• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impact of Sea Level Rise on Coastal Management of Pulau Dua Nature Reserve In Relation to Its Buffer Area in Kasemen Sub District, Serang Municipality of Banten Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impact of Sea Level Rise on Coastal Management of Pulau Dua Nature Reserve In Relation to Its Buffer Area in Kasemen Sub District, Serang Municipality of Banten Province"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

DAN KETERKAITAN DENGAN KAWASAN PENYANGGA

DI KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG

PROVINSI BANTEN

ITA SUALIA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya, menyatakan bahwa tesis Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan Penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Ita Sualia NRP C252070011

(3)

ITA SUALIA. Impact of Sea Level Rise on Coastal Management of Pulau Dua Nature Reserve In Relation to Its Buffer Area in Kasemen Sub District,

Serang Municipality of Banten Province.

Under supervision of FREDINAN YULIANDA and ACHMAD FAHRUDIN

Pulau Dua Nature Reserve (CAPD) is located in Banten Bay on 06o01’05”– 06o02’05”South and 106o11’38”– 106o13’14”East under administrative area of Sawah Luhur village of Serang municipality. The function of CPAD is very important for about 108 species of birds where 38 species of its categorized as protected by national and or international convention. An area of 28,6 hectares mangrove as the main vegetation of 30 hectares CAPD leads important role as well as natural protection for 515 hectares of fish ponds, 2910 families and also support rice production of Serang and its surrounding. Topography of CAPD and its surrounding ecosystem are a gently sloping low land area with the highest contour is 4m above MSL. Due to this topography condition and located directly faced Java Sea, caused this area is very vulnerable to the impacts of sea level rise. Simulation models of sea level rise for scenario 25cm, 50cm and 100cm combining with contour map are able to predict the changes of ecological landscape of land inundation and economic losses incurred. Calculation of economic losses in this study carried out by using economic valuation method of mangrove ecosystem, as mangrove e is the main vegetation of CAPD. Sea level rise on scenario 25cm shown taht 427, 22 ha of fish ponds will permanently inundate and no more operates or about 5.699.542.020 IDR will be losses. On scenario of 50cm shown 535,60 ha fish ponds and 10ha CAPD will be loss with economic value losses is IDR 11.261.056.639. On scenario 100cm, about 569,54 ha area will be loss namely all of area of fish pond, 28ha of CAPD, village road and settlement. Area management strategy to answer this problem was developed through SWOT analysis on vulnerability level of natural, human resource and socio economic conditions. Through this analysis can be recommend an ecological planning method as the strategy of coastal management of Sawah Luhur village.

(4)

RINGKASAN

ITA SUALIA. Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan Penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten

Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FAHRUDIN

Cagar Alam Pulau Dua (CPAD) merupakan kawasan lindung yang didominasi oleh vegetasi mangrove, terletak di Teluk Banten (berhadapan langsung dengan Laut Jawa) dan berada dalam wilayah administrasi Kelurahan Sawah Luhur Kecamatan Kasemen Kota Serang. Secara ekologi, keberadaan CAPD sangat penting setidaknya bagi 108 jenis burung yang tiga puluh delapan diantaranya merupakan jenis yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Secara ekonomi, keberadaan vegetasi mangrove di CAPD merupakan benteng alami bagi 515 hektar areal pertambakan dan pemukiman dari 2190 keluarga Kelurahan Sawah Luhur. Selain itu, keberadaan CAPD juga mendukung keberhasilan produksi beras Kota Serang dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh burung-burung yang hidup di CAPD merupakan penyeimbang populasi hama padi terutama serangga.

Topografi berupa dataran pesisir yang landai dengan ketinggian maksimal punggung pulau 4m di atas permukaan laut serta posisi yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa menyebabkan CAPD sangat rentan terhadap dinamika pantai Penelitian simulasi dampak kenaikan muka laut skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm yang dilakukan di wilayah CAPD dan tambak sekitarnya dimaksudkan untuk : 1) Memperkirakan perubahan ekologi (bentang alam) CAPD dan tambak sekitarnya; 2) Menghitung kerugian ekonomi atas perubahan bentang alam yang ditimbulkan; 3) Mengidentifikasi upaya peningkatan resiliensi dan mitigasi yang telah ada; 4) Memberikan rekomendasi strategi pengelolaan pesisir Kelurahan Sawah Luhur dalam kerangka peningkatan resiliensi ekosistem dan masyarakat terhadap kenaikan muka laut.

Pegumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada Agustus 2009 sampai dengan Maret 2010. Analisis perubahan bentang alam dilakukan dengan memadukan (overlay) peta kontur CAPD dan tambak sekitarnya dengan skenario kenaikan muka laut setinggi 25cm, 50cm dan 100cm. Penghitungan kerugian ekonomi dari perubahan bentang alam akibat kenaikan muka laut dilakukan dengan menghitung nilai ekonomi total ekosistem mangrove.

Hasil simulasi skenario kenaikan 25cm meununjukkan bahwa 427, 22 ha areal tambak akan tergenang permanen dan tidak dapat dioperasikan sehingga menyebabkan kehilangan nilai ekonomi sebesar Rp. 5.699.542.020/hektar/tahun. Skenario kenaikan 50cm menunjukkan 535,60 ha areal tambak dan 10 ha wilayah

CAPD akan tergenang permanen dengan total nilai kerugian Rp. 11.261.056.639/hektar/tahun dan pada skenario kenaikan 100cm, total area

(5)

Pengembangan strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur menggunakan pendekatan ecological planning method yaitu pemaduan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kawasan. Selanjutnya, informasi tersebut disusun dengan mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang terdapat di lokasi penelitian, khususnya pada enam modal utama dalam pengurangan risiko bencana yaitu modal sumberdaya alam (natural capital), modal ekonomi/ finansial (economic/financial capital), modal sumberdaya manusia (human capital), modal sosial (social capital) dan modal politik (political capital).

Hasil pengkajian informasi biofisik dan sosial ekonomi tersebut diatas dapat diketahui bahwa kawasan pertambakan CAPD dengan luas 515 ha memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada CAPD. Kerusakan kawasan CAPD bisa berdampak langsung pada kondisi sosial ekonomi Kota Serang dan disekitarnya dan memiliki dampak tidak langsung pada kondisi ekologi secara global. Berdasarkan hal tersebut, maka fokus strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur dilakukan dengan menjadikan CAPD sebagai prioritas dengan dua strategi utama yaitu: (1). Menurunkan tingkat ancaman, mengurangi kejadian abrasi dengan mempertahankan garis pantai saat ini. Terdapat dua pilihan yang bisa dilakukan yaitu dengan hard engineering (rekayasa fisik) berupa pemasangan tanggul laut dan soft engineering (rekayasa biologi) dengan penanaman mangrove. Pilihan soft engineering sebaiknya dilakukan sehingga diperoleh biaya investasi dan perawatan yang lebih murah. Disamping itu, ekosistem mangrove yang terbentuk akan memberikan dampak ekologis yang lebih baik bagi lingkungan lokal maupun global; (2) Menurunkan tingkat kelemahan, fokus strategi adalah dengan mengupayakan peningkatan kapasitas finansial, sumberdaya manusia, dan politik masyarakat agar mengarus-utamakan upaya-upaya adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan sehari-hari. Mata-pencaharian masyarakat, terutama perikanan agar diperkuat dengan dukungan finansial dan teknis sehingga bisa mengubah pola budidaya pertambakan konvensional saat ini menjadi pertambakan model silvofishery.

(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

(7)

DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP

PENGELOLAAN PESISIR CAGAR ALAM PULAU DUA

DAN KETERKAITAN DENGAN KAWASAN PENYANGGA

DI KECAMATAN KASEMEN KOTA SERANG

PROVINSI BANTEN

ITA SUALIA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Penelitian : Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan Penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten

Nama : Ita Sualia

NRP : C 252070011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc

Ketua Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian: 28 September 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(11)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas selesainya penulisan tesis dengan judul Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah Pesisir di Cagar Alam Pulau Dua dan Sekitarnya, Provinsi Banten. Kenaikan muka laut akibat pemanasan global diprediksikan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi wilayah pesisir. Penelitian ini memprediksi dampak ekologi dan ekonomi kenaikan muka laut pada skenario kenaikan 25cm, 50 cm dan 100 cm yang didasarkan pada kecenderungan kenaikan muka air laut Indonesia akibat pemanasan global berkisar 57-120cm dari tahun 2001 hingga 2100 (IPCC, 2001). Pesan yang ingin disampaikan oleh penulis melalui penelitian ini adalah perlunya suatu perencanaan wilayah pesisir yang memperhatikan aspek antisipasi dampak dari perubahan iklim.

Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Achmad Fachrudin, MSi atas motivasi yang diberikan dan kesabarannya dalam membimbing penyelesaian penelitian dan penulisan tesis.

2. Bapak Yus Rusila Noor, Senior Programme Manager Wetlands International Indonesia Programme (WIIP) atas informasi mengenai CAPD serta pinjaman literatur-literatur terkait perubahan iklim

3. Bapak I Nyoman Ngurah Suryadiputra, Programme Director WIIP dan rekan-rekan kerja di Wetlands International atas suasana kerja yang mendukung. 4. Muhammad ILMAN (suami) dan Auliya Muhammad Yanggi (anak) atas

kerjasamnya dalam membagi waktu serta dukungan doa.

5. Keluarga besar di Bangka dan di Majene yang telah turut merawat Yanggi dan dukungan doanya.

6. Semua rekan SPL angkatan 14 atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus.

Bogor, September 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungailiat Bangka, sebuah kota kecil di Selatan Sumatera yang dikenal sebagai daerah penghasil timah dan lada putih, merupakan anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Bapak H. Idi Suryadi, M.Si dan Ibu Hj. Nafsiah. Pendidikan dasar dimulai di TK Pertiwi Sungailiat, SDN 366 Sungailiat, SMPN 1 Menes Pandeglang (Provinsi Banten), dan SMAN 1 Sungailiat lulus tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan IPB dan lulus pada tahun 2005.

Karir pekerjaan penulis dimulai sebagai Asisten Dosen Mata Kuliah Limnologi Perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB antara tahun 2003 hingga 2005. Sejak tahun 2005 hingga saat ini penulis bekerja di Wetlands International, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan kegiatannya pada pemanfaatan secara bijaksana ekosistem-ekosistem lahan basah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

(13)

xii

1.4 Hipotesis Penelitian dan Kerangka Pemikiran ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ekosistem Mangrove ... 7

2.1.1 Definisi Ekosistem Mangrove ... 7

2.1.2 Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan ... 10

2.1.3 Manfaat Ekonomis dan Ekologis Mangrove ... 11

2.2 Kawasan Konservasi dan Fungsinya ... 14

2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam ... 18

2.3.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 21

2.3.2 Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Effect on Production ... 23

2.4 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global ... 24

2.4.1 Definisi Perubahan Iklim ... 24

2.4.2 Perubahan Iklim di Indonesia ... 28

3.2.1 Analisis Perubahan Bentang Alam ... 36

3.2.2 Analisis Kerugian Ekonomi ... 36

3.2.3 Analisis Solusi ... 40

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 43

4.1 Posisi Geografis dan Batas Wilayah ... 43

4.2 Aksesibilitas dan Transportasi ... 45

4.3 Kondisi Klimatologi ... 46

4.4 Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua ... 46

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1 Identifikasi Potensi, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ... 47

5.1.1 Potensi ... 47

(14)

5.1.3 Peluang ... 54

5.1.4 Ancaman ... 55

5.2 Valuasi Sumberdaya Pesisir ... 57

5.2.1 Nilai Manfaat (Use Value) ... 62

5.2.2 Nilai Bukan Pemanfaatan (Non Use Value) ... 67

5.2.3 Total Nilai Ekonomi ... 68

5.3 Pengaruh Penggenangan Terhadap Total Nilai Ekonomi ... 69

5.4 Strategi Pengelolaan Ekosistem Pesisir ... 70

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran ... 77

(15)

xiv

Tabel 1. Kategori kawasan konservasi dan status perlindungan ... 14

Tabel 2. Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaan ... 15

Tabel 3. Nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove yang dihitung dalam penelitian ... 39

Tabel 4. Jenis dan kebutuhan data yang diperlukan dalam Effect on Production... 39

Tabel 5. Lima modal uatana indikator kapasitas pengurangan risiko bencana ... 41

Tabel 6. Jenis dan persentase penggunaan lahan ... 45

Tabel 7. Hasil analisis stakeholder Kelurahan Sawah Luhur ... 53

Tabel 8. Tingkat kerentanan enam modal utama pengurangan risiko bencana ... 54

Tabel 9. Perubahan bentang alam CAPD dan tambak sekitarnya ... 57

Tabel 10. Biaya produksi dan pendapatan kotor budidaya perikanan dan di CAPD dan tambak sekitarnya ... 64

Tabel 11. Total nilai ekonomi manfaat langsung mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya ... 66

Tabel 12. Nilai manfaat tidak langsung jasa lingkungan mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya ... 67

Tabel 13. Total nilai ekonomi mangrove di CAPD dan tambak sekitarnya... 69

Tabel 14. Total nilai kerugian per skenario kenaikan muka laut ... 69

Tabel 15. Analisis stakeholder dan potensi keterlibatan dalam kegiatan ... 70

(16)
(17)

xvi

Gambar 1. Alur kerangka pemikiran penelitian ... 6

Gambar 2. Pendekatan penghitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove ... 22

Gambar 3. Konsep valuasi ekonomi SDA dengan pendekatan effect on production ... 23

Gambar 4. Ilustrasi perubahan iklim yang ditunjukkan oleh perubahan rata-rata dan keragaman suhu ... 26

Gambar 5. Variasi perbedaan suhu rata-rata permukaan bumi ... 27

Gambar 6. Perubahan suhu udara dan konsentrasi GRK di udara selama 1000 tahun ... 27

Gambar 7. Kecenderungan kenaikan suhu udara Kota Jakarta dan Semarang ... 28

Gambar 8. Perubahan pola curah hujan sebagai indikator perubahan iklim 29 Gambar 9. Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun ... 31

Gambar 10. Simulasi kenaikan muka laut rata-rata antara tahun 1990 dan 2100 akibat pemanasan masa air dan es yang mencair ... 31

Gambar 11. Perubahan tinggi muka laut tahun 1870-2000 ... 33

Gambar 12. Peta penggunaan lahan di Provinsi Banten ... 43

Gambar 13. Peta area cakupan penelitian ... 44

Gambar 14. Peta wilayah Kelurahan Sawah Luhur ... 44

Gambar 15. Sebaran vegetasi dominan di CAPD ... 47

Gambar 16. Ilustrasi kondisi vegetasi di Kelurahan Sawah Luhur ... 49

Gambar 17. Mangrove yang tumbuh di dalam badan air ... 50

Gambar 18. Kondisi umum vegetasi di pematang tambak ... 51

Gambar 19. Stakeholder pemanfaatan ekosistem mangrove CAPD ... 52

Gambar 20. Peta abrasi di kawasan Cagar Alam Pulau Dua ... 56

Gambar 21. Kegiatan pengambilan kayu bakar di CAPD ... 56

Gambar 22. Peta situasi CAPD dan tambak sekitarnya pada kondisi normal 58 Gambar 22. Peta penggenangan CAPD dan tambak sekitarnya kenaikan muka laut 25cm ... 59

(18)

Gambar 24. Peta penggenangan CAPD dan tambak sekitarnya kenaikan

(19)

xviii

(20)

1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun 1800 hingga tahun 2000 (seperti variasi suhu permukaan bumi, konsentrasi gas rumah kaca di udara dan tinggi rata-rata muka laut) serta prediksi dampak yang akan ditimbulkan pada masa mendatang menjadikan isu perubahan iklim terus diperbincangkan, bahkan sampai mempengaruhi kebijakan global dunia, tidak terkecuali kebijakan politik dan ekonomi Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Perancanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS 2010) telah mengeluarkan suatu buku Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap yaitu arahan pembangunan sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir,sumber daya air, limbah, dan kesehatan kaitan dengan perubahan iklim. Pada tahap implementasi untuk mengintegrasikan perubahan iklim dalam perencanaan pengembangan suatu kawasan maupun program pembangunan pada berbagai sektor masih relatif sulit. Hal tersebut dikarenakan masih minimnya informasi mengenai perubahan iklim, dampak yang akan ditimbulkan serta ketidakpastian waktu kapan dampak tersebut akan terjadi.

IPCC (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pada unsur-unsur iklim dari waktu ke waktu, baik karena variabilitas alam atau akibat aktivitas manusia dalam kurun waktu yang panjang. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2007) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan sistem iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara lima puluh sampai seratus tahun yang disebabkan oleh kegiatan antropogenik, khususnya pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Perubahan yang disebabkan oleh faktor alami seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim. Masalah utama dalam isu perubahan iklim adalah naiknya suhu rata-rata (dekat) permukaan bumi yang disebabkan efek rumah kaca dari gas-gas seperti CO2 (karbondioksida) dan CH4

(21)

kaca di atmosfer diketahui telah naik secara drastis akibat aktivitas industri, terutama pasca revolusi indutri pada awal tahun 1980-an. . Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan signifikan pada sistem biologi dan fisik bumi, seperti peningkatan intensitas siklon tropis, perubahan pola curah hujan, salinitas laut, pola angin, masa reproduksi hewan dan tumbuhan, distribusi spesies dan populasi, epidemi suatu penyakit. Kesemua hal tersebut tentu akan mempengaruhi suatu keseimbangan ekologi bahkan dapat menghilangkan suatu ekosistem tertentu.

Dampak dari pemanasan global yang akan sangat di rasakan oleh masyarakat pesisir adalah kenaikan muka laut rata-rata (sea level rise) baik yang disebabkan oleh peningkatan suhu perairan sehingga massa air laut memuai maupun mencairnya es di kutub sehingga menambah volume air di lautan. Dampak lebih lanjut dari kenaikan muka laut diantaranya (1) pemunduran garis pantai; (2) terendamnya secara terus menerus suatu daratan; (3) meningkatnya potensi banjir dan erosi di rawa lumpur; (4) meningkatnya potensi dampak banjir dan bencana alam di dataran pesisir yang landai; (5) meningkatnya salinitas di estuari, rawa lumpur, sungai dan lahan basah pesisir lainnya. Kelima dampak tersebut harus dihadapai oleh negara-negara pantai atau negara kepulauan di dunia terlebih lagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Prediksi dampak perubahan iklim perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan pesisir karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai dan berakibat pada berkurangnya daratan sehingga dapat mengganggu pengaturan aset-aset penduduk, perkembangan ekonomi bahkan menyebabkan perpindahan penduduk (relokasi) dari wilayah pesisir yang terendam akibat kenaikan muka laut rata-rata (Dahuri et al. 2004).

(22)

Pulau Jawa. Secara ekologi, CAPD merupakan habitat penting bagi burung air dan burung migran. Noor (2004) menyatakan terdapat sekitar 108 jenis burung ditemukan di CPAD dimana tiga puluh delapan jenis diantaranya merupakan burung yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Dari sisi ekonomi, CPAD merupakan benteng alami setidaknya bagi 515 hektar areal pertambakan dan pemukiman dari 2190 keluarga warga Kelurahan Sawah Luhur (desa yang berbatasan langsung dengan bagian selatan CAPD). Keberadaan CAPD juga mendukung keberhasilan produksi beras Kota Serang dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh burung-burung yang hidup di CAPD pada umumnya adalah pemangsa hama padi terutama serangga sehingga dapat berperan sebagai penyeimbang populasi hama tersebut.

Topografi dataran pesisir yang landai dan berhadapan langsung dengan Selat Sunda menyebabkan pesisir Kelurahan Sawah Luhur sangat rentan terhadap dinamika pantai (Sukarningsih 2007). Hingga saat ini garis pantai wilayah CAPD di bagian utara telah mundur sekitar tiga meter ke arah darat akibat abrasi. Informasi dari Polisi Hutan setempat dan bukti penggenangan wilayah yang dulunya daratan masih terlihat jelas yaitu pohon-pohon yang tumbang maupun tergenang.

Penelitian prediksi penggenangan daratan akibat kenaikan muka laut dengan skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm yang dipadukan (overlay) dengan peta topografi dan peta tataguna lahan saat ini dapat memprediksi dampak ekologi dan ekonomi yang mungkin ditimbulkan. Informasi ini juga dapat digunakan sebagai landasan untuk memilih kebijakan pengelolaan suatu kawasan pesisir dalam mengadaptasi perubahan iklim serta mengurangi risiko bencana akibat kanaikan muka laut maupun proses hidrodinamika pantai lainnya.

1.2 Perumusan Masalah

(23)

kenaikan muka laut dari tahun 2000 hingga 2100 diprediksikan pada rentang 0,2cm hingga 1cm dengan laju kenaikan tahunan 0,6cm/ tahun (IPCC 2007). UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009) memprediksi kenaikan tinggi rata-rata permukaan laut Kota Jakarta dan Semarang adalah 0,5 sampai dengan 0,8 cm per tahun. Pemilihan angka skenario kenaikan muka laut pada penelitian ini didasarkan pada proyeksi dari kedua lembaga tersebut serta alasan kepraktisan terutama bagi pemegang kebijakan dalam memahami dampak perubahan iklim.

Merujuk pada nilai penting keberadaan Cagar Alam Pulau Dua baik secara ekologi dan ekonomi, maka kajian prediksi penggenangan daratan akibat kenaikan muka air laut dengan skenario kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm berusaha menjawab permasalahan

1. Luas penggenangan atau kehilangan daratan akibat kenaikan muka air laut pada skenario kenaikan 25cm, 50 cm dan 100cm.

2. Nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari dampak penggenangan tersebut baik pada kawasan CAPD maupun kawasan penyangga sekitarnya. 3. Alternatif strategi pengelolaan kawasan pesisir untuk mitigasi dan adaptasi

dampak kenaikan muka laut, khususnya pada upaya peningkatan kapasitas adaptasi ekosistem dan masyarakat.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini didesain agar dapat membantu para pemangku kepentingan (stakeholders) pengelolaan pesisir Teluk Banten dalam menentukan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada kebijakan di tingkat desa dan tingkat provinsi. Secara spesisfik penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memperkirakan perubahan bentang alam CAPD dan kawasan penyangga akibat kenaikan muka laut skanrio kenaikan 25cm, 50cm dan 100cm.

2. Menghitung kerugian ekonomi perubahan status ekologi atau perubahan bentang alam CPAD dan kawasan penyangga akibat kenaikan muka laut

(24)

1.4 Hipotesis Penelitian dan Kerangka Pemikiran

Berdasarkan hasil sintesis dari perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat disusun hipotesis kerja penelitian sebagai berikut.

1. Kenaikan muka laut akan menyebabkan perubahan ekologi berupa perubahan bentang alam akibat pemunduran garis pantai dan penggenangan lahan.

2. Pengenangan lahan akibat kenaikan muka air laut dapat menyebabkan depresiasi nilai ekonomi CPAD dan pertambakan di sekitarnya.

Simulasi model kenaikan muka laut setinggi 25cm, 50cm dan 100cm yang dikombinasikan dengan peta topografi wilayah dan peta tata guna lahan area CAPD dan kawasan penyangga dilakukan guna memprediksi dampak ekologi dan ekonomi yang mungkin muncul akibat pemanasan global dan proses dinamika pantai lainnya. Informasi tingkat kapasitas adaptasi masyarakat jika bencana akibat kenaikan muka air laut terjadi akan digali dalam penelitian ini sehingga startegi pengelolaan wilayah pesisir yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan kondisi ekologi tapi juga berdasarkan hasil analisis pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Alur kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(25)

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian

Cagar Alam

 Nilai konservasi  Topografi

Pertambakan

 Nilai produksi  Topografi

Pemunduran Garis Pantai, Penggenangan, Abrasi Dinamika

Pantai Sekitar Cagar Alam

Kenaikan Muka Laut

 Analisis Perubahan Ekologi (Bentang Alam) Akibat

Kenaikan Muka Laut, Skenario 25cm, 50cm dan 100cm  Analisis Perubahan Nilai

Ekonomi

 Analisis Startegi Pengelolaan Pada Aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi

Skenario Solusi

 Pembangunan Tanggul (sea wall)  Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Mangrove

2.1.1 Definisi Ekosistem Mangrove

Secara umum kata mangrove mempunyai dua arti, pertama mangrove sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua mangrove sebagai individu spesies (Macnae 1968 in Supriharyono 2000). Macnae menggunakan

istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas atau hutan dan istilah “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau, namun menurut Giesen (2006), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Berdasarkan dua pendapat tersebut mengenai definisi dasar mangrove, sehingga definisi ekosistem mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso 2004).

IUCN (1994) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik ekosistem mangrove tergantung pada faktor iklim, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar dan jenis substart. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pesisisr dengan kondisi teluk yang dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung dengan kondisi gelombang dan arus tidak terlalu deras. Karakteristik habitat ekosistem mangrove pada umumnya yaitu :

 Tumbuh pada daerah intertidal dengan jenis substrat berlumpur, berlempung dan berpasir.

(27)

 Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat yaitu dari aliran sungai sehingga pada umumnya digenangi oleh air bersalinitas payau (0,5-17 ppt).  Terlindung dari gelombang dan arus pasang surut yang kuat.

Ekosistem Mangrove Bagian dari Ekosistem Lahan Basah

Definisi ekosistem lahan basah sendiri memiliki banyak definisi yang bisa dibuat oleh pakar di bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, bisa juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan. Hampir setiap negara maju bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan basah menyesuaikan sistim hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang di negara masing-masing.

Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah:

“Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter

pada waktu surut.” Lahan basah ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan basah, dan pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah (Keppres No 48 Tahun 1991).

Menurut definisi Konvensi Ramsar, salah satu bagian dari tipe ekosistem lahan basah adalah lahan basah pesisir dan laut yang terdiri dari dua belas jenis atau tipe ekosistem. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia antara lain dataran lumpur, gumuk pasir, rawa air asin, mangrove, padang lamun, laguna dan terumbu karang. Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah mengenai lahan basah pesisir memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup semua jenis lahan basah yang terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir (NWC 2004).

(28)

Kaitan Mangrove dengan Ekosistem Lahan Basah Pesisir lainnya

Tipe ekosistem lahan basah yang pada umumnya dijumpai di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Namun tidak selalu tiganya dijumpai dalam satu wilayah, namun demikian apabila ketiga-tiganya dijumpai pada suatu wilayah, maka hubungan saling menguntungkan antara ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut (Kaswadji 2001).

a. Sifat Fisik Air

Ekosistem mangrove sebagai ekosistem yang berada pada daerah peralihan antara daratan dan lautan menerima air dari daratan melalui aliran sungan dan pasokan air laut melalui proses pasang surut. Air dari sungai akan disaring oleh sistem perakaran mangrove, lalu menuju ekosistem padang lamun. Daun-daun pada tumbuhan lamun dapat memperlambat aliran air dan menyaring endapan yang diangkutnya sehingga kondisi perairan pada ekosistem lamun air cenderung lebih tenang dan bersih sehingga air yang akan mengalir ke ekosistem terumbu karang relatif lebih jernih dibanding kedua ekosistem sebelumnya sehingga tidak menganggu kehidupan terumbu karang. Sebaliknya, ekosistem terumbu karang sebagai pelindung bagi ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove dari hempasan gelombang dan arus yang datang dari laut lepas.

b. Migrasi Fauna

Migrasi fauna dapat disebabkan oleh meningkatnya predator pada suatu ekosistem sehingga mencari tempat untuk berlindung, mencari tempat untuk reproduksi dan persaingan dalam memperbutkan makanan maupun ruang. Ketika ekosistem mangrove dalam keadaan rusak atau terganggu oleh aktivitas manusia maupun oleh pengaruh alam, maka fauna yang hidupnya di sekitar mangrove akan beralih ke ekositem lamun maupun terumbu karang untuk memperoleh perlindungan.

(29)

c. Dampak Akibat Kegiatan Manusia

Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pebukaan lahan pertanian dan pertambakan dapat mengakibatkan abrasi sehingga mengeruhkan perairan. Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang yang ada disekitarnya, proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Selain pemanfaatan mangrove yang merusak lingkungan, pemanfaatan lamun dengan cara yang sama akan menyebabkan sedimentasi, mengingat bahwa lamun mempunyai rhizoma yang saling melintang, berfungsi untuk mengikat sedimen di dasar.

Pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan akan mengancam ekosistem mangrove. Mengingat bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi untuk menahan gelombang dan arus yang kuat, sehingga tanpa keberadaan terumbu karang, akan mengancam ekosistem mangrove dari ombak dan arus yang kuat. Ikan di daerah terumbu karang yang memakan suatu spesies ikan di sekitar daerah lamun lama kelamaan akan habis apabila terus menerus dieksploitasi secara besar-besaran oleh manusia sehingga akan terjadi ketidak seimbangan dalam rantai makanan dan ekosistem (Lawrence 1998).

2.1.2 Daya Adaptasi Ekosistem Mangrove Terhadap Lingkungan

Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :

1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp, Xylocarpus sp, dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :

a. Memiliki sel-sel khusus di daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.

b. Berdaun kuat, tebal dan mengandung banyak air guna mengatur keseimbangan garam.

(30)

3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

2.1.3 Manfaat Ekonomis dan Ekologis Ekosistem Mangrove

Menurut Giesen (2006) dan Santoso (2004), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut.

1. Habitat satwa langka

Ekosistem mangrove merupakan habitat jenis-jenis satwa seperti burung, mamalia, reptil, dan serangga. Lebih dari 100 jenis burung hidup di ekosistem mangrove. Pada umumnya burung migran memanfaatkan dataran lumpur (mud flat) yang berbatasan dengan hutan bakau sebagai tempat mencari makan (feeding ground).

2. Pelindung terhadap bencana alam

Vegetasi mangrove dapat berfungsi sebagai pelindung garis pantai dari abrasi melaui kemampuan akar mangrove untuk memerangkap sedimen maupun fungsi fisik pohon dan akar mangrove dalam meredam gelombang dari laut.

3. Pengendapan lumpur

Bentuk akar mangrove yang melebar dan rapat antar tiap cabang akar satu sama lain, secara fisik dapat membantu proses pengendapan lumpur sehingga dapat mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air karena bahan-bahan tersebut dapat terikat pada partikel lumpur.

4. Penambah unsur hara

(31)

5. Transportasi

Transportasi air melalaui hutan mangrove pada beberapa daerah di Indonesia memungkinkan para nelayan untuk mengakses sumberdaya alam di perairan. Hutan mangrove juga di beberapa tempat sering dijadikan tempat untuk menyimpan/ parkir perahu.

6. Sumber plasma nutfah

Sifat perairan ekosistem mangrove dengan tenang banyak dimanfaatkan oleh biota akuatik pesisir sebagai tempat memijah, sehingga ekosistem mangrove merupakan tempat penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar.

7. Rekreasi dan pariwisata

Ekosistem mangrove memiliki nilai estetika, baik alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Ekosistem mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

8. Sarana pendidikan dan penelitian

Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.

9. Memelihara proses-proses dan sistem alami

(32)

10. Memelihara iklim mikro

Evapotranspirasi dari tanaman mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.

11. Penyerapan karbon

Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon

organik dalam bentuk bahan vegetasi seperti kayu dan daun. Pada sebagian besar ekosistem, bahan vegetasi yang sudah mati akan membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai C02, namun tidak demikian

dengan mangrove, serasah dari hasil pembusukan akan tersimpan didalam substrat tidak lepas ke atmosfir sehingga ekosistem mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.

12. Penyokong kelangsungan sumberdaya perikanan

Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah partikel bahan organik atau detritus yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove. Fauna akuatik yang memanfaatkan detritus seperti moluska, kepiting dan cacing selanjutnya akan dikonsumsi oleh konsumen tingkat dua yang biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil. Ikan-ikan kecil tersebut selanjutnya akan dikonsumsi konsumen tingkat tiga dan seterusnya. Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.

13. Penghasil keperluan rumah tangga

Kayu mangrove dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan tradisional.

14. Penghasil keperluan industri

(33)

2.2 Kawasan Konservasi dan Fungsinya

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) 1994 mendefinisikan kawasan dilindungi (proected area) adalah suatu areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya dan dikelola melalui upaya-upaya legal atau suatu upaya-upaya yang efektif. Terdapat lebih dari 140 kategori kawasan konservasi yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan dalam mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain. Berdasarkan hasil proses diskusi yang panjang, sejak diperkenalkannya definisi Taman Nasional (National Park) pada tahun 1969, IUCN berhasil mengelompokkan kawasan konservasi menjadi enam kategori seperti disajikan pada Tabel 1 dan lebih lanjut, pengkategorian tersebut dikaji kembali dalam konvensi IUCN pada tahun 1994.

Tabel 1 Kategori kawasan konservasi dan status perlindungan

Kategori Status perlindungan

I. Strict Nature Reserve/Wilderness Area,

Ia = strict nature reserva; Ib = wilderness area

II. National Park

III. Natural Monument

IV. Habitat/Spesies Management Area V. Protected Landscape/Seascape VI. Managed Resource Protected Area

Sumber : (IUCN 1994)

Kategori I

Suatu area baik daratan maupun laut memiliki atau mewakili beberapa tipe ekosistem, karakteristik geologi, fisiologis dan / atau keberadaan suatu spesies utama yang dapat digunakan untuk penelitian dan / atau pemantauan lingkungan. Karakteristik keaslian wilayah yang dimaksud tidak dimodifikasi atau dapat dimodifikasi sedikit namun mempertahankan karakter keasliannya dan modifikasi yang dilakukan tidak megaggu proses kehidupan alami di dalamnya.

Kategori II

(34)

Kategori III

Suatu daerah yang memiliki satu atau lebih komponen alam atau budaya yang khas dan unik tertentu, memiliki nilai kelangkaan atau estetika kualitas atau signifikansi budaya.

Kategori IV

Suatu area berupa daratan dan atau laut yang mmeperbolehkan adanya intervensi pengelolaan aktif untuk tujuan pemeliharaan habitat dan / atau untuk memenuhi persyaratan kondisi habitat bagi suatu spesies tertentu.

Kategori V

Suatu wilayah pesisir (pantai dan laut), di mana interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu telah menghasilkan suatu keunikan secara estetika tertentu mencakup nilai ekologi dan budaya dan juga terkadang suatu estetika yan berkaitan dengan pemeliharaan keanekaragaman hayati.

Kategori VI

Suatu area yang mayoritas wilayahnya masih alami (tidak dimodifikasi) untuk memastikan perlindungan jangka panjang dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan pada saat yang bersamaan juga dapat menyediakan produk-produk alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pengelompokan kategori kawasan berdasarkan tujuan pengelolaan masing-masing kawasan bisa dijelaskan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaan

Tujuan Pengelolaan Kategori Kawasan Perlindungan sumberdaya alam spesifik dan perkembangan

budaya

(35)

Istilah ”kawasan konservasi” yang digunakan dalam tulisan ini merujuk

pada “kawasan pelestarian alam” yang tercantum dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan Undang-undang tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan.

Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai berikut.

1. Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih ditujukan untuk perlindungan satwa.

2. Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam ada tiga macam yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam.

Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detil dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundang-undangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda. Hal tersebut misalnya terlihat dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 yang

menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu: (1)

(36)

”kawasan hutan konservasi” yang dibagi dalam tiga jenis kawasan yaitu: hutan

suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang-Undang No 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1) Kawasan Lindung; (2) Kawasan Budidaya; dan (3) Kawasan dengan Peruntukan Khusus.

Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi.

Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi kawasan yang terdapat dalam Undang-Undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut adalah:

1. Terwujudnya kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian.

2. Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran masyarakat di dalam dan di sekitarnya,

3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan proses-proses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi.

4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan lingkungan secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. 5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan

(37)

Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan besar-besaran dalam paradigma pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini antara lain dipicu oleh munculnya issu pengelolaan yang baru maupun penemuan-penemuan ilmiah berkaitan dengan sifat biosfisik seperti perubahan iklim. Perubahan tersebut terjadi di semua tingkat pengelolaan, internasional, regional, nasional, dan daerah (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah 2004).

Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi.

2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam

Konsep valuasi ekonomi mulai muncul pada dekade tujuh puluhan yang diinisiasi oleh kalangan economic environmentalist dengan mengembangkan suatu kerangka fikir dalam menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara holistik. Kerangka fikir tersebut dimaksudkan untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan agar tetap tersedia dan bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi mendatang atau dikenal dengan istilah sustainable development concept (Adrianto 2006).

(38)

Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Menurut Thampapillai in Alfian (2004) tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-banrang dan jasa lingungan (environmental goods and services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi ekonomi lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas dalam mendeterminasi keseimbangan pembangunan dan konservasi

Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Tiga ciri sumberdaya yaitu:

1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan,maka kecenderungannya akan musnah.

2. Adanya ketidakpastian, misalnya ekosistem mangrove rusak atau hilang. Akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut mengalami kepunahan.

3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya.

(39)

digunakan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya.

Lebih lanjut Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value). Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan existence values dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values).

Nilai guna langsung (direct value) meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya.

Nilai guna tidak langsung (indirect value) terdiri dari manfaat - manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh ekosistem mangrove terus menerus memberikan perlindungan kepada pantai, serta peranannya dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan terkait dengan fungsinya sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground.

Nilai pilihan (optional value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity.

(40)

Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi selanjutnya.Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.

2.3.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove

Penilaian ekonom ekosistem mangrove sebagai pensuplai barang dan jasa di wilayah pesisir penting dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat ancaman konversi hutan mangrove untuk tujuan pemanfaatan lain. Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang mempunyai nilai pasar. Terdapat tiga kategori penilaian ekonomi yang digunakan dalam memecahkan masalah-masalah kebijakan wilayah pesisir (Barbier 1993) yakni :

1. Impact analysis, yaitu menilai tingkat kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh suatu kegiatan pada sistem pesisir. Misalnya penilaian kerusakan lingkungan pesisir karena tumpahan minyak.

2. Partial valuation, yaitu menilai tingkat kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh suatu yaitu penilaian alternatif alokasi sumberdaya yang menggunakan sistem atau sumberdaya pesisir. Misalnya pemilihan alternatif pemanfaatan kolom air untuk budidaya periakanan atau pariwisata bawah air.

3. Total valuation, yaitu penilaian ekonomi secara keseluruhan dari sistem pesisir. Pendekatan ini dilakukan dalam menentukan nilai ekonomi total dari ekosistem pesisir.

(41)

PKSPL-IPB in Santoso et al. (2004) mendapatkan nilai manfaat total ekosistem hutan mangrove Total Economic Value (TEV), di Pulau Madura yang sebesar Rp 49 trilyun untuk wilayah madura, sebesar Rp. 329 trilyun untuk Papua, Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jawa Barat Rp. 1,36 trilyun. Perhitungan mencakup nilai pemanfaatan (use value) maupun bukan pemanfaatan (non use value).

Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun. Nilai TEV ekosistem mangrove Indonesia tersebut terancam jauh berkurang akibat tingginya tingkat kehilangan luasan hutan mangrove Indonesia. Giesen (1993) menunjukkan bahwa luas mangrove Indonesia pada tahun 1992 adalah 4,13 juta hektar. Bakosurtanal (2009) mendapatkan bahwa luas mangrove Indonesia pada tahun 2009 adalah 3,2 juta hektar. Berdasarkan kedua data tersebut dapat ditarik kesimpulan selama enam belas tahun terdapat pengurangan luasan hutan mangrove Indonesia sekitar satu juta hektar.

Gambar 2 Pendekatan penghitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove Diadaptasi dari Millenium Ecosystem Assessment (2005)

Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove

Nilai Manfaat Nilai Bukan Manfaat

(42)

2.3.2 Valuasi Ekonomi dengan Pendekatan Effect on Production

Setiap ekosistem memiliki jasa dan produk yang dihasilkan berbeda-beda. Sebagai contoh, ekosistem mangrove mampu menyediakan jasa perlindungan dari angin laut dan abrasi serta produk akhir berupa ikan, udang, kepiting, satwa liar, kayu bakar, dan sebagainya. Dalam konteks valuasi ekonomi, jasa dan produk-produk akhir tersebut merupakan produk-produktivitas ekosistem mangrove. Sehingga penghitungan nilai manfaat ekonomi (valuasi ekonomi) dari ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan pendekatan metode effect on production atau Brabier (1993) mengisitilahkan dengan pendekatan impact analysis.

Konsep dasar dari metode valusi dengan menggunakan metode effect on production adalah pendekatan produktivitas yang dilatar belekaangi pemikiran bahwa apabila ada gangguan terhadap sistem sumberdaya alam (misal polusi), maka kemampuan sumberdaya alam untuk menghasilkan aliran barang atau jasa menjadi terganggu (injured). Gangguan ini mengakibatkan perubahan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut sehingga akan mengubah pola pemanfaatannya, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai dari sumberdaya alam tersebut (Adrianto 2006). Lebih jelas konsep valuasi ekonomi melalui pendekatan effect on production dijelaskan dalam bentuk diagram pada Gambar 3.

Gambar 3 Konsep valuasi ekonomi SDA dengan pendekatan effect on production

Sumber : Adrianto (2005)

Gangguan terhadap SDA

Fungsi sistem SDA tergangu

Aliran produksi barang dan jasa terganggu

Perubahan produksi barang dan jasa

Perubahan perilaku pemanfaatan SDA

(43)

Pendekatan produktivitas memandang sumberdaya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, langkah pertama dari pendekatan ini adalah menentukan aliran jasa dari sumberdaya alam yang dinilai kemudian dianalisis hubungannya dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Menurut Grigalunas and Congar (1995) in Adrianto (2006), pendekatan produktivitas dapat digunakan apabila tersedia informasi mengenai aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh SDA tersebut. namun demikian, terkadang konsumen tidak terlalu perhatian terhadap aliran barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, sehingga informasi aliran produk suatu SDA menjadi bagian yang terpenting dalam proses valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan

2.4 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global 2.4.1 Definisi Perubahan Iklim

Terdapat banyak definisi yang telah dikembangakan baik oleh lembaga penelitian maupun pembuat kebijakan untuk untuk menyatakan perubahan iklim sebagai suatu permasalahan yang terjadi secara global dan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Beberapa definisi perubahan iklim yang dibuat oleh badan dunia dan umum digunakan di Indonesia yaitu :

a. IPCC (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai any change in climate over time, whether due to natural variability or as a result of human activity. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai setiap perubahan pada iklim dari waktu ke waktu, baik karena variabilitas alam atau akibat aktivitas manusia.

(44)

langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer global, mempengaruhi variabilitas iklim alami serta diamati selama periode waktu yang dapat dibandingkan.

c. Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2007), perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial). Perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim, termasuk fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan iklim global.

(45)

Pada penelitian ini definisi perubahan iklim yang digunakan mengacu pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2007) yaitu perubahan variabilitas unsur iklim dalam kurun waktu panjang (lima puluh hingga seratus tahun) yang disebabkan oleh aktivitas antropogenik. Apabila dalam periode waktu yang panjang (lima puluh hingga seratus tahun) terlihat adanya kecenderungan perubahan nilai dari unsur iklim (seperti suhu udara, curah hujan) dari waktu ke waktu dengan fluktuasi yang semakin membesar atau kejadian anomali iklim semakin sering jika dibanding periode waktu sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa perubahan iklim sudah terjadi sebagaiamana diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Ilustrasi perubahan iklim yang ditunjukkan oleh perubahan rata-rata dan keragaman suhu dari dua periode waktu yang panjang

Sumber : Diposaptono et al.( 2009)

(46)

Gambar 5 Variasi perbedaan suhu rata-rata permukaan bumi Sumber : IPCC (2007)

Menurut UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009), kenaikan suhu udara rata-rata dipicu semakin tingginya konsentrasi GRK di atmosfer diantaranya adalah karbon dioksida (CO2). Hasil penilitian UNESCO, 1992 menunjukkan

bahwa terdapat korelasi antara konsentrasi CO2 di udara dengan suhu udara.

Semakin tiggi konsentrasi CO2 di atmosfer kian tinggi pula suhu udara rata-rata

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.

(47)

2.4.2 Perubahan Iklim di Indonesia

Sebagaimana definisi dari perubahan iklim, berikut ini akan dijelaskan kondisi dari beberapa unsur iklim di Indonesia yang dapat dijadikan indikasi telah terjadi perubahan iklim.

a. Perubahan Suhu

Hasil studi UNESCO (1992) in Diposaptono et al. (2009) di beberapa kota pesisir di Indonesia, mendapatkan bahwa Indonesia tidak luput dari perubahan iklim. Hasil studi menunjukkan bahwa suhu udara di Jakarta dan Semarang terus mengalami kenaikan tajam sejak tahun 1865. Pada tahun 1865 rata-rata suhu udara bulanan di dua kota tersebut adalah 25,7oC. Namun pada tahun 2000 suhu rata-rata udara bulanan mencapai 27,5o C. Dalam waktu sekitar 135 tahun terdapat kenaikan suhu rata-rata bulanan sebesar 2oC. Hasil kajian tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian dari NOAA (2008) yang mengkaji data kenaikan suhu permukaan air laut di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2005.

(48)

b. Perubahan Curah Hujan

Selain kenaikan suhu permukaan bumi, indikator lainnya dalam perubahan iklim adalah perubahan pola curah hujan. Namun demikian secara global data curah hujan tidak terdokumentasi dengan baik sehingga publikasi ilmiah mengenai tren perubahan curah hujan dunia tidak dapat ditampilkan pada Bab ini.

Naylor et al. (2006) in Diposaptono et al. (2009) mengemukakan bahwa perubahan iklim mengakibatkan perubahan pola curah hujan. Perubahan tersebut ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan. Sedangkan akhir musim hujan terjadi lebih cepat. Di sisi lain, walaupun musim hujan itu berlangsung singkat namun memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Dengan demikian pendeknya periode musim hujan membuat periode musim kemarau lebih panjang. Hal ini terutama terjadi di kawasan selatan khatulistiwa.

Gambar 8 Perubahan pola curah hujan sebagai indikator perubahan iklim Sumber : Naylor et al.(2006) in Diposaptono et al. (2009)

(49)

c. Kenaikan Muka Laut dan Pemunduran Garis Pantai

Indikator perubahan iklim lainnya adalah kenaikan muka laut. Walaupun masih menjadi perdebatan antara ilmuwan mengenai penyebab kenaikan muka laut, namun demikian disepakati bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan paras muka laut secara eustasis melalui pemuaian massa air karena suhu permukaan laut yang meningkat serta mencairnya es di kutub. Kenaikan paras muka laut yang bersifat lokal dapat disebabkan oleh lima faktor berikut.

1. Penurunan kerak bumi (crustal subsidence) atau naiknya permukaan tanah akibat aktivitas tektonik (neotectonic). Contoh gempa dasar laut yang terjadi di Pulau Simeulue, Pulau Nias dan Mentawai mengakibatkan dasar laut menjadi naik, sehingga seolah-olah air laut menjadi dangkal (penurunan muka laut).

2. Penurunan seismik permukaan tanah akibat adanya gempa bumi. Contoh terjadi di Pantai Barat NAD, yang mengalami pemurunan permukaan tanah akibat gempa bumi 26 Desember 2004. Tanah yang turun menyebabkan seolah-olah muka air laut naik.

3. Penurunan yang terjadi secara alami akibat adanya konsolidasi atau pemampatan tanah yang masih labil atau sedimen lunak di bawah permukaan. Contoh di pantai utara Jawa seperti di DKI Jakarta dan Semarang, tanahnya turun (land subsidence) maka seolah-olah air laut naik.

4. Penurunan tanah akibat aktivitas manusia seperti beban bangunan, pengambilan air tanah berlebihan serta ekstasi minyak dan gas bumi. Contoh terjadi di Jakarta. Karena adanya struktur bangunan dan pengambilan air tanah yang berlebihan mangakibatkan tanah turun tidak kuat menaggung beban bangunan sehingga solah-olah air laut naik.

(50)

Hasil kajian NASA (2001) dapat memprediksikan tren kenaikan muka laut global dari tahunn 2000 hingga tahun 2100. Prediksi ini didasarkan pada hasil pengukuran sejak tahun 1990 hingga 2000. Adapun proyeksi kenaikan muka laut mengikuti skenario yang dikembangkan oleh IPCC (2007) pada Gambar 9. Hasil pengukuran prediksi kenaikan muka laut sangat bervariasi tergantung pada metode simulasi yang digunakan. Skenario yang dianggap paling mungkin terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata akan mencapai 60 sentimeter pada tahun 2100 dengan rentang nilai kenaikan muka laut 23cm hingga 96cm (Gambar 10).

Gambar 9 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Sumber : http://rst.gsfc.nasa.gov (diunduh 2009)

(51)

Sebagian besar wilayah pesisir Indonesia akan terpengaruh oleh kenaikan muka air laut (lihat Gambar 11). Hal ini terutama disebabkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang dan beberapa daerah memiliki topografi wilayah pesisir yang landai. Kenaikan muka laut antara lain akan menyebabkan kerusakan ekologis wilayah pesisir, kehilangan lahan, intrusi air laut, dan kerusakan sektor-sektor produktif seperti konstruksi jalan, jembatan, bangunan, dan lahan pertanian. Publikasi Kelompok Kerja (Working Group) II IPCC tahun 2001 mengungkapkan bahwa kenaikan muka laut hingga 60 sentimeter akan menyebabkan Indonesia kehilangan sekitar 34.000 km2 wilayah dan mengancam kehidupan sekitar 2 juta penduduk. Hal ini menyebabkan isu penaikan muka laut menjadi salah satu isu utama dalam perubahan iklim global karena memiliki dampak ekonomi nasional yang sangat besar.

Gambar 11 Perubahan tinggi muka laut tahun 1870- 2000. Sumber : IPCC (2001)

(52)

pada wilayah ini telah terjadi pemunduran garis pantai sebesar 0,58m per tahun (pada pengamatan selama 130 tahun) yang disebabkan oleh naiknya muka air laut. Akan tetapi pemunduran garis pantai tidaklah sama pada setiap tahunnya. Pada periode tahun 1850 sampai dengan 1965 terjadi pemunduran garis pantai yang ekstrim dibandingkan dengan laju pemunduran yang terjadi pada tahun-tahun lainnya. Ren (1993) in Sutrisno (2005) dalam penelitiannya di Delta Sungai Kuning Cina juga membuktikan adanya pemunduran garis pantai sejaun 20km dan hilangnya lahan pantai seluas 1400km2 selama 137 tahun (1855-1992) yang disebabkan oleh fenomena kenaikan muka laut.

2.5Analisis SWOT

Menurut Salusu (1996) analisis SWOT adalah analisis yang mencoba mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Lebih lanjut Salusu (1996) menyatakan bahwa analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matrik yaitu: MATRIK SWOT atau MATRIK TOWS. Dalam penelitian ini digunakan Matriks SWOT dengan mendahulukan menaggulangi permasalahan baik faktor internal yaitu maupun eksternal yaitu ancaman.

Rangkuti (2004) menyatakan bahwa matriks SWOT menghasilkan 4 strategi yaitu: 1). Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, 2). Strategi WO (Strategi kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada, 3). Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman), menciptakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal, dan 4). Strategi WT (strategi kelemahan-ancaman), didasarkan pada kegiatan yang bersifat

(53)

dan kebijakan (Marimin 2004). Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi suatu institusi melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. Selanjutnya Marimin (2004) menjelaskan proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut:

1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal.

Gambar

Gambar 3   Konsep valuasi ekonomi SDA dengan pendekatan effect on production
Gambar 5   Variasi perbedaan suhu rata-rata permukaan bumi
Gambar 9   Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125
Tabel 4    Jenis data yang diperlukan dalam menghitung kerugian ekonomi dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait