• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gejala deurbanisasi Jakarta dan lahirnya megapolitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gejala deurbanisasi Jakarta dan lahirnya megapolitan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

HESTI AYU HAPSARI H14070046

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

(dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO).

Meningkatnya pembangunan di DKI Jakarta tidak menyebabkan meningkatnya pertumbuhan migrasi masuk Jakarta. Tingkat pertumbuhan migrasi masuk Jakarta berkurang setiap tahun, bahkan jumlah migrasi masuk Jakarta menurun sangat tajam pada tahun 2005. Disisi lain, tingkat pertumbuhan migrasi masuk di wilayah Bodetabek terus bertambah. Migrasi yang masuk menuju Bodetabek didominasi oleh migran asal Jakarta. Hal ini mengindikasikan terjadinya gejala deurbanisasi Jakarta, yaitu menurunnya migrasi ke pusat kota dan meningkatnya migrasi menuju wilayah pinggiran kota.

Proses deurbanisasi ini dipengaruhi oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bodetabek, biaya hidup yang lebih murah di Bodetabek, dan harga lahan di Jakarta yang melambung tinggi. Namun, proses trickle down effect yang seharusnya terjadi akibat deurbanisasi belum terlihat dengan jelas dalam pembangunan Bodetabek terutama pada pembangunan wilayah tingkat kabupaten. Hal ini dikarenakan pembangunan di Bodetabek belum merata ke seluruh wilayah.

(3)

Oleh

HESTI AYU HAPSARI H14070046

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(4)

Menyetujui, Dosen Pembimbing

D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 19610501 198601 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003

(5)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2011

(6)

Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ir. M. Husni, MM dan Istiati Rahayu. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 di SD-K Permata Bunda Depok. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SLTPN 3 Depok. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 1 Depok dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Matematika Aktuaria. Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung dengan Gentra Kaheman sebagai anggota, HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai sekretaris dan ketua pada Divisi Kewirausahaan dan organisasi IMEPI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti MAGIC 2008, Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2009, Espresso (2008), Hipotex-R 2009, Latihan Kepemimpinan dan Organisasi (LKO) IMEPI Jabagbar 2010, Economic Work (E-work) 2010, dan kegiatan kepanitiaan lainnya.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Gejala Deurbanisasi Jakarta dan Lahirnya Megapolitan”. Mobilitas penduduk merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:

1. Dominicus Savio Priyarsono, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Dr. Yeti Lis Purnamadewi sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Ranti Wiliasih M,Si sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.

4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

(8)

telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan baik moril maupun material serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Sahabat-sahabatku Anisa Milki, Artanti Y, dan Teh Wulan, atas sharing,

motivasi, dukungan, dan doanya untuk penulis selama ini.

7. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Putri Nilam Kencana, Fatmawati, dan Ni Luh Putu Aria Permanasari atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.

8. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Ajeng Endartrianti, Michelia Widya Agri, Risa Pragari, Retno Khairunisa, Reni Tilova, Kristina Sari, Lisa P, Nancy I, Retni C, Andi Inggryd, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman IE 44: Fatmawati, Hilman K, Malo B, Ranty P, dan lainnya yang sudah membantu dalam pencarian data.

10.Hipotesa dan DISTRO 2009-2010, atas kebersamaannya yang luar biasa. 11.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2011

(9)

DAFTAR GAMBAR ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Perumusan Masalah ...5

1.3. Tujuan ...6

1.4. Manfaat Penulisan ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA ...8

2.1. Mobilitas Penduduk ...8

2.2. Faktor-Faktor Penentu Mobilitas Penduduk ...8

2.3. Faktor-Faktor Pendorong Mobilitas Penduduk ...9

2.4. Teori Urbanisasi ...10

2.4.1 Deurbanisasi ...12

2.4.2. Megapolitan ...13

2.5. Kerangka Pemikiran ...15

III. METODE PENELITIAN ...20

3.1. Jenis dan Sumber Data ...20

3.2. Metode Analisis Data ...20

IV. GAMBARAN UMUM ...21

4.1. Wilayah Goegrafis dan Administratif ...21

4.2 Kabupaten Bogor ...22

4.3. Kabupaten Bekasi ...23

4.4. Kota Bogor ...23

4.5. Kota Bekasi ...24

4.6. Kota Tangerang ...24

4.7. Kabupaten Tangerang...24

(10)

5.1. Gejala Deurbanisasi ...26

5.2 Dampak Gejala Deurbanisasi ... 32

5.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Bodetabek ...32

5.1.2. Pertumbuhan Sektor Sekunder dan Tersier ... 33

5.2.3. Karakteristik Migrasi Jakarta Menuju Bodetabek ...38

5.2.4 Pertumbuhan Lapangan Kerja Di Bodetabek ...44

5.3 Konsep Megapolitan Jabodetabek ...46

5.3.1 Pembangunan Sektor di Bodetabek ...48

5.3.2 Tingkat Migrasi Non-Permanen... 49

5.3.3 Pembangunan Infrastruktur ... 51

5.3.4 Perkembangan Pembangunan Megapolitan di Bodetabek ... 53

5.3.4.1 Pergeseran Fungsi Lahan ... 54

5.3.4.2 Karakteristik Migran ... 56

5.3.4.3 Tingkat Kemiskinan ... 59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...62

6.1. Kesimpulan ...62

6.2. Saran ...63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi ... 3

1.1 Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi ... 4

2.1. Kerangka Pemikiran ...19

4.1. Peta Wilayah JABODETABEK ...21

5.1. Laju Pertumbuhan Migrasi Jakarta ...27

5.2. Laju Pertumbuhan Migrasi Provinsi Jawa Barat ...28

5.3. Laju Nilai Jual Objek Pajak Bumi ...29

5.4. Laju Kemiskinan DKI Jakarta ...30

5.5. Laju Tingkat Upah Minimum Jabodetabek ...31

5.6. PDRB Bodetabek ...33

5.7. PDRB DKI Jakarta ...34

5.8. PDRB Bodetabek per Sektor ...35

5.9. Usia Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...39

5.10 Pendidikan Tertinggi Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...42

5.11. Status Kerja Migran Berdasarkan Sektor Ekonomi di Bodetabek ...43

5.12. Status Kerja Masyarakat Bodetabek ...45

5.12 Jumlah Penumpang Kereta Api ...49

5.13. Jumlah Kendaraan Masuk Tol Jakarta ...50

5.14 Persentase Komuter di Bodetabek ...50

5.15 Jumlah Sekolah di Bodetabek ...52

5.16 Jumlah Puskesmas di Bodetabek ...52

5.17 Jumlah Rumah Sakit di Bodetabek ...52

5.18 Jumlah Dokter di Bodetabek ...53

5.19 Penggunaan Lahan Bodetabek ...55

5.20 Distribusi Migran Jakarta-Bodetabek ...57

5.21 Alasan Pindah Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...58

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi ...70

2. Migrasi DKI Jakarta ...71

3. Migrasi Provinsi Jawa Barat ...71

4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi ...72

5. Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta ...72

6. Usia Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...72

7. Pendidikan Tertinggi Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...72

8. Status Kerja Migran Berdasarkan Sektor Ekonomi di Bodetabek ... 73 9. Persentase Status Kerja Masyarakat Jabodetabek ...73

10.Jumlah Penumpang Kereta Api ...74

11.Jumlah Kendaraan Masuk Tol Jakarta ...75

12.Persentase Komuter di Bodetabek ...75

13.Jumlah Puskesmas di Bodetabek ...76

14.Jumlah Rumah Sakit di Bodetabek ...76

15.Jumlah Dokter di Bodetabek ...76

16.Persentase Distribusi Migran Jakarta-Bodetabek ...77

17.Jumlah Masyarakat Miskin di Jabodetabek...77

18.PDRB Jabodetabek ...78

19.Persentase Penggunaan Lahan Bodetabek ...87

20.Alasan Migrasi Masuk Bodetabek ...89

(14)

Masalah mobilitas penduduk sering kali menjadi permasalahan utama bagi pembangunan suatu wilayah. Antara mobilitas penduduk dan pembangunan wilayah terdapat hubungan timbal balik yang saling terkait satu sama lain. Pembangunan suatu wilayah dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan mobilisasi. Namun, pembangunan juga tidak akan terjadi tanpa adanya mobilitas penduduk yang tinggi menuju wilayah tersebut.

Mobilitas penduduk dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti alasan sosial, ekonomi, agama, atau lainnya. Berdasarkan alasan ekonomi, alasan utama terjadinya mobilitas penduduk lebih dikarenakan setiap masyarakat ingin mencapai tingkat kepuasan maksimumnya. Tingkat kepuasan tersebut dapat diukur melalui berbagai hal, antara lain, status pekerjaan yang baik, tempat tinggal yang nyaman, serta tingkat upah yang memadai, guna tercapainya tingkat kesejahteraan yang cukup bagi kehidupannya.

(15)

keluar dari wilayahnya adalah sempitnya lapangan pekerjaan, tingkat upah rendah, kondisi sosial yang rendah, tingginya angka pengangguran, dan lain-lain. Sementara faktor penarik biasanya terjadi pada daerah-daerah tujuan dengan tingkat pembangunan yang pesat di dalamnya. Faktor-faktor penarik bagi masyarakat menuju daerah tersebut adalah telihatnya kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik yang tercermin melalui pesatnya pembangunan industri, infrastruktur, serta berbagai layanan publik yang memadai.

Mobilitas penduduk yang seringkali terjadi dalam negara berkembang adalah migrasi desa-kota atau urbanisasi. Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2010, jumlah penduduk telah meningkat sebesar 32,48persen. Namun, peningkatan jumlah penduduk ini belum tersebar secara merata ke seluruh daerah di Indonesia. Penyebaran penduduk masih berpusat di Pulau Jawa dan Sumatera. Ketimpangan distribusi penduduk ini masih disebabkan oleh timpangnya pembangunan-pembangunan perkotaan di wilayah-wilayah di Indonesia.

(16)

0.00

1971 1980 1990 1995 2000 2010*)

Aceh Sumber : Badan Pusat Statistik, 1971-2010 (diolah)

(17)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

1971 1980 1990 2000 2005

Migrasi Masuk Migrasi Keluar Migrasi Neto

Sumber : Badan Pusat Statistik, 1971-2010 (diolah)

Grafik 1.2 Jumlah Migrasi DKI Jakarta (Ratus Ribu Orang)

Ledakan arus urbanisasi ini juga berdampak pada tingginya permintaan akan lahan. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sebagian lahan Jakarta digunakan sebagai lokasi industrialisasi, pembangunan area perkantoran, dan area pemerintahan. Namun, sebagai pusat urbanisasi, Jakarta juga digunakan sebagai pusat pemukiman. Dengan permintaan lahan yang terus meningkat, sementara luas lahan wilayah Jakarta semakin sempit, menyebabkan harga lahan di Jakarta yang semakin tinggi.

(18)

Apabila dilihat dari trend migrasi perprovinsi, Jawa Barat dan Banten justru menjadi tujuan utama masyarakat untuk melakukan migrasi. Sementara itu, walaupun hingga tahun 2000 jumlah migrasi menuju Jakarta terus meningkat, namun pada tahun 2005, arus migrasi menuju Jakarta terus mengalami penurunan. Di wilayah Jawa Barat dan Banten, apabila dilihat perwilayah, arus migrasi masih terkonsentrasi di wilayah Bodetabek. Pada tahun 2000, jumlah migrasi masih sebesar 37persen dari total migrasi Jawa Barat dan Banten, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi sebesar 49persen.

1.2 Perumusan Masalah

Penurunan jumlah arus migrasi menuju Jakarta dan meningkatnya arus migrasi keluar dari Jakarta mengindikasikan akan tingginya tingkat persaingan hidup di Jakarta. Ledakan migrasi yang menyebabkan tingginya permintaan akan kebutuhan hidup, baik lapangan pekerjaan, lahan pemukiman, infrastruktur serta layanan publik lainnya, dan keterbatasan kemampuan Jakarta dalam memenuhinya, membuat harga-harga kebutuhan hidup di Jakarta kian meningkat. Akibatnya, jumlah lokasi-lokasi pemukiman kumuh terus bertambah, yang disertai dengan meningkatnya angka kemiskinan di Jakarta.

(19)

munculnya sektor-sektor informal baru. Sehingga, Bodetabek juga dapat diharapkan untuk menjadi pusat pasar baru setelah Jakarta.

Kedua sisi ini dapat menimbulkan dua kemungkinan yang terjadi. Yang pertama adalah terjadinya deurbanisasi, yaitu menurunnya migrasi dari Jakarta dan meningkatnya migrasi menuju Bodetabek yang kemudian diharapkan dapat terjadi trickle down effect terhadap pembangunan Bodetabek. Yang kedua adalah terbentuknya kota megapolitan di Jabodetabek, yaitu perpindahan masyarakat dari Jakarta menuju Bodetabek lebih diakibatkan karena tingginya biaya hidup di Jakarta sehingga mereka lebih memilih untuk tinggal di Bodetabek, namun Jakarta tetap menjadi tujuan utama untuk mencari pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gejala deurbanisasi yang terjadi di Jabodetabek ?

2. Bagaimana pembangunan di setiap wilayah Bodetabek dalam membentuk Kota Megapolitan Jabodetabek?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang muncul, penilitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis gejala deurbanisasi yang terjadi di Jabodetabek

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Kalangan akademisi untuk dapat mengembangkan berbagai penelitian mengenai konsep ekonomi regional.

(21)

Mobilitas penduduk merupakan perpindahan penduduk dari suatu wilayah menuju wilayah lain melewati batas administratif wilayah tersebut. Mobilitas penduduk terbagi menjadi dua, yaitu permanen dan non permanen. Mobilitas penduduk yang permanen disebut juga dengan migrasi penduduk. Mobilitas non permanen terbagi lagi menjadi dua, yaitu sirkulasi dan komutasi. Sirkulasi terjadi apabila seseorang berpindah ke suatu wilayah dan kembali lagi ke wilayah asalnya secara rutin dengan jangka waktu lebih dari satu malam di wilayah tujuan. Sementara komutasi terjadi apabila seseorang secara rutin berpindah ke wilayah lain kemudian kembali lagi ke wilayah asal hanya dalam satu hari.

Migrasi merupakan perpindahan dari suatu wilayah menuju wilayah lainnya dengan tingkat administratif yang berbeda dalam kurun waktu minimal 6 bulan. Banyak faktor yang mendorong terjadinya migrasi dalam suatu wilayah. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari wilayah asal yang merupakan faktor pendorong atau berasal dari wilayah tujuan sebagai faktor penarik.

2.2. Faktor-Faktor Penentu Mobilitas Penduduk

(22)

tempat tinggal yang lebih menarik dari pada di desa, dan faktor-faktor lainnya. (Saepudin, 2007)

Menurut Suryani dalam Achmad (2003), dalam penelitiannya menggunakan data SUPAS 1995, ditemukan dua faktor alasan utama migrasi ke Botabek, pertama adalah alasan perumahan dan keluarga bagi yang migran asal Jakarta, dan kedua, alasan pekerjaan bagi migran asal luar Jakarta.

Pembangunan selama masa orde baru yang bisa ke perkotaan dan bias Jawa menjadi sebab utama perbedaan karakteristik kota Jakarta dengan kota-kota lain dan Jakarta menjadi daya tarik sendiri bagi tujuan migrasi dan penduduk berbagai wilayah Indonesia.

2.3. Faktor-Faktor Pendorong Mobilitas Penduduk

Konsep utama dalam migrasi adalah keinginan setiap masyarakat untuk mendapatkan hidup yang lebih baik pada daerah tujuan atau pencapaian kesejahteraan maksimum. Tingkat pencapaian ini tidak hanya didasarkan pada pekerjaan yang didapatkan, namun juga faktor-faktor lain seperti kenyamanan tempat tinggal, pendidikan yang lebih baik, kesehatan, dan faktor lainnya.

(23)

2.4. Teori Urbanisasi

Salah satu jenis perpindahan penduduk yang terjadi cukup tinggi di negara berkembang adalah urbanisasi. Urbanisasi merupakan perpindahan masyarakat desa menuju ke kota dalam jangka waktu lebih dari enam bulan. Menurut Alatas (1988), tingkat urbanisasi adalah proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah urban terhadap jumlah penduduk keseluruhan pada suatu waktu tertentu, dan urbanisasi adalah kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah urban dalam suatu periode tertentu.

Menurut Wiradi dalam Achmad (2003), urbanisisasi biasanya diberi pengertian sebagai suatu gejala yang mencakup sekaligus beberapa proses berbeda tetapi saling berkaitan, yaitu : (a) meningkatkan rasio kepadatan penduduk desa sebagai akibat gerak penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran; (b) perluasan/pengembangan kota sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk; (c) merembes dan menyebarnya pengaruh pola perilaku kehidupan kota ke wilayah sekitarnya, bahkan keseluruh masyarakat; dan (d) semakin kaburnya batas-batas ciri budaya antara rural dan urban sebagai akibat dari perembesan pola perilaku tersebut.

(24)

Dalam Rustiadi et al. (1999), mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara proses suburbanisasi dengan meningkatnya pencampuran penggunaan lahan di kawasan suburban yang sedang berkembang. Suburbanisasi adalah proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan akibat perpindahan penduduk kota.

Kemudian, Rustiadi juga membahas terdapat tiga proses suburbanisasi di wilayah Bekasi : (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Tahap pra-suburbanisasi di wilayah Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya tingkat produktivitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya. Sementara itu kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi utama. Wilayah Bekasi di wilayah Jawa Barat masih di sekeliling kota Jakarta merupakan sumber asal migran yang utama. Rendahnya produktifitas lahan pertanian mendorong masyarakat desa di sekeliling kota Jakarta, untuk bermigrasi ke kota khususnya kota Jakarta.

(25)

Pada suburbanisasi tahap kedua, luasan lahan sawah semakin menurun, seiring dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan real-estate dan industri. Pola migrasi di Jakarta berubah. Jumlah migrasi di Jakarta menurun. Hal ini terutama diakibatkan oleh pesatnya proses subrubanisasi, akibat migrasi penduduk yang mencari perumahan di wilayah suburban. (Achmad, 2003).

2.4.1. Deurbanisasi

Terdapat empat tahapan dalam proses urbanisasi, yaitu :

1. Urbanisasi (Tingginya perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan menuju wilayah perkotaan)

2. Suburbanisasi (Adanya ekspansi masyarakat kota terhadap wilayah satelit, atau wilayah sekeliling pusat kota)

3. Deurbanisasi (Menurunya jumlah populasi di wilayah pusat kota) 4. Re-urbanisasi (Kembalinya karakter perkotaan di wilayah

perkotaan)

(26)

dengan meningkatnya harga lahan di pusat kota. Dinamika ini menimbulkan dua gejala baru, yaitu tumbuhnya daerah-daerah kumuh di pusat kota dan semakin berkembangnya daerah pinggiran kota (Susanto dan Nugroho, 1997).

Terdapat empat hal yang melatarbelakangi terjadinya deurbanisasi, yaitu : 1. Pergeseran sektor industri, dimana perusahaan lebih memilih

wilayah yang memiliki biaya lebih murah

2. Adanya pembangunan transportasi serta meningkatnya kepemilikan kendaraan, yang menyebabkan mudahnya masyarakat untuk melakukan mobilisasi

3. Semakin majunya teknologi seperti internet dan alat komunikasi lainnya, sehingga masyarakat dapat bekerja di rumah

4. Adanya pendapat bahwa kehidupan di wilayah pinggiran kota lebih aman daripada di pusat kota. Jumlah kriminalitas yang lebih tinggi berada pada pusat kota

5. Kualitas hidup yang lebih baik terdapat pada wilayah di luar pusat kota.

2.4.2. Megapolitan

(27)

1. Wilayah tersebut menggabungkan dua atau lebih daerah metropolitan atau mikropolitan dengan total penduduk melebihi 8-10 juta jiwa.

2. Wilayah yang digabungkan dalam metroploitan dan mikropolitan bersebelahan satu dengan yang lain.

3. Memiliki kesatuan budaya

4. Wilayah tersebut berada di lingkungan alam dan fisik yang kurang lebih sama 5. Wilayah tersebut memiliki infrastruktur transportasi yang menghubungkan

daerah-daerah tersebut, ditandai dengan lalu lintas barang-barang ekonomi dan jasa.

Tingginya pembangunan di pusat kota menyebabkan terjadinya proses restrukturisasi internal, baik secara sosial ekonomi maupun fisik. Salah satu hal yang paling terlihat dalam proses ini adalah terjadinya pergeseran fungsi kota inti dari pusat manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa dan keuangan. Sementara manufaktur bergeser ke arah pinggiran kota. Secara fisik, proses ini ditandai dengan terjadinya alih fungsi lahan antara pusat kota dan pinggiran kota. Kawasan pusat kota mengalami pergeseran lahan dari kawasan pemukiman menjadi kawasan bisnis, perkantoran, perhotelan, dan sebagainya. Sementara, kawasan pinggiran kota terjadi pergeeran fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan pemukiman dan kawasan industri.

(28)

Akibatnya, waktu tempuh antarlokasi semakin pendek dan kegiatan perkotaan dapat dengan mudah masuk ke wilayah pedesaan dengan intensitas hubungan serta pergerakan penduduk yang semakin tinggi.

Faktor-faktor pendorong terjadinya megapolitan adalah perkembangan investasi di bidang manufaktur yang berorientasi ekspor. Kebijakan untuk menarik investasi asing yang berupa deregulasi di bidang investasi, keuangan dan perdagangan internasional, serta debirokatisasi adalah proses yang mempercepat terjadinya mega-urban.

Sementara itu, perkembangan kawasan pinggiran kota umumnya tumbuh akibat pembangunan pemukiman yang tinggi. Area ini merupakan area alternatif untuk beraktivitas dan bermukim bagi warga kota yang jenuh akibat kehidupan di pusat kota yang terlalu padat atau kurangnya kemampuan untuk membeli lahan di pusat kota akibat harga lahan yang terlalu tinggi.

2.5. Kerangka Pemikiran

(29)

membutuhkan lahan yang luas bergeser ke kawasan Bodetabek. Hampir seluruh pusat industri dan pemukiman di Jakarta beralih menuju Bodetabek. Akibatnya, fungsi wilayah Jakarta bergeser menjadi pusat jasa, sementara Bodetabek beralih fungsi dari pertanian menuju sektor industri dan pemukiman.

Pembangunan kedua sektor ini merupakan titik tolak pembangunan Bodetabek dan daya tarik baru bagi para migran di Indonesia. Saat pertumbuhan migrasi masuk menuju Jakarta kian melambat, dan menurun secara nyata pada tahun 2005, jumlah migrasi masuk menuju Jawa Barat dan Banten terus meningkat. Migrasi masuk yang menuju Jawa Barat dan Banten sebagian besar berpusat pada wilayah Bodetabek. Namun, apabila dilihat dari asal migran yang masuk ke Bodetabek, sebagian besar migran justru berasal dari Jakarta.

Tingkat mobilitas penduduk tergantung pada pembangunan suatu kawasan. Semakin tinggi pembangunan dalam suatu kawasan, maka mobilitas penduduk menuju kawasan tersebut akan semakin tinggi. Namun, hal yang sebaliknya justru terjadi. Jakarta sebagai titik pertumbuhan memiliki pembangunan ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan wilayah Bodetabek. Namun, tingkat migrasi dari Jakarta menuju Bodetabek terus meningkat. Hal ini menunjukkan terjadinya gejala deurbanisasi, yaitu menurunnya jumlah migrasi menuju pusat kota dan meningkatnya jumlah migrasi menuju wilayah pinggiran kota.

(30)

tumbuhnya kawasan perkantoran baru di Bodetabek, sehingga pembangunan ekonomi Bodetabek tidak hanya bergantung pada sektor sekunder, tetapi juga bergantung pada sektor tersier. Apabila hal ini terjadi, maka dampak penetesan ke bawah dalam perencanaan pembangunan Jakarta sebagai kutub pertumbuhan dapat dikatakan berhasil. Sehingga, Bodetabek dapat menjadi pasar baru selain Jakarta.

Untuk meningkatkan pembangunan tersebut, karakteristik setiap individu migrasi menuju Bodetabek sangat mempengaruhi. Tingkat usia, jenis pekerjaan yang dimiliki, serta tingkat pendidikan sangat menentukan pembangunan ekonomi di kawasan Bodetabek. Semakin banyak migran denga tingkat pendidikan yang tinggi, usia yang produktif dan bekerja di Bodetabek, maka pertumbuhan pembangunan ekonomi di Bodetabek akan semakin cepat.

Selain itu, pembangunan ekonomi tidak hanya bertumpu pada pembangunan persektor, namun juga harus diiringi dengan penyediaan fasilitas sebagai penunjang pembangunan sektor. Pembangunan layanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, dan sekolah diperlukan sebagai penunjang kebutuhan hidup para migrasi. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan transportasi juga diperlukan sebagai sarana mobilisasi masyarakat di Jakarta dan Bodetabek.

(31)

menjadi pasar utama bagi kegiatan ekonomi, sementara Bodetabek lebih berperan sebagai penyedia fasilitas pembangunan yang tidak lagi tertampung di Jakarta, yaitu industri dan pemukiman.

(32)

Keterangan :

I Indiksi

Dampak Pembentuk

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Menurunnya

Tingkat Migrasi Jakarta

Meningkatnya Migrasi Jakarta menuju

Bodetabek

Gejala Deurbanisasi

Konsep Megapolitan JABODETABEK

Meningkatnya Infrastruktur dan

Transportasi Jumlah Komuter

Tingginya Pembangunan

Industri dan Pemukiman Pembangunan Sektor Sekunder dan Tersier di

Bodetabek

Karakteristik Migrasi

(33)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data yang digunakan adalah data Survei Antar Sensus (SUPAS) 2005, Produk Regional Domestik Bruto JABODETABEK, data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk lahan dan perumahan, tingkat upah minimum kabupaten dan kota, serta data pendukung lainnya. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

3.2. Metode Analisis

(34)

Sumber: Google Maps

Gambar 4.1. Peta Wilayah JABODETABEK

(35)

Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Bodetabek

KAB/KOT Jumlah

Penduduk

Luas Wilayah

(Km2)

Kepadatan Penduduk

Kab. Bogor 4.453.927 2.237 1.991,027

Kab. Bekasi 2.121.122 1.065 1.991,664

Kota Bogor 895.596 109 8.216,477

Kota Bekasi 2.176.743 210 1.0365,44

Kota Depok 1.465.826 212 6.914,274

Kab. Tangerang 3.676.684 1.160 3.169,555

Kota Tangerang 1.554.827 187 8.314,583

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

4.2 Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor terletak pada 6°19’-6°47’ lintang selatan dan 106°21’

-10°13’ bujur timur. Batas-batas wilayah Kabupaten ini adalah :

 Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi

 Sebelah timur : Kabupaten Karawang

 Sebelah selatan : Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi

 Sebelah Barat : Kabupaten Lebak.

(36)

Jalur ini belum memiliki nama resmi, sedangkan nama yang secara umum digunakan masyarakat adalah Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi.

4.3. Kabupaten Bekasi

Secara geografis, Kabupaten Bekasi terletak pada 106°48’28’’ -

107°21’29’’ Bujur Timur dan 6°10’6’’ - 6°30’6’’ Lintang Selatan. Batas-batas wilayah ini adalah :

 Sebelah utara : Laut Jawa

 Sebelah timur : Kabupaten Karawang

 Sebelah selatan : Kabupaten Bogor

 Sebelah barat : Kota Bekasi, DKI Jakarta, Laut Jawa

Sebagian besar, perekonomian Kabupaten Bekasi ditopang oleh sektor pertanian, perdagangan dan perindustrian. Banyak industri manufaktur yang terdapat di Bekasi, diantaranya kawasan industri Jababeka, Greenland International Industrial Center (GIIC), Kota Deltamas, EJIP, Delta Silicon, MM2100, BIIE dan sebagainya. Kawasan-kawasan industri tersebut kini digabung menjadi sebuah Zona Ekonomi Internasional (ZONI) yang memiliki fasilitas khusus di bidang perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal.

4.4. Kota Bogor

(37)

4.5. Kota Bekasi

Kota Bekasi dimekarkan dari KAbupaten Bekasi sejak tahun 1996. Secara geografis, batas-batas wilayah Kota Bekasi adalah:

 Sebelah barat: Jakarta

 Sebelah selatan : Kabupaten Bogor

 Sebelah barat daya : Kota Depok

Saat ini penggunaan lahan Kota Bekasi sebagian besar digunakan sebagai kawasan pemukiman, perdagangan, serta industri.

4.6. Kota Tangerang

Pada tingkat administratif, Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan. Batas-batas wilayah goegrafis Kota Tangerang adalah

 Sebelah barat : Kabupaten Tangerang

 Sebelah timur : Jakarta

 Sebelah selatan : Kabupaten Tangerang

4.7. Kabupaten Tangerang

Secara geografis, Kabupaten Tangerang batas-batas wilayah Kabupaten Tangerang adalah

 Sebelah timur : Jakarta, Kota Tangerang

 Sebelah utara : Laut Jawa

 Sebelah barat : Kabupaten Serang

(38)

Tangerang merupakan wilayah perkembangan Jakarta. Secara umum, Kabupaten Tangerang dapat dikelompokkan menjadi 3 wilayah pertumbuhan, yakni:

 Pusat Pertumbuhan Balaraja dan Tigaraksa, berada di bagian barat, difokuskan sebagai daerah sentra industri, permukiman, dan pusat pemerintahan.

 Pusat Pertumbuhan Teluk Naga, berada di wilayah pesisir, mengedepankan industri pariwisata alam dan bahari, industri maritim, perikanan, pertambakan, dan pelabuhan.

(39)

1. Gejala deurbanisasi yang terdapat dalam lingkup Jabodetabek diindikasikan dengan berkurangnya jumlah migran yang masuk menuju Jakarta serta meningkatnya jumlah migrasi masuk menuju wilayah Bodetabek. Hal ini dikarenakan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Bodetabek, harga lahan yang lebih murah, biaya hidup yang lebih murah, dan tingginya tingkat kemiskinan di Jakarta. Namun, dalam pembangunan wilayah, konsep deurbanisasi yang diharapkan, yaitu terjadinya trickle down effect bagi wilayah penyangga belum jelas terlihat, terutama di

wilayah kabupaten. Pembangunan wilayah di Bodetabek adalah pembangunan yang ditujukan untuk menopang perekonomian Jakarta. Sehingga, pusat perekonomian masih berada pada wilayah Jakarta. Hal ini diindikasikan dengan sektor yang memiliki peranan penting dalam pembantukan PDRB adalah industri dan perdagangan serta banyaknya jumlah kawasan industri, namun masyarakat migran sebagian besar bekerja pada sektor tersier dan lainnya.

(40)

Untuk wilayah Depok, Kota Bekasi, Kota Tanggerang, dan Kota Bogor, setelah alasan mengikuti keluarga, alasan tertinggi selanjutnya adalah alasan perumahan.

3. Pembangunan konsep megapolitan belum merata ke seluruh wilayah Bodetabek. Dampak pembangunan megapolitan lebih dirasakan pada wilayah dengan tingkat administratif kota. Sedangkan untuk kabupaten, ketimpangan pembangunan masih terlihat. Hal ini ditunjukkan oleh distribusi migrasi terpusat pada wilayah kota, alih fungsi lahan cenderung lebih tinggi pada wilayah kota, karakteristik migrasi, dimana untuk wilayah kota adalah masyarakat menengah ke atas dan untuk wilayah kabupaten adalah masyarakat menengah kebawah, tingkat kemiskinan yang tinggi di wilayah kabupaten serta pekerja informal lebih tinggi pada wilayah kabupaten

4. Secara keseluruhan, pembangunan wilayah Bodetabek mengarah pada pembangunan yang bersifat menopang bagi pembangunan wilayah Jakarta. Sehingga, pembangunan lebih ditujukan pada penyediaan lahan pembangunan industri dan pemukiman, sementara lapangan kerja di Bodetabek masih terbilang rendah. Hal ini terlihat pada tingginya sektor informal di Bodetabek.

6.2 Saran

(41)

2. Peningkatan produktivitas sektor-sektor informal yang diperkirakan dapat berkembang dengan baik untuk menumbuhkan perekonomian lokal. Pengadaan kegiatan-kegiatan pelatihan serta peningkatan jaringan antar sektor informal tersebut.

(42)

Dalam tahap awal pembangunan perkotaan, migrasi penduduk yang banyak terjadi di dunia adalah urbanisasi. Berdasarkan penelitian terdahulu, penduduk urban di dunia telah meningkat, dari 730 juta orang pada tahun 1950 menjadi 1590 juta orang pada tahun 1975 dan diperkirakan menjadi 3132 juta orang pada tahun 2000. Proses urbanisasi terjadi lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang. Karena, dalam negara berkembang, sebagian besar penduduk masih tinggal di desa. Sehingga, kemungkinan pada negara-negara berkembang, penduduk urban berkembang lebih cepat (Alatas, 1988).

Tahap awal pembangunan di Indonesia adalah penerapan pembangunan dengan sistem titik kutub. Pembangunan titik kutub adalah pembangunan yang terpusat pada wilayah-wilayah tertentu dengan harapan akan terjadi proses trickle down efect pada wilayah lainnya. Namun, pembangunan titik kutub ini justru

menyebabkan ketimpangan yang tinggi antar daerah, Hal ini terbukti melalui terpusatnya tingkat migrasi hanya pada kota-kota besar.

(43)

meningkat. Hal ini menyebabkan Jakarta harus menjadi wilayah yang pemukiman bagi para migran yang menuju Jakarta.

Namun, gejala deurbanisasi pada Jakarta mulai terlihat sejak tahun 1990, dimana laju pertumbuhan migrasi keluar lebih tinggi dibadingkan dengan laju migrasi masuk menuju Jakarta, serta laju migrasi masuk menuju wilayah Jakarta yang selalu menurun setiap tahun dan menurun dengan pesat pada tahun 2005. Berdasarkan data sensus, jumlah migrasi masuk Jakarta terus meningkat setiap tahunnya. Namun, pembangunan Jakarta yang terus meningkat setiap tahunnya tidak menyebabkan pertumbuhan migrasi masuk Jakarta meningkat. Pertumbuhan migrasi masuk Jakarta terus menurun sejak tahun 1980. Bahkan jumlah migrasi masuk Jakarta menurun pada tahun 2005. Apabila dibandingkan dengan jumlah migrasi keluar Jakarta, tingkat pertumbuhan migrasi keluar selalu lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan migrasi masuk, walaupun tingkat pertumbuhan keduanya menurun.

Sumber : SUPAS, 2005 (diolah)

Gambar 5.1. Laju Pertumbuhan Migrasi DKI Jakarta (persen)

Tingkat pertumbuhan migrasi Jakarta berbanding terbalik dengan tingkat migrasi di Jawa Barat dan Banten. Walaupun pada tahun 2005 tingkat migrasi

-100 0 100 200 300

1980 1990 2000 2005

(44)

Jawa Barat dan Banten relatif menurun, namun Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi tujuan utama migran di Indonesia. Apabila dilihat perwilayah, tingkat migrasi di Jawa Barat dan Banten terpusat pada wilayah Bodetabek. Dari total migrasi yang masuk ke wilayah Jawa Barat dan Banten pada tahun 2000, 39persen migrasi masuk terpusat pada wilayah Bodetabek. Jumlah ini meningkat menjadi 49persen pada tahun 2005. Dari total migran menuju wilayah Bodetabek pada tahun 2005, sebesar 42persen berasal dari Ibu Kota Jakarta. Hal ini bertentangan dengan hukum migrasi, yaitu semakin tinggi pembangunan dalam suatu wilayah, maka akan semakin tinggi tingkat migrasi menuju wilayah tersebut.

Sumber : SUPAS, 2005 (diolah)

Gambar 5.2. Laju Pertumbuhan Migrasi Provinsi Jawa Barat (persen)

Terjadinya migrasi dari pusat kota Jakarta menuju wilayah pinggirannya, Bodetabek, dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, pembangunan Jakarta yang terus meningkat menyebabkan permintaan akan lahan di Jakarta semakin tinggi. Akibatnya, banyak pembangunan yang tidak tertampung di Jakarta bergeser ke wilayah-wilayah pinggiran Jakarta. Pada tahap awal, pembangunan yang bergeser adalah industri manufaktur dan pemukiman. Hal ini dikarenakan industri manufaktur memerlukan lahan yang luas namun murah untuk mengurangi -300

-200 -100 0 100 200

1980 1990 2000 2005

(45)

0 biaya produksinya. Demikian juga dengan pemukiman. Harga lahan yang lebih murah di Bodetabek memungkinkan penduduknya untuk memiliki tempat tinggal yang lebih nyaman.

Sumber : Dirjen Pajak KEMENKEU, 2005 (diolah)

Gambar 5.3. Nilai Jual Objek Pajak Bumi (Ribu Rupiah)

(46)

0 100 200 300 400 500

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Penduduk Miskin

Kedua, tingginya angka migrasi masuk menuju Jakarta menyebabkan menurunnya kemampuan Jakarta dalam menyediakan fasilitas pembangunan yang memadai bagi seluruh migran yang masuk. Kecepatan pembangunan di Jakarta masih lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan migrasi masuk. Hal ini diperparah dengan adanya migran menuju Jakarta yang tanpa dibekali dengan kemampuan. Ketidakmampuan Jakarta dalam menyediakan fasilitas serta adanya migran dengan kemampuan rendah akibatnya menambah jumlah kemiskinan di Jakarta.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2009 (diolah)

Gambar 5.4. Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta (Ribu Orang)

(47)

0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Kab.Bogor

dirasakan bagi wilayah Bodetabek adalah munculnya area perkumuhan baru di wilayah-wilayah ini.

Ketiga, biaya hidup di Bodetabek yang lebih murah dibandingkan dengan Jakarta. Tingkat biaya hidup yang lebih murah akan menyebabkan masyarakat dengan kemampua minimum akan memilih tempat tinggal dengan biaya hidup yang lebih murah agar mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

Biaya hidup dalam penelitian ini menggunakan tingkat upah minimum, dimana tingkat upah minimum menggambarkan biaya hidup minimum yang dikeluarkan dalam sebulan. Tingkat upah minimum didasarkan pada tingkat kebutuhan fisik minimum.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-2010 (diolah)

Gambar 5.5 Laju Tingkat Upah Minimum Jabodetabek (Rupiah)

(48)

Hal ini dikarenakan semakin tingginya jumlah masyarakat yang bermukim di wilayah Depok, akibatnya tingkat konsumsi di wilayah Depok menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta.

5.2 Dampak Gejala Deurbanisasi

Gejala deurbanisasi yang terjadi pada Jakarta diharapkan dapat membangun wilayah di pinggiran Jakarta menjadi wilayah yang berkembang seiring dengan pembangunan Jakarta yang pesat. Tingginya pembagunan ekonomi di wilayah Bodetabek menggambarkan terjadinya trickle down effect yang diharapkan pada awal pembangunan di Indonesia. Ciri-ciri yang menandakan terjadinya trickle down effect di Bodetabek adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang digambarkan melalui PDRB Bodetabek, tumbuhnya sektor sekunder dan sektor tersier, karakteristik migrasi yang berkualitas, serta tingginya lapangan kerja baru bagi masyarakat di Bodetabek.

5.2.1 Pertumbuhan Ekonomi

(49)

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kab Bogor Kab Bekasi Kota Bogor Kota Bekasi

Depok Kab Tangerang Kota Tangerang

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-2008 (diolah)

Gambar 5.6. PDRB Bodetabek (Trilyun Rupiah)

Berdasarkan Gambar 5.6 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 hingga tahun 2008 di Bodetabek terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan meningkatnya pembangunan ekonomi yang berdampak pada meluasnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di Bodetabek.

5.2.2 Pertumbuhan Sektor Sekunder dan Tersier

(50)

50.00 100.00 150.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian Pertambagan & Penggalian

Industri Pengolahan Listrik. Gas & Air Bersih

Konstruksi Perdagangan. Hotel. & Restoran

Pengangkutan & Komunikasi Keuangan. Real Estate. & Jasa Perusahaan

Jasa-Jasa

wilayah, maka peranan sektor tersier dalam struktur ekonomi akan semakin besar. Peranan sektor tersier yang lebih diutamaka dalam pembangunan suatu wilayah adalah berkembangnya sektor jasa keuangan.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-208 (diolah)

Gambar 5.7. PDRB DKI Jakarta (Trilyun Rupiah)

Sejak tahun 2001 hingga tahun 2008, sektor tersier dalam perekonomian Jakarta merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukkan PDRB Provinsi Jakarta. Hal ini menunjukkan, pembangunan ekonomi di Jakarta terkonsentrasi pada pembangunan perkantoran, hotel, perdagangan, dan keuangan.

(51)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Bogor

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Bekasi

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kabupaten Bogor

Pertanian Pertambagan & Penggalian

Industri Pengolahan Listrik. Gas & Air Bersih

Konstruksi Perdagangan. Hotel. & Restoran

Pengangkutan & Komunikasi Keuangan. Real Estate. & Jasa Perusahaan

Jasa-Jasa

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Depok

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

(52)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Tanggerang

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kabupaten Bekasi

Sumber : BPS Jawa Barat 2001-2008

Gambar 5.8.PDRB Bodetabek per Sektor (Trilyun Rupiah) Berdasarkan PDRB Bodetabek dari tahun 2001 hingga tahun 2008, sektor industri tetap menjadi pembentuk PDRB tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya di Bodetabek. Pembangunan industri di Bodetabek semakin pesat sejak dibentuknya kawasan industri di beberapa wilayah di Bodetabek. Wilayah industri terbesar di Bodetabek adalah kawasan industri Jababeka seluas 1570 Ha di wilayah Kabupaten Bekasi.

Tabel 5.1. Daftar Kawasan Industri

Company Name / PT / IE Size (Ha) Location Bekasi Fajar Industrial Estate 200 Bekasi

East Jakarta Industrial Park 320 Bekasi

Gobel Dharma Nusantara 54 Bekasi

Hyundai Inti Development 200 Bekasi

Jababeka Tbk. 1.570,00 Bekasi

Kawasan Industri Terpadu Indonesia

China 200 Bekasi

Lippo Cikarang Tbk. 1.000,00 Bekasi

Megalopolis Manunggal Ind. Dev. 1.000,00 Bekasi

Patria Manunggal Jaya 220 Bekasi

Puradelta Lestari 1.000,00 Bekasi

(53)

Alindatamasakti Brother Corp. 400 Bekasi

Amcol Propertindo Inv. 230 Bekasi

Bekasi Matra Real Estate 500 Bekasi

Cikarang Hijau Indah 230 Bekasi

Gerbang Teknologi Cikarang 300 Bekasi

Great Jakarta Inti Development 12,5 Bekasi

Indocargomas Persada 230 Bekasi

Jatiwangi Utama 220 Bekasi

Kawasan Darma Industri 18 Bekasi

Kreasi Intan 300 Bekasi

Sarana Panca Utama 250 Bekasi

YKK Indonesia Ziper Co. Ltd. 0 Bekasi

Bumi Serpong Damai 200 Tangerang

Bumi Citra Permai 400 Tangerang

Mitratangerang Bhumimas 250 Tangerang

Sanggraha Daksamitra 102 Tangerang

Adhibalaraja 300 Tangerang

Benua Permai Lestari 130 Tangerang

Cidurian Sarananiaga Permai 105 Tangerang

Cipta Cakra Murdaya 300 Tangerang

Grahapermai Raharja 76 Tangerang

Mitra Indotextil 150 Tangerang

Pentabinangun Sejahtera 150 Tangerang

Purati Kencana Alam 70 Tangerang

Putera Daya Perkasa 73,64 Tangerang

Sinar Serpong Subur 150 Tangerang

Surya Karya Luhur & Elang Mas 250 Tangerang Tejopratama Mandiri Gemilang 170 Tangerang

1. Bogorindo Cemerlang 100 Bogor

2. Cibinong Center Industrial Estate 140 Bogor

7. Aspex Paper 20 Bogor

8. Cileungsi Perdana Industrial Estate 300 Bogor

9. Menara Permai 60 Bogor

Sumber : http://www.hki-industrialestate.com/

(54)

sesuai dengan tingginya kontribusi industri dalam pembentukan PDRB di kedua wilayah tersebut.

Selain industri, sektor tersier di beberapa wilayah di Bodetabek sudah memiliki kontribusi yang tinggi walaupun masih berada di bawah sektor industri. Hal ini menunjukkan pada wilayah tersebut, pembangunan ekonomi semakin tinggi. Pertumbuhan sektor industri di Bodetabek lebih berkembang pada wilayah dengan tingkat administratif kota. Sehingga, dapat disimpulkan dampak pembangunan di Jakarta lebih berpengruh besar pada wilayah tingkat administratif kota. Namun, pembangunan sektor tersier di Bodetabek lebih tinggi berada pada sektor perdagangan, bukan pada sektor jasa keuangan. Pertumbuhan sektor jasa keuangan di Bodetabek belum berkembang dengan pesat. Wilayah Bodetabek dengan sektor jasa keuangan yang cukup tinggi hanya terdapat pada wilayah Kota Bogor.

5.2.3 Karakteristik Migrasi Jakarta Menuju Bodetabek

Karakteristik migrasi dalam penelitian ini hanya diklasifikasikan ke dalam tingkat usia, pendidikan, dan pekerjaan, karena karakteristik migrasi tersebut yang dapat mempengaruhi pembangunan suatu wilayah.

a. Tingkat usia

(55)

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 Kab.Bogor

Kab.Bekasi Kot. Bogor Kot. Bekasi Depok Kab.Tangerang Kot.Tangerang

>35 21-35 0-20 puluh tahun kebawah, biasanya migrasi terjadi dikarenakan mengikuti orang tua yang migrasi atau alasan pendidikan. Sementara masyarakat dengan umur diatas 35 tahun, sebagian besar telah mencapai kemapanan dalam hidupnya, sehingga cenderung untuk menetap di satu tempat tanpa berpindah-pindah lagi. Sekalipun masyarakat dengan usia di atas 35 tahun melakukan mobilisasi penduduk, maka hal tersebut lebih dikarenakan alasan tempat tinggal, bukan karena alasan mencari pekerjaan. Sehingga, umur dibawah 21 tahun dan diatas 35 tahun cnderung lebih sedikit dalam melakukan migrasi.

Sumber : SUPAS,2005 (diolah)

Gambar 5.9. Usia Migran Risen Jakarta-Bodetabek (Ribu Orang) Berdasarkan Gambar 5.4 terlihat bahwa jumlah migran yang paling besar terdapat pada usia antara 21 hingga 35 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang telah dipaparkan diatas, dimana pada usia tersebut, mobilisasi cenderung tinggi, karena setiap orang ingin mengejar kemapanan maksimum yang dapat dicapai.

(56)

dengan hasil penelitian Speare et al (1975) seperti dikutip oleh Alatas,(1985), bahwa pada umur-umur tersebut orang biasnaya suadah tamat sekolah, mencari pekerjaan, mendapat pekerjaan, mulai mandiri, ganti pekerjaan, memperoleh anak, yang dapat menyebabkan orang untuk melakukan migrasi. Selanjutnya Enhenberg mempertegas bahwa migrasi banyak dilakukan oleh usia muda sesuai dengan teori human capital karena hal ini dapat memperoleh manfaat yang lebih panjang dari investasi dan besarnya nilai sekarang atas manfaat migrasinya. (Saepudin, 2007). Apabila di telusuri lebih jauh, alasan pindah pada setiap tingkatan umur adalah :

 Umur nol tahun hingga dua puluh tahun, di setiap wilayah, sebagian besar dikarenakan mengikuti orang tua atau keluarga. Ini dikarenakan keputusan seseorang dengan status anak cenderung mengikuti orang tua.

 Umur 21 hingga 35 sebagian besar dikarenakan mengikuti keluarga, baik orang tua, istri, ataupun suami. Kemudian, alasan utama lainnya, untuk Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang, dikarenakan alasan pindah pekerjaan. Sedangkan untuk Kota Tangerang, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Depok, alasan utama lainnya adalah perumahan.

(57)

35 tidak lagi dikarenakan alasan pekerjaan. Karena, pada umur lebih dari 35 tahun, rata-rata masyakarakat sudah mencapai tingkat kemapanan, dimana pekerjaan yang dimiliki sudah cukup baik.

b. Tingkat pendidikan

(58)

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0

SD

SMP

SMA

PT

TIDAK TAHU

Sumber : SUPAS,2005 (diolah)

Gambar 5.10 Pendidikan Tertinggi Migran Risen Jakarta-Bodetabek (Ribu Orang) Berdasarkan Gambar 5.6 terlihat bahwa hampir seluruh migran di Bodetabek sebagian besar berpendidikan SMU. Hal ini dapat dikarenakan, Bodetabek merupakan wilayah yang banyak menampung industri yang lebih membutuhkan masyarakat berpendidikan minimal SMU. Untuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, jenjang pendidikan terbanyak setelah SMU justru berpendidikan SD dan SMP. Hal ini menunjukkan bahwa, para migran yang migrasi menuju Kabupaten Bogor sebagian besar akan berkerja pada sektor informal, dimana masyarakat berpendidikan SD dan SMP mampu untuk bekerja.

(59)

0.00 20.00 40.00 60.00

Kab Bogor Kab Bekasi Kota Bogor Kota Bekasi Depok Kab Tangerang banyak universitas, sehingga banyak masyarakat migran yang datang ke Kota Bogor dengan tujuan pendidikan.

c. Status Pekerjaan

Salah satu faktor penarik migran pindah menuju suatu wilayah adalah tersedianya lapangan kerja yang memadai di wilayah tersebut. Tingginya lapangan pekerjaan menandakan tingginya kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. Bodetabek merupakan wilayah dengan kontribusi sektor industri tertinggi. Sehingga, diperkirakan tujuan utama migran menuju wilayah Bodetabek adalah bekerja di sektor industri tersebut.

Dalam penelitian ini, pekerjaan persektor terbagi menjadi empat, yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder (industri, konstruksi, dan air dan listrik), sektor tersier (perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa), dan sektor lainnya, yang merupakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam sektor-sektor tersebut dan termasuk sektor informal.

Sumber : SUPAS,2005 (diolah)

(60)

Berdasarkan Gambar 5.8, terlihat bahwa hampir diseluruh wilayah di Bodetabek, status kerja migran terbesar berada pada sektor lainnya, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam sektor-sektor ekonomi. Hal ini tidak sejalan dengan perkembangan industri yang pesat di Bodetabek. Pembangunan industri di Bodetabek yang diperkirakan merupakan tujuan utama perpindahan migran, ternyata tidak berlaku bagi migran Jakarta menuju Bodetabek. Hal ini menggambarkan bahwa pembangunan industri di Bodetabek belum dapat menjadi daya tarik bagi migran asal Jakarta.

Untuk wilayah Kota Bogor, pekerjaan migran Jakarta lebih besar berada pada sektor tersier. Hal ini sesuai dengan kontribusi sektor tersier, yaitu perdagangan yang memiliki pengaruh lebih besar dalam perekonomian Kota Bogor.

5.2.4 Pertumbuhan Lapangan Kerja Di Bodetabek

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Jumlah lapangan pekerjaan merupakan daya tarik terbesar bagi masyarakat untuk melakukan suatu mobilisasi. Semakin tinggi lapangan pekerjaan dalam suatu wilayah, maka akan semakin tinggi tingkat harapan hidup bagi masyarakat.

(61)

0 50 100

formal, maka ketersediaan lapangan pekerjaan di wilayah tersebut tinggi. Namun sebaliknya, jumlah pengangguran dan pekerja di sektor informal menggambarkan rendahnya jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Sumber : BPS, 2002-2009 (diolah)

(62)

Berdasarkan Gambar 5.12 terlihat bahwa jumlah pekerja sektor formal dan pekerja di sektor informal berada pada jumlah yang hampir sama. Bahkan, untuk wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Tangerang terlihat bahwa jumlah pekerja di sektor informal lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pekerja di sektor formal. Walaupun tingkat pengangguran di wilayah Bodetabek cenderung mengalami penurunan, namun pertumbuhan jumlah pekerja di sektor informal di setiap tahunnya tidak berkurang, melainkan terus meningkat sejak tahun 2003. Hal ini menggambarkan pembangunan di Bodetabek kurang berdampak pada peningkatan jumlah lapangan kerja.

5.3 Konsep Megapolitan JABODETABEK

(63)

Berdasarkan penelitian Jones dan Mamas pada tahun 1996 dalam jurnal The Changing Employment Structure of The Extended Jakarta Metropolitan

Region, wilayah Bodetabek terbagi kedalam wilayah didalam lingkaran dan

wilayah yang berada di luar lingkaran. Wilayah yang berada di dalam lingkaran merupakan wilayah yang terdekat dengan pusat kota Jakarta hingga jarak tertentu. Sedangkan wilayah di luar lingkaran adalah wilayah Bodetabek yang terjauh dari pusat kota Jakarta. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa wilayah-wilayah yang berada di dalam lingkaran adalah wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, pertumbuhan populasi yang tinggi, serta struktur tenaga kerja yang berubah secara cepat. Hal ini dikarenakan wilayah-wilayah yang berada di dalam lingkaran merupakan wilayah yang memiliki dampak paling signifikan akibat pergeseran fungsi ekonomi di Jakarta. Wilayah-wilayah ini memiliki kawasan industri, perdagangan, mobilitas dan pelayanan publik yang mengikuti arah perkembangan Jakarta. Migrasi Jakarta menuju Bodetabek terpusat dalam wilayah ini, dengan tingkat pemukiman yang memadai dan tersedianya infrastruktur transportasi yang memadai. Sehingga, sebagian besar migrasi Jakarta menuju Bodetabek merupakan komuter, mobilitas penduduk dari tempat tinggal menuju wilayah di luar batas administratif, yang dilakukan setiap hari. Tingginya jumah migrasi komutasi ini dikarenakan rata-rata migrasi Jakarta menuju Bodetabek masih bekerja di Jakarta namun memiliki tempat tinggal di Bodetabek.

(64)

dalam lingkaran. Wilayah yang berada di luar lingkaran tidak terlalu terpengaruh dengan pesatnya pembangunan di pusat kota. Hal ini dikarenakan wilayah-wilayah tersebut kurang baik sebagai pengalokasian industri manufaktur dan jasa perdagangan akibat letaknya yang jauh dari pusat kota. Selain itu, sebagai wilayah pemukiman, wilayah-wilayah tersebut juga tergolong jauh untuk masyarakat yang melakukan mobilitas komutasi. Migran yang masuk ke wilayah ini sebagian besar berasal dari luar Jakarta yang ingin mencari pekerjaan di kota. Dalam penelitian ini, pembentukkan megapolitan akan di analisis pada setiap wilayah dengan batasan administratif per wilayah.

5.3.1 Pembangunan Sektor di Bodetabek

Berdasarkan uraian mengenai pembangunan Bodetabek yang telah dibahas, seluruh wilayah Bodetabek memiliki tingkat pembangunan yang hampir seragam. Pembentukan PDRB di setiap wilayah didominasi oleh sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Bodetabek memang dipersiapkan untuk membentuk Megapolitan Jabodetabek. Wilayah Bodetabek dikonsetrasikan pada pembentukan kota penyangga bagi perekonomian Jakarta. Bodetabek menjadi wilayah penampung bagi kawasan industri dan pemukiman. Sehingga arah pembangunan Bodetabek lebih mengutamakan pada pembangunan yang menunjang peningkatan kawasan industri dan pemukiman tersebut.

(65)

0 50 100 150 200

199519961997199819992000200120022003200420052006200720082009

total jabotabek

restoran. Sebagai kawasan pemukiman, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan Bodetabek.

5.3.2 Tingkat Migrasi Non-Permanen

Muculnya Megapolitan dikarenakan pembangunan wilayah suatu perkotaan telah melewati batas administratifnya. Sehingga, konsep Megapolitan Jabodetabek menitikberatkan pada hilangnya batasan administratif akibat majunya sarana transportasi dan komunikasi. Kemajuan sarana komunikasi dan transportasi mendukung terjadinya tingkat mobilitas yang tinggi bagi masyarakat di setiap wilayah tersebut. Tingginya mobilitas inilah yang menyebabkan kaburnya batasan administratif antar wilayah, sehingga wilayanh-wilayah tersebut terlihat menjadi satu kota besar, yaitu kota megapolitan. Sarana infrastruktur yang disediakan pemerintah dalam mempermudah mobilitas antar wilayah adalah sarana transportasi masal yaitu kereta api dan jalan tol.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 1995-2009 (diolah)

(66)

0 10 20 30

Jumlah Komuter Bodetabek 0

200 400 600 800

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Kendaraan

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 5.13. Jumlah Kendaraan Masuk Tol Jakarta (Juta Mobil)

Sumber : SUPAS, 2005

Gambar 5.14 Persentase Komuter di Bodetabek (persen)

Ketiga Gambar tersebut menggambarkan tingkat komutasi di Bodetabek. Gambar 5.12 dan 5.13 memperlihatkan laju komutasi. Pada Gambar 5.12 adalah jumlah penumpang kereta api baik secara total maupun tingkat Jabodetabek sejak tahun 1995 hingga tahun 2009. Walaupun terjadi fluktuatif, namun secara umum jumlah pengguna kereta mengalami peningkatan. Jumlah pengguna kereta api Bodetabek selalu mendekati jumlah total pengguna kereta api. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar pengguna kereta api adalah komuter di Jabodetabek.

(67)

walaupun mengalami fluktuatif, namun jumlah kendaraan masuk tol secara umum mengalami peningkatan. Hal ini juga menandakan akan tingginya tingkat komutasi di Jabodetabek.

Gambar 5.14 menggambarkan persentase masyarakat komuter di Bodetabek berdasarkan data SUPAS tahun 2005. Tingkat komuter tertinggi berada pada wilayah Kota Depok dan Kota Bekasi. Namun, apabila dibandingkan dengan total penduduk, maka tingkat komutasi di setiap wilayah tidak terlalu tinggi. Persentase masyarakat yang melakukan komutasi tertinggi di Kota Depok hanya sebesar 23,9persen dari total seluruh penduduk di Kota Depok.

5.3.3 Pembangunan Infrastruktur

Salah satu hal yang terpenting dalam pembangunan Megapolitan adalah pembangunan infrastruktur, baik secara fisik maupun sosial. Selain sebagai penampung pembangunan industri dari pusat kota, perekonomian Bodetabek juga ditopang oleh banyaknya pembangunan pemukiman-pemukiman baru. Sehingga, sebagai kawasan pemukiman, pembangunan Bodetabek harus diiringi dengan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang baik akan memudahkan penduduk dalam melakukan aktivitas ekonomi. Bagi masyarakat, peningkatan infrastruktur akan berdampak pada meningkatnya efisiensi dalam produktivitas, meningkatnya kualitas hidup akibat sarana-dan prasarana yang memadai, serta memudahkan masyarakat dalam melakukan mobilitas penduduk.

(68)

0 200

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

KAB BOGOR

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

KAB BOGOR

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

KABUPATEN BOGOR dan layanan publik lainnya yang dapat menunjang kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.

Sumber : Badan Pusat Statistik 2001-2009

Gambar 5.15 Jumlah Sekolah di Bodetabek

Sumber : Badan Pusat Statistik 2001-2009

Gambar 5.16 Jumlah Puskesmas di Bodetabek

Sumber : Badan Pusat Statistik 2001-2009

(69)

0 200 400 600

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

KAB BOGOR

KAB BEKASI

KOT BOGOR

KOT BEKASI

DEPOK

KAB TANGGERANG

KOT TANGGERANG

Sumber : Badan Pusat Statistik 2001-2009

Gambar 5.18 Jumlah Dokter di Bodetabek

Gambar 5.15, Gambar 5.16, Gambar 5.17, dan Gambar 5.18 menggambarkan pembangunan pelayanan publik bagi masyarakat di Bodetabek. Pada Gambar 5.15 penyediaan jumlah sekolah terbanyak berada pada Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang. Setiap tahun, jumlah sekolah di Bodetabek selalu meningkat, namun pada tahun 2008 hanya Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang memiliki jumlah sekolah yang terus meningkat.

Gambar 5.16 dan Gambar 5.17 menggambarkan mengenai pembangunan saran kesehatan. Walaupun jumlah puskesmas tidah bertambah setiap tahunnya, bahkan menurun pada tahun 2009, namun pembangunan rumah sakit di Bodetabek cenderung meningkat. Jumlah rumah sakit terbanyak di Bodetabek berada pada Kabupaten Bogor. Sedangkan Gambar 5.13 menggambarkan jumlah dokter umum di Bodetabek pada setiap rumah sakit dan puskesmas. Walaupun sangat fluktuatif, namun jumlah dokter di Bodetabek cenderung meningkat. 5.3.4 Perkembangan Pembangunan Megapolitan di Bodetabek

(70)

sudah berkembang selama dua dekade. Sejak awal pembangunan, Bodetabek terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang, dan satu kota madya yaitu Kota madya Bogor. Hingga kini, perkembangan pembangunan di Bodetabek telah memunculkan wilayah administratif baru, yaitu Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Tangerang dan tiga wilayah dengan tingkat administratif yang lama, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang.

Selain perubahan tingkat administratif, pembangunan wilayah Boetabek selama dua puluh tahun terakhir diharapkan mengalami perkembangan yang pesat. Tingginya suatu pembangunan dapat terlihat dari pergeseran fungsi lahan yang diakibatkan dari pembangunan itu sendiri. Sementara keberhasilan pembangunan wilayah Bodetabek terlihat melalui karakterisktik migrasi yang masuk serta menurunnya jumlah kemiskinan di wilayah tersebut.

5.3.4.1 Pergeseran Fungsi Lahan

(71)

0% 50% 100%

Sumber : Badan Pusat Statistik 2000-2008

(72)

Berdasarkan Gambar 5.19 terlihat bahwa penggunaan lahan untuk pemukiman dan jasa di wilayah kota lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kabupaten.Ini menunjukkan bahwa fungsi ekonomi di kabupaten masih didominasi oleh sektor pertanian, walaupun kontribusinya terhadap pembentukkan PDRB semakin menurun. Sementara di wilayah kota pembangunan pemukiman dan jasa semakin meningkat dengan penggunaan lahan yang terus meningkat. Bahkan untuk Kota Bogor, hampir seluruh lahan yang ada digunakan untuk pembangunan pemukiman dan sektor jasa. Hal ini sejalan dengan tingkat PDRB Kota Bogor, dimana sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki kontribusi PDRB lebih tinggi dibandingkan dengan industri. Sedangkan wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, berdasarkan data yang tersedia, pemanfaatan lahan di kedua wilayah tersebut masih sama, bahkan, peningkatan luas wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang menyebabkan penambahan jumlah lahan pertanian dibandingkan dengan sektor industri, jasa, dan pemukiman.

5.3.4.2 Karakteristik Migran

(73)

9%

9% 2%

30% 24%

10% 16%

Kab.Bogor

Kab.Bekasi

Kot. Bogor

Kot. Bekasi

Depok

Kab.Tanggerang

Kot.Tanggerang

Sumber : SUPAS, 2005

Gambar 5.20 Persentase Distribusi Migran Jakarta-Bodetabek

(74)

0.0

(75)

0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

KAB BOGOR

yang dapat terjadi akibat migrasi masyarakat tersebut adalah terbentuknya area perkumuhan baru di wilayah-wilayah sekitar Bodetabek.

5.3.4.3 Tingkat Kemiskinan

Faktor lain yang memperlihatkan tingkat kesiapan pembangunan kawasan Megapolitan Jabodetabek adalah tingkat kemiskinan di wilayah Boetabek. Semakin tinggi jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah, maka pembangunan yang terjadi di dalam suatu wilayah tersebut belum dapat dikatakan merata keseluruh masyarakat. Tingginya kemiskinan di wilayah Bodetabek dapat dikarenakan dua hal, yaitu pertumbuhan wilayah Bodetabek yang terlalu pesat sehingga banyak masyarakat yang belum mampu mengikuti arus pertumbuhan kota atau ketidakmerataan pembangunan di wilayah tersebut.

Sumber : Badan Pusat Statisktik, 2002-2009 (diolah)

(76)

di Bodetaabek mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerinatah untuk menurunkan subsidi BBM. Tingkat kemiskinan tertinggi di Bodetabek berada pada wilayah-wilayah kabupaten dibandingkan dengan kota. Tingginya tingkat kemiskinan pada wilayah Kabupaten dapat disebabkan oleh pertama, ketidakmerataan pembangunan di wilayah kabupaten akibat wilayah yang terlalu luas, sementara pembangunan hanya dilakukan pada wilayah yang terdekat dengan Jakarta. Kedua, tingginya migrasi masuk ke wilayah kabupaten adalah masyarakat kelas bawah, sehingga migran yang masuk menuju wilayah-wilayah tersebut justru mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah perkumuhan baru. Ketiga, rendahnya jumlah lapangan kerja yang tersedia di Bodetabek.

(77)
(78)

Permasalahannya. dalam Majalah Demografi Indonesia No. 30,

Desember 1988

Achmad , Z. 2003. Analisis Keterkaitan Pola Migrasi Risen, Struktur Ketenagakerjaan dan Tingkat Perkembangan Wilayah (Studi Kasus

Kabupaten Bekasi )[Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Bailly, A dan Coffey,W 1991. The Role of Service Sector in The Economy of Metropolitan Geneva, 1975-1985. dalam Review of Urban and Regional

Development Studies 3

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jakarta. 2001. Jakarta dalam Angka Tahun 2000. Jakarta.

. 2002. Jakarta dalam Angka Tahun 2001. Jakarta.

. 2003. Jakarta dalam Angka Tahun 2002. Jakarta.

2004. Jakarta dalam Angka Tahun 2003. Jakarta.

. 2005. Jakarta dalam Angka Tahun 2004. Jakarta.

. 2006. Jakarta dalam Angka Tahun 2005. Jakarta.

Gambar

Grafik 1.1 Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi (Juta Orang)
Grafik 1.2 Jumlah Migrasi DKI Jakarta (Ratus Ribu Orang)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Gambar 4.1. Peta Wilayah JABODETABEK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tindak tutur langsung tidak literal ( direct nonliteral speech act ) adalah TT yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi

Penggerakan peran serta masyarakat melalui upaya pemberdayaan masyarakatdalam pengembangan, pembinaan dan peningkatan kualitas desa siaga aktif, peningkatan

M2ns = momen ujung terfaktor pada komponen struktur tekan pada ujung dimana M2 bekerja, akibat beban yang mengakibatkan goyangan samping tidak besar, yang dihitung

Temuan audit internal terkait dengan ketidakpatuhan Temuan audit internal terkait dengan ketidakpatuhan yang dilakukan oleh pekerja atas pedoman, kebijakan dan yang

Jika pemilik kapal bermaksud untuk menawarkan kapal yang masih dalam kondisi docking atau dalam proses pembangunan, maka pemilik kapal diwajibkan untuk melampirkan surat

Analisis data dilakukan dengan menganalisis 47 penderita OMSK rawat jalan di Rumah Sakit “X” periode Januari – Juli 2015 yang terdapat hasil kultur kuman dan uji sensitivitas

Berdasarkan tabel diatas dapat kita ketahui bahwa 214 Guru SMAN Kota Makassar sangat sering melihat berita kekerasan yang dialami Guru dalam satu bulan sekali mereka pasti

Tabel matrik ini digunakan untuk menentukan kebutuhan para pekerja pada proses pelipatan mika terhadap matrik alat bantu kerja yang baru dan sesuai dengan kebutuhan