• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13 21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13 21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL

PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI

KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI

DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.)

META LEVI KURNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Extract during 13-21 Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Reproductive Organs and Pups Weight. Under direction of ARYANI S. SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.

The study aims to observe the effect day of purwoceng (Pimpinella alpina) ethanole extract which given at 13-21 days age of pregnancy on ovarium, uterus, placenta, and pups weight. The rats were divided in to two groups. One of groups was rats that treated by purwoceng 25 mg/300 g body weight and the other groups control (no treatment). Purwoceng ethanole extract was given on the 13th until the 21st day of pregnancy. The rats was dissected on day 21 to take an ovarium, uterus, placenta, and pups, and to observe their weight. The result indicated that purwoceng ethanole extract tended to increase weight of ovarium, uterus, and pups but had no effect towards placenta.

(3)

RINGKASAN

META LEVI KURNIA. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI S. SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang mengandung bahan bersifat estrogenik dan androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Bagian yang sering digunakan adalah akar karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap organ reproduksi dan bobot anak tikus putih yang diberikan pada 13-21 hari kebuntingan.

Metode penelitian ini meliputi pembuatan larutan ekstrak akar purwoceng, penentuan dosis ekstrak purwoceng, persiapan hewan penelitian, perlakuan hewan, dan analisis data. Akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia yaitu sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades. Dosis ekstrak purwoceng pada tikus yang digunakan yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng selama 13 sampai 21 hari kebuntingan. Selanjutnya dari masing-masing kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-21 kebuntingan untuk diambil ovarium, uterus, anak, dan plasenta untuk kemudian ditimbang bobotnya. Data bobot ovarium, uterus, anak, dan plasenta yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) sehingga diperoleh rata-rata dan standar deviasi dari data-data tersebut.

Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan pada tikus putih menunjukkan bahwa bobot ovarium, uterus, dan anak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pemberian ekstrak etanol purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Peningkatan bobot ini diduga karena efek estrogenik dari purwoceng.

(4)

PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI

KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI

DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.)

META LEVI KURNIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Meta Levi Kurnia

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB

(7)

Judul Skripsi : Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.)

Nama : Meta Levi Kurnia

NIM : B04070158

Disetujui,

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus:

Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc. Pembimbing I

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Drs. Pudji Achmadi, MS selaku pembimbing skripsi yang begitu sabar memberikan pengarahan dan pengajaran bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah memberikan penulis kesempatan untuk bergabung dalam penelitian ini dan staf laboratorium fisiologi (Bapak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida) yang telah membantu baik tenaga maupun waktu dalam penelitian ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bijaksana.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Maipal Sangguni (Ibunda), Taufik Maison (Ayahanda), Yahdi Al Ghurfah (Adik), Hayatul Sukma (Adik), Siti Maheram Alm(Nenek), Siti Nuraya (Nenek), Mak Odang, Mak Onga, Onga, Pa Onga, Etek, Maktuo, Uniama, dan Caca yang selalu memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang tiada henti bagi penulis. Selain itu, penulis juga mendapatkan dukungan penuh dari rekan-rekan satu penelitian (Sandra, Wisnu, Junto, Divo, Copi), sahabat-sahabat terdekat (Sari, Fenny, Wulan, Deny, Putri, Ila, Iwan, Gita, dan Adit), rekan-rekan Gianuzzi FKH 44, dan Himpro SATLI. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2011

(9)

RIWAYATHIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Sibusuk, Sumatera Barat pada tanggal 23 Oktober 1989 dari pasangan Taufik Maison dan Maipal Sangguni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara.

Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SDN 09 Kupitan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke MTsN Kupitan dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian masuk ke SMAN 1 Sawahlunto dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada jurusan kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan.

(10)

Halaman 

Organ Reproduksi Betina……… 5

Ovarium………... 5

Uterus……….. 6

Hormon Reproduksi Betina………. 6

Estrogen………... 7

Progesteron………. 7

Siklus Reproduksi……….… 8

Proses Reproduksi Tikus………..… 8

Perkawinan……….. 9

Fertilisasi………. 9

Implantasi……… 10

Plasentasi……….… 11

Kelahiran dan Laktasi………. 11

Purwoceng (Pimpinella alpina)……… 11

METODOLOGI Waktu dan Tempat……… 14

Alat dan Bahan……….… 14

Metode Penelitian……….… 14

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng……….… 14

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng………..… 15

Tahap Persiapan Hewan Model………...… 15

Perlakuan Hewan……….… Bagan Penelitian………..… 16 16 Analisis Statistik………...… 17

(11)

xi 

 

SIMPULAN DAN SARAN……….…….

DAFTAR PUSTAKA………....…

LAMPIRAN………...………...……….. 26

27

31  

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)……….. 3

2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng……… 13

3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium……….. 18

4 Rata-rata bobot anak tikus………. 22  

(13)

xiii 

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perbedaan tikus jantan dan betina………. 4

2 Purwoceng………. 11

3 Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari……….. 19

4 Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari ……….. 20

5 Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari …….. 22  

                                   

 

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman

1 Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari……… 32

2 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari………... 32

3 Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari………. 32

4 Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari………... 33  

(15)

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan tanaman herbal sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah banyak diteliti dan diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman herbal yang menjadi bahan metode penelitian reproduksi adalah tanaman yang mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi, seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.). Pasak bumi merupakan tumbuhan asli Myanmar, Thailand, Indo Cina, dan Indonesia. Bagian yang digunakan dari tanaman ini adalah akar. Kandungan aktif yang terdapat dalam akar pasak bumi ini adalah β -Sitosterol. β-Sitosterol berguna sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid dan merangsang pengeluaran hormon estrogen (Gunawan 2002).

Herbal lain yang juga mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik adalah purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman menahun dengan tinggi antara 50-100 cm. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan, seperti daerah asalnya, yaitu pegunungan Alpen sehingga dikenal dengan nama Pimpinella alpina. Di Jawa, purwoceng ditemukan tumbuh liar di Pegunungan Dieng dan lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Bagian tanaman yang digunakan adalah akar karena diketahui dapat menggugah hasrat seksual (Gunawan 2002).

(16)

digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).

Berdasarkan penelitian terdahulu, Taufiqqurrahman (1999) telah menggunakan purwoceng sebagai herbal alternatif untuk memperbaiki kinerja reproduksi. Penelitian tersebut memanfaatkan akar purwoceng untuk meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting, yang akan dilihat pada parameter dari induk (bobot ovarium, bobot uterus, dan bobot plasenta) dan dari anak (bobot badan anak). Parameter ini diambil karena ovarium adalah sumber estrogen, sedangkan uterus, plasenta, dan anak adalah target organ dari estrogen.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21 terhadap bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus.

Hipotesa

Ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan secara peroral dapat mempengaruhi bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21.

Manfaat

(17)

 

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Tikus Putih (Rattus sp.)

Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Penggunaan tikus dalam penelitian reproduksi karena panjang waktu siklus birahi yang pendek, yaitu 4-5 hari dan lama kebuntingannya hanya selama 21-23 hari (Malole dan Pramono 1989).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar yang memiliki kepala besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989).

Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)

Kriteria Nilai Berat badan dewasa 450-520 g jantan, 250-300 g betina

Berat lahir 5-6 g Lama siklus birahi 4-5 hari Lama kebuntingan 21-23 hari Oestrus postpartum Fertil Jumlah anak 6-12 ekor Umur sapih 21 hari

Waktu pemeliharaan komersial 7-10 litter/4-5/bulan

Komposisi air susu 13% lemak, 9,7% protein, 3,2% laktosa Sumber: Malole dan Pramono (1989)

(18)

Tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki, ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35-90 hari dan testes turun pada umur 20-50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus baru dikawinkan pada umur 65-110 hari yaitu pada saat betina mencapai 250 g berat badan dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut tergantung dari galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari selama 12 jam setiap siklus dan seperti halnya mencit, estrus dimulai pada malam hari. Estrus pada tikus betina tidak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989). Siklus estrus tikus terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan poliestrus, yaitu dapat mengalami estrus lebih dari sekali dalam setahun. Terdapat estrus postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus. Akan tetapi tikus tidak dikawinkan dalam masa estrus postpartum supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Oleh karena itu tikus betina yang baru bunting harus dipisah dari jantan sampai anaknya disapih (Malole dan Pramono, 1989).

Tikus yang masih mudapun sudah dapat dibedakan antara tikus jantan dan betina. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari, sedangkan betina hanya berjarak 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8-15 hari (Malole dan Pramono 1989).

Jantan Betina

(19)

5   

Organ Reproduksi Betina

Organ reproduksi betina terdiri dari organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur dan hormon-hormon kelamin betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Fungsi organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan, dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985).

Ovarium

Ovarium adalah organ primer reproduksi pada betina. Ovarium mempunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina, estrogen, dan progesteron (Toelihere 1985). Ovarium dapat dianggap bersifat endokrin atau sitogenik karena mampu menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan juga ovum (Frandson 1992). Pada mamalia, ovarium terdiri dari dua buah. Pada waktu pertumbuhan embrional, ovarium akan mengalami sedikit penurunan (descensus ovarica) ke arah kaudal menjelang dilahirkan. Ovarium mempunyai permukaan yang licin sebelum terjadinya ovulasi secara teratur dan mempunyai warna abu-abu sampai merah muda. Setelah mencapai masa remaja, permukaan ovarium menjadi tidak rata karena terbentuk banyak folikel yang baru maupun folikel yang telah dewasa. Disamping itu juga terdapat korpus luteum dan korpus albikans (Hardjopranjoto 1995).

(20)

yang masih muda, folikel yang sedang tumbuh, folikel masak, folikel yang degenerasi dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).

Uterus

Bagian saluran alat kelamin yang berbentuk buluh dan berurat daging licin. Uterus berfungsi menerima sel telur yang telah dibuahi atau embrio dari tuba falopii, memberi makanan, dan perlindungan bagi fetus, serta mendorong fetus ke arah luar saat kelahiran. Bentuk uterus tikus adalah dupleks dimana korpus uteri tidak ada dan kedua kornuanya terpisah sama sekali (Hardjopranjoto 1995).

Dinding uterus terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan serosa (perimetrium) di sebelah luar, lapisan muskularis (miometrium) di sebelah tengah, dan lapisan mukosa (endometrium) di sebelah dalam (Hardjopranjoto 1995). Lapisan serosa (perimetrium) berhubungan dengan peritoneum yang dikenal dengan ligamen lebar dan mendukung genitalia internal. Ligamen ini terdiri dari mesovarium

sebagai penggantung ovari, mesosalpink sebagai penggantung oviduk dan

mesometrium sebagai penggantung uterus (Frandson 1992).

Lapisan muskularis (miometrium) adalah suatu bagian muskular dari dinding uterus. Lapisan ini terdiri dari lapis melingkar bagian dalam yang tebal dari otot polos dan longitudinal yang lebih tipis di bagian luar. Keduanya dipisahkan oleh lapis vaskular (pembuluh darah di dalam jaringan pengikat). Selama kebuntingan, jumlah otot di dalam dinding uterus meningkat (Frandson 1992). Lapisan mukosa (endometrium) merupakan membran mukosa yang menyelimuti uterus dan memiliki struktur kelenjar (Frandson 1992). Endometrium terdiri dari epitel banyak lapis yang mengandung serabut-serabut getar. Sel di bawahnya (tunika propria) mengandung banyak kelenjar uterus dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).

Hormon Reproduksi Betina

(21)

7   

tubuh, sedangkan progesteron berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan akhir dari uterus pada awal kebuntingan (Guyton dan Hall 1997).

Estrogen

Estrogen merupakan suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai hormon kelamin betina dan merangsang kelenjar-kelenjar kelamin asesoris kelamin betina. Estron, estradiol, dan estriol adalah hormon-hormon alamiah yang diproduksi oleh ovari atau plasenta hewan mamalia (Frandson 1992). Estrogen utama yang disekresikan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga disekresikan tetapi dalam jumlah yang kecil. Estriol adalah estrogen yang lemah dan produk oksidasi dari estradiol maupun estron, perubahan ini terjadi di dalam hati (Guyton dan Hall 1997).

Estrogen akan disekresikan 20 kali lipat atau lebih setelah pubertas di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropin hipofisis. Pada masa ini, organ-organ kelamin betina akan berkembang dari usia anak menjadi yang usia betina dewasa, ovarium, tuba fallopii, uterus, dan vagina akan bertambah besar. Setelah pubertas, ukuran uterus meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat. Perubahan yang paling penting terjadi pada endometrium, karena estrogen menyebabkan terjadinya proliferasi yang nyata pada stroma endometrium yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membantu dalam memberi nutrisi pada ovum yang berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).

Progesteron

(22)

uterus, sehingga mencegah terlepasnya ovum yang sudah berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).

Siklus Reproduksi

Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium reproduksi. Organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan dapat terjadi perkembangbiakan adalah pada saat pubertas. Pada hewan jantan pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan betina pubertas terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga tikus betina yang masih muda harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya maupun untuk anaknya (Toelihere 1985).

Ketika hewan betina mencapai usia pubertas akan terjadi perubahan anatomi dan fisiologi pada organ reproduksinya, seperti vagina, ovarium, maupun uterus. Perkembangan ovarium berkaitan dengan pematangan kelamin, mencakup oogenesis (perkembangan ovum dari sel-sel kelamin primer), ovulasi, pembentukan corpora lutea. Peristiwa-peristiwa ini kemudian mempengaruhi bagian-bagian lain dari sistem reproduksi secara siklik, yang menimbulkan siklus estrus atau birahi (Frandson 1992).

Periode siklus birahi tikus terdiri proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti dari ulasan vagina yang dilakukan (Nuryadi 2007). Estrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel yang mengalami kornifikasi (sel epitel mengalami penandukan dan seringkali intinya piknotik atau tanpa inti) dari ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Metestrus berlangsung selama 21 jam, secara mikroskopis terlihat banyak leukosit dan sedikit sel yang mengalami kornifikasi. Diestrus berlangsung selama 57 jam, secara mikroskopis ulasan vagina dipenuhi oleh leukosit (Nuryadi 2007).

Proses Reproduksi Tikus

(23)

9   

tikus bunting. Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi, dan plasentasi.

Perkawinan

Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Pada sistem monogami, satu jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem poligami, satu jantan dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem koloni, jantan dan betina dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa lebih dari satu (Malole dan Pramono 1989). Penelitian ini menggunakan sistem poligami.

Fertilisasi

Fertilisasi merupakan penyatuan atau fusi dua sel antara gamet jantan dan betina untuk membentuk satu sel yang disebut zigot. Dalam aspek embriologik, fertilisasi meliputi pengaktifan ovum oleh spermatozoa. Dalam aspek genetik, fertilisasi meliputi pemasukan faktor-faktor herediter pejantan ke dalam ovum (Toelihere 1985).

(24)

telah menghilang dan diganti oleh kelompok kromosom yang telah bersatu di dalam profase pada pembagian cleavage pertama (Toelihere 1985).

Apabila sel telah membelah dan berjumlah 16 sampai 32 sel, maka sel-sel tersebut akan berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pellusida. Embrio tersebut dikenal sebagai morula. Cairan mulai menumpuk di dalam ruang-ruang interseluler dan muncullah suatu rongga bagian dalam (blastocoele). Setelah

blastocoele mulai meluas, embrio tersebut dikenal sebagai blastocyst. Sel-sel kecil yang membagi diri secara aktif berkumpul pada satu kutub dan sel-sel besar yang tidak begitu aktif membagi diri pada kutub lain sejak fase morula. Sel-sel kecil yang mungkin berasal dari belahan ventral ovum membentuk lapisan luar embrio yang kemudian membentuk trophoblast. Sel-sel besar dari belahan dorsal ovum yang terletak ditengah membentuk massa sel bagian dalam atau disebut juga

inner cell mass (ICM). Fetus akan berkembang sesudah implantasi dari massa sel bagian dalam ini (Toelihere 1985).

Pembentukan blastocyst diikuti oleh gastrulasi yang mendahului pembentukan organ tubuh. Gastrulasi terdiri dari gerakan-gerakan sel atau kelompok sel sedemikian rupa untuk merubah embrio dari struktur dua lapis menjadi tiga lapis dan membawa daerah-daerah bakal pembentuk organ ke posisi yang defenitif di dalam embrio. Kemudian akan terbentuk tiga macam jaringan, yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Toelihere 1985).

Implantasi

(25)

11   

Plasentasi

Penempelan erat atau fusi antara organ fetal dengan jaringan maternal untuk pertukaran secara fisiologis disebut juga dengan pembentukan plasenta (plasentasi). Plasenta dapat didefinisikan sebagai kesatuan struktur antara selaput ekstraembrionik dan endometrium induk untuk keperluan pertukaran timbal balik faali antara induk dan fetus. Pada tikus plasentasi dimulai pada usia kebuntingan 9-10 hari (Sukra et al. 1989). Tikus mempunyai jenis plasenta diskoidal (Nalbandov 1990). Tiga fungsi utama plasenta, yaitu sebagai pengangkutan, penyimpanan, dan biosintesa (Toelihere 1985).

Kelahiran dan Laktasi

Masa kebuntingan tikus berlangsung selama 21-23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Pada akhir kebuntingan, tikus tersebut melahirkan anak 6-12 per kelahiran (Malole dan Pramono 1989). Selama masa kebuntingan terjadi proliferasi saluran-saluran ambing dan alveoli dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari ovarium dan plasenta. Pertumbuhan kelenjar ambing dan laktasi terutama berada dibawah pengaruh hormon, saraf-saraf vasomotorik di dalam puting susu. Dengan jalan menstimulir kelenjar hipofise maka akan dilepaskan hormon prolaktin. Hormon prolaktin ini penting untuk memulai dan mempertahankan laktasi dan melepaskan oksitosin yang perlu untuk “Let Down” atau penurunan air susu. Saraf vasomotor berperan secara tidak langsung pada sekresi susu dengan mengatur suplai darah kelenjar ambing (Manan 2002).

Purwoceng (Pimpinella alpina)

(26)

Purwoceng adalah tanaman obat komersial yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman tersebut adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh secara endemik di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, Gunung Pangrango Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian tentang purwoceng. Beberapa aspek yang sudah dilaporkan adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi (Darwati dan Roostika 2006).

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang tumbuh pada ketinggian 1800-3000 m dpl, berkhasiat sebagai afrodisiak karena mengandung stigmasterol. Saat ini purwoceng termasuk tanaman langka yang keberadaannya semakin susah didapatkan. Pada tahun 2004-2005, dalam upaya pembudidayaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah berhasil mengembangkan dan menurunkan lingkungan tumbuh purwoceng menjadi sekitar 1200 - 1300 m dpl. Penelitian lebih lanjut mengenai senyawa aktif yang terkandung di dalam purwoceng khususnya stigmasterol perlu dilakukan. Identifikasi awal dilakukan melalui skrining fitokimia. Stigmasterol diekstraksi dari purwoceng melalui metode sokhletasi menggunakan pelarut etanol. Metode sokhletasi yaitu suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga komponen yang diinginkan akan terisolasi. Kemudian dilakukan analisis stigmasterol. Analisis menunjukkan keberadaan stigmasterol pada kedua tanaman purwoceng tersebut, kadar stigmasterol dari daun purwoceng kering sebesar 0.1595% untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1900 m dpl dan 0.0378% untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl. Hasil uji fitokimia menunjukkan kedua tanaman purwoceng mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid (Ulya et al. 2008).

(27)

13   

Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar Luteinizing Hormone

(LH) dan testosteron tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999).

Hasil uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif yang dipakai pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng

Jenis Contoh Uji Fitokimia Hasil Pengujian

Akar purwoceng Alkaloid +++

Saponin -

Tanin +

Fenolik -

Flavonoid +++

Triterfenoid +

Steroid +

Glikosida +

Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011) Keterangan: - : Negatif

(28)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, mulai bulan September 2010 sampai Maret 2011.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastik, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus, tempat pakan tikus, spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tisu, kapas, kertas nama, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer.

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD) yang terdiri dari 10 ekor tikus betina bunting. Bahan-bahan yang digunakan adalah pakan tikus, sekam, ekstrak purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, akuades, dan kain saring.

Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

Purwoceng dikeringkan dengan menjemur dibawah panas sinar matahari (suhu tidak boleh lebih dari 50 ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga dihasilkan serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring.

(29)

15   

proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48 ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm. Selanjutnya ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering dengan suhu lebih kurang 45 °C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram serbuk (simplisia) adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak kering ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5%, yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu (Taufiqurrachman 1999), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg BB. Dalam penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml untuk 300 gram berat badan.

Tahap Persiapan Hewan Model

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus sp.) bunting dari galur Sprague-Dawley. Tikus-tikus ini dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm. Kandang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta air minum ad libitum. Pakan yang diberikan berupa pelet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol yang berisi air tersebut ditutup dan dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap tiga hari.

(30)

dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. Apabila ada spermatozoa pada ulas vagina setelah dilihat dibawah mikroskop maka dapat dipastikan terjadi perkawinan dan tercatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan kembali.

Perlakuan Hewan

Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 5 ekor tikus bunting untuk kontrol dan 5 ekor tikus bunting yang diberi perlakuan yaitu pemberian purwoceng melalui oral lebih kurang 0.5 ml/300 g pada umur kebuntingan 13-21 hari. Dua kelompok tikus tersebut dinekropsi pada hari ke-21 untuk dilihat perubahan makro anatomi dari alat reproduksinya. Euthanasi tikus menggunakan eter. Parameter-parameter yang akan dilihat adalah bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak. Bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak didapat dengan menimbang utuh secara keseluruhan, kemudian dipisahkan untuk ditimbang masing-masing.

(31)

17   

Analisis Statistik

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 13-21 hari terhadap rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium tikus putih dapat dilihat pada Tabel 3. Pemberian purwoceng pada usia kebuntingan 13-21 hari dimaksudkan untuk mengetahui efeknya terutama terhadap bobot uterus dan plasenta karena masa plasentasi pada tikus terjadi pada usia kebuntingan 12-13 hari.

Tabel 3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium

No Bobot ovarium (g) Bobot Uterus (g) Bobot Plasenta (g)

0.058±0.013 0.074±0.027 3.092±0.362 4.864±1.349 6.086±1.795 6.066±1.606 Keterangan: K = Kontrol

P = Perlakuan

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Ovarium

(33)

19   

korpus luteum. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol (Gadjahnata 1989).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Uterus

Gambar 3 Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari.

(34)

Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ (Ibanez dan Baulieu 2005). REα dan REβ banyak terdapat di dalam jaringan reproduksi betina diantaranya pada ovarium, endometrium, dan kelenjar mammae. Selain pada organ tersebut, terdapat pula di kulit, pembuluh darah, tulang, dan otak (Ganong 2002). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ). Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al 2007).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Plasenta

Gambar 4 Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari. Keterangan: Tanda panah adalah plasenta

(35)

21   

Sekresi estrogen oleh plasenta berbeda dari sekresi estrogen oleh ovarium. Sebagian besar estrogen yang diekskresikan adalah estriol, yang merupakan estrogen yang sangat lemah dan dibentuk hanya dalam jumlah kecil pada hewan yang tidak bunting. Karena kekuatan estrogenik dari estriol yang sangat kecil, estrogen lainlah yang berperan pada sebagian besar aktivitas total estrogen. Estrogen yang diekskresikan oleh plasenta tidak disintesis sendiri dari zat-zat dasar dalam plasenta. Sebaliknya, estrogen hampir seluruhnya dibentuk dari senyawa steroid androgen. Androgen yang lemah ini kemudian ditranspor oleh darah ke plasenta (Guyton dan Hall 1997). Biosintesis estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh kompleks enzim yang dikenal sebagai aromatase (Favaro dan Cagnon 2007). Menurut Nalbandov (1990), organ bertambah berat akibat meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang lebih besar.

Menurut Anwar (2005), produksi estrogen oleh plasenta juga bergantung pada prekursor-prekursor dalam sirkulasi, namun pada keadaan ini baik steroid fetus ataupun induk merupakan sumber-sumber yang penting untuk sintesis estrogen tersebut. Kebanyakan estrogen berasal dari androgen fetus, terutama dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA sulfat). DHEA sulfat fetus terutama dihasilkan oleh adrenal fetus, kemudian diubah oleh sulfatase plasenta menjadi dehidroepiandrosteron bebas (DHEA bebas), dan selanjutnya melalui jalur-jalur enzimatik yang lazim untuk jaringan-jaringan penghasil steroid, menjadi androstenedion dan testosteron. Androgen-androgen ini akhirnya mengalami aromatisasi dalam plasenta menjadi berturut-turut estron dan estradiol.

(36)

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak

Bobot anak yang dihasilkan dari uterus tikus yang mendapatkan ekstrak etanol purwoceng ditimbang setelah anak dikeluarkan dari uterus pada umur 21 hari kebuntingan atau saat melahirkan.

Kontrol Perlakuan

Gambar 5 Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari.

Gambar 5 adalah anak-anak tikus bunting hasil dari penelitian ini. Rata-rata bobot badan anak tikus putih yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada usia kebuntingan 13-21 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata jumlah anak tikus tiap induk berkisar 5-10 ekor.

Tabel 4 Rata-rata bobot anak tikus

Induk ke Jumlah anak Rata-rata bobot anak (g)

K P K P 1 10 11 4.162 ± 0.198 3.698 ± 0.258 2 11 9 4.277 ± 0.249 3.444 ± 0.136

3 8 5 2.621 ± 0.120 4.628 ± 0.320 4 7 9 3.997 ± 0.261 5.597 ± 0.314 5 4 11 2.638 ± 0.062 2.412 ± 0.144 Rata-rata 8 ± 2.739 9 ± 2.449 3.539 ± 0.836 3.956 ± 1.210

Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan

(37)

23   

dan makro uterus juga lebih baik pada tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng. Penebalan endometrium dan vaskularisasi yang baik dari pembuluh darah menyebabkan lingkungan uterus menjadi lebih baik. Perbaikan lingkungan uterus sebagai wadah dari embrio atau fetus, diharapkan membuat pertumbuhan dan perkembangan fetus yang dikandung menjadi lebih baik. Garvita (2005) menyatakan bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik pada induk tikus dapat meningkatkan bobot lahir anak. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ruhlen (2007) bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik akan meningkatkan bobot badan dan kadar estradiol serum mencit.

Menurut Dziuk (1992) bobot lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan prenatal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan uterus dan plasenta selama embrio dan fetus dalam kandungan (McDonald 1980, Ashworth 1992). Gandolfi et al (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan pada fase embrio dipengaruhi oleh kesiapan endometrium uterus untuk menyediakan makanan dan senyawa kimia lain (faktor pertumbuhan dan hormon) untuk perkembangan embrio. Bobot lahir yang ditentukan oleh pertumbuhan dalam kandungan sangat menentukan bobot sapih. Selama dalam kandungan zat-zat makan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak diperoleh dari sekresi kelenjar uterus dan sirkulasi induk tersebut.

Pertumbuhan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh somatotropin, somatomedin, dan hormon-hormon lainnya seperti hormon tiroid, androgen, glukokortikoid, estrogen, dan insulin. Pertumbuhan secara normal disertai oleh rangkaian perubahan yang melibatkan peningkatan protein dan penambahan panjang serta ukuran, tidak sekedar peningkatan berat, yang dapat disebabkan oleh pembentukan atau retensi garam dan air (Ganong 2002).

(38)

Aktivitas estrogenik disebabkan karena adanya kandungan isoflavon dalam akar purwoceng. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011), menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid. Isoflavon termasuk dalam kelompok flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan kelompok yang terbesar dalam kelompok tersebut.   Aktivitas estrogenik isoflavon terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat estrogenik. Bahkan, isoflavon mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari stilbestrol.   Aktivitas estrogenik tersebut terkait dengan struktur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen (Pawiroharsono 2007).  

Isoflavon tersebut merupakan fitoestrogen. Menurut Tsourounis (2004), fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah dengan berikatan dengan reseptor estrogen. Suatu substrat baru berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Reseptor fitoestrogen sangat spesifik. Hormon diproduksi dalam berbagai macam kelenjar, jaringan dan organ, dan disekresikan ke dalam aliran darah dan akan melakukan perjalanan menuju jaringan target. Jaringan target mempunyai reseptor terhadap hormon spesifik. Pada saat hormon berikatan dengan reseptor, pada saat itu pulalah respon fisiologi dimulai (Women’s Health Symmetry 2009).

(39)

25   

pada jumlah reseptor estrogen dan konsentrasi estrogen endogen yang mampu bersaing (Kim et al. 1998).

(40)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis 25 mg/300 g BB cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot ovarium, uterus, dan anak. Sedangkan pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis 25 mg/300 g BB tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot plasenta.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberi selama 13-21 hari kebuntingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak setelah dilahirkan.

2. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) dengan dosis yang optimum.

(41)

 

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Adelien TU. 1996. Hubungan antara peningkatan konsentrasi esstradiol dan progesteron dalam serum induk dengan perkembangan fetus dan kelejar susu selama kebuntingan pada tikus putih (Rattus sp.) [tesis]. Program Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor.

Anwar R. 2005. Endokrinologi Kehamilan dan Persalinan. Bandung: Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran.

Arkaraviehien W, Kendle KE. 1990. Critical progesterone requirement of maintenance of pregnancy in ovariectomized rats. J Reprod Fert 90:63-70.

Ashworth CJ. 1992. Synchrony embryo-uterus. Anim Reprod Sci 28:259-267.

[Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Caropeboka et al. 1983. Aspek hormonal respons tubuh terhadap ekstrak akar

Pimpinella alpina Koord. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina

Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12(1)9-15.

Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci

28:299-308.

Favaro WJ, Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and oestrogen receptors in the ventral lobe of rat (Rattus norvegicus) prostate after long-term treatment with ethanol and nicotine. Int J Androl 31:609-618.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. B Srigandono, Koen Praseno, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals.

(42)

Gandolfi F, Brevini TAL, Mudina S, Passonil. 1992. Early embryonic signals embryo-maternal interactions before implantation. Anim Reprod Sci

28:269-276.

Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran. Brahm UP et al., penerjemah. Ed ke-20. Jakarta: EGC.

Garvita RV. 2005. Efektivitas ekstrak kedelai pada prakebuntingan (5, 10, 15 hari) tikus untuk meningkatkan profil reproduksi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Ed ke-7. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga Univ Pr.

Harrison RM, Phillippi PP, Swan KF, Henson MC. 1999. Effect of genistein on steroid hormone production in the pregnant rhesus monkey. Proc Soc Exp Biol Med 222:78-84.

Hernani, Yuliani S. 1991. Obat-Obat Afrodisiaka yang Bersumber dari Bahan Alam. Di dalam: Zuhud, EAM, editor. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan IWF. hlm 130-134.

Ibanez C, Baulieu EE. 2005. Mechanism of action of sex steroid hormones and their analog. Di dalam: Lauritzen C, Studd, editor. Current management of the menopause. London: Taylor & Francis.

Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. Ed ke-2. London: William Clowes Limited.

Kim H, Peterson TG, Barnes S. 1998. Mechanism of action of the soy isoflavone genestein: Emerging role of itsneffects through transforming growth factor beta signaling. Am J Clin Nutr 68:1418S-1425S.

(43)

29   

Lund JDD. 2005. The estrogen receptor [tesis]. Denmark: Department of Chemistry University of Aarhus.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Manan DA. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Ed ke-1. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.

McDonald LE. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Philadelphia: Lea and Febiger.

Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia.

Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Pawiroharsono, S. 1998. Benarkah tempe sebagai anti kanker. Jurnal Kedokteran dan Farmasi 12:815-817.

Ribeiro E, Van Engelen MAJ, Nielsen MK. 1996. Embryonal survival to 6 days in mice selected on different criteria for litter size. J Anim Sci 74:610-615.

Ruhlen RL. 2007. Low phytoestrogen levels infeed increase fetal serum estradiol resulting in the “Fetal estrogenization syndrome” and obesity in cd-1 mice.

Environ Health Perspect. 116(3):322-328.

Sheehan DM. 2005. The case for expanded phytoestrogen research. Proc Soc Exp Biol Med 208:5-3.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:

Principles and Procedures of Statistics.

Sukra J, Rahardja L, Juwita I. 1989. Pengantar Kuliah Embriologi. Bogor: Departemen Zoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

(44)

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa.

Tsourounis C. 2004. Clinical effects of phytoestrogens. Clin Obst Gynecol

44:836-842.

Ulya et al. 2008. Analisis kadar stigmasterol dari tanaman purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) yang tumbuh pada tingkat ketinggian berbeda.

Semarang: FMIPA Undip.

Women’s Health Symmetry. 2009. Red Clover: Sumber yang kaya akan isoflavon. [terhubung berkala]. http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?p=1184. [23 Juni 2011].

(45)

31   

                       

LAMPIRAN

(46)

Lampiran 1 Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari

Lampiran 2 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari

Perlakuan Mean N Std. Deviation

Lampiran 3 Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari

(47)

33   

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Model 379.202a 6 63.200 19.187 .006 Perlakuan .001 1 .001 .000 .987 tikus_ke 10.023 4 2.506 .761 .601 Error 13.176 4 3.294

Total 392.378 10

Lampiran 4 Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari

Perlakuan Mean N Std. Deviation Kontrol 3.53900 5 .836221 Purwoceng 3.95580 5 1.210073 Total 3.74740 10 1.004903

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Model 146.179a

6 24.363 29.179 .003 Perlakuan .434 1 .434 .520 .511 tikus_ke 5.314 4 1.329 1.591 .332 Error 3.340 4 .835

Total 149.519 10

Gambar

Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)
Gambar 1  Perbedaan tikus jantan dan betina (Malole dan Pramono 1989).
Gambar 2 Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006).
Tabel 2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng
+5

Referensi

Dokumen terkait

CEO transformational leadership and the new product development process: The mediating roles of organizational learning and innovation culture.. Seen Yu Ng, Garib Singh SK.,

Dari uraian di atas, penulis selaku kepala sekolah melakukan terobosan untuk menyikapi sekaligus memperbaiki pola-pola pemikiran yang salah dengan memberikan

Operator mesin yang merasa puas dengan gaji atau upahnya (pay), dimana operator menilai bahwa jumlah gaji atau upah yang diberikan perusahaan sesuai dengan kinerja yang ia

PERAN MOTIVASI KERJA DALAM MEMEDIASI PENGARUH PRAKTIK KERJA INDUSTRI DAN PRESTASI AKADEMIK TERHADAP KESIAPAN KERJA STUDI KASUS PADA SISWA KELAS XI AKUNTANSI DI SMK PALEBON

Maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah (1) Guru seni musik dapat menggunakan media iringan MIDI dalam proses pembelajaran vokal untuk meningkatkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap remaja tentang keamanan makanan jajanan antara sebelum dan sesudah pendidikan dengan media

Untuk saat ini yang menjadi masalah utama pada keluarga Bapak I Dewa Nyoman Kerug pada masalah pendapatan yang tidak mencukupi karena Bapak I Dewa Nyoman Kerug

[r]