• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Karakteristik Kimia

Sampel-sampel ikan asap dianalisis beberapa karakteristik kimianya. Analisis tersebut meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat) untuk mengetahui komponen penyusun dasar, kandungan total fenol untuk mengetahui kandungan senyawa fenolik sebagai salah satu senyawa yang penting dalam pengasapan serta kandungan garam dan asam amino bebas sebagai komponen penyusun flavor nonvolatil yang penting dalam produk ikan asap. Doe (1998) menyatakan bahwa reaktifitas kimia komponen asap tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kandungan nutrisi produk secara keseluruhan terutama untuk ikan yang hanya diasapi dengan intensitas pengasapan ringan. Hasil tabulasi analisis proksimat, total fenol dan garam tersaji pada Tabel 19.

Tabel 19 Hasil analisis proksimat, total fenol dan garam empat jenis ikan asap

Parameter Ikan fufu Ikan salai Ikan kayu Ikan pe

Kadar air (%) 59,23b 17,34c 17,24c 76,44a Kadar abu (%) 2,21c 5,55a 3,55b 0,75d Kadar lemak (%) 0,86c 5,87a 2,12b 1,01c Kadar protein (%) 35,45b 68,25a 69,12a 20,37c Kadar karbohidrat (%) 2,26b 2,99b 7,98a 1,43b Kadar total fenol (ppm) 34,64c 42,35b 31,34d 59,34a Kadar garam (%) 0,11d 0,27b 0,23c 0,29a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% 4.2.1 Kadar air

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan pe memiliki kadar air sebesar 76,44%, ikan fufu 59,23%, ikan salai 17,34% dan ikan kayu 17,24%. Kadar air ikan pe menurut SNI (2009) belum memenuhi persyaratan kadar air yang ditentukan yaitu maksimal sebesar 60%. Hasil Anova (Lampiran 3) menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 3) menunjukkan bahwa ikan fufu dan ikan pe memiliki kadar air yang berbeda nyata sementara ikan salai dan ikan kayu tidak berbeda nyata tetapi kadar air ikan salai dan ikan kayu berbeda nyata dengan ikan fufu dan ikan pe pada taraf 5%.

Perbedaan kadar air yang terjadi antara lain dipengaruhi oleh proses pengasapan yang dilakukan terhadap masing-masing jenis ikan. Ikan pe dan fufu memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada ikan salai dan ikan kayu karena

66

kedua ikan asap ini diasapi dengan metode pengasapan panas. Kedua ikan ini diasapi dengan waktu lebih singkat dan suhu lebih tinggi dibandingkan ikan salai dan kayu. Ikan pe diasapi dengan waktu selama 30 menit sedangkan ikan fufu diasapi selama 4 jam, ikan salai 24 jam dan ikan kayu minimal 7 hari. Proses pengasapan ikan pe tentu saja akan menghasilkan produk ikan asap dengan kadar air yang masih tinggi jika dilihat dari waktu pengolahannya. Menurut Crapo (2000), waktu pengolahan ikan asap yang lebih pendek akan menghasilkan produk dengan kadar air yang masih tinggi. Ikan salai dan ikan kayu diasapi dengan metode pengasapan dingin. Kandungan air hasil proses pengasapan dinginsecara umum cukup rendah atau produk akhirnya cukup keras (JICA 2008).

Kadar air produk juga akan dipengaruhi oleh kadar air awal bahan bakunya dalam hal ini kadar air jenis ikan yang digunakan. Daging ikan pari (Mardiah et al. 2008) secara umum memiliki kandungan air yang lebih tinggi (79,10%) dibandingkan ikan cakalang (70,58%) (USDA 2009) dan ikan lele 78,1% (Suprapti 2000) tergantung dari banyak faktor. Air pada ikan asap hilang karena adanya penguapan yang disebabkan oleh pengeringan di udara dan asap serta terjadinya drip. Kehilangan air akan tergantung pada sifat permukaan dan bagian ikan yang terkena panas, waktu dan suhu pemanasan, serta laju dan kelembaban udara dan asap (Doe 1998). Pengaruh pengeringan juga berhubungan dengan difusi air dari dalam produk asap ke bagian luarnya (Rusz & Miller 1977).

Ikan kayu memiliki kadar air yang sedikit lebih rendah dari ikan salai walaupun secara statistik tidak signifikan. Kadar air produk kering dipengaruhi oleh kadar air lingkungan karena permukaan sangat kering dan menjadi higroskopis sehingga kemungkinan produk ini dapat menyerap kembali air dari lingkungan sekitar selama proses preparasi atau penyimpanan sampel. Ikan kayu (katsuobushi) pada penelitian Giyatmi et al. (2000) juga menyerap kembali uap air yang berada di sekitarnya selama proses fermentasi.

4.2.2 Kadar abu

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan salai memiliki kadar abu sebesar 5,55%, ikan kayu 3,55%, ikan fufu 2,21% dan ikan pe 0,75%. Hasil Anova (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 4)

menunjukkan bahwa seluruh jenis ikan asap memiliki kadar abu yang berbeda nyata.

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik dan menggambarkan jumlah total mineral dalam bahan. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Mineral dapat berupa garam organik dan garam anorganik. Mineral kadang-kadang berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik dan sulit untuk ditentukan jumlahnya dalam bentuk murni (Harbers & Nielsen 2003; Sudarmadji et al. 1996; Winarno 2008).

Kadar abu ikan asap dipengaruhi oleh adanya kandungan mineral-mineral dalam bahan baku ikan asap atau penambahan bahan aditif yang mengandung mineral tertentu selama pengolahan seperti pada saat proses penggaraman. Kadar abu dalam penelitian ini lebih dipengaruhi oleh kandungan mineral masing-masing bahan baku dibandingkan dengan tahap pengolahan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penambahan garam-garam mineral tertentu seperti melalui proses penggaraman atau penambahan bahan aditif tertentu pada seluruh tahap prosedur pengasapan sampel. Kandungan abu alami dalam ikan dipengaruhi oleh spesies, umur, fase pertumbuhan, musim, waktu tangkap, lingkungan dan faktor internal atau eksternal lainnya. Espe et al. (2002) menyatakan bahwa pada umumnya komposisi kimia (berat basah) dari filet asap yang ditelitinya akan mencerminkan nilai komposisi kimia bahan baku filet segarnya.

Menurut Hassan (1988), selama proses pengasapan dingin dengan waktu 6 atau 12 jam, terjadi kehilangan kadar air yang besar dan kehilangan kandungan lemak yang rendah bersamaan dengan peningkatan jumlah protein dan abu yang rendah. Ikan-ikan yang diasapi menggunakan metode pengasapan dingin dalam penelitian ini memiliki kandungan abu lebih tinggi daripada ikan yang diasapi dengan metode pengasapan panas.

4.2.3 Kadar Lemak

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan salai memiliki kandungan lemak sebesar 5,87%, ikan kayu 2,12%, ikan pe 1,01% dan ikan fufu 0,86%. Hasil Anova (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 5),

68

menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asap memiliki kadar lemak yang berbeda nyata.

Kandungan lemak ikan salai yang tinggi dipengaruhi oleh metode pengolahan dan kandungan lemak alami dari bahan baku yang digunakan. Komposisi kimia lemak dalam ikan lebih beragam dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh daripada lemak dan minyak lain yang terkandung secara alami. Variasi jumlah kandungannya dipengaruhi oleh tempat hidup, musim, sumber makanan, aktivitas, fase pertumbuhan (Bligh et al. 1988). Kandungan lemak ikan lele lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan cakalang menurut USDA (2009) yaitu 1,01 % dan pari menurut Mardiah et al. (2008) yaitu 0,42%. Kandungan lemak lele dumbo dapat mencapai 8,4% (Suprapti 2000). Bahan baku segar yang digunakan dalam pengasapan secara signifikan akan mempengaruhi hilangnya komponen nutrisi, semakin tidak berlemak ikan maka kehilangan lemak akan lebih tinggi (Espe et al. 2002).

Ikan salai memiliki permukaan daging paling berminyak dan mengkilap dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Hal ini menandakan bahwa ikan salai memiliki kandungan lemak yang masih tinggi pada permukaan dagingnya. Perbedaan lemak yang terdapat pada beberapa bagian tubuh ikan juga akan mempengaruhi kadar lemak yang terukur (BBRP2B 1984). Kadar lemak yang cukup tinggi juga terukur pada penelitian Huda et al. (2010) terhadap ikan baung (Macrones nemurus) dan lais (Cryptopterus micronema) asap dimana kandungan lemak yang sangat tinggi yaitu 32,06% (bb) terukur pada ikan baung dan 8,02% (bb) untuk ikan lais.

Tingginya lemak ikan salai juga dapat dipengaruhi oleh komposisi pakan yang diberikan karena ikan salai berasal dari lele dumbo yang dibudidaya sedangkan ketiga jenis ikan asap lainnya menggunakan bahan baku hasil tangkapan alami. Birkeland et al. (2007) meneliti mengenai filet salmon asap dan menyatakan bahwa komposisi filet ikan salmon sangat dipengaruhi oleh komposisi pakan yang diberikan dan terdapat korelasi positif antara kandungan lemak dari makanan dengan jumlah lemak yang tersimpan dalam filet. Pengukuran kandungan lemak juga akan dipengaruhi oleh kandungan air yang

terukur dan hal ini dipengaruhi oleh sumber makanan yang diperoleh ikan yang berlemak (Doe 1998).

Lemak dan air akan keluar dari ikan selama proses pengasapan sehingga terjadi susut fisik (physical loss) lemak (termasuk asam lemak essensial) dan nutrisi mikro lainnya (Kabahenda et al. 2009). Lama pengasapan dapat mempengaruhi komposisi nutrisi ikan terutama kadar lemaknya. Suhu yang tinggi selama proses pengasapan ikan dapat menurunkan kadar asam lemak omega-3 ikan (BI 2009). Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi pada ikan juga mengakibatkan ikan rentan terhadap proses oksidasi selama proses pengeringan dan pengasapan sehingga manfaat nutrisi yang berasal dari asam lemak ini menjadi berkurang (Doe 1998).

Kadar lemak ikan pe dan ikan fufu yang diasapi dengan metode pengasapan panas terukur lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya kandungan air yang terdapat dalam kedua jenis ikan tersebut sehingga lemak yang terukur nilainya lebih rendah dibandingkan dengan ikan salai atau kayu yang diasapi dengan waktu yang lebih lama (pengasapan dingin). Kandungan lemak lebih dipengaruhi oleh metode pengolahan yang dilakukan dibandingkan karakteristik awal bahan bakunya (Birkeland et al. 2007). Berkel (2004) menyatakan bahwa pengasapan panas menghasilkan produk dengan kandungan lemak yang rendah karena lemak akan meleleh keluar. Kehilangan kadar lemak dan air yang besar juga dapat terjadi karena denaturasi protein pada jaringan dalam tingkatan yang dapat menyebabkan penurunan daya ikat air dan sifat emulsifikasi protein (Hassan 1988).

Proses pengeringan ikan salai yang dilakukan sebelum pengasapan lebih lama (selama 3 jam 45 menit) dibandingkan ikan kayu (15 menit), sedangkan ikan fufu dan ikan pe tidak melalui tahap pengeringan pendahuluan. Pengeringan dapat membentuk suatu lapisan mengkilat seperti kulit yang akan terbentuk pada permukaan ikan. Lapisan ini melapisi permukaan dan menahan atau mencegah kehilangan cairan alami selama pengasapan dan membuat penampakan produk akhir menjadi lebih baik (Snyder 1996; Crapo 2000).

70

4.2.4 Kadar protein

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kadar protein sebesar 69,12%, ikan salai 68,25%, ikan fufu 35,45% dan ikan pe 20,37%. Hasil Anova (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 6) menunjukkan bahwa ikan fufu dan ikan pe memiliki kadar protein yang berbeda nyata sedangkan ikan salai dan ikan kayu memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata. Kadar protein ikan salai dan ikan kayu tersebut berbeda nyata dengan ikan fufu dan ikan pe pada taraf 5%.

Kadar protein dari keempat sampel ikan asap bervariasi menurut jenisnya. Protein merupakan nutrisi penting yang terdapat pada ikan dalam jumlah yang tinggi. Molekul protein tersusun dari berbagai jenis asam amino. Kandungan protein akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor internal seperti jenis ikan, fase pertumbuhan, jenis kelamin dan lain sebagainya. Menurut Chung et al. (2002) adanya perbedaan dalam nilai proksimat dapat disebabkan oleh adanya perbedaan spesies.

Faktor eksternal seperti lingkungan tempat ikan hidup, musim, cara tangkap, penyimpanan, pemanasan, cara pengolahan juga berpengaruh terhadap kadar protein. Penelitian Hultmann et al. (2004) terhadap daging asap menunjukkan bahwa jumlah protein larut garam ternyata akan berkurang sebagai akibat dari pengasapan. Protein daging yang terlarut berperan penting bagi terbentuknya ikatan silang tiga dimensi dan gelasi yang terjadi selama pemanasan campuran daging. Sifat gelasi juga menentukan tingkat retensi air dan lemak selama pemasakan dan sebagai akibatnya akan mempengaruhi produk yang dihasilkan (Sebranek 2009). Pengasapan panas pada suhu tertentu akan mengakibatkan denaturasi dan degradasi protein serta menurunkan fungsi dari asam amino esensial. Hal ini bergantung pada jenis ikan dan protein yang terkandung di dalamnya (Opstvedt 1988; Hassan 1988; Kabahenda et al. 2009).

Tinggi atau rendahnya nilai protein yang terukur dapat dipengaruhi oleh besarnya kandungan air yang hilang (dehidrasi) dari bahan. Kadar protein yang terukur pada ikan kayu lebih tinggi daripada ikan salai, ikan fufu dan ikan pe. Perbedaan nilai yang terjadi tidak hanya tergantung pada kadar protein awal bahan

baku, tetapi juga pada metode pengasapan yang digunakan. Ikan kayu diasapi dengan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Nilai protein yang terukur akan semakin besar jika jumlah air yang hilang semakin besar. Kandungan protein yang terukur tergantung pada jumlah bahan-bahan yang ditambahkan dan sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan air (Sebranek 2009). Persentase protein total, lemak dan abu pada ikan nila yang diasapi tanpa digarami meningkat karena hilangnya air selama pengasapan (Yanar et al. 2006).

Kadar protein ikan pe yang rendah dapat juga disebabkan oleh senyawa fenolik yang banyak terkandung di dalamnya. Senyawa fenolik dapat mempengaruhi kadar protein karena dapat bereaksi dengan asam amino yang mengandung sulfur (Rusz dan Miller 1977). Senyawa fenol cenderung bereaksi dengan kelompok sulfhidril protein. Reaksi tersebut dapat mengakibatkan protein terdenaturasi dan menyebabkan turunnya nilai protein, agregasi protein dan pembentukan ikatan baru (Dwiari et al. 2008; Opstvedt 1988). Protein dan asam amino dalam makanan bereaksi dengan berbagai komponen asap yang berbeda. Karbonil pada asap bereaksi dengan asam amino sehingga menyebabkan terjadinya pencoklatan. Penurunan pada kandungan gugus amino dan asam amino lisin disebabkan oleh reaksi dari fenol dan komponen karbonil (Opstvedt 1988; Doe 1998).

4.2.5 Kadar karbohidrat

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kandungan karbohidrat sebesar 7,98%, ikan salai 2,99%, ikan fufu 2,26% dan ikan pe 1,43%. Hasil Anova (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar karbohidratnya. Hasil uji LSD (Lampiran 7) menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kadar karbohidrat yang berbeda nyata, sementara ketiga jenis ikan asap lainnya tidak berbeda nyata.

Kadar karbohidrat yang terukur pada sampel ikan asap dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat alami bahan baku yang digunakan dan proses pengasapan yang dilakukan. Doe (1998) meneliti kandungan nutrisi proksimat ikan asap tradisional India dan menemukan bahwa hasilnya sangat beragam tergantung dari spesies. Karbohidrat pada umumnya merupakan kandungan nutrisi yang terdapat

72

dalam jumlah kecil (0,5-1,5%) pada ikan segar (Hadiwiyoto 1993). Hal ini seringkali membuat kadar karbohidrat diabaikan, walaupun begitu karbohidrat memiliki konsekuensi penting terhadap mutu ikan selama pengolahan. Karbohidrat dalam otot ikan sebagian besar adalah glikogen yang merupakan polimer glukosa. Kandungannya bervariasi menurut musim dan menurun drastis setelah ikan mati (Irianto & Giyatmi 2009). Penelitian lain mengenai ikan kayu jarang menghitung atau mengukur kandungan karbohidrat. Penelitian tentang arabushi yang dilakukan oleh Giyatmi (1998) dan Sunahwati (2000) jika dihitung kadar karbohidratnya (by difference) maka kandungan karbohidratnya bervariasi yaitu sebesar 5,5% dan 12,24%. Penelitian Huda et al. (2010) terhadap ikan baung (Macrones nemurus) dan lais (Cryptopterus micronema) asap menunjukkan kandungan karbohidrat yang sangat tinggi yaitu 14,92% (bb) untuk ikan baung dan 26,53% (bb) untuk ikan lais.

Kandungan karbohidrat pada produk perikanan akan dipengaruhi oleh proses pengolahan disamping kandungan awalnya dalam ikan. Karbohidrat dapat terurai menjadi bentuk-bentuk senyawa yang lebih sederhana. Produk dekomposisinya antara lain ialah glukosa, gula fosfat, asam piruvat dan asam laktat (Irianto & Giyatmi 2009). Pengurangan kandungan air yang terjadi dapat berpengaruh terhadap hasil pengukuran nilai karbohidrat sama seperti nilai kadar proksimat lainnya.

4.2.6 Kadar total fenol

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan pe memiliki kadar total fenol sebesar 59,34 ppm, ikan salai 42,35 ppm, ikan fufu 34,64 ppm dan ikan kayu 31,34 ppm. Hasil Anova (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar fenolnya. Hasil uji LSD (Lampiran 8) menunjukkan bahwa keempat jenis ikan asap memiliki kandungan fenol yang berbeda nyata pada taraf 5%.

Senyawa fenol dan turunannya banyak terkandung di dalam asap yang berasal dari kayu. Jumlah kadar fenol akan dipengaruhi oleh proses pengolahan seperti lamanya waktu pengasapan, komposisi asap, jarak sumber asap dengan bahan baku, ketebalan asap, jenis kayu dan kondisi pengasapan lainnya (Toth & Potthast 1984; Rusz & Miller 1977). Kandungan fenol ikan pe yang tinggi dapat

disebabkan oleh jarak antara bahan baku dan sumber asap yang lebih dekat dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Toth dan Potthast (1984) dalam penelitiannya terhadap daging asap melaporkan jumlah fenol yang berbeda dengan kisaran mulai dari sangat rendah (0,06 mg/kg) hingga sangat tinggi (5000 mg/kg). Penelitian lain menyatakan kisaran total fenol pada 15 sampel flavor asap komersial mulai dari 0,001 hingga 1,06 mg/ml (Maga 1987).

Kandungan air ikan pe masih sangat tinggi dan penampakan fisik permukaan daging ikan pe masih tampak basah. Fenol pada asap lebih mudah terserap ketika permukaan ikan agak basah. Asap yang lembab akan membentuk lapisan kelembaban pada permukaan produk yang menyebabkan partikel asap menyerap lebih cepat (Berkel 2004). Jumlah senyawa penyusun asap yang dapat diserap oleh ikan tergantung dari derajat kebasahan permukaan dan konsentrasi senyawa penyusun asap yang ada dalam asap (Whittle & Howgate 2000).

Hal senada juga dinyatakan oleh Toth dan Potthast (1984) dan Hassan (1988) dalam penelitiannya. Permukaan ikan yang kering perlahan menunjukkan pengendapan asap yang lebih lambat selama pengasapan dibandingkan dengan permukaan yang basah. Permukaan ikan kayu yang sangat kering kemungkinan menyebabkan penyerapan fenol menjadi tidak maksimal sehingga kandungannya tidak banyak bertambah setelah pengasapan selesai. Permukaan luar ikan yang terlalu kering menyebabkan mengerasnya bagian luar sehingga asap sulit diserap (Codex Allimentarius 1979).

Kandungan fenol produk dengan permukaan yang basah selama periode waktu yang sama ialah 20 kali lebih besar daripada produk yang kering. Komponen volatil lebih mudah diserap oleh asap dalam kelembaban yang lebih tinggi. Bahan kulit yang berbeda dapat membantu penyerapan asap yang cepat atau lambat. Kebasahan kulit yang semakin tinggiakan menyebabkan semakin besarnya jumlah asap yang terserap (Toth & Potthast 1984; Rusz & Miller 1977). Flavor dan aroma yang baik dapat terakumulasi dalam jaringan selama 6 jam pertama pengasapan ketika jaringan permukaan masih basah (Hassan 1988).

Waktu tahap penganginan dan pengasapan pada ruang pengasapan tingkat kedua yang cukup lama menyebabkan waktu pengolahan ikan kayu menjadi lebih lama daripada ikan asap jenis lainnya. Hal ini akan mempengaruhi jumlah fenol

74

yang terkandung dalam ikan kayu. Kandungan fenol dipengaruhi oleh waktu penyimpanan karena fenol sangat sensitif terhadap cahaya, oksigen dan membentuk kompleks dengan logam. Pyrocatechol, resorcinol dan pyrogallol, serta fenol yang memiliki beberapa gugus hidroksi adalah senyawa fenol yang paling sensitif (Sakakibara et al. 1990a; Toth & Potthast 1984). Maga (1987) juga menyatakan hal yang sama, bahwa selama penyimpanan, jumlah fenol bebas secara individu dapat menurun secara dramatis bahkan pada suhu -4 oC sekalipun.

Fenol banyak terdapat di bagian permukaan ikan dibandingkan bagian dalam daging ikan yang diasapi. Komponen asap biasanya menempel pada permukaan ikan asap dan terakumulasi tidak lebih dalam dari 1 mm di bawah kulit selama penyimpanan (Lyhs 2002). Penelitian lain menyatakan bahwa sebagian besar fenol pada bologna asap berada pada lapisan luar sedalam 1-2 mm. Sebanyak 75% fenol yang berada dalam ham diisolasi dari lapisan luarnya. Senyawa penyusun asap lainnya seperti karbonil dan asam kemungkinan dapat berpenetrasi melewati seluruh produk utuh (Maga 1987; Toth & Potthast 1984).

Cara pemotongan ikan yang dilakukan akan mempengaruhi penyerapan asap karena perbedaan ukuran bahan. Ikan salai diasapi secara utuh, ikan fufu diasapi dagingnya secara utuh setelah dipisahkan tulangnya, ikan kayu difilet dagingnya dalam potongan yang besar sedangkan ikan pari sebagai bahan baku ikan pe dipotong-potong terlebih dahulu agar lebih mudah menempatkan dalam alat pengasapnya. Ikan pe memiliki ukuran bahan baku yang lebih kecil daripada ikan-ikan lainnya dan sebagai akibatnya daerah permukaan yang terkena asap lebih besar daripada sampel lainnya. Ikan salai memiliki kandungan fenol yang cukup tinggi karena lebih kecilnya ukuran tubuh dan lebih tipisnya daging ikan lele dibandingkan dengan bahan baku ikan asap lainnya sehingga asap akan lebih banyak bersentuhan dengan permukaan daging ikan lele yang telah dipotong. Daerah permukaan ikan yang semakin besar akan menyebabkan semakin besarnya jumlah partikel asap yang dapat diserap selama pengasapan. Produk asap juga menjadi lebih kering dengan baik (Berkel 2004).

Pengasapan cara panas menggunakan suhu pengasapan lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan cara dingin. Ikan pe dan fufu diasapi dengan cara panas sedangkan ikan salai dan kayu dengan cara dingin. Kandungan fenol

total filet meningkat dua kali lipat setelah menaikkan suhu pengasapan pada penelitian Birkeland et al. (2007) terhadap filet salmon asap. Suhu pada proses pengasapan ikan pe tampaknya mempengaruhi akumulasi total fenol pada ikan asap yang diteliti.

Ikan pari yang menjadi bahan baku ikan pe memiliki kandungan lemak yang lebih rendah daripada bahan baku ikan asap lainnya. Kandungan lemak bahan baku juga ternyata mempengaruhi kemampuan ikan dalam menyerap asap. Rata-rata kandungan fenol total pada ikan dengan kategori lemak tinggi ialah lebih rendah daripada kandungan fenol pada ikan kategori lemak rendah (Maga 1987; Birkeland et al. 2007).

4.2.7 Kadar garam

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwaikan fufu memiliki kandungan garam 0,11%; ikan salai 0,27%; ikan kayu 0,23% dan ikan pe sebesar 0,29%. Hasil Anova (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar garam masing-masing ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 9) menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asap memiliki kadar garam yang berbeda nyata pada taraf 5%.