• Tidak ada hasil yang ditemukan

Forest Degradation Management Strategic in Gunung Halimun Salak National Park

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Forest Degradation Management Strategic in Gunung Halimun Salak National Park"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGENDALIAN DEGRADASI HUTAN

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

RULLY DHORA CAROLYN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

RULLY DHORA CAROLYN. Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Degradasi hutan dapat didefinisikan sebagai perubahan yang berdampak negatif pada struktur dan fungsi tegakan hutan, sehingga menurunkan kapasitasnya untuk menyediakan produk dan atau jasa. Dalam prosesnya degradasi hutan melibatkan penurunan kualitas dan struktur vertikal kanopi hutan dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu, guna mendeteksi dan mengendalikan laju proses degradasi hutan, maka teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data satelit dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan tersebut. Terjadinya degradasi hutan terjadi disebabkan oleh interaksi berbagai faktor, sehingga diperlukan analisis terhadap faktor – faktor yang diduga berpengaruh agar dapat disusun suatu arahan untuk pengendalian degradasi hutan.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses degradasi hutan pada kawasan TNGHS sebagai salah satu dasar penyusunan strategi pengelolaan.Secara khusus tujuan penelitian ini adalah 1) mendeteksi tingkat degradasi kawasan TNGHS melalui indikator kerapatan penutupan tajuk, 2) mengkaji faktor – faktor yang mempengaruhi (driving factors) terjadinya degradasi pada kawasan TNGHS, dan 3) menyusun arahan strategi untuk pengendalian degradasi hutan pada wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Deteksi terhadap tingkat degradasi dengan indikator kerapatan tajuk hutan menggunakan metode forest canopy density (FCD) atau pengukuran persentase kerapatan tajuk. Tutupan hutan dibagi ke dalam 4 kelas kerapatan yaitu non hutan (kerapatan kanopi 0-10%), kerapatan rendah (kerapatan kanopi 11-30%), kerapatan sedang (kerapatan kanopi 31-50%) dan kerapatan tinggi (kerapatan kanopi 51-100%). Penurunan antar kelas kerapatan tersebut kemudian ditetapkan dalam kelas degradasi ringan, degradasi berat dan deforestasi.

Berdasarkan hasil analisis spasial, didapati luas total penurunan kelas hutan yang terjadi antara tahun 2003 – 2007 adalah sebesar 5005,71 Ha, yang terbagi ke dalam degradasi ringan seluas 2764,80 Ha, deforestasi sebesar 1493,46 Ha, dan degradasi berat sebesar 747,45 Ha. Selanjutnya dalam kurun waktu antara tahun 2003 – 2011, mengindikasikan luas deforestasi yang terdeteksi berkurang dari sebelumnya, hal ini dapat terjadi antara lain disebabkan oleh tutupan awan yang luas pada tahun tersebut, juga adanya kegiatan rehabilitasi dan kegiatan penanaman yang dilakukan pada lahan yang sebelumnya terbuka, sehingga pada saat pengolahan data kenampakan tutupan tajuk tersebut diinterpretasikan sebagai tutupan tajuk hutan. Hasil analisis degradasi hutan pada periode 2003 – 2011 menunjukan telah terjadinya degradasi ringan sebesar 6197,13 Ha, degradasi berat sebesar 1200,15 Ha, dan deforestasi sebesar 189,9 Ha.

(5)

pengaruh adalah laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non pertanian, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian.

Faktor jarak desa dengan Kecamatan dan laju perubahan luas lahan non pertanian menunjukkan adanya pemanfaatan ruang wilayah, baik kawasan TNGHS maupun wilayah administratif Kabupaten Bogor. Sedangkan faktor laju pertumbuhan penduduk dan perubahan jumlah keluarga pertanian merupakan proses mendasar yang memicu perubahan pola dan intensitas penggunaan ruang tersebut, sehingga terjadi perubahan alokasi bagi setiap peruntukan untuk mendukung pertumbuhan wilayah guna pemenuhan kebutuhan populasi. Memperhatikan keberadaan kawasan TNGHS pada lintas wilayah Kabupaten dan kepentingan para pihak yang bersifat lintas sektor, maka dalam pemanfaatan ruang wilayah tersebut diperlukan adanya penetapan kebijakan terlebih dahulu, mengingat peran pentingnya dalam pengendalian terhadap ke-empat faktor yang berpengaruh terhadap degradasi.

Selanjutnya dalam penentuan arahan strategi pengendalian degradasi hutan TNGHS, maka fokus pengendalian ditentukan oleh peran serta implementasi regulasi dan kebijakan terhadap pengendalian faktor – faktor yang berpengaruh. Teknik analisis yang digunakan pada tahap ini adalah teknik Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis ini menyimpulkan bahwa strategi yang paling penting untuk dijadikan langkah awal pengendalian degradasi adalah strategi penyelarasan RTRWK Bogor dengan Surat Penunjukan kawasan TNGHS. Untuk itu dibutuhkan komitmen Kementerian Kehutanan dalam implementasi regulasi, yang dapat diwujudkan melalui pengukuhan kawasan TNGHS. Langkah awal yang penting agar strategi berjalan efektif maka sosialisasi kawasan merupakan kondisi pemungkin yang harus dilakukan sehingga pengaruh yang diberikan oleh driving factors dapat dikendalikan dan tidak memberikan ancaman yang berarti terhadap kawasan TNGHS.

(6)

SUMMARY

RULLY DHORA CAROLYN. Forest Degradation Management Strategic in Gunung Halimun Salak National Park. Under supervision of DWI PUTRO TEJO BASKORO and LILIK BUDI PRASETYO.

Forest degradation can be defined as changes within the forest which negatively affect the structure or function of the stand or site, and thereby lower the capacity to supply products and/or services. The process involving the canopy quality decrease and forest structure in a long term. Therefore, to detect and manage the rate of degradation, satellite remote sensing provides the capabilities to monitor it time effectively. Forest degradation caused by interaction of many factors, hence driving factors analysis required to arrange the strategy of forest degradation management.

The aim of this study is to analyze the forest degradation within the Halimun Salak National Park (TNGHS). The specific objectives of the study are 1) to detect the forest degradation level by canopy cover as the indicator, 2) to assess the forest degradation driving factors, and 3) to arrange the forest degradation management strategy in TNGHS.

The forest canopy density (FCD) method was used to detect the degradation by percentage of canopy cover as the indicator. The canopy cover was devided in 4 cover density class, i.e non forest (0-10% canopy cover), low density forest (11-30%), moderate density (31-50%) and high density forest (51-100%). Decreasing among the forest density class hereinafter appointed as slightly degraded forest, severely degraded forest, and deforestation.

The spatial analysis result showed that among 2003 – 2007 degraded forest cover a total area of 5005,71 Ha, while slightly degraded forest occupied for 2764,80 Ha, deforestation 1493,46 Ha and severely degraded forest is 747,45 Ha. Then, among 2003 – 2011, indicates that the area interpreted as deforestation had becoming less than before. This can be caused by vast cloud coverage in 2011 imagery, also rehabilitation and restoration in open area, so in time of data interpretation the visibility of vegetation cover identified as forest canopy cover. During 2003 – 2011 period, the result showed that slightly degraded forest occupied for 6197,13 Ha, severely degraded forest for 1200,15 Ha, and deforestation for 189,9 Ha.

Stepwise regression was used to assess the driving factors affecting the total area of forest degradation. The observation unit is village (Desa) within the study site. Based on regression technique, the distance to the sub-district (Kecamatan) is the most important variable for forest degradation total area. The other significant factors are population growth, growth of build up area (non agriculture area), and percentage of amount agriculture household.

(7)

space utilization, due to its important role to control or manage the forest degradation driving factors.

In arrangement of the strategy, degradation management focus was determined by the role and implementation of regulation and policy related to controlling the driving factors. The Analytic Hierarchy Process (AHP) was used due to this alternative strategy arrangement. The AHP result conclude that synchronization between the Kabupaten Bogor regional planning and officially status authorized of the Park was the most important strategy to become starting point to manage the forest degradation in Gunung Halimun Salak National Park. Therefore, the Ministry of Forestry commitment in regulation implementation is important and can be realized by establishing the park authorization. Due to this, socialization is the important enabling condition to implement the strategy effectively, so that the influence of the driving factors can be controlled and not provide significant threats to the park.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

STRATEGI PENGENDALIAN DEGRADASI HUTAN

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Judul Tesis : Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Nama : Rully Dhora Carolyn NIM : A156110294

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Agr Ketua

Prof Dr Lilik Budi Prasetyo, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Maret 2013

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah degradasi hutan, dengan judul Strategi Pengendalian Degradasi Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc.Agr. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc, selaku Komisi Pembimbing atas kesabaran dan dukungan dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Dr Sigit Nugroho, atas bantuan data dan perangkat lunak FCD berlisensinya. Di samping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Agus Priambudi selaku Kepala Balai TNGHS beserta staf, khususnya pegawai pada Resort Gunung Kencana, serta rekan – rekan PWL 2011 yang telah banyak membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren BAPPENAS yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.

Akhirnya, kepada keluarga tercinta (suami, anak dan orang tua) yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya, penulisan menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

Waktu dan Lokasi Penelitian 14 Alat dan Bahan 15 Metode Pengumpulan Data 15

Prosedur Penelitian 16

Teknik Analisis Data 17 Analisis Tingkat Kerapatan Tajuk dan Degradasi 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 Analisis Tingkat Degradasi Hutan di TNGHS 31 Analisis Kelas Kerapatan Tajuk 31

Analisis Tingkat Degradasi Hutan 37

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Degradasi 43 Laju Pertumbuhan Penduduk 44

Laju Perubahan Luas Lahan Non Pertanian 46

Jumlah Keluarga Pertanian 48

Faktor Jarak Desa dengan Kecamatan 49

(14)

Pengendalian Degradasi Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhi 52

Arahan Strategi Pengendalian Degradasi 52

Faktor Kebijakan dan Regulasi 53

Kriteria dalam Implementasi Kebijakan dan Regulasi 55

Arahan Strategi 57

SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 70

(15)

DAFTAR TABEL

1 Matriks metodologi 15

2 Deteksi perubahan kerapatan tajuk 20

3 Kelas degradasi 20

4 Jumlah plot pengamatan 21

5 Nilai perbandingan berpasangan 25

6 Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS 27

7 Uji akurasi klasifikasi kelas karapatan hutan 35

8 Penghitungan jumlah tunggak 37

9 Hasil regresi faktor terhadap luas degradasi 43

10 Laju pertumbuhan penduduk 45

11 Laju perubahan luas lahan non pertanian 46

12 Persentase perubahan jumlah keluarga pertanian 48

13 Jarak desa dengan Kecamatan 50

14 Upaya pengendalian dalam RPTNGHS 61

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

2 Perubahan luasan hutan tahun 1989 – 2004 9

3 Lokasi penelitian 14

4 Alur analisis kerapatan tajuk 18

5 Sebaran data setiap peubah 23

6 Peta kerapatan hutan tahun 2003 32

7 Peta kerapatan hutan tahun 2007 33

8 Peta kerapatan hutan tahun 2011 34

9 Peta penggunaan lahan tahun 2010 36

10 Persentase luas degradasi tahun 2003 - 2007 38

11 Persentase luas degradasi tahun 2003 - 2011 38

12 Peta degradasi tahun 2003 – 2007 39

13 Peta degradasi 2003 – 2011 40

14 Kenampakan kelas degradasi ringan 41

15 Kenampakan kelas degradasi berat 42

16 Perbandingan luas ladang dan degradasi hutan 51

17 Hasil analisis hierarki AHP 53

18 Pola ruang dan zonasi TNGHS pada wilayah penelitian 59

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner AHP 71

2 Matriks perbandingan hasil AHP 78

3 Matriks gabungan prioritas 81

4 Tabel hubungan perubahan luas ladang dengan luas degradasi hutan 82

5 Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak 84

6 Pola Ruang Kabupaten Bogor 85

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nilai ekologi yang dimiliki oleh suatu kawasan konservasi menjadikan kawasan tersebut salah satunya berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan yang terjadi di dalam dan wilayah sekitarnya (UU No 5/1990). Kemampuan perlindungan terhadap sistem yang berlangsung dalam suatu ekosistem untuk menyangga kehidupan tentunya sangat dipengaruhi oleh daya dukung yang dimiliki serta besarnya kebutuhan akan sumberdaya yang diperlukan oleh wilayah yang disangganya.

Seiring dengan meningkatnya aktifitas manusia yang memicu peningkatan kebutuhan akan sumber daya alam, tentunya terjadi pula peningkatan tekanan yang mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem suatu kawasan. Faktor sosial dan ekonomi sering dijadikan alasan bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak selaras dengan lingkungan dan peraturan. Hal ini kemudian memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan kawasan hutan, termasuk Taman Nasional.

Keberadaan Taman Nasional sangat bersifat keruangan, dalam artian kondisi suatu kawasan memiliki keterkaitan atau hubungan dengan wilayah lain dalam skala yang lebih luas. Oleh karena itu, keberhasilan pengelolaannya ditentukan oleh interaksi yang bersifat mendukung keberlanjutan (sustainability) manfaat nilai ekologi kawasan tersebut bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu, dalam rencana pengelolaan diperlukan data dan informasi mengenai nilai ekologi kawasan serta potensi tekanan dan ancaman terhadap nilai ekologi tersebut. Hal ini akan menjadi dasar kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati berbasis ekosistem dan bioregional, yang nantinya secara formal akan dituangkan ke dalam suatu sistem dan standar pengelolaan kawasan konservasi, dalam hal ini Taman Nasional.

Salah satu Taman Nasional yang memiliki nilai strategis dalam hal wilayah penyangga dan posisi adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Taman Nasional ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan sub-montana dan hutan montana di Pulau Jawa. Hampir seluruh hutan di TNGHS berada di dataran pegunungan dengan beberapa sungai dan air terjun, yang memiliki peranan yang sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan, serta menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan merupakan perlindungan fungsi hidrologis di Kabupaten Bogor, Lebak dan Sukabumi. Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 dengan luas ± 40.000 Ha dan dirubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 175/Kpts-II/2003 tepatnya pada tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 ha.

(18)

2

maupun tidak, terhadap nilai ekologi atau daya dukung kawasan TNGHS. Memperhatikan hal tersebut tentunya diperlukan kajian mengenai pengaruh dinamika wilayah tersebut terhadap kondisi ekologi kawasan, guna menjamin terpeliharanya daya dukung kawasan TNGHS dalam menyangga kebutuhan wilayah.

Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan kawasan adalah isu degradasi sumber daya alam dan lingkungan (RPTN TNGHS). Degradasi sumber daya alam dan lingkungan kawasan TNGHS dapat dilihat dari penurunan penutupan hutan (deforestasi) di TNGHS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Setiawan (2006), dalam kurun waktu 1989 – 2004 diperkirakan telah terjadi deforestasi sebesar 25 % atau berkurangnya luas hutan alam sebesar 22 ribu hektar dengan laju kerusakan rata-rata 1.3 % per tahun. Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang dan perumahan yang sebagian besar terjadi di wilayah perluasan.

Pertumbuhan sosial dan ekonomi memicu aktivitas manusia yang mendorong perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Studi literatur terhadap berbagai hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai lokasi, menunjukkan adanya pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan dalam penelitian oleh Yatap (2008) disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di TNGHS adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian.

Perubahan penggunaan dan penutupan lahan ini telah menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan (Panta et al, 2008). Menurut Food and Agriculture Organization's angka deforestasi di Indonesia dari tahun 2000-2005 mencapai 1,9 juta Ha pertahun (FAO, 2005). Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 40% dari emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab pemanasan global (IPCC, 2007).

Deforestasi merupakan suatu kondisi perubahan penutupan hutan menjadi non hutan, sedangkan degradasi hutan dapat didefinisikan sebagai perubahan yang berdampak negatif pada struktur dan fungsi tegakan atau kawasan (situs), sehingga menurunkan kapasitas hutan untuk menyediakan produk dan atau jasa (FAO, 2001). Degradasi hutan merupakan suatu proses yang melibatkan penurunan kualitas kanopi hutan dan struktur vertikal kanopi hutan dalam jangka waktu yang lama (Panta et al. 2008).

(19)

3 Perkembangan pemrosesan citra digital dengan metode change detection berkembang dengan berbagai klasifikasi penutup lahan, satu diantaranya adalah klasifikasi forest canopy density (FCD). Perkembangan dalam klasifikasi FCD atau tutupan hutan ini menggunakan kerapatan kanopi sebagai indikator perubahan vegetasi. Menurut Roy (2003) dalam Nugroho (2012), biophysical vegetation indices merupakan metode yang dapat mengakomodasi variasi permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh dari latar belakang dari vegetasi. Metode ini dapat mengurangi efek bias dan menghasilkan ekstraksi kenampakan yang lebih baik pada obyek yang spesifik di bumi. Perkembangan metode ini diaplikasikan dengan menggunakan Forest Canopy Density Mapper untuk deteksi perubahan penutup hutan.

Nugroho (2012) melakukan evaluasi tingkat akurasi klasifikasi kerapatan hutan menggunakan metode FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief-dempster shafer, untuk mendeteksi degradasi hutan lahan kering di TNGHS, secara khusus pada wilayah Gunung Surandil. Salah satu hasil penelitiannya menyebutkan bahwa metode yang terbaik untuk mendeteksi degradasi hutan menggunakan 3 kelas degradasi hutan dengan indikator kerapatan tegakan adalah metode FCD dengan overall accuracy 68% dan akurasi kappa 54%.

Analisis spasial terhadap tingkat kerapatan hutan dan deteksi degradasi ini akan mendukung ketersediaan data dan informasi yang dibutuhkan bagi pengelolaan kawasan untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi sebagai tujuan utama pengelolaan Taman Nasional. Salah satu pembelajaran diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Kartawinata dalam Wiratno (2012), yang menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang (Taman Nasional Gunung Leuser). Hal ini tentu berimplikasi pada prinsip pengelolaan yang harus menerapkan prinsip kehati-hatian, yang harus diperhatikan dan diperhitungkan dalam strategi pengelolaan kawasan, sehingga tujuan pengelolaan Taman Nasional dapat tercapai.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bermaksud mengangkat permasalahan sebagai berikut :

1. Kawasan TNGHS memiliki nilai ekologi yang penting bagi wilayah sekitarnya. Perubahan terhadap kualitas dan kapasitas nilai ekologi kawasan, akan berdampak bagi kemampuan TNGHS memberikan manfaat ekologi bagi wilayah sekitar. Dampak negatif tentunya akan dihasilkan jika terjadi penurunan atau degradasi kapasitas kawasan. Untuk itu perlu dianalisis seberapa besar perubahan atau degradasi tersebut telah terjadi.

(20)

4

3. Tekanan yang ditimbulkan oleh faktor - faktor yang mempengaruhi degradasi hutan harus dapat dikendalikan, baik oleh pengelola kawasan TNGHS maupun oleh Pemerintah Kabupaten. Untuk itu perlu analisis terhadap berbagai alternatif untuk mengatasi faktor – faktor tersebut guna menyusun arahan strategi sebagai masukan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi proses degradasi hutan pada kawasan TNGHS sebagai salah satu dasar penyusunan strategi pengelolaan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeteksi tingkat degradasi kawasan TNGHS melalui indikator kerapatan penutupan tajuk.

2. Mengkaji dan menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi (driving factors) terjadinya degradasi pada kawasan TNGHS.

3. Menyusun arahan strategi untuk pengendalian degradasi hutan pada wilayah TNGHS.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan pengelolaan kawasan TNGHS berbasis ekosistem melalui :

1. Tersedianya data dan informasi mengenai proses degradasi kawasan sebagai bahan pemantauan dan evaluasi (monev);

2. Memberikan masukan bagi pengelola dan Pemerintah daerah dalam menyusun strategi pengelolaan wilayah TNGHS dan sekitarnya dengan pendekatan bioregion yang lebih komprehensif.

Kerangka Pemikiran

(21)

5 salah satunya dengan menilai kerapatan tajuk/kanopi sebagai indikator degradasi hutan. Tajuk atau kanopi pohon merupakan indikator yang mudah teridentifikasi pada citra satelit. Variasi tajuk juga dapat merepresentasikan struktur suatu tegakan hutan. Metode ini dikembangkan oleh Rikimaru, yaitu memetakan kerapatan tajuk (kanopi) hutan dengan menggunakan 4 (empat) ukuran indeks yaitu vegetasi, bare soil, shadow dan surface temperature yang diolah dari citra satelit Landsat TM (Rikimaru, et al., 2002; Joshi, et al., 2006).

Memperhatikan kawasan hutan memiliki sifat keruangan, maka proses yang terjadi di dalamnya tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor kewilayahan, termasuk proses degradasi hutan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa terjadinya proses degradasi dipengaruhi oleh tingkat intensitas penebangan/pemanenan kayu, pengumpulan bahan bakar, budidaya, dan kebakaran hutan (FAO, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mon, et al. (2011) menyatakan bahwa faktor ketinggian, jarak dengan desa terdekat, dan intensitas penebangan merupakan faktor – faktor yang memberikan pengaruh kuat pada terjadinya proses degradasi hutan. Geist dan Lambin (2002) berpendapat bahwa faktor demografi, ekonomi, teknologi, kebijakan dan institusi, serta budaya merupakan hal – hal mendasar yang memberi pengaruh terhadap terjadinya deforestasi dan degradasi. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa perluasan lahan pertanian merupakan penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan lahan yang berhubungan langsung dengan kasus deforestasi.

Nandy et al. (2011) yang meneliti degradasi di wilayah tangkapan air sungai Ton, India, menyebutkan bahwa penggunaan ganda lahan pertanian (agriculture, horticulture, agroforestry and grazing) oleh masyarakat local telah memberi pengaruh pada proses degradasi. Dinyatakan dalam penelitian tersebut, bahwa tanpa adanya perlindungan yang cukup, degradasi lahan tersebut telah menimbukan erosi tanah yang parah, penurunan keanekaragaman hayati, serta hilangnya penghidupan masyarakat lokal tersebut.

Perubahan penggunaan lahan oleh aktifitas manusia telah menjadi faktor utama yang mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi dan degradasi juga diasosiasikan dengan dampak kegiatan manusia terhadap bentang alam, kebijakan zonasi (zoning), dan tekanan urbanisasi (Tole, 1998; Koop dan Tole, 2001; McMorrow dan Talip, 2001; Uusivuori et al., 2002; Wickham et al., 2000; dalam Panta et al., 2008).

Memperhatikan peran penting ekologi kawasan TNGHS dan dinamika sosial ekonomi, budaya, serta regulasi pada wilayah sekitarnya, maka identifikasi dan analisis terhadap faktor – faktor yang diduga mempengaruhi (driving factors) proses degradasi diperlukan guna penyusunan strategi yang tepat dan beradaptasi pada perubahan – perubahan berbagai faktor tersebut, sehingga mampu mengendalikan atau menekan laju degradasi.

(22)

6

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi mengenai kondisi degradasi hutan, khususnya di kawasan TNGHS saat ini, serta faktor yang memberi pengaruh dominan, sehingga dihasilkan suatu arahan bagi pengelola dalam menyusun strategi pengendalian laju degradasi hutan di TNGHS. Bagan kerangka pemikiran dari penelitian ini secara sederhana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun Salak

Wilayah sekitar (wilayah penelitian Kabupaten

Bogor)

interaksi

Degradasi hutan

Deteksi penurunan kerapatan tajuk dengan

teknologi inderaja

Arahan strategi pengendalian degradasi hutan kawasan TNGHS

Analisis besarnya pengaruh faktor – faktor terhadap degradasi hutan

Analisis spasial tingkat degradasi

hutan

Analisis skenario pengendalian

(23)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Menurut IUCN Protected Area Category (1994) taman nasional termasuk kategori II yakni kawasan konservasi yang dikelola dengan tujuan utama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi. Berdasarkan kategori tersebut tujuan pengelolaan taman nasional adalah :

1. Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata,

2. Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati.,

3. Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah,

4. Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya,

Selanjutnya, IUCN melalui Commission for Ecosystem Management (IUCN-CEM) mendefinisikan pengelolaan ekosistem sebagai suatu proses yang mengintegrasikan ekologi, sosial ekonomi, dan faktor kelembagaan dalam suatu analisis dan aksi yang komprehensif dengan tujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas ekosistem agar dapat menjembatani antara kebutuhan saat ini dan kebutuhan di masa depan. Dasar dari pengelolaan ekosistem adalah kelestarian, efisiensi, pemanfaatan yang adil dari sumberdaya alam. Noss dan Cooperrider (1994) menyebutkan bahwa pengelolaan ekosistem adalah sistem pengelolaan area untuk melindungi populasi secara lestari untuk semua spesies asli, melestarikan alam dari regim gangguan dalam skala regional, mengadopsi rencana pengelolaan jangka panjang, dan pemberian ijin pemanfaatan oleh manusia pada level yang tidak mengakibatkan degradasi secara ekologi dalam jangka panjang.

(24)

8

tertentu. Target-target yang harus dicapai mencakup hal-hal yang terkait dengan upaya perlindungan keanekaragaman hayati, pengembangan wisata alam, serta tujuan lain yang sesuai fungsi taman nasional. Dengan tujuan dan target pengelolaan yang jelas, pengelola diharuskan menemukan cara dengan mengerahkan semua sumberdaya, baik yang sudah tersedia maupun yang masih bersifat potensi, untuk mencapai target tersebut. Upaya pengelola taman nasional untuk mencapai tujuan dan target-target tersebut perlu dituangkan ke dalam management plan (Hartono, 2008).

Kawasan TNGHS secara khusus ditunjuk dengan tujuan mengukuhkan TNGHS sebagai pusat keanekaragaman hayati yang berfungsi optimal sebagai sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial-ekonomi-budaya pada tingkat komunitas dan wilayah secara lestari. Dalam pelaksanaan pengelolaannya ditemukan beberapa masalah atau kendala pokok (TNGHS, 2007), antara lain :

1. Kemantapan kawasan yang rendah

Kemantapan kawasan terkait dengan aspek legal kemantapan kawasan TNGHS dan pengakuan masyarakat secara aktual di lapangan. Rendahnya kemantapan kawasan TNGHS disebabkan oleh belum adanya penetapan batas kawasan TNGHS akibat belum selesainya proses tata batas kawasan, ketidakjelasan pembagian zona dan lemahnya pengakuan masyarakat di lapangan terhadap eksistensi kawasan TNGHS.

2. Pengembangan kampung adat ke dalam kawasan TNGHS 3. Koordinasi Para Pihak Lemah

Lemahnya koordinasi parapihak terjadi karena belum ada wadah dan mekanisme koordinasi yang disepakati antara TNGHS dan para pihak. Akibat dari lemahnya koordinasi parapihak, penyelesaian isu-isu penting yang berkembang di dalam kawasan TNGHS seperti pemukiman, pertumbuhan penduduk, degradasi sumberdaya alam serta rendahnya ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar TNGHS tidak tertangani dengan baik.

4. Data dan informasi belum lengkap sebagai dasar pengambilan keputusan pengelolaan

5. Rendahnya ekonomi masyarakat sekitar TNGHS 6. Degradasi sumber daya alam dan lingkungan

Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan di kawasan TNGHS. Secara kumulatif kerusakan habitat dan ekosistem disebabkan oleh berbagai kegiatan ilegal dan bencana alam. Kegiatan ilegal mencakup: penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar, perburuan satwa liar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan – khususnya perluasan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, lahan pertanian, dan kebutuhan lainnya.

7. Kurangnya pemahaman para pihak terhadap fungsi TNGHS

Lemahnya pemahaman para pihak terhadap fungsi TNGHS disebabkan oleh kurang efektifnya strategi komunikasi yang dilakukan TNGHS dan kurang tersosialisasikannya kerangka hukum mengenai fungsi kawasan hutan, khususnya mengenai kawasan pelestarian alam.

8. Lemahnya kebijakan pemanfaatan Sumber Daya Alam 9. Tumpang tindih regulasi

(25)

9

1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997 1998 2001 2003 2004 TAHUN

12. Promosi TNGHS yang lemah

Lemahnya promosi TNGHS menyebabkan kurangnya apresiasi dan penghargaan publik, terutama dukungan untuk meningkatkan investasi usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan dalam pengelolaan TNGHS.

Khusus mengenai deforestasi dan degradasi yang terjadi di TNGHS, Prasetyo dan Setiawan (2006) menyatakan luas hutan alam di Taman Nasional Gunung Halimun Salak secara gradual menurun, sedangkan hutan tanaman relatif stabil dengan fluktuasi naik dan turun tidak signifikan (Gambar 2). Selama periode 1998-2001, hutan alam berkurang 25 %, atau berkurang sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti dengan kenaikan semak belukar, ladang dan lahan terbangun. Hal ini mengindikasikan terjadinya proses konversi hutan terutama untuk tujuan pemanenan kayu, pertanian dan pembangunan perumahan.

Gambar 2. Perubahan luasan hutan tahun 1989 – 2004 (Prasetyo; Setiawan, 2006)

Degradasi Hutan

Degradasi terjadi disebabkan oleh berbagai gangguan yang berbeda-beda baik dari segi jumlah/derajat, tekanan, kualitas, sumber atau frekuensinya (FAO 2009). Proses perubahan tersebut dapat berlangung secara alami (disebabkan oleh kebakaran, badai, banjir, hama, penyakit, polusi, perubahan suhu), atau oleh aktivitas manusia (pemanenan kayu secara liar, pengumpulan bahan bakar, perburuan, dll).

(26)

10

terdegradasi hanya memberikan persediaan produk dan jasa yang terbatas, dan memiliki keanekaragaman hayati yang rendah.

Menurut World Bank (1990) dalam FAO (2009) bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara merupakan deforestasi. Secara sederhana, deforestasi adalah istilah untuk menyebutkan perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, artinya dari suatu wilayah yang sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi). Sedangkan degradasi hutan, atau penurunan kualitas hutan, dimaksudkan sebagai perubahan kondisi atau mutu hutan dari hutan alam atau hutan primer menjadi hutan bekas ditebang; atau dari hutan lebat menjadi hutan jarang/rawang.

Dalam salah satu siaran pers, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menyampaikan pandangannya terhadap isu deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi diartikan dalam pengertian bahwa areal hutan diubah sama sekali untuk penggunaan lain, seperti untuk pemukiman, perkebunan, dll. Sedangkan yang terjadi di Indonesia selama ini adalah degradasi hutan, yaitu perubahan luas tutupan hutan tropis yang lebih banyak untuk tujuan ekonomi, non ekologis. Hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan dan pemanfaatan lahan (land use) tidak berubah, tetapi sebagai kawasan hutan, yang berubah adalah kuantitas dan kualitas penutupan hutannya. Diharapkan dengan berbagai upaya rehabilitasi lahan dan hutan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini, tutupan hutan akan kembali seperti semula. Untuk itu, Indonesia mengusulkan terminologi yang dipakai adalah avoiding degradation bukan avoiding deforestation.

Kementerian Kehutanan RI juga memperkirakan setiap tahunnya laju degradasi hutan mencapai 1-1,5 juta ha, sehingga memerlukan upaya pengendalian yang dituangkan dalam program – program pencegahan dan penanganan baik deforestasi maupun degradasi hutan. Program-program tersebut dalam implementasinya memerlukan dukungan antara lain berupa perlunya kebijakan lintas sektor, penyiapan peraturan perundangan terkait karbon (pembatasan pemanfaatan lahan gambut, hutan alam primer, dsb), mekanisme penyelesaian konflik kawasan termasuk di dalamnya adanya keterlanjuran kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan, reformasi birokrasi yang antara lain percepatan pembentukan KPH, serta pemutakhiran data dan informasi.

Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Degradasi

(27)

11 mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Selanjutnya menurut Muiz (2009) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial.

Khusus pada kawasan TNGHS, beberapa penelitian terhadap trend perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun telah dilakukan di antaranya oleh Cahyadi (2003), dimana didapatkan bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (tahun 1990-2001), telah terjadi degradasi hutan pada koridor Gunung Halimun dan Gunung Salak seluas 347523 hektar. Lebih lanjut, dari hasil studi yang dilakukan Prasetyo dan Setiawan (2006), yang memperkirakan bahwa pada periode tahun 1989-2004, telah terjadi deforestasi kawasan TNGHS seluas 22 ribu hektar (± 25%). Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara konsisten semak belukar, ladang, dan lahan terbangun. Proses kehilangan hutan pada kawasan TNGHS terbanyak terjadi pada periode tahun 2001-2003, seluas 4367.79 hektar (Prasetyo dan Setiawan 2006).

Geist dan Lambin (2002) melakukan analisis terhadap 152 studi kasus untuk menunjukkan bahwa pada skala regional, deforestasi hutan tropis dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor. Menurut penelitian ini, faktor – faktor mendasar yang paling berpengaruh dan mendorong terjadinya deforestasi dan degradasi adalah faktor ekonomi, institusi (kelembagaan), kebijakan nasional, dan pengaruh tidak langsung yang menyebabkan perluasan lahan pertanian, ekstraksi hasil hutan kayu, dan pengembangan infrastuktur.

Pelaksanaan observasi terhadap deforestasi hutan jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan observasi terhadap proses degradasi. Mengingat dalam analisis degradasi, pengukuran penurunan kapasitas memperhitungkan penutupan tajuk (kanopi) yang merupakan indikator utama untuk mengukur deforestasi dan degradasi hutan. Mon, et al. (2011) mengaplikasikan pengukuran penutupan tajuk sebagai indikator deforestasi (perubahan dari hutan menjadi non hutan) dan degradasi (perubahan dari hutan kerapatan tinggi menjadi kerapatan rendah) pada wilayah hutan produksi di Myanmar. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan bahwa jarak dengan kota terdekat dan elevasi (ketinggian) adalah hal yang berpengaruh terhadap degradasi dan deforestasi. Hal ini berhubungan dengan jangkauan pasar dan aksesibilitas. Secara khusus untuk degradasi, juga dipengaruhi oleh intensitas penebangan dan jarak dengan desa terdekat. Bahkan studi yang dilakukan oleh Utoyo (2000) menunjukan bahwa dengan menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai karakteristik pertumbuhan wilayah, disimpulkan ada keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan wilayah dengan dinamika penggunaan lahan.

(28)

12

Metode Pengukuran Kerapatan Tajuk

Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan penginderaan jauh merupakan teknologi yang sangat membantu dalam mendeteksi laju perubahan penutupan dan pemanfaatan lahan lahan yang begitu cepat. Dibanding dengan metode teresterial atau pengukuran lapangan maka tidak ada jalan lain selain menggunakan teknologi ini dalam mengantisipasi cepatnya perubahan pemanfaatan lahan, begitupula data dan aplikasinya sangat luas terhadap objek kebumian sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kepentingan yang berbeda dapat digunakan. Salah satu yang sangat penting adalah melihat kondisi sekarang dan kondisi yang akan datang (yaitu berkelanjutan) dalam lahan pertanian dan aplikasinya dalam pengelolaan.(Hellkamp et al., 2000 dalam Baharudin, 2009).

Teknologi penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam menjawab permasalahan deteksi degradasi hutan. Kemampuan teknologi ini dapat menjangkau wilayah yang luas, resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal yang baik serta efisien dalam penggunaannya. Salah satu produk teknologi ini adalah citra Landsat yang memiliki kemampuan untuk deteksi indikator degradasi hutan diantaranya volume, luas bidang dasar, kerapatan tegakan, LAI, kerapatan kanopi dan crown indicator.

Dalam pemanfaatan dan guna mendapatkan informasi dari citra satelit, dilakukan teknik pemberian makna terhadap suatu bentang alam yang terekam dalam citra melalui pengelompokan secara otomatis semua pixel pada citra ke dalam kategori tema atau kelas – kelas penutupan lahan (land cover). Berbagai metode klasifikasi kemudian berkembang, dan diantaranya adalah metode klasifikasi forest canopy density (FCD).

Metode klasifikasi ini dikembangkan oleh ITTO-JOFCA pada awal tahun 2003 (Rikimaru, 2002). Metode ini dapat mengakomodasi variasi permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh latar belakang vegetasi. Metode ini dapat mengurangi efek dari bias dan menghasilkan ekstraksi kenampakan yang lebih baik pada obyek yang spesifik dibumi. Roy (2003) menyebutkan bahwa perbedaan yang sulit dipisahkan pada tutupan hutan dapat ditingkatkan dengan penggunaan kekuatan

respon band inframerah. Panjang gelombang inframerah lebih sensitif pada kerapatan

hutan dan kelas tumbuh-tumbuhan physiognomic. Biophysical vegetation indices

yang dalam perkembangannya disebut FCD indeks, melibatkan indeks advanced

vegetation index (AVI). Sedangkan untuk lebih detil dalam mengkategorikan status

vegetasi digunakan bare soil index (BI). Dasar logika pendekatan ini berdasar pada

hubungan timbal balik yang tinggi dari status vegetasi dan lahan terbuka. Oleh karena itu, kombinasi BI dan AVI digunakan dalam analisis ini. Untuk menyadap informasi

pada shadow index (SI) digunakan melalui ekstraksi low radiance dari visible light.

Pendekatan ini mengisolasikan kenampakan vegetasi menggunakan index AVI dan index BI. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui (SI) atas dasar variasi tekstur pada bayangan kanopi pada tegakan hutan

(29)

13 akurasi yang lebih tinggi dibandingkan metode penginderaan jauh konvensional. Model FCD sangat berguna bagi monitoring dan pengelolaan kawasan dengan hanya memerlukan survei lapangan yang sedikit.

Analisis AHP

Dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi muncul berbagai kompleksitas permasalahan dan kendala yang dihadapkan pada berbagai alternatif solusi penyelesaian. Salah satu tugas pengambil keputusan adalah menyusun skala prioritas dari berbagai pilihan yang ada. Prioritas terpaksa dibuat karena adanya keterbatasan sumberdaya. Ketika pilihan kompleks dengan konsekuensi yang bersifat substantif, pengambil keputusan memerlukan model pengembalian keputusan yang dapat membantu mereka membuat pilihan secara komprehensif, logis, dan terstruktur. Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan alat bantu yang sering digunakan sebagai salah satu metode untuk membantu menyusun suatu prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (Susila dan Munadi, 2007)

Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Melalui hirarki, suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Permadi, 1992). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Setelah itu, dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin dan Maghfiroh, 2010).

(30)

14

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juni 2012 sampai dengan Januari 2013. Lokasi penelitian meliputi kawasan TNGHS yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bogor (Gambar 3).

(31)

15

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), kompas, dan seperangkat komputer dengan perangkat lunak: FCD Mapper Versi 2 licensed to Dr. Sigit Nugroho, ERDAS versi 9.2, ArcGis versi 9.3, STATISTICA versi 7 dan Microsoft Excel 2007. Bahan-bahan yang digunakan meliputi:

a. Citra landsat Landsat ETM7+ tanggal 6 Juni 2003, TM5 tanggal 26 September 2007, dan TM7 tanggal 28 Agustus 2011

b. Peta Tutupan hutan klasifikasi FCD tahun 2003 dan 2007 (Nugroho, 2012) c. Peta Tata Batas TNGHS, Peta Administrasi Pemerintahan

d. Potensi Desa Kabupaten Bogor tahun 2003 dan 2006

e. Daftar pertanyaan untuk wawancara, dan kuesioner penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data hasil interpretasi terhadap penutupan lahan citra Landsat tahun 2011, penghitungan jumlah tunggak (tegakan mati) di lapangan dan hasil wawancara kuisioner AHP. Data sekunder meliputi data tutupan hutan berupa peta FCD tahun 2003 dan 2007, perubahan penggunaan dan penutupan lahan tahun 1994 – 2008, penutupan dan penggunaan lahan Kabupaten Bogor tahun 2010, data sosial ekonomi, dokumen rencana arahan pengelolaan kawasan TNGHS, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor. Matriks hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Matriks metodologi

(32)

16

Tabel 1 (Lanjutan)

Tujuan Jenis data Sumber data Teknik analisis Keluaran Peta

Analisis AHP Arahan strategi pengendalian degradasi hutan di TNGHS

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah tahapan penelitian yang terdiri dari:

1. Tahap persiapan alat yang dilakukan adalah dengan mempersiapkan hardware dan software FCD Mapper, ERDAS versi 9.2, ArcGis versi 9.3, STATISTICA ver. 7 dan Microsoft Excel 2007 yang akan digunakan untuk pengolahan data. Sedangkan tahap pengumpulan data awal meliputi penelusuran peta, citra satelit dan data sekunder yang akan digunakan melalui metode pencarian melalui situs internet dan instansi BTNGHS, Kementerian Kehutanan dan BAPPEDA Kab Bogor.

2. Analisis Penginderaan Jauh dan SIG. Tahapan dalam proses ini adalah : a. Pra pengolahan citra Landsat Thematic Mapper (TM)

b. Melakukan ekstraksi citra Landsat dengan metode klasifikasi Forest Canopy Density (FCD) untuk menghasilkan peta kerapatan tajuk hutan. c. Reklasifikasi nilai FCD ke dalam kelas – kelas kerapatan hutan dengan

(33)

17 d. Deteksi perubahan kelas kerapatan tajuk untuk melihat penurunan kelas

kerapatan tajuk (degradasi hutan).

3. Kerja lapangan. Tahap ini adalah melakukan uji akurasi terhadap klasifikasi kerapatan hutan dengan keadaan di lapangan, serta untuk melihat indikator degradasi dilapangan.

4. Analisis regresi bertatar terhadap faktor – faktor yang berpengaruh (driving factors).

5. Wawancara tidak terstruktur dan penyusunan kuisioner AHP. 6. Penyusunan hasil penelitian.

Teknik Analisis Data

Analisis Tingkat Kerapatan Tajuk dan Degradasi

Deteksi terhadap tingkat degradasi dengan indikator kerapatan tajuk hutan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh berupa analisis terhadap indeks – indeks biofisik (tumbuhan, tanah, tubuh air) yang ditampikan oleh citra satelit Landsat pada 3 (tiga) titik tahun pengamatan (2003, 2007, dan 2011). Data berupa nilai FCD kawasan TNGHS pada tahun 2003 dan 2007 menggunakan data sekunder yang merupakan hasil penelitian terkait sebelumnya oleh Nugroho (2012). Selanjutnya untuk menghasilkan nilai FCD tahun 2011, maka pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

A. Koreksi Geometrik dan radiometrik

Koreksi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga posisi piksel terkoreksi secara planimetris. Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya (khususnya pada gelombang yang lebih pendek), tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan.

(34)

18

B. Pembuatan nilai kerapatan tajuk (Forest Canopy Density)

Model FCD ini dibangun oleh Atsushi Rikimaru yang dikembangkan oleh

ITTO-JOFCA pada awal tahun 2003. Metode ini dapat mengakomodasi variasi permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh latar belakang vegetasi. Roy

(2003) menyebutkan bahwa perbedaan yang sulit dipisahkan pada tutupan hutan

dapat ditingkatkan dengan penggunaan kekuatan respon band inframerah. Panjang

gelombang inframerah lebih sensitif pada tumbuh – tumbuhan dan kerapatan hutan.

Biophysical vegetation indices yang dalam perkembangannya disebut FCD indeks,

melibatkan indeks advanced vegetation index (AVI), sedangkan untuk lebih detil

dalam mengkategorikan status vegetasi digunakan bare soil index (BI). Logika

pendekatan ini terletak pada hubungan timbal balik yang tinggi dari status vegetasi dan lahan terbuka. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui (SI) atas dasar variasi tekstur pada bayangan kanopi pada tegakan hutan.

Secara umum teknik ini dikembangkan berdasarkan hubungan empiris antara kerapatan tajuk dengan data biofisik yang ditampilkan Landsat, sehingga

dihasilkan persentase kerapatan kanopi yang dikalkulasi pada setiap piksel. Gambar 4

menguraikan secara umum tahapan analisis dalam teknik klasifikasi ini.

Gambar 4. Alur analisis kerapatan tajuk (Sumber : Rikimaru (2003) dalam Nugroho (2012))

(35)

19

Berdasarkan bagan di atas, secara teknis tahapan klasifikasi yang telah diformulasikan dalam perangkat lunak FCD Mapper diuraikan sebagai berikut : 1. Membuat Indeks Vegetasi (VI) menggunakan beberapa algortima diantara

adalah :

a. Normalized Differential Vegetation Index (NDVI) = (Near Infra Red-Red) / (Near Infra Red +Red);

b. Advanced Vegetation Index (AVI) = (Near Infra Red x (256-Red) x (Near Infra Red -Red) + 1)1/3, 0 < (Near Infra Red -Red) (ITTO/JOFCA 2003); c. Advanced Normalized Vegetation Index (ANVI ) adalah indeks sintetik

dari NDVI dan AVI menggunakan Principal Component Analysis. 2. Membuat Bare Soil Index (BI) dengan algoritma:

BI = ((MIR+R) - (B+NIR)) / ((MIR+R) + (B+NIR));

NIR = Near Infra-Red Band dan MIR = Middle Infra-Red Band

3. Membuat Thermal Index (TI) dengan cara mengkalibrasi nilai band thermal 4. Membuat Shadow Index (SI) dengan algoritma:

SI = ((256-B) x (256-G) x (256-R))1/3

dimana B= band biru, G = band hijau dan , R = band merah

5. Membuat Advanced Shadow Index (ASI). Proses ini untuk menghilangkan efek kesalahan dari tanah yang hitam menjadi areal bayangan hutan.

6. Membuat Vegetation Density (VD) yaitu kerapatan tutupan vegetasi per pixel dihitung dengan Principal Component dari VI dan BI, dan dikalibrasi dengan minimum dan maximum tutupan vegetasi.

7. Membuat Scaled Shadow Index (SSI) yaitu kalibrasi dari Shadow Index pada areal berhutan, sehingga dapat dibedakan antara vegetasi bertajuk (pohon) dengan “ground vegetation”.

8. Membuat Forest Cluster (FC) yaitu membuat pengkelasan yang merupakan indikasi dari areal berhutan dengan algoritma:

FC=(VI x SI x (256-BI) +1)1/3 Dimana:

VI adalah indeks vegetasi terpilih diantara NDVI, AVI ANVI yang mempunyai koefisien korelasi tertinggi dengan BI.

9. Membuat Forest Canopy Density (FCD) yaitu kerapatan kanopi hutan (%) per piksel dengan algoritma:

FCD= √(VD x SSI +1)1/2 -1

C. Klasifikasi kelas kerapatan hutan dan tingkat degradasi

Proses pengolahan data akhir FCD menghasilkan nilai kerapatan kanopi hutan yang direpresentasikan pada nilai setiap pikselnya. Selanjutnya dilakukan reklasifikasi nilai kerapatan tajuk tersebut ke dalam kelas – kelas kerapatan hutan pada selang 1-100% dengan mengacu pada definisi yang diberikan oleh IUCN (2006). Tahapan reklasifikasi nilai – nilai piksel ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 yang membagi tutupan hutan ke dalam 4 kelas yaitu : 1. non hutan (kerapatan kanopi 0-10%)

(36)

20

3. hutan kerapatan sedang (kerapatan kanopi 31-50%) 4. hutan kerapatan tinggi (kerapatan kanopi 51-100%).

Setelah dihasilkan kelas – kelas kerapatan hutan, selanjutnya dilakukan pemantauan perubahan (change detection) tutupan hutan dengan menggunakan peta hasil klasifikasi. Degradasi hutan didefinisikan sebagai penurunan kelas kerapatan hutan tertentu ke kelas kerapatan hutan di bawahnya, sedangkan deforestasi merupakan penurunan suatu kelas hutan menjadi kondisi non hutan. Degradasi hutan kemudian dibagi menjadi degradasi ringan dan degradasi berat. Pengkelasan tingkat degradasi dilakukan menggunakan model perubahan pada perangkat lunak Erdas 9.2 dengan matriks perubahan antara tahun 2003 – 2007 dan 2003 – 2011 seperti yang disajikan pada tabel 2 di bawah.

Tabel 2. Deteksi perubahan kerapatan tajuk 2003

Kelas 1 : tidak terdegradasi Kelas 2 : deforestasi Kelas 3 : degradasi ringan Kelas 4 : degradasi berat Kelas 5 : kerapatan bertambah

Klasifikasi tingkat degradasi hutan dengan dasar perubahan kelas kerapatan hutan yang dideteksi dengan model tersebut di atas dapat didefinisikan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelas degradasi

No Kelas Degradasi Penurunan Kelas

(37)

21 Tabel 3 (Lanjutan)

No Kelas Degradasi Penurunan Kelas

3 Deforestasi Kerapatan tinggi, sedang dan rendah menjadi non hutan

Selanjutnya untuk mendapatkan luasan degradasi yang akan digunakan sebagai peubah dependen dalam analisis faktor yang mempengaruhi kejadian degradasi hutan maka luas degradasi dihitung dengan menggunakan Desa sebagai unit pengamatan. Dalam proses ini dilakukan konversi peta degradasi yang berupa raster menjadi satuan poligon dengan unit desa.

Tahap analisis spasial diakhiri dengan melakukan teknik tumpang tindih (overlay) peta degradasi yang dihasilkan dengan peta zonasi yang telah disusun oleh Balai TNGHS selaku pengelola kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi guna mengantisipasi kejadian degradasi bagi pengelolaan yang berbasis zona (keruangan).

D. Verifikasi lapangan

Penelitian Nugroho (2012) menyimpulkan bahwa identifikasi degradasi hutan di lapangan dapat menggunakan indikator kerapatan tegakan, kerapatan tegakan di lapangan dapat diduga dengan baik menggunakan peubah kerapatan kanopi dengan koefisien determinasi 67%. Penurunan kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan volume merupakan indikator terjadinya degradasi hutan. Berdasarkan hal tersebut maka deskripsi kondisi tiap tingkat degradasi di lapangan didekati dengan jumlah pohon yang telah mati atau ditebang (tunggak) yang dapat ditemui pada plot pengamatan.

Plot pengamatan ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi lapangan dan kemudahan identifikasi pada citra. Plot yang diambil berjumlah 20 plot secara dengan tujuan melihat kenampakan di lapangan untuk kemudian dibandingkan dengan hasil klasifikasi (purposive). Tabel 4 menunjukan jumlah plot yang dipilih secara sengaja berdasarkan kenampakan di lapangan.

Tabel 4. Jumlah plot pengamatan

Kelas kerapatan tajuk Jumlah plot

Non hutan 8

Rendah 4

Sedang 4

Tinggi 4

(38)

22

Selanjutnya jumlah tunggak dihitung mulai dari ukuran diameter 5 cm ke atas, untuk diduga jumlah kerapatannya dengan rumus kerapatan absolut :

Ks = N

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Degradasi

Dalam banyak kasus, pertumbuhan penduduk dianggap sebagai faktor utama terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan, khususnya bagi kegiatan pembangunan infrastruktur wilayah yang terjadi seiring dengan proses pembangunan. Sebagian besar proses pembangunan telah merubah penggunaan lahan, khususnya lahan yang sebelumnya digunakan untuk berbagai kegiatan bidang pertanian. Penurunan ketersediaan lahan pertanian serta berkembangnya infrastruktur dan industri telah mendorongnya alih pekerjaan (profesi) keluarga pertanian. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu penelitian serta ketersediaan data maka faktor – faktor penduga sebagai peubah bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah laju pertumbuhan penduduk, laju perubahan luas lahan non pertanian (luas lahan yang terbangun berupa pemukiman, jalan, dan infrastruktur), jarak dengan Kecamatan, persentase perubahan luas ladang, dan persentase perubahan jumlah keluarga pertanian.

Analisis terhadap faktor yang berpengaruh (driving factors) pada terjadinya degradasi pada penelitian ini menerapkan teknik regresi dengan perangkat lunak STATISTICA ver.7. Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik stepwise dengan Generalized Linear/Nonlinear Model (GLZ). Model GLZ adalah implementasi komprehensif dari model linear umum. Model GLZ ini mampu menduga atau mendeteksi efek linear atau non linear yang diberikan oleh beraneka jumlah dan tipe peubah bebas (penduga) pada peubah tak bebas yang bersifat diskrit maupun kontinu. Regresi yang dilakukan pada teknik analisis ini bersifat ganda, atau memiliki beberapa peubah bebas (multiple). Oleh karena itu teknik stepwise dengan model GLZ ini bertujuan untuk mendapatkan model terbaik guna menduga efek/pengaruh yang ditimbulkan oleh peubah bebas terhadap peubah tak bebas. Teknik ini digunakan mengingat hubungan antara peubah bebas dengan faktor penduganya tidak selalu bersifat linear.

(39)

23

memastikan variabel yang paling berpengaruh terhadap perubahan peubah dependen.

Tahapan yang dilaksanakan dalam penerapan teknik regresi ini adalah : 1. Berdasarkan sebaran data variable – variable, model GLZ akan mendeteksi

linearitas sebaran data antara peubah dependen dengan predictor – predictor yang digunakan, untuk selanjutnya mendapatkan fungsi respon peubah Y terhadap peubah X. Gambar 5 berikut menunjukan sebaran data setiap peubah. Data peubah Y merupakan luas degradasi yang diperoleh dari hasil analisis spasial.

Gambar 5. Sebaran data setiap peubah

a. luas degradasi (degradasi ringan+degradasi berat)

b. laju pertumbuhan pemduduk

c. laju perubahan luas lahan non pertanian

d. persentase perubahan luas ladang

e. persentase perubahan jumlah keluarga pertanian

(40)

24

2. Berdasarkan sebaran data tersebut diatas maka model GLZ memilih fungsi log {f(z) = log(z)} untuk dijalankan pada multiple regression dengan teknik bertatar (stepwise), untuk menghasilkan fungsi pendugaan berupa :

Y = g (b0 + b1X1 + b2X2 + ... + bkXk)+ e Dengan hipotesis :

H0: β1, β2, β3 = 0 H1: β1, β2, β3≠ 0

Dimana : Y = luas degradasi pada tiap unit pengamatan; yaitu degradasi ringan + degradasi berat (Ha)

X1 = laju pertumbuhan penduduk (%/tahun)

X2 = laju perubahan luas lahan non pertanian (%/tahun) X3 = persentase perubahan luas ladang (%)

X4 = persentase perubahan jumlah keluarga pertanian (%) X5 = jarak desa dengan kecamatan (km)

Regresi stepwise melibatkan dua jenis proses yaitu: forward selection dan backward elimination. Teknik ini dilakukan melalui beberapa tahapan/iterasi. Pada masing-masing iterasi diputuskan variabel yang merupakan prediktor terbaik untuk dimasukkan ke dalam model. Variabel ditentukan berdasarkan level signifikansi p-value (peluang melakukan kesalahan untuk menolak H0). Variabel ditambahkan ke dalam model selama nilai p-valuenya kurang dari nilai α = 0,05 (5%). Kemudian variabel dengan nilai p-value lebih dari nilai α akan dihilangkan. Proses ini dilakukan terus menerus hingga tidak ada lagi variabel yang memenuhi kriteria untuk ditambahkan atau dihilangkan. Sementara itu dalam pada proses backward uji Wald statistic digunakan untuk memeriksa signifikansi (peranan) koefisien regresi dari masing – masing variable predictor secara individu dalam model dengan rumus :

Dimana :

βj : penduga bagi koefisien ke-j

Se(βj) : penduga galat baku (standard error) bagi koefisien ke-j

Arahan Strategi untuk Pengendalian Degradasi

(41)

25 Prinsip kerja teknik AHP ini adalah penyederhanaan suatu persoalan yang tidak terstruktur, strategis dan dinamik menjadi sebuah bagian yang tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, yang menunjukkan arti penting variabel tersebut, dan secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain (Marimin dan Magfiroh, 2010).

Proses dalam tahapan ini meliputi : • Penetapan sasaran atau fokus

• Mendefinisikan faktor, criteria dan mengidentifikasi alternatif • Menyusun informasi dalam diagram pohon

• Membuat perbandingan berpasangan

Setelah hierarki tersusun (terdekomposisi), maka ada dua tahap penilaian atau membandingkan antar elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria dimaksudkan untuk menentukan bobot untuk masing - masing kriteria. Di sisi lain, perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria dimaksudkan untuk melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria. Dengan perkataan lain, penilaian ini dimaksudkan untuk melihat seberapa penting suatu pilihan dilihat dari kriteria tertentu. Skala penilaian tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai perbandingan berpasangan

Nilai Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

• Membangun matriks perbandingan

• Menghitung prioritas (eigenvector) dengan rataan geometri melalui tahapan : a. menghitung akar ciri (λ) matriks pada setiap level hierarki melalui pencarian invers matriks sehingga diperoleh bobot setiap alternative.

Dimana bopi = nilai/bobot pilihan ke-I (bopi = bo11* bc1+ bo12* bc2 + bo13* bc3+ bo14* bc4)

(42)

26

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak Geografis dan Topografi Kawasan

Kawasan TNGHS secara geografis terletak antara 106° 13' – 106° 46' BT dan 06° 32' - 06° 55' LS, dan berada pada tiga wilayah administratif kabupaten, yaitu : Kabupaten Lebak di Propinsi Banten serta Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi di Propinsi Jawa Barat dengan luasan ± 113.357 ha. Batas-batas wilayah TNGHS adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara dibatasi oleh Kecamatan Nanggung, Kecamatan Jasinga di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Cipanas di Kabupaten Lebak.

b. Sebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Leuwiliang di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Kabandungan di Kabupaten Sukabumi.

c. Sebelah selatan dibatasi oleh Kecamatan Cikidang, Kecamatan Cisolok di Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Bayah di Kabupaten Lebak.

d. Sebelah timur dibatasi oleh Kecamatan Cibeber di Kabupaten Lebak. Kawasan TN Gunung Halimun Salak merupakan luasan terbesar dari sekelompok hutan pegunungan (Sub montane) yang masih utuh di Pulau Jawa dengan kisaran ketinggian antara 500-2.211 meter di atas permukaan laut (Hartono dkk. 2007). Bentang alam kawasan ini secara umum memiliki topografi berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Berdasarkan analisa kemiringan lahannya kawasan TNGHS terdiri dari perbukitan dengan kemiringan terbanyak lebih dari 45 % pada 75,7 % dari luas areal (Irwan, 2008).

Sejarah dan Status Kawasan

(43)

27

Tabel 6. Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS

Tahun Status

1924 – 1934 Status sebagai Hutan Lindung di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dengan luas mencakup 39,941 hektar

1935 – 1961

Status Cagar Alam Gunung Halimun di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Djawa Barat yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990 – 1992 Status Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango 1992 – 1997

Status Taman Nasional Gunung Halimun di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(SK. Menhut No. 282/Kpts-II/1992) 1997- 2003

Status Taman Nasional Gunung Halimun di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun (SK. Menhut No. 185/Kpts-II/1997)

2003 – 2006

Status Taman Nasional Gunung Halimun – Salak di bawah pengelolaan Balai Taman Nasonal Gunung Halimun (SK. Menhut No. 175/Kpts-II/2003)

Sumber : TNGHS (2007)

Iklim dan Curah Hujan

Wilayah TNGHS berada pada iklim Tropis dengan curah hujan yang tinggi, berkisar antara 4.000 sampai 6.000 mm/tahun. Bulan-bulan hujan meliputi bulan Oktober-April, sedangkan musim kemarau berlangsung antara bulan Mei-September dengan curah hujan berkisar 200 mm/bulan. Suhu rata-rata bulanan 31,5 oC dengan suhu terendah antara 19,7 dan suhu tertinggi 31,8. Kelembaban udara rata-rata 88% (Hartono et al. 2007)

Geologi, Tanah dan Hidrologi

Gambar

Gambar 3. Lokasi penelitian
Gambar 4. Alur analisis kerapatan tajuk
Gambar 5. Sebaran data setiap peubah
Gambar 6. Peta kerapatan hutan tahun 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan ini tidak menggunakan data pada tahun 2015 karena data tersebut tidak lengkap atau belum tersedia diharapkan bagi penulis selanjutnya untuk mengambil objek

Dengan bukti audit yang cukup dan tepat, auditor sudah menekan risiko audit, namun tidak mungkin samapai ke tingkat nol, karena. adanya kendala bawaaan dalam

Selain itu, instansi pe- merintah dan dinas terkait melakukan tugas se- suai tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) mas- ing-masing. Kompleksitas pada permasalahan anak

Sejalan dengan itu, Robert dan Cooper (dalam T. Hermaya, 2016:56-57) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

Genetsko svetovanje pri dednem raku dojk in jajčnikov ocena stanja je glavni koľak v procesu genetskega svetovanja in vključuje NCCN, 2006:.. Prvi koľak pľi ocenjevanju tveganja

Nakon što me je Bilić uputio i „na katalog zbirke ugarskog novca u Kun- sthistorisches Museumu u Beču, gdje se problemu pristupilo na vrlo sličan način” kao što

trebušastega ostenja in nizkega vratu z ravnim robom, ki je na zunanji strani profiliran; prehod ram v vrat je klekast; ostenje in vrat okrašena z navpičnimi in poševnimi vrezi;