%. Menurut Barth (1989) abnormalitas abaxial merupakan gambaran normal yang biasa ditemukan pada semen kuda dan babi, cenderung bersifat genetik, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap fertilitas (Barth & Oko 1989), sehingga dikatagorikan sebagai suatu bentuk variasi dari spermatozoa normal pada sapi (Barth 1989).

Knobbed acrosome (KA) defect. merupakan kelainan yang terjadi pada bagian akrosom spermatozoa, dimana bentuk kepala tidak mulus tetapi seperti ada lekukan ke arah dalam atau ke arah luar. Barth (1986) pernah melaporkan persentase KA defect yang sangat tinggi yaitu 25-100% pada 16 dari 2054 ekor sapi potong serta pada bangsa Charolais. Sebelumnya Donald dan Hancock (1953) melaporkan bahwa KA defect yang tinggi pada FH berhubungan erat dengan autosomal seks resesif.

Kelainan ini disebabkan oleh berlebihnya matriks akrosomal dan pelipatan bagian akrosom sampai ke bagian apeks dari kepala spermatozoa dan kejadian disebabkan keterlambatan pembentukkan fase akrosomal saat spermiogenesis (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas KA defect ditemukan sebesar 0.16%, angka ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu 0.2% (Al-Makhzoomi et al. 2008) tetapi lebih rendah dari laporan

(6)

Söderquist et al. (1996) sebesar 0.8% pada jenis sapi yang sama. Menurut Chenoweth (2005) peningkatan KA defect pada semen sapi pejantan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Detached head adalah keadaan dimana kepala spermatozoa patah atau sampai terlepas dari bagian leher dan ekor. Pada penelitian ini abnormalitas detached head sebesar 0.02%. Penelitian yang dilakukan oleh Söderquist et al. (1996) pada sapi perah Swedia melaporkan jumlah yang lebih tinggi, yaitu 1.6%. Kejadian detached head biasanya dihubungkan dengan hipoplasia testikular, akan tetapi apabila ditemukan dalam jumlah tinggi dapat disebabkan oleh pengaruh genetik (Barth & Oko 1989).

Diadem merupakan jenis abnormalitas spermatozoa dimana terlihat seperti ada lubang-lubang yang ditemukan di daerah nukleus posterior sampai apikal akrosom, batas selubung acrosome atau diseluruh kepala spermatozoa, akan tetapi lebih sering terdapat pada bagian apeks nukleus yang disebabkan invaginasi membran nuklear ke dalam nukleoplasma. Lubang tersebut juga terlihat sebagai sebuah kantung, sehingga beberapa peneliti menamakan diadem dengan pouches, craters dan nuclear vacuoles (Barth & Oko 1989). Pada penelitian ini, abnormalitas diadem ditemukan sebesar 0.18%. Hasil ini hampir sama dengan yang ditemukan pada sapi perah Swedia yaitu sebesar 0.1% sampai dengan 0.2% (Söderquist et al. 1996; Al-Makhzoomi et al. 2008).

Menurut Barth dan Oko (1989) jumlah spermatozoa dengan kelainan diadem ini dapat meningkat akibat stress karena cedera, kekurangan pakan, kondisi iklim yang ekstrim, serta beberapa kondisi lain yang tidak mendukung. Abnormalitas jenis diadem cenderung menyebabkan infertilitas, pejantan yang mempunyai fertilitas yang rendah ternyata pada semennya ditemukan abnormalitas diadem >80% (Miller et al. 1982).

Berdasarkan hasil penelitian maka abnormalitas primer spermatozoa secara umum dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dada et al. (2001) menyatakan abnormalitas spermatozoa akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap proses pembuahan. Ada dua kemungkinan yang terjadi terhadap kemampuan fertilitas seekor pejantan dengan persentase abnormalitas spermatozoa yang tinggi, pertama spermatozoa tidak dapat mencapai tempat

(7)

fertilisasi dan kedua spermatozoa tidak dapat membuahi sel telur atau mempertahankan perkembangan tahap awal embrio (Chenoweth 2005).

Selain itu ditemukan juga beberapa abnormalitas primer spermatozoa yang apabila ditemukan tinggi di dalam semen akan dapat menurunkan fertilitas, akan tetapi abnormalitas morfologi spermatozoa dan fertilitas berbeda-beda antar bangsa (Al-Makhzoomi et al. 2007).

Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Potong Berdasarkan Umur Sapi

Berdasarkan bangsa sapi potong dan sebaran umur dari kelompok sapi dengan jumlah sampel lebih dari 10 ekor, ternyata tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditemukan pada sapi-sapi yang berumur sembilan tahun ke atas yaitu pada sapi Simmental, Limousine dan Bali berturut-turut adalah 7.93, 7.49 dan 2.35%, sedangkan pada sapi Brahman ditemukan pada umur dua tahun (3.30%). Tetapi ditemukan juga tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% pada umur kurang dari sembilan tahun (Tabel 4).

Tingkat abnormalitas primer spermatozoa sapi Simmental yang berumur ≥9 tahun berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 2-3 tahun tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur 4-6 tahun. Akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang berumur ≥9 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan 4-6 tahun. Pada sapi Limousine berumur ≥9 tahun, tingkat abnormalitas primer spermatozoa berbeda nyata (p<0.05) dengan umur 3-4 tahun. Pada sapi Brahman umur 2, 6 dan 9 tahun keatas serta Bali yang berumur 3, 4, 6 dan 9 tahun keatas, masing-masing tidak berbeda nyata (p>0.05).

Tingginya abnormalitas primer spermatozoa pada sapi-sapi Simmental, dan Limousine yang berumur ≥9 tahun dapat disebabkan oleh terjadinya degenerasi sel pada saluran reproduksi jantan karena pengaruh penuaan. Sebelumnya Dowsett dan Knott (1996) melaporkan terjadinya peningkatan abnormalitas spermatozoa pada kuda berumur >11 tahun yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan proses spermatogenesis dan fungsi epididimis. Pernyataan ini diperkuat oleh Söderquist et al. (1996) bahwa terdapat pengaruh umur yang sangat signifikan terhadap abnormalitas primer spermatozoa dan total abnormalitas spermatozoa. Al-Makhzoomi et al. (2007) menyatakan bahwa

(8)

tingkat abnormalitas primer spermatozoa >10% akan dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Oleh karena itu sangat tepat jika batasan umur penggunaan pejantan untuk produksi semen beku di Indonesia telah ditetapkan antara umur 6-7 tahun (Dirjennak 2007).

Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi Brahman dan sapi Bali kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah sampel yang diamati pada masing-masing umur sapi-sapi tersebut.

Tabel 4 Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada empat bangsa sapi potong berdasarkan sebaran umur

Bangsa Umur (tahun) Jumlah (ekor) Abnormalitas [mean± SEM (%)] (Range %) 2 15 2.76±0.49c 1.0-7.4 3 12 3.52±0.76bc 1.0-10.8 4 6 5.33±1.65abc 1.6-13.8 5 9 5.87±1.37 abc 2.0-14.4 6 7 6.20±2.03ab 1.0-15.6 Simmental ≥9 9 7.93±1.08a 4.2-13.4 3 11 2.51±0.58b 0.6-5.6 4 4 1.15±0.45b 0.4-2.4 Limousine ≥9 7 7.49±1.97a 2.6-16.8 2 2 3.30±1.70a 1.6-5.0 6 2 1.50±0.10a 1.4 -1.6 Brahman ≥9 3 2.60±0.12a 2.4–2.8 3 4 1.40±0.74a 0.4-3.6 4 2 1.20±0.40a 0.8-1.6 6 4 1.30±0.17a 1.0-1.8 Bali ≥9 4 2.35±0.46a 1.2-3.4

Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05) Pada penelitian ini tingginya abnormalitas primer spermatozoa yang ditemukan pada sapi Brahman berumur dua tahun mungkin dipengaruhi oleh jumlah sampel pada sapi Brahman tersebut. Jumlah sampel pada masing-masing umur berkisar antara 2-3 ekor. Ditemukannya tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi pada pejantan umur produksi 3-5 tahun telah diprediksi sebelumnya, dikarenakan sapi-sapi pejantan yang terdapat di BIB, hampir tidak

(9)

dilakukan evaluasi abnormalitas spermatozoa sebelumnya. Adanya pengaruh genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan, memungkinkan abnormalitas spermatozoa dapat ditemukan pada umur yang lebih muda.

Kejadian abnormalitas spermatozoa juga tidak berhubungan dengan penampilan kesehatan secara umum, sehingga tidak mudah dideteksi tanpa melalui analisis semen di laboratorium. Penelitian yang dilakukan oleh Miller et al. (1982) menemukan bahwa tingginya abnormalitas spermatozoa terkadang tidak ditunjukkan oleh adanya perubahan anatomi atau gangguan fungsional organ reproduksi, akan tetapi menunjukkan tingkat fertilitas yang rendah.

Karakteristik Abnormalitas Primer Spermatozoa Pada Sapi Perah Berdasarkan Umur Sapi

Pengamatan abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur (Gambar 5), dimana jumlah sampel dari masing-masing kelompok, yaitu umur 2 tahun 3 ekor, 3 tahun 14 ekor dan 9 tahun keatas 2 ekor. Hasil analisis menunjukkan abnormalitas primer spermatozoa tertinggi pada umur 2 tahun (6.53%) dan terendah pada umur 3 tahun (2.24%). Berdasarkan analisis sidik ragam, tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada sapi perah umur 2 tahun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan umur ≥9 tahun, akan tetapi tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada umur 2 tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur 3 dan ≥9 tahun.

6.53 2.24 2.4 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 1 2 3 Um ur (tahun) A b n o rm al it as ( % )

Gambar 5 Abnormalitas primer sapi perah di BIB Indonesia Keterangan ; 1= umur 2 thn, 2=umur 3 thn, 3=umur ≥9 thn

(10)

MenurutAl-Makhzoomi et al. (2008) menemukan adanya korelasi antara abnormalitas primer spermatozoa >10% dengan fertilitas pada sapi perah Swedia. Pada penelitian ini, abnormalitas primer spermatozoa secara individu ditemukan sebesar 18.2% pada pejantan umur 2 tahun. Tingginya abnormalitas primer spermatozoa umur 2 tahun menunjukkan adanya kemungkinan abnormalitas primer dapat terjadi pada umur muda. Selain itu abnormalitas individu seekor pejantan juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti stress (Barth & Oko 1989; Söderquist et al. 1996), genetik dan gangguan pada tubuli seminiferi (Barth & Oko 1989). Secara umum pejantan di BIB dipelihara dengan nutrisi pakan, perkandangan dan perawatan kesehatan yang baik, serta telah melalui tahapan seleksi yang cukup ketat, sehingga sudah selayaknya abnormalitas primer spermatozoa ditemukan dalam jumlah rendah.

Ditemukannya individu yang diproduksi semennya dengan abnormalitas primer lolos dalam proses produksi dan distribusi menunjukkan pengamatan morfologi spermatozoa penting dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya penelitian yang menemukan abnormalitas primer spermatozoa >10% berkorelasi dengan fertilitas, diantaranya pada anjing (Freshman 2002) dan pada sapi perah (Al-Makhzoomi et al. 2007; Al-Makhzoomi et al. 2008). Selain itu juga akan menurunkan keberhasilan program inseminasi buatan (Sarder 2004; Saacke 2008).

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pengaruh peningkatan umur terhadap tingginya abnormalitas primer spermatozoa, meskipun menurut Söderquist et al. (1996) terdapat korelasi antara peningkatan umur dengan jumlah abnormalitas primer spermatozoa. Hal ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel pada umur ≥9 tahun, sehingga tidak memperlihatkan adanya korelasi tersebut.

Jumlah dan Jenis Abnormalitas Primer Spermatozoa Berdasarkan Bangsa Sapi

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (p>0.05), jumlah abnormalitas primer spermatozoa pada lima bangsa sapi (jumlah sampel lebih >10 ekor), dimana jumlah abnormalitas masing-masing untuk Simmental, Limousine, FH, Brahman dan Bali berturut-turut adalah 4.58±0.75, 3.56±1.22, 2.65±1.12, 2.60±1.01 dan 1.85±0.64%. Berdasarkan jenis abnormalitas primer spermatozoa,

(11)

bentuk pearshape merupakan jumlah yang paling banyak (p<0.05) ditemukan pada setiap bangsa sapi dan bentuk pearshape pada Simmental tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan Limousine serta Brahman, akan tetapi lebih tinggi (p<0.05) jika dibanding dengan Bali dan Friesian Holstein. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara 12 jenis abnormalitas primer spermatozoa lainnya (Tabel 5).

Tabel 5 Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan

Bangsa Sapi Jenis Abnormalitas Bali (n=22) Simmental (n=70) Limousine (n=30) Brahman (n=12) FH (n=22) Rataan Pearshape 0.87±0.23bA 2.81±0.36aA 2.13±0.67abA 1.38±0.46abA 0.86±0.22bA 2.02±0.22 Narrow at the base 0.05±0.03bB 0.51±0.10aB 0.26±0.07abB 0.10±0.04bB 0.29±0.14abBC 0.34±0.05 Narrow 0.17±0.04bB 0.20±0.03bC 0.15±0.03bB 0.10±0.06bB 0.42±0.14aB 0.21±0.03 Abnormal contour 0.14±0.10aB 0.17±0.02aC 0.06±0.03aB 0.08±0.04aB 0.19±0.12aBC 0.14±0.03 Underdevelope 0.06±0.02aB 0.17±0.05aC 0.27±0.09aB 0.03±0.02aB 0.16±0.12aBC 0.16±0.03 Round head 0.01±0.01aB 0.07±0.03aC 0.11±0.05aB 0.03±0.03aB 0.04±0.02aC 0.06±0.02 Macrocephalus 0.04±0.02bB 0.01±0.01bC 0.03±0.01bB 0.10±0.06aB 0.06±0.02abC 0.03±0.01 Microcephalus 0.05±0.02aB 0.16±0.04aC 0.09±0.03aB 0.08±0.03aB 0.15±0.12aBC 0.12±0.02 Double head 0.01±0.01aB 0.01±0.01aC 0.01±0.01aB 0.00±0.00aB 0.03±0.02aC 0.01±0.00 Abaxial 0.15±0.07abB 0.11±0.03bC 0.07±0.03bB 0.30±0.11aB 0.13±0.07bBC 0.13±0.02 KA defect 0.15±0.05aB 0.13±0.04aC 0.20±0.12aB 0.15±0.04aB 0.17±0.04aBC 0.16±0.03 Detached head 0.00±0.00aB 0.02±0.01aC 0.04±0.03aB 0.00±0.00aB 0.01±0.01aC 0.02±0.01 Diadem 0.14±0.04aB 0.21±0.04aC 0.14±0.06aB 0.23±0.12aB 0.14±0.07aBC 0.18±0.03 Total 1.85±0.64a 4.58±0.75 a 3.56±1.22 a 2.60±1.01 a 2.65±1.12 a

Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM (%); Huruf kecil untuk baris dan huruf kapital untuk kolom ; Huruf berbeda mengikuti angka pada kolom dan baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Jenis abnormalitas spermatozoa pearshape pada sapi Simmental berbeda nyata (p<0.05) dengan sapi Bali dan FH, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Limousine dan Brahman. Namun demikian abnormalitas primer spermatozoa pearshape sapi Limousine dan Brahman tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan sapi Bali dan Friesian Holstein.

Abnormalitas pearshape merupakan jenis yang lebih sering ditemukan pada semen seekor pejantan. Sarder (2004) pada sapi-sapi perah di Bangladesh, melaporkan abnormalitas pearshape berkisar antara 0.35±0.2% sampai dengan 0.93±0.1%, sedangkan Al-Makhzoomi et al. (2008) pada sapi-sapi perah Swedia berkisar antara 1.2±0.6-20.7±5.5%. Barth dan Oko (1989) menyatakan bahwa

(12)

abnormalitas pearshape biasa ditemukan dalam jumlah kecil pada semen sapi pejantan dengan fertilitas yang baik.

Tingginya abnormalitas pearshape pada individu pejantan harus ditindak lanjuti dengan evaluasi berkala dan pengamatan yang intensif mengingat laporan penelitian sebelumnya oleh Barth dan Oko (1989), jenis abnormalitas ini dapat menurunkan fertilitas apabila ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi. Pendapat tersebut diperkuat oleh Al-Makhzoomi et al. (2008) yang menemukan korelasi negatif abnormalitas pearshape terhadap tingkat fertilitas.

Pada kebanyakan kasus abnormalitas spermatozoa bentuk pearshape, disebabkan oleh kondisi abnormal akibat perubahan fungsi testis, seperti gangguan pengaturan temperatur testis atau gangguan hormonal (Barth & Oko 1989). Beberapa peneliti melaporkan kelainan ini bersifat genetik (Barth et al. 1992; Chenoweth 2005). Tingginya perbedaan abnormalitas spermatozoa pearshape pada berbagai jenis sapi dapat disebabkan oleh tingginya variasi jumlah sampel yang diamati, seperti keseragaman umur, lingkar skrotum, bangsa sapi dan berat badan, hal ini dapat terlihat dari tingginya ragam hasil.

Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antara bos taurus dan bos indicus

Sapi-sapi yang ada dibalai IB Indonesia, selain sapi bali (bos sondaicus) terdapat sapi-sapi bukan asli Indonesia seperti Bos taurus (FH, Simmental, Limousine dan Angus) dan Bos indicus (Brahman dan Ongole). Sapi-sapi tersebut didatangkan untuk tujuan meningkatkan kualitas genetik.

Pada penelitian ini, berdasarkan pengelompokkan B.taurus meliputi Simmental, Limousine, Angus dan FH sebanyak 34 ekor sedangkan B.indicus hanya berasal dari Brahman sebanyak delapan ekor (Tabel 6). Dari hasil tersebut, tanpa membedakan umur, abnormalitas primer spermatozoa sapi B.taurus lebih tinggi (6.81%) dibandingkan dengan B.indicus (3.13%). Hasil sidik ragam tingkat abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan B.taurus dan B.indicus terdapat perbedaan nyata (p<0.05) dimana tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada B.taurus lebih tinggi dibandingkan dengan B.indicus, hasil ini menguatkan laporan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sarder (2004), yang juga menemukan perbedaan yang nyata tingkat abnormalitas primer dan

(13)

total abnormalitas spermatozoa antara sapi Friesian (B.taurus) dan sapi Sahiwal (B.indicus). Sebelumnya Söderquist et al. (1996) telah melaporkan adanya pengaruh bangsa dan umur terhadap tingkat abnormalitas spermatozoa.

Tabel 6 abnormalitas primer spermatozoa berdasarkan bos taurus dan bos indicus No. Jenis sapi Jumlah (ekor) Total abnormalitas (%)

Bos Taurus 34 6.81±0.79a 1 Range (1.4-18.2) Bos Indicus 8 3.13±0.76b 2 Range (1.4-7.6) Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM (%)

Huruf yang sama mengikuti angka pada lajur yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hansen (2004) menemukan sapi-sapi dari golongan B.indicus mempunyai daya tahan selular terhadap peningkatan temperatur dibandingkan dengan B.taurus, sehingga heat stress tidak begitu berpengaruh terhadap B.indicus dibandingkan dengan B.taurus. Setchell (1978), diacu dalam Hansen (2004) menyatakan heat stress dapat meningkatkan temperatur testis, sehingga lebih lanjut berakibat mengganggu proses spermatogenesis. Brito et al. (2004) membandingkan antara anatomi testis antara B.indicus dan B.taurus hasilnya ternyata B.indicus mempunyai arteri testis yang lebih panjang dengan ketebalan jarak dinding arteri dan vena lebih tipis serta lebih dekat, sehingga proses termoregulatoris testis dapat lebih baik sehingga temperatur testis lebih rendah dibandingkan dengan B.taurus.

Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Antar BIB

Sampel semen sapi pejantan dari beberapa BIB yang dipergunakan untuk melakukan pengamatan abnormalitas primer spermatozoa berasal dari sapi-sapi yang berumur 5.4±3.0 tahun. Dari 164 sampel semen yang diamati 11 ekor (6.7%) menunjukkan abnormalitas spermatozoa primer >10% terdiri atas sapi potong 10 ekor dan sapi FH 1 ekor. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa tertinggi ditunjukkan oleh BIB H (8.57%), sedangkan terendah ditunjukkan oleh BIB A (1.58±%) (Tabel 7).

(14)

Tabel 7 abnormalitas primer spermatozoa antar BIB

BIB Jumlah sample (ekor) Abnormalitas (%) Kisaran (%)

A 10 1.58 ± 0.94e 0.4-3.4 B 23 4.70 ± 4.34abcd 0.8-18.2 C 66 2.67 ± 2.09de 0.2-12.0 D 4 6.80 ± 3.29abc 3.4-10.0 E 7 4.46 ± 3.96bcde 1.2-13.0 F 4 7.95 ± 10.63ab 1.2-10.8 G 13 2.48 ± 2.50de 0.2-8.2 H 7 8.57 ± 5.03a 2.2-16.8 I 10 5.60 ± 4.58abcd 1.2-15.6 J 6 2.48 ± 2.96de 0.4-8.0 K 5 2.88 ± 2.19cde 1.2-6.0 L 3 2.13 ± 0.99de 1.0-2.8 M 3 5.40 ± 6.25abcde 1.4-12.6 N 3 1.73 ± 0.46de 1.2-2.0

Nilai dinyatakan sebagai mean±SEM

Huruf berbeda mengikuti angka pada lajur yang sama berbeda nyata (P<0.05)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat abnormalitas antara balai inseminasi buatan. Tingkat abnormalitas primer spermatozoa BIB H berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan BIB A, C, E, G, J, K, L, dan N. Selanjutnya tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan BIB B, D, F, I dan M, namun tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada BIB H masih lebih tinggi dari BIB tersebut.

Dari hasil penelitian ini ditemukan 42.85% BIB memiliki sapi-sapi dengan tingkat abnormalitas primer spermatozoa ≥10%. Kondisi ini dapat disebabkan karena pengamatan morfologi spermatozoa saat evaluasi semen tidak dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena evaluasi morfologi spermatozoa belum secara tegas disampaikan pada petunjuk teknis pengawasan mutu semen beku sapi dan kerbau, ataupun yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4869.1-2005) yang merupakan peraturan dari Direktur Jenderal Peternakan (Dirjennak)(BSN 2005). Padahal jika dicermati di dalam SNI tersebut telah tercantum sumber pustaka yang menyebutkan bahwa tingkat abnormalitas spermatozoa sapi harus kurang dari 20%. Sebab lain adalah keterbatasan Sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan evaluasi tersebut.

(15)

Ditemukannya abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi pada sapi yang dikoleksi semennya untuk produksi semen beku, menunjukkan terdapatnya semen beku (straw) yang diproduksi dan didistribusi mempunyai abnormalitas primer spermatozoa. Penemuan tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi di BIB ini, menunjukkan sudah saatnya evaluasi morfologi abnormalitas spermatozoa dilakukan dan dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi semen pada petunjuk teknis produksi semen beku. Menurut Al-Makhzoomi et al. (2008) evaluasi morfologi spermatozoa pada pejantan di BIB sangat penting dilakukan secara rutin (setiap 2 sampai dengan 3 bulan sekali untuk melihat pengaruh nyata perubahan musim) sehingga dapat diketahui setiap kemungkinan terjadinya abnormalitas spermatozoa.

Seharusnya evaluasi morfologi spermatozoa dilakukan saat pejantan untuk pertama kali memasuki BIB, jika ada perubahan dalam komposisi pakan atau jika sapi tersebut sakit dengan suhutinggi dalam waktu yang lama. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka kemungkinan semen dari pejantan dengan abnormalitas yang tinggi akan diproduksi dan strawnya akan distribusikan, sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi keberhasilan inseminasi serta menurunkan kualitas pedet yang dilahirkan dan akan mempengaruhi peningkatan populasi ternak.

Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya produksi semen beku dari pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas tinggi, perlu dilakukan program seleksi pejantan yang lebih ketat dan juga peningkatan kualitas SDM yang bekerja di balai inseminasi buatan. Program seleksi dapat mengacu pada standar-standar yang telah dipergunakan diberbagai negara dengan tingkat keberhasilan IB yang tinggi, diantaranya melalui metode BSE dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi ternak sapi di Indonesia.

Dari paparan diatas secara keseluruhan tanpa melihat faktor individu, tingkat abnormalitas primer spermatozoa masih tergolong rendah dan semen umumnya layak untuk diproduksi. Tetapi secara individu terlihat ada 11 ekor yang seharusnya tidak digunakan sebagai sumber bibit, mengingat tujuan inseminasi buatan adalah untuk meningkatkan kualitas genetik dan efisiensi reproduksi pejantan (Ax et al. 2000; Foote 2002), sehingga sapi-sapi dengan

(16)

tingkat abnormalitas primer spermatozoa yang tinggi harus dikeluarkan dari balai inseminasi buatan.

Korelasi Tingkat Abnormalitas Primer Spermatozoa Terhadap Fertilitas

Angka konsepsi (CR) adalah jumlah sapi yang bunting dari hasil inseminasi yang pertama dinyatakan dalam bentuk persen. Pada penelitian ini hasil inseminasi pada 186 ekor betina dari delapan ekor pejantan terdapat korelasi negatif sebesar (r = -0.95, p<0.05) (Gambar 6).

Terdapatnya korelasi negatif antara tingkat abnormalitas primer dengan CR ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat abnormalitas pada semen sapi tersebut, maka ada kecenderungan terjadi penurunan conception rate. Pada penelitian ini tidak membedakan jenis kelainan abnormalitas. Al Makhzoomi et al 2008 melaporkan adanya korelasi negatif abnormalitas primer spermatozoa terhadap fertilitas (r = -0.23, p<0.05) akan tetapi dengan parameter yang berbeda pada penelitian ini menggunakan CR sedangkan peneliti tersebut menggunakan non return rate (NRR) yaitu jumlah sapi-sapi yang tidak kembali minta kawin sampai dengan umur 56 hari setelah inseminasi, sehingga nilai korelasinya berbeda. 25 30 35 40 45 50 55 60 0 1 2 3 4 5 Tingkat Abnormalitas (%) Ni la i CR (% ) ,048 0-3 >3-6 >6-9 >9 r = - 0,952, p Value = 0

Gambar 6 korelasi tingkat abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas

Kelainan pada kepala spermatozoa akan mempengaruhi kemampuan spermatozoa untuk melakukan fertilisasi, atau kemungkinan fertilisasi dengan sel telur dapat terjadi akan tetapi selanjutnya tidak dapat berkembang membentuk

(17)

embrio lebih lanjut (Hawk 1988). Dengan alasan inilah, maka nilai CR dijadikan sebagai dasar untuk mengukur korelasi abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas.

Al-Makhzoomi et al. (2008), melaporkan korelasi antara jenis morfologi yang ditemukan dengan fertilitas. Hasilnya ternyata terdapat korelasi negatif abnormalitas spermatozoa pearshape (r = -0.55, p<0.01), loose head (r = -0.32, p<0.01), double coiled tails (r = -0.21, p<0.05) dan variable size (r = -0.27, p<0.05). Sebelumnya Al Makhzoomi et al. (2007) juga telah melaporkan korelasi negatif antara morfologi spermatozoa abnormal pada kepala dengan fertilitas, umummnya terjadi pada tingkat abnormalitas diatas 10%.

Sedikitnya jumlah betina dalam pengujian korelasi abnormalitas primer spermatozoa dengan fertilitas ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh data dilapangan. Sebenarnya dari BIB sudah ada kerjasama operasional (KSO) dengan pengguna (pemerintah daerah, koperasi pegawai negeri dan pihak swasta) akan tetapi kenyataannya dilapangan pencatatan keberhasilan IB tidak dilakukan, sehingga peneliti kesulitan untuk mendapatkan data fertilitas.

Selain itu juga beberapa inseminator belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi kebuntingan sehingga pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan oleh orang yang berbeda. Perbedaan petugas dan tidak tertibnya pencatatan dilapangan ini menyebabkan sulitnya penghitungan angka konsepsi dari betina sebagai akseptor IB dengan menggunakan semen beku yang telah teruji morfologinya pada penelitian sebelumnya Sulitnya mencari data keberhasilan program inseminasi ini juga telah dilaporkan oleh Prasojo et al. (2010), dimana hasil penelitiannya menunjukkan hanya 7.43% data hasil IB yang lengkap.

Oleh karena itu, untuk ke depannya akan menjadi suatu catatan khusus bagi penyelenggaraan program tentang pentingnya pencatatan kegiatan, sehingga tolak ukur keberhasilan IB dapat dilihat secara nyata dan penelitian terhadap keberhasilan pelaksanaan dilapangan dapat dilakukan.

Gambar

Tabel 3  Jenis Sapi Pejantan pada 13 BIB dan 1 laboratorium IB
Gambar 4 Bentuk normal dan abnormalitas primer spermatozoa (Pewarnaan Williams)
Tabel 4  Tingkat abnormalitas primer spermatozoa pada empat bangsa sapi potong        berdasarkan sebaran umur
Tabel 5 Jenis abnormalitas primer spermatozoa pada sapi pejantan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sudah terdapat beberapa penelitian yang meniliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi audit judgment seperti Wijayatri (2010) yang menunjukkan bahwa kompleksitas

Dalam penelitian ini, dilakukan analisa secara analitis, numerik dan eksperimen model SPAR (skala 1:125) di laboratorium Hidrodinamika ITS dalam kondisi free floating

ada di Desa Bangunsari Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna dapat dilihat dari hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pengusaha maupun buruh mebel yaitu: 1. Hak dan

BANGKOK - Bagi memahami senario pertanian di negara lain yang lebih kurang sama iklimnya serta gunatanah untuk pertanian, seramai 25 pelajar Master Pengurusan Sumber

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

dengan judul “ IDENTIFIKASI KANDUNGAN HEMISELULOSA, SELULOSA DAN LIGNIN BEBERAPA PADI LOKAL DAN PREFERENSI OLEH WERENG BATANG COKLAT ” sebagai salah satu syarat untuk

Dengan menggunakan analisis tersebut, hasil penelitian menunjukan bahwa industri paper pulp berpengaruh dalam mendukung perkembangan wilayah terbukti dari struktur ekonomi yang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan mulai dilaporkan pada tahun 2005 dan setiap penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan tahunnya cenderung meningkat.. Pada