• Tidak ada hasil yang ditemukan

Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia"

Copied!
299
0
0

Teks penuh

(1)

RUSKY INTAN PRATAMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

(3)

ABSTRACT

RUSKY INTAN PRATAMA. Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia. Under direction of JOKO SANTOSO and WINARTI ZAHIRUDIN

Ikan pe, ikan fufu, ikan salai and ikan kayu are Indonesian traditional smoked fish delicacies. The differences in raw materials, type of woods, smoking conditions and methods that were applied in Indonesian smoked fish processing gives the products its special characteristics. All of these varieties will affect its chemical and flavor characteristics. The aims of this research were to inventory Indonesian traditional smoked fish processes and also to identify flavor compounds, chemical and sensory characteristics of each product. This research was carried out in two stages. The first one was interviewing the smoked fish processing owner, observing on smoked fish process and collecting samples and in second stage, samples were analyzed on its composition of proximate, phenolic, salt, free amino acids and Gas Chromatography-Mass Spectrometry was used to identify polycyclic aromatic hydrocarbon content and volatile compounds in smoked fish. Quantitative Descriptive Analysis with Principal Component Analysis were used to evaluate samples sensory characteristics based on attributes that were given by 10 trained panelists was also performed. The results showed that samples differences gave a significant effect on moisture, ash, fat, protein, total phenol and salt contents. Ikan pe had the highest water content (76.44%), total phenol (59.34 ppm) and salt content (0.29%) compared to other samples. Ikan kayu had the highest protein (69.12%) and carbohydrate (7.98%) content and ikan salai had the highest ash (5.55%) and fat (5.87%) content. The free amino acids analysis result were varied depends on the type of samples and none of any 18 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon compounds (at detection limit 660 ppb) were detected in any of these samples. Most volatile compounds detected came from hydrocarbons, aldehydes, ketones, alcohols, furans, phenolic, ethers and esters groups. The Quantitative Descriptive Analysis and Principal Component Analysis results showed that each sample had a certain distinctive characteristics on aroma and taste sensory attributes and can be characterized based on those certain sensory attributes.

(4)

RINGKASAN

RUSKY INTAN PRATAMA. Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Ikan Asap di Indonesia. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI ZAHIRUDIN.

Pengasapan memberikan harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk perikanan yang diolah dengan penggaraman atau pengeringan. Pengasapan ikan pada saat ini dilakukan terutama untuk tujuan memberikan penampakan dan flavor yang khas dibandingkan untuk mengawetkan. Ikan pe, ikan fufu, ikan salai dan ikan kayu merupakan produk ikan asap tradisional khas Indonesia. Jenis bahan baku (ikan), jenis kayu, metode dan kondisi pengasapan yang dilakukan di berbagai daerah memiliki ciri yang khas. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi karakteristik kimia dan flavor ikan asap. Flavor merupakan salah satu karakteristik penting yang menentukan kualitas dan penerimaan produk di pasaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi proses pembuatan beberapa ikan asap tradisional Indonesia serta mengidentifikasi komponen flavor, karakteristik kimia dan organoleptik. Empat jenis ikan yang dijadikan sampel tersebut ialah ikan fufu yang diperoleh dari pengolah ikan asap Kelompok Langsa 2 (Bitung, Sulawesi Utara), ikan salai dari CV DA Pabata (Padang, Sumatera Barat), ikan kayu dari CV Omereso (Kendari, Sulawesi Tenggara) dan ikan pe dari Kelompok Sukoharjo (Rembang, Jawa Tengah). Tahap kedua ialah analisis laboratorium terhadap keempat jenis sampel tersebut. Analisis yang dilakukan meliputi komposisi proksimat, total fenol, garam, asam amino bebas, Polycyclic Aromatic Hidrocarbon (PAH), komposisi flavor menggunakan Gas Chromatography/Mass Spectrometry (GC/MS) dan uji organoleptik deskripsi metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®), selanjutnya dilakukan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) untuk melihat hubungan komponen utama berdasarkan atribut-atribut yang diberikan 10 orang panelis terlatih.

Komposisi kimia meliputi kadar air (76,44%), kadar total fenol (59,34 ppm) dan kadar garam (0,29%) terukur tertinggi pada ikan pe. Kadar protein (69,12%) dan kadar karbohidrat (7,98%) terukur paling tinggi pada ikan kayu. Kadar abu (5,55%) dan kadar lemak (5,87%) tertinggi terukur pada ikan salai. Jumlah kandungan asam amino bebas tertinggi yang terdapat pada ikan kayu ialah serin (220,35 mg/kg), histidin (21755,72 mg/kg), treonin (1353,34 mg/kg), alanin (2817,76 mg/kg), tirosin (272,06 mg/kg) dan fenilalanin (247,78 mg/kg). Ikan fufu memiliki kandungan asam aspartat (425,69 mg/kg), asam glutamat (1075,10 mg/kg), metionin (306,13 mg/kg), valin (448,85 mg/kg), isoleusin (324,07 mg/kg), leusin (761,32 mg/kg) dan lisin (468,46 mg/kg) yang lebih tinggi. Glisin (1211,45 mg/kg) dan arginin (541,80 mg/kg) merupakan asam amino bebas yang tertinggi jumlahnya pada ikan salai. Perbedaan komposisi kimia yang terukur pada masing-masing ikan asap tersebut dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan parameter proses pengasapan yang dilakukan seperti tahap-tahap pengolahan, suhu dan waktu pengasapan.

(5)

bahwa seluruh jenis ikan asap tidak mengandung senyawa PAH yang berbahaya bagi kesehatan. Hasil analisis senyawa volatil menunjukkan bahwa sebagian besar golongan senyawa yang terdeteksi berasal dari golongan hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, furan, fenol, eter, dan ester. Senyawa volatil yang terdeteksi pada ikan fufu ialah sebanyak 75 senyawa, ikan salai 82 senyawa, ikan kayu 122 senyawa dan ikan pe sebanyak 131 senyawa. Golongan senyawa yang terdeteksi paling banyak jenisnya ialah dari golongan hidrokarbon (alifatik dan aromatik) dan diikuti oleh fenol. Adanya perbedaan-perbedaan kandungan dan komposisi kimia dan senyawa volatil dari sampel ikan asap antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan metode dan kondisi pengasapan masing-masing sampel, seperti preparasi, jumlah ketersediaan oksigen, densitas asap, suhu dan waktu pengasapan, jenis dan ukuran bahan baku, jenis dan kadar air kayu serta reaksi-reaksi kimia yang terjadi seperti oksidasi lemak, degradasi asam amino, degradasi komponen kayu dan perlakuan pengolahan selain pengasapan seperti pengeringan awal dan perebusan juga turut mempengaruhi.

(6)

4-etilguiakol, asam amino bebas arginin, metionin dan valin. Ikan salai memiliki intensitas rasa manis yang lebih tinggi. Kesan rasa manis dapat ditimbulkan oleh kandungan gula bebas yang terdapat dalam ikan, asam amino bebas seperti glisin, alanin, serin, treonin dan prolin, penambahan rempah-rempah yang dapat memberikan kesan rasa manis dan beberapa senyawa golongan fenol seperti dimetilfenol, 4-metilguiakol, guaiakol dan orto kresol.

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KARAKTERISTIK FLAVOR BEBERAPA JENIS

PRODUK IKAN ASAP DI INDONESIA

RUSKY INTAN PRATAMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia

Nama : Rusky Intan Pratama

NIM : C351080071

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Ir. Winarti Zahirudin, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan

limpahan rahmat dan izin-Nya, maka karya ilmiah tesis ini berhasil diselesaikan.

Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini berjudul “Karakteristik

Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia”. Tesis ini merupakan

bagian dari penelitian Program Insentif Kementerian Riset dan Teknologi

(Kemenristek) dengan judul penelitian “Pengembangan Teknologi Pengasapan

Ikan yang Efisien, Menggunakan Bahan Baku Lokal dan Berorientasi Pasar

dengan UKM sebagai Sentra Pengembangan” yang diajukan oleh Bapak Ir. Heru

Sumaryanto, M.Si., (peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat, Institut Pertanian Bogor dan staf pengajar Sekolah Pascasarjana,

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor) selaku peneliti

utama dan penyandang dana dari penelitian tesis ini.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian

Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si., selaku ketua komisi pembimbing, yang telah

membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam

menyelesaikan tesis ini serta telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk ikut serta dalam penelitian Program Insentif Kemenristek mengenai

teknologi pengasapan ikan.

2. Ir. Winarti Zahiruddin, M.S., selaku anggota komisi pembimbing, yang telah

membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc., sebagai dosen penguji luar komisi yang telah

banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si., selaku Ketua Program Studi Teknologi

Hasil Perairan atas dukungan dan kemudahan yang diberikan selama studi.

5. Ibu Dr. Ir. Nurjanah, M.S., selaku Sekretaris Program Studi Teknologi Hasil

(12)

iv

6. Ir. Heru Sumaryanto, M.Si., selaku peneliti utama pada Program Insentif

Kemenristek yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut

serta dalam penelitian pengembangan teknologi pengasapan ikan, memberikan

motivasi, arahan, bimbingan dan juga selaku penyandang dana penelitian tesis

ini.

7. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Republik

Indonesia yang telah memberikan beasiswa bagi penulis.

8. Bapak Andi Bachri, Ibu Epi Pabata, Kelompok Sukoharjo-Rembang,

Kelompok Langsa 2-Bitung, selaku pemilik UKM tempat pengambilan

sampel ikan asap atas kesempatan yang telah diberikan.

9. Ir. Bram Kusbiantoro, M.S., selaku Kepala Laboratorium Flavor, Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi (BBPTP), Sukamandi yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menguji flavor dan organoleptik ikan asap

dan memberikan arahan serta bimbingannya.

10. Desi Arofah (Laboratorium Flavor BBPTP, Sukamandi), Mas Khatib

(Laboratorium Terpadu, IPB), dan Endang Rusmalia (Laboratorium

Konservasi Satwa Langka dan Harapan, IPB) selaku teknisi laboratorium

analisis yang telah melaksanakan, membantu dalam pengujian sampel ikan

asap serta memberikan masukan kepada penulis.

11. Dr. Ir. Eddy Afrianto, M.Si. dan Ir. Evi Liviawaty M.Si., selaku Kepala

Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Universitas Padjadajaran,

Bandung yang telah memberikan masukan serta arahan kepada penulis.

12. Tim panelis organoleptik terlatih BBPTP, Sukamandi (Mb Elsera, Bapak

Rasam, Ibu Nani Yunani, Bapak Kamijo, Bapak Husen, Bapak Encep Rianto,

Mb Diah Arismiati, Mb Desi Arofah, Bapak Ahmad Yajid dan Bapak Edi

Suryadi) atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

13. Seluruh dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Teknologi Hasil

Perairan yang telah memberikan banyak ilmu dan pendidikan kepada penulis

selama menjalani studi.

14. Ayah (Prof. Dr. Ir. Masyamsir, M.S.) dan Ibu (Tatan Suryani, SE.), kakak

(Sheila Intan Safitri, S.Si; Marisa Intan Dwifitri, S.P., M.Sc., M.T.) atas segala

(13)

v

15. Teman-teman satu angkatan THP 2008 (Iis Rostini, S. Ridha Kasim,

Hafiludin, Nikmawati, Silvana, Erika, Vivi, Sholi Nasution, Lilis) atas

dukungan, kerjasama dan kebersamaannya selama ini.

16. Indryana Dathiarmaulida, drg. beserta keluarga atas segala dukungan, do’a

dan bantuannya kepada penulis selama ini.

17. Seluruh pihak yang belum penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu

lancarnya penyusunan tesis ini.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia

ilmu pengetahuan dan masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan hasil

perikanan. Untuk segala kekurangan, kesalahpahaman dan kata-kata yang kurang

tepat, penulis ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Akhir

kata semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2011

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 September 1980 dari ayah H. Prof. Dr. Ir. Masyamsir, M.S. dan ibu Hj. Tatan Suryani, SE. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bandung dan pada tahun yang sama lulus masuk Universitas Padjadjaran melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis diterima pada Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian dan lulus sebagai sarjana pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai staf pengajar pada tahun 2006 pada instansi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dengan bidang pengajaran Teknologi Industri Hasil Perikanan. Penulis mendaftar beasiswa untuk melanjutkan sekolah pada jenjang magister pada tahun 2008 dan diterima di Sekolah Pascasarjana, Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(15)

Halaman 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 1.5 Hipotesis………..……… 2.2 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional……….….………... 2.3 Bahan Baku Ikan Asap ………..………... 2.8 Komponen dalam Ikan Asap………...

(16)

viii

2.8.1 Senyawa fenolik……….... 2.8.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) ………... 2.8.3 Asam Amino Bebas ………..………... 2.9 Flavor ………... 2.10 Metode Ekstraksi Solid Phase Microextraction (SPME) …….. 2.11 Standar Mutu Produk Ikan Asap ………...……… 2.12 Pengujian Organoleptik ………...

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……….... 3.2 Bahan dan Alat ………... 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ………...

35

(17)

ix

asap..……...………... 4.4 Karakteristik Organoleptik ………... 4.4.1 Pengujian menggunakan metode Quantitave

Descriptive Analysis (QDA®)……..………... 4.4.2 Pengolahan data menggunakan Principle Component Analysis (PCA) ………..

88 100

100

107

5 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 111

5.1 Kesimpulan ………... 5.2 Saran ………...

111 113

DAFTAR PUSTAKA ………... 115

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang ………..………... 11

2 Komposisi kimia ikan pari ……… 12

3 Komposisi kimia ikan lele ……… 13

4 Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin ……….. 19

5 Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku ………. 23

6 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap………... 32

7 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga rasa………..…... 43

8 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga aroma……… 43

9 Konsentrasi larutan standar untuk uji ranking ………... 44

10 Senyawa standar aroma yang digunakan ………... 45

11 Flavor standar yang digunakan pada uji konsistensi aroma……….. 45

12 Larutan standar yang digunakan pada uji konsistensi rasa……… 46

13 Persamaan penentuan konsentrasi standar aroma ………. 47

14 Persamaan penentuan konsentrasi standar rasa ……… 47

15 Atribut, definisi, referensi standar dan intensitas pengujian ………. 49

16 Kondisi GC/MS untuk analisis senyawa volatil ikan asap ………... 50

17 Kondisi GC/MS untuk analisis PAH ………….………... 51

18 Hasil inventarisasi proses pengasapan empat jenis ikan asap ………….. 56

19 Hasil analisis proksimat, total fenol dan garam empat jenis ikan asap … 65 20 Hasil analisis asam amino bebas ikan asap………..……….. 76

21 Hasil analisis 18 PAH empat sampel ikan asap ……… 83

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerangka pemikiran ……….. 5

2 Proses produksi ikan asap secara umum ……….. 21

3 Diagram alir tahapan penelitian ………... 36

4 Diagram alir proses pengasapan ikan fufu ….……….. 57

5 Diagram alir proses pengasapan ikan salai. ………. 60

6 Diagram alir proses pengasapan ikan kayu ……….………. 61

7 Diagram alir proses pengasapan ikan pe….……….. 64

8 Grafik reaksi kimia berdasarkan aktivitas air ………... 79

9 Diagram spider web aroma dan rasa dari keempat jenis ikan asap .………. 101

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penelitian ………... 129

2 Hasil pengujian proksimat ikan asap (% berat basah) .……….. 134

3 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar air …..………..……….. 135

4 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar abu ….……….………... 136

5 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar lemak………..………… 137

6 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar protein…..……….. 138

7 Hasil pengujian analisis ragam karbohidrat (by difference) ……..……… 139

8 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar total fenol …..….………... 140

9 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar garam …..…….………. 141

10 Prosedur preparasi analisis klorida dan fenol ………. 142

11 Komposisi senyawa volatil ikan fufu ………. 144

12 Komposisi senyawa volatil ikan salai ……… 146

13 Komposisi senyawa volatil ikan kayu………. 148

14 Komposisi senyawa volatil ikan pe………. 151

15 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan fufu dan ulangannya…………. 155

16 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan salai dan ulangannya…………. 156

17 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan kayu dan ulangannya………… 157

18 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan pe dan ulangannya……… 158

19 Daftar nama panelis terlatih di lingkungan BBPTP Sukamandi…………. 159

20 Kuisioner tahap uji screening hingga uji konsistensi ………. 160

21 Hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan intensitas menggunakan persamaan Moskowitz………. 166

22 Kuisioner uji QDA®……….... 170

23 Nilai rata-rata hasil perhitungan analisis QDA keempat ikan asap menggunakan 10 panelis ……… 177

24 Hasil PCA empat sampel ikan asap……… 178

25 Dokumentasi penelitian: alat pengasapan………... 179

26 Dokumentasi penelitian: denah ruang pengasapan ikan kayu………. 180

(21)

xiii

28 Dokumentasi penelitian: pengangkutan sampel ………. 183

(22)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki volume produksi perikanan yang cukup besar dan

semakin meningkat tiap tahunnya. Volume produksi perikanan tangkap (perikanan

laut dan perairan umum) dan budidaya (air laut, tambak, kolam, karamba, jaring

apung, sawah) pada tahun 2006 ialah sebesar 7.488.708 ton, sedangkan pada

tahun 2010 telah meningkat menjadi 10.826.502 ton (KKP 2011). Hasil perikanan

tersebut pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, diekspor dan diolah baik

secara modern maupun tradisional. Produk hasil olahan tradisional dapat berupa

ikan asin, ikan asap, ikan pindang, dan produk-produk fermentasi. Jumlah

produksi ikan asap di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 66.970 ton, masih jauh

dibawah produksi ikan asin yaitu 473.679 ton (JICA 2009). Hal ini cukup

disayangkan karena menurut SCERT (2006), pengasapan memberikan nilai harga

yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk perikanan yang diolah dengan

penggaraman atau pengeringan saja, selain itu warna dan flavor yang menarik dari

produk hasil pengasapan dapat meningkatkan permintaannya di pasaran.

Pengasapan ikan merupakan penggabungan dari proses penggaraman,

pengeringan, dan pemberian asap untuk mencegah kerusakan ikan. Menurut

Adebowale et al. (2008) dan Lyhs (2002), pengasapan memiliki beberapa

keuntungan yaitu memberikan efek pengawetan, mempengaruhi citarasa,

memanfaatkan hasil tangkap yang berlebih ketika tangkapan berlimpah,

memungkinkan ikan untuk disimpan ketika musim paceklik, meningkatkan

ketersediaan protein bagi masyarakat sepanjang tahun, membuat ikan lebih mudah

dikemas, diangkut dan dipasarkan, biaya cukup murah dan peralatannya

sederhana.

Ikan asap menjadi awet karena adanya pengurangan kadar air akibat dari

proses pemanasan dan adanya senyawa-senyawa kimia di dalam asap seperti

golongan fenol yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan

berperan sebagai antioksidan, walaupun begitu pengasapan ikan pada saat ini

dilakukan dengan tujuan untuk memberikan warna, tekstur dan flavor yang khas

(23)

kandungan senyawa lain selain fenol, seperti asam amino bebas (hasil penguraian

protein selama pengolahan) dan garam yang berasal dari penggaraman. Asap juga

mengandung senyawa hasil pembakaran lain yang perlu diwaspadai seperti

Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang ditengarai bersifat karsinogen.

Produk ikan asap tradisional dari suatu daerah pada umumnya sulit untuk

ditemukan di daerah lain sehingga dikenal sebagai exotic indigeneous food.

Beberapa contoh produk ikan asap khas Indonesia diantaranya ikan salai dari

Sumatera Barat dengan bahan baku yang digunakan biasanya ikan lele yang

berasal dari perairan lokal (limbe, saluang), ikan fufu dari Sulawesi Utara dengan

bahan baku ikan cakalang, ikan pe dari Jawa Tengah dengan bahan baku ikan pari

dan ikan kayu dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara yang

biasanya menggunakan bahan baku ikan cakalang. Jenis bahan baku, jenis kayu,

metode pengasapan maupun faktor-faktor proses lainnya yang dilakukan di

daerah-daerah tersebut memiliki ciri yang khas. Bahan baku dan proses

pengasapan yang berbeda tentu saja akan mempengaruhi karakteristik kimia dan

flavor dari produk yang dihasilkan.

Para peneliti Jepang telah melakukan identifikasi flavor dari ikan asap

sejak tahun 1960-an. Hal ini diketahui dari ditemukannya jurnal mengenai analisis

komponen flavor katsuobushi yang dilakukan oleh Kokichi Nishibori pada tahun

1965 (Nishibori 1965). Penelitian negara lain terutama mengkaji mengenai

pengaruh proses pengasapan terhadap kualitas dan beberapa karakteristik ikan

asap (Birkeland et al. 2004; Oyelese 2006; Martinez et al. 2007) serta komponen

volatil ikan asap (Sakakibara et al. 1990a; Sakakibara et al. 1990b; Guillen &

Errecalde 2002; Guillen et al. 2006; Varlett et al. 2007; Jonsdottir et al. 2008).

Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi dan metode pengasapan lokal di

negara tersebut. Jenis ikan yang sering digunakan ialah ikan yang hidup dalam

perairan dingin seperti Atlantic salmon dan herring serta metode pengasapan yang

dilakukan pada umumnya ialah pengasapan dingin dengan suhu antara 20-30 oC. Beberapa penelitian mengenai ikan asap juga telah dilakukan di Indonesia

terutama mengenai pengaruh proses pengasapan dan penyimpanan terhadap

berbagai karakteristik mutu, dan fisiko-kimia ikan asap. Beberapa penelitian

(24)

3

asap, Zakaria (1996) meneliti tentang mutu ikan bilih asap, Giyatmi (2000)

meneliti tentang kapang pada ikan kayu dan Aqliyanto (2005) meneliti tentang

mutu ikan lele asap. Penelitian mengenai inventarisasi proses dan identifikasi

senyawa-senyawa kimia, komposisi flavor dan profil sensori produk-produk ikan

asap khas Indonesia hingga saat ini belum banyak diteliti. Berdasarkan hal

tersebut, inventarisasi langkah-langkah proses pembuatan ikan asap dari beberapa

provinsi di Indonesia dan pengkajian yang mendalam mengenai pengaruh spesifik

dariproses pengasapan terhadap karakteristik kimia, komposisi penyusun flavor

dan profil sensori flavor dari empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia

dilakukan dalam penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

Pengasapan menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki karakteristik

flavor yang khas. Flavor merupakan salah satu karakteristik penting yang

menentukan kualitas dan penerimaan produk tersebut di pasaran. Informasi ilmiah

yang tersedia mengenai karakteristik kimia dan flavor ikan asap khas Indonesia

pada saat ini masih terbatas. Salah satu penyebabnya ialah hasil penelitian

mengenai ikan asap bersifat spesifik untuk masing-masing produk ikan asap.

Hasil proses pengasapan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan

baku, metode pengasapan, bahan bakar, alat pengasap yang digunakan serta

faktor-faktor proses lainnya. Ciri khas proses pengasapan dari masing-masing

daerah tersebut akan mempengaruhi karakteristik ikan asap yang dihasilkan. Hasil

penelitian untuk suatu jenis produk ikan asap atau metode pengasapan tertentu

belum tentu sesuai untuk diterapkan pada jenis ikan dan metode pengasapan lain

yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan berbagai jenis bahan

baku dan parameter pengolahan sehingga hanya pengujian langsung pada produk

sesungguhnya yang dapat memberikan informasi yang dapat diandalkan.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai proses pengasapan serta identifikasi

senyawa-senyawa kimia yang terkandung dan mempengaruhi flavor ikan asap

tersebut penting untuk dilakukan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Indonesia memiliki beragam jenis produk ikan asap tradisional dan

(25)

Beberapa jenis ikan asap khas Indonesia diantaranya adalah ikan salai dari

Sumatera Barat; ikan fufu dari Sulawesi Utara; ikan pe dari Jawa Tengah; dan

ikan kayu dari Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis ikan asap tersebut memiliki

karakteristik yang khas sesuai daerahnya masing-masing. Keragaman yang

terdapat pada metode pengasapan, bahan baku, bahan bakar, alat pengasap dan

spesifikasi tahap proses pengasapan yang dilakukan pengolah dari masing-masing

daerah turut berperan dalam menciptakan ciri khas dari produk ini. Menurut

Whittle dan Howgate (2000), spesifikasi proses pengasapan dapat

menggambarkan langkah-langkah proses penting yang berpengaruh terhadap

kualitas produk akhir dan akan berguna ketika menghadapi kesulitan dalam

menentukan, mengendalikan dan mengukur atribut kualitas yang diperlukan pada

produk akhir.

Komponen asap mengandung berbagai senyawa kimia penting yang akan

menentukan sifat organoleptik dan keawetan produk. Berbagai macam senyawa

akan terbentuk dalam asap selama proses pirolisis yaitu senyawa golongan fenol,

karbonil (terutama keton dan aldehida), asam, furan, alkohol, ester, lakton,

hidrokarbon alifatik dan hidrokarbon polisiklik aromatis (Yudono et al. 2007).

Fenol adalah komponen aromatik yang terkandung dalam asap yang berperan

untuk mengurangi kerusakan produk akibat aktivitas bakteri, bersifat antioksidan

dan berfungsi sebagai pemberi citarasa khas produk asap (Venugopal 2006;

Whittle & Howgate 2000). Asap juga mengandung sejumlah senyawa PAH

seperti benzo[a]pyrene dan dibenzo[a,h]anthracene yang ditengarai merupakan

senyawa yang bersifat karsinogen untuk manusia (Whittle & Howgate 2000).

Pengasapan bukan hanya merupakan metode pengawetan tetapi juga

menghasilkan flavor asapyang menjadi atribut khas yang seringkali dicari oleh

konsumen. Flavor merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

penerimaan suatu produk olahan perikanan. Flavor pada ikan asap tidak hanya

dipengaruhi oleh senyawa fenol tetapi komponen-komponen ekstraktif seperti

asam amino bebas yang terkandung dalam produk perikanan juga akan berperan

dalam pemberian citarasa produk (Yamaguchi & Watanabe 1988). Pengukuran

kandungan senyawa-senyawa tersebut di dalam produk asap dapat memberikan

(26)

5

ikan asap, selain itu proses penggaraman juga dapat mempengaruhi citarasa

produk akhir tergantung dari waktu dan konsentrasi garam yang digunakan

(Regenstein & Regenstein 1991). Skema alur berpikir pada penelitian ini disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran.

Teknologi analisis menggunakan instrumen pada saat ini sangat

berkembang kemajuannya tetapi sensasi flavor yang diterima oleh manusia hanya

dapat diukur secara organoleptik. Pengaruh dari berbagai flavor yang berbeda

terhadap pemilihan konsumen hanya dapat dinilai dengan uji sensori yang bersifat

subyektif (Noble 2006). Berdasarkan hal itu, uji sensori deskriptif yang dapat

diandalkan yaitu metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®) perlu digunakan untuk menganalisis karakteristik flavor ikan asap sebagai salah satu

jenis exotic indigenous food Indonesia.

Karakteristik kimia

Ikan Salai (Padang) Ikan Kayu

(Kendari) Ikan Pe

(Rembang) Ikan Fufu

(Bitung)

Karakteristik khas produk

Identifikasi

Inventarisasi Spesifikasi proses

pengasapan: Metode pengasapan, bahan baku, jenis kayu

alat pengasapan, dll.

(27)

Pembentukan flavor khas dan karakteristik kimia ikan asap tradisional

pada penelitian ini dipelajari dan ditinjau dari beberapa spesifikasi proses yang

akan mempengaruhi hasil pengasapan sehingga perlu dikaji lebih lanjut mengenai

pengaruh faktor-faktor proses terhadap pembentukan atribut flavor, identifikasi

komposisi penyusun flavor dan pengukuran intensitas flavor yang menjadi

karakteristik ikan asap. Kajian mengenai karakteristik kimia (misal proksimat)

juga penting untuk dilakukan karena dapat memberikan informasi mengenai nilai

gizi dari produk ikan asap tradisional Indonesia.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menginventarisasi proses pembuatan empat jenis ikan asap tradisional

khas Indonesia yaitu ikan fufu, ikan pe, ikan kayu dan ikan salai.

2) Mengidentifikasi komponen flavor, karakteristik kimia dan organoleptik

dari empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia tersebut.

Manfaat yang diharapkan ialah agar hasil penelitian ini dapat memberikan

informasi dasar mengenai keunggulan dan ciri khas masing-masing produk ikan

asap tradisional Indonesia sehingga berbagai karakteristik khas ikan asap tersebut

dapat dipelajari, dipetakan, didokumentasikan dengan baik yang pada akhirnya

akan dapat melindungi produk-produk dalam negeri dari klaim negara lain.

Informasi yang diperoleh mengenai bahan baku, metode pengasapan dan

komponen-komponen lain yang teridentifikasi pada penelitian ini dapat

bermanfaat sebagai data dasar untuk mengembangkan produk flavor asap sintetis

dan untuk memodifikasi proses pengasapan yang bertujuan mendapatkan kualitas

produk akhir yang lebih baik.

1.5 Hipotesis

Jenis bahan baku dan metode pengasapan yang dilakukan di beberapa

daerah di Indonesia akan mempengaruhi karakteristik flavor, kandungan kimia

(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengolahan Tradisional

Pengolahan secara tradisional memiliki beberapa kelemahan antara lain

kemampuan pengetahuan pengolah rendah dengan keterampilan atau teknologi

yang diperoleh secara turun-menurun, tingkat sanitasi dan higien terendah,

umumnya tidak memiliki sarana air bersih, menggunakan bahan mentah dengan

tingkat mutu atau kesegaran yang rendah, keamanan pangan tidak terjamin,

permodalan sangat lemah, perusahaan dikelola oleh keluarga dengan tingkat

kemampuan manajemen kurang memadai, peralatan yang digunakan sangat

sederhana dan pemasaran produk hanya terbatas pada pasaran lokal (Anisah &

Susilowati 2007; Irianto & Soesilo 2007). Ikan olahan tradisional, atau

"traditional cured" menurut terminologi FAO adalah produk yang diolah secara

sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga. Jenis olahan

yang termasuk produk olahan tradisional ini adalah ikan kering atau ikan asin

kering, ikan pindang, ikan asap, serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi,

dan sejenisnya (Anisah & Susilowati 2007).

2.2 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional

Jenis ikan yang biasa diasapi diantaranya ialah ikan bandeng, tembang,

lemuru, kembung, selar, tongkol, dan cakalang (Margono et al. 2000). Setiap jenis

ikan secara teori dapat diasapi tetapi ikan yang berlemak lebih banyak dipilih

karena dapat mencegah terbentuknya tekstur daging yang kering dan tidak

diinginkan dan dapat menyerap lebih banyak citarasa asap (Ingham & Hilderbrand

1999; Adebona 1978). Produk ikan asap tradisional cenderung lebih asin dan

terlalu kering serta memiliki citarasa asap yang kuat jika akan dijual ke pasaran.

Penggunaan garam dan asap pada produk pengasapan modern hanya ditujukan

terutama untuk memberi citarasa produk dan biasanya pengasapannya dilakukan

dengan intensitas asap rendah dan sedang (mild and light smoking) (Whittle &

Howgate 2000).

Beberapa daerah di Indonesia memiliki komoditas ikan asap yang khas

karena adanya perbedaan bahan baku, jenis bahan bakar, jenis alat dan kondisi

(29)

ada juga produk ikan asap yang sama dikenal dengan nama berbeda di daerah lain.

Beberapa produk ikan asap khas Indonesia ialah ikan salai di Sumatera Selatan,

Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan; ikan asar di Maluku dan

ikan fufu di Sulawesi Utara dan Gorontalo; ikan pe atau iwak panggang di Jawa

Tengah dan Jawa Timur; serta ikan kayu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Utara dan Papua Barat (Giyatmi et al. 2000; DKP Papua 2006; Missae

2009; Heriyanto 2009b).

Ikan fufu biasanya dibuat dari bahan baku ikan cakalang dengan

menggunakan alat pengolah yang sederhana. Prosedur pembuatannya ialah

pertama-tama ikan disiangi, ikan berukuran besar dipotong dengan irisan

membujur untuk memudahkan pengasapan. Proses pengasapannya dimulai

dengan membakar sabut kelapa, menyusun ikan pada rak-rak, lalu ikan

dibiarkanterasapi selama 4 jam. Proses pengolahan ikan fufu ini memiliki

persamaan dengan proses pengolahan ikan asar, hanya saja pada beberapa daerah

terdapat perbedaan pada jenis kayu yang digunakan, proses preparasi, suhu dan

waktu pengasapan (DKP Papua 2006).

Ikan pe adalah sebutan untuk ikan yang diproses dengan cara diasap di

Jawa Timur dimana ikan dimatangkan dengan dibakar di atas api sehingga ikan

tersebut matang bukan karena panas api tetapi lebih karena panasnya asap.

Biasanya ikan yang digunakan untuk ikan pe adalah ikan pari tetapi saat ini

hampir semua jenis ikan dapat dibuat menjadi ikan pe. Potongan-potongan ikan

ditusuk dengan batangan bambu pada proses pembuatannya untuk memudahkan

proses pengasapan dan kemudian dipanggang di atas bara tempurung kelapa.

Tempurung kelapa ketika dibakar akan mengeluarkan minyak yang akan

memberikan aroma asap yang khas (Missae 2009).

Produk ikan salai lele merupakan salah satu bentuk hasil olahan ikan lele

yang diasapi dan banyak ditemukan di daerah Sumatera Barat, Sumatera Utara

hingga Sumatera Selatan. Proses pengolahan ikan salai ini cukup praktis, mudah

dan hemat biaya. Pengolahannya dapat menggunakan peralatan yang sederhana

dan mudah dibuat. Pembuatan ikan salai lele pada prinsipnya merupakan suatu

cara pengolahan ikan melalui proses penarikan air dari jaringan tubuh ikan

(30)

9

pembakaran kayu. Mutu ikan salai dapat dilihat dari penampakan dan warna

produk yang cokelat keemasan, bersih dan mengkilat. Tekstur daging salai ikan

lele adalah padat, kering, liat, berkeping halus dan agak lembab. Pengasapan ikan

salai lele ini dapat dilakukan dengan pengasapan dingin dan panas. Tahap-tahap

pengolahannya meliputi pemberokan, preparasi bahan bakar dan alat pengasapan,

pembelahan dan penyiangan ikan, pemanggangan, pengasapan (4-16 jam) dan

pengepakan (Djarijah 2004).

Ikan kayu diproduksi secara komersial untuk diekspor. Ikan kayu yang

dihasilkan berupa arabushi, yaitu ikan yang sudah diasapi dan dikeringkan tanpa

dilakukan proses fermentasi sesuai dengan permintaan negara pengimpor.

Biasanya fermentasi produk dilakukan sendiri di negara pengimpor dengan cara

khusus untuk mengontrol pertumbuhan kapang. Ekspor dalam bentuk arabushi ini

menyebabkan nilai tambah menjadi lebih kecil dibandingkan nilai tambah yang

diperoleh dari katsuobushi. Mutu katsuobushi sebagai bahan penyedap masakan

sangat ditentukan oleh citarasa spesifik yang dimilikinya. Citarasa ini ditentukan

oleh perubahan senyawa volatil dan nonvolatil selama proses fermentasi. Proses

fermentasi ditentukan oleh jenis kapang yang digunakan dan lama fermentasi

(Giyatmi et al. 2000). Menurut penelitian Giyatmi (1998), ikan kayu arabushi

memiliki kandungan air 13,22%, kadar protein 74,57%, kadar lemak 3,51% dan

kadar abu 3,20%, sementara menurut Sunahwati (2000), arabushi memiliki

kandungan air 14,57%, kadar protein 67,54%, kadar lemak 1,57% dan kadar abu

4,08%.

2.3 Bahan Baku Ikan Asap

Bahan baku ikan asap yang digunakan sebaiknya masih dalam keadaan

segar agar ikan asap yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi. Seluruh jenis

ikan yang biasa dikonsumsi pada umumnya dapat diolah dengan proses

pengasapan baik terhadap ikan air laut maupun ikan air tawar. Ikan salmon,

haddock, herring dan mackerel merupakan ikan yang umum diasapi di negara

Jepang, sementara di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan seperti cakalang, lele

(31)

2.3.1 Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan ini dikenal juga dengan nama skipjack tuna (Inggris), bonito (Afrika

Selatan, Spanyol), sehewa (Kenya), mandara, katsuo (Jepang). Taksonomi ikan

ini menurut ITIS (2009a) ialah:

Dunia : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Superkelas : Osteichthyes Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Superordo : Acanthopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidei Famili : Scombridae Subfamili : Scrombrinae Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis

Cakalang memiliki ciri-ciri fisik seperti bentuk tubuh yang fusiform (lebar

ditengah dan meruncing pada ujung-ujungnya), memanjang dan bulat; gigi kecil,

berbentuk kerucut; memiliki dua sirip dorsal, sirip pektoral pendek; tubuh tidak

bersisik kecuali pada bagian tertentudan garis lateral; warna ikan biasanya biru

keunguan gelap, bagian bawah agak keperakan. Distribusinya tersebar pada

perairan tropis dan beriklim hangat pada kedalaman 260 meter hingga permukaan.

Ikan ini berproduksi sepanjang tahun pada perairan khatulistiwa, fekunditasnya

meningkat bersamaan dengan semakin besarnya ukuran tapi hal ini sangat

bervariasi. Makanan kegemaran ikan cakalang pada umumnya ialah ikan,

crustacea, moluska dan dapat juga bersifat kanibalisme. Ikan ini memiliki

kecenderungan untuk bergerak dalam kelompok pada permukaan air. Ukuran ikan

dapat mencapai 108 cm dengan berat 32,5-34,5 kg (Collete & Nauen 1983).

(32)

11

Tabel 1 Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang

Kandungan Satuan Jumlah

Ikan pari (rays) termasuk dalam subgrup elasmobranchii, yaitu ikan yang

bertulang rawan. Spesies pari Dasyatis kuhlii atau Blue-spotted stingray di

Indonesia khususnya Laut Jawa termasuk salah satu hasil tangkapan terbesar

dibanding spesies pari lain yaitu sebesar 23,05% (Rahardjo & Chodriyah 2006).

Taksonomi lengkap ikan ini (Genus Dasyatis) menurut ITIS (2009b) ialah sebagai

berikut:

Ikan pari juga terkenal sebagai ikan yang hampir keseluruhan tubuhnya

bisa dimanfaatkan seperti daging, sirip, tulang dan kulit. Ikan ini mempunyai

bentuk tubuh gepeng melebar dimana sepasang sirip dadanya melebar dan

menyatu dengan sisi kiri-kanan kepalanya sehingga tampak atas atau tampak

bawahnya terlihat bundar atau oval. Ikan pari umumnya mempunyai ekor yang

sangat berkembang (memanjang) menyerupai cemeti. Ekor ikan pari pada

beberapa spesies dilengkapi duri penyengat sehingga disebut sting-rays, mata ikan

pari umumnya terletak di kepala bagian samping. Posisi dan bentuk mulutnya

(33)

insang yang berjumlah 5-6 pasang. Posisi celah insang adalah dekat mulut di

bagian bawah (ventral). Ikan pari jantan dilengkapi sepasang alat kelamin yang

disebut clasper letaknya di pangkal ekor. Ikan pari betina umumnya berbiak

secara melahirkan anak (vivipar) dengan jumlah anak antara 5-6 ekor (Mukhtar

2008). Komposisi kimia ikan pari tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia ikan pari

Kandungan Jumlah

2.3.3 Lele (Clarias gariepinus)

Salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang terus dikembangkan

dan produksinya meningkat secara signifikan setiap tahunnya adalah ikan lele

(Clarias sp.). Ikan lele yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah Clarias

batrachus (ikan lele lokal) dan Clarias gariepinus (ikan lele dumbo). Taksonomi

dari ikan lele dumbo menurut ITIS (2009c) ialah:

Dunia : Animalia

(34)

13

Ikan lele memiliki kulit yang licin dan tidak bersisik. Permukaan kepala dan

punggung berwarna gelap dan permukaan perut berwarna lebih terang. Ikan lele

memiliki lambung relatif besar dan panjang sementara ususnya relatif pendek jika

dibandingkan dengan panjang badannya. Ikan lele memiliki sepasang hati dan

gelembung renang (Djarijah 2004). Komposisi kimia ikan lele dumbo dapat

dilihat pada pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia ikan lele

Kandungan Jumlah (%)

Pengasapan ikan ialah proses pengaplikasian asap dari kayu untuk

memberikan citarasa asap pada ikan atau bagian dari ikan seperti fillet, selain itu

juga untuk mengeringkan ikan secara parsial. Pengasapan dilakukan untuk

menghasilkan produk ikan asap dan memperpanjang masa simpan produk.

Pengaruh pengawetan dari asap kemungkinan besar disebabkan oleh adanya

sejumlah komponen fenolik, nitrit dan formaldehida. Prinsip utama pengawetan

dengan pengasapan ialah mengurangi aktivitas air sebagai akibat dari adanya

garam dan tingkat pengeringan. Terdapat tiga tahap utama proses pengasapan

yaitu penggaraman, pengasapan dan pengeringan (Whittle & Howgate 2000).

Penggunaan bahan tambahan pangan pada produk pengasapan harus

memperhatikan aturan tertentu. Konsentrasi dan waktu kontak bahan tambahan

harus diawasi dengan ketat menurut saran ahli atau lembaga resmi yang

berwenang. Hanya bahan pengawet yang diperbolehkan yang dapat ditambahkan

pada larutan perendam atau digunakan setelah perendaman (Codex Alimentarius

1979). Pewarna makanan kuning oranye dan coklat juga dapat ditambahkan ke

dalam larutan perendam yang mengandung garam yang digunakan pada

(35)

2.4.1 Senyawa penyusun asap

Asap dari kayu keras mengandung banyak senyawa kimia yang pada

awalnya merupakan bagian dari proses metabolisme pohon hidup. Ikan yang

diasapi akan menyerap senyawa-senyawa kimia ini. Proses pengeluaran ini

disebut distilasi destruktif yaitu ketika kayu berubah menjadi arang.

Senyawa-senyawa kimia alami dalam asap dari kayu keras bermanfaat baik dalam

membunuh maupun menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri.

Senyawa-senyawa kimia ini merupakan dasar utama akan kuatnya proses

pengawetan yang terjadi selama pengasapan (Spira 2007). Komposisi dan

karakteristik asap tergantung dari jenis kayu, kandungan air kayu, suhu dan cara

pemanasan (untuk menimbulkan asap). Pengaruh pengawetan yang berasal dari

asap kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan sejumlah komponen

fenolik, formaldehida dan asam (Whittle & Howgate 2000).

Senyawa penyusun asap terdiri dari gas, distilat cair dan distilat tar. Bagian

gasnya mengandung oksigen, hidrogen, nitrogen, karbondioksida dan

karbonmonoksida. Distilat cairnya mengandung alkohol, keton, aldehida, asam

format, asam asetat dan asam propionat, sedangkan distilat tar-nya mengandung

guiakol, kresol, katekol dan fenol. Asap juga mengandung polinukleo aromatik

hidrokarbon 3,4-benzopyrene yang merupakan senyawa bersifat karsinogen

(SCERT 2006). Anion-anion format diketahui dapat mencegah proses peroksidasi

yang merupakan penangkap radikal yang ditemukan pada citarasa asap (Bower et

al. 2009). Komponen asap seperti formaldehida memiliki pengaruh dalam

mengeraskan protein otot. Komponen yang tersimpan dalam asap seperti fenol,

formaldehida dan nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada produk

(Njai 2000; Whittle & Howgate 2000). Menurut Dwiari et al. (2008),

fungsi-fungsi komponen asap tersebut adalah sebagai berikut:

1) fenol berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan membentuk citarasa,

2) alkohol memiliki fungsi utama membentuk citarasa, selain itu sebagai

antimikroba,

3) asam-asam organik berfungsi sebagai antimikroba,

(36)

15

5) senyawa hidrokarbon tertentu memiliki fungsi negatif karena bersifat

karsinogen.

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan

Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat

menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan

produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses

pengasapan harus diperhatikan. Menurut Burt (1988); Pan (1988); Afrianto dan

Liviawaty (1989); Regenstein dan Regenstein (1991); Moeljanto (1992);

Adawyah (2007) dan Irianto dan Giyatmi (2009), faktor-faktor yang

mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi:

1) Bahan bakar

Jenis bahan bakar yang digunakan sebaiknya memenuhi tiga syarat, yaitu:

keras, tidak mudah terbakar, tidak mengandung resin, dapat menghasilkan

asap dalam jumlah besar dalam waktu lama. Jenis bahan bakar yang banyak

digunakan di Indonesia ialah kayu turi, jati, bakau, serbuk gergaji, merang,

ampas tebu, tempurung dan sabut kelapa.

2) Mutu dan volume asap

Mutu dan volume asap tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Sebaiknya

digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan

unsur fenol dan asam organik yang cukup tinggi dan lambat terbakar. Volume

asap yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan asap yang bersifat

bakterisidal dan asap yang dihasilkan harus bersih dari kotoran-kotoran.

3) Suhu ruang pengasapan

Suhu ruang pengasapan yang rendah akan menghasilkan asap yang ringan

sehingga volume asap yang melekat pada ikan menjadi lebih banyak dan

merata. Jika suhu ruang pengasapan tinggi, maka permukaan terluar tubuh

ikan akan menjadi cepat kering dan mengeras, sehingga penguapan air

terhalang dan proses pembusukan masih mungkin terjadi pada bagian dalam

daging ikan.

4) Kelembaban udara ruang pengasapan

Kelembaban dalam ruang tertutup akan meningkat seiring dengan semakin

(37)

rendah akan menyebabkan cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap,

proses pengasapan lebih cepat sehingga aktivitas bakteri penyebab kebusukan

dan ketengikan dapat segera dihambat. Kelembaban awal sebesar 90% akan

memaksimalkan penyerapan asap, tetapi kelembaban akhir 70% banyak

digunakan karena pada kondisi tersebut terjadi penyerapan asap yang

maksimal dengan kejadian case harderning yang paling minimal. 5) Sirkulasi udara

Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan asap

yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan selama

proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan

kontinyu sehingga partikel asap yang menempel menjadi lebih banyak dan

merata.

6) Lama pengasapan

Lama pengasapan dapat mempengaruhi nilai gizi ikan dan umur simpannya.

Proses pengasapan dan pengeringan dapat mengurangi kandungan beberapa

vitamin dalam ikan seperti A, D, B dan juga mempengaruhi turunnya nilai

ketersediaan asam amino. Ikan asap yang diasapi dengan metode pengasapan

dingin menggunakan suhu 30 oC dan waktu pengasapan minimal 24 jam dapat disimpan selama dua minggu. Daya bakterisidal juga tergantung dari lama

pengasapan yang dilakukan.

2.4.3 Jenis sumber asap

Pemilihan jenis kayu yang digunakan harus benar-benar memperhatikan

bentuk dan asalnya, misalnya apakah serbuk kayu yang digunakan berasal dari

jenis kayu keras atau kayu lunak. Kadar air yang tinggi dalam kayu akan

menurunkan kadar fenol dan meningkatkan senyawa karbonil serta flavor produk

menjadi lebih asam. Ukuran partikel kayu juga harus diperhatikan, jika terlalu

besar akan mengurangi luas permukaan kontak kayu dengan panas sehingga

proses pirolisis kurang sempurna (Yudono et al. 2007). Penggunaan serbuk

gergaji untuk mengasapi akan menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas

tinggi. Api pada serbuk gergaji tidak mudah terkena udara sehingga serbuk gergaji

akan membara dan tidak terbakar. Hal ini akan menyebabkan ikan yang diasapi

(38)

17

yang dihasilkan menjadi lebih panas dengan asap yang lebih sedikit sehingga

terdapat kemungkinan ikan akan gosong bukan terasapi (Njai 2000).

Kayu keras (hard wood) banyak mengandung selulosa, lignin, dan

hemiselulosa, contohnya tempurung kelapa, kayu turi, kayu mahoni, jati dan

bengkirai. Jenis kayu tersebut sebagian memang cukup mahal dan banyak

digunakan untuk pembuatan industri mebel, tetapi dalam pengolahan ikan asap

dapat digunakan limbah dari jenis kayu tersebut sehingga harga dapat ditekan.

Jenis kayu yang banyak mengandung selulosa adalah yang terbaik karena

menghasilkan mutu asap yang baik dan akan mempengaruhi mutu produknya juga

(BI 2009).

Bahan-bahan berbagai jenis limbah kayu dapat digunakan sebagai bahan

pengasap. Kayu yang mengandung resin atau damar yang tinggi memberi rasa

tidak enak pada ikan yang diasap, oleh karena itu limbah kayu dari pohon yang

memiliki daun lebar yang lebih sering digunakan. Kayu dari pepohonan konifer,

kayu lunak, lumut dan daun dapat meninggalkan rasa yang tidak dikehendaki pada

ikan dan tidak disarankan untuk menggunakan kayu dari pohon fir, spruce,

cemara atau cedar (Snyder 1996; JICA 2008).

Jenis kayu yang apabila dibakar menghasilkan asap yang banyak namun

sisa pembakarannya sedikit, cocok digunakan sebagai bahan pengasap. Jenis-jenis

kayu yang dipilih untuk bahan pengasap pada kenyataannya berbeda dari satu

daerah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, kayu pohon cherry, oak, kayu

pohon maple, beech, white birch, chestnut banyak digunakan di Jepang, namun di

negara lain kayu-kayu dari pohon walnut, birch, poplar, elm, light oak, alder,

hickorybanyak digunakan. Kombinasi jenis kayu yang berbeda dapat digunakan

untuk menciptakan aroma asap tertentu. Kayu buah seperti apel, cherry dan pir

akan menghasilkan asap dengan aroma manis. Banyak pengusaha pengasapan

lebih memilih mencampur kayu keras dan kayu buah (JICA 2008; Sullivan 2009;

Snyder 1996).

Kayu yang digunakan untuk menghasilkan asap harus kering dan bebas

dari tanah, debu, bahan-bahan berbahaya seperti pengawet kayu dan cat. Serbuk

kayu yang basah atau berjamur tidak boleh digunakan, walaupun begitu

(39)

lembab lebih dikehendaki (Codex Alimentarius 1979). Lontar, inti palem, bongkol

jagung dan sabut kelapa dapat digunakan sebagai bahan bakar jika kayu menjadi

langka (Berkel et al. 2004).

2.5 Metode Pengasapan

Metode pengasapan termasuk salah satu metode pengawetan produk

perikanan yang paling tua. Cara melakukan pengasapan banyak mengalami

perkembangan mulai dari metode tradisional hingga modern. Pemilihan metode

pengasapan yang dilakukan akan bergantung pada tujuan produk akhir yang

dikehendaki dan sumber daya yang ada di lingkungan tempat pengasapan.

Beberapa metode pengasapan yang umum dilakukan di Indonesia antara lain ialah

metode pengasapan panas, dingin dan cair.

2.5.1 Metode pengasapan panas

Pengasapan panas adalah proses dimana ikan diasapi dengan suhu paling

tidak 70 oC sehingga daging menjadi matang selain terkena asap. Lapisan protein larut garam yang disebut pellicle akan terbentukpada permukaan daging selama

proses. Lapisan ini menyerap sebagian besar antioksidan dan komponen

bakteriostatik dari asap. Penghalang terhadap invasi bakteri terbentuk pada tahap

berikutnya setelah pengerasan (Lyhs 2002). Kebanyakan ikan asap yang dijual di

pasaran saat ini ialah ikan yang diasapi dengan cara panas (Spira 2007). Ikan akan

menjadi matang selama proses dan produk dapat dimakan tanpa pemasakan lebih

lanjut (Whittle & Howgate 2000).

Suhu asap pada beberapa produk tertentu dapat ditingkatkan secara

bertahap menjadi 95 oC. Pengasapan ini seringkali dikombinasikan dengan penggaraman dan pengeringan yang lebih lama (Whittle & Howgate 2000). Suhu

internal produk pada pengasapan panas mencapai 71,12 oC atau lebih tinggi. Tergantung dari produk yang diinginkan maka proses pengasapan umumnya

berlangsung selama 6-15 jam. Waktu pemasakan yang lebih singkat akan

menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi (Crapo 2000).

2.5.2 Metode pengasapan dingin

Ikan yang melalui proses pengasapan dingin didefinisikan sebagai ikan

(40)

19

koagulasi protein yang tidak sempurna (Oyelese 2006). Proses pembentukan

pellicle sebagai hasil denaturasi protein selama penggaraman, sama pentingnya

dengan pengasapan panas (Lyhs 2002). Pengasapan dingin di Kanada pada

umumnya dilakukan pada suhu 21,11-37,79 oC. Perhatian yang khusus perlu dilakukan untuk menjamin agar bakteri tidak dapat tumbuh pada makanan yang

diasap mengingat suhu pada pengasapan dingin yang sangat rendah (Traeger

2008). Perbedaan mendasar antara metode pengasapan panas dan dingin tersaji

pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin

Metode Pengasapan Karakteristik Produk

Pengasapan dingin Suhu tidak pernah meningkat hingga tahap yang dapat memodifikasi kandungan protein atau mematangkan daging (maksimum 30 oC)

Pengasapan dapat berlangsung selama 4-6 minggu Metode ini biasanya digunakan untuk jenis ikan yang hidup pada iklim sedang karena suhu yang tinggi akan dengan mudah mendenaturasi proteinnya. Hal ini tidak termasuk bagi jenis ikan yang hidup di daerah tropis Pengasapan panas Pengasapan dengan suhu sedang dilakukan pada suhu

30-50 oC, pengasapan dengan suhu tinggi dilakukan pada suhu hingga 80 oC

Pengasapan dapat berlangsung selama 3-8 jam Pengaturan suhu di ruang pengasapan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk menghindari produk menjadi terbakar dan hangus

Pada negara berkembang, faktor curing yang lebih sering digunakan ialah karena panas bukan asapnya Pengasapan panas menghasilkan daging yang lebih kokoh dan mudah mengelupas dibandingkan pengasapan dingin, tetapi lebih lembab dari daging hasil pemanggangan

Biasanya ikan yang diasapi panas dipotong menjadi bentuk kubus, potongan, atau serpihan tebal daripada dalam bentuk irisan, yang dapat hancur jika dipotong terlalu tipis

Sumber: Patterson (2004)

Suhu ikan pada metode pengasapan dingin tidak boleh melebihi tahap

dimana koagulasi protein terjadi. Pengasapan dingin berarti mengasapi ikan pada

suhu dimana produk tidak menunjukkan tanda-tanda koagulasi protein akibat

panas. Ada kemungkinan selama pengasapan dingin suhu daging ikan melebihi

(41)

Sumber lain menyatakan bahwa pada pengasapan dingin suhu pengasapan

tidak boleh melebihi 30 oC dan ikan belum matang benar. Ikan dari perairan beriklim sedang membutuhkan suhu melebihi 30 oC agar proses bisa mulai mematangkan ikan terutama jika terdapat kandungan garam. Pengasapan dingin

dengan waktu yang lebih lama menyebabkan ikan menjadi keras, terutama sebagai

akibat dari pengeringan yang dikenal sebagai hard smoking atau hard cure

(Venugopal 2006; Whittle & Howgate 2000). Pengasapan dingin dapat

berlangsung antara 16 jam hingga7 hari bahkan ada yang mencapai 3 minggu

tergantung dari produk akhir yang diinginkan (Crapo 2000; JICA 2008).

2.5.3 Metode pengasapan cair

Aroma asap dalam metode ini dihasilkan tanpa melalui proses pengasapan,

melainkan dengan penambahan cairan bahan pengasap (smoking agent) ke dalam

produk. Bahan baku ikan direndam dalam cuka kayu (wood acid) yang didapat

dari hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang

ditambahi pewangi kayu yang hampir sama dengan aroma asap, setelah itu ikan

dipanaskan dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan pengasap ke

dalam ikan dapat dilakukan melalui penuangan langsung, pengolesan atau

penyemprotan. Keuntungan proses ini ialah tidak memerlukan ruang tempat

pengasapan atau alat pengasap, namun aroma produk yang dihasilkan lebih rendah

dari aroma produk yang diasapi dengan proses pengasapan sesungguhnya (JICA

2008).

2.6 Tahap-tahap Pengasapan

Lima tahap dasar yang terdapat dalam proses pengasapan ikan secara

umum yaitu pembersihan, curing, pengeringan, pengasapan dan penyimpanan

(Snyder 1996). Metode yang digunakan akan memiliki beberapa persamaan,

contohnya yaitu ikan pada umumnya diasapi dalam ruang tertutup dengan waktu

dan suhu pengasapan beragam (Sullivan 2009). Bentuk produknya bervariasi,

yaitu pengasapan ikan dalam bentuk utuh, tanpa kepala dan jeroan, telah dibelah

punggungnya, telah difilet dan lain sebagainya (JICA 2008). Ikan kemudian

diasapi dalam ruang asap dengan waktu dan suhu pengasapan yang beragam. Ikan

(42)

21

yang digunakan (Sullivan 2009). Tahap-tahap pengasapan secara umum dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Proses produksi ikan asap secara umum. (JICA 2008)

2.6.1 Pemilihan bahan baku

Ikan asap atau produk perikanan harus memiliki kualitas yang baik,

dipersiapkan dengan baik dan dikemas sehingga tetap menarik dan aman untuk

dikonsumsi. Bahan baku yang akan diolah menjadi ikan asap ialah ikan segar atau

ikan beku yang layak jual. Bahan baku dengan kualitas yang buruk akan

menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas yang buruk juga (Codex

Alimentarius 1979).

Bahan mentah beku

Thawing

Pemotongan

Penyiangan

Pencucian

Penggaraman

Pencucian

Pengeringan

Pengasapan

(43)

2.6.2 Thawing

Ikan dicairkan terlebih dahulu dengan air mengalir atau dalam suatu

wadah berisi air bila mengunakan bahan baku yang dibekukan. Hal penting dalam

proses pencairan ini ialah ikan tetap dijaga dalam keadaan setengah beku untuk

keperluan proses selanjutnya (JICA 2008).

2.6.3 Pemotongan

Ikan dapat diasapi secara utuh, dipotong atau difillet. Semakin luas daerah

permukaan ikan maka akan semakin banyak jumlah partikel asap yang dapat

diserap selama pengasapan dan produk dapat kering dengan lebih baik (Berkel et

al. 2004).

2.6.4 Penyiangan

Proses ini sama dengan proses penyiangan yang dilakukan terhadap

produk ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Bagian dalam ikan harus

dikeluarkan dengan hati-hati agar tidak merusak penampilan fisik produk (JICA

2008). Ikan dibersihkan sesegera mungkin setelah ditangkap. Sisik ikan

dipisahkan dan dibuang isi perutnya termasuk ginjal dan tulang rangka jangan

dibuang agar bentuk tetap terjaga kecuali akan dibuat fillet (Snyder 1996).

2.6.5 Penggaraman

Garam dapat ditambahkan dengan cara injeksi, penggaraman kering atau

perendaman. Dua cara penggaramanyang disebutkan terakhir merupakan cara

yang paling banyak diadopsi oleh industri (Salan et al. 2006). Proses ini pada

dasarnya sama dengan produk ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Produk yang

mengandung tingkat keasinan tinggi cenderung tidak disukai khususnya untuk

masyarakat Jepang sehingga tingkat keasinan produk akhir perlu dibatasi dalam

rentang 2,0-2,5% (JICA 2008).

Proses penggaraman memegang peranan penting pada produk ikan asap.

Garam dapat menyebabkan denaturasi permukaan protein dan bersama

pengeringan, protein yang terdenaturasi membentuk lapisan seperti kulit pada

permukaan produk yang disebut pellicle. Lapisan ini melindungi bagian dalam

ikan dan menjaga agar aroma asap tetap berada di dalam ikan (Lyhs 2002).

(44)

23

mencucinya dengan air bersih karena garam dapat membentuk lapisan keras yang

tidak dapat ditembus selama pengasapan (Berkel et al. 2004). Waktu

penggaraman berdasarkan bahan baku tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku

Ukuran Ikan Segar

Pengeringan tidak diperlukan pada beberapa proses pengasapan tertentu

tetapi jika permukaan ikan masih mengandung kadar air yang tinggi maka hal ini

dapat mengakibatkan produk akhir menjadi tidak menghasilkan warna khas ikan

asap yaitu warna kuning kecoklatan (amber) (JICA 2008). Ikan biasanya

dipanaskan terlebih dahulu selama 30 menit sebelum dilakukan pengasapan.

Sirkulasi udara dan kelembaban akan mempengaruhi waktu proses dan

penggunaan kipas akan mempercepat proses pengeringan (Snyder 1996). Ikan

yang diasapi dengan cara panas sebelum diasapi sebaiknya dilakukan proses

pengeringan tambahan terlebih dahulu. Pengeringan dilakukan dengan cara

meningkatkan suhu secara perlahan untuk memperkuat kulit kepala dan tubuh

dengan mengeringkan dan mengeraskan sehingga dapat menyangga berat dari

tubuh ikan yang digantung selama pengasapan cara panas (Codex Alimentarius

1979).

2.6.7 Pengasapan

Tahap berikutnya ialah melakukan pengasapan sesuai dengan tujuan

pembuatan produk asap yaitu pengasapan dingin (cold smoking) atau pengasapan

panas (hot smoking). Ikan diletakkan di dalam ruang atau alat pengasapan.

Tumpukan kecil bara ditumpuk di atas plat pemanas untuk menimbulkan api

kecil. Api dijaga agar tidak menyala terlalu besar. Lapisan bara ditutup dengan

Gambar

Gambar 1  Alur kerangka pemikiran.
Tabel 1  Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang
Tabel 2  Komposisi kimia ikan pari
Tabel 4  Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin
+7

Referensi

Dokumen terkait