• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan Proses untuk Peningkatan Umur Simpan Dodol Talas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbaikan Proses untuk Peningkatan Umur Simpan Dodol Talas"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

THE PROCESS IMPROVEMENT TO INCREASE

THE SHELF LIFE OF TARO DODOL

Irsyad and Sutrisno Koswara

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 16680, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +628567803730, E-mail: i.for.irsyad@gmail.com

ABSTRACT

There are six main steps in this research, which is surveying UKM Sawargi, preparing the taro flour and grated taro, making the taro dodol, storaging the taro dodol in room temperature, analyzing the sample, and settling the shelf life of taro dodol. The analysis is divided into five parameters, which is aw, the penetrometer result, the acceptance sensory test of product in term of

rancidity and texture, and the growth of mold. The result of this research is that taro dodol which made using taro flour is having longer shelf life compare to taro dodol which made using grated taro. The difference of shelf life is about 11 days, which is taro dodol from taro flour last for 32 days and taro dodol from taro grated last for 21 days. Meanwhile, the initial shelf life of taro dodol produced by UKM Sawargi is 10 days. The spoilage of taro dodol is indicated with the growth of mold which is visually detected. It makes the most critical parameter for the spoilage of taro dodol is aw with the

limit of aw is 0.80.

(2)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Talas (Colocasia esculenta) merupakan umbi-umbian lokal Indonesia yang masih belum digunakan dengan maksimal untuk diolah sebagai produk. Masyarakat masih menggunakannya sebagai produk gorengan ataupun hanya sebatas dibuat menjadi keripik, kolak, dan makanan ringan. Produksi talas terbesar ada di Bogor dengan produksi sebesar 57,311 ton pada tahun 2008 (Badan Pemerintahan Daerah Bogor, 2008). Salah satu talas unggulan dari kota Bogor adalah talas bentul, yang memiliki keunggulan berupa produktivitasnya yang tinggi dan lebih pulen dari varietas talas lainnya.

Umumnya bagian dari talas yang dikonsumsi adalah bagian umbinya. Akan tetapi, bagian lain dari talas juga dapat dimanfaatkan, seperti daunnya yang dapat digunakan sebagai sayur, ataupun kulit umbi talas yang dapat digunakan sebagai makanan ternak. Daun talas umumnya dikonsumsi dengan cara direbus dan dibuat menjadi seperti sup dengan mencampurkannya dengan berbagai macam kondimen.

Umbi talas memiliki keunggulan yang meliputi rendah lemak, bebas gluten, serta mudah dicerna. Kemudahannya untuk dicerna ini dikarenakan pati yang dimiliki oleh talas memiliki ukuran yang kecil. Selain itu, kandungan patinya juga cukup tinggi, yaitu 70-80 gram / 100 gram berat talas kering (Quach et al., 2000). Kandungan pati yang cukup tinggi tersebut mengindikasikan bahwa talas merupakan produk pertanian yang kaya akan karbohidrat serta kalori. Berdasarkan nilai gizinya yang cukup baik tersebut tersebut, penggunaannya sebagai produk diversifikasi pangan menjadi cukup potensial.

Pengolahan talas untuk digunakan sebagai bahan baku produk pangan dalam bentuk tepung sangatlah potensial. Hal ini dikarenakan talas memiliki kandungan pati yang tinggi yaitu sebesar 68.25% (basis kering) sehingga berpotensi untuk dijadikan bahan baku tepung-tepungan (Ridal, 2003). Rendemen yang bisa didapatkan pun juga cukup tinggi, yaitu mencapai 28.7% (Mayasari, 2010). Meskipun demikian, talas dalam bentuk olahan masih sangat jarang ditemui di daerah Asia ataupun Indonesia.

Penggunaan tepung talas sebagai bahan baku pembuatan dodol talas diduga bisa membantu memperpanjang umur simpan dari dodol talas karena tepung talas memiliki ukuran granula pati yang lebih kecil daripada hancuran talas segar. Selain itu, sebenarnya kelemahan talas adalah daya tahan umbi talas yang telah dipanen, sangat singkat. Sehingga, dengan pemanfaatannya untuk diolah terlebih dahulu menjadi tepung sebelum selanjutnya diolah menjadi bahan pangan lain, akan memberikan keuntungan secara ekonomis.

Salah satu makanan kudapan tradisional yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia adalah dodol. Dodol termasuk ke dalam jenis pangan semi basah yang memiliki karakteristik khas yaitu kadar air yang agak tinggi, tapi nilai awnya cukup rendah, sehingga daya awetnya tidak

terlalu singkat, yaitu dapat mencapai kisaran 1-6 bulan. Salah satu industri rumah tangga di Bogor, tepatnya di daerah Situgede, sudah mulai mengembangkan pembuatan dodol berbasiskan talas bentul dengan menggunakan bahan baku berbentuk parutan talas segar. Akan tetapi, mereka memiliki masalah dengan daya awet produk yang relatif singkat, yaitu hanya mencapai 10 hari saja. Kerusakan utama dodol adalah tumbuhnya kapang pada umur simpan 10 hari. Mereka mengharapkan agar umur simpan dodol talas tersebut dapat ditingkatkan paling tidak hingga mencapai 1 bulan.

(3)

2

yang lebih kuat dari tepung talas yang memiliki ukuran granula lebih kecil daripada parutan talas segar. Selain itu, penggunaan tepung talas sebagai bahan baku dodol talas juga dapat membantu standarisasi produksi dodol talas karena memiliki homogenitas yang lebih baik daripada bila menggunakan parutan talas segar.

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh penggunaan varietas talas bentul dalam bentuk tepung dengan bentuk parutan talas segar sebagai bahan baku dodol talas terhadap umur simpan pada penyimpanan suhu ruang yang meliputi parameter kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik, sehingga dapat diketahui bentuk bahan baku dodol talas yang dapat membantu umur simpan dodol menjadi lebih panjang.

1.3. MANFAAT PENELITIAN

(4)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TALAS

Talas (Colocasia esculenta) merupakan tanaman pangan yang termasuk jenis herba menahun. Talas memiliki berbagai nama umum di seluruh dunia, yaitu Taro, Old cocoyam, Abalong, Taioba, Arvi, Keladi, Satoimo, Tayoba, dan Yu-tao. Tanaman ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) dan berkeping satu (Monocotyledonae). Taksonomi tumbuhan talas secara lengkap adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales

Famili : Araceae Genus : Colocasia

Species : Colocasia esculenta

Matthews (2004) menyatakan bahwa talas berasal dari daerah sekitar India dan Indonesia, yang kemudian menyebar hingga ke China, Jepang, dan beberapa pulau di Samudra Pasifik. Pertumbuhan paling baik dari tanaman ini dapat dicapai dengan menanamnya di daerah yang memiliki ketinggian 0 m hingga 2740 m di atas permukaan laut, suhu antara 21 – 27ºC, dan curah hujan sebesar 1750 mm per tahun (Singh et al., 2006; Bourke et al., 2000). Bagian yang dapat dipanen dari talas adalah umbinya, dengan umur panen berkisar antara 6 -18 bulan dan ditandai dengan daun yang tampak mulai menguning atau mengering.

Gambar a Gambar b Gambar c

Gambar 1 (a) talas bentul yang baru dipanen, (b) talas bentul yang sudah dibuang bagian daunnya, (c) talas bentul yang sudah dikupas kulitnya

FAO (2001) menyatakan bahwa produksi talas di seluruh dunia mencapai 170.000 ton dengan total area penanaman diperkirakan seluas 31,000 ha. Kemudian, data terakhir dari FAO pada tahun 2003, ternyata produksi talas mencapai 9.22 juta ton dari area seluas 1.57 juta ha yang meliputi daerah Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hawaii, Afrika, India Selatan, dan Amerika Selatan (Anonim, 2003). Umumnya talas memang tumbuh subur di daerah negara-negara tropis. Bahan pangan ini memiliki kontribusi dalam menjaga ketahanan pangan di dalam negeri dan juga berpotensi sebagai barang ekspor yang dapat menghasilkan keuntungan (Revill et al., 2005). Pemasarannya selain dapat dilakukan dalam bentuk segar, juga dapat dilakukan dalam bentuk umbi beku ataupun umbi kaleng yang memenuhi syarat ukuran tertentu (Anonim, 2007).

(5)

4

talas bentul, talas lampung, talas pandan, talas padang, dan talas ketan. Namun, yang umum ditanam adalah talas bentul karena memiliki produktivitas yang tinggi serta memiliki rasa umbi yang enak dan pulen. Pada kondisi optimal, produktivitas talas dapat mencapai 30 ton/hektar. Perbedaan varietas tersebut dapat dilihat secara kasat mata. Hal yang membedakan dapat dilihat mulai dari ukuran, warna umbi, daun, dan pelepah daun, umur panen, serta bentuk dan ukuran pucuk. Ciri-ciri dari masing-masing varietas talas yang banyak dibudidayakan di Bogor ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri-ciri beberapa varietas talas di Bogor (Wahyudi, 2010)

Ciri-ciri Varietas talas

Pandan Lampung Sutera Ketan Bentul Padang Warna

daun

Hijau Kuning keunguan

Hijau Hijau Hijau Hijau

Warna pangkal

daun

Kemerahan - Putih - - -

Warna pelepah daun Hijau kemerahan Kuning keunguan

- Hijau Hijau

keunguan

-

Warna tangkai daun

Keunguan - - - - -

Warna daging umbi

Keunguan Kuning Putih Putih Putih Putih

Ukuran umbi

Sedang Besar Besar Kecil Kecil Sedang

Aroma Pandan - - - - -

Talas merupakan tanaman sekulen yaitu tanaman yang umbinya banyak mengandung air (Rukmana, 1998). Umbi tersebut terdiri dari umbi primer dan umbi sekunder. Kedua umbi tersebut berada di bawah permukaan tanah. Hal yang membedakannya adalah umbi primer merupakan umbi induk yang memiliki bentuk silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 15 cm, sedangkan umbi sekunder merupakan umbi yang tumbuh di sekeliling umbi primer dengan ukuran yang lebih kecil. Umbi sekunder ini digunakan oleh talas untuk melakukan perkembangbiakannya secara vegetatif (Lingga et al., 1989).

(6)

5

Gambar 2. Klasifikasi berbagai bentuk umbi talas (Minantyorini dan Hanarida, 2002)

Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang cukup baik. Komponen makronutrien dan mikronutrien yang terkandung di dalam umbi talas meliputi protein, karbohidrat, lemak, serat kasar, fosfor, kalsium, besi, tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C (Catherwood et al., 2007; Huang et al., 2007; Sefa-Dedeh dan Agyr-Sackey, 2004; Perez et al., 2007). Komposisi kimia tersebut bervariasi tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis varietas, usia, dan tingkat kematangan dari umbi. Muchtadi dan Sugiyono (1992) menambahkan bahwa faktor iklim dan kesuburan tanah juga turut berperan terhadap perbedaan komposisi kimia dari umbi talas. Nilai lebih dari umbi talas adalah kemudahan patinya untuk dicerna. Hal ini disebabkan oleh ukuran granula patinya yang cukup kecil dan patinya mengandung amilosa dalam jumlah yang cukup banyak (20-25%). Selain itu, talas juga bebas dari gluten, maka pangan olahan dari talas dapat digunakan untuk diet individu yang memiliki alergi terhadap gluten. Untuk lebih jelasnya mengenai kadar beberapa komponen makronutrien dan mikronutrien dari talas, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi dari umbi talas Komponen Kandungan

Air 63-85%1

Karbohidrat 13-29%1 Protein 1.4-3.0%1 Lemak 0.16-0.36%1 Serat kasar 0.60-1.18%1 Fosfor 61.0 mg/100 g2 Kalsium 28.00 mg/100 g2

Besi 1.00 mg/100 g2 Vitamin C 7-9 mg/100 g1

Tiamin 0.18 mg/100 g1 Riboflavin 0.04 mg/100 g1 Niasin 0.9 mg/100 g1 1) Onwueme (1994)

(7)

6

Berdasarkan tabel di atas, air merupakan bahan penyusun terbanyak untuk talas, yang selanjutnya diikuti oleh karbohidrat. Kadar karbohidrat yang cukup tinggi ini sebagian besar terdiri dari pati, yang kegunaannya di industri pangan cukup luas mulai dari sebagai pengental berbiaya rendah, bulking agent, hingga sebagai bahan pembentuk gel (Singh et al., 2003). Selain itu, bahan pertanian yang kaya akan karbohidrat, seperti talas ini, juga dapat dibuat menjadi berbagai produk pangan yang mengandalkan gelatinisasi sebagai proses utama pembentukannya, seperti pada produk dodol.

Salah satu faktor penyebab kurang intensifnya pengembangan talas sebagai produk pangan di Indonesia adalah konsumsi talas tanpa pengolahan yang tepat dapat menyebabkan munculnya rasa gatal pada individu yang mengkonsumsi olahan dari talas tersebut. Hal ini disebabkan karena talas segar mengandung kristal kalsium oksalat dalam kadar yang cukup untuk menimbulkan pembengkakan pada bibir dan mulut atau rasa gatal pada lidah dan tenggorokan. Mekanisme terjadinya hal tersebut adalah kristal kalsium oksalat yang berbentuk seperti jarum-jarum tipis menusuk dan mempenetrasi lapisan kulit yang tipis, terutama yang terdapat di daerah bibir, lidah dan tenggorokan. Kemudian, iritan akan muncul, yang kemungkinan merupakan sejenis protease, yang selanjutnya menyebabkan rasa tidak nyaman seperti gatal ataupun perih (Bradbury dan Nixon, 1998).

Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi kadar oksalat yang terdapat di umbi talas, mulai dari pemasakan, perendaman di larutan garam, germinasi, hingga fermentasi umbi talas (Noonan dan Savage, 1999). Akan tetapi, ternyata semua cara tersebut hanya dapat mengurangi jumlah oksalat terlarut, tetapi tidak untuk oksalat tidak terlarut. Salah satu hasil penelitian dari Albihn dan Savage (2001) menyatakan bahwa bioavailibilitas oksalat yang terdapat di talas ternyata dapat dikurangi hingga nilai nol jika talas yang telah dikukus dimakan bersamaan dengan sour cream. Teori yang dikembangkan sehubungan dengan fenomena tersebut adalah diduga bahwa penambahan kalsium, seperti dari susu, dapat mengganggu bioavailibilitas dari oksalat yang terkandung di dalam talas.

2.2. DODOL

Dodol merupakan salah satu jenis pangan olahan yang tergolong Pangan Semi Basah (PSB) karena memiliki kadar air 10-40%, aw 0.65-0.80, serta memiliki tekstur yang plastis dan

padat. Menurut Standar Nasional Indonesia, dodol merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung beras ketan, santan kelapa dan gula dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan lainnya yang diizinkan (Departemen Perindustrian, 1992). Akan tetapi, dengan permintaan pasar yang semakin beragam, produsen mencoba memenuhi keinginan konsumen dengan membuat produk dodol dengan beraneka rasa. Oleh karena itu, mulai diproduksilah berbagai jenis dodol dengan buah sebagai bahan penambah rasa pada dodol ketan, mulai dari dodol durian, dodol nanas, dodol sirsak hingga dodol talas.

(8)

7

Pengolahan pangan semi basah dibedakan menurut pembuatan cara tradisional dan pembuatan cara modern. Perbedaan yang paling mendasar pada kedua cara pembuatan dodol tersebut adalah parameter yang digunakan dalam melihat kematangan dodol. Prinsip pembuatan dodol secara tradisional adalah melakukan pencampuran bahan sesuai dengan urutannya dan memasaknya hingga secara organoleptik dianggap matang. Masyarakat tradisional menggunakan indikator bahwa adonan dodol yang sudah tidak lengket lagi di jari sebagai indikator telah matangnya adonan dodol tersebut. Sych (2003) juga menambahkan bahwa untuk pembuatan pangan semi basah tradisional, proses pembuatannya didominasi dengan cara desorpsi dan / atau dengan menambahkan humektan konvensional, seperti sukrosa dan natirum klorida. Sementara itu, untuk pembuatan dodol secara modern, hampir sama dengan pembuatan dodol secara tradisional, hanya saja untuk melihat kematangannyan lebih berdasarkan pada aw dari dodol. Selain itu pada

pembuatan dodol secara modern juga dilakukan pengendalian proses pengolahan dan standarisasi bahan, sehingga hasil produk akhirnya lebih konsisten. Adapun untuk penyimpanan pangan semi basah dilakukan pada suhu ruang. Walaupun memang jika jenis pangan seperti ini disimpan pada suhu rendah memiliki kemungkinan umur simpannya lebih panjang, tetapi sangatlah tidak umum hal tersebut dilakukan.

Sudarsono (1981) melakukan pembagian pangan semi basah menjadi tiga golongan berdasarkan umur simpannya. Golongan pertama merupakan pangan semi basah yang memiliki umur simpan selama 0-1 minggu, seperti tape singkong, tape uli, ikan pindang, dan wingko babat. Golongan kedua merupakan pangan semi basah yang memiliki umur simpan selama 1 minggu-1 bulan, seperti ikan peda dan ikan pindang besar. Golongan ketiga merupakan pangan semi basah yang memiliki umur simpan lebih dari 1 bulan, seperti dodol garut, kecap, tauco, terasi, telur asin, dan manisan buah. Berdasarkan pembagian tersebut, maka dodol talas ini dapat dikategorikan sebagai pangan semi basah golongan kedua.

Daerah-daerah di Indonesia mengenal dodol dengan nama yang berbeda-beda. Bila di daerah Garut terkenal dengan nama dodol garut, maka di Kudus lebih dikenal dengan nama jenang, dan di Sumatera Barat dikenal dengan nama kalamai. Hal ini menunjukkan bahwa dodol disukai oleh berbagai golongan, sehingga potensi pemanfaatan berbagai sumber daya lokal sebagai bahan baku dodol masih sangat besar.

Gambar 3. Dodol talas yang diproduksi oleh UKM Sawargi desa Situgede, kota Bogor

2.3. TEPUNG TALAS

(9)

8

sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk dihancurkan (Hubeis, 1984).

Talas memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku tepung-tepungan karena memiliki kandungan pati yang tinggi, yaitu sekitar 70-80% (Quach et al., 2000). Selain itu, menurut Perez et al. (2007) tepung talas memiliki ukuran granula yang kecil, yaitu sekitar 0.5-5 mikron. Ukuran granula pati yang kecil ini ternyata dapat membantu individu yang mengalami masalah dengan pencernaannya karena kemudahan dari talas untuk dicerna (Baker, 2002). Pemanfaatan lebih lanjut dari tepung talas adalah dapat digunakan sebagai bahan industri makanan seperti biskuit ataupun makanan sapihan. Selain itu, tepung talas juga dapat diaplikasikan untuk membuat makanan bagi orang yang sakit dan orang tua, dengan cara mencampurkan tepung talas dengan susu skim.

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan tepung talas. Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan umbi segar. Lalu dilakukan pengirisan yang ditujukan untuk memperbesar luas permukaan dari talas pada saat dikeringkan. Kay (1973) dan Onwueme (1994) terlebih dahulu melakukan proses perendaman talas di dalam asam sulfat dan perendaman di dalam air mendidih selama 4-5 menit sebelum talas mengalami pengeringan dengan tujuan untuk mengurangi kandungan oksalat di dalamnya. Kandungan oksalat yang ada di talas memang cukup tinggi dan bila tidak dihilangkan ataupun dikurangi, maka saat pangan olahan dari talas dikonsumsi, orang yang mengkonsumsi akan merasa gatal-gatal pada tenggorokannya.

Pengeringan talas dapat dilakukan baik itu dengan menggunakan alat pengering maupun sinar matahari (Suarnadwipa dan Hendra, 2008). Secara umum, pengeringan dengan menggunakan alat pengering lebih baik daripada menggunakan sinar matahari. Kelebihannya antara lain suhu pengeringan dan laju alir udara panas yang dapat dikontrol, kebersihan yang lebih terjaga, dan pemanasan terjadi secara merata. Akan tetapi, pengoperasian alat pengering terkadang memerlukan keahlian dari pengguna alatnya dan memakan biaya yang agak sedikit lebih mahal.

Proses pengeringan pada pembuatan tepung talas merupakan salah satu tahapan yang krusial, karena menentukan kualitas dan keawetan dari produk olahan selanjutnya dari tepung tersebut. Suhu dan waktu pengeringan merupakan faktor penting dalam pengeringan yang akan mempengaruhi mutu produk akhir (Heldman dan Lund, 2007; Syahputra, 2008). Proses pengeringan yang paling optimal menurut Mohamed dan Hussein (1994) dilakukan pada suhu pengeringan 60ºC selama 22 jam, yang pada akhirnya akan didapatkan kadar air tepung ± 9.89%. Hasil dari pengeringan tersebut kemudian digiling dengan pin disc mill. Nilai gizi dari tepung talas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Proksimat tepung talas (Tekle, 2009) Komponen Kandungan (%)

Air 8.49±0.05

Protein 6.43±0.04

Lemak 0.47±0.1

Serat kasar 2.63±0.06 Total abu 4.817±0.054

(10)

9

2.4. KERUSAKAN PRODUK PANGAN DAN CARA PENENTUANNYA

Hine (1997) menyatakan bahwa pengertian dari umur simpan berhubungan dengan waktu antara saat produk mulai dikemas sampai dengan mutu produk yang masih memenuhi syarat dan dalam kondisi memuaskan untuk dikonsumsi. Pengetahuan akan umur simpan pada produk pangan sangatlah penting, karena merupakan bagian dari mutu produk pangan yang akan mempengaruhi penerimaan produk di konsumen. Arpah dan Syarief (2000) menyatakan bahwa suatu produk berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan.

Sistem penentuan umur simpan bahan pangan dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode konvensional, metode akselerasi, dan metode waktu paruh (half value point). Metode konvensional menitikberatkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk selama dalam kondisi penyimpanan normal. Pada metode ini, produk pangan disimpan pada kondisi penyimpanan normal dan dilakukan pengamatan hingga produk pangan tersebut mencapai kondisi kadaluarsanya. Kekurangan dari metode ini adalah dibutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui umur simpan produk, terutama produk yang memiliki aw rendah, seperti biskuit dan

produk tepung-tepungan. Akan tetapi, kelebihannya adalah umur simpan dari produk dapat diketahui dengan pasti, karena umur simpan produk diperoleh dari hasil pengamatan langsung. Penentuan umur simpan dengan metode konvensional walaupun memakan waktu yang lebih lama daripada metode akselerasi ataupun metode waktu paruh , tetapi keakuratannya dapat dikatakan mencapai 100%. Umumnya metode konvensional digunakan untuk produk-produk yang memiliki umur simpan kurang dari 3 bulan, seperti roti, bakso, ikan pindang, tape uli, dan produk-produk pangan lainnya yang memiliki umur simpan relatif singkat . Bila digunakan metode konvensional untuk produk yang memiliki umur simpan lebih dari 3 bulan, maka analisis yang dilakukan akan menjadi kurang efektif dan efisien.

(11)

10

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain talas bentul, gula pasir, gula merah, santan, garam, mentega, tepung ketan putih. Sementara itu, alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain wajan penggorengan besar, kompor, pengaduk kayu, wadah plastik, saringan, penetrometer, neraca analitik, pisau, labu erlenmeyer, aw meter, plastik pembungkus, blender,

abrasive peeler, slicer, dan pin disc mill.

3.2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi enam tahapan, yaitu: (1) survei ke UKM Sawargi, (2) persiapan bahan baku, (3) pembuatan dodol talas, (4) penyimpanan dodol talas dalam suhu ruang, (5) analisis kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik, dan (6) pengamatan keawetan dan umur simpan dodol talas.

3.2.1. Survei ke UKM Sawargi

Tahapan paling awal dari penelitian ini adalah survei yang dilakukan langsung oleh penulis ke UKM Sawargi sebagai salah satu usaha di kota Bogor yang memproduksi dodol talas. Penulis melakukan kunjungan sebanyak 3 kali dengan tujuan untuk mengamati tahapan proses produksi pembuatan dodol talas yang dilakukan di UKM tersebut, sehingga penulis bisa meniru proses produksi tersebut untuk kemudian dapat membuat sampel dodol talas. Penulis juga mendapatkan data aw dan umur simpan dari dodol talas yang diproduksi oleh UKM Sawargi

tersebut yang selanjutnya digunakan sebagai data pembanding terhadap dodol talas yang dibuat oleh penulis sendiri. Untuk data rata-rata umur simpan dodol talas produksi UKM Sawargi, penulis mengambil data dari 10 batch produksi.

3.2.2. Persiapan Bahan Baku 3.2.2.1. Pembuatan Tepung Talas

Talas segar awalnya dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan tanah yang masih menempel. Talas kemudian dikupas dengan menggunakan abrasive peeler hingga kulitnya terkupas semua. Setelah itu, dilakukan pengirisan pada talas menggunakan slicer sehingga didapatkan talas dengan ketebalan ± 0.1 cm. Selanjutnya irisan talas tersebut dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 150ºC selama 6 jam. Irisan talas yang sudah mengering sempurna ditandai oleh irisan talas yang dapat dipatahkan. Langkah terakhir adalah proses penepungan irisan talas dengan menggunakan pin disc mill. Selanjutnya akan dihasilkan tepung talas yang siap digunakan untuk proses pembuatan dodol talas. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 5 yang menyajikan proses pembuatan tepung talas.

3.2.2.2. Pembuatan Hancuran Talas Segar

(12)

11

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung talas

Gambar 6. Diagram alir pembuatan hancuran talas segar

3.2.3. Pembuatan Dodol Talas

Pembuatan dodol talas diawali dengan menyiapkan beberapa bahan penting seperti tepung talas atau talas segar, gula pasir, gula merah, garam, santan, mentega, dan tepung ketan. Awalnya, santan dicampurkan dengan garam dan mentega, kemudian dididihkan. Selama proses pemanasan hingga santan mendidih, santan harus terus-menerus diaduk. Selanjutnya, tepung talas

Penghancuran dengan blender

Penyaringan Pencucian Talas segar

Talas segar

Hancuran talas segar Pengirisan dengan slicer

Pengupasan dengan abrasive peeler

Pencucian

Pengupasan dengan abrasive peeler

Pengirisan dengan slicer

Penggilingan dengan pin disc mill

Pengeringan dengan oven

(13)

12

atau talas segar dimasukkan dan diaduk lagi hingga tercampur merata. Setelah itu, gula pasir dimasukkan, dan adonan terus-menerus diaduk. Gula merah yang sebelumnya telah diencerkan dengan air dengan perbandingan 10:1 (gula merah:air), ditambahkan ke dalam adonan. Lalu, tepung ketan juga dicampurkan ke dalam adonan. Selama proses pemasakan adonan dilakukan, harus dilakukan pengadukan secara kontinu untuk menghindari terjadinya gosong pada adonan yang terletak di bagian bawah. Setelah itu dilakukan pengecekan kematangan dodol talas dengan mengambil sebagian kecil adonan dodol yang sedang dimasak dan menyentuhnya dengan jari.

Gambar 7. Diagram alir pembuatan dodol talas dengan talas basis 1 kg

Jika adonan tersebut sudah tidak lengket lagi di jari, maka itu berarti dodol talas telah matang. Kemudian, setelah memastikan dodol talas telah matang, dilakukan pengangkatan dodol dan penuangan ke wadah plastik untuk selanjutnya didinginkan selama 10 jam. Pada awal proses pendinginan, dodol talas yang baru matang masih mengeluarkan uap, sehingga harus didinginkan dalam kondisi terbuka agar uapnya dapat keluar. Akan tetapi, begitu uap tersebut sudah tidak muncul lagi, wadah yang digunakan untuk mendinginkan dodol talas tersebut ditutup dengan plastik untuk mencegah kontaminasi dengan udara sekitar, sehingga potensi kerusakan dodol talas karena kontaminasi lingkungan dapat diminimalisir. Setelah proses pendinginan selesai dilakukan, dodol talas dikemas dengan menggunakan plastik polipropilen dan dibentuk seperti tabung dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 5 cm. Dodol talas yang telah dikemas kemudian disimpan di dalam kardus pada suhu ruang dan tidak terkena sinar matahari langsung. Diagram alir proses produksi dodol talas dapat dilihat pada Gambar 7.

Tepung talas atau hancuran talas

segar 1 kg

Penuangan ke nampan

(14)

13

3.2.4. Penyimpanan Dodol Talas

Penelitian selanjutnya adalah mengamati perubahan mutu yang terjadi selama masa penyimpanan. Penyimpanan produk di dalam kemasan dilakukan pada suhu ruang selama 35 hari dengan rentang waktu pengambilan dan analisis sampel dilakukan setiap 3-4 hari sekali untuk analisis fisik, kimia, dan mikrobiologi, dan setiap 7 hari sekali untuk uji organoleptik. Metode analisis pendugaan umur simpan dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap nilai aw,

kekerasan tekstur (penetrometer), pengamatan pertumbuhan kapang secara visual, dan uji organoleptik terhadap parameter ketengikan dan tekstur. Berikut ditampilkan diagram alir proses penyimpanan dodol talas.

Gambar 8. Diagram alir proses penyimpanan dodol talas

3.2.5. Analisis Kimia, Fisik, Mikrobiologi, dan Organoleptik 3.2.5.1. Analisis Kimia (Nilai aw)

Analisis nilai aw dilakukan untuk melihat nilai aw dari dodol talas dalam rentang waktu

tertentu dan mengamati perubahannya. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat awmeter

yang bekerja dengan prinsip perbedaan tekanan potensial. Cara penggunaannya adalah dengan memasukkan sampel ke dalam awmeter dan kemudian menunggu hingga nilai aw dari sampel

terbaca ready.

3.2.5.2. Analisis Fisik (Uji Penetrometer)

Analisis kekerasan dodol talas dilakukan dengan menggunakan penetrometer. Alat tersebut akan mengukur kedalaman yang bisa dicapai dengan menusukkan probe berbentuk jarum dengan berat 2.5 gram pada tekanan yang sama selama 5 detik. Produk yang keras akan memberikan nilai yang lebih kecil karena kedalaman yang bisa ditembus oleh probe akan menjadi lebih kecil, dan sebaliknya.

3.2.5.3. Analisis Mikrobiologi (Pertumbuhan Kapang)

Untuk melihat ada atau tidaknya pertumbuhan kapang, dilakukan pengamatan secara visual setiap harinya hingga hari teramati tumbuhnya kapang. Pengamatan ini dilakukan secara kualitatif, sehingga jumlah kapang yang tumbuh tidak dihitung. Bila pada salah satu sampel yang

Pengemasan di plastik pembungkus Dodol talas

Penyimpanan di suhu ruang

Pengambilan sampel:

3 hari sekali untuk uji kimia, fisik, dan mikrobiologi

7 hari sekali untuk uji organoleptik

(15)

14

diambil untuk dilihat ternyata terdapat kapang yang sudah mulai tumbuh, walau hanya tampak satu koloni saja, maka umur simpan dari dodol talas dinyatakan berakhir karena tumbuhnya kapang yang dapat terlihat secara visual menandakan bahwa dodol talas tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

3.2.5.4. Uji Organoleptik (Tingkat Ketengikan dan Tingkat Kekerasan)

Uji organoleptik dilakukan untuk menentukan perubahan ketengikan dan kekerasan yang terjadi pada setiap sampel dodol talas. Untuk uji organoleptik ini akan dilakukan oleh minimal 30 orang panelis untuk setiap sampel yang diambil setiap 7 hari. Data hasil uji organoleptik ini kemudian dapat digunakan untuk membantu melihat kecenderungan perubahan parameter mutu dari dodol talas dan membandingkan apakah terdapat perbedaan yang signifikan secara organoleptik pada dodol talas yang dibuat dari tepung talas dengan hancuran talas segar saat dilakukan penyimpanan. Parameter yang diujikan dalam uji organoleptik ini meliputi tingkat ketengikan dan tingkat kekerasan. Pengolahan data dari masing-masing uji organoleptik dilakukan dengan merekapitulasi nilai yang diberikan oleh setiap panelis kemudian menganalisisnya menggunakan SPSS 16 dengan uji T-test pada taraf kepercayaan 95% untuk membandingkan hasil uji organoleptik antara dodol dari tepung talas dengan hancuran talas setiap minggunya.

3.2.6. Pengamatan Keawetan dan Umur Simpan Dodol Talas

Pengamatan keawetan dari dodol talas dilakukan dengan mengamati beberapa parameter mutu dodol talas hingga saat dodol talas tersebut dianggap sudah berakhir umur simpannya. Indikator berakhirnya umur simpan dari dodol talas ini adalah bila kapang telah tumbuh pada dodol talas. Hal ini dikarenakan tumbuhnya kapang pada dodol talas menandakan bahwa dodol talas tersebut tidak dapat dikonsumsi lagi. Untuk data yang didapatkan dari hasil analisis aw,

analisis kekerasan tekstur, dan uji organoleptik tingkat ketengikan dan tingkat kekerasan dodol talas, semuanya digunakan untuk melihat kecenderungan penurunan mutu yang terjadi selama dilakukan penyimpanan. Selanjutnya, hasil analisis tersebut dapat membantu menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada dodol talas selama dilakukan penyimpanan. Berikut merupakan diagram alir dari proses penentuan umur simpan dodol talas.

Gambar 9. Diagram alir penentuan umur simpan dodol talas Analisis aw Analisis

kekerasan tekstur

Uji tingkat ketengikan dan

tekstur Pengambilan

sampel 3 hari sekali

Terlihat tumbuh koloni kapang Pengamatan

kapang secara visual

Pengambilan sampel 7 hari sekali

Analisis data

(16)

15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. SURVEI KE UKM SAWARGI

Survei dilakukan oleh penulis ke UKM Sawargi yang terletak di desa Situgede, Bogor, untuk dapat meniru proses pembuatan dodol talas yang nantinya akan diaplikasikan pada penelitian ini. Penulis tidak melakukan modifikasi apapun terhadap setiap tahapan pembuatan dodol talas dari UKM Sawargi, kecuali nantinya berbeda dalam bentuk bahan baku yang digunakan, agar tidak ada perbedaan dari segi proses pembuatannya.

Umur simpan dodol talas yang diproduksi oleh UKM Sawargi rata-rata adalah 10 hari. Bila dibandingkan dengan umur simpan dodol konvensional yang dipasarkan secara komersial, umur simpan dodol talas yang dibuat oleh UKM Sawargi sangatlah singkat. Hasil pengamatan terhadap umur simpan berbagai dodol di pasaran menunjukkan bahwa rata-rata umur simpan dodol tersebut berkisar antara 3-6 bulan. Sitanggang (2009) juga melakukan survei terhadap tekstur, umur simpan, dan aw dari beberapa merk dodol. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Tekstur, umur simpan, dan aw beberapa dodol yang ada di pasaran (Sitanggang, 2009)

Karakteristik dodol talas yang diproduksi oleh UKM Sawargi memiliki tekstur yang liat dan lembut di seluruh bagian. Bila dibandingkan dengan dodol jenis lainnya di pasaran, dodol yang memiliki tekstur lebih keras, seperti terdapat pada dodol picnic maupun dodol garut picnic “special quality”, ternyata memiliki umur simpan yang lebih panjang daripada dodol yang teksturnya liat ataupun kenyal, seperti dodol talas UKM Sawargi ataupun dodol garut kabitha. Produk pangan yang memiliki tekstur keras umumnya memiliki nilai aw yang kecil pula. Hal ini

dikarenakan terjadinya ikatan hidrogen dan crosslinking air di bahan pangan dengan makromolekul, sehingga mempengaruhi tekstur dari produk pangan yang dikeringkan (Winarno, 2008). Semakin banyak air yang terdapat di produk pangan, maka interaksi intermolekuler terjadi lebih intens, sehingga semakin melemahkan ikatan antarmolekul produk pangan, dan pada akhirnya menyebabkan tekstur produk pangan menjadi semakin melunak.

Hasil pengamatan lanjutan dari peneliti terhadap dodol komersial konvensional yang diperjualbelikan di masyarakat, ternyata jenis kemasan yang digunakan berbeda dengan kemasan yang digunakan oleh UKM Sawargi untuk mengemas dodolnya. Bila dodol talas UKM Sawargi menggunakan kemasan plastik polipropilen, untuk dodol konvensional lainnya umumnya menggunakan kemasan kertas greaseproof. Kertas ini memiliki karakteristik agak transparan dan telah dihidrasi sehingga memiliki ketahanan terhadap lemak yang cukup baik. Akan tetapi, walaupun disebutkan sebagai greaseproof, dalam kenyataannya kertas pembungkus ini tidak benar-benar anti lemak, karena minyak dan lemak pada akhirnya dapat menembus kertas ini

Dodol Picnic Dodol Garut Picnic “Special Quality

Dodol Garut Kabitha

Tekstur Lembut hampir di seluruh bagian, hanya di

bagian bawah ada lapisan yang keras

Tekstur agak keras pada bagian luar, dengan bagian dalam yang lembut dan sedikit

lengket

Kenyal, agak lengket

Umur simpan

5 bulan 4 bulan 2 bulan

(17)

16

setelah beberapa waktu tertentu. Walaupun demikian, penggunaannya untuk kemasan dari produk yang berminyak dan berlemak masih sangat sering (Robertson, 1993).

Untuk mendapatkan data awal yang digunakan sebagai pembanding untuk dodol talas yang dibuat pada penelitian ini, maka dilakukan analisis dengan awmeter dan penetrometer untuk

mendapatkan nilai aw dan nilai penetrometer dari dodol talas yang diproduksi oleh UKM Sawargi.

Hasilnya adalah nilai aw untuk dodol talas UKM Sawargi pada hari ke-1 adalah 0.79 dan pada hari

ke-10 adalah 0.81, sedangkan untuk nilai penetrometer dodol talas UKM Sawargi pada hari ke-1 adalah 15.54 mm dan pada hari ke-10 adalah 4.72 mm.

4.2. PERSIAPAN BAHAN BAKU DODOL TALAS

Tahapan persiapan bahan baku pada penelitian ini meliputi pembuatan tepung talas dan talas segar. Pembuatan tepung talas dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu pencucian, pengupasan, pengirisan, pengeringan, dan penggilingan. Setelah dilakukan penggilingan, maka akan didapatkan tepung talas seperti yang terdapat di Gambar 10 dengan ukuran 60 mesh. Berdasarkan pengamatan, tepung talas memiliki tekstur yang halus dan memiliki warna putih agak kecoklatan. Rendemen yang didapatkan dari tepung talas pada penelitian ini adalah sebesar 28.83%. Kehilangan rendemen pada pembuatan tepung talas adalah pada tahap pengupasan sebesar 6.33%, tahap pengirisan sebesar 3.17%, tahap pengeringan sebesar 51.17%, dan tahap penggilingan sebesar 10.5%. Kehilangan rendemen terbesar terjadi pada tahap pengeringan karena pada tahap tersebut terjadi penghilangan air dalam jumlah cukup banyak pada talas. Adapun kehilangan rendemen yang juga terjadi pada tahap pengirisan maupun penggilingan dikarenakan adanya potongan-potongan kecil yang tidak dapat digunakan lagi akibat inefisiensi alat. Rendemen akhir tepung talas sejumlah 28.81% ini tidaklah terlalu berbeda dengan penelitian lain, seperti yang dilakukan oleh Mayasari (2010) yang menggunakan talas dengan jenis yang sama, yaitu talas bentul, diperoleh rendemen tepung talas sebesar 28.17%.

Untuk pembuatan hancuran talas segar, tahapan pembuatannya meliputi pencucian, pengupasan, pengirisan, penghancuran, dan penyaringan. Hasil dari hancuran talas segar dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan pengamatan, hancuran talas segar memiliki tekstur yang agak kasar dan warna krem keabu-abuan. Rendemen akhir talas segar adalah sebesar 78.51% yang merupakan bagian yang dapat dimakan dari umbi talas. Kehilangan rendemen pada pembuatan hancuran talas segar adalah pada tahap pengupasan sebesar 12.8%, tahap pengirisan sebesar 4.3%, dan tahap penyaringan sebesar 4.39%. Kehilangan rendemen terbesar terjadi pada tahap pengupasan dikarenakan banyaknya “bintil-bintil” talas yang merupakan umbi sekunder dari talas yang dapat menyebabkan terjadinya germinasi pada umbi talas, sehingga harus dihilangkan.

(18)

17

Gambar 10. Talas segar (kiri) dan tepung talas (kanan)

4.3. PRODUKSI DODOL TALAS

Tahapan kedua dari penelitian ini adalah pembuatan dodol talas dengan menggunakan bahan baku talas segar ataupun tepung talas. Talas segar ataupun tepung talas dimasukkan ke dalam campuran santan, garam, dan mentega yang sudah mendidih. Setelah itu, dimasukkan bahan-bahan lainnya berturut-turut gula pasir, gula merah, dan tepung ketan, hingga membentuk adonan. Hal yang perlu diperhatikan selama tahap kedua ini adalah menjaga agar adonan tidak menjadi hangus dengan cara mengaduknya terus-menerus. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan dodol digunakan suhu 110-150ºC, sehingga adonan yang berada paling dekat dengan sumber panas akan rentan untuk hangus. Selain itu, adanya gula yang cukup banyak pada dodol dapat menyebabkan terjadinya proses karamelisasi. Pengadukan yang tidak dilakukan secara terus-menerus juga dapat menyebabkan terjadinya karamelisasi yang tidak merata yang selanjutnya dapat mengurangi penampakan akhir dari dodol talas. Komposisi dodol talas yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan komposisi yang digunakan oleh UKM di Situgede, baik itu dengan bahan baku berupa tepung talas ataupun talas segar. Komposisinya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi dodol talas

Dodol talas ini termasuk ke dalam jenis produk pangan semi basah yang pengolahannya masih dilakukan secara tradisional. Pangan semi basah tradisional umumnya diproses dengan cara melakukan penghilangan air, baik itu dengan desorpsi dan/ atau dengan menambahkan humektan konvensional, seperti natrium klorida dan sukrosa (Sych, 2003). Berdasarkan tahapan proses dan bahan baku yang digunakan pada pembuatan dodol talas ini, maka dapat disimpulkan bahwa digunakan proses desorpsi dan penambahan humektan dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga dapat dikategorikan sebagai pangan semi basah.

Secara karakteristik fisik, baik itu dari segi warna maupun tekstur, kedua jenis dodol talas yang dihasilkan tidak terlalu berbeda. Dodol yang dibuat dari tepung talas ataupun hancuran talas segar sama-sama memiliki warna coklat gelap dan tekstur liat dan agak lunak. Warna coklat gelap

Bahan Dodol Talas Segar (gram) Dodol Tepung Talas (gram)

Talas (dalam bentuk hancuran) 1582 -

Talas (dalam bentuk tepung) - 865

Santan 2376 4215

Gula pasir 788 1405

Gula merah 788 1405

Tepung ketan 156.4 281

Mentega 87 158

(19)

18

tersebut dihasilkan dari reaksi karamelisasi selama proses pemasakan dodol talas, sedangkan untuk tekstur yang liat tersebut diakibatkan karena terjadinya retrogradasi pati saat dodol yang telah matang didinginkan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis dodol talas tersebut diduga karena memang komposisi yang digunakan sama, walaupun bentuk bahan baku yang digunakan berbeda. Perbedaan bentuk bahan baku ini tampaknya hanya mempengaruhi dodol talas dari segi kimia, yaitu nilai aw, yang tidak dapat teramati secara visual.

Salah satu hal yang membedakan antara dodol talas dengan dodol komersial lainnya dari hasil pengamatan penulis segera setelah dodol matang adalah terdapatnya gumpalan-gumpalan kecil berwarna putih yang tidak ditemukan pada dodol komersial lainnya. Diduga kuat, gumpalan-gumpalan tersebut merupakan pati yang menggumpal dan tergelatinisasi terlebih dahulu tanpa mampu menyerap air di sekitarnya. Gumpalan tersebut diperkirakan terbentuk saat tahapan memasukkan talas segar ataupun tepung talas ke campuran santan, mentega, dan garam yang mendidih. Saat talas segar ataupun tepung talas tersebut dimasukkan, suhu pada santan sudah pasti melebihi dari suhu gelatinisasi talas, yang berkisar antara 55-70ºC. Akibat terpapar panas tinggi secara tiba-tiba, maka sebagian kecil pati yang belum sempat menyerap air akan mengalami gelatinisasi terlebih dahulu, sehingga terbentuklah gumpalan-gumpalan kecil tersebut. Pengaruh gumpalan-gumpalan kecil tersebut terutama terhadap umur simpan dari dodol talas. Dikarenakan gumpalan tersebut merupakan pati yang tidak menyerap air, maka semakin banyak gumpalan tersebut menandakan bahwa semakin banyak pula air yang tidak terikat dengan baik oleh pati, dan berarti air bebas yang tersedia untuk reaksi kimia, biokimia, dan pertumbuhan kapang juga akan semakin banyak. Pada akhirnya, umur simpan dodol talas pun akan menjadi lebih singkat. Seharusnya, tahapan tersebut mengalami modifikasi yaitu berupa talas segar ataupun tepung talas dipanaskan bersama-sama dengan santan, garam, dan mentega, sehingga pembentukan gumpalan pati tersebut dapat lebih diminimalisir, yang selanjutnya akan dapat lebih memperpanjang umur simpan dari dodol talas.

4.4. PENYIMPANAN DODOL TALAS

Tahapan ketiga dalam penelitian ini adalah penyimpanan dodol talas. Penyimpanan dilakukan pada suhu 26-28ºC dengan RH lingkungan sebesar ± 82%. Pengemasan dodol talas dilakukan dengan menggunakan plastik polipropilen dan kemudian disimpan di dalam kardus dan tidak terkena sinar matahari langsung. Pemilihan bahan pengemas berupa plastik polipropilen ini karena plastik polipropilen memiliki beberapa sifat yang dirasa cukup baik untuk menjaga keawetan dari dodol talas, yaitu transmisi uap air yang rendah, permeabilitas gas sedang, ketahanan bagus terhadap lemak dan bahan-bahan kimia, kestabilan suhu yang lebih tinggi, dan denstias yang lebih rendah daripada plastik dengan jenis polietilen (Robertson, 1993).

Tujuan dari penyimpanan dodol talas ini adalah untuk mengetahui umur simpan dari dodol talas tersebut. Pengambilan sampel pada dodol talas dilakukan secara acak. Pengambilan sampel ini merupakan salah satu tahapan yang krusial dalam pengambilan data, karena kesalahan dalam pengambilan sampel, maka data yang didapatkan akan menjadi tidak representatif.

4.5. PARAMETER UMUR SIMPAN DODOL TALAS 4.5.1. Analisis Parameter Umur Simpan Dodol Talas

Dodol talas yang mengalami penyimpanan, tampak mengalami perubahan pada beberapa parameter kritisnya, yaitu nilai aw, kekerasan yang diukur dengan penetrometer, dan pertumbuhan

(20)

19

Tabel 6. Data penetrometer, aw, dan pertumbuhan kapang dari dodol yang dibuat dengan bahan

baku talas segar

Hari ke- Penetrometer (mm) aw Kapang

1 18.55 ± 0.113 0.79 ± 0.01 Negatif

4 14.09 ± 0.127 0.77 ± 0.01 Negatif 7 13.07 ± 0.870 0.78 ± 0.01 Negatif

10 11.04 ± 0.226 0.76 ± 0.01 Negatif 14 8.95 ± 0.141 0.77 ± 0.02 Negatif

18 8.80 ± 0.124 0.78 ± 0.01 Negatif

21 8.28 ± 0.035 0.80 ± 0.01 Positif

Tabel 7. Data penetrometer, aw, dan pertumbuhan kapang dari dodol yang dibuat dengan bahan

baku tepung talas

Hari ke- Penetrometer (mm) aw Kapang

1 17.45 ± 0.071 0.79 ± 0.01 Negatif

4 15.30 ± 0.141 0.76 ± 0.01 Negatif 7 11.85 ± 0.071 0.77 ± 0.02 Negatif

11 9.22 ± 0071 0.78 ± 0.01 Negatif 14 7.75 ± 0.071 0.79 ± 0.02 Negatif

18 7.50 ± 0.141 0.78 ± 0.01 Negatif

21 7.75 ± 0.071 0.78 ± 0.00 Negatif 25 7.10 ± 0.141 0.77 ± 0.01 Negatif

29 6.70 ± 0.000 0.80 ± 0.01 Negatif

32 7.65 ± 0.071 0.82 ± 0.01 Positif

Perubahan kimia, fisik, dan mikrobiologi yang terjadi pada dodol talas diduga diakibatkan terjadinya perpindahan uap air antara dodol dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Nollet (1996), beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan uap air yang terdapat di dalam bahan pangan ke udara di sekitarnya adalah kadar air, komposisi penyusun makanan, suhu, dan kelembaban udara. Oleh karena itu, dalam melakukan pengujian umur simpan dari suatu produk pangan, sangatlah penting untuk mengontrol semua faktor tersebut.

(21)

20

bagian atas wadah pendinginan dodol dengan plastik. Sehingga, sangatlah memungkinkan saat dilakukan pendinginan dodol talas di dalam etalase tersebut, sudah terdapat spora kapang dalam jumlah besar yang dapat semakin mempercepat pertumbuhan kapang di dodol talas milik UKM Sawargi. Sebaiknya memang dilakukan penutupan wadah pendinginan dodol saat uap tidak muncul lagi dari dodol, karena selain dapat lebih menjamin kebersihannya, umur simpan dodol pun dapat terbantu untuk menjadi lebih panjang.

Faktor yang kedua adalah perbedaan cara penyiapan talas segar yang digunakan. UKM Sawargi masih menggunakan talas yang diparut, sedangkan pada penelitian ini menggunakan talas yang diblender. Awalnya, penulis menduga bahwa perbedaan antara penggunaan parutan dengan blender terhadap bentuk hancuran talas segar tidak akan memberikan perbedaan umur simpan yang signifikan. Akan tetapi, ternyata dodol talas yang dibuat dari talas yang dihancurkan dengan blender memiliki umur simpan jauh lebih lama daripada talas yang diparut. Perbedaan ini diduga diakibatkan pengaruh tekanan dan kerusakan granula pati yang diakibatkan oleh proses pemblenderan lebih besar daripada yang diakibatkan oleh proses pemarutan. Saat granula pati mengalami kerusakan akibat proses mekanik, maka bagian yang bersifat amorphous akan meningkat, sehingga menghasilkan kemampuan larut di air dingin yang lebih besar, penurunan suhu gelatinisasi sebanyak 5-10ºC, dan peningkatan kerentanan terhadap reaksi enzimatik (Belitz dan Grosch, 1999). Selain itu, juga terbentuk fragmen-fragmen dari granula pati (Radley, 1976). Terbentuknya fragmen pati tersebut yang terutama menyebabkan perbedaan umur simpan.

Granula pati yang telah terfragmen akan memiliki luas permukaan yang lebih besar daripada granula pati yang belum terfragmen. Luas permukaan yang lebih besar ini menyebabkan pengikatan air pada matriks bahan pangan akan menjadi lebih banyak dan lebih kuat. Hal ini disebabkan ukuran granula pati yang semakin kecil mempermudah pengikatan air di permukaan granula pati dan menjadi tidak mudah terlepas. Hal ini menyebabkan air yang terdapat pada dodol talas yang dibuat dari hancuran talas segar yang diblender akan memiliki keterikatan air yang lebih kuat pada matriks bahan pangan daripada hancuran talas segar yang hanya diparut. Keterikatan air yang lebih kuat ini akan mempengaruhi aw dari produk akhir, yaitu aw dodol talas dari hancuran

talas yang diblender lebih kecil daripada aw dodol talas dari hancuran talas yang diparut. Nilai aw

yang lebih kecil pada dodol talas yang dibuat dari talas segar yang diblender akan membuat berbagai reaksi kimia dan biokimia, termasuk pertumbuhan kapang, akan menjadi lebih lambat. Sehingga, kecepatan kerusakan dodol talas yang dibuat dari talas segar yang diblender akan lebih lambat dibandingkan dengan talas segar yang diparut dan pada akhirnya umur simpannya pun akan menjadi lebih panjang.

4.5.1.1. Nilai aw Dodol Talas

Air merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap keawetan dari suatu produk pangan. Pada produk pangan semi basah seperti dodol, nilai aw sangatlah berperan besar

dan merupakan salah satu parameter yang paling penting dalam menentukan keawetannya. aw

merupakan besaran aktivitas air yang terukur dari banyaknya air yang tersedia dan dapat digunakan oleh mikroorganisme di bahan pangan. aw juga dapat didefinisikan sebagai rasio antara

tekanan uap dari air yang ada di dalam bahan pangan dengan tekanan uap dari air murni pada suhu yang sama. Berikut disajikan tabel yang berisikan aw dari berbagai produk pangan.

Dodol termasuk ke dalam jenis pangan semi basah, dan bila dilihat pada Tabel 8, yang termasuk pada pangan semi basah adalah selai dan marmalade. Kisaran aw tersebut (0.75-0.80)

hampir sama dengan kisaran aw dari dodol talas pada penelitian ini, baik itu yang dibuat dengan

(22)

21

Tabel 8. aw dari berbagai makanan (Doyle, 1991)

Jenis makanan aw Jenis makanan aw

Buah, sayur mentah, ikan, daging ≥ 0.98 Selai, marmalade 0.75-0.80

Daging masak, roti 0.95-0.98 Permen 0.65-0.75

Daging kuring, keju 0.91-0.95 Buah kering 0.60-0.65

Sosis, sirup 0.87-0.91 Bihun, rempah kering, susu bubuk 0.20-0.60 Beras, kacang-kacangan 0.80-0.87

Pada kisaran aw tersebut, secara teoritis maka pertumbuhan mikroorganisme terhambat, tetapi

beberapa reaksi masih dapat terjadi, seperti reaksi Maillard ataupun oksidasi. Reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan yang terjadi pada bahan pangan yang disebabkan oleh reaksi antara protein dengan karbohidrat, sedangkan oksidasi yang dimaksud disini adalah oksidasi yang menyebabkan ketengikan yang diakibatkan oleh terjadinya reaksi kimia yang melibatkan lemak tidak jenuh pada bahan pangan. Oksidasi tersebut dapat menyebabkan timbulnya off-odors dan

off-flavors pada bahan pangan yang mengalami penyimpanan (VanGarde dan Woodburn, 2005). Sehingga, untuk bahan pangan yang disimpan, maka pada suatu waktu tertentu akan menjadi tidak dapat diterima oleh konsumen secara organoleptik.

Berdasarkan hasil pengamatan, saat dodol talas mencapai aw 0.80, maka kapang pun akan

mulai tumbuh. Hal ini sesuai dengan teori bahwa batas minimal pertumbuhan kapang adalah pada aw 0.80. Untuk produk pangan semi basah, memang jenis mikroba yang paling umum merusak

adalah kapang. Hal ini dikarenakan, produk pangan semi basah umumnya memiliki karbohidrat yang cukup tinggi, yang merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh kapang untuk tumbuh.

Perubahan aw yang terjadi pada dodol talas selama penyimpanan relatif sangatlah kecil,

karena aw dodol talas hanya bergerak pada kisaran aw yang sangat sempit, yaitu antara 0.76-0.80.

Liniernya perubahan aw pada dodol talas yang disimpan juga ditunjukkan dari nilai r2 yang

didapatkan dari kedua kurva, dengan nilai r2 kurva dodol talas dari talas segar adalah 0.038 dan nilai r2 kurva dodol talas dari tepung talas adalah 0.325. Nilai r2 yang sangat kecil tersebut menunjukkan bahwa kedua kurva aw tersebut cenderung linier.

Adapun terjadinya fluktuasi nilai aw dari dodol talas, baik itu yang dibuat dari talas segar

maupun tepung talas, disebabkan karena dodol talas yang disimpan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan berusaha menyesuaikan diri untuk dapat mencapai kesetimbangan nilai aw. Akan tetapi, seiring dengan berlanjutnya penyimpanan, maka pada satu waktu mulai terjadi

pertumbuhan kapang dari bentuk spora hingga terbentuk koloni. Pertumbuhan kapang tersebut memicu terjadinya hidrolisis pada dodol talas, yang selanjutnya mengakibatkan kenaikan nilai aw

secara perlahan. Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan perubahan aw dodol talas dari talas

segar dan tepung talas. Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa pada hari ke-14, untuk dodol yang dibuat dari talas segar, dan hari ke-25, untuk dodol yang dibuat dari tepung talas, mulai terjadi peningkatan nilai aw secara perlahan hingga kemudian pada hari ke-21, untuk dodol yang

dibuat dari talas segar, dan hari ke-32, untuk dodol yang dibuat dari tepung talas, kedua dodol talas tersebut memiliki aw lebih dari 0.80 dan koloni kapang sudah mulai tampak.

Perbedaan yang mendasar antara dodol talas yang dibuat dari talas segar dengan tepung talas sehingga umur simpan keduanya pun berbeda adalah kemampuan untuk mempertahankan nilai aw untuk tetap berada di bawah 0.80 yang terlihat lebih baik pada dodol yang dibuat dari

tepung talas, sehingga bisa mencapai umur simpan 32 hari dibandingkan dengan dodol yang dibuat dari talas segar yang hanya berumur simpan 21 hari. Kemampuan untuk mempertahankan nilai aw

(23)

22

didinginkan. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi dengan cara membentuk ikatan silang dengan sesama pati, yang kemudian turut memerangkap air di dalam ikatan silang tersebut (Winarno, 2008).

Granula pati yang terdapat pada tepung talas lebih mengalami kerusakan secara mekanik daripada granula pati yang terdapat pada talas segar. Hal ini menyebabkan lebih banyak fragmen granula pati yang terbentuk pada tepung talas dibandingkan dengan talas segar. Fragmen yang lebih banyak tersebut membantu dalam pengikatan air di matriks dodol talas dalam jumlah yang lebih banyak, karena luas permukaannya juga mengalami peningkatan. Kemudian, saat terjadi retrogradasi pati, maka ikatan antar pati yang terbentuk pada dodol talas dari tepung talas akan lebih banyak, karena terdapat jumlah fragmen granula pati yang lebih banyak pula, sehingga air akan lebih terikat dengan kuat daripada dodol talas dari talas segar.

Gambar 11. aw dodol dari talas segar

Gambar 12. aw dodol dari tepung talas

4.5.1.2. Kekerasan Dodol Talas

Parameter kekerasan dari dodol talas ini diukur dengan menggunakan instrumen penetrometer. Seiring dengan lamanya suatu produk pangan disimpan, maka tentunya akan terjadi perubahan fisik yang bisa mempengaruhi tekstur, kekerasan, kekenyalan, ataupun parameter fisik lainnya pada suatu produk pangan. Perubahan fisik yang terjadi tersebut disebabkan oleh interaksi molekul ataupun senyawa di dalam bahan pangan ataupun antara bahan pangan dengan lingkungan sekitarnya.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

1 4 7 10 14 18 21

a

w

dodol dari talas segar

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

1 4 7 11 14 18 21 25 29 32

(24)

23

Berdasarkan Gambar 13 dan Gambar 14, bisa dilihat bahwa seiring dengan peningkatan lamanya waktu penyimpanan, maka nilai penetrometer juga menjadi semakin kecil, dan memasuki minggu terakhir dari umur simpannya, nilai penetrometer menjadi cenderung stabil. Nilai penetrometer yang semakin kecil menunjukkan bahwa tekstur dodol talas cenderung menjadi lebih keras. Pengerasan tekstur dodol ini selain disebabkan oleh terjadinya perpindahan antara uap air dari dodol talas dengan lingkungannya, juga disebabkan oleh terkuras keluarnya air yang terperangkap di dalam ikatan silang antar pati yang terbentuk saat proses retrogradasi. Ikatan silang antar pati tersebut seiiring dengan lamanya penyimpanan akan menjadi semakin erat dan memaksa air yang terperangkap menjadi keluar dari dalam ikatan silang tersebut. Kombinasi kedua fenomena tersebutlah yang menyebabkan tekstur dodol menjadi lebih keras dan liat seiiring lamanya penyimpanan.

Untuk nilai penetrometer awal, bila dibandingkan antara dodol yang dibuat dari tepung talas dengan dodol yang dibuat dari talas segar, lebih besar pada dodol yang dibuat dari talas segar. Hal tersebut berarti tekstur dodol dari talas segar pada awalnya lebih lunak daripada tekstur dodol dari tepung talas. Penyebabnya adalah struktur bahan baku yang digunakan dalam pembuatan dodol ini. Tepung akan memberikan tekstur sedikit lebih keras, yang terutama bisa dilihat pada saat pembuatan dodol talas dilakukan. Saat dilakukan penambahan tepung talas ke dalam campuran santan, mentega, dan garam yang sudah mendidih, maka akan langsung terbentuk adonan yang liat dan memadat, sedangkan saat dilakukan penambahan talas segar pada tahapan yang sama, adonan yang terbentuk tidak terlalu liat dan masih cukup lembek. Selain itu, ikatan silang antar pati pada dodol yang dibuat dari tepung talas lebih banyak daripada dodol talas yang dibuat dari talas segar, karena fragmen granula patinya jauh lebih banyak yang diakibatkan oleh kerusakan mekanik granula pati saat tahapan penggilingan untuk menghasilkan tepung talas.

Bila dibandingkan secara keseluruhan, nilai penetrometer antara dodol talas dari talas segar dengan dodol talas dari tepung talas tidaklah terlalu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dari dodol talas itu sendiri bukanlah dipengaruhi oleh banyaknya air yang terkandung di dalam dodol talas, melainkan oleh tingkat pembentukan ikatan antar pati yang terjadi selama proses pemasakan dodol dilakukan. Komposisi penyusun yang sama juga turut berperan terhadap miripnya tingkat kekerasan dodol talas dari talas segar dengan dodol talas dari tepung talas.

Gambar 13. Nilai penetrometer dodol dari talas segar 0,00

2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00

1 4 7 10 14 18 21

(25)

24

Gambar 14. Nilai penetrometer dodol dari tepung talas

4.5.1.3. Aspek Mikrobiologi Dodol Talas

Bila dilihat dari segi mikrobiologinya, maka dodol talas ini menjadi tidak dapat diterima lagi pada waktu yang berbeda. Pada dodol talas yang dibuat dari talas segar, kapang mulai tampak secara visual pada hari ke-21, sedangkan pada dodol talas yang dibuat dari tepung talas, kapang mulai tampak secara visual pada hari ke-32. Kapang yang tumbuh pada dodol talas tersebut secara visual memiliki ciri-ciri yang paling mencolok adalah berwarna putih.

Suhajati (1995) menemukan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya pada dodol garut yang disimpan hingga 3 bulan, terdapat lebih dari 30 jenis jamur yang tumbuh, dengan yang terbanyak adalah dari Aspergillus dengan 14 jenis, dan diikuti oleh Penicillium dengan 8 jenis. Berbagai jenis jamur lainnya yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada dodol yang berkapang adalah Cladosporium, Rhizopus, Trichoderma, Fusarium, Curvularia, Helicocephalum, Mucor,

Monilia, Circinella, Nigrospora, Paecilomyces, dan Staphylotrichum.

Bila dibandingkan dengan batas minimal aw untuk pertumbuhan kapang, maka kapang

Aspergillus, yang memiliki aw minimal 0.78 untuk tumbuh, diduga kuat menjadi kapang yang

tumbuh pada dodol talas ini. Walaupun secara identifikasi spesifik belum dilakukan, tapi karena jenis-jenis kapang lainnya memerlukan aw yang lebih besar dari 0.80 untuk tumbuh, maka dasar

untuk menduga bahwa Aspergillus merupakan kapang yang tumbuh pada dodol talas menjadi semakin kuat. Bila diasumsikan, tentunya spora kapang memerlukan waktu tumbuh sampai menjadi kapang yang tampak secara visual, sehingga aw minimal pertumbuhannya tentuya

haruslah di bawah aw saat kapang tersebut sudah terlihat secara visual. Untuk dapat mengidentifikasi secara spesifik jenis kapang yang tumbuh pada dodol, dapat digunakan metode agar Czapek untuk Aspergillus. Identifikasi terhadap jenis Aspergillus dapat dilakukan dengan menggunakan media agar Czapek, ataupun turunan dari agar Czapek, seperti agar Czapek ekstrak khamir dan agar ekstrak malt (Doyle et al., 1997).

Kapang yang tumbuh pada dodol talas ini dapat diakibatkan oleh adanya kontaminasi kapang, yang bisa terjadi saat proses produksi, pengemasan, ataupun saat penyimpanan. Beberapa sumber yang diduga dapat menyebabkan kontaminasi kapang pada produk pangan adalah bahan penyusun, peralatan produksi yang tidak higienis, kondisi lingkungan dari tempat produksi, kemasan, orang yang turut serta dalam proses produksi, dan adanya “titik mati” pada bangunan (Clanton, 2010). Selain itu, kondisi lingkungan penyimpanan turut mendukung pertumbuhan kapang.

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, penyimpanan dilakukan pada suhu 26-28oC dengan RH lingkungan sebesar ± 82%, yang merupakan suhu dan RH optimum dari pertumbuhan kapang. Indonesia sebagai negara tropis memang memiliki suhu yang sangat mendukung pertumbuhan

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00

(26)

25

berbagai mikroba perusak pada makanan, mulai dari bakteri, kapang, hingga khamir. Melakukan pengendalian suhu dan RH untuk memperpanjang umur simpan dari produk pangan memang dapat dilakukan, seperti dengan cara menggunakan Modified Atmospheric Packaging, Oxygen Scavenger, ataupun dodol talas disimpan di dalam ruangan yang menggunakan Air Conditioner. Akan tetapi, penerapan hal tersebut akan cukup menyulitkan, karena selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit, juga akan memberatkan konsumen dalam membelinya. Oleh karena itu, melakukan sedikit pengubahan formulasi merupakan jalan keluar yang lebih murah, tapi memiliki dampak yang hampir setara dengan ketiga cara di atas. Pengubahan formulasi dodol talas ini, yang awalnya menggunakan talas segar kemudian digantikan dengan menggunakan tepung talas, ternyata memberikan perpanjangan umur simpan selama paling tidak 10 hari lebih lama, dan ini sudah memberikan perpanjangan umur simpan yang cukup signifikan, walaupun hasil yang diharapkan sebenarnya lebih lama lagi.

4.5.1.4. Karakteristik Organoleptik Dodol Talas

Uji organoleptik juga dilakukan untuk membantu melihat perubahan yang terjadi pada beberapa parameter organoleptik dari dodol talas selama penyimpanan dilakukan dengan menggunakan 30 panelis yang tidak terlatih. Parameter yang diujikan ke panelis meliputi tingkat ketengikan dan tingkat kekerasan dari dodol talas tersebut untuk dapat dikonsumsi. Alasan pemilihan ketiga parameter tersebut adalah karena ketiga parameter tersebut dianggap paling mewakili untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap dodol yang sudah mengalami penyimpanan. Tingkat ketengikan dipilih karena diduga dodol akan mengalami hidrolisis lemak yang selanjutnya dapat memicu timbulnya asam lemak bebas yang akan menimbulkan bau tengik pada dodol yang sudah mengalami penyimpanan. Tingkat kekerasan dipilih karena diperkirakan dodol akan mengalami pengerasan pada bagian permukaannya yang disebabkan oleh adanya transfer air antara dodol talas dengan lingkungannya. Sehingga, dodol yang terlalu keras karena penyimpanannya terlalu lama, bisa saja sudah tidak dapat diterima lagi oleh panelis. Kelayakan dari dodol diujikan untuk melihat apakah panelis merasa dodol tersebut secara organoleptik masih layak untuk dikonsumsi ataupun beredar di masyarakat sebagai jajanan. Hal yang ditekankan disini adalah uji organoleptik ini bukanlah menjadi data utama dalam penelitian ini, tetapi sifatnya lebih kepada mencari tahu dan membandingkan dengan data analisis kimia, fisik, dan mikrobiologis. Semisal, bisa saja data analisis organoleptik menunjukkan dodol masih layak dikonsumsi, tapi karena sudah ditumbuhi kapang yang dapat terlihat secara visual, tentunya secara etika, dodol talas tersebut sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

4.5.1.4.1. Tingkat Ketengikan Dodol Talas

Untuk penilaian tingkat ketengikan, intensitas ketengikannya menggunakan 4 nilai, yaitu 1=tidak tengik, 2=agak tengik, 3=tengik, dan 4=sangat tengik. Berdasarkan Gambar 15 yang menunjukkan hasil organoleptik dari tingkat ketengikan dodol talas mulai dari minggu 0 penyimpanan hingga minggu II untuk dodol talas dari talas segar dan minggu IV untuk dodol talas dari tepung talas, terlihat bahwa ada kecenderungan peningkatan nilai tingkat ketengikan yang diberikan oleh para panelis seiring dengan meningkatnya hari penyimpanan dilakukan yang berarti tingkat ketengikan dari produk semakin meningkat. Akan tetapi, berdasarkan berbagai komentar dari panelis, peningkatan ini masih dalam batasan yang wajar dan belum terlalu mengganggu secara organoleptik. Hanya saja memang sudah terasa agak sedikit berbau tengik.

(27)

26

besar panelis sudah menyatakan bahwa dodol talas sudah agak tengik, yang berarti panelis telah merasakan ketengikan dari dodol. Sementara itu, untuk dodol talas dari talas segar, hingga minggu III hanya sebagian kecil panelis yang menyatakan dodol mulai agak tengik. Secara teori, memang produk dodol talas dapat mengalami peningkatan ketengikan yang diakibatkan oleh hidrolisis lemak yang selanjutnya akan menghasilkan berbagai asam lemak bebas volatil yang memiliki bau seperti bau tengik. Untuk sebagian konsumen dodol, peningkatan ketengikan dodol talas dapat membuat terjadinya penolakan konsumen untuk mau mengkonsumsi dodol talas. Akan tetapi, dari hasil uji organoleptik dodol talas ini walaupun sudah mulai muncul bau tengik, panelis memberikan komentar bahwa masih dapat menerima ketengikan tersebut.

Berdasarkan hasil analisis data dengan SPSS 16 dan menggunakan T-test pada tingkat kepercayaan 95%, didapatkan hasil bahwa baik itu pada minggu 0, I, dan II, tingkat ketengikan antara dodol talas yang dibuat dari talas segar dengan tepung talas tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Pernyataan tersebut diambil berdasarkan hasil T-test untuk setiap pasangan perbandingan, seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 1, yaitu nilai syg. > 0.05, yang berarti hasilnya tidak berbeda nyata. Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa walaupun secara kuantitatif terlihat tingkat ketengikan antara dodol talas yang dibuat dari tepung talas dengan talas segar pada minggu 0, minggu I, dan minggu II berbeda, tetapi setelah dianalisis secara statistik ternyata tidak berbeda nyata. Untuk tingkat ketengikan dodol talas dari tepung talas minggu III dan IV tidak dapat diuji karena tidak ada perbandingan pada minggu yang sama untuk dodol talas dari talas segar. Hal ini dikarenakan umur simpan dodol talas dari talas segar yang telah berakhir pada minggu III.

Gambar 15. Hasil uji organoleptik dengan parameter ketengikan dodol talas

4.5.1.4.2. Tingkat Kekerasan Dodol Talas

Untuk penilaian tingkat kekerasan, intensitas kekerasannya menggunakan 7 nilai, yaitu 1=sangat keras, 2=keras, 3=agak keras, 4=netral, 5=agak lunak, 6=lunak, dan 7=sangat lunak. Berdasarkan Gambar 16, hasil dari uji tekstur dodol talas secara organoleptik menunjukkan bahwa seiring peningkatan lamanya penyimpanan, panelis memberikan nilai kekerasan dodol talas, baik itu untuk dodol dari talas segar maupun dari tepung talas, yang semakin menurun. Hal ini berarti bahwa dodol talas memiliki tekstur yang semakin keras secara organoleptik seiring dengan semakin lama penyimpanan dilakukan. Akan tetapi, bila dibandingkan antara hasil organoleptik kekerasan dodol yang dibuat dari talas segar dengan dodol yang dibuat dari tepung talas, maka panelis menganggap bahwa tekstur dodol talas dari talas segar lebih lunak daripada tekstur dodol talas dari tepung talas.

0 1 2 3 4 Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Ketengikan dodol dari tepung talas

(28)

27

Gambar 16. Hasil uji organoleptik dengan parameter kekerasan dari dodol talas

Bila dilihat kembali pada Gambar 13 dan Gambar 14, nilai penetrometer dodol talas dari talas segar maupun tepung talas tidak terlalu berbeda dan berada pada kisaran angka yang hampir sama. Ini tentu saja berbeda dengan hasil uji organoleptik karena panelis menganggap bahwa dodol talas dari talas segar lebih lunak daripada dodol talas dari tepung talas. Perbedaan hasil kekerasan antara uji penetrometer dengan organoleptik, diduga terjadi karena pada uji penetrometer sudah memiliki standar besarnya tekanan dan waktu penetrasi probe ke sampel, sedangkan pada uji organoleptik sangat bergantung pada indra dari panelis.

Penggunaan indra manusia untuk memberikan nilai dan mengukur suatu parameter tertentu pada produk pangan merupakan keunikan dari uji organoleptik yang tidak dapat dicapai dengan alat-alat pengukur lainnya. Secara umum, uji organoleptik memiliki kelebihan bahwa hasil dari uji tersebut merepresentasikan penilaian calon konsumen yang akan mengkonsumsi suatu produk tertentu. Akan tetapi, kekurangannya adalah data yang dihasilkan bisa sangatlah bervariasi karena setiap individu manusia memiliki karakteristik yang berbeda, dan dapat dengan mudah terbiaskan oleh berbagai faktor, seperti kondisi lingkungan tempat pengujian, maupun kondisi fisiologis dan psikologis dari panelis (Waysima, 2009).

Walaupun memang hasil uji kekerasan dari uji penetrometer dengan uji organoleptik memberikan nilai yang sedikit berbeda, akan tetapi kecenderungan yang ditunjukkan oleh uji penetrometer dan uji organoleptik ini sama, yaitu bahwa seiring dengan semakin lamanya penyimpanan dilakukan maka dodol talas akan menjadi semakin keras. Paling tidak, adanya kecenderungan tersebut membuat data yang didapatkan dari kedua uji ini saling menguatkan.

Kemudian, berdasarkan data yang didapat dari panelis, setelah dilakukan analisis dengan menggunakan SPSS 16 T-test pada tingkat kepercayaan 95%, didapatkan hasil nilai syg. < 0.05 untuk setiap pasangan yang diujikan meliputi kekerasan dodol talas dari talas segar dan tepung talas pada minggu 0, minggu I, dan minggu II. Untuk nilai lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai syg. < 0.05 berarti bahwa pasangan yang diujikan berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa secara statistik, kekerasan dodol talas yang dibuat dari tepung talas maupun talas segar baik itu pada minggu 0, I, dan II, berbeda nyata pada taraf 5%, sehingga bila dilihat berdasarkan angkanya, maka dapat disimpulkan bahwa tekstur dodol talas dari tepung talas relatif lebih keras daripada tekstur dodol talas dari talas segar. Untuk kekerasan dodol talas dari tepung talas minggu III dan IV tidak dapat diuji karena tidak ada perbandingan pada minggu yang sama untuk dodol talas dari talas segar. Hal ini dikarenakan umur simpan dodol talas dari talas segar yang telah berakhir pada minggu III.

0 1 2 3 4 5 6 7 Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Kekerasan dodol dari tepung talas

(29)

28

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SIMPULAN

Berdasarkan hasil uji umur simpan dodol talas yang dibuat dari tepung talas dan talas segar dengan menggunakan parameter analisis kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik, maka didapatkan hasil bahwa umur simpan dodol talas yang dibuat dari tepung talas lebih panjang daripada dodol talas yang dibuat dari talas segar. Perbedaan lamanya umur simpan dari keduanya adalah sebesar 11 hari, yang mana dodol talas dari tepung talas dianggap berakhir umur simpannya pada hari ke-32 sedangkan dodol talas dari talas segar pada hari ke-21.

Berakhirnya umur simpan pada dodol talas ditandai dengan munculnya kapang yang dapat teramati secara visual. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa parameter kritis yang paling utama pada dodol talas dalam hal umur simpannya, tanpa mengesampingkan berbagai parameter lainnya, adalah parameter aw karena berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan kapang. Selain itu,

parameter aw pada umur simpan dodol talas ini dapat berperan sebagai penanda bahwa

pertumbuhan kapang di dodol talas telah terjadi, yaitu pada batas aw sebesar 0.80.

Beberapa perubahan parameter yang terjadi dalam penyimpanan dodol talas ini seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan adalah kecenderungan peningkatan aw, penurunan

nilai penetrometer, kenaikan tingkat ketengikan, dan kenaikan tingkat kekerasan produk. Semua perubahan parameter tersebut terutama menunjukkan bahwa terjadi penurunan mutu produk dodol talas selama penyimpanan dilakukan, hingga mutunya tidak dapat diterima sama sekali, yaitu setelah terlihat adanya kapang secara visual. Berdasarkan semua perubahan parameter tersebut, kecenderungan peningkatan aw merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi umur

simpan dodol talas ini.

Penambahan umur simpan dodol talas selama hampir dua minggu tersebut dengan hanya mengubah bentuk dari bahan baku, yang biasanya berupa talas segar menjadi tepung talas, cukup dapat memberikan pengetahuan baru dalam hal umur simpan produk pangan, yaitu berupa dapat dilakukannya perpanjangan umur simpan produk tanpa melakukan penambahan bahan pengawet. Adanya penambahan umur simpan ini disebabkan karena dengan menggunakan bahan baku berbentuk tepung, yang memiliki granula pati telah terpecah menjadi fragmen-fragmen granula pati yang disebabkan oleh kerusakan mekanik saat proses penggilingan, maka air yang terdapat di dalam produk akhir menjadi lebih banyak dalam bentuk terikat. Hal ini disebabkan granula pati yang berbentuk fragmen memiliki luas permukaan lebih besar daripada granula pati utuh, sehingga dapat mengikat air dalam jumlah yang lebih banyak dan ikatan silang antar pati yang terbentuk juga menjadi lebih kuat, yang terbukti dengan tekstur dodol talas dari tepung talas yang secara statistik lebih keras daripada dodol talas dari talas segar.

5.2. SARAN

Penelitian lebih lanjut mengenai tepung talas sebagai bahan baku dodol talas dapat dilakukan pada berbagai segi, mulai dari optimasi proses pembuatan tepung talas sehingga bisa didapatkan rendemen yang lebih besar ataupun aw ya

Gambar

Tabel 1. Ciri-ciri beberapa varietas talas di Bogor (Wahyudi, 2010)
Gambar 2. Klasifikasi berbagai bentuk umbi talas (Minantyorini dan Hanarida, 2002)
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung talas
Gambar 7. Diagram alir pembuatan dodol talas dengan talas basis 1 kg
+7

Referensi

Dokumen terkait