• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG UNDANG TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN - GAKUM LHK DIM DRAF RUU KEHATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UNDANG UNDANG TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN - GAKUM LHK DIM DRAF RUU KEHATI"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

(2)

2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR... TAHUN TENTANG

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR TAHUN

TENTANG

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

1. Menimbang: a. bahwa keanekaragaman hayati

Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kelestarian sumber

daya alam hayati dan

kesejahteraan rakyat;

Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang berlimpah dengan keanekaragaman yang tinggi, baik di darat, maupun di

perairan serta keanekaragaman

pengetahuan tradisional, sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu dari sedikit negara mega bio-kultural-diversitas di dunia.

Sumber daya alam hayati tersebut merupakan sumber daya strategis

karena menyangkut ketahanan

nasional, dikuasai oleh negara yang diatur pengelolaannya secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya

2. b. bahwa keanekaragaman hayati

(3)

secara optimal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan umat manusia pada masa kini maupun masa depan;

kesejahteraan masyarakat Indonesia bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Walaupun keanekaragaman hayati di Indonesia berlimpah, namun sumber daya alam hayati tersebut tidak tak terbatas dan mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara

berlebihan akan mengancam

keberadaan sumber daya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu

akan dapat memusnahkan

keberadaannya.

Keanekaragaman hayati tersebut, terdapat pada tiga tingkatan yaitu keanekaragaman ditingkat ekosistem, spesies (jenis) dan genetik. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama keanekaragaman hayati tersebut mempunyai fungsi sebagai sistem

penyangga kehidupan, dimana

ekosistem, spesies, dan genetik mampu

menghasilkan dan memenuhi

kebutuhan dasar hidup manusia. Dengan demikian pengaturan tindakan konservasi termasuk pelindungan merupakan inti perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Guna terjaminnya kelestarian

3. c. bahwa sumber daya genetik,

spesies, dan ekosistem pada dasarnya saling tergantung satu

dengan lainnya sehingga

kerusakan dan kepunahan salah

satu unsur akan berakibat

terganggunya ekosistem;

4. d. bahwa untuk menjaga agar

pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan

langkah-langkah konservasi

dengan mempertimbangkan

pengetahuan tradisional dan berdasarkan strategi konservasi yang berlaku secara universal;

5. e. bahwa Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya belum menampung dan mengatur secara menyeluruh

mengenai konservasi

keanekaragaman hayati, serta

tidak sesuai lagi dengan

(4)

4

6. f. bahwa berdasarkan pertimbangan

sebagaimana dimaksud pada

huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk

Undang-Undang tentang

Konservasi Keanekaragaman

Hayati.

manfaat keanekaragaman hayati bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu dilakukan tindakan konservasi keanekaraman hayati. Tindakan konservasi tersebut berupa pengelolaan keanekaragaman hayati secara bijaksana dengan tetap

menjaga keseimbangan antara

pemanfaatan dan pelindungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Pengaturan tindakan konservasi keanekaragaman hayati diharapkan mampu menjamin kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan sumber daya alam hayati, kelestarian sumber daya alam hayati, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan sumber daya alam hayati, serta terjaminnya distribusi manfaat secara adil dan berkelanjutan.

Dewasa ini telah ada

Undang-Undang yang mengatur tentang

konservasi yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini telah berumur hampir 25 tahun, dan selama masa tersebut telah mampu menjadi dasar penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Namun demikian dalam tenggang waktu tersebut telah 7.

8. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) dan (4) Undang-Undang dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai

Keanekaragaman Hayati

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1994 Nomor 41,

Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3556);

(5)

Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati)

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2013 Nomor 73,

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5412).

terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam penyelenggaraan konservasi.

Lingkungan strategis

internasional, telah banyak mengalami

perubahan tercermin dalam

kesepakatan internasional mengenai prinsip pembangunan berkelanjutan, Millenium Development Growths (MDGs), kesepakatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan lain lain. Perubahan tersebut telah mendorong dibangunnya upaya bersama untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip pertumbuhan hijau atau dikenal juga dengan ekonomi hijau, dimana pembangunan diarahkan untuk menjamin kehidupan manusia dan terselenggaranya keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis, serta kelangkaan sumber daya alam hayati dengan emisi rendah karbon dan pemanfaatan efisien sesuai dengan daya dukung lingkungan.

(6)

6

menonjol adalah berubahnya sistem pemerintahan RI dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan perubahan ini sebagain besar penyelenggaraan pembangunan termasuk pembangunan yang berkaitan dengan sumber daya alam telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan telah ditetapkan prinsip concurrency dengan memperhatikan eksternalitas, dampak serta efisiensinya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi seperti taman nasional secara tegas memang masih

menjadi kewenangan Pemerintah

(pusat); sedang kegiatan lainnya termasuk konservasi diluar kawasan hutan negara seharusnya menjadi kewenangan daerah.

Disamping berubahnya sistem pemerintahan, perubahan yang juga menonjol di tingkat nasional adalah reformasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik, pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, serta menguatnya kelembagaan masyarakat adat, menguatnya peran DPR/DPRD dan DPD serta peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendorong arah pembangunan ke depan.

(7)

dan masyarakat serta keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat dalam pengurusan konservasi di

Indonesia tanpa mengorbankan

konservasi sumber daya alam itu sendiri.

Kondisi di atas, serta

memperhatikan tantangan ke depan

seperti menguatnya tekanan

masyarakat terhadap kawasan

konservasi, meningkatnya jumlah penduduk yang memerlukan percepatan

pembangunan di segala sektor

memerlukan legislasi nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang perlu

untuk mengganti Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan undang-undang yang dapat memberi jaminan

yang lebih kokoh dalam

penyelenggaraan konservasi

keanekaragaman hayati.

Undang-Undang ini disusun

sebagai jawaban terhadap kondisi di

atas dengan memperhatikan

(8)

8

kehidupan tetapi manusia harus menjaga kelestarian keanekaragaman hayati demi kelangsungan hidupnya

atau pada setiap kegiatan

pembangunan harus selalu menjamin terjadinya harmonisasi hubungan antara kehidupan manusia dengan alam dan budayanya.

Konservasi keanekaragaman

hayati dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 meliputi tiga aspek utama yaitu, yang didasarkan pada Strategi Konservasi Dunia. Sesuai dengan Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi berbagai kegiatan seperti:

a. perlindungan ekosistem, jenis dan genetik yang merupakan kegiatan perlindungan penyangga kehidupan;

b. penetapan status perlindungan jenis dan kawasan dan larangan; serta

c. pengaturan akses dan kelembagaan terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menggunakan istilah pengawetan dalam kegiatan penetapan status perlindungan jenis dan kawasan serta larangannya, dalam UU ini pengawetan tidak lagi

(9)

utamanya adalah perlindungan, disamping itu penggunaan istilah pengawetan memberi konotasi yang terbatas dan statis.

Pengaturan konservasi

keanekaragaman hayati kedepan

diharapkan mampu:

a. mencegah kerusakan atau

kepunahan serta menjamin

kelestarian fungsi dan manfaat

keanekaragaman hayati bagi

keberlangsungan sistem penyangga kehidupan;

b. meningkatnya luasan jaringan

kawasan konservasi, serta

kesejahteraan satwa liar;

c. meningkatkan koordinasi lintas sektor bagi keberhasilan konservasi, serta semakin efektifnya kegiataan koordinasi di bawah sekretariat

nasional konservasi bagi

pembangunan;

d. mengatur kegiatan konservasi secara utuh termasuk posisinya sebagai

penentu sistem penyangga

kehidupan;

(10)

10

konservasi, meningkatnya legalitas dan penghasilan pengelolaan jasa hutan, serta terkendalinya konflik kawasan / konflik satwa;

f. mewujudkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dibidang konservasi kehati, dalam hal ini termasuk meningkatnya partisipasi

para pihak dalam kegiatan

konservasi termasuk dalam hal ini

yang berhubungan dengan

keterbatasan dana pemerintah;

g. meningkatnya keadilan dalam penegakan hukum, serta tumbuhnya efek jera bagi setiap tindakan

merusak atau yang dapat

mengganggu kelestarian kehati;

h. mengisi kekosongan hukum, antara lain dalam pengaturan konservasi genetik, kesejahteraan satwa, perlindungan wilayah konservasi bukan kawasan konservasi (seperti zona penyangga, wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi).

Pokok-pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi :

(11)

dengan kegiatan pengawetan jenis dan ekosistemnya serta perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Perlindungan keanekaragaman

hayati merupakan perlindungan unsur-unsur keanekaragaman hayati berupa genetik dan spesies yang merupakan unsur utama penyangga

kehidupan manusia. Dengan

demikian undang-undang ini tidak

secara khusus mengatur

perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Pengaturan perlindungan

keanekaragaman hayati

dimaksudkan untuk mencegah

kerusakan atau kepunahan dan menjamin kelestarian fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati

untuk menyangga kehidupan

manusia.

Perlindungan keanekaragaman

hayati meliputi penetapan status

perlindungan dan pengaturan

pengelolaan kehati.

(12)

12

lingkungan, kelestarian budaya

setempat, bermanfaat bagi

masyaratakan sekitar baik untuk kepentingan komersial maupun non komersial dengan tidak melebihi daya dukungnya.

Pemanfaatan keanekaragaman hayati meliputi pemanfaatan genetik, spesies dan ekosistem sesuai status perlindungannya dengan tidak melebihi daya dukungnya serta meliputi pengaturan terhadap

perlindungan terhadap Hak

Kekayaan Intelektual (HAKI), akses termasuk pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik, sumber spesimen dan sistem produksi.

c. pemulihan keanekaragaman hayati dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi keanekaragaman hayati yang

terdegradasi atau mengalami

kerusakan ke kondisi awal atau ke tingkat yang diinginkan.

Restorasi keanekaragaman hayati dilakukan terhadap sumber daya genetik, spesies dan ekosistem.

(13)

diharapkan akan terus tumbuh dan berkembang bagi terwujudnya tujuan konservasi. Kegiatan partisipasi antara lain kerjasama pengelolaan, pengelolaan wilayah konservasi, dan pengelolaan wilayah konservasi di luar tanah negara.

e. pendanaan mengatur

sumber-sumber dana konservasi termasuk dana hasil kerjasama kegiatan konservasi.

f. penyelesaian sengketa dimaksudkan untuk memberikan pilihan kepada pihak-pihak yang bersengketa di bidang konservasi keanekaragaman hayati. Pilihan dimaksudkan untuk

membuka kesempatan kepada

masyarakat luas untuk melakukan peyelesaian sengketa dan efektifitas penyelesaian sengketa.

Para pihak yang bersengketa dapat melakukan gugatan ke pengadilan dengan mekanisme gugatan biasa, gugatan perwakilan (class action), gugatan organisasi (legal standing), hak gugat warga negara (citizen suit).

g. pengamanan dilakukan untuk

(14)

14

hak-hak Negara, masyarakat dan perorangan terhadap sumber daya alam dan dalam upaya-upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemmnya. Petugas yang bertindak sebagai ujung tombak

pengamanan diberi wewenang

kepolisian khusus (policing) atau penyidikan.

h. kerja sama internasional merupakan tindak lanjut pengaturan konvensi international pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem. Ditujukan untuk penguatan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat internasional, regional dan nasional.

i. dicantumkannya sanksi pidana, sanksi administrasi, ganti rugi dan rampasan terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dibidang konservasi ditujukan untuk adanya efek jera bagi pelaku. Sanksi

pidana dapat berupa pidana

kurungan, denda, dan kerja sosial.

Badan hukum yang melakukan

tindak pidana diancam pidana dengan pemberatan.

(15)

konservasi diberi insentif oleh pemerintah dari hasil lelang.

9.

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

10. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN

HAYATI

11. BAB I

KETENTUAN UMUM

12. Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

Cukup Jelas

13. 1. Konservasi adalah tindakan

pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara bijaksana

dalam rangka memenuhi

(16)

16 generasi masa mendatang.

14. 2. Keanekaragaman Hayati adalah

keanekaragaman diantara

organisme hidup baik yang ada di daratan maupun di perairan beserta proses ekologisnya,

sehingga terbentuk

keanekaragaman genetik di dalam spesies, keanekaragaman di antara spesies dan keanekaragaman ekosistem.

15. 3. Sumber Daya Alam Hayati adalah

komponen-komponen

keanekaragaman hayati yang bernilai aktual maupun potensial bagi kemanusiaan.

16. 4. Konservasi Keanekaragaman

Hayati adalah tindakan

pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber dayaalam hayati dan ekosistem yang dilakukan secara bijaksana untuk

menjamin kesinambungan

keberadaan, manfaat, dan nilainya dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas

keanekaragaman untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi masa mendatang.

17. 5. Pelindungan Penyangga Kehidupan

(17)

untuk selanjutnya disebut dengan pelindungan penyangga kehidupan adalah pelindungan atas sumber daya genetik, spesies dan ekosistem.

18. 6. Genetik atau yang selanjutnya

disebut Gen, adalah satu unit fisik dan fungsional dasar dari pembawa sifat keturunan yang terdiri dari satu segmen (sekuens) DNA (Deoxyribo Nucleic Acid).

19. 7. Materi Genetik adalah materi dari

tumbuhan, satwa, dan

mikroorganisme yang mengandung unit fungsional pewarisan sifat (hereditas).

20. 8. Sumber Daya Genetik adalah

materi genetik, informasi yang terkandung di dalamnya, informasi mengenai asal-usul, dan/atau bagian-bagian dan turunan dari tumbuhan, satwa, atau jasad renik yang mengandung maupun tidak mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai nyata atau potensial yang diperoleh dari kondisi insitu dan/atau koleksi ex-situ dan yang telah didomestikasi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

(18)

18 kontinen dan zona ekonomi

eksklusif.

21. 9. Pelestarian Sumber Daya Genetik

adalah rangkaian upaya

mempertahankan keberadaan dan

keanekaragaman sumber daya

genetik dalam kondisi dan potensi

yang memungkinkan untuk

dimanfaatkan secara

berkelanjutan.

22. 10.Pemanfaatan Sumber Daya

Genetik adalah kegiatan

penelitian, pengembangan, atau pengusahaan secara berkelanjutan sumber daya genetik dan/atau derivatifnya, termasuk melalui penerapan bioteknologi.

23. 11.Masyarakat Hukum Adat adalah

(19)

24. 12.Masyarakat Lokal adalah

sekelompok orang yang telah tinggal dalam tenggang waktu yang cukup lama di suatu tempat atau daerah sehingga dapat dipandang sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya.

25. 13.Kesepakatan Bersama adalah

perjanjian tertulis berisi persyaratan dan kondisi yang disepakati antara penyedia sumber daya genetik dan pemohon akses.

26. 14.Pembagian Keuntungan adalah

kegiatan pendistribusian

keuntungan secara finansial dan/atau non-finansial yang

berasal dari penelitian,

pengembangan, komersialisasi, pemberian lisensi, atau bentuk-bentuk pemanfaatan lainnya sebagai hasil dari akses terhadap sumber daya genetik.

27. 15.Bioprospeksi adalah kegiatan

eksplorasi, ekstraksi dan

penapisan sumber daya alam hayati untuk pemanfaatan secara komersial sumber daya genetik dan biokimia yang bernilai tinggi.

28. 16.Kondisi Habitat Alami adalah

(20)

20 habitat alami, dan dalam hal

jenis-jenis terdomestikasi atau

budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang.

29. 17.Kawasan Konservasi adalah

wilayah daratan dan atau perairan yang ditetapkan oleh pemerintah dan dikelola untuk terwujudnya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem.

30. 18.Ekosistem adalah hubungan

timbal balik yang dinamis antara komunitas tumbuhan, satwa dan jasad renik dengan lingkungan

non-hayati yang saling

bergantung,pengaruh

mempengaruhi dan berinteraksi sebagai suatu kesatuan yang secara bersama-sama membentuk fungsi yang khas.

31. 19.Lingkungan Non-Hayati adalah

unsur-unsur klimatik (iklim) dan unsur-unsur edafik (tanah dan batuan).

32. 20.Bentang Alam (lansekap) adalah

mosaik geografis dari ekosistem-ekosistem atau sub-komponen

daripadanya yang saling

(21)

interaksinya mencerminkan pengaruh dari kondisi geologi, iklim, topografi, tanah, biota dan aktivitas manusia.

33. 21.Cagar Alam adalah kawasan

konservasi yang memiliki keunikan keadaan alam atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis dan/atau jenis tumbuhan tertentu.

34. 22.Suaka Margasatwa adalah

kawasan konservasi yang

mempunyai ciri khas berupa

keanekaragaman dan/atau

keunikan jenis satwa liar.

35. 23.Taman Nasional adalah kawasan

konservasi yang mempunyai

ekosistem asli yang karena karakteristiknya istimewa serta secara nasional mempunyai nilai estetika dan ilmiah yang tinggi, dikelola dengan sistem zonasi.

36. 24.Taman Buru adalah kawasan

konservasi yang secara historis

telah merupakan wilayah

perburuan tradisional, dihuni oleh jenis satwa liar atau kawasan konservasi karena pertimbangan tertentu ditetapkan dan dikelola

untuk kegiatan olah raga

(22)

22 terkendali.

37. 25.Taman Wisata Alam adalah

kawasan konservasi yang

ditetapkan yang memiliki

kekhasan fenomena alam atau gabungan fenomena alam dan budaya.

38. 26.Taman Hutan Raya adalah

kawasan konservasi yang terdiri dari hutan buatan dan hutan alam yang mewakili ekosistem setempat serta memiliki nilai-nilai estetika alam, atau nilai-nilai estetika alam yang berasosiasi dengan budaya trsadisional.

39. 27.Ekosistem Esensial adalah

ekosistem di luar kawasan konservasi yang secara ekologis

penting bagi konservasi

keanekaragaman hayati.

40. 28.Spesies adalah individu, populasi

atau agregasi semua jenis

tumbuhan atau satwa, sub spesies

tumbuhan atau satwa dan

populasi yang secara geografis terpisah.

41. 29.Populasi adalah jumlah seluruh

(23)

42. 30.Sub-Populasi adalah bagian dari

populasi yang merupakan

kelompok yang secara geografis terpisah (dipisahkan oleh batas-batas geografis) atau kelompok yang berbeda nyata yang satu sama lain tidak ada atau sedikit interaksi.

43. 31.Tumbuhan Liar adalah tumbuhan

yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.

44. 32.Satwa Liar adalah semua binatang

yang hidup di darat, dan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar baik

hidup bebas maupun yang

dipelihara oleh manusia.

45. 33.Sifat Liar adalah sifat yang melekat

pada spesies yang secara fenotip dan genotip menunjukkan keliaran (genetically wild).

46. 34.Habitat adalah lingkungan tempat

tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.

47. 35.Spesimen Tumbuhan atau Satwa

adalah fisik tumbuhan atau satwa baik hidup maupun mati termasuk

bagian-bagiannya atau

(24)

24 dikenali secara visual maupun

dengan teknologi.

48. 36.Pengetahuan Tradisional yang

berasosiasi dengan sumber rdaya genetik adalah informasi atau praktek baik secara individu maupun kolektif dari masyarakat adat atau lokal, yang bernilai potensial atau riil terkait atau berasosiasi dengan sumber daya genetik.

49. 37.Akses terhadap Sumber Daya

Genetik adalah kegiatan

memperoleh sampel atau contoh dari komponen-komponen sumber daya genetik untuk tujuan riset ilmiah, pengembangan teknologi, atau bioprospeksi, yang terkait untuk aplikasi industri atau lainnya.

50. 38.Akses terhadap Pengetahuan

(25)

atau lainnya.

51. 39.Perjanjian Transfer Materi (Material

Transfer Agreement/MTA) adalah instrumen untuk mengakses yang ditandatangani oleh lembaga penerima sebelum membawa atau

mengangkut atau

mentransportasikan komponen-komponen sumber daya genetik,

yang apabila ada dengan

menyebutkan adanya akses

terhadap pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengannya.

52. 40.Bioteknologi adalah aplikasi

teknologi yang menggunakan sistem-sistem biologis, organisme hidup atau bagian-bagian atau turunan-turunan daripadanya, untuk memodifikasi produk atau proses untuk tujuan tertentu.

53. 41.Menteri adalah menteri yang

diserahi tugas dan tanggung jawab

di bidang konservasi

keanekaragaman hayati.

54. Pasal 2

Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan berdasarkan asas:

(26)

26

berkelanjutan; kelestarian adalah usaha

pengendalian/pembatasan dalam

pemanfaatan sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya sehingga

pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang.

Yang dimaksud dengan Asas

kemanfaatan yang berkelanjutan

adalah bahwa penyelenggaraan

konservasi sumber daya alam hayati dapat memberikan manfaat bagi

kemanusiaan, peningkatan

kesejahteraan rakyat, dan

pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, secara merata dan adil serta peningkatan kelestarian sumber daya alam hayati. Pemanfaatan sumber daya alam hayati tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya non-hayati.

56. b. keadilan; Yang dimaksud dengan asas keadilan

adalah bahwa pelestarian dan

(27)

proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

57. c. kehati-hatian; Yang dimaksud dengan asas

kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian

mengenai dampak suatu usaha

dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau

menghindari ancaman terhadap

pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup.

58. d. partisipatif; dan Yang dimaksud dengan asas

partisipatif adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk

berperan aktif dalam proses

pengambilan keputusan dan

pelaksanaan konservasi

keanekaragaman hayati, baik secara langsung maupun tidak langsung.

59. e. tata kelola pemerintahan yang

baik.

(28)

28

60. Pasal 3

Penyelenggaraan konservasi

keanekaragaman hayati bertujuan untuk :

61. a. meletakkan dasar pengakuan

terhadap harkat sumber daya genetik dan spesies dalam suatu ekosistem sebagai sumber daya alam hayati beserta pengetahuan tradisional yang terasosiasi dengan sumber daya genetik;

Cukup jelas.

62. b. mengendalikan pemanfaatan

berkelanjutan keanekaragaman hayati untuk menjaga kelestarian fungsi keanekaragaman hayati

dalam rangka menjamin

terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan masa depan;

Cukup jelas.

63. c. memastikan pembagian

keuntungan sosial dan ekonomi yang adil dan berimbang dalam

rangka mendukung upaya

peningkatan kesejahteraan

masyarakat; dan

Cukup jelas.

64. d. mengantisipasi isu lingkungan

global.

Cukup jelas.

(29)

Ruang lingkup undang-undang konservasi keanekaragaman hayati meliputi:

66. a. pelindungan penyangga

kehidupan;

67. b. pelestarian keanekaragaman

hayati;

68. c. pemanfaatan keanekaragaman

hayati;

69. d. pengamanan; dan

70. e. penegakan hukum.

71. BAB II

PELINDUNGAN PENYANGGA KEHIDUPAN

72.

73. Bagian Kesatu

Umum

74. Pasal 5

(1) Pemerintah Pusat

menyelenggarakan pelindungan penyangga kehidupan di bidang keanekaragaman hayati.

Cukup jelas.

75. (2) Pelindungan penyangga

(30)

30 melalui:

76. a. inventarisasi; dan Cukup jelas.

77. b. penetapan status perlindungan. Cukup jelas.

78. (3) Inventarisasi keanekaragaman

hayati dan penetapan status

pelindungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tingkat:

79. a. spesies; Cukup jelas.

80. b. sumber daya genetik; dan Cukup jelas.

81. c. ekosistem. Cukup jelas.

82. Bagian Kedua

Inventarisasi 83.

84. Pasal 6

Inventarisasi keanekaragaman hayati dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi yang meliputi:

85. a. potensi dan ketersediaan; Cukup jelas.

86. b. jenis yang dimanfaatkan; Cukup jelas.

87. c. bentuk penguasaan; Yang dimaksud dengan bentuk

penguasaan merupakan bentuk

(31)

88. d. pengetahuan pengelolaan; Cukup jelas.

89. e. bentuk kerusakan; dan Cukup jelas.

90. f. konflik dan penyebab konflik yang

timbul akibat pengelolaan.

Cukup jelas.

91. Bagian Ketiga

Penetapan Status Perlindungan

92. Paragraf 1

Spesies

93. Pasal 7

(1) Penetapan status perlindungan

spesies dilakukan terhadap

tumbuhan liar dan satwa liar

berdasarkan tingkat ancaman

kepunahan.

Cukup jelas.

94. (2) Tingkat ancaman kepunahan

spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

95. a. kategori spesies dilindungi; Cukup jelas.

96. b. kategori spesies dikendalikan;

dan

(32)

32

97. c. kategori spesies dipantau. Cukup jelas.

98. (3) Ketentuan kategorisasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi:

99. a. spesimen satwa liar

pra-perlindungan; dan

Yang dimaksud dengan spesimen satwa liar pra-perlindungan adalah spesimen satwa liar yang diperoleh atau dimiliki sebelum spesies yang bersangkutan dimasukkan ke dalam salah satu

kategori perlindungan spesies

sepanjang dapat dibuktikan melalui dokumen-dokumen perizinan yang sah.

100. b. spesimen tumbuhan liar. Spesimen tumbuhan liar antara lain,

biji, benang sari (serbuk sari), bunga potong, anakan, atau hasil kultur jaringan yang diperoleh secara in vitro, dapat berupa spesimen di dalam media cair maupun padat dan dibawa di dalam kontainer steril dari hasil perbanyakan tumbuhan.

101. (4) Status perlindungan spesies

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan atau

berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

Cukup jelas.

102. (5) Menteri dapat mengubah status

perlindungan spesies sebagaimana

dimaksud pada ayat (2)

(33)

berdasarkan rekomendasi dari

Komisi Konservasi

Keanekaragaman Hayati.

103. (6) Rekomendasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) harus berdasarkan pada kajian ilmiah dan analisis kebijakan sosial budaya masyarakat.

Cukup jelas.

104. Pasal 8

Kategori spesies dilindungi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a merupakan spesies dengan kriteria:

105. a. populasi di alamnya berada dalam

bahaya kepunahan atau kritis dari bahaya kepunahan;

Kondisi barada dalam bahaya

kepunahan (critically endangered) bisa terjadi antara lain akibat mendapatkan

tekanan pemanfaatan dan/atau

mendapatkan tekanan akibat

kerusakan habitat.

106. b. populasi di hábitat alamnya kecil

atau langka;

Yang dimaksud dengan spesies yang populasi di habitat alamnya kecil atau langka dicirikan oleh paling tidak salah satu dari hal-hal berikut:

(34)

34

penurunan luas dan kualitas habitat;

b. jumlah sub populasi kecil;

c. mayoritas individu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu atau sedikit sub populasi saja;

d. dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;

e. karena sifat biologis dan perilaku spesies tersebut, seperti migrasi, spesies tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan; dan/atau

f. analisis kuantitatif memperlihatkan

kemungkinan atau peluang

terjadinya kepunahan adalah 20 (dua puluh) persen sampai dengan 50 (lima puluh) persen dalam waktu 10 (sepuluh) sampai 20 (dua puluh) tahun atau dalam 3 (tiga) sampai 5 (lima) generasi yang akan datang.

107. c. merupakan spesies endemik yang

penyebarannya terbatas;

Spesies endemik yang penyebarannya terbatas dicirikan dengan paling sedikit salah satu dari hal-hal berikut yaitu:

a. hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi atau pulau;

(35)

terfragmentasi;

c. terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah populasi atau luas areal penyebarannya;

d. adanya dugaan penurunan yang tajam pada areal penyebarannya,

jumlah sub populasi, jumlah

individu, luas dan kualitas habitat atau potensi reproduksi.

108. d. spesies yang secara biologis lebih

memenuhi kriteria spesies

dikendalikan namun secara visual mirip dan sulit dibedakan dengan spesies dilindungi; dan/atau

Cukup jelas.

109. e. spesies yang termasuk dalam

Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species(CITES).

Cukup jelas.

110. Pasal 9

(1) Spesimen satwa hasil

pengembangbiakan atau spesimen tumbuhan hasil perbanyakan di dalam kondisi terkontrol yang termasuk dalam kategori spesies dilindungi dapat diperlakukan

sebagai kategori spesies

dikendalikan.

Yang dimaksud dengan hasil

(36)

36

111. (2) Menteri mengusulkan spesies

dilindungi yang dapat

diperlakukan sebagai spesies

dikendalikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

berdasarkan rekomendasi dari

Komisi Konservasi

Keanekaragaman Hayati.

Cukup jelas.

112. (3) Rekomendasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil kajian ilmiah melalui pengawasan dan evaluasi atas

populasi dari kegiatan

pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan.

Cukup jelas.

113. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai

tata cara penetapan, rekomendasi dan kajian ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Cukup jelas.

114.

115. Pasal 10

Kategori spesies dikendalikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b merupakan spesies dengan kriteria:

116. a. jumlah populasinya sedikit atau

terbatas;

(37)

117. b. merupakan spesies yang saat ini belum berada dalam bahaya kepunahan, namun akan dapat berada dalam bahaya kepunahan apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan;

Yang dimaksud dengan pemanfaatan yang tidak dikendalikan adalah

pemanfaatan yang melebihi

kemampuan populasi untuk

meregenerasi diri.

118. c. jumlah populasinya masih banyak

namun secara visual mirip atau sulit dibedakan dengan kategori spesies dikendalikan; dan/atau

Yang termasuk dalam spesies yang secara visual mirip atau sulit dibedakan yaitu spesies yang populasinya di alam saat ini masih melimpah sehingga sebenarnya masuk kriteria spesies dipantau, namun menjadi banyak

dimanfaatkan karena kemiripan

fisiknya dengan spesies yang

dikendalikan sehingga mempengaruhi efektivitas pelindungan spesies dikendalikan yang mirip dengannya. Perlakuan terhadap spesies dimaksud sama dengan perlakuan terhadap spesies dikendalikan.

119. d. spesies yang termasuk dalam

Appendix II CITES.

120. Pasal 11

Kategori spesies dipantau

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c merupakan spesies

Pemantauan pemanfaatan dilakukan

untuk mengetahui kemampuan

(38)

38 dengan kriteria populasi di habitat

alamnya dalam keadaan melimpah

namun mendapat tekanan dari

aktivitas pemanfaatan.

melalui sistem pencatatan dan pendataan pemanfaatan yang teratur sehingga diperoleh informasi yang memadai untuk penetapan kebijakan apabila perdagangannya dianggap dapat mengancam keadaan populasinya di habitat.

121. Pasal 12

Dalam hal terdapat perbedaan status

perlindungan spesies menurut

perjanjian internasional yang telah

diratifikasi dengan status

perlindungan spesies yang ditetapkan

dalam peraturan

perundang-undangan, maka status yang

digunakan adalah status

perlindungan spesies yang ditetapkan

dalam peraturan

perundang-undangan.

Perjanjian internasional yang telah diratifikasi adalah perjanjian internasional mengenai satwa dan tumbuhan liar yang telah diratifikasi, diantaranya Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Ketentuan pasal ini tidak berlaku bagi spesies dilindungi menurut perjanjian internasional atau status spesies yang berlaku di negara asal ketika spesies yang dimaksud masuk ke dalam wilayah Indonesia.

122. Pasal 13

(1) Dalam hal terjadi perubahan status dari pra-perlindungan menjadi perlindungan, ditetapkan suatu masa transisi.

(39)

123. (2) Dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang memiliki spesimen pra-perlindungan harus melakukan pendaftaran dan mendapatkan penandaan terhadap spesimen pra-perlindungan yang dimilikinya.

Yang dimaksud dengan ketentuan antara adalah tindakan Pemerintah

untuk melindungi dan/atau

menanggulangi ancaman bahaya

kepunahan pada spesies tertentu dalam masa transisi. Ketentuan antara misalnya pada saat suatu spesies masuk ke dalam Appendix CITES, Pemerintah memasukkan instrumen reservasi dalam masa transisi.

124. (3) Apabila masa transisi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terlewati, spesimen pra-perlindungan yang

ditetapkan menjadi milik

pemerintah .

Penetapan masa transisi dilakukan untuk kepentingan konservasi yaitu menyelamatkan populasi spesimen pra-perlindungan agar terhindar dari kepunahan atau bahaya kepunahan.

125. Pasal 14

(1) Dalam mendukung

penyelenggaraan pelindungan

spesies, Pemerintah Pusat

dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan tumbuhan liar atau satwa liar sebagai tumbuhan atau satwa kharismatik.

Satwa kharismatik adalah satwa yang

mengundang empati atau emosi

manusia sehingga keberadaannya dapat diidentikkan sebagai duta , ikon atau simbol suatu tempat, daerah atau negara. Satwa kharismatik biasanya merupakan satwa besar yang kondisi

populasinya terancam bahaya

(40)

40

126. (2) Masyarakat dapat memberikan

usulan dalam penetapan

tumbuhan atau satwa kharismatik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Cukup jelas.

127. (3) Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah dapat

mengusulkan satwa kharismatik

masuk ke dalam status

pelindungan spesies.

Cukup jelas.

128. Pasal 15

(1) Bagi spesimen dari spesies tumbuhan, pada saat penetapan

status perlindungan wajib

menyertakan anotasi atas bagian-bagian spesimen tumbuhan.

Yang dimaksud dengan anotasi adalah ketentuan yang memasukkan atau mengecualikan bagian-bagian atau turunan tertentu dari tumbuhan di dalam pencatuman spesies tumbuhan ke dalam katagorisasi pelindungan spesies tumbuhan. Pengecualian dapat dilakukan karena sifat tumbuhan yang apabila bagian-bagian tertentu dari

tumbuhan dikecualikan dari

pengaturan maka tidak akan

mempengaruhi kelestarian spesies yang bersangkutan.

129. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai

anotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(41)

130. Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai

status perlindungan spesies

sebagaimana dimaksud pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Cukup jelas.

131. Paragraf 2

Sumber Daya Genetik

132. Pasal 17

(1) Penetapan status perlindungan sumber daya genetik dilakukan dengan membuat daftar spesies target yang diprioritaskan bagi pelindungan sumber daya genetik.

Cukup jelas.

133. (2) Menteri menetapkan dan

mengubah daftar spesies target sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dengan memperhatikan

rekomendasi Komisi Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Cukup jelas.

134. (3) Daftar spesies target sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) termasuk informasi tentang sumber daya

(42)

42 genetik yang terkandung di

dalamnya menjadi bagian dari materi sistem basis data dan informasi yang dikembangkan Dewan Pengelola Sumber Daya Genetik.

135. Pasal 18

Penetapan spesies target sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan berdasarkan kriteria:

136. a. spesies yang mendukung

budidaya.

Cukup jelas.

137. b. spesies yang secara langsung

diperdagangkan atau bernilai komersial; atau

Cukup jelas.

138. c. spesies yang mendukung

budidaya.

Cukup jelas.

139. Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan perubahan spesies target sumber daya genetik diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(43)

140. Paragraf 3 Ekosistem

141. Pasal 20

Penetapan status pelindungan

ekosistem dilakukan melalui

penetapan:

142. a. kawasan konservasi; dan Cukup jelas.

143. b. kawasan ekosistem esensial. Cukup jelas.

144. Pasal 21

(1) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dilakukan melalui pengukuhan:

145. a. Cagar Alam; Cukup jelas.

146. b. Taman Nasional; Cukup jelas.

147. c. Taman Wisata Alam; Cukup jelas.

148. d. Suaka Margasatwa; Cukup jelas.

149. e. Taman Buru; dan/ atau Cukup jelas.

(44)

44

151. (2) Pengukuhan kawasan konservasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai fungsi alamiah, tujuan, dan kriteria kawasan konservasi.

Cukup jelas.

152. (3) Pengukuhan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui proses:

153. a. penunjukan; Penunjukan kawasan konservasi adalah

kegiatan persiapan pengukuhan, antara lain berupa:

a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan batas luar;

b. pemancangan batas sementara atau koordinat geografis;

c. pengumunan tentang rencana batas kawasan terutama di lokasi yang berbatasan dengan tanah hak atau

lokasi yang rawan gangguan

keamanan;

d. konsultasi publik dimaksudkan untuk mendapat pertimbangan dan

menampung aspirasi dari

masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat,sektor swasta, atau lembaga ilmiah, termasuk lembaga perguruan tinggi.

(45)

a. pemasangan tanda batas dan penetapan koordinat geografis ; atau

b. penetapan titik referensi berupa koordinat geografis bagi kawasan konservasi perairan.

155. c. pemetaan; dan Cukup jelas.

156. d. penetapan. Cukup jelas.

157. Pasal 22

(1) Penetapan kawasan ekosistem esensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b meliputi penetapan:

158. a. daerah penyangga kawasan

konservasi;

Yang dimaksud dengan daerah

penyangga kawasan konservasi adalah daerah di sekitar kawasan konservasi yang dapat berupa ekosistem alami atau buatan, kawasan produksi, desa atau areal lainnya yang pengelolaanya ditujukan untuk meningkatkan dampak

positif dari masyarakat dan

menurunkan dampak negatif pada kawasan konservasi.

159. b. koridor ekologis atau ekosistem

penghubung;

(46)

46

lebar baik alami maupun buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat atau kawasan konservasi atau ruang terbuka dan sumberdaya lainnya, yang memungkinkan terjadinya pergerakan atau pertukaran individu antar populasi satwa atau pergerakan faktor-faktor biotik sehingga mencegah terjadinya dampak buruk pada habitat yang terfragmentasi pada populasi karena in-breeding dan mencegah penurunan keanekaragaman genetik akibat erosi genetik (genetic drift) yang sering terjadi pada populasi yang terisolasi.

160. c. areal dengan nilai konservasi

tinggi (NKT);

Yang dimaksud areal dengan nilai konservasi tinggi adalah areal atau bentang alam berupa ekosistem yang memiliki satu atau lebih atribut berikut:

(47)

spesies yang tinggal secara alami berada pada pola yang alami dari distribusi dan kelimpahannya;

b. areal yang berada atau berisi ekosistem langka, terancam atau dalam bahaya kepunahan;

c. areal yang dapat menyediakan jasa ekosistem dasar pada saat terjadi situasi kritis (seperti perlindungan tata air daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, ekosistem kars, ekosistem gambut), areal yang

menjadi ketergantungan dari

masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan dasar (seperti subsisten, kesehatan) dan/atau penting bagi identitas budaya tradisional dari masyarakat lokal (kawasan yang bersama masyarakat diidentifikasi signifikan secara budaya, ekologi, ekonomi atau religi masyarakat lokal).

Contoh: ekosistem kars yang

berfungsi lindung; lahan gambut yang berfungsi lindung; padang lamun.

161. d. areal konservasi kelola

masyarakat (AKKM);

Yang dimaksud dengan Areal

(48)

48

maupun di luar kawasan hutan, perairan dan Wp3k yang diakui sebagai areal konservasi yang dikelola oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.

Karakteristik yang mengindikasikan AKKM adalah:

a. hubungan yang kuat antara satu atau lebih masyarakat adat atau lokal dengan kawasan (teritori,

ekosistem, habitat atau

sumberdaya) dimana hubungan tersebut harus menyatu di dalam identitas masyarakat dan/atau ketergantungan untuk kehidupan atau kesejahteraan;

b. masyarakat adat atau lokal merupakan pemain utama dalam

pengambilan keputusan dan

implementasi pengelolaan

kawasan. Pihak lain dapat berkolaborasi sebagai mitra, terutama dalam hal kawasan tersebut merupakan kawasan negara, namun keputusan tetap pada masyarakat adat atau lokal;

c. keputusan pengelolaan dan upaya dari masyarakat mengarah pada

(49)

hayati dan nilai-nilai budaya yang terkait, walaupun disadari bahwa tujuan pengelolaan bukan hanya konservasi.

162. e. taman keanekaragaman hayati. Cukup jelas.

163. (2) Penetapan kawasan ekosistem

esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengisi kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan

konservasi.

Melalui analisis kesenjangan

keterwakilan ekologis dapat diketahui ekosistem esensial yang tidak termasuk dalam sistem kawasan konservasi. Apabila ekosistem esensial penting tersebut tidak atau belum dapat ditetapkan menjadi kawasan konservasi

baru atau perluasan kawasan

konservasi yang sudah ada maka perlu diidentifikasi untuk dikelola dalam sistem yang terpadu dengan kawasan

konservasi bagi keberlanjutan

keanekaragaman hayati yang ada.

164. (3) Ekosistem esensial sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) secara ekologis atau secara fisik berhubungan dengan kawasan konservasi.

Cukup jelas.

165. (4) Menteri, Gubernur atau

Bupati/Walikota menetapkan

kawasan ekosistem esensial sesuai dengan kewenangan sebagaimana

diatur dalam peraturan

(50)

50

perundang-undangan yang

berlaku.

166. (5) Penetapan suatu kawasan

ekosistem esensial dilakukan berdasarkan hasil kajian ilmiah,

sosial, dan budaya serta

mempertimbangkan usulan dari masyarakat.

Cukup jelas.

167. (6) Kajian dimaksud ayat (5) dapat

dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,

Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah.

Cukup jelas.

168. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai

penetapan kawasan ekosistem esensial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Cukup jelas.

169. Pasal 23

Dalam hal penetapan daerah

penyangga kawasan konservasi, koridor ekologis atau penghubung, areal dengan nilai konservasi tinggi (NKT), dan taman keanekaragaman hayati, pemegang hak atas tanah negara atas areal yang ditetapkan wajib mengembalikan sebagian atau seluruh hak atas tanah negara yang

(51)

dipegangnya.

170. Pasal 24

Dalam hal penetapan areal konservasi kelola masyarakat, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memberikan kompensasi kepada pemegang hak

atas tanah negara dan/atau

pemegang hak milik atas areal yang ditetapkan.

Kompensasi yang diberikan kepada pemegang hak milik dapat berupa penggantian lahan dalam bentuk tukar menukar.

171. BAB III

PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

172. Bagian Kesatu

Umum

173. Pasal 25

Pelestarian keanekaragaman hayati

diselenggarakan dalam rangka

mencegah kerusakan atau

kepunahan serta menjamin

kelestarian fungsi dan manfaat

(52)

52 keanekaragaman hayati bagi generasi

saat ini maupun generasi yang akan datang.

174. Pasal 26

Pelestarian keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan pada tingkat:

175. a. spesies; Cukup jelas.

176. b. sumber daya genetik; dan Cukup jelas.

177. c. ekosistem. Cukup jelas.

178. Pasal 27

Pelestarian keanekaragaman hayati diselenggarakan melalui :

179. a. pelindungan keanekaragaman

hayati; dan

Cukup jelas.

180. b. pemulihan keanekaragaman

hayati.

Cukup jelas.

181. Pasal 28

(1) Pelindungan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud

(53)

dalam Pasal 27 huruf a

dilaksanakan untuk

mempertahankan viabilitas kondisi keanekaragaman hayati sesuai kondisi awal.

182. (2) Penentuan viabilitas kondisi

keanekaragaman hayati sesuai

kondisi awal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:

ii. iii. iv.

183. a. hasil inventarisasi

keanekaragaman hayati;

dan/atau

Cukup jelas.

184. b. data dan informasi dari lembaga

ilmiah atau dari lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

Cukup jelas.

185. Pasal 29

(1) Pelindungan keanekaragaman

hayati dilakukan terhadap

keanekaragaman hayati yang telah

ditetapkan status

perlindungannya.

Cukup jelas.

186. (2) Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah melakukan

pelindungan keanekaragaman

hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tugas

(54)

54 dan kewenangannya.

187. (3) Dalam melakukan pelindungan

keanekaragaman hayati

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah dapat

melakukan kerja sama dengan

pihak lain sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Cukup jelas.

188. Pasal 30

(1) Pemulihan keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf b dilaksanakan untuk

mengembalikan kondisi

keanekaragaman hayati yang

mengalami degradasi ke kondisi awal atau ke tingkat yang diinginkan.

Cukup jelas.

189. (2) Penentuan suatu kondisi

keanekaragaman hayati yang

terdegradasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:

190. a. hasil evaluasi kondisi

keanekaragaman hayati oleh pemerintah; dan/atau

Cukup jelas.

191. b. data dan informasi dari

lembaga ilmiah dan/atau

(55)

lembaga lain yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

192. (3) Dalam melakukan pemulihan

keanekaragaman hayati di

kawasan konservasi pada lahan

negara, Pemerintah Pusat

dan/atau Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain.

Cukup jelas.

193. (4) Kegiatan pemulihan

keanekaragaman hayati di

kawasan konservasi yang dibebani hak merupakan tanggung jawab pemegang hak dengan pembinaan dari Pemerintah Pusat dan/ atau Pemeritah Daerah .

Cukup jelas.

194. Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelestarian keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Cukup jelas.

195. Bagian Kedua

(56)

56

196. Paragraf 1

Umum

197. Pasal 32

Pelestarian spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan dalam rangka mencegah kerusakan atau kepunahan spesies serta menjamin kelestarian fungsi dan manfaat spesies bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.

Cukup jelas.

198. Pasal 33

(1) Pelestarian spesies dilakukan terhadap spesies tumbuhan liar dan satwa liar melalui:

199. a. pelindungan spesies; Cukup jelas.

200. b. pemulihan spesies. Cukup jelas.

201. (2) Pelestarian spesies dilakukan oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah

Daerah, dan masyarakat

sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(57)

202. Paragraf 2

Pelindungan Spesies

203. Pasal 34

(1) Pelindungan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dilakukan dalam rangka menjaga viabilitas populasi spesies tumbuhan liar dan satwa liar.

Cukup jelas.

204. (2) Pelindungan spesies sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan status perlindungan spesies yang ditetapkan.

Cukup jelas.

205. (3) Pelindungan spesies sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan:

206. a. di dalam habitat alamnya

(in-situ); dan

Cukup jelas.

207. b. di luar habitat alamnya

(ex-situ).

Cukup jelas.

208. Pasal 35

(58)

58 sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34 ayat (3) huruf a dilakukan melalui:

209. a. pembinaan populasi dan habitat

untuk menjamin keseimbangan populasi spesies; dan/atau

Cukup jelas.

210. b. penyelamatan populasi atau

sub-populasi suatu spesies yang

terisolasi atau tidak berkelanjutan.

Cukup jelas.

211. Pasal 36

(1) Pembinaan populasi dan habitat spesies dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dilakukan melalui:

212. a. pengamanan populasi

tumbuhan dan satwa liar dan defragmentasi habitat satwa liar;

Cukup jelas.

213. b. penyelamatan dan/atau

pemindahan ke lokasi habitat lain;

Cukup jelas.

214. c. pengamanan sumber benih; Cukup jelas.

215. d. penanaman pengkayaan spesies

tumbuhan; dan/atau

Cukup jelas.

216. e. pengendalian spesies asing

yang invasif.

Cukup jelas.

217. (2) Pengendalian spesies asing yang

(59)

pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui:

218. a. pencegahan atau pengurangan

introduksi;

Cukup jelas.

219. b. pencegahan perkembangbiakan

spesies asing yang invasif;

Cukup jelas.

220. c. deteksi dini dan tindakan

segera;

Cukup jelas.

221. d. pengendalian dan mitigasi

dampak;

Cukup jelas.

222. e. pemusnahan; dan/atau Cukup jelas.

223. f. pemulihan habitat yang terkena

dampak.

Cukup jelas.

224. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai

pembinaan populasi dan habitat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Cukup jelas.

225. Pasal 37

(1) Pembinaan populasi dan habitat spesies dilindungi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36

dilakukan:

226. a. di dalam kawasan konservasi;

dan

(60)

60

227. b. di luar kawasan konservasi Pembinaan populasi dan habitat spesies

dilindungi di luar kawasan konservasi dimaksudkan untuk menjaga populasi atau sub populasi dari ancaman terhadap kepunahan lokal.

228. (2) Pembinaan populasi dan habitat

spesies di dalam kawasan

konservasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a

diselenggarakan oleh pengelola kawasan konservasi.

Cukup jelas.

229. (3) Pembinaan populasi dan habitat

spesies di luar kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Cukup jelas.

230. Pasal 38

(1) Dalam rangka menyeimbangkan daya dukung habitat terhadap peningkatan populasi spesies di dalam kawasan konservasi dapat dilakukan perburuan terkendali.

Kegiatan pembinaan habitat dan populasi melalui perburuan terkendali dilakukan terhadap satwa yang jumlah populasinya melebihi daya dukung ekosistemnya. Kegiatan perburuan dilakukan dengan memperhatikan keadaan populasi dan/atau

sub-populasi di seluruh wilayah

(61)

berburu.

231. (2) Perburuan terkendali sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam atau zona inti Taman Nasional.

Cukup jelas.

232. (3) Kegiatan perburuan terkendali

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dilakukan terhadap spesies dilindungi dan di habitatnya di luar kawasan konservasi.

Cukup jelas.

233. (4) Ketentuan mengenai perburuan

terkendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

Cukup jelas.

234. Pasal 39

(1) Penyelamatan populasi atau sub-populasi spesies dilindungi yang terisolasi atau tidak berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dilakukan dengan cara memindahkan populasi atau sub-populasi spesies ke habitat lain.

Populasi yang tidak berkelanjutan dalam jangka panjang adalah populasi yang tidak viabel yang disebabkan diantaranya oleh jumlah individu di dalam populasi kecil, rasio jantan-betina yang tidak sesuai, struktur umur yang tidak memadai, atau kondisi habitat yang rusak dan sulit diperbaiki.

235. (2) Untuk mengurangi dampak atau

(62)

62 dilindungi yang terisolasi di luar

kawasan konservasi dan berada di tanah hak, pemegang hak atas tanah wajib :

236. a. menjaga habitat; dan Cukup jelas.

237. b. menyelamatkan populasi atau

sub-populasi spesies satwa yang terisolasi atau populasinya tidak dapat berkembang dalam jangka panjang.

Penyelamatan populasi atau sub populasi spesies satwa yang terisolasi

atau populasinya tidak dapat

berkembang dalam jangka panjang dilakukan melalui kerjasama dan dikoordinasikan oleh unit kerja yang

menyelenggarakan urusan

pemerintahan dibidang konservasi keanekaragaman hayati.

238.

Pasal 40

(1) Pelindungan spesies dilindungi

secara ex-situ sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b, dilakukan melalui :

239. a. pengembangbiakan satwa liar di

dalam lingkungan yang

terkontrol untuk dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya;

Pengembangbiakan satwa liar di dalam

lingkungan yang terkontrol

(penangkaran)ditujukan untuk

dilepasliarkan kembali untuk

(63)

240. b. pengembangbiakan satwa liar di

dalam lingkungan yang

terkontrol untuk tujuan

komersial;

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap populasi tertentu di habitat alam maka pengembangan satwa liar

dapat dilakukan untuk tujuan

komersial.

Yang dimaksud dengan lingkungan terkontrol merupakan lingkungan yang

dimanipulasi untuk tujuan

memproduksi specimen satwa liar tertentu dengan membuat batas-batas yang jelas untuk menjaga keluar masuknya satwa liar, telur atau gamet, serta dicirikan antara lain rumah buatan.

241. c. rehabilitasi satwa liar; Rehabilitasi dimaksudkan untuk

mengkondisikan dan mengadaptasikan tingkah laku satwa liar yang berada diluar habitatnya dengan habitat alaminya sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya dan sebagian dapat dikembalikan lagi untuk meningkatkan populasi.

242. d. perbanyakan tumbuhan secara

buatan untuk dikembalikan lagi ke habitat alam atau untuk tujuan komersial; dan/atau

(64)

64

memperbanyak tumbuhan seperti

benih (biji), potongan bagian tumbuhan, pencaran rumpun, spora dan jaringan.

Kondisi terkontrol untuk perbanyakan tumbuhan secara buatan adalah kondisi di luar lingkungan alaminya yang secara intensif dimanipulasi oleh campur tangan manusia dengan tujuan untuk menghasilkan tumbuhan yang terpilih.

243. e. penyelamatan satwa ex-situ di

pusat penyelamatan satwa.

Pusat penyelamatan satwa ex-situ merupakan tempat sementara untuk menampung dan/atau mengkondisikan satwa hasil sitaan atau hasil dari upaya penegakan hukum lainnya sebelum

dikirim ke tujuan akhirnya/

dilepasliarkan kembali ke habitat alam, atau dikirim ke taman satwa atau kebun binatang, dijadikan induk pengembangbiakan, atau dimusnahkan.

244. (2) Pengembangbiakan satwa liar

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

Cukup jelas.

245. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai

pelindungan spesies dilindungi dalam kondisi ex-situ sebagaimana

(65)

dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

246. Pasal 41

(1) Pelindungan spesies dikendalikan dalam kondisi in-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a dilakukan dengan:

247. a. pengaturan dan pengendalian

pemanenan langsung dari

habitat alamnya;

Pengaturan pemanenan dimulai dari penetapan kuota pengambilan atau penangkapan, pengenaan perizinan dan pengawasan terhadap pengambilan atau penangkapan, penetapan lokasi-lokasi yang dibolehkan untuk dilakukan pengambilan atau penangkapan, serta penetapan batasan-batasan seperti kelas ukuran, umur dan spesies kelamin yang boleh diambil atau ditangkap dari habitat alam.

248. b. pembinaan habitat; dan/atau Cukup jelas.

249. c. pembinaan populasi. Cukup jelas.

250. (2) Untuk melaksanakan prinsip

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat menyusun rencana pengelolaan spesies

(66)

66

dikendalikan yang

diperdagangkan.

251. Pasal 42

(1) Pembinaan habitat dan/atau pembinaan populasi spesies

dikendalikan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 41 ayat (1) huruf b dan huruf c, dilakukan terhadap spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan, termasuk perdagangan.

Pembinaan habitat dan pembinaan populasi termasuk juga diantaranya pembinaan habitat di pulau kosong untuk menampung populasi satwa yang dikelola.

252. (2) Pembinaan habitat dan/atau

pembinaan populasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar kawasan konservasi.

Cukup jelas.

253. Pasal 43

(1) Pelindungan spesies dikendalikan

secara ex-situ sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b dilakukan dengan:

254. a. pembesaran spesimen hidup

spesies satwa liar tertentu dari

habitat alam di dalam

lingkungan terkontrol;

Cukup jelas.

(67)

dalam lingkungan yang terkontrol atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol; dan/ atau

spesies dikendalikan dimaksudkan

sebagai penyedia stok untuk

kepentingan komersial.

256. c. penyelamatan satwa di

pusat-pusat penyelamatan satwa ex-situ.

Cukup jelas.

257. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai

pelindungan spesies dikendalikan dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Cukup jelas.

258. Pasal 44

(1) Pelindungan spesies dipantau dalam kondisi in-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)

huruf a dilakukan dengan

pemantauan pemanfaatan yang berkelanjutan.

Cukup jelas.

259. (2) Pelaksanaan pemantauan

pemanfaatan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi spesies di habitat alam.

Pemantauan pemanfaatan terhadap spesies tumbuhan dan satwa liar spesies dipantau dilakukan melalui :

(68)

68

b. penerapan prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak populasi dihabitat alam;

c. pencatatan pemanenan dan

pemanfaatan, seperti perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor.

260. Pasal 45

(1) Pelindungan spesies dipantau dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b dilakukan sama dengan pelindungan spesies dikendalikan dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.

Cukup jelas.

261. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai

pelindungan spesies dipantau dalam kondisi ex-situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Cukup jelas.

262. Pasal 46

(1) Setiap orang yang bertanggung jawab di dalam pengelolaan pelindungan spesies dalam kondisi in-situ dan/atau ex-situ wajib melakukan medik konservasi

Medis Konservasi merupakan

penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi spesies satwa liar.

(69)

untuk mencegah dan mengendalikan wabah penyakit zoonosis dan/atau penyakit baru yang diduga disebabkan oleh satwa liar di habitat alam.

infeksinya bersumber dari satwa dan dapat ditularkan kepada manusia dan sebaliknya yang nantinya akan berkembang menjadi wabah. Penyakit

baru merupakan new emerging

diseases.

263. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai

medik konservasi diatur

berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

Cukup jelas.

264. Pasal 47

(1) Setiap orang yang melaksanakan pengelolaan pelindungan satwa liar dalam kondisi ex-situ wajib menerapkan prinsip kesejahteraan satwa.

Penerapan prinsip kesejahteraan satwa

dilaksanakan untuk mewujudkan

kebebasan satwa antara lain:

a. bebas dari rasa lapar dan haus;

b. bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;

c. bebas dari ketidaknyamanan

(temperatur dan fisik), penganiayaan, dan penyalahgunaan;

d. bebas dari rasa takut dan tertekan; dan

e. bebas mengekspresikan perilaku alaminya.

265. (2) Ketentuan mengenai kesejahteraan

satwa sebagaimana dimaksud

(70)

70 Peraturan Pemerintah.

266.

267. Paragraf 3

Pemulihan Spesies

268. Pasal 48

(1) Pemulihan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)

huruf b bertujuan untuk

mengembalikan viabilitas populasi spesies yang langka atau terancam punah atau kritis di habitat alamnya.

Spesies yang langka atau terancam punah atau kritis umumnya merupakan spesies dilindungi.

269. (2) Pemulihan spesies sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui:

270. a. reintroduksi atau pengkayaan

populasi spesies; dan

Cukup jelas.

271. b. pemulihan (restorasi) dan

pembinaan habitat.

Cukup jelas.

272. (3) Reintroduksi atau pengkayaan

populasi spesies satwa dalam

kondisi in-situ sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui pelepasliaran spesies satwa ex-situ hasil rehabilitasi, pengembangbiakan,

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengembangan sebuah obyek wisata sarana dan prasarana tersebut harus dilaksanakan sebaik mungkin karena apabila suatu obyek wisata dapat membuat wisatawan untuk berkunjung

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Model kuantitatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi kerugian maksimum pada portofolio bank dalam risiko pasar disebut:.. Credit

0*1 g aselin dapat larut dalam pelarut ben.ena* siklo)eksana* kloroform dan n-)eksana* karena keempat pelarut tersebut memiliki struktur molekul yang simetris dan

Pada penelitian ini, penulis mengembangkan aplikasi enerSYS berbasis bahasa pemrograman Python guna mengstimasi cadangan sumber daya panas bumi dengan metode volumetric-stored heat

Variabel pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal pada karakteristik

Gambar 14 menunjukkan orbit 2D dari 3 pengkondisian yang diberikan pada sistem, terlihat dari gambar bahwa kondisi unbalance dan low-balancing memiliki diameter orbit