• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan proses degradasi karet alam menggunakan lindi hitam sebagai bahan tambahan aspal termodifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan proses degradasi karet alam menggunakan lindi hitam sebagai bahan tambahan aspal termodifikasi"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM

MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN

TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Oleh

AGUS FAISAL

F34061267

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DEVELOPMENT OF DEGRADATION PROCESS FOR NATURAL RUBBER USING BLACK LIQUOR AS ADDITIVE MATERIAL FOR MODIFIED-ASPHALT

Ono Suparno, Adi Cifriadi, and Agus Faisal

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone +62 251 8621974, e-mail : ono.suparno@ipb.ac.id

ABSTRACT

One way to improve the usability of natural rubber is by modifying natural rubber, for example by giving a chemical degradation treatment. Degradation of chemical compounds taken with the aid of a polymer chain breakers, in this study used black liquor. Degradation of natural rubber aims to adjust the physical properties of natural rubber in the mechanism of mixing with asphalt to produce a modified asphalt that is expected to improve and enhance the properties of asphalt in its application in road pavement. Chemical degradation pursued through three stages. The first stage is the formation process of latex into solid rubber in the form of crepes. The second stage is the process of rubber degradation using black leachate by using two variations of the treatment, immersion time of rubber in black leachate and drying time. While the third stage is mixing of degraded rubber with asphalt. The variation of immersion time and drying time significantly affected the amount of black liquor absorbed by the rubber, plasticity (Po), and softening point of modified asphalt. The best treatment in this study were treated R7K2 (rubber immersed for 7 hours and dried in the normal time plus 2 hours).

(3)

Agus Faisal. F34061267. Pengembangan Proses Degradasi Karet Alam Menggunakan Lindi Hitam sebagai Bahan Tambahan Aspal Termodifikasi. Di bawah bimbingan Ono Suparno dan Adi Cifriadi. 2010.

RINGKASAN

Salah satu cara untuk meningkatkan kegunaan karet alam adalah dengan memodifikasi karet alam, misalnya dengan memberi perlakuan degradasi secara kimiawi. Degradasi secara kimiawi ditempuh dengan bantuan senyawa pemutus rantai polimer yang dalam penelitian ini digunakan lindi hitam. Lindi hitam yang kaya akan fenol diduga dapat berperan sebagai oksidator yang dapat mengoksidasi karet sehingga karet mengalami perubahan sifat fisik. Dalam penelitian ini, degradasi bertujuan untuk menyesuaikan sifat fisik karet alam dalam mekanisme pencampuran dengan aspal untuk menghasilkan aspal termodifikasi. Modifikasi aspal menggunakan karet alam ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat dari aspal dalam aplikasinya pada perkerasan jalan.

Bahan utama dari penelitian ini adalah lateks yang diambil dari Kebun Percobaan di Ciomas dan aspal jenis Pen 60. Degradasi secara kimiawi ditempuh melalui tiga tahap. Tahap pertama merupakan proses pembentukan lateks menjadi karet padat berbentuk crepe. Tahap kedua adalah proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan menggunakan dua variasi perlakuan, yaitu perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan karet. Tahap ketiga adalah tahap pencampuran karet terdegradasi dengan aspal. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan split plot dengan menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu waktu perendaman karet dalam lindi hitam sebagai petak utama dan waktu pengeringan sebagai anak petak. Variasi waktu perendaman terdiri atas tiga taraf, yaitu 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Variasi waktu pengeringan terdiri atas tiga taraf, yaitu waktu pengeringan normal (T jam), pengeringan normal ditambah 1 jam (T+1), dan pengeringan normal ditambah 2 jam (T+2). Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan menggunakan software SAS.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, variasi waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Jumlah lindi hitam yang terserap berkisar antara 7,84 gram hingga 16,65 gram dengan jumlah lindi hitam terserap tertinggi diperoleh pada perlakuan 7 jam perendaman karet dalam lindi hitam, yaitu 16,65 gram.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, variasi waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap plastisitas awal (Po) karet. Nilai plastisitas awal karet berkisar antara 19 hingga 28,5 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 61. Nilai plastisitas awal terendah diperoleh pada kombinasi variasi perlakuan 5 jam perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan normal ditambah 2 jam dan kombinasi variasi perlakuan 7 jam perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan normal ditambah 2 jam, yaitu 19.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, variasi waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap titik lembek aspal termodifikasi. Nilai titik lenbek berkisar antara 58 hingga 61 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 62. Nilai titik lembek tertinggi diperoleh pada kombinasi variasi perlakuan 3 jam perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan normal, yaitu 61.

(4)

PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM

MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN

TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

AGUS FAISAL

F34061267

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pengembangan Proses Degradasi Karet Alam Menggunakan Lindi Hitam

Sebagai Bahan Tambahan Aspal Termodifikasi

Nama : Agus Faisal

NIM : F34061267

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ono Suparno, STP, MT Adi Cifriadi, M.Si

NIP. 19721203 199702 1 001 NIK 110700367

Mengetahui,

Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti

NIP. 19621009 198903 2 001

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengembangan Proses

Degradasi Karet Alam Menggunakan Lindi Hitam Sebagai Bahan Tambahan Aspal Termodifikasi

adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan

dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Yang membuat pernyataan

Agus Faisal

(7)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Sidoarjo pada tanggal 14 Agustus 1987, dari

ayah Eduar Adam dan ibu Mujayanah. Penulis menyelesaikan pendidikan

dasar di Sekolah Dasar Negeri Mindi 3, Porong pada tahun 2000. Pada tahun

yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri

1 Sidoarjo dan lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidoarjo hingga lulus pada tahun 2006.

Penulis kemudian memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)

dan memilih mayor Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2007. Selama masa perkuliahan, penulis

aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai pengurus pada

tahun 2007/2008 dan Forum Agroindustri Indonesia (FORAGRIN) pada tahun 2008-2010 sebagai

ketua umum. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Sosiologi Umum selama

dua semester pada tahun 2008 hingga 2009 dan asisten praktikum Penerapan Komputer pada tahun

2008. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Kelola Mina Laut, Gresik dan

menyelesaikan laporan Praktek Lapang dengan judul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengendalian

Mutu Produk Ikan Beku di PT. Kelola Mina Laut, Gresikâ€.

Penulis melaksanakan penelitian di Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor dari bulan April

hingga September 2010 dan menyusun skripsi dengan judul â€Pengembangan Proses Degradasi Karet

Alam Menggunakan Lindi Hitam sebagai Bahan Tambahan Aspal Termodifikasiâ€, sebagai salah satu

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengembangan Proses Degradasi Karet Alam Menggunakan Lindi Hitam sebagai Bahan Tambahan Aspal Termodifikasiâ€. Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ono Suparno, STP, MT selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Adi Cifriadi, M.Si selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT selaku penguji yang telah memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Segenap karyawan Balai Penelitian Teknologi Karet (BPTK) Bogor atas bantuan selama masa penelitian terutama Mbak Woro yang selalu bersedia direpotkan oleh penulis.

4. Teman-teman satu penelitian di BPTK : Hanna dan Ucrit atas kerjasama dan suka-duka yang dialami bersama.

5. Teman-teman satu bimbingan Dr. Ono Suparno, STP, MT : Syahrun, Syafiq dan Hanna yang saling memberi semangat dalam melaksanakan penelitian.

6. Keluarga besar TIN 43.

7. Segenap karyawan Departemen TIN dan FATETA, Pak Mul, Pak Anwar, Bu Nina, Teh Yuli, Bu Ratna, Bu Ega, dan lainnya.

8. Segenap keluarga besar penghuni kosan Bara 3 No. 31 yang selalu memberikan kenyamanan kepada penulis selama bertempat tinggal di Bogor.

9. Ibunda tercinta yang selalu memberikan semangat dan doa dalam melaksanakan penelitian ini,

Hontou ni Arigatou Gozaimasu.

10. Teman-teman yang tergabung dalam komunitas Railfans yang selalu memberikan pencerahan dan semangat ketika penulis mengalami kepenatan dalam melakukan penelitian.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL………... iii

DAFTAR GAMBAR………... iv

DAFTAR LAMPIRAN…………... v

I. PENDAHULUAN.………... 1

1.1 LATAR BELAKANG………... 1

1.2 TUJUAN………... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 TANAMAN KARET…….………... 3

2.2 LATEKS……….………... 3

2.3 KARET ALAM………..………... 5

2.4 DEGRADASI KARET ALAM………... 6

2.5 LINDI HITAM…..………..………... 7

2.6 ASPAL DAN ASPAL BERKARET... 8

III. METODE PENELITIAN………... 11

3.1 BAHAN DAN ALAT………... 11

3.1.1. BAHAN... 11

3.1.2. ALAT... 11

3.2 METODE PENELITIAN………... 11

3.2.1. PEMBENTUKAN KARET CREPE... 11

3.2.2. DEGRADASI KARET MENGGUNAKAN LINDI HITAM... 12

3.2.3. PENCAMPURAN KARET DAN ASPAL... 13

3.3 RANCANGAN PERCOBAAN………... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 15

4.1 KARAKTERISASI BAHAN BAKU………... 15

4.1.1. KARET CREPE... 15

4.1.2. LINDI HITAM... 16

4.1.3. ASPAL PEN 60... 16

4.2 DEGRADASI KARET MENGGUNAKAN LINDI HITAM... 16

4.3 PENGARUH PROSES DEGRADASI TERHADAP JUMLAH LINDI HITAM YANG TERSERAP OLEH KARET... 17

4.4 PENGARUH DEGRADASI TERHADAP PLASTISITAS AWAL KARET... 20

4.4 PENGARUH DEGRADASI TERHADAP TITIK LEMBEK ASPAL TERMODIFIKASI... 24

V. SIMPULAN DAN SARAN………...…... 29

5.1 SIMPULAN………... 29

5.2 SARAN………... 29

DAFTAR PUSTAKA………... 30

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah Kerusakan Jalan di Indonesia... 1

Tabel 2. Komposisi Kimia Lateks... 5

Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam... 6

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis... 4

Gambar 2. Struktur Kimia Monomer Karet Alam... 5

Gambar 3. Struktur Ruang 1,4 cis poliisoprena... 6

Gambar 4. Proses Pembentukan Crepe... 11

Gambar 5. Proses Degradasi Menggunakan Lindi Hitam... 12

Gambar 6. Proses Pencampuran Aspal dengan Karet... 13

Gambar 7. Histogram Jumlah Lindi Hitam Terserap... 18

Gambar 8. Histogram Nilai Plastisitas Awal (Po)... 20

Gambar 9. Grafik Hubungan Jumlah Lindi Hitam Terserap dan Plastisitas Awal (Po)... 22

Gambar 10. Mekanisme Reaksi Pemutusan Rantai Poliisopren Melalui Autooksidasi.... 23

Gambar 11. Grafik Hubungan Po dan Waktu Pencampuran Aspal dengan Karet... 24

Gambar 12. Histogram Nilai Titik Lembek... 25

Gambar 13. Grafik Hubungan Po dan Titik Lembek Aspal Termodifikasi... 27

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisis... 32

Lampiran 2a. Data Pengujian... 33

Lampiran 2b. Data Pengujian... 34

Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Jumlah Lindi Hitam Terserap... 35

Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Plastisitas Awal (Po)... 36

Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Titik Lembek... 37

Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Interaksi Jumlah Lindi Hitam Terserap... 38

Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Interaksi Plastisitas Awal (Po)... 39

(13)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan kegunaan karet alam dapat ditempuh dengan memodifikasi struktur karet alam. Salah satu cara untuk memodifikasi sifat karet alam adalah dengan mengubah sifat fisiknya, misalnya dengan memberi perlakuan degradasi. Degradasi karet alam dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu metode mekanis dan kimiawi. Degradasi secara kimiawi seperti yang dilakukan dalam penelitian ini ditempuh dengan bantuan senyawa pemutus rantai polimer. Senyawa yang terkandung dalam lindi hitam diduga dapat mendegradasi karet sehingga karet mengalami perubahan sifat fisik.

Dalam penelitian ini, degradasi bertujuan untuk menyesuaikan sifat fisik karet alam dalam mekanisme pencampuran dengan aspal untuk menghasilkan aspal termodifikasi. Modifikasi aspal menggunakan karet alam ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat dari aspal dalam aplikasinya pada pengerasan jalan.

Pertambahan penduduk di Indonesia yang juga diikuti meningkatnya perkembangan ekonomi sehingga berdampak bertambahnya lalu lintas baik jumlah, beban dan kecepatannya. Untuk itu diperlukan pengerasan jalan yang dapat memenuhi kriteria tersebut, yaitu pengerasan yang dapat menahan beban kendaraan sehingga pengerasan tahan terhadap terjadinya deformasi antara lain alur, gelombang dan lainnya. Tabel 1 menunjukkan jumlah kerusakan jalan di Indonesia.

Tabel 1. Jumlah Kerusakan Jalan di Indonesia

Kondisi Jalan Jumlah (km)

Baik 151.429

Sedang 102.292

Rusak 80.546

Rusak Berat 62.035

Sumber : BPS (2007)

Dari Tabel 1, ditunjukkan bahwa jumlah jalan yang berkategori rusak dan rusak berat adalah 36% dari total jalan di Indonesia pada tahun 2007. Jenis kerusakan utama dari jalan adalah keretakan. Selama ini, jalan di Indonesia belum menggunakan aspal termodifikasi dengan karet alam sehingga cenderung mudah retak. Penggunaan aspal termodifikasi dengan karet alam yang memiliki daya elastisitas tinggi diharapkan dapat meningkatkan kelenturan aspal sehingga menurunkan tingkat kerusakan jalan.

(14)

pada aspal dilakukan dengan menambahkan karet. Apabila aspal termodifikasi ini ditingkatkan penggunaannya maka akan memberikan kontribusi positif terhadap penyerapan hasil produksi karet nasional.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh perendaman karet alam dalam lindi hitam.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tanaman Karet

Karet alam dapat diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis yang menghasilkan getah berupa cairan berwarna putih ketika permukaan kulit pohonnya disadap. Tanaman yang berasal dari negara Brazil ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Karet alam juga dapat dihasilkan dari tanaman lain yaitu Castilla elastica dan Ficus elastica (famili Moraceae),

Funtumia elastica, Dyera sp., dan Landolphia sp. (famili Apocinaceae), Palaquium gutta

(famili Sapotaceae), Parthenium argentatum dan Taraxacum kokbsaghyz (famili Compositae), dan Manihot glaziovii (family Euphorbiaceae). Tanaman karet Hevea brasiliensis merupakan divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledone, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Hevea, dan spesies Hevea brasiliensis. Tanaman tersebut dapat tumbuh pada segala jenis tanah. Tanaman karet mempunyai toleransi terhadap pH tanah yang cukup besar, yaitu antara 3,8-8, meskipun yang dianggap optimum adalah 4-6,5. Di Indonesia, tanaman karet tumbuh baik pada tanah dengan ketinggian antara 600-700 m di atas permukaan laut. Pada tempat yang lebih tinggi, pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat dan produktifitasnya rendah. Tanaman karet dapat ditanam pada tanah yang kurang subur untuk menanam tanaman perkebunan yang lain. Pada tanah yang subur, karet mulai dapat disadap setelah umur 4-5 tahun sedangkan pada tanah yang kurang subur, tanaman karet baru bisa disadap pada umur 7 tahun (Goutara et al., 1985).

2.2

Lateks

Lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi di dalam air. Protein di lapisan luar memberikan muatan pada partikel karet. Lateks merupakan suatu dispersi butir-butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut beberapa garam dan zat organik seperti gula dan protein (Goutara et al., 1985). Sementara itu, Triwijoso dan Siswantoro (1989) mengungkapkan bahwa lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan yang terdiri atas partikel karet dan bukan karet yang terdispersi di dalam air.

Air getah (lateks) yang pada dewasa ini dipakai untuk pembuatan berbagai barang berasal dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Air getah (lateks) kira-kira mengandung 25-40% bahan karet mentah (crude rubber) dan 60-75% serum (air dengan zat-zat yang melarut di dalamnya). Bahan karet mentah antara lain mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 1-2% asam-asam lemak, 0,1-2% gula, dan 0,5% garam-garam mineral (Loo, 1980).

Komposisi lateks Hevea brasiliensis dapat dilihat jika lateks disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm yang hasilnya adalah sebagai berikut :

1. Fraksi lateks (37%) : Karet (isopren), protein, lipida, dan ion logam.

(16)

3. Fraksi serum (48%) : Senyawaan nitrogen, asam nukleat dan nukleotida, senyawa organik, ion anorganik, dan logam.

4. Fraksi dasar (14%) : Air, protein dan senyawaan nitrogen, karet dan karotenoid, lipida dan ion logam.

Getah karet diperoleh dengan menyadap kulit batang karet dengan pisau sadap sehingga keluar getah yang disebut lateks. Lateks adalah hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa ditranslokasikan dari daun melalui pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh lateks terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan sukrosa untuk pembentukan karet (Manitto, 1981). Molekul sukrosa melalui serangkaian proses enzimatik akan membentuk asetil asetat atau asetil CoA. Asetil CoA yang dihasilkan dari glikolisis selanjutnya melalui serangkaian reaksi enzimatik akan membentuk rantai isoprene 5- karbon yaitu isopentenil pirofosfat (IPP). IPP dengan dikatalisir oleh isopentenill difosfat isomerase membentuk Dimetilalil Pirofosfat (DMAPP). Manitto (1960) menambahkan bahwa IPP dapat mengalami isomerisasi menjadi DMAPP sehingga terjadi perubahan dari substansi yang tidak reaktif menjadi molekul reaktif. Reaksi tersebut adalah reaksi reversibel yang terdapat dalam biosintesis terpena. Suatu molekul DMAPP dapat berkondensasi secara kepala ke ekor dengan IPP menghasilkan geranil pirofosfat. Reaksi tipe ini dapat diulangi dengan jalan mereaksikan lebih lanjut produk dengan IPP. DMAPP berperan sebagai batu pondasi yang diatasnya diletakkan bata-bata penyusun bangunan yaitu IPP. Adisi serupa ini dapat berlangsung karena produk yang didapat dari adisi C5 yang berlangsung sebelumnya, mempunyai reaksifitas yang serupa DMAPP.

Seri berikutnya setiap pengulangan pada tingkat yang lebih kompleks geranil-geranil phirofosfat dapat dikonversi menjadi diterpene atau geranil-geranil phirofosfat dapat digabungkan menjadi membentuk badan 40 karbon. Pada jalur tetraterpene antara lain dihasilkan karetenoid selanjutnya setiap penambahan kepala sampai ekor dengan peran penting IPP akhirnya menghasilkan politerpenes karet.Gambar 1 menunjukkan penyadapan lateks dari pohon karet.

Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis (Barney, 1973)

(17)

memfermentasikan bagian-bagian bukan karet dalam lateks menjadi asam lemak eteris dan asam lemak bebas. Asam lemak eteris merupakan asam lemak yang mudah menguap. Penambahan bahan kimia pengawet seperti amonia (NH3) dan formalin bertujuan untuk meningkatkan kemantapan lateks. Sebagai pengawet, amonia lebih banyak dipergunakan daripada bahan kimia lain karena memiliki beberapa keunggulan. Amonia harganya lebih murah, mudah menguap, dan konsentratnya dalam bentuk gas lebih mudah digunakan sedangkan kekurangannya yaitu bau, sensitif terhadap seng dioksida, dan konsentrasinya terus berkurang karena reaksi yang lambat dengan bahan penyusun bukan karet (Cook, 1956).

Menurut Suparto (2002), lateks Hevea terdiri dari karet, resin, protein, abu, gula, dan air dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Lateks

Jenis Komponen Komposisi (%)

Karet 30-35

Resin 0,5-1,5

Protein 1,5-2,0

Abu 0,3-0,7

Gula 0,3-0,5

Air 55-60

Sumber : Suparto (2002)

2.3 Karet Alam

Menurut Triwijoso dan Siswantoro (1989), karet alam adalah suatu polimer alami yang tersusun dari satuan unit ulang (monomer) trans/cis 1,4- isoprena dengan rumus umum (C5H8)n dimana n adalah bilangan yang menunjukkan jumlah monomer di dalam rantai polimer. Semakin besar harga n maka molekul karet semakin panjang, semakin besar bobot molekul, dan semakin kental (viscous). Nilai n dapat berkisar antara 3000-15000. Karet alam bergabung secara ikatan kepala ke ekor (head to tail). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia monomer karet alam dan Gambar 3 menunjukkan struktur ruang 1,4 cis poliisoprena.

(18)

Gambar 3. Struktur Ruang 1,4 cis poliisoprena (Honggokusumo, 1978)

Karet alam memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan karet sintesis, yaitu daya elastis atau daya lenting sempurna dan plastisitas yang baik sehingga mudah diolah. Daya ausnya juga tinggi, tidak mudah panas (low heat built up), dan tahan terhadap keretakan (groove cracking resistance). Bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Karet alam memiliki berat jenis 0,92 kg/m3. Adanya rantai molekul pendek menyebabkan daya rekat yang tinggi.

Menurut Eng et al., (1997), bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Partikel karet alam mengandung hidrokarbon karet dan sejumlah kecil bahan bukan karet, seperti lemak, glikolipida, foosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain. Menurut Tanaka (1998), partikel karet alam terdiri dan hidrokarbon karet, lemak, glikolipda, fosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam

Jenis Komponen Komposisi (%)

Hidrokarbon karet 93,7

Lemak 2,4

Glikolipida, fosfolipida 1,0

Protein 2,2

Karbohidrat 0,4

Bahan Anorganik 0,2

Lain-lain 0,1

Sumber: Tanaka (1998)

2.4

Degradasi Karet Alam

(19)

satunya ditandai dengan adanya putusnya ikatan rantai utama sehingga menyebabkan pemendekan panjang rantai dan penurunan bobot molekul. Reaksi ini juga terjadi pada gugus samping, namun pengaruhnya tidak sebesar bila dibandingkan dengan reaksi pada gugus utama. Perubahan sifat fisik mengakibatkan pembentukan ikatan kimia baru melalui mekanisme ikatan silang sehingga konversi molekul menjadi lebih tinggi (Surdia, 2000). Menurut Alfa dan Syamsu (2004), penambahan senyawa pemutus rantai molekul sistem redoks, campuran hidrogen peroksida dengan natrium hipoklorit, dikombinasikan dengan hidroksilamin netral sulfat akan menghasilkan lateks dengan viskositas Mooney karet mentah rendah dan memiliki daya rekat baik.

Menurut Gunanti (2004), degradasi molekul karet terjadi karena adanya radikal OH hasil penguraian hidrogen peroksida (H2O2). Radikal OH yang terbentuk bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi secara tidak terkontrol dengan molekul polimer karet alam (poliisoprena). Radikal OH yang terbentuk menarik salah satu atom H yang terdapat pada polimer karet terutama menyerang ikatan karbon rangkap, sehingga dihasilkan radikal bebas yang aktif. Radikal bebas pada molekul isoprena tersebut mudah bereaksi dan berikatan dengan oksigen yang ada dalam lateks dan membentuk molekul yang tidak stabil hingga mengalami reaksi autooksidasi sampai terjadi pemutusan ikatan. Pada akhir reaksi pemutusan, terbentuk gugus karbonil. Gugus karbon aktif yang dihasilkan langsung bereaksi dengan gugus aktif dari reduktor yang dihasilkan gugus karbonil yang tidak bermuatan. Gugus karbon yang dihasilkan memiliki gugus ujung berupa keton dan aldehid. Menurut Roberts (1988), karet alam dengan bobot molekul yang rendah (150000-400000) memiliki sifat lekat yang baik, sehingga dapat disebut sebagai karet lunak. Sifat dan bentuknya inilah yang dapat dijadikan dasar dalam industri perekat berbahan lateks.

2.5

Lindi Hitam

Menurut Sjostrom (1995), lindi hitam merupakan campuran yang sangat kompleks yang mengandung sejumlah besar komponen dengan struktur dan susunan yang berbeda. Bahan organik dalam lindi hitam yang dihasilkan setelah pembuatan pulp pada dasarnya terdiri dari lindi hitam dan produk-produk degradasi karbohidrat disamping bagian-bagian kecil ekstraktif dan produk-produk reaksinya.

Sjostrom (1981) juga mengungkapkan bahwa proses isolasi dan pemisahan komponen yang terdapat dalam larutan sisa pemasak (lindi hitam) dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara lain lignosulfonat, gula, asam aldonat, etil alkohol, protein, asam asetat, butanol, dan asam laktat. Namun, bahan padat lindi hitam merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam larutan sisa pemasak, karena itu proses isolasi dan pemisahan bahan padat lindi hitam lebih memungkinkan.

(20)

komponen organik yang tinggi yang dapat mengganggu organisme perairan jika dibuang langsung ke perairan.

2.6

Aspal dan Aspal Berkaret

Aspal adalah bahan semi padat yang terdiri dari hidrogen dan karbon yang tersusun menjadi fraksi hidrokarbon. Fraksi tersebut dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu fraksi padat dan fraksi cair. Fraksi padat larut dalam fraksi cair yang disebut malten. Malten dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu nitrogen base, acidafit I, acidafit II, dan parafin. Perbandingan antara jumlah nitrogen base dan acidafit I dengan jumlah acidafit II dan parafin disebut parameter komposisi malten yang menentukan ketahanan aspal terhadap abrasi (Suroso, 2005).

Aspal adalah bahan visko elastis yang sifatnya berubah akibat perubahan temperatur. Pada temperatur rendah berbentuk semi padat sedangkan pada temperatur tinggi berbentuk cair. Hal ini disebabkan perubahan jarak partikel aspal. Pada temperatur tinggi jarak antar partikel menjadi renggang sehingga aspal berubah menjadi cair, pada temperatur rendah, jarak antar partikel menjadi dekat sehingga aspal menjadi padat (Suroso, 2005).

Menurut Suroso (2005), kadar asphalten dalam aspal sangat menetukan sifat reologi aspal. Kenaikan kadar asphalten menyebabkan aspal menjadi keras. Dengan kata lain penetrasi aspalnya rendah dan memiliki titik leleh tinggi. Kadar asphalten dalam aspal untuk pengerasan jalan sebaiknya 5-25%. Kekentalan aspal akan naik seiring dengan kenaikan kadar asphalten dalam malten. Asphalten dapat berinteraksi dengan fraksi cair (pelunak) sehingga asphalten diyakini mempunyai sifat lengket, tergantung dari strukturnya. Ikatan asphalten merupakan kesatuan yang kontinyu, dengan kata lain kekentalannya akan menurun sebanding dengan kenaikan temperatur.

Aspal telah digunakan sebagai bahan konstruksi dasar selama bertahun-tahun karena sifat alaminya, yakni memiliki daya ikat dan tahan air. Di atas suhu 100°C, aspal berbentuk cairan yang viskos. Aspal mulai mengeras pada suhu yang rendah. Semakin rendah (hingga di bawah nol derajat) suhunya, maka aspal semakin keras dan rapuh (Robinson, 2004).

Pada penerapan untuk jalan bebas hambatan, aspal memegang peranan yang baik dalam pembangunan jalan raya yang sibuk. Situasi tersebut membuat penggunaan polimer untuk pemodifikasi aspal lebih disukai. Penggunaan polimer tersebut dapat meningkatkan ketahanan terhadap deformasi permanen dengan memperbaiki temperatur kerja, memperbaiki daktilitas (ketahanan terhadap tarikan atau renggangan tanpa mengalami kerusakan) aspal untuk mengurangi resiko retak atau pecah pada suhu rendah, memperbaiki daya ikat dengan agregat untuk mengurangi resiko agregat terlepas dari permukaan aspal (Robinson, 2004).

Aspal merupakan produk turunan dari minyak mentah atau minyak bumi yang didapatkan dengan proses destilasi atau penyulingan dengan cara memisahkan fraksi-fraksi yang lebih tinggi sehingga menyisakan aspal sebagai residu yang lebih berat dari fraksi-fraksi lain. Aspal merupakan bahan yang viskoelastis dan sensitif terhadap perubahan temperatur. Aspal juga cenderung mudah mengalami deformasi permanen dalam aplikasinya untuk menahan beban atau muatan, laju deformasi aspal tergantung dari kualitas aspal, komposisi aspal, temperatur udara ambien, tingkat tekanan dan volume beban (Robinson, 2004).

(21)

sangat bervariasi pada tiap-tiap sumbernya dan tidak mungkin dapat dipetakan secara akurat. Kimia aspal ditentukan dengan pendekatan analisis saturates-aromatics-resins-asphaltenes

(SARA) untuk membandingkan komposisi dengan reologi (Robinson, 2004).

Menurut Robinson (2004), aspal dapat teroksidasi karena adanya udara. Oksidasi menyebabkan pengerasan aspal dan penggetasan. Hal ini menyebabkan kegagalan pelekatan aspal terhadap agregat dan keretakan. Pengerasan aspal pada permukaan atau lapisan dasar membantu meningkatkan kelakuan aspal yang berkontribusi untuk memperbaiki daya guna aspal.

Laju pengerasan aspal tergantung dari beberapa faktor, antara lain komposisi campuran aspal, ketebalan lapisan pengikat, rongga udara yang terkandung dalam aspal, dan komposisi aspal. Rongga udara sangat penting karena jika udara tidak bisa menembus campuran aspal yang tebal secara mudah, maka laju oksidasi akan lebih lambat bila dibandingkan bahan yang lebih berpori (Robinson, 2004).

Menurut Robinson (2004), aspal memberikan respon yang beragam pada aplikasinya, respon tersebut tergantung dari temperatur dan waktu muatan. Terdapat berbagai macam uji empiris yang dapat dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari aspal yang dikendalikan oleh badan standarisasi yang berbeda dengan versi yang berbeda pula. Akan tetapi, kelas atau kualitas aspal yang digunakan untuk pengerasan jalan biasanya diklasifikasikan berdasarkan nilai penetrasi (pen) yang diukur pada 25°C dan dinyatakan dalam dmm (0,1 mm) serta titik lunak atau titik lembek dalam °C. Nilai tersebut yang digunakan untuk merancang atau menentukan kelas atau kualitas dari aspal. Sebenarnya masih terdapat banyak uji spesifikasi empiris untuk aspal yang bisa digunakan, namun kedua uji empiris tersebut merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen (Robinson, 2004).

Menurut Robinson (2004), terdapat juga uji yang digunakan untuk mengukur viskositas dinamis aspal pada selang temperatur 100-190°C. Pengujian atau pengukuran tersebut penting juga untuk mengetahui kemampuan aspal untuk dipompa dan melapisi agregat. Pengujian ini menggunakan pemanasan aspal dalam ruang sampel dalam kondisi yang terkendali serta pengukuran daya tahan putaran menggunakan spindel berputar dengan nilai yang terbaca sebagai nilai viskositas, biasanya dikatakan sebagai centipoise (cP).

Polimer secara umum digunakan untuk memodifikasi aspal sehingga dapat meningkatkan daya guna aspal. Polimer juga dapat digunakan untuk mengurangi laju kerusakan aspal. Polimer juga dapat memperbaiki kelekatan atau daya ikat aspal dengan agregat yang sering terlepas karena adanya kikisan dari air sehingga dapat memelihara kekakuan atau kekuatan struktur aspal tersebut.

Perbaikan dalam sifat mekanis atau struktur dari aspal menggunakan pemodifikasi berupa polimer terkadang sulit untuk diukur dan dikendalikan. Misalnya polimer jenis elastomer biasanya menghasilkan penurunan kekakuan aspal akan tetapi ketahanan deformasi dan kerekatan meningkat. Selain itu, polimer biasanya digunakan untuk mengurangi deformasi permanen, meningkatkan kerekatan aspal, dan mengurangi resiko keretakan aspal akibat temperatur rendah.

(22)

aspal harus mempunyai stiffness yang tinggi diperlukan aspal yang mempunyai ketahanan terhadap retak, ketahanan terhadap oksidasi sehingga pengerasan dapat tahan lama.

Indonesia terletak di negara tropis serta pada ruas jalan tertentu lalu lintas cukup tinggi dan bebannya pun melebihi kapasitas jalan sehingga faktor cuaca, temperatur, kerusakan dini berupa terjadinya alur, gelombang, deformasi menjadi alasan mengapa aspal perlu dimodifikasi agar dapat mengurangi faktor-faktor tersebut diatas. Banyak faktor yang menentukan keawetan konstruksi jalan salah satunya adalah aspal sebagai bahan pengikat, dan pengisi. Sebagai bahan pengikat sifat adhesi harus baik, sedangkan sebagai bahan pengisi maka jumlah (kadar aspal dalam campuran beraspal) harus cukup serta mutunya harus baik agar diperoleh umur pelayanan yang maksimal.

Ketika Mac Donald menemukan metode untuk memperbaiki lubang-lubang kecil di jalan, ia bereksperimen dengan menambahkan karet ban bekas pada aspal cair panas. Dia menemukan bahwa setelah mencampurkan karet dengan aspal selama 45 – 60 menit, dihasilkan suatu material baru. Material ini memiliki karakteristik teknis yang menguntungkan pada kedua komposisi yang disebut aspal karet (Huffman, 1980). Aspal tersebut diabsorbsi oleh partikel karet yang bertambah besar pada temperatur tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi aspal cair dalam campuran beraspal.

Polimer umumnya digunakan untuk memodifikasi sifat-sifat yang dimiliki aspal untuk meningkatkan daya guna aspal. Peningkatan dalam sifat mekanik maupun struktur aspal menggunakan polimer sebagai bahan pengikat kadang sulit untuk di ukur. Sebagai contoh, polimer jenis elastomer bisa menghasilkan penurunan kekakuan, walaupun ketahan terhadap deformasi dan kekuatan ikatan didapatkan (Robinson, 2004).

Polimer yang umum dipakai sebagai bahan pengikat untuk memodifikasi aspal adalah polimer jenis elastomer termoplastik dan plastomer termoplastik. Elastomer adalah polimer yang paling banyak digunakan sebagai bahan pengikat atau pemodifikasi. Jenis elastomer yang sering digunakan meliputi polimer termoplastik karet sintetis. Dalam praktek, polimer styrene butadiene styrene (SBS) adalah polimer yang memberikan kombinasi yang paling optimum dari daya guna, ketahanan, kemudahan penggunaan dan ekonomis bila dibandingkan dengan elastomer sintetis lainnya (Robinson, 2004).

(23)

III.

METODE PENELITIAN

3.1

Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks yang diambil dari Kebun Percobaan Ciomas dan aspal jenis Pen 60. Bahan-bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pembantu dalam penelitian ini adalah lindi hitam yang didapat dari residu proses pirolisis cangkang sawit, asam format, air.

3.1.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas piala, gelas ukur, crepper, oven, pengaduk bermotor, statip dan klem, kompor listrik, stopwatch, neraca, dan water bath. Semua alat yang digunakan berasal dari laboratorium penelitian di Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor.

3.2

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi pembentukan karet crepe dari lateks, proses degradasi menggunakan lindi hitam, dan pencampuran karet dengan aspal.

3.2.1 Pembentukan Karet Crepe

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini merupakan karet crepe dari lateks kebun. Lateks kebun yang diambil dari Kebun Penelitian di Ciomas, Bogor langsung dilakukan proses pembuatan crepe tanpa diberi amonia untuk mengawetkan. Sebelum dibentuk menjadi karet crepe, lateks kebun terlebih dahulu digumpalkan dengan menambahkan asam format (asam semut) pada lateks. Crepe yang dihasilkan direndam dalam air di sebuah baskom. Diagram proses pembentukan karet crepe dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses Pembentukan Crepe

Lateks Kebun Proses Pembuatan

Crepe

Crepe

Perendaman dalam

(24)

3.2.2 Degradasi Karet Menggunakan Lindi Hitam

Crepe yang telah terbentuk diambil masing-masing sebanyak 35 gram sebanyak 4 buah. Setelah itu masing-masing direndam dalam air (kontrol) dan lindi hitam selama 3 jam dan 5 jam pada gelas piala 500 mL. Perendaman dilakukan pada water bath bersuhu 70° C. Setelah direndam, karet crepe dikeringkan dengan variasi pengeringan pada oven bersuhu 100°C, yaitu pengeringan normal hingga benar-benar kering dan ditambah 1 jam serta 2 jam. Setelah pengeringan, dilakukan uji jumlah lindi hitam terserap dan plastisitas awal (Po).

Plastisitas awal (Po) merupakan sifat fisik utama yang menunjukkan karakter dari karet, terutama dalam kaitannya dengan panjang rantai molekul karet. Rendahnya nilai Plastisitas awal (Po) menunjukkan rantai molekul karet yang pendek. Diagram proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Degradasi Menggunakan Lindi Hitam Karet Terdegradasi

Pengujian Jumlah lindi

hitam Terserap dan Po Karet Kontrol

Pengujian Po

Pengeringan Normal (T), T + 1 jam, dan T + 2 jam

Suhu 100°C Pengeringan Normal

Suhu 100°C

Direndam lindi hitam 3, 5, dan 7 jam

Suhu 70°C Karet Crepe

Diambil 6 x @35 gram Diambil 35 gram

Direndam air suhu ruangan

(25)

3.2.3 Pencampuran Karet dengan Aspal

Aspal ditimbang dalam sebuah kaleng minimal sebanyak 100 gram. Lalu karet

crepe yang telah dikeringkan diambil sebanyak 3% dari bobot aspal tersebut. Setelah itu, dilakukan pencampuran antara aspal dengan karet tersebut. Diagram proses pencampuran karet dengan aspal dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses Pencampuran Aspal dengan Karet

3.3 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan split plot

dengan menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu waktu perendaman karet dalam lindi hitam sebagai petak utama dan waktu pengeringan sebagai anak petak. Variasi waktu perendaman terdiri atas dua taraf, yaitu 3 jam dan 5 jam dan variasi waktu pengeringan terdiri atas tiga taraf, yaitu waktu pengeringan normal (T jam), pengeringan normal ditambah 1 jam (T+1), dan pengeringan normal ditambah 2 jam (T+2). Faktor waktu perendaman ditetapkan sebagai

Karet dengan

bobot 0,03a

Pencampuran

Pengujian Titik Lembek Data Waktu Pencampuran

Aspal

Termodifikasi Ditimbang minimal

100 gram

Karet

Kontrol dan Terdegradasi Aspal

Aspal dengan

bobot a gram

Ditimbang 3% dari

(26)

perlakuan ke-i dan faktor waktu reaksi ditetapkan sebagai perlakuan ke-j. Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan menggunakan software SAS. Hasil analisis yang signifikan kemudian dilakukan uji lanjut Duncan. Rancangan percobaannya menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah :

Keterangan :

Yijk : pengamatan pada perlakuan ke-i dan ke-j ulangan ke-k : rataan umum

Ai : pengaruh perlakuan waktu perendaman ke-i Bj : pengaruh waktu pengeringan ke-j

δ

ik : komponen acak dari petak utama yang menyebar normal

(AB)ij : pengaruh interaksi waktu perendaman ke-i dengan waktu pengeringan ke-j

εijk : kesalahan pada perlakuan ke-i dan ke-j pada ulangan ke-k

(27)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Karakterisasi Bahan Baku

4.1.2 Karet Crepe

Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan bahan baku awal yang akan digunakan untuk membuat karet crepe sehingga harus selalu dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui mutu lateks kebun, sebagai kontrol, dan meminimalkan keragaman lateks.

Sebelum diolah menjadi karet crepe, lateks kebun digumpalkan terlebih dahulu dengan menggunakan asam format (asam semut). Asam format atau juga kadang disebut asam semut atau asam metanoat mempunyai rumus kimia HCOOH dan merupakan asam terkuat dari seri homolog gugus karboksilat yang mengalami beberapa reaksi kimia (dekomposisi, reaksi adisi, siklisasi, asilasi).

Bahan penggumpal lateks yang selama ini banyak digunakan dan direkomendasikan adalah asam format. Penggumpalan dengan asam format dapat menghasilkan karet dengan sifat teknis yang baik. Selain asam format, untuk menggumpalkan lateks juga dapat digunakan bahan lain seperti tawas maupun asam sulfat (H2SO4).

Menurut Goutara et al. (1985), mekanisme penggumpalan lateks diawali ketika partikel karet dalam cairan lateks diselubungi oleh protein sebagai stabilisator. Karena protein bermuatan maka partikel karet seolah-olah menjadi bermuatan sehingga akan saling tolak-menolak. Pada saat penambahan asam, berarti terjadi penambahan ion H+ pada asam amino sehingga pH turun dan mencapai titik isoelektris yaitu pH dimana protein mempunyai muatan positif yang sama dengan muatan negatif sehingga akibatnya partikel karet akan saling mendekat dan menggumpal.

Pembekuan atau koagulasi pada karet ini bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan) butiran-butiran karet yang terdapat pada cairan lateks agar menjadi suatu gumpalan (koagulum). Menurut Goutara et al. (1985), nilai pH isoelektris untuk penggumpalan lateks adalah 4,5-4,8 dengan zat pembeku yang direkomendasikan untuk digunakan adalah asam format 1-2% dan jumlahnya 350-370 ml/kg karet kering.

Pada saat penambahan asam dilakukan pengadukan agar asam dapat tercampur merata dan buih yang timbul dihilangkan. Umumnya, proses pembekuan atau koagulasi dilakukan selama 2 jam. Setelah beku dilakukan penambahan air untuk mencegah lengketnya bekuan lateks dengan pembeku.

Setelah karet menggumpal, karet kemudian diolah menjadi crepe dengan menggunakan creper. Prinsip pengolahan karet crepe adalah mengubah lateks segar dari kebun menjadi lembaran crepe melalui proses pembekuan, penggilingan, dan pengeringan.

(28)

penelitian ini adalah 69,1 %. Pengukuran KKK ini menggunakan basis karet gumpalan (lumb).

Dalam penelitian ini, lateks tidak diberi pengawet berupa amonia ataupun surfaktan sebagai penstabil karena lateks kebun langsung dibentuk menjadi crepe (karet padat) tanpa diberi perlakuan apapun. Umumnya, penambahan amonia dan surfaktan diberikan pada lateks yang pengolahannya masih dalam bentuk lateks cair.

4.1.2 Lindi Hitam

Lindi hitam yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari residu pirolisis cangkang kelapa sawit. Tabel 4 menunjukkan karakteristik dari lindi hitam tersebut.

Tabel 4. Karakteristik Lindi Hitam

Karakteristik Nilai

Kadar padatan 21,64 %

Kadar air 78,36 %

pH 2

Kadar abu 0,03 %

4.1.3 Aspal Pen 60

Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal jenis pen 60. Aspal pen 60 yang akan digunakan terlebih dahulu diuji nilai titik lembeknya untuk mengetahui kemampuan aspal untuk melunak. Hasil pengujian titik lembek aspal pen 60 adalah sebesar 51°C dengan persyaratan berdasarkan SNI 06-2456-1991 dan SNI 06-2434-1991 pada rentang 48-58°C.

4.2

Degradasi Karet Menggunakan Lindi Hitam

Proses degradasi karet alam dapat terjadi secara kimia dengan bantuan senyawa-senyawa tertentu. Dalam penelitian ini digunakan lindi hitam karena diduga salah satu senyawa-senyawa yang terdapat dalam lindi hitam dapat berperan sebagai senyawa kimia pendegradasi karet alam. Proses degradasi yang dilakukan pada karet ini juga memanfaatkan panas. Pemberian perlakuan panas ini bertujuan untuk mempercepat proses reaksi degradasi karet. Petrucci (1987) mengemukakan bahwa jika suhu dinaikkan, maka kalor yang diberikan akan menambah energi kinetik partikel pereaksi sehingga pergerakan partikel-partikel pereaksi makin cepat. Semakin cepat pergerakan partikel akan menyebabkan terjadinya tumbukan antar zat pereaksi semakin banyak, sehingga reaksi makin cepat.

(29)

sehingga karet terdegradasi yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dalam hal sifat fisik jika dibandingkan dengan karet kontrol.

Setelah proses degradasi selesai, dilakukan pengeringan terhadap karet untuk menguapkan sisa-sisa lindi hitam yang tidak terserap oleh karet. Dalam proses pengeringan ini, dilakukan variasi pada durasi pengeringan, yaitu pengeringan normal pada suhu 100°C hingga benar-benar kering, lalu ditambah 1 jam dan 2 jam. Variasi pada durasi pengeringan ini dilakukan untuk membuktikan bahwa nilai Plastisitas awal (Po) akan menurun seiring dengan penambahan durasi pengeringan. Plastisitas awal (Po) adalah plastisitas karet yang langsung diuji tanpa perlakuan khusus sebelumnya. Refrizon (2003) telah mengungkapkan bahwa umumnya pengeringan pada suhu tinggi dan waktu lama selalu akan menurunkan nilai Po dan Viskositas Mooney, karena pada suhu tinggi dan waktu lama terjadinya pemutusan molekul karet akan berlangsung lebih cepat.

Setelah rangkaian proses degradasi selesai, dilakukan pengujian nilai Po dan pengujian terhadap jumlah lindi hitam yang diserap oleh karet. Pengukuran plastisitas awal (Po) dilakukan untuk mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap selama waktu dan suhu tertentu sedangkan pengujian jumlah lindi hitam yang diserap bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak lindi hitam yang diserap oleh karet sebagai indikator reaksi degradasi tersebut.

Setelah dilakukan proses degradasi, karet padat selanjutnya dicampur dengan aspal. Pencampuran karet ke dalam aspal diawali dengan pemanasan aspal pada suhu 160-170°C. Pada suhu tersebut aspal mencair dengan sempurna. Aspal tersebut dipanaskan atau dicairkan pada wadah dengan volume aspal 2/3 volume wadah atau minimal 100 gram.

Sebelum pencampuran, karet padat diperkecil ukurannya terlebih dahulu. Pengecilan ukuran ini bertujuan untuk memperluas bidang permukaan karet sehingga pencampuran antara aspal dengan karet dapat berlangsung dengan lebih cepat.

4.3

Pengaruh Degradasi Terhadap Jumlah Lindi Hitam yang Terserap oleh

Karet

Pada penelitian ini, salah satu indikator yang dikaji dari proses degradasi karet menggunakan lindi hitam adalah jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Pengujian jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak lindi hitam yang diserap oleh karet dan mengetahui trend penyerapan lindi hitam oleh karet pada variasi perlakuan yang dilakukan. Nilai plastisitas awal (Po) dari sampel dapat dilihat pada Gambar 7.

(30)
[image:30.595.146.517.82.311.2]

Gambar 7. Histogram Jumlah Lindi Hitam Terserap

Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram pada Gambar 7, terlihat bahwa jumlah lindi hitam terserap yang tertinggi adalah 16,65 gram yaitu pada perlakuan waktu perendaman 7 jam. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal ditambah 1 jam dan 2 jam yaitu sebesar 7,83 gram.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam terserap dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 3.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam dan 7 jam. Jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam dan 7 jam. Begitu pula dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam dan 5 jam.

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan jumlah lindi hitam terserap yang semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam. Dengan demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet semakin meningkat.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu pengeringan karet tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam

R3 : waktu perendaman 3 jam

R5 : waktu perendaman 5 jam

R7 : waktu perendaman 7 jam

Kn : waktu pengeringan normal

K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam

(31)

yang terserap oleh karet dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 3.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Begitu pula dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal tidak berbeda nyata dengan jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam terserap dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 6.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, jika ditinjau dari jumlah lindi hitam terserap terlihat bahwa karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet R7K1 dan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet R7Kn dan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7K2 tidak berbeda nyata dengan karet R7Kn dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5Kn tidak berbeda nyata dengan karet R5K1 dan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet R5Kn dan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan karet R5Kn dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3Kn tidak berbeda nyata dengan karet R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet R3Kn dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet R3Kn dan R3K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya.

(32)

4.4

Pengaruh Degradasi Terhadap Nilai Plastisitas Awal Karet

[image:32.595.133.526.228.487.2]

Plastisitas merupakan salah satu komponen analisis dari karet yang ikut menentukan mutu karet tersebut. Dalam pengukuran plastisitas karet, ada dua jenis plastisitas, yaitu plastisitas awal (Po) dan plastisitas akhir (Pa). Menurut Refrizon (2003),plastisitas awal (Po) dilakukan untuk mengukur kemampuan karet untuk menahan pembebanan tetap selama waktu dan suhu tertentu. Nilai Po ini secara tidak langsung juga menggambarkan panjang rantai molekul karet. Umumnya karet dengan nilai Po tinggi menunjukkan nilai bobot molekul yang tinggi. Nilai plastisitas awal (Po) dari sampel dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram Nilai Plastisitas Awal (Po)

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai plastisitas awal yang dihasilkan berkisar antara 19 sampai 28,5 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 61. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah membuat nilai plastisitas karet tersebut menurun secara signifikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai plastisitas tertinggi dari sampel yaitu 28,5 yang nilainya turun lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan nilai plastisitas awal kontrol.

Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram di atas, terlihat bahwa nilai plastisitas karet terdegradasi yang tertinggi adalah 28,5 yaitu pada kombinasi perlakuan waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 5 jam dan waktu pengeringan 2 jam serta pada kombinasi waktu perendaman 7 jam dan waktu pengeringan 2 jam yaitu sebesar 19.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap nilai

R0 : waktu perendaman 0 jam

R3 : waktu perendaman 3 jam

R5 : waktu perendaman 5 jam

R7 : waktu perendaman 7 jam

Kn : waktu pengeringan normal

K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam

(33)

plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 4.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 3 jam, dan 7 jam Begitu pula dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 3 jam, dan 5 jam.

Hasil pengujian plastisitas awal karet menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam sehingga secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka nilai plastisitas awalnya (Po) akan semakin rendah. Hal ini juga menggambarkan rantai molekul karet yang semakin pendek seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu pengeringan karet berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 4.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam dan waktu normal ditambah 2 jam. Nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 1 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal dan waktu normal ditambah 2 jam. Begitu pula dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal ditambah 2 jam berbeda nyata dengan nilai plastisitas awal karet yang dikeringkan dalam waktu normal dan waktu normal ditambah 1 jam.

Hasil pengujian plastisitas awal karet menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan karet sehingga secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka nilai plastisitas awalnya (Po) akan semakin rendah. Hal ini juga menggambarkan rantai molekul karet yang semakin pendek seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas awal (Po) dari karet hasil degradasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 7.

(34)

lainnya. Sementara itu, karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan R7K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Demikian juga karet kombinasi R7K2 tidak berbeda nyata dengan R5K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya.

Dalam penelitian ini, nilai plastisitas awal (Po) karet hasil degradasi tidak dibandingkan dengan nilai plastisitas awal (Po) pada SNI (Standar Nasional Indonesia) karena tujuan utama penelitian ini adalah untuk menurunkan nilai Po seminimal mungkin agar dengan beberapa perlakuan agar rantai molekul karet semakin pendek, tetapi pada SNI, nilai plastisitas tidak diperbolehkan melebihi nilai minimal yang telah ditentukan.

Semakin menurunnya nilai plastisitas awal karet juga dipengaruhi oleh jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Grafik hubungan antara jumlah lindi hitam yang terserap dengan nilai Po dapat dilihat pada Gambar 9.

[image:34.595.150.518.307.527.2]

Dari grafik pada Gambar 9 tersebut terlihat bahwa nilai plastisitas awal (Po) semakin menurun seiring dengan meningkatnya jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet pada reaksi degradasi. Penurunan nilai Po ini dapat disebabkan karena karet yang semakin plastis ketika karet tersebut mampu menyerap lindi hitam dalam jumlah banyak.

Gambar 9. Grafik Hubungan Jumlah Lindi Hitam Terserap dan Plastisitas Awal (Po)

(35)
[image:35.595.147.480.120.582.2]

keton dan aldehid. Mekanisme proses degradasi karet menggunakan fenol melalui reaksi autooksidasi terdapat pada Gambar 10.

Gambar 10. Mekanisme Reaksi Pemutusan Rantai Poliisopren Melalui Autooksidasi (Roberts, 1988)

Nilai plastisitas awal (Po) yang semakin turun ini juga menyebabkan proses pencampuran antara karet dengan aspal menjadi semakin cepat. Grafik hubungan antara waktu pencampuran aspal dan karet dengan Po dapat dilihat pada Gambar 11.

(36)
[image:36.595.103.528.84.354.2]

Gambar 11. Grafik Hubungan Po dan Waktu Pencampuran Aspal dengan Karet

4.5

Pengaruh Degradasi Terhadap Titik Lembek Aspal Termodifikasi

Titik lembek aspal atau titik leleh aspal merupakan parameter utama untuk mengklasifikasikan kelas dan kualitas aspal untuk pengerasan jalan. Proses modifikasi aspal oleh penambahan lateks karet alam dinyatakan berhasil jika nilai titik lembek aspal modifikasi lebih tinggi daripada nilai titik lembek kontrol (aspal pen 60). Nilai titik lembek sampel dapat dilihat pada histogram nilai titik lembek (Gambar 12).

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai titik lembek yang dihasilkan berkisar antara 58 sampai 61°C dengan nilai titik lembek awal kontrol sebesar 62°C. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan variasi waktu perendaman pada lindi hitam dan waktu pengeringan karet telah berhasil membuat nilai titik lembek karet tersebut menurun.

Berdasarkan nilai plastisitas awal pada histogram tersebut, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang tertinggi adalah 61°C yaitu pada kombinasi perlakuan waktu perendaman 3 jam dan waktu pengeringan normal. Nilai plastisitas terendah didapat pada kombinasi waktu perendaman 5 jam dan waktu pengeringan normal serta pada kombinasi waktu pengeringan 5 jam dan waktu pengeringan normal ditambah 2 jam yaitu sebesar 59°C.

R0 : waktu perendaman 0 jam

R3 : waktu perendaman 3 jam

R5 : waktu perendaman 5 jam

R7 : waktu perendaman 7 jam

Kn : waktu pengeringan normal

K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam

(37)
[image:37.595.135.501.85.328.2]

Gambar 12. Histogram Nilai Titik Lembek

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu perendaman karet dalam lindi hitam berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari aspal termodifikasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 3 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam, 5 jam, dan 7 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam dan 3 jam. Begitu pula dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 7 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 5 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang direndam pada lindi hitam selama 0 jam dan 3 jam.

Hasil pengujian titik lembek aspal termodifikasi menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman karet dalam lindi hitam. Dengan

R0 : waktu perendaman 0 jam

R3 : waktu perendaman 3 jam

R5 : waktu perendaman 5 jam

R7 : waktu perendaman 7 jam

Kn : waktu pengeringan normal

K1 : waktu pengeringan normal ditambah 1 jam

(38)

demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu perendaman karet dalam lindi hitam, maka nilai titik lembek dari campuran aspal karetnya akan semakin rendah.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, perlakuan variasi waktu pengeringan karet berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari karet aspal termodifikasi. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, terlihat bahwa nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 1 jam tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 1 jam tidak berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal tetapi berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam. Nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal ditambah 2 jam berbeda nyata dengan nilai titik lembek aspal termodifikasi yang dihasilkan oleh campuran aspal dengan karet yang dikeringkan selama waktu pengeringan normal dan waktu pengeringan normal ditambah 1 jam.

Hasil pengujian titik lembek aspal termodifikasi menunjukkan nilai titik lembek yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu pengeringan karet. Dengan demikian, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu pengeringan, maka nilai titik lembek dari campuran aspal karetnya akan semakin rendah.

Berdasarkan hasil analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% dan α = 0,05, menunjukkan bahwa interaksi antara variabel waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai titik lembek dari karet aspal termodifikasi tersebut. Hasil uji lanjut Duncan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 8.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, dari nilai titik lembeknya terlihat bahwa karet kombinasi R0Kn, R3Kn, dan R7K2 berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R3K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K2 dan R5K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R3K1 dan R3K2 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5K2 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R7Kn, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R5Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5K2, R7Kn, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Karet kombinasi R7Kn tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R5K2, dan R7K1 tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya. Dan karet kombinasi R7K1 tidak berbeda nyata dengan karet kombinasi R5Kn, R5K2, dan R7Kn tetapi berbeda nyata dengan karet kombinasi lainnya.

(39)
[image:39.595.146.524.137.340.2]

demikian juga berlaku pada nilai plastisitas awal (Po) yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman dan pengeringan. Grafik hubungan antara nilai Po dengan titik lembek dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Grafik Hubungan Po dan Titik Lembek Aspal Termodifikasi

Pada grafik pada Gambar 13 terlihat bahwa secara umum titik lembek semakin turun seiring dengan penurunan nilai plastisitas awal (Po). Hal ini dapat disebabkan karena karet akan semakin plastis ketika nilai plastisitasnya semakin turun. Ketika karet tersebut dicampur dengan aspal, keplastisitasan karet ini juga akan mempengaruhi campuran aspal-karet walaupun tidak drastis karena karet hanya dicampurkan 3% dari total bobot aspal. Dengan demikian, aspal termodifikasi tersebut menghasilkan nilai titik lembek yang semakin turun.

Perlakuan yang terbaik dari penelitian ini adalah pada kombinasi karet R7K2 yaitu karet dengan perendaman dalam lindi hitam selama 7 jam dan pengeringan normal ditambah 2 jam. Pada jenis kombinasi karet tersebut, nilai Po merupakan nilai yang terendah. Nilai Po yang terendah mengindikasikan rantai molekul karet yang terpendek dari semua sampel dan hal ini juga menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki rantai molekul karet terpendek. Jenis karet tersebut juga memiliki waktu pencampuran antara karet dengan aspal yang terendah, yaitu selama 349 menit. Waktu pencampuran ini kurang dari sepertiga jika dibandingkan dengan waktu pencampuran karet kontrol dengan aspal. Sementara pada aspek titik lembek, walaupun memiliki titik lembek yang terendah, yaitu 58Â

Gambar

Tabel 1. Jumlah Kerusakan Jalan di Indonesia
Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis (Barney, 1973)
Tabel 2. Komposisi Kimia Lateks
Gambar 3. Struktur Ruang 1,4 cis poliisoprena (Honggokusumo, 1978)
+7

Referensi

Dokumen terkait