• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.2 SARAN

Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap pengaruh waktu perendaman karet alam pada lindi hitam jika waktu perendaman terus ditambah. Pengkajian juga perlu dilakukan pada pengaruh suhu perendaman karet alam pada lindi hitam.

DAFTAR PUSTAKA

Alfa AA dan Y Syamsu. 2004. Degraded and Stabilized Natural Rubber Latex – Prospect for Veneer Adhesive. Seminar Kimia Malaya.

Badan Penelitian Kehutanan Indonesia. 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia Edisi Pertama. Jakarta : Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Kehutanan

Barney JA. 1973. Natural Rubber Productions Lectures Notes. Bogor : Balai Penelitian Perkebunan Bogor.

Cook GP. 1956. Latex, Natural, and Synthetic. New York : A Reinhold Pilot Book.

Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung : Penerbit ITB.

Davin LB dan Lewis NG. 2005. Lignin primary structures and dirigent sites. Current Opinion in Biotechnology 16:407–415.

Eng AH. 1997. Distribution of Origin of Abnormal Groups in Natural Rubber, Journal Natural Rubber. Res.I(3),.154-166.

Fengel D dan Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press.

Goutara, B Djatmiko, dan W Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Bogor : Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gunanti SD. 2004. Kajian Kemantapan Viskositas Mooney Karet Hasil Depolimerisasi Lateks Karet Alam yang Diberi Perlakuan Hidroksilamin Netral Sulfat (HNS). Skripsi. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Honggokusumo S. 1978. Pengetahuan Lateks : Kursus Pengolahan Barang Jadi Karet. Bogor : Balai Penelitian Perkebunan Bogor.

Huffman JE. 1980. Sahuaro Concept of Asphalt-Rubber Binders. Presentation at The First Asphalt Rubber User Producer Workshop. Scottsdale, Arizona.

Judoamidjojo RM, EG Said dan L Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Loo TG. 1980. Mengelola Karet Alam. Jakarta : PT. KINTA.

Petrucci RH. 1987. Kimia Dasar : Prinsip dan Terapan Modern. San Bernardino : California State University.

Refrizon. 2003. Viskositas Mooney Karet Alam. Medan : Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Roberts AD. 1988. Natural Rubber Science and Technology. Oxford : Oxford University Press.

Robinson HL. 2004. Polymer in Asphalt. Rapra Review Reports Volume 15, Number 11, 2004. Tarmac Ltd, UK.

Santoso AM. 2003. Pedoman Pemilihan dan Sifat-Sifat Elastomer, Kursus Teknologi Barang Jadi Karet Padat. Bogor : Balai Penelitian Teknologi Karet.

Sentosa, Leo. 2010. Aspal. http://leosentosa0.files.wordpress.com/2010/03/5-aspal.ppt. [10 Oktober 2010]

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Terjemahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Surdia NM. 2000. Degradasi Polimer. Indonesian Polymer Journal. Vol. 3 no. 1. Bandung.

Tanaka Y. 1998. A New Approach to Produce Highly Deproteinized Natural Rubber. Kuliah Tamu Mengenai Karet Alam. Bogor : Balai Penelitian Teknologi Karet.

Triwijoso SU dan Oerip S. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan Pemekatan Lateks Hevea. Bogor : Balai Penelitian Perkebunan Bogor.

Lampiran 1. Prosedur Analisis

a. Pengujian Titik Lembek Aspal dan TER (SNI 06-2434-1991)

Pasang dan aturlah kedua benda uji diatas dudukannya dan letakkan pengarah bola diatasnya. Isi bejana dengan air suling baru, dengan suhu (5 ± 1) oC sehingga tinggi permukaan air berkisar antara 101,6 mm sampai 108 mm. Letakkan termometer diantara kedua benda uji (± 12,7 mm dari tiap cincin) periksa dan atur jarak antara permukaan plat dasar dengan benda uji sehingga menjadi 25,4 mm dan letakkan bola-bola baja ditengah masing-masing benda uji yang bersuhu 5oC dengan menggunkan penjepit. Panaskan bejana sehingga kenaikan suhu menjadi 5oC per menit.

Titik lembek adalah suhu pada saat bola baja denga berta tetentu mendesak turun suatu lapisan aspal yang tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh pelat dasar yang terletak di bawah cincin pada tinggi 24,4 mm, sebagai kecepatan akibat pemanasan tersebut.

b. Pengujian Jumlah Lindi Hitam yang Terserap Karet

Timbang karet sebanyak x gram lalu oven hingga kering. Setelah kering, timbang bobot karet tersebut. Lalu karet yang sudah direndam dengan lindi hitam (dengan bobot awal karet x gram) dioven hingga kering. Setelah kering, bobot karet tersebut ditimbang. Jumlah lindi hitam yang terserap dapat diketahui dari selisih bobot karet kering yang direndam lindi hitam dengan bobot kering karet yang tidak direndam lindi hitam.

c. Penetapan Plastisitas Wallace (Po) (SNI 06-1903-1990)

Contoh uji sebanyak 15-20 gram digiling dengan gilingan laboratorium dingin sehingga lembaran akhir krep mempunyai ketebalan 1,6-1,8 mm. Lembaran karet (tidak boleh ada lobang) dilipat dua dan ditekan perlahan dengan telapak tangan hingga ketebalannya antara 3,2-3,6 mm. Contoh uji dipotong dengan wallace punch sebanyak 6 buah dengan posisi :

Potongan 1 diletakkan di antara dua lembar kertas sigaret (TST) lalu diukur plastisitas awalnya (Po) sesuai dengan operasional alat Plastimeter Wallace.

Lampiran 2a. Data Pengujian

Kode Perlakuan Jumlah Lindi Hitam Terserap (gram) Plastisitas Awal

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata R0Kn Perendaman 0 jam

Pengeringan normal (T) jam - - - 61 61 61

R3Kn Perendaman 3 jam

Pengeringan normal (T) jam 7,86 7,84 7,85 29 28 28,5

R3K1 Perendaman 3 jam

Pengeringan T + 1 jam 7,83 7,87 7,85 25 25 25

R3K2 Perendaman 3 jam

Pengeringan T + 2 jam 7,84 7,84 7,84 24 26 25

R5Kn Perendaman 5 jam

Pengeringan normal (T) jam 13,8 13,76 13,78 27 27 27

R5K1 Perendaman 5 jam

Pengeringan T + 1 jam 13,78 13,76 13,77 25 25 25

R5K2 Perendaman 5 jam

Pengeringan T + 2 jam 13,78 13,76 13,77 19 19 19

R7Kn Perendaman 7 jam

Pengeringan normal (T) jam 16,64 16,66 16,65 20 21 20,5

R7K1 Perendaman 7 jam

Pengeringan T + 1 jam 16,65 16,65 16,65 20 20 20

R7K2 Perendaman 7 jam

Lampiran 2b. Data Pengujian

Kode Perlakuan Titik Lembek (°C) Waktu Pencampuran

(menit)

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata R0Kn Perendaman 0 jam

Pengeringan normal (T) jam 62 62 62 1230 1222 1226

R3Kn Perendaman 3 jam

Pengeringan normal (T) jam 61 61 61 802 780 791

R3K1 Perendaman 3 jam

Pengeringan T + 1 jam 60 60 60 736 722 729

R3K2 Perendaman 3 jam

Pengeringan T + 2 jam 60 60 60 618 628 623

R5Kn Perendaman 5 jam

Pengeringan normal (T) jam 58 60 59 602 588 595

R5K1 Perendaman 5 jam

Pengeringan T + 1 jam 60 60 60 559 561 560

R5K2 Perendaman 5 jam

Pengeringan T + 2 jam 59 59 59 493 501 497

R7Kn Perendaman 7 jam

Pengeringan normal (T) jam 59 59 59 437 427 432

R7K1 Perendaman 7 jam

Pengeringan T + 1 jam 59 59 59 382 388 385

R7K2 Perendaman 7 jam

Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Jumlah Lindi Hitam Terserap

Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Waktu Perendaman 2 241,798 120,899 1088093 5,14 Waktu Pengeringam 2 0,0001 0,00007 0,60 5,14 Waktu Perendaman*Waktu Pengeringan 4 0,0001 0,00003 0,30 4,53 Pengulangan*Waktu Perendaman 3 0,0027 0,0009 8,20 4,76 Galat 9 0,00067 0 Total 17 241,802

Waktu Perendaman Rataan Pengelompokan

Duncan

R7 16,65 A

R5 13,773 B

R3 7,847 C

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Waktu Pengeringan Rataan Pengelompokan

Duncan

Kn 12,76 A

K1 12,757 A

K2 12,753 A

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Plastisitas Awal (Po)

Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Waktu Perendaman 3 2691 897 1374,13 4,76 Waktu Pengeringam 2 62,939 31,469 48,21 5,14 Waktu Perendaman*Waktu Pengeringan 4 26,977 6,744 10,33 4,53 Pengulangan*Waktu Perendaman 4 11,167 2,791 4,28 4,53 Galat 6 3,917 0,653 Total 19 2796

Waktu Perendaman Rataan Pengelompokan Duncan

R0 61 A

R3 26,17 B

R5 23,67 C

R7 19,83 D

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Waktu Pengeringan Rataan Pengelompokan Duncan

Kn 34,25 A

K1 23,33 B

K2 21 C

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Titik Lembek

Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Waktu Perendaman 3 20,2 6,733 30,3 4,76 Waktu Pengeringam 2 1,778 0,889 4 5,14 Waktu Perendaman*Waktu Pengeringan 4 2,222 0,556 2,5 4,53 Pengulangan*Waktu Perendaman 4 2,667 0,667 3 4,53 Galat 6 1,333 0,222 Total 19 28,2

Waktu Perendaman Rataan Pengelompokan

Duncan

R0 62 A

R3 60,33 B

R5 59,33 C

R7 59 C

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Waktu Pengeringan Rataan Pengelompokan

Duncan

Kn 60,25 A

K1 59,67 A

K2 59,33 B

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Interaksi Jumlah Lindi Hitam Terserap

Sumber

Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F Tabel

Interaksi 8 241,798 30,224 80007 3,23

Galat 9 0,0034 0,00037

Total 17 241,802

Interaksi Rataan Pengelompokan Duncan R7Kn 16,65 A R7K1 16,65 A R7K2 16,65 A R5Kn 13,78 B R5K1 13,77 B R5K2 13,77 B R3Kn 7,85 C R3K1 7,85 C R3K2 7,84 C

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Interaksi Plastisitas Awal (Po)

Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Interaksi 9 2779 308,78 181,63 3,02

Galat 10 17 1,7

Total 19 2796

Interaksi Rataan Pengelompokan

Duncan R0Kn 61 A R3Kn 28,25 B R5Kn 27 BC R3K1 25 C R5K1 25 C R3K2 25 C R7Kn 20,5 D R7K1 20 D R5K2 19 E R7K2 19 E

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Interaksi Titik Lembek

Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Interaksi 9 24,2 2,689 6,72 3,02

Galat 10 4 0,4

Total 19 28,2

Interaksi Rataan Pengelompokan

Duncan R0Kn 62 A R3Kn 61 AB R3K2 60 BC R3K1 60 BC R5K1 60 BC R5K2 59 CD R5Kn 59 CD R7Kn 59 CD R7K1 59 CD R7K2 58 D

Keterangan : huruf yang sama pada kolom uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa taraf perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI KARET ALAM

MENGGUNAKAN LINDI HITAM SEBAGAI BAHAN

TAMBAHAN ASPAL TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Oleh

AGUS FAISAL

F34061267

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

DEVELOPMENT OF DEGRADATION PROCESS FOR NATURAL RUBBER USING BLACK LIQUOR AS ADDITIVE MATERIAL FOR MODIFIED-ASPHALT

Ono Suparno, Adi Cifriadi, and Agus Faisal

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone +62 251 8621974, e-mail : ono.suparno@ipb.ac.id

ABSTRACT

One way to improve the usability of natural rubber is by modifying natural rubber, for example by giving a chemical degradation treatment. Degradation of chemical compounds taken with the aid of a polymer chain breakers, in this study used black liquor. Degradation of natural rubber aims to adjust the physical properties of natural rubber in the mechanism of mixing with asphalt to produce a modified asphalt that is expected to improve and enhance the properties of asphalt in its application in road pavement. Chemical degradation pursued through three stages. The first stage is the formation process of latex into solid rubber in the form of crepes. The second stage is the process of rubber degradation using black leachate by using two variations of the treatment, immersion time of rubber in black leachate and drying time. While the third stage is mixing of degraded rubber with asphalt. The variation of immersion time and drying time significantly affected the amount of black liquor absorbed by the rubber, plasticity (Po), and softening point of modified asphalt. The best treatment in this study were treated R7K2 (rubber immersed for 7 hours and dried in the normal time plus 2 hours).

Agus Faisal. F34061267. Pengembangan Proses Degradasi Karet Alam Menggunakan Lindi Hitam sebagai Bahan Tambahan Aspal Termodifikasi. Di bawah bimbingan Ono Suparno dan Adi Cifriadi. 2010.

RINGKASAN

Salah satu cara untuk meningkatkan kegunaan karet alam adalah dengan memodifikasi karet alam, misalnya dengan memberi perlakuan degradasi secara kimiawi. Degradasi secara kimiawi ditempuh dengan bantuan senyawa pemutus rantai polimer yang dalam penelitian ini digunakan lindi hitam. Lindi hitam yang kaya akan fenol diduga dapat berperan sebagai oksidator yang dapat mengoksidasi karet sehingga karet mengalami perubahan sifat fisik. Dalam penelitian ini, degradasi bertujuan untuk menyesuaikan sifat fisik karet alam dalam mekanisme pencampuran dengan aspal untuk menghasilkan aspal termodifikasi. Modifikasi aspal menggunakan karet alam ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat dari aspal dalam aplikasinya pada perkerasan jalan.

Bahan utama dari penelitian ini adalah lateks yang diambil dari Kebun Percobaan di Ciomas dan aspal jenis Pen 60. Degradasi secara kimiawi ditempuh melalui tiga tahap. Tahap pertama merupakan proses pembentukan lateks menjadi karet padat berbentuk crepe. Tahap kedua adalah proses degradasi karet menggunakan lindi hitam dengan menggunakan dua variasi perlakuan, yaitu perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan karet. Tahap ketiga adalah tahap pencampuran karet terdegradasi dengan aspal. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan split plot dengan menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu waktu perendaman karet dalam lindi hitam sebagai petak utama dan waktu pengeringan sebagai anak petak. Variasi waktu perendaman terdiri atas tiga taraf, yaitu 3 jam, 5 jam, dan 7 jam. Variasi waktu pengeringan terdiri atas tiga taraf, yaitu waktu pengeringan normal (T jam), pengeringan normal ditambah 1 jam (T+1), dan pengeringan normal ditambah 2 jam (T+2). Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan menggunakan software SAS.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, variasi waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap jumlah lindi hitam yang terserap oleh karet. Jumlah lindi hitam yang terserap berkisar antara 7,84 gram hingga 16,65 gram dengan jumlah lindi hitam terserap tertinggi diperoleh pada perlakuan 7 jam perendaman karet dalam lindi hitam, yaitu 16,65 gram.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, variasi waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap plastisitas awal (Po) karet. Nilai plastisitas awal karet berkisar antara 19 hingga 28,5 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 61. Nilai plastisitas awal terendah diperoleh pada kombinasi variasi perlakuan 5 jam perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan normal ditambah 2 jam dan kombinasi variasi perlakuan 7 jam perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan normal ditambah 2 jam, yaitu 19.

Berdasarkan hasil analisis keragaman, variasi waktu perendaman dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap titik lembek aspal termodifikasi. Nilai titik lenbek berkisar antara 58 hingga 61 dengan nilai plastisitas awal kontrol sebesar 62. Nilai titik lembek tertinggi diperoleh pada kombinasi variasi perlakuan 3 jam perendaman karet dalam lindi hitam dan pengeringan normal, yaitu 61.

Perlakuan terbaik pada penelitian ini adalah perlakuan R7K2 (karet direndam selama 7 jam dan dikeringkan dalam waktu normal ditambah 2 jam). Perlakuan ini memiliki nilai plastisitas awal dan waktu pencampuran yang terendah, yaitu 19 dan 349 menit. Ketika karet kombinasi ini dicampurkan dengan aspal, aspal termodifikasi yang dihasilkan memiliki nilai titik lembek sebesar 58°C. Walaupun nilai titik lembek ini adalah yang terendah, tetapi nilai ini masih berada di atas nilai titik lembek sesuai SNI.

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan kegunaan karet alam dapat ditempuh dengan memodifikasi struktur karet alam. Salah satu cara untuk memodifikasi sifat karet alam adalah dengan mengubah sifat fisiknya, misalnya dengan memberi perlakuan degradasi. Degradasi karet alam dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu metode mekanis dan kimiawi. Degradasi secara kimiawi seperti yang dilakukan dalam penelitian ini ditempuh dengan bantuan senyawa pemutus rantai polimer. Senyawa yang terkandung dalam lindi hitam diduga dapat mendegradasi karet sehingga karet mengalami perubahan sifat fisik.

Dalam penelitian ini, degradasi bertujuan untuk menyesuaikan sifat fisik karet alam dalam mekanisme pencampuran dengan aspal untuk menghasilkan aspal termodifikasi. Modifikasi aspal menggunakan karet alam ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat dari aspal dalam aplikasinya pada pengerasan jalan.

Pertambahan penduduk di Indonesia yang juga diikuti meningkatnya perkembangan ekonomi sehingga berdampak bertambahnya lalu lintas baik jumlah, beban dan kecepatannya. Untuk itu diperlukan pengerasan jalan yang dapat memenuhi kriteria tersebut, yaitu pengerasan yang dapat menahan beban kendaraan sehingga pengerasan tahan terhadap terjadinya deformasi antara lain alur, gelombang dan lainnya. Tabel 1 menunjukkan jumlah kerusakan jalan di Indonesia.

Tabel 1. Jumlah Kerusakan Jalan di Indonesia

Kondisi Jalan Jumlah (km)

Baik 151.429

Sedang 102.292

Rusak 80.546

Rusak Berat 62.035

Sumber : BPS (2007)

Dari Tabel 1, ditunjukkan bahwa jumlah jalan yang berkategori rusak dan rusak berat adalah 36% dari total jalan di Indonesia pada tahun 2007. Jenis kerusakan utama dari jalan adalah keretakan. Selama ini, jalan di Indonesia belum menggunakan aspal termodifikasi dengan karet alam sehingga cenderung mudah retak. Penggunaan aspal termodifikasi dengan karet alam yang memiliki daya elastisitas tinggi diharapkan dapat meningkatkan kelenturan aspal sehingga menurunkan tingkat kerusakan jalan.

Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan jalan, diantaranya adalah beban lalu lintas yang melebihi ukuran seharusnya, drainase atau saluran pembuangan dan penyerapan air yang kurang baik. Khusus untuk Indonesia yang beriklim tropis dimana temperatur udara dan curah hujan yang umumnya tinggi, diperlukan jenis mutu aspal yang tahan terhadap kenaikan suhu jalan (titik lembeknya lebih tinggi). Aspal dengan mutu lebih baik tersebut dapat diperoleh dengan memodifikasi aspal. Dalam hal ini, modifikasi

pada aspal dilakukan dengan menambahkan karet. Apabila aspal termodifikasi ini ditingkatkan penggunaannya maka akan memberikan kontribusi positif terhadap penyerapan hasil produksi karet nasional.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh perendaman karet alam dalam lindi hitam.

2. Memperoleh kombinasi perlakuan terbaik dari karet alam untuk menghasilkan aspal termodifikasi yang terbaik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet

Karet alam dapat diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis yang menghasilkan getah berupa cairan berwarna putih ketika permukaan kulit pohonnya disadap. Tanaman yang berasal dari negara Brazil ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Karet alam juga dapat dihasilkan dari tanaman lain yaitu Castilla elastica dan Ficus elastica (famili Moraceae),

Funtumia elastica, Dyera sp., dan Landolphia sp. (famili Apocinaceae), Palaquium gutta

(famili Sapotaceae), Parthenium argentatum dan Taraxacum kokbsaghyz (famili Compositae), dan Manihot glaziovii (family Euphorbiaceae). Tanaman karet Hevea brasiliensis merupakan divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledone, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Hevea, dan spesies Hevea brasiliensis. Tanaman tersebut dapat tumbuh pada segala jenis tanah. Tanaman karet mempunyai toleransi terhadap pH tanah yang cukup besar, yaitu antara 3,8-8, meskipun yang dianggap optimum adalah 4-6,5. Di Indonesia, tanaman karet tumbuh baik pada tanah dengan ketinggian antara 600-700 m di atas permukaan laut. Pada tempat yang lebih tinggi, pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat dan produktifitasnya rendah. Tanaman karet dapat ditanam pada tanah yang kurang subur untuk menanam tanaman perkebunan yang lain. Pada tanah yang subur, karet mulai dapat disadap setelah umur 4-5 tahun sedangkan pada tanah yang kurang subur, tanaman karet baru bisa disadap pada umur 7 tahun (Goutara et al., 1985).

2.2 Lateks

Lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi di dalam air. Protein di lapisan luar memberikan muatan pada partikel karet. Lateks merupakan suatu dispersi butir-butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut beberapa garam dan zat organik seperti gula dan protein (Goutara et al., 1985). Sementara itu, Triwijoso dan Siswantoro (1989) mengungkapkan bahwa lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan yang terdiri atas partikel karet dan bukan karet yang terdispersi di dalam air.

Air getah (lateks) yang pada dewasa ini dipakai untuk pembuatan berbagai barang berasal dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Air getah (lateks) kira-kira mengandung 25-40% bahan karet mentah (crude rubber) dan 60-75% serum (air dengan zat-zat yang melarut di dalamnya). Bahan karet mentah antara lain mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 1-2% asam-asam lemak, 0,1-2% gula, dan 0,5% garam-garam mineral (Loo, 1980).

Komposisi lateks Hevea brasiliensis dapat dilihat jika lateks disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm yang hasilnya adalah sebagai berikut :

1. Fraksi lateks (37%) : Karet (isopren), protein, lipida, dan ion logam.

2. Fraksi Frey Wyssling (1-3%) : Karotenoid, lipida, air, karbohidrat dan inositol, protein dan turunannya.

3. Fraksi serum (48%) : Senyawaan nitrogen, asam nukleat dan nukleotida, senyawa organik, ion anorganik, dan logam.

4. Fraksi dasar (14%) : Air, protein dan senyawaan nitrogen, karet dan karotenoid, lipida dan ion logam.

Getah karet diperoleh dengan menyadap kulit batang karet dengan pisau sadap sehingga keluar getah yang disebut lateks. Lateks adalah hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa ditranslokasikan dari daun melalui pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh lateks terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan sukrosa untuk pembentukan karet (Manitto, 1981). Molekul sukrosa melalui serangkaian proses enzimatik akan membentuk asetil asetat atau asetil CoA. Asetil CoA yang dihasilkan dari glikolisis selanjutnya melalui serangkaian reaksi enzimatik akan membentuk rantai isoprene 5- karbon yaitu isopentenil pirofosfat (IPP). IPP dengan dikatalisir oleh isopentenill difosfat isomerase membentuk Dimetilalil Pirofosfat (DMAPP). Manitto (1960) menambahkan bahwa IPP dapat mengalami isomerisasi menjadi DMAPP sehingga terjadi perubahan dari substansi yang tidak reaktif menjadi molekul reaktif. Reaksi tersebut adalah reaksi reversibel yang terdapat dalam biosintesis terpena. Suatu molekul DMAPP dapat berkondensasi secara kepala ke ekor dengan IPP menghasilkan geranil pirofosfat. Reaksi tipe ini dapat diulangi dengan jalan mereaksikan lebih lanjut produk dengan IPP. DMAPP berperan sebagai batu pondasi yang diatasnya diletakkan bata-bata penyusun bangunan yaitu IPP. Adisi serupa ini dapat berlangsung karena produk yang didapat dari adisi C5 yang berlangsung sebelumnya, mempunyai reaksifitas yang serupa DMAPP.

Seri berikutnya setiap pengulangan pada tingkat yang lebih kompleks geranil-geranil phirofosfat dapat dikonversi menjadi diterpene atau geranil-geranil phirofosfat dapat digabungkan menjadi membentuk badan 40 karbon. Pada jalur tetraterpene antara lain dihasilkan karetenoid selanjutnya setiap penambahan kepala sampai ekor dengan peran penting IPP akhirnya menghasilkan politerpenes karet.Gambar 1 menunjukkan penyadapan lateks dari pohon karet.

Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis (Barney, 1973)

Proses pengumpulan lateks harus memperhatikan kebersihan alat dan kemungkinan terjadinya pengotoran pada lateks. Kotoran yang sulit dihilangkan menyebabkan terjadinya prokoagulasi. Menurut Barney (1973), pembentukan asam-asam dalam lateks yang tidak diberi pengawet akan menyebabkan penggumpalan secara alami. Kontaminasi mikroorganisme dari udara, perusakan karbohidrat, protein, dan lipid dalam lateks serta aktivitas enzim tertentu akan

memfermentasikan bagian-bagian bukan karet dalam lateks menjadi asam lemak eteris dan asam lemak bebas. Asam lemak eteris merupakan asam lemak yang mudah menguap. Penambahan bahan kimia pengawet seperti amonia (NH3) dan formalin bertujuan untuk

Dokumen terkait