• Tidak ada hasil yang ditemukan

Detection method of forest degradation using landsat satelite image at dry land forest in Gunung Halimun Salak National Park

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Detection method of forest degradation using landsat satelite image at dry land forest in Gunung Halimun Salak National Park"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

DI HUTAN LAHAN KERING

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

SIGIT NUGROHO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Metode Deteksi Degradasi Hutan menggunakan Citra Satelit Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

ABSTRACT

SIGIT NUGROHO. Detection Method of Forest Degradation Using Landsat Satelite Image at Dry Land Forest in Gunung Halimun Salak National Park. Supervised by I Nengah Surati Jaya, M Buce Saleh and Antonius B Wijanarto.

The study examined forest canopy density (FCD), maximum likelihood, fuzzy and belief dempster shafer for detecting forest degradation. Identification of forest degradation includes a) identification of terrestrial stand variable (stand density, basal area and volume) by evaluating their correlation with optical based stand variables (LAI, CSI, CDI, VCR and canopy density); b) accuracy analysis; c) post classification analysis and; d) forest degradation detection. The study found that the best method to detect four stand density classes is FCD method having 61% of overall accuracy. The other three methods provide 57% for maximum likelihood, 49% for fuzzy and only 45% for belief dempster shafer. The study concludes that medium size spatial resolution namely Landsat image, could be usefull to detect two degradation classes having accuracy of 74% using FCD method. Less accurate detection of forest degradation is provided when three degradation classes were used.

(4)

RINGKASAN

SIGIT NUGROHO. Metode Deteksi Degradasi Hutan Menggunakan Citra Satelit

Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh I Nengah Surati Jaya, M Buce Saleh dan Antonius B

Wijanarto

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai laju deforestasi yang tinggi yaitu 1,1 juta Ha/th (Dephut 2008). Indonesia telah mengakomodasi pentingnya pengurangan degradasi hutan untuk mengurangi emisi melalui Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sejak tahun 2009. Deteksi degradasi hutan menggunakan teknologi penginderaan jauh masih menjadi masalah yang krusial untuk mendukung prosedur operasional monitoring, reporting and verification (MRV) REDD. Deteksi degradasi belum mempunyai metode standar klasifikasi perubahan kelas tutupan hutan pada citra maupun keadaan di lapangan.

Berkenaan dengan hal tersebut maka pada penelitian ini dikaji beberapa metode klasifikasi berbasis piksel serta kelas-kelas degradasi hutan yang terukur dilapangan untuk deteksi degradasi hutan. Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi metode dan membangun prosedur yang tepat untuk deteksi degradasi hutan. Tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi peubah yang dapat digunakan sebagai indikator degradasi hutan di lapangan, 2) mengevaluasi tingkat akurasi klasifikasi kerapatan hutan menggunakan metode FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief-dempster shafer, 3) mengevaluasi tingkat akurasi deteksi degradasi hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Metode deteksi degradasi hutan yang diuji adalah metode berbasis piksel dengan menggunakan metode post classification comparison (PCC). Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah forest canopy density, maximum likelihood, fuzzy dan belief –dempster shafer. Metode identifikasi peubah kelas degradasi hutan dilapangan adalah dengan menggunakan analisis korelasi antara indikator tegakan yaitu volume, lbds dan kerapatan tegakan dengan indikator tajuk yaitu Crown Size Index (CDI), Crown Damage Index (CDI), Visual Crown Rating (VCR) dan Leaf Area Index (LAI) dan kerapatan tajuk. Uji hasil klasifikasi kerapatan hutan dan degradasi hutan menggunakan overall accuracy dan analisis Kappa.

(5)

Koefisien determinasi peubah VCR adalah 63% dan peubah kerapatan kanopi adalah 67%. Peubah CSI, CDI dan LAI mempunyai koefisien determinasi yang rendah.

Hasil uji klasifikasi yang terbaik menggunakan empat kelas kerapatan hutan dengan indikator kerapatan tegakan adalah metode FCD dengan akurasi 61%. Akurasi metode lainnya adalah 57% (maximum likelihood), 51% (fuzzy) dan 49% (belief ). Hasil uji klasifikasi menggunakan tiga kelas kerapatan hutan dengan indikator kerapatan tegakan yang terbaik adalah FCD dengan akurasi 72% (FCD). Akurasi metode lainnya adalah 67% (maximum likelihood), 63% (fuzzy) dan 55% (belief ).

Berdasarkan hasil uji akurasi klasifikasi maka metode yang mempunyai akurasi tertinggi adalah klasifikasi FCD sehingga metode klasifikasi FCD digunakan untuk uji akurasi deteksi degradasi hutan. Berdasarkan uji akurasi deteksi degradasi hutan temporal menggunakan 3 kelas degradasi hutan dari tahun 2003 sampai tahun 2008 dengan data lapangan kerapatan tegakan dihasilkan akurasi 68% . Uji akurasi deteksi degradasi hutan temporal menggunakan reklasifikasi dari 3 kelas degradasi hutan menjadi 2 kelas degradasi hutan adalah 74%, sehingga metode FCD untuk deteksi degradasi hutan menggunakan 2 kelas adalah yang terbaik.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

DI HUTAN LAHAN KERING

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

SIGIT NUGROHO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji luar komisi pada ujian tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc 2. Dr. Ir. M Ardiansyah M.Sc

(9)

Nama : Sigit Nugroho

NIM : E161070051

Disetujui

Ketua Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Ketua

Dr. Ir. M Buce Saleh, MS Anggota

Dr. Antonius Bambang Wijanarto Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof Dr. Ir Hariadi Kartodiharjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

(10)

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 ini adalah deteksi degradasi hutan dengan judul Metode Deteksi Degradasi Hutan Menggunakan Citra Satelit

Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr, Dr. Ir. M Buce Saleh MS, Dr. Antonius Bambang Wijanarto, selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Taman Nasional Halimun Salak beserta staf, Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh Fahutan IPB, Dr Rikimaru, Prof Ir Dr Lilik Prasetyo M.Sc, Dr Ir M Ardiansyah M.Sc, Dr Ir Ruandha Agung S M.Sc, Dr Ir Komarsa Gandasasmita M.Sc dan para pihak yang telah membantu dalam proses penelitian. Ucapan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan yang telah memberikan beasiswa. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada orang tua, istri, anak tercinta dan pihak-pihak lain atas segala dukungan dan doa dalam penyelesaian penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pribadi saya dan bangsa Indonesia.

Bogor, Januari 2012

(11)

kedua dari pasangan H Suranto dan Hj Warsini. Penulis menikah dengan Ratna Noor Harjanti S.Si dan dianugerahi 1 putra Rasiendriya Sajna Rafi Nugroho dan 1 putri Clarinta Maheswari Khaira Nugroho. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Kesempatan melanjutkan ke jenjang program doktor ilmu pengelolaan hutan pada tahun 2007 atas beasiswa dari Kementerian Kehutanan.

(12)

DAFTAR ISI

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ………

1.6 Kerangka Pemikiran ………..

2 METODE PENELITIAN

2.1Tempat dan Waktu Penelitian …………...………

2.2Data, Software, Hardware dan Alat ….……….

2.3Prosedur Penelitian……….

2.4Pengolahan Citra………...……….

2.4.1 Pra Pengolahan Citra………...………

2.4.2 Pengolahan Citra………..……….

2.4.3 Change Detection……….

2.5Kerja Lapangan ………

2.6Identifikasi Peubah Degradasi Hutan di Lapangan………

2.7Uji Akurasi……….

2.8Batasan Operasional ………..

3 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

3.1Letak Geografis dan Topografi Wilayah………..

3.2Sejarah TNHS. …. ………..

3.3Geologi , Hidrologi dan Tanah..………

3.4Iklim……….

3.5Flora dan Fauna ………

3.6Sosial Ekonomi Masyarakat ………

4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan ……… 4.1.1 Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di

Lapangan………

4.1.2 Identifikasi Tingkat Degradasi di Lapangan ……

(13)

4.3Hasil Uji Akurasi Kerapatan Hutan Menggunakan 4 Kelas

Kerapatan Hutan ………..……….……

4.4 Hasil Uji Akurasi Tingkat Degradasi Menggunakan 3 Kelas

Degradasi Hutan……….….……….

4.5Hasil Uji Akurasi Kerapatan Hutan Menggunakan 3 Kelas

Kerapatan Hutan ………..……….…..

4.6Hasil Uji Akurasi Tingkat Degradasi Menggunakan 2 Kelas

Degradasi Hutan……….….………

4.7Degradasi Hutan menggunakan 2 Kelas Degradasi Hutan..…

5. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA ………..

LAMPIRAN……….. …

81 84 86 87 88

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Titik kontrol pada citra Landsat tahun 2007 dalam koreksi

geometrik ………. 12

2 Titik kontrol pada citra Landsat tahun 2008 dalam koreksi

geometrik ………. 13

3 Hubungan regresi linier koreksi citra Tahun 2003 berdasarkan

PIFs dengan acuan citra tahun 2007.….. …… …… 16

4 Hubungan regresi linier koreksi citra tahun 2008 berdasarkan

PIFs dengan acuan citra tahun 2007.….. …… ……. 16

5 Klasifikasi penutup lahan………... 22

6 Fungsi keanggotaan pada klasifikasi Fuzzy………... 39

7 Derajat kepercayaan klasifikasi Belief Dempster Shafer………... 43

8 Klasifikasi degradasi secara temporal……….………. 45

9 Tahapan proses penelitian (Input, Proses, Output) ……… 52

10 Jumlah sampel lapangan berdasarkan kelas degradasi hutan …… 54

11 Jumlah sampel lapangan berdasarkan kelas kerapatan hutan…… 54

12 Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan mati dan lbds

dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi ………... 61 13 Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan hidup, volume,

lbds dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi ….. 62

14 Model persamaan regresi untuk klasifikasi indikator lapangan …. 63

15 Kriteria klasifikasi, volume kerapatan tegakan, lbds, kerapatan

kanopi, LAI, indikator tajuk. ……… 65

16 Tingkat degradasi hutan di lapangan ……… 65

17 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief Demspter Shafer menggunakan 4 kelas kerapatan

(15)

18 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy

dan Belief Demspter Shafer per 4 kelas kerapatan hutan. ……… 83 19 Klasifikasi degradasi hutan menggunakan 3 kelas degradasi

hutan ……… 85

20 Hasil uji akurasi 3 tingkat degradasi hutan klasifikasi FCD ….... 85 21 Kriteria klasifikasi volume, kerapatan tegakan, lbds, kerapatan

kanopi, LAI, indikator tajuk menggunakan 3 kelas kerapatan

hutan ……… 86

22 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief Demspter Shafer menggunakan 3 kelas kerapatan

hutan ……… 87

23 Klasifikasi degradasi hutan menggunakan 2 kelas degradasi

hutan ……… 87

24 Hasil uji akurasi 2 tingkat degradasi hutan klasifikasi FCD.. 88 25 Matrik perubahan tutupan hutan plot lapangan tahun 2003 dan

2007 (Ha) ………...… 88

26 Matrik perubahan tutupan hutan plot lapangan tahun 2007 dan

2008 (Ha) ………... 89

27 Luas degradasi hutan plot lapangan tahun 2003 sampai dengan

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian……… ………. 8

2 Peta lokasi penelitian ……… 9

3 Citra tahun 2007: a) sebelum koreksi geometrik; b) setelah koreksi geometrik dan citra tahun 2008: c) sebelum koreksi

geometric; d) setelah koreksi geometrik………. 14

4 Histogram citra tahun 2003 sebelum koreksi radiometrik kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 (a,b,c,d,e,f) dan setelah koreksi radiometric kanal

1, 2, 3, 4, 5,7 (g, h, i, j, k, l)………. 17

5 Histogram citra tahun 2008 sebelum koreksi radiometrik kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 (a,b,c,d,e,f) dan setelah koreksi radiometrik kanal

1, 2, 3, 4, 5,7 (g, h, i, j, k, l)………. 18

6 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung

Pangkulahan sekitarnya tahun 2003………. 19

7 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung

Pangkulahan sekitarnya tahun 2007………. 20

8 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung

Pangkulahan sekitarnya tahun 2008………. 21

9 Diagram alir umum klasifikasi Forest Canopy Density

(Rikimaru, 2003)………. 25

10 Diagram alir lengkap proses klasifikasi Forest Canopy Density 26

11 Peta AVI tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008 ……… 28

12 Peta NDVI tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008 ………... 28 13 Peta ANVI tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008 ……….... 28 14 Peta Bare Soil Index tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008 …….. 29

15 PCA indeks vegetasi dengan indeks tanah terbuka ……… 29

16 Peta Thermal Index tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008.. ….….. 29 17 Peta Shadow Index tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008 ……….. 30 18 Proses Tresholdingtanah terbuka dengan vegetasi ………. 30 19 Peta Vegetation Density (VD) tahun a)2003, b)2007 dan c)2008 30

20 Proses Clusteringklasifikasi hutan ……… 31

21 Diagram alir klasifikasi maximum likelihood……….. 34

22 Grafik nilai rata-rata digital number area contoh untuk masing-masing kelas tutupan lahan (a) Citra Landsat 2003, (b)

(17)

23 Penentuan fungsi keaggotaan pada kelas kerapatan hutan tinggi 39

24 Diagram alir klasifikasi fuzzy……… 40

25 Diagram alir klasifikasi belief……… 44

26 Desain sampel plot di lapangan ……… 46

27 Diagram alir penelitian ………. 53

28 Grafik hubungan kerapatan kanopi dengan (a)Volume (b) lbds, (c) kerapatan kanopi, (d) LAI, (e) CSI, (f) CDI, (g)VCR …. 64 29 Visualisasi kelas degradasi hutan ringan (tunggak 2 sampai dengan 201 batang/Ha) di lapangan ……… 66

30 Visualisasi kelas degradasi hutan sedang (tunggak 202 sampai dengan 568 batang/Ha) di lapangan ……… 67

31 Visualisasi kelas degradasi hutan berat (tunggak 569 sampai dengan 1053 batang/Ha) di lapangan ………. 68

32 Peta klasifikasi FCD tahun 2003 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……….. 69

33 Peta klasifikasi FCD tahun 2007Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……….. 70

34 Peta klasifikasi FCD tahun 2008 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……….. 71

35 Peta klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2003 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……….. 72

36 Peta klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2007 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ………. 73

37 Peta klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2008 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……….. 74

38 Peta klasifikasi Fuzzy tahun 2003 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya …………..……….……… 75

39 Peta klasifikasi Fuzzy tahun 2007 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ………….……….……… 76

40 Peta klasifikasi Fuzzy tahun 2008 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya …………..……….……… 77

41 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun 2003 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……..………….. 78

42 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun 2007 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya ……..………….. 79

(18)

44 Perubahan kelas kerapatan hutan plot lapangan tahun 2003

sampai dengan 2007………. 89

45 Proporsi luas degradasi hutan plot lapangan, a) tahun 2003 sampai dengan 2007 , b) tahun 2007 sampai dengan 2008 terhadap luas total degradasi hutan plot lapangan pada tiap

kelas kerapatan hutan... 90 46 Peta degradasi hutan dari tahun 2003 sampai dengan 2008

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Separabilitas training area citra landsat tahun 2003, tahun 2007 dan

tahun 2008... 99

2 Klasifikasi citra, indikator lapangan dan foto lapangan…… 100

3 Visualisasi areal contoh klasifikasi maximum likelihood pada citra

landsat dan quickbird………. 118

4 Visualisasi areal contoh klasifikasi fuzzy pada citra landsat dan

quickbird ………. ………. 120

5 Peta lokasi sampel lapangan ……… 122

6 Fungsi keanggotaan satu piksel landsat dan 156 piksel quickbird.. 123

7 Derajat kepercayaan klasifikasi training area……….. 124

8 Matrik konfusi antara 4 klasifikasi kerapatan hutan dengan data

lapangan ………. 125

9 Matrik konfusi antara 3 kelas degradasi di citra dengan degradasi di

lapangan ……….… 136

10 Matrik konfusi antara 3 klasifikasi kerapatan hutan dengan data

lapangan ………. 137

11 Matrik konfusi antara 2 kelas degradasi di citra dengan degradasi di

(20)

I.

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan Indonesia adalah 137 juta hektar, akan tetapi laju deforestasi dari tahun 2003 - 2006 telah mencapai angka lebih besar dari 1,174 Juta Ha pertahun (DEPHUT 2008). Sedangkan menurut Food and Agriculture Organization's angka deforestasi di Indonesia dari tahun 2000-2005 mencapai 1,9 juta Ha pertahun (FAO 2005). Isu deforestasi dan degradasi hutan mendapatkan perhatian serius dari masyarakat internasional yang mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang menyumbang emisi CO2 sekitar 20% dari emisi global. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 40% dari emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab pemanasan global (IPCC 2007).

Conference of Party United Nations Framework Convention of Climate Change (COP UNFCC) ke 13 telah mengakomodasi pencegahan degradasi hutan untuk mengurangi emisi melalui reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD (Murdiyarso et al. 2008). Memasukkan unsur degradasi hutan dalam REDD mempunyai dampak positif dalam adaptasi perubahan iklim dan penyediaan jasa lingkungan. Berbeda dengan deforestasi yaitu perubahan penutupan hutan menjadi nonhutan, degradasi hutan merupakan suatu proses yang sulit dibedakan karena melibatkan proses penurunan kualitas kanopi hutan dan struktur vertikal kanopi hutan dalam jangka waktu yang lama (Panta et al. 2008). Proses degradasi merupakan proses yang panjang untuk kemudian menjadi deforestasi.

(21)

dengan frekuensi yang lebih baik, guna menampung kebutuhan informasi terkini bagi pesatnya perkembangan proses REDD (Kanninen et al. 2009). Metode deteksi menggunakan data penginderaan jauh telah digunakan untuk menilai kerapatan kanopi hutan sebagai indikator degradasi hutan (Hadi et al. 2004; Joshi et al. 2006). Penggunaan persentase kerapatan kanopi menggunakan citra satelit Landsat untuk deteksi degradasi menghasilkan akurasi yang tinggi dan sangat menjanjikan (Panta et al. 2008; Hwan dan Merlinda 2008).

Teknologi analisis spasial saat ini telah menggunakan teknologi sistem informasi geografis dan penginderaan jauh yang dapat menyajikan data secara real time dan time series sehingga dapat bermanfaat bagi MRV. Teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data satelit dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan tersebut dengan hasil yang akurat, mencakup areal yang luas dan dapat dilakukan secara kontinyu. Teknologi penginderaan jauh secara teoritis dan empiris mampu untuk melakukan deteksi dan pemantauan laju deforestasi dan degradasi hutan yang berkaitan dengan posisi geografis, waktu, apa penyebab, prediksi dan bagaimana antisipasinya. Deteksi degradasi menggunakan data penginderaan jauh memiliki tantangan teknis yang lebih besar daripada memantau deforestasi (Defries et al. 2007).

Kebutuhan data tentang degradasi hutan sangat mendesak untuk menentukan kebijakan tentang sistem MRV dalam REDD. Kebutuhan data tidak hanya data angka tabular tetapi juga data spasial yang mampu menyajikan data angka atau numerik maupun data spasial. Oleh sebab itu diperlukan metode deteksi menggunakan data penginderaan jauh untuk pengelolaan hutan dengan data terbaru yang dapat diperoleh secara cepat, akurat dan efisien (Jaya 2009). Data penginderaan jauh yang didukung oleh observasi di lapangan merupakan kunci pemantauan yang efektif dan efisien (Kanninen et al. 2009).

(22)

tinggi. Berdasarkan data TNGHS (2007) disebutkan bahwa deforestasi mencapai 25 ribu hektar, dengan rata-rata 1,3% per tahun dari tahun 1989 – 2004.

Metode pemantauan degradasi hutan menggunakan data penginderaan jauh untuk tujuan MRV masih membutuhkan sebuah metode yang baik untuk diaplikasikan pada berbagai level (Murdiyarso et al. 2008; Bahamondez et al. 2009). Perkembangan pemrosesan citra digital dengan metode change detection berkembang dengan berbagai klasifikasi penutup lahan. Klasifikasi penutup lahan diantaranya forest canopy density, maximum likelihood, fuzzy dan belief – dempster shafer.

Klasifikasi maximum likelihood merupakan teknik mengkategorikan jenis vegetasi yang sama ke dalam satu kategori melalui analisa multivariat data multispektral (Roy 2003). Metode ini mempunyai kelemahan yaitu sulit untuk melakukan penggolongan status vegetasi yang terperinci menggunakan metode statistik. Hal itu disebabkan karena karakteristik spektrum merupakan efek kumulatif dari variasi jenis hutan, kerapatan kanopi, latar belakang kekasaran kanopi (background canopy roughness), illumination geometry dan resolusi spasial dari sensor.

Perkembangan dalam klasifikasi tutupan hutan adalah menggunakan kerapatan kanopi sebagai indikator perubahan vegetasi. Menurut Roy (2003), biophysical vegetation indices merupakan metode yang dapat mengakomodasi variasi permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh dari latar belakang dari vegetasi. Metode ini dapat mengurangi efek bias dan menghasilkan ekstraksi kenampakan yang lebih baik pada obyek yang spesifik di bumi. Perkembangan metode ini diaplikasikan dengan menggunakan Forest Canopy Density Mapper untuk deteksi perubahan penutup hutan.

(23)

shadow index (SI) digunakan melalui ekstraksi low radiance dari visible light. Pendekatan ini mengisolasikan kenampakan vegetasi menggunakan index AVI dan index BI. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui (SI) atas dasar variasi tekstur pada bayangan kanopi pada tegakan hutan.

Penelitian menggunakan forest canopy density untuk deteksi perubahan tutupan hutan mempunyai akurasi yang baik (Jamalabad dan Akbar 2002; Hadi et al. 2004; Baynes 2005; Panta dan Kim 2006). Joshi et al. (2006) pernah melakukan perbandingan metode untuk pemantauan kerapatan kanopi dengan menggunakan 4 metode yaitu neural network, forest canopy density, multiple linier regresion technique dan maximum likelihood. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa yang terbaik adalah neural network, meskipun ketiga metode yang lain juga mempunyai korelasi yang cukup tinggi. Mon et al. (2011) melakukan perbandingan klasifikasi maximum likelihood dan FCD. Akurasi terbaik adalah pada kelas hutan kerapatan tinggi. Penelitian ini menggunakan 3 kelas kerapatan hutan satu waktu dan tidak melakukan analisis temporal untuk degradasi hutan.

Perkembangan klasifikasi lainnya adalah dengan menggunakan klasifikasi fuzzy dan belief-dempster shafer. Klasifikasi fuzzy menggunakan kesamaran (fuzzy) batas suatu kelas penutup lahan atau banyak heterogenitas yang disebabkan oleh perbedaan spesies dan umur vegetasi (Jensen 2005). Penutup lahan pada citra penginderaan jauh merupakan obyek yang fuzzy tergantung pada sistem klasifikasi dan resolusi citra (Tang 2004). Penelitian menggunakan teknik fuzzy untuk klasifikasi penutup lahan menghasilkan ketelitian tinggi (Wang 1990; Fisher dan Pathirana 1990; Foody 1996, Fitria 2006, Sowmya dan Sheelarani 2011). Maselli et al. (1996) menyebutkan klasifikasi fuzzy dapat untuk deteksi piksel yang berubah atau terdegradasi tetapi Wijaya (2005) menyatakan klasifikasi maximum likelihood lebih tinggi akurasinya untuk deteksi perubahan penutup lahan akibat illegal logging

(24)

98%. James (2006) dan Sumbera (2001) menyebutkan bahwa klasifikasi belief dapat digunakan dengan baik untuk penutup lahan. Gottlicher et al. (2009) menyebutkan bahwa klasifikasi maximum likelihood lebih dari metode belief untuk klasifikasi vegetasi di hutan pegunungan tropis. Klasifikasi belief dan fuzzy untuk klasifikasi hutan yang lebih detil tentang hutan kerapatan rendah sampai hutan kerapatan tinggi masih belum dikaji lebih jauh.

Metode klasifikasi tutupan lahan hutan yang lebih detil tentang kerapatan hutan memerlukan kajian untuk dapat diterapkan di hutan lahan kering yang mempunyai karakteristik yang spesifik. Metode deteksi degradasi hutan menggunakan citra Landsat secara temporal dengan indikator degradasi hutan dan kriteria degradasi hutan di lapangan belum pernah dilakukan. Penelitian ini mengkaji dan menghasilkan metode deteksi degradasi hutan dengan menggunakan citra resolusi sedang (Landsat) berdasarkan kriteria dan klasifikasi degradasi hutan yang lebih detil. Penggunaan citra resolusi sedang karena mempunyai keuntungan dari aspek biaya dan luas cakupan. Metode yang dihasilkan yang merupakan novelty dari penelitian ini.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana disebutkan sebelumnya, saat ini belum tersedia metode deteksi degradasi yang teruji menggunakan citra resolusi sedang berdasarkan kriteria degradasi hutan di lapangan. Demikian pula belum tersedia metode monitoring degradasi hutan untuk keperluan MRV REDD di berbagai tipe hutan. Pertanyaan penelitian dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kelas-kelas hutan dan degradasi hutan dibentuk?

2. Peubah apakah yang dapat digunakan untuk membentuk kelas-kelas degradasi hutan?

(25)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membangun metode yang tepat untuk deteksi degradasi hutan lahan kering di TNGHS. Tujuan khususnya adalah: 1. Mengidentifikasi peubah yang dapat digunakan sebagai indikator degradasi

hutan di lapangan.

2. Mengevaluasi tingkat akurasi klasifikasi kerapatan hutan menggunakan metode FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief-dempster shafer.

3. Mengevaluasi tingkat akurasi deteksi degradasi hutan. 1.4Manfaat Penelitian

1. Sebagai dasar pertimbangan pembentukan kelas-kelas hutan dalam rangka deteksi deforestasi dan degradasi hutan.

2. Metode yang tepat sebagai hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk MRV REDD dan peringatan dini proses deforestasi dan degradasi hutan.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup proses deteksi degradasi hutan di kawasan hutan Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan TNGHS. Proses degradasi hutan di kawasan tersebut dikaji menggunakan change detection. Metode klasifikasi yang digunakan dalam change detection adalah klasifikasi forest canopy density,maximum likelihood, fuzzy dan belief dempster-shafer.

1.6 Kerangka Pemikiran

(26)

Teknologi penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam menjawab permasalahan deteksi degradasi hutan. Kemampuan teknologi ini dapat menjangkau wilayah yang luas, resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal yang baik serta efisien dalam penggunaannya. Kemampuan teknologi citra Landsat dapat digunakan untuk deteksi indikator degradasi hutan diantaranya volume, luas bidang dasar, kerapatan tegakan, LAI, kerapatan kanopi dan crown indicator. Perkembangan metode deteksi saat ini adalah dikenalnya metode change detection. Terdapat 4 metode klasifikasi penutup lahan yaitu forest canopy density, maximum likelihood, fuzzy dan belief dempster shafer. Metode fuzzy dan belief menggunakan pendekatan bahwa kelas penutup lahan tertentu tidak dapat diklasifikasikan secara tepat dengan angka kelas interval pada nilai piksel citra. Terdapat kelas penutup lahan yang mempunyai interval yang samar atau fuzzy.

(27)
(28)

2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian berisi langkah-langkah kerja yang tersusun secara sistematis untuk menyelesaikan penelitian. Pada bagian ini disajikan waktu dan tempat penelitian, bahan dan alat, prosedur penelitian, dan analisis data.

2.1Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di kawasan hutan Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan TNGHS, yang terletak di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2010 sampai dengan Desember 2010.

(29)

2.2Data, Software, Hardware dan Alat

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Citra digital Landsat ETM7+ tanggal 6 Juni 2003, TM5 tanggal 26 September 2007, dan TM5 tanggal 5 Agustus 2008, dan citra Quickbird 2006.

b. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 daerah TNGHS.

Software , hardware dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Satu perangkat komputer dan printer.

b. Perangkat lunak SIG ARCView 3.3 dan pemrosesan citra digital Envi v 4.1 dan Idrisi, FCD Mapper Versi 2.

c. Seperangkat alat untuk pengukuran di lapangan: GPS, Kompas, diameter tape, roll meter, clinometers, tally sheet, kamera fisheye.

2.3Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah tahapan penelitian yang terdiri dari:

1. Tahap persiapan alat yang dilakukan adalah dengan mempersiapkan hardware dan software ARC View, Envi, Idrisi dan FCD Mapper yang akan digunakan untuk pengolahan data. Sedangkan tahap pengumpulan data awal meliputi penelusuran peta, citra satelit dan data sekunder yang akan digunakan melalui metode pencarian melalui situs internet dan instansi TNGHS, Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan.

2. Kerja Laboratorium Penginderaan Jauh dan SIG. Tahapan dalam proses ini adalah :

a. Pra pengolahan citra Landsat TM dan ETM

b. Melakukan ektsraksi citra Landsat dengan 4 metode klasifikasi untuk menghasilkan peta kerapatan hutan dan perubahan kerapatan hutan (degradasi).

3. Kerja lapangan

Tahap ini adalah melakukan uji akurasi terhadap klasifikasi kerapatan hutan dengan keadaan di lapangan

(30)

2.4 Pengolahan Citra 2.4.1 Pra Pengolahan Citra

Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat yang direkam pada tahun 2003, 2007 dan 2008. Saluran atau band yang digunakan adalah kanal 1, kanal 2, kanal 3, kanal 4, kanal 5, kanal 6 dan kanal 7. Informasi yang dihasilkan oleh citra Landsat TM memegang peranan penting dalam penelitian ini. Kesalahan citra Landsat karena faktor eksternal pada saat perekamannya memerlukan koreksi radiometrik dalam penelitian ini. Kesalahan radiometrik dihilangkan dan atau diminimalisir dengan melakukan koreksi radiometrik pada awal pemrosesan. Sementara itu kesalahan geometri diakibatkan adanya sistem orbital satelit yang polar, pengaruh kelengkungan bumi, grafitasi dan topografi dikoreksi menggunakan referensi peta topografi dengan menggunakan titik kontrol-titik kontrol yang akurat. Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

A. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga posisi piksel terkoreksi secara planimetris. Tahapan koreksi geometrik ini adalah sebagai berikut :

a. Penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM 48 zone selatan. Pemilihan proyeksi ini disesuaikan dengan pembagian area pada sistem UTM, dimana Jawa Barat termasuk wilayah TNGHS berada pada zona South UTM row 48, sedangkan datum yang digunakan adalah World Geografic System 84 (WGS 84). Tahapan ini bertujuan untuk mendefinisikan informasi yang akan digunakan dalam proses koreksi selanjutnya.

b. Pemilihan titik-titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP)

(31)

titik-titik kontrol lapangan tersebut adalah perpotongan jalan, sungai dan yang lainnya.

c. Perhitungan Root Mean Squared Error (RMSE) setelah GCP terpilih.

Selanjutnya dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. Dianjurkan agar RMSE bernilai lebih kecil dari 0,5 piksel.

Pada penelitian ini citra Landsat ETM7+ tahun 2003 telah terkoreksi geometrik. Citra Landsat TM 5 tahun 2007 dan 2008 belum terkoreksi geometrik sehingga dilakukan proses koreksi image to image dengan referensi citra tahun 2003. Pada Tabel 1 dan 2 dapat dilihat titik control yang digunakan dan RMSE dalam proses koreksi geometrik.

Pada Tabel 1 ini didapatkan rata-rata RMSE seluruh titik kontrol pada citra tahun 2007 adalah 0.39. RMSE tersebut sudah dibawah 0.5 sehingga dapat dikatakan bahwa citra telah terkoreksi dengan baik. Pada Tabel 2 yang merupakan titik kontrol untuk citra tahun 2008 didapatkan RMSE 0.37 sehingga citra tahun 2008 dapat digunakan pada proses selanjutnya karena telah terkoreksi geometrik. Tabel 1 Titik kontrol pada citra Landsat tahun 2007 dalam koreksi geometrik

(32)

Tabel 2 Titik Kontrol pada citra landsat tahun 2008 dalam koreksi geometrik

No Citra 2008 Citra 2003 Error RMSE

X Y X Y X Y

1 1475,50 659,75 1295,00 610,00 -0,33 -0,54 0,63 2 1708,25 771,75 1541,50 685,75 -0,24 -0,24 0,34 3 1163,25 513,00 964,00 511,00 -0,08 0,11 0,13 4 392,50 884,00 254,75 994,25 0,07 0,12 0,14 5 317,50 1790,50 316,25 1901,75 -0,02 0,10 0,10 6 766,25 1910,75 775,75 1954,50 0,19 0,03 0,19 7 1660,50 1791,25 1639,50 1704,00 -0,36 0,04 0,36 8 2187,00 1891,75 2171,75 1726,00 0,00 0,03 0,03 9 2317,00 928,00 2166,00 749,50 -0,11 -0,03 0,29 10 1406,50 985,00 1272,25 942,25 0,80 0,50 0,80 11 819,50 769,50 660,50 817,00 0,16 -0,07 0,18 12 2215,50 767,50 2043,00 604,50 0,07 0,51 0,52 13 100,25 1325,75 32,50 1474,75 -0,34 -0,01 0,34 14 1321,00 863,00 1171,00 833,75 -0,13 0,44 0,46 15 1677,25 1106,75 1558,00 1022,50 0,23 0,01 0,23 16 928,25 1575,50 886,25 1599,00 0,08 -0,33 0,34 Total RMSE 0,37

Citra hasil koreksi yang akurat ini sangat bermanfaat dalam proses change detection. Kesalahan dalam koreksi geometrik dapat mengakibatkan kesalahan dalam identifikasi perubahan nilai piksel. Piksel yang seharusnya berposisi pada satu lokasi tertentu tetapi dapat berposisi di tempat lain akibat ketidakakuratan dalam koreksi geometri. Ketidakakuratan dalam posisi piksel akan berakibat pula pada kesalahan dalam hasil klasifikasi citra sehingga terjadi bias dalam proses change detection.

(33)

(a) (b)

(d) (c)

(34)

B. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya (khususnya pada gelombang yang lebih pendek), tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat yang direkam pada tahun ETM7+ 2003, TM5 2007 dan 2008. Saluran atau band yang digunakan adalah kanal 1, kanal 2, kanal 3, kanal 4, kanal 5, kanal 6 dan kanal 7. Citra Landsat dalam setiap perekamannya mempunyai kualitas gangguan radiometrik yang berbeda-beda. Informasi yang dihasilkan oleh citra satelit Landsat TM memegang peranan penting dalam penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam koreksi ini adalah dengan menggunakan multiple-date image normalization dari obyek yang tidak mengalami perubahan yaitu pseudo-invariant features/PIF. Obyek yang tidak mengalami perubahan tersebut adalah tubuh air yang dalam (deep water body), tanah terbuka yang kering (bare soil) dan atap bangunan yang luas (Jensen 2005). Proses koreksi radiometrik ini mutlak harus dilakukan dalam penelitian ini karena menggunakan data temporal. Metode ini menggunakan citra yang mempunyai kualitas yang baik sebagai acuan untuk mengkoreksi radiometrik citra yang lain.

(35)

Tabel 3 Hubungan regresi linier koreksi citra tahun 2003 berdasarkan PIFs dengan acuan citra tahun 2007.

Citra Band Slope y-Intercept r2

2003 1 0,816873 48,30617 0,70

2 0,570919 24,15057 0,64

3 0,607471 19,93705 0,73

4 0,902614 -2,36399 0,85

5 0,742671 14,13528 0,85

7 0,526694 23,62185 0,74

Tabel 4 Hubungan regresi linier koreksi citra tahun 2008 berdasarkan PIFs dengan acuan citra tahun 2007.

Citra Band Slope y-Intercept r2

2008 1 1,8105 38,8244 0,76

2 1,1839 13,4719 0,77

3 1,3762 8,9178 0,82

4 1,2908 -35,1956 0,90

5 1,1726 -15,5406 0,95

7 1,3941 -20,6281 0,95

(36)

(f) (l)

(e) (k)

(d) (j)

(c) (i)

(b) (h)

(a) (g)

(37)

(f) (l)

Gambar 5 Histogram citra tahun 2008 sebelum koreksi radiometrik kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 (a,b,c,d,e,f) dan setelah koreksi radiometric kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 (g, h, i, j, k, l)

(e) (k)

(d) (j)

(c) (i)

(b) (h)

(38)
(39)

Gambar 7 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

(40)
(41)

2.4.2 Pengolahan Citra

Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengolah citra Landsat tahun 2003, 2007 dan 2008 untuk menghasilkan kelas kerapatan hutan dan tutupan non hutan. Klasifikasi penutup lahan adalah menggunakan kelas (kategori) Departemen Kehutanan tahun 2004 (Tabel 5).

Tabel 5 Klasifikasi penutup lahan

No Kelas Kode Keterangan rumput termasuk didalam kelas ini)

(Citra Resolusi tinggi berdasar kerapatan kanopi)

Klasifikasi Badan

Planologi Kehutanan

kerapatan kanopi tahun 2006

7 Hutan kerapatan rendah H1 Kerapatan kanopi 11-30%.

8 Hutan kerapatan sedang H2 Kerapatan kanopi 31-50%.

9 Hutan kerapatan tinggi H3 Kerapatan kanopi 50 -

70%

10 Hutan kerapatan tinggi H4 Kerapatan kanopi

71-100%. (H4)

Klasifikasi citra untuk menghasilkan peta penutup lahan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

A. Klasifikasi Kerapatan Kanopi Hutan (FCD)

(42)

dipisahkan pada tutupan hutan dapat ditingkatkan dengan penggunaan kekuatan respon band inframerah. Panjang gelombang inframerah lebih sensitif pada kerapatan hutan dan kelas tumbuh-tumbuhan physiognomic. Biophysical vegetation indices yang dalam perkembangannya disebut FCD indeks, melibatkan indeks advanced vegetation index (AVI). Sedangkan untuk lebih detil dalam mengkategorikan status vegetasi digunakan bare soil index (BI). Dasar logika pendekatan ini berdasar pada hubungan timbal balik yang tinggi dari status vegetasi dan lahan terbuka. Oleh karena itu, kombinasi BI dan AVI digunakan dalam analisis ini. Untuk menyadap informasi pada shadow index (SI) digunakan melalui ekstraksi low radiance dari visible light. Pendekatan ini mengisolasikan kenampakan vegetasi menggunakan index AVI dan index BI. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui (SI) atas dasar variasi tekstur pada bayangan kanopi pada tegakan hutan.

Proses pembuatan FCD menggunakan software FCD-Mapper Ver. 2. Proses ini diawali dengan:

a. Pra pemrosesan

Pemrosesan citra menggunakan software ini harus dilakukan dengan format software FCD-Mapper image format (FBI).

b. Pemrosesan data

Setelah pra pemrosesan selesai maka langkah selanjutnya adalah:

1. Prosedur untuk menghilangkan kesalahan radiometrik dan normalisasi citra dengan cara menghilangkan efek dari air, awan, bayangan awan dan haze. Awan, bayangan dan air dihilangkan dengan menggunakan tresholding. Efek haze dihilangkan dengan menggunakan low pass filtering.

2. Membuat Indeks Vegetasi (VI) menggunakan beberapa algortima diantara adalah :

a. Normalized Differential Vegetation Index (NDVI) = (Near Infra Red-Red) / (Near Infra Red +Red);

(43)

c. Advanced Normalized Vegetation Index (ANVI ) adalah indeks sintetik dari NDVI dan AVI menggunakan Principal Component Analysis. 3. Membuat Bare Soil Index (BI) dengan algoritma:

BI = ((MIR+R) - (B+NIR)) / ((MIR+R) + (B+NIR)); dimana:

NIR = Near Infra-Red Band dan MIR = Middle Infra-RedBand

4. Membuat Thermal Index (TI) dengan cara mengkalibrasi nilai band thermal 5. Membuat Shadow Index (SI) dengan algoritma:

SI = ((256-B) x (256-G) x (256-R))1/3

dimana B= band biru, G = band hijau dan , R = band merah

6. Membuat Advanced Shadow Index (ASI) menggunakan langkah-langkah: Menentukan Forest Gap Detection yaitu jika VI lebih kecil dari threshold vegetasi, dengan melihat subyek piksel dari areal bukan hutan maka nilai ASI = 0. Membuat Black Soil Detection yaitu jika TI lebih besar dari threshold thermal dengan melihat subyek pada Black soil area dan ASI = 0. Proses ini untuk menghilangkan efek kesalahan dari tanah yang hitam menjadi areal bayangan hutan. Proses selanjutnya adalah Spatial Process, pada tutupan kanopi hutan yang rapat, areal yang ada bayangannya dari satelit dan pohon dari 3 pixel area yang dicari disekitar obyek pixel. Kemudian nilai SI maximum value sebagai SI subyek pixel.

7. Membuat Vegetation Density (VD) yaitu kerapatan tutupan vegetasi per pixel dihitung dengan Principal Component dari VI dan BI, dan dikalibrasi dengan minimum dan maximum tutupan vegetasi.

8. Membuat Scaled Shadow Index (SSI) yaitu kalibrasi dari Shadow Index pada areal berhutan.

9. Membuat Forest Cluster (FC) yang merupakan indikasi dari areal berhutan dengan algoritma:

(44)

VI adalah indeks vegetasi terpilih diantara NDVI, AVI ANVI yang mempunyai koefisien korelasi tertinggi dengan BI.

10. Membuat Forest Canopy Density (FCD) yaitu kerapatan kanopi hutan (%) per piksel dengan algoritma:

FCD= √(VD x SSI +1)1/2 -1

Diagram alir klasifikasi FCD dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Gambar 9 Diagram alir umum klasifikasi Forest Canopy Density (Rikimaru, 2003)

Selesai

Scale Shadow Index Peta kerapatan

vegetasi

Citra Landsat

Integrasi Model

Peta Kerapatan kanopi Pembuatan

Vegetation Index (VI)

Pembuatan Bare Soil Index

(BI)

Pembuatan Shadow Index

(SI)

Pembuatan Thermal Index

(45)

Gambar 10 Diagram alir lengkap proses klasifikasi Forest Canopy Density

Eliminasi awan, bayangan awan, air, dan haze

Proses Pembuatan Advance Shadow Index (ASI):

1.Forest Gap Detection

2. Black soil detection

3. Spatial processing (filtering)

Peta ASI

Forest Clustering Kalibrasi Max & Min

Vegetasi

Peta Kerapatan Vegtasi (VD) Peta Scale Shadow Index (SSI) Citra Landsat bebas awan, air

(46)

Pada proses klasifikasi menggunakan FCD langkah pertama adalah reduksi terhadap area berawan, bayangan awan dan tubuh air. Reduksi areal berawan dan air dilakukan dengan menggunakan proses tresholding. Reduksi haze dilakukan dengan low pass filtering. Hasil dari proses tersebut akan menghasilkan cita yang bebas dari awan, bayangan dan air. Proses selanjutnya adalah pembuatan peta indek vegetasi yaitu peta Advancde Vegetation Index (AVI), Normalized Differential Vegetation Index (NDVI), dan Advanced Normalized Vegetation Index (ANVI). Peta AVI, NDVI, dan ANVI dapat dilihat pada Gambar 11 sampai dengan Gambar 13.

Setelah proses pembuatan peta indek vegetasi selesai maka dibuat peta Bare Soil Index yang akan digunakan untuk mendeteksi areal tanah terbuka. Gambar 14 menunjukan peta hasil Bare Soil Index Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2008.

Proses selanjutnya dari klasifikasi FCD adalah melakukan Principal Component Analisys dari indek vegetasi dengan indek tanah terbuka. Korelasi yang tertinggi akan dipilih untuk digunakan pada proses pengolahan selanjutnya. Pada citra tahun 2003 dari ketiga indek vegatasi yaitu ANVI yang mempunyai korelasi yang tertinggi sebesar -0.761. Pada citra tahun 2007 dan 2008 yang tertinggi adalah NDVI yaitu 0.763 dan 0.593 (Gambar 15).

Proses selanjutnya adalah pemrosesan band 6 Citra Landsat untuk memperoleh peta Thermal Index (TI) yang akan digunakan dalam proses clustering areal hutan pada proses selanjutnya. Peta TI dapat dilihat pada Gambar 16. Selain peta TI maka dihasilkan pula peta Shadow Index (Gambar 17) yaitu peta indeks bayangan pada citra sebagai akibat dari topografi maupun ketinggian tegakan di hutan.

(47)
(48)

Gambar 14 Peta Bare Soil Index tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008

(49)

Gambar 17 Peta Shadow Index tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008

Gambar 18 Proses tresholding tanah terbuka dengan vegetasi

Gambar 19 Peta Vegetation Density (VD) tahun a) 2003, b) 2007 dan c) 2008

(50)

Hasil proses selanjutnya adalah peta Scale Shadow Index . Setelah proses ini selesai maka proses selanjutnya adalah clustering untuk mengkategorikan cluster hutan dengan cara memilih kelas hutan dengan memperhatikan nilai indek vegetasi (VI), indek tanah terbuka (BI) , indeks bayangan (SI) dan Thermal Index (TI) seperti terlihat pada Gambar 20. Setelah proses ini selesai maka dilakukan proses pembuatan peta FCD.

Keterangan: Warna kuning adalah cluster hutan terpilih dengan kiteria FC > 147, VI > 124, BI < 127, SI > 196 dan TI < 195

Gambar 20 Proses Clustering klasifikasi hutan

Proses pengolahan data akhir FCD menghasilkan data kerapatan kanopi hutan dari 1-100%, kemudian dibagi kedalam 5 kelas yaitu non hutan (kerapatan kanopi 0-10%), kerapatan rendah (kerapatan kanopi 11-30%), kerapatan sedang (kerapatan kanopi 31-50%), kerapatan tinggi (kerapatan kanopi 51-100%). Proses cropping dilakukan untuk menghasilkan peta tahun 2003, 2007 dan 2008 daerah penelitian.

B. Klasifikasi Maximum Likelihood

(51)

Algortima yang digunakan dalam penentuan klasifikasi ini adalah dengan menggunakan metode maximum likelihood. Metode ini mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan dalam kelas tertentu. Peluang ini sering disebut dengan prior probability yang dapat dihitung dengan menghitung prosentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas.

Aturan pengambilan keputusan dalam klasifikasi ini adalah aturan Bayes (Jaya 2009). Secara matematis fungsi kepekatan dari peubah ganda adalah sebagai berikut:

P(X) = exp{-1/2(x-m)t

dimana:

P(xi) = peluang suatu set piksel x masuk ke dalam kelas-i x = vektor piksel pada posisi x,y

mi = vektor rata-rata dari suatu set band untuk kelas i [Cov]= diterminan matrik ragam peragam kelas-i t = matrik transposisi

Analisis separabilitas diperlukan dalam klasifikasi ini. Separabilitas adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas, juga untuk mengetahui kombinasi band mana saja yang memberikan separabilitas yang terbaik untuk klasifikasi. Analisis ini dilakukan sebelum proses klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan hasil area contoh.

(52)

dimana : TD = separabilitas antara kelas i dengan kelas j ij e = 2,718

Menurut Jaya (2009), kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi adalah sebagai berikut.

a. Tidak terpisah (inseparable) : ≤ 1.600 b. Keterpisahan buruk (poor) : 1.601 – 1.699 c. Sedang (fair) : 1.700 – 1.899 d. Keterpisahan baik (good) : 1.900 – 1.999 e. Terpisah sempurna (excellent) : 2.000

Penentuan training area untuk citra Landsat tahun 2003, 2007 dan 2008 berdasarkan pada citra Quickbird tahun 2006 dan karakteristik dari spektralnya area contoh yang dibuat mewakili semua kelas tutupan hutan daerah yang telah ditentukan sebelumnya dan data ini digunakan untuk pengklasifikasian pada citra. Lampiran 3 menunjukkan visualisasi training area masing masing kelas tutupan hutan.

(53)

tutupan hutan tertentu. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelas yang tumpang tindih spektral, sehingga dapat mengurangi keakuratan hasil klasifikasi. Diagram alir klasifikasi maximum likelihood dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Diagram alir klasifikasi maximum likelihood

Pola spektral untuk masing-masing kelas tutupan lahan pada citra tahun 2003 , tahun 2007 dan tahun 2008 adalah seperti Gambar 22. Berdasarkan analisis separabilitas menunjukkan bahwa rata-rata untuk nilai transformed divergence citra tahun 2003, 2007 dan 2008 adalah 1874, 1891 dan 1874 (Lampiran 1).

Ya Pemilihan training

area

Evaluasi separabilitas Data training area

Separabilitas diterima?

Citra Landsat terkoreksi

Data Lapangan Mulai

Citra Quickbird

Evaluasi akurasi

Peta klasifikasi kerapatan hutan

Selesai Akurasi diterima?

Ya Penggabungan kelas

Tida

Penggabungan kelas

(54)
(55)

Berdasarkan kriteria ini maka nilai tersebut adalah termasuk tingkat keterpisahan sedang. Pada kelas tutupan hutan yaitu hutan dengan berbagai tingkat kerapatan maka tingkat keterpisahan yang rendah adalah pada kelas hutan kerapatan sangat tinggi (H4) dengan hutan kerapatan tinggi (H3) dan hutan kerapatan sedang (H2) dengan hutan kerapatan rendah (H1). Pada H4 dan H3 karena mempunyai nilai keterpisahan rendah maka dilakukan proses reklas menjadi satu kelas hutan kerapatan tinggi (H3). Berdasarkan training area tersebut kemudian dilakukan proses klasifikasi untuk seluruh wilayah penelitian.

C.Klasifikasi Fuzzy

Metode klasifikasi fuzzy mempertimbangkan piksel-piksel yang bercampur (mixed make-up) dimana suatu piksel tidak dapat dikelaskan secara definitif ke satu kelas. Klasifikasi ini bekerja dengan menggunakan suatu fungsi keanggotaan, dimana kelas piksel tersebut ditentukan apakah lebih dekat dengan satu kelas tertentu atau kelas lainnya (Jaya, 2009).

Metode ini tidak mempunyai batas yang jelas dan masing-masing piksel dapat masuk ke beberapa kelas yang berbeda. Diperlukan suatu cara dengan membuat algoritma yang lebih sensitif terhadap sifat-sifat fuzzy. Klasifikasi ini didesain untuk membantu suatu pekerjaan yang kemungkinan tidak masuk secara tepat ke salah satu kategori kelas tertentu. Klasifikasi ini bekerja dengan suatu fungsi keanggotaan dimana piksel tersebut ditentukan apakah lebih dekat ke satu kelas atau kelas lainnya.

Salah satu algoritma yang paling banyak digunakan pengelompokan C-Means Fuzzy (FCM). Algoritma FCM mencoba untuk mengkelaskan data secara terbatas unsur X = {x1 ,..., xn} menjadi koleksi cluster yang samar dengan beberapa kriteria yang diberikan. Diketahui sebuah himpunan data berhingga, algoritma mengembalikan daftar dari pusat klaster C = {c1 ,...,} cc dan partisi matriks U = ui, j €[0, 1], i = 1,. . . , n, j = 1,. . . , C, di mana setiap elemen uij menyatakan sejauh mana elemen xi masuk ke cluster cj. Secara matematis adalah sebagai berikut:

(56)

Yang berbeda dari fungsi tujuan k- adalah dengan penambahan nilai-nilai keanggotaan uij dan m. Nilai m fuzzy menentukan tingkat kesamaran cluster. Sebuah hasil nilai m besar di uij keanggotaannya lebih kecil dan oleh karena itu disebut kluster fuzzy. Dalam batas m = 1, uij keanggotaan konvergen ke 0 atau 1. Dengan tidak adanya eksperimen atau pengetahuan domain, m adalah umumnya diatur ke 2. Algoritma dasar FCM, diberikan n titik data (x1,..., xn) menjadi berkelompok, sejumlah cluster c dengan (c1,..., Cc) pusat cluster, dan m tingkat ketidakjelasan klaster

Dalam clustering fuzzy, setiap titik memiliki tingkat kepemilikan cluster, seperti dalam logika fuzzy. Jadi, titik di tepi cluster dalam cluster adalah mempunyai tingkat yang lebih rendah daripada titik yang di pusat cluster. Setiap titik x memiliki nilai koefisien yang memberikan tingkat keberadaan di klaster k (x). Dengan klasifikasi fuzzy, titik pusat cluster adalah rata-rata dari semua titik, kemudian ditimbang dengan derajat keanggotaannya dengan alortima matematis sebaagai berikut:

Ck =

Tingkat keanggotaan, wx (x), berhubungan terbalik dengan jarak dari x ke pusat cluster. Hal ini juga tergantung pada parameter yang mengontrol m, berapa besar fungsi keanggotaan yang diberikan ke pusat terdekat.

Algoritma fuzzy ini memerlukan training area. Akan tetapi perbedaannya adalah metode ini dapat juga memperoleh informasi pada berbagai macam komponen kelas yang ditemukan dalam piksel yang bercampur. Training area ini tidak diharuskan mempunyai piksek-piksel yang sama atau homogen. Setelah menggunakan metode ini maka utility-nya akan membiarkan konfolusi dari fuzzy untuk membentuk konfolusi jendela bergerak pada saat klasifikasi menggunakan penetapan output berganda.

Langkah-langkah dalam klasifikasi fuzzy adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan training area.

(57)

area pada klasifikasi terbimbing. Perbedaannya adalah training area yang dipilih tidak selalu harus homogen. Penentuan training area untuk klasifikasi fuzzy ini berbeda dengan klasifikasi maximum likelihood. Perbedaanya terletak pada piksel-piksel untuk areal contoh tersebut tidak harus homogen untuk mewakili satu kelas tutupan hutan tertentu (Lampiran 4). Hal ini dilakukan karena klasifikasi fuzzy merupakan proses klasifikasi yang menetapkan suatu kelas tertentu bercampur dengan kelas yang lain. Suatu contoh adalah pada klas hutan kerapatan rendah pada kenyataannya adalah sulit dibedakan atau bercampur dengan kelas pertanian lahan kering bersemak, semak belukar maupun dengan kelas hutan kerapatan sedang. 2. Pembuatan matrik fuzzy

Matrik ini berfungsi sebagai fungsi tingkat keanggotaan pada setiap kelas. Fungsi keanggotaan ditunjukkan dengan nilai 0 – 1. Matrik ini akan digunakan dalam selanjutnya yaitu proses ektraksi. Penentuan matrik fungsi keanggotaan (membership function) didasarkan pada citra Quickbird. Cara penentuanya adalah menghitung fungsi keanggotaan 1 piksel pada lokasi training area dengan kerapatan hutan di citra Quickbird.

Setiap piksel citra landsat resolusi 30 meter setara dengan 156 piksel citra Quickbird resolusi 2,44 m. Untuk mempermudah interpretasi secara visual maka citra Quickbird dibagi menjadi 5 kolom x 5 baris yang terdiri dari 12,5 m x 12,5 m. Pada setiap kolom dan baris diklasifikasikan secara visual ke dalam kelas H4, H3, H2 atau H1 kemudian dihitung proporsi setiap kelas terhadap total kolom dan baris. Contoh perhitungan penentuan fungsi keanggotaan hutan kerapatan tinggi (H3) citra Landsat dapat dilihat pada Gambar 23. Langkahnya adalah sebagai berikut:

Fungsi keanggotaan H3 = Jumlah H3 pada Citra Quicbird/Total Piksel = 21/25 = 0.84

Fungsi keanggotaan H2 = Jumlah H2 pada Citra Quicbird/Total Piksel = 2/25 = 0.08

(58)

Proses perhitungan semua kelas dapat dilihat pada Lampiran 6. Fungsi keanggotaan pada masing-masing kelas adalah seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Fungsi keanggotaan pada klasifikasi Fuzzy

No Kelas Penutup NH H

Citra Quickbird Citra Landsat

Gambar 23 Penentuan fungsi keaggotaan pada kelas kerapatan hutan tinggi

3. Ekstraksi training area.

Proses ini adalah proses ekstraksi dari training area dan fungsi keanggotaan dari matrik fuzzy.

4. Klasifikasi fuzzy

Proses ini adalah proses klasifikasi fuzzy yang akan menghasilkan citra pada tiap kelas. Proses ini akan menghasilkan 10 peta sekaligus untuk masing masing kelas penutup lahan yaitu sawah, pertanian lahan kering bercampur semak, pertanian lahan kering, tanah terbuka, awan, bayangan awan, hutan kerapatan sangat tinggi, hutan kerapatan tinggi, hutan kerapatan sedang dan

(59)

hutan kerapatan rendah. Nilai piksel yang dihasilkan menunjukkan antara 0 – 1. Berdasarkan 10 peta per kelas penutup lahan tersebut maka untuk mendapatkan satu buah peta hasil klasifikasi dilakukan proses hardener dengan menggunakan algoritma minimum possibilities. Proses hardener adalah suatu proses untuk menghasilkan peta tunggal dari masing-masing peta hasil klasifikasi pada kategori klasifikasi soft (fuzzy). Hasil klasifikasi fuzzy menghasilkan satu paket (raster group file) peta kelas penutup lahan yang mempunyai nilai fungsi keanggotaan masing-masing, oleh karena itu diperlukan penggabungan menjadi satu peta penutup lahan yang terdiri dari kelas-kelas penutup lahan dari masing-masing peta hasil klasifikasi fuzzy. Algoritma yang digunakan adalah minimum possibilities. Algoritma ini menggunakan nilai kemungkinan minimum terkecil dari nilai masing-masing fungsi keanggotaan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 24.

Mulai

Citra Quickbird

Pemilihan training area

Pembuatan matrik fungsi keanggotaan

Data training area

Ekstraksi training area

Klasifikasi

Hasil klasifikasi per kelas

Hardener

Peta klasifikasi kerapatan hutan Selesai Nilai minimum posibilities

Citra Landsat terkoreksi

(60)

D. Klasifikasi Belief -Dempster-Shafer

Teori belief mendasarkan pada pengumpulan data dari suatu bukti dengan menerapkan peraturan tentang kombinasi berdasar pada pemrosesan Dempster-Shafer Weight-Of-Evidence. Masing-masing file data masukan berisi tugas dasar yang secara tidak langsung menghubungkan bukti ke arah suatu hipotesis di dalam suatu bingkai keputusan. Bingkai keputusan di dalam suatu konteks keputusan spesifik meliputi semua hipotesis yang mungkin. Teori belief membangun suatu pengetahuan mendasarkan dari data dan hipotesis yang user-specified oleh masing-masing dukungan data. Operator sebagai pemakai dapat menyaring tingkat kepercayaannya, derajat kemasuk-akalan dan gambaran interval kepercayaan untuk masing-masing hipotesis yang didukung bukti (Eastman 2003).

Teori Dempster-Shafer merupakan suatu varian dari teori kemungkinan Bayesian, yang dengan tegas mengenali keberadaan ketidak-tahuan dalam kaitan dengan informasi yang tidak sempurna. Perbedaan tingkat derajat kepercayaan pada akhirnya dikenal sebagai suatu interval kepercayaan, akan bertindak sebagai suatu ukuran ketidak-pastian tentang suatu hipotesis spesifik.

Klasifikasi belief (Belclas) adalah satu suatu kelompok metode soft. Metode ini adalah suatu proses pengambilan keputusan tentang keanggotaan kelas dengan segala piksel untuk masuk ke suatu kelompok tingkat keanggotaan pada setiap kelas yang mungkin. Seperti prosedur klasifikasi terbimbing, penggunaan training area tetap dibutuhkan, untuk mengklasifikasikan setiap piksel. Tetapi tidak seperti metoda maximum likelihood, output dari metode ini tidaklah peta tunggal penutup lahan, tetapi lebih dari satu set gambaran (per kelas) yang menyatakan aspek kepercayaan maupun tingkat masuk akal masing pixel pada masing-masing kelas.

(61)

bukti, dari data training area, dievaluasi dan dimodifikasi oleh kemungkinan yang utama sama halnya dengan Bayclass. Tetapi sebagai ganti membuat normalisasi nilai piksel melalui penjumlahan dari setiap pertimbangan pada semua kelas. Belclass menormalkan nilai-nilai relatif kedalam nilai maksimum yang terjadi di manapun pada citra. Hasil ini adalah suatu nilai yang diinterpretasikan sebagai komponen dari suatu kelas. Secara matematis peluang suatu kelas adalah sebagai berikut:

P(hi e) =

dimana:

P(hi e) = peluang dari hipotesis terbukti benar (posterior probability)

= peluang dari penemuan yang dipercaya dari hipotesisnya adalah benar (dihasilkan dari training area)

= peluang dari hipotesis tidak benar dari suatu bukti (prior probability)

Langkah-langkah dalam klasifikasi ini adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan training area.

(62)

Tabel 7 Derajat kepercayaan klasifikasi Belief Dempster Shafer.

2. Ekstraksi training area.

Proses ini adalah ekstraksi training area yang telah dibuat pada tahap pertama.

3. Klasifikasi Belclass

(63)

Gambar 25 Diagram alir klasifikasi belief

2.4.3 Change Detection

Pemantauan perubahan tutupan hutan menggunakan algoritma post classification comparison (PCC). Change detection dilakukan dengan menggunakan peta hasil klasifikasi yang mempunyai akurasi yang paling tinggi. Pengujian akurasi dilakukan antara klasifikasi FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief-dempster shafer dengan beberapa peubah di lapangan. Algoritma ini menggunakan matrik logic dengan cara melakukan overlay peta hasil klasifikasi tahun 2003, tahun 2007 dan tahun 2008 pada operasi SIG. Analisis deteksi degradasi secara temporal dilakukan pada areal yang tidak berawan. Klasifikasi degradasi hutan dilakukan dengan dasar perubahan kelas kerapatan hutan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 seperti terlihat pada Tabel 8.

Citra Landsat terkoreksi Mulai

Citra Quickbird

Pemilihan training area

Data training area

Klasifikasi

Hasil klasifikasi per kelas

Hardener

Peta klasifikasi kerapatan hutan

Selesai Nilai minimum belief

(64)

Tabel 8. Klasifikasi degradasi secara temporal

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Tinggi

- Hutan Kerapatan Tinggi Ke Kerapatan Sedang - Hutan Kerapatan Sedang Ke Kerapatan Rendah 2 Sedang Turun 2

Tingkat

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Sedang

- Hutan Kerapatan Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah

3 Berat Turun 3 Tingkat

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah

- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Non Hutan

2.5 Kerja Lapangan

Proses kerja lapangan mempunyai dua tujuan. Tujuan pertama adalah untuk mengidentifikasi tingkat degradasi di lapangan pada berbagai peubah di lapangan. Tujuan kedua adalah untuk menguji hasil klasifikasi dan peta degradasi tentative hasil analisis post classification comparison. Proses uji akurasi diawali dengan pembuatan desain sampel untuk kerja lapangan. Menurut Stehman (2001) diacu dalam Jensen (2005) metode uji akurasi menggunakan analisis statistik dibedakan menjadi dua yaitu model-based inference dan design-based inference.

Proses uji akurasi menggunakan model-based bukan ditujukan untuk menguji akurasi dari peta tematik (penutup lahan) yang dihasilkan tetapi lebih pada menguji akurasi proses klasifikasi yang menghasilkan peta penutup lahan. Design-based didasarkan pada prinsip-prinsip statistik yang memperhatikan karakteristik statistik dari populasi dari kerangka sampel. Pengukuran statistik yang biasanya dipakai adalah producer’s accuracy, user’s accuracy, overall accuracy dan akurasi Kappa.

Gambar

Gambar 3 menunjukkan citra Landsat tahun 2007 dan tahun 2008 sebelum
Gambar 3   Citra tahun 2007: a) sebelum koreksi geometrik; b) setelah koreksi
Gambar 5   Histogram citra tahun 2008 sebelum koreksi radiometrik kanal 1, 2, 3, 4,
Gambar 6 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait