• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Experienced Stigma terhadap Self Esteem pada Suku Nias

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Experienced Stigma terhadap Self Esteem pada Suku Nias"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN A

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

i44 117.96 260.692 .431 .543 .910

2. Reliabilitas dan uji daya diskriminasi aitem skala experienced stigma

(8)
(9)

i9 33.97 91.699 .415 .352 .876

i10 33.97 92.906 .405 .363 .876

i11 34.01 90.140 .559 .444 .870

i12 34.42 93.686 .517 .413 .872

i13 34.13 88.764 .609 .499 .868

i14 34.17 86.770 .731 .729 .863

i15 34.26 89.143 .620 .580 .868

i16 33.83 89.730 .544 .505 .871

i18 34.04 91.225 .446 .430 .875

i19 34.53 92.851 .619 .746 .870

(10)

LAMPIRAN B

(11)

3. Uji Normalitas

Most Extreme Differences Absolute .060 .089

(12)
(13)
(14)

LAMPIRAN C

(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)

149 2 2 2 3 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1

150 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 1 1 5 1 1 1 3 2 1 1

(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)

141 4 3 3 2 2 4 4 3 5 5 4 4 4 3 3 4 3 3 4 3 4 4 2 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 4 4 3 3 2 4 142 3 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

143 5 4 3 2 1 5 1 4 4 4 4 5 4 4 4 2 4 4 2 4 4 4 4 2 5 5 4 4 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 144 3 3 3 2 3 4 3 5 5 3 4 2 4 3 4 4 4 4 5 4 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 5 3 4 3 4 3 3 145 4 5 5 2 2 4 4 5 4 5 5 4 3 3 4 3 3 4 5 5 4 2 2 2 4 4 3 4 2 2 3 3 4 4 4 3 4 5 4 3 3 4 4 3

146 3 3 4 4 1 4 4 5 4 5 5 4 4 5 4 4 5 5 5 5 4 2 4 5 5 4 3 5 4 2 2 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5

147 5 5 5 1 1 5 5 1 2 5 5 1 1 1 5 1 1 1 5 5 5 5 4 1 5 5 5 5 1 5 5 1 5 5 5 5 5 1 5 1 1 1 1 5

148 2 3 5 5 1 4 4 5 2 1 2 1 1 1 5 2 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 3 3 3 5 5 4 4 5 5 3 5 5 5 5 3 4 5 2

149 4 4 5 4 1 4 4 3 5 2 4 2 2 3 4 3 4 4 5 2 5 5 4 4 4 5 3 4 4 3 4 5 4 3 5 5 5 5 4 2 4 4 3 5

(29)

LAMPIRAN D

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H., Abu (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th ed.). Upper Saddle River New Jersey: Simon & Schuster / A Viacom Company.

Ariesta, Sari. (2010). Pola Adaptasi Sosial Ekonomi Suku Bangsa Nias di Perkotaan

(Studi Deskriptif di Daerah Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk) Kelurahan P.B. Selayang 1 Kecamatan Medan Selayang Kota-Medan).

Skripsi Diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara

Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Baron, R. A. & Byrne, D. (1997). Social psychology: 8th edition. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Brakel, W.H. (2003). Measuring Leprosy Stigma- A Preliminary Review of the

Leprosy Literature. International Journal of Leprosy and Other Mycrobacterial Disease. Vol. 71 Nomor 3

Branden, N. (1981). The psychology of self esteem: A new concept. Toronto: Bantam Books.

BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Sumatera Utara (2015), Sumatera Utara dalam

Angka 2015, Katalog BPS: 1101002.12.

Camp, D. L., Finlay, W. M. L., & Lyons, E. (2002). Is low self-esteem an inevitable

(31)

Chaplin, J.P. (2004) Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Coopersmith, Stanley. (1967). The Antecedents of Self Esteem. San Fransisco: W. H. Freeman.

Corrigan, P. W., & Calabrese, J. D. (2005). On the stigma of mental illness: Practical

strategies for research and social change (pp. 239-256). Washington, DC:

American Psychological Association.

Crandall, C.S., & Coleman, R. (1992). AIDS-related stigmatization and the

disruption of social relationships. Journal of Social and Personal Relationships, 9, 163-177.

Devins, G. M., Stam, H., & Koopmans, J. P. (1994). Psychological impact of

laryngectomy mediated by perceived stigma and illness intrusiveness. Canadian Journal of Psychiatry, 39, 608-616.

Hadi, Sutrisno. (2002). Metodologi Research (Jilid I). Yogyakarta: Andi Offset.

Heatherton, T. F., & Wyland, R. J. (2003). Positive psychological assessment: A

handbook of models and measures. USA: American Psychological

Association.

Hogg, Michael A.,dkk. (2011). Social Psychology Third Edition. New York: Prentice Hall.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Stigma. Dalam:

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/.

Larsen, R.J. & Buss, D.M. (2005). Personality psychology: domains of knowledge

(32)

Link, B. G., Struening, E. L., Rahav, M., Phelan, J. C., & Nuttbrock, L. (1997). On

stigma and its consequences: Evidence from a longitudinal study of substance abuse. Journal of Health and Social Behavior, 38, 177-190.

Mickelson, Kristin., & Stacey, W. (2008). Perceived Stigma of Poverty and

Depression: Examination of Interpersonal and Intrapersonal Mediators. Journal of Social and Clinical Psychology. (pp. 903-930). East Tennesse

State University

Purwanto. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Robson, P.J. (1988). Self-esteem-psychiatric view. British Journal of Psychiatry.

www.bjp.rcpsych.org/cgi/reprint/153/1/6.pdf. [Diakses: 4 September 2016]

Sarwono, Sarlito (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Schultz, D., & Schultz, S. E. (1994). Theories of Personality (Fifth ed.).California: Brooks/ Cole Publishing Company.

Sonjaya, Jajang Agus. (2003). “Kajian Arkeologi-Religi dalam Perspektif Arkeologi

Interpretif”. Dalam Artefak Edisi 25, hlm. 12 – 17. Himpunan Mahasiswa

Arkeologi UGM. Yogyakarta.

Sugiyono (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah elemen penting dalam penelitian, sebab metode

penelitian membatasi penelitian dengan garis-garis yang sangat cermat untuk menjaga

agar pengetahuan yang dicapai dari penelitian dapat memiliki keilmiahan yang tinggi

(Hadi, 2000). Metode penelitian kuantitatif berarti pengukuran akan diwujudkan

dalam bentuk angka (Minium, King, & Bear, 1993). Menurut Purwanto (2008),

penelitian kuantitatif menganut prinsip untuk lebih baik menjawab sedikit masalah

namun dapat dipertanggungjawabkan, yang penjelasannya lewat tiga kemungkinan,

yaitu mendeskripsikan (deskriptif), menghubungkan (kolerasional) atau membedakan

(komparasi). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif korelasional, yang bertujuan untuk melihat hubungan antar variabel.

Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai identifikasi variabel

penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode dan alat pengumpulan

data, dan metode analisis data.

A. Identifikasi Variabel

Variabel adalah suatu konsep tentang atribut ataupun sifat yang terdapat pada

(34)

2010). Variabel kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah Experienced

Stigma dan variabel prediktor dalam penelitian ini adalah Self Esteem.

B. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan

berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati sehingga

definisi variabel-variabel penelitian tersebut tidak ambigu (Azwar, 2010). Oleh

karena itu, perlu dirumuskan definisi operasional mengenai variabel penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Experienced Stigma

Experienced stigma adalah persepsi orang bersuku Nias terhadap perilaku

dan perasaan orang lain kepada dirinya sebagai orang yang terstigma.

Experienced stigma diukur dengan skala experienced stigma. Skor yang yang

diperoleh dalam skala menunjukkan positif atau negatifnya persepsi suku Nias

terhadap perilaku orang lain kepada dirinya. Semakin tinggi skor yang

diperoleh dari skala, persepsi suku Nias terhadap perilaku orang lain

kepadanya adalah negatif. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh

dari skala, maka persepsi suku Nias adalah positif.

2. Self Esteem

Self Esteem adalah evaluasi diri orang bersuku Nias, sejauh mana ia

merasa bahwa dirinya mampu (feeling of competence), diterima (feeling of

(35)

skala Self Esteem yang dilihat dari apakah individu diterima oleh

kelompoknya, apakah individu yakin terhadap kemampuannya dan apakah

individu merasa berharga. Skor yang diperoleh dari skala ini menunujukkan

tinggi rendahnya self esteem pada suku Nias. Semakin tinggi skor yang

diperoleh dari skala, maka suku Nias memiliki self esteem yang tinggi.

Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh dari skala, maka suku Nias

memiliki self esteem yang rendah.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan individu yang dimaksudkan untuk diteliti.

Populasi dibatasi sebagai jumlah individu yang paling sedikit memiliki sifat yang

sama (Hadi, 2002). Suatu populasi harus memiliki karakteristik bersama yang

membedakannya dengan populasi lain (Azwar, 2010). Karakteristik populasi pada

penelitian ini adalah :

a. Suku Nias

Berdasarkan judul penelitian, yaitu peran experienced stigma terhadap self

esteem pada suku Nias, maka subjek dalam penelitian ini adalah individu yang

bersuku Nias yang merantau.

b. Berusia di atas 20 tahun

Subjek penelitian adalah individu berusia di atas 20 tahun. Usia tersebut

(36)

perkembangan kognitif individu akan mencapai reflective thinking yang

dimulai pada usia antara 20 sampai 25 tahun. Reflective thinking merupakan

tipe penalaran logis yang melibatkan evaluasi aktif dan berkelanjutan

mengenai suatu informasi berdasarkan fakta yang mendukung (Papalia, Olds,

& Feldman, 2007).

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi (Sugiyono, 2012). Sampel merupakan bagian dari populasi yang dikenai

penelitian. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah individu bersuku

Nias yang berdomisili atau merantau di Kota Medan minimal selama 1 tahun.

3. Teknik Pengambilan Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik insidental, yaitu peneliti menggunakan sampel berupa individu-individu atau

kelompok yang memenuhi karakteristik dan kebetulan ditemui oleh peneliti. Teknik

ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kelebihan dari teknik ini yaitu

lebih mudah memperoleh sampel penelitian, sedangkan kekurangannya adalah hasil

penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan dalam kelompok populasi.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode atau teknik pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai

(37)

penelitian ini, peneliti menggunakan skala. Metode skala digunakan karena data yang

ingin diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara

tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk

item-item pernyataan.

Penskalaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penskalaan Likert,

yang diuraikan ke dalam bentuk pernyataan favourable dan unfavourable. Pernyataan

favourable merupakan pernyataan yang mendukung atribut yang diukur, sedangkan

pernyataan unfavourable merupakan pernyataan tidak mendukung atribut yang diukur

(Azwar, 2010). Setiap aitem terdiri 5 alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS),

Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Nilai dari

setiap pilihan akan bergerak dari angka 1 sampai dengan 5.

Tabel 1. Skor Alternatif Jawaban Skala

Favorable Unfavorable

Alternatif Jawaban Skor Alternatif Jawaban Skor

Sangat Sesuai (SS) 5 Sangat Sesuai (SS) 1

Skala Experienced stigma disusun oleh peneliti berdasarkan pengertian

experienced stigma menurut Mickelson (2008) yaitu, persepsi individu terhadap

(38)

Tabel 2. Blue Print Skala Experienced Stigma

dikemukakan oleh Coopersmith, yaitu : feeling of belonging, feeling of competence

dan feeling of worth.

(39)

Urbina (1997), validitas tes berhubungan dengan apa yang diukur oleh suatu tes dan

seberapa baik tes tersebut dapat mengukur atribut. Sebuah alat ukur dikatakan

memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsinya

sebagaimana mestinya dan memberikan hasil pengukuran sesuai dengan tujuan yang

dimasudkan. Validitas terdiri atas validitas isi (content validity) dan validitas

konstruk (construct validity).

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas tampang (face

validity) dan validitas isi (content validity). Validitas tampang merupakan hal yang

penting dalam membuat skala karena tampilan skala akan membangkitkan minat

subjek untuk menjawab dengan kesungguhan hati. Sedangkan validitas isi merupakan

suatu estimasi untuk melihat sejauh mana aitem-aitem skala mewakili aspek-aspek

dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh mana

aitem-aitem skala mencerminkan indikator keperilakuan yang hendak diukur (Azwar,

2012).

Validitas tampang berusaha dicapai dengan penyajian alat ukur yang rapi, jelas,

serta menarik agar subjek dapat mengisi aitem-aitem dalam skala dengan konsisten.

Validitas isi diusahakan dengan pengujian aitem melalui professional judgement

(Azwar, 2012). Professional judgement dilakukan dengan cara berkonsultasi dengan

pihak lain yang lebih mengerti tentang pembuatan alat ukur dan variabel yang akan

(40)

2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas alat ukur merupakan konsep sejauh mana alat ukur dapat dipercaya

dan konsisten (Azwar, 2010). Reliabilitas juga merujuk pada konsistensi skor yang

dihasilkan oleh subjek ketika mereka diberikan lagi tes tersebut dengan

pertanyaan-pertanyaan yang ekuivalen tetapi pada kesempatan yang berbeda (Anastasi & Urbina,

1997). Alat ukur yang memiliki reliabilitas yang tinggi disebut dengan alat ukur yang

reliabel.

Pada penelitian ini, pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan

pendekatan konsistensi internal berupa koefisien cronbach alpha. Metode ini menguji

konsistensi tes antar aitem atau antar bagian. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila

konsistensi di antara komponen-komponen yang membentuk tes tinggi. Dalam

penelitian ini, perhitungan koefisien reliabilitas dilakukan menggunakan SPSS 17.0

for Windows.

3. Uji Daya Diskriminasi Aitem

Daya diskriminasi aitem merupakan sejauh mana aitem mampu membedakan

antara individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Parameter

daya diskriminasi aitem adalah koefisien korelasi aitem total, yaitu koefisien korelasi

antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala total, yang menunjukkan

kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala. Dengan demikian, pemilihan aitem

(41)

Pengujian daya diskriminasi aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien

korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan,

yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson

Product Moment, yang dianalisis dengan bantuan komputerisasi SPSS 17.0 for Windows. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total

yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2012).

Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem-total menggunakan batasan

rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, dianggap

memiliki daya diskriminasi yang memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix ≤ 0,30

diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar,

2012).

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

1. Hasil Uji Coba Skala Experienced Stigma

Jumlah aitem experienced stigma yang diuji cobakan adalah sebanyak 20

aitem. Dari hasil uji coba tersebut terdapat 1 aitem yang gugur karena memiliki

daya diskriminasi aitem dibawah 0,3. Aitem yang gugur adalah aitem nomor 17.

Hasil uji coba skala ini memiliki koefisien α = 0,879 dengan daya diskriminasi

aitem yang bergerak dari 0,312 sampai 0,731. Selanjutnya, aitem-aitem yang

digunakan oleh peneliti adalah 14 aitem favorable dan 5 aitem unfavorable.

(42)

Tabel 4. Blueprint skala Experienced stigma setelah Uji Coba

Jumlah aitem self esteem yang diuji cobakan adalah sebanyak 44 aitem. Dari

hasil uji coba tersebut terdapat 12 aitem yang gugur karena memiliki daya

diskriminasi aitem dibawah 0,3. Aitem yang gugur adalah aitem nomor

1,2,4,5,10,12,13,14,20,21,23 dan 29. Hasil uji coba skala ini memiliki koefisien α =

0,912 dengan daya diskriminasi aitem yang bergerak dari 0,344 sampai 0,705.

Selanjutnya, aitem-aitem yang digunakan oleh peneliti adalah 20 aitem favorable dan

12 aitem unfavorable. Distribusi aitem-aitem setelah uji coba dapat dilihat dari tabel

berikut.

Tabel 5. Blueprint Skala Self Esteem Setelah Uji Coba

(43)

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaaan penelitian terdiri dari tiga tahap .ketiga tahap tersebut

yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pengolahan data.

1. Persiapan Penelitian

a. Pembuatan Alat Ukur

Dalam proses pembuatan alat ukur, peneliti membuat alat ukur

penelitian yang terdiri dari skala experienced stigma dan skala self esteem.

Pembuatan alat ukur dikaji melalui teori-teori guna mempermudah dalam

penjabarannya. Terdapat 20 aitem experienced stigma dan 44 aitem self

esteem yang dibuat oleh peneliti di dalam alat ukurnya. Untuk skala experienced stigma, peneliti memodifikasi alat ukur berdasarkan teori experienced stigma yang dikemukakan oleh Mickleson (2008). Hal ini

dilakukan dengan tujuan untuk menyesuaikan kondisi suku Nias yang

menjadi subjek penelitian ini. Selanjutnya peneliti melakukan elisitasi

kepada 12 orang bersuku Nias, sehingga aitem-aitem yang terbentuk

didasarkan dari jawaban beberapa orang suku Nias.

b. Evaluasi Alat Ukur

Setelah alat ukur disusun, peneliti menemui dosen pembimbing selaku

professional judgement untuk mengevaluasi dan menilai aitem-aitem yang

sudah dibuat oleh peneliti agar sesuai dengan yang seharusnya. Setelah

(44)

terhadap aitem-aitem yang dirasa perlu dilakukan revisi. Aitem-aitem

yang menjadi bahan revisi oleh peneliti adalah aitem yang dianggap

memiliki makna ambigu ataupun aitem yang memiliki social desirability

yang tinggi. Setelah proses pembimbingan alat ukur selesai, kemudain

dilanjutkan merancang skala dalam bentuk booklet dan online.

2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah melakukan evaluasi alat ukur, peneliti melakukan pengambilan data.

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 19 September-1 Oktober 2016

terhadap 152 orang.

3. Pengolahan Data Penelitian

Setelah skala yang disebarkan oleh peneliti terkumpul, peneliti melakukan

pengelolahan data dengan menggunakan program aplikasi computer SPSS

version 17.0 for Windows.

H. Metode Analisa Data

Data dalam penelitian ini akan dianalisa dengan analisa statistik, yang dapat

bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif dan universal (Hadi, 2002). Analisa

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik regresi sederhana untuk

melihat hubungan antara variable bebas (Experienced stigma) dengan variable

(45)

Sebelum dilakukan uji regresi linear sederhana, terlebih dahulu dilakukan uji

asumsi penelitian yang meliputi:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian terhadap

variabel ini terdistribusi secara normal. Uji normalitas ini dilakukan atas dasar asumsi

bahwa skor subjek dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor subjek

dalam populasi dan bahwa skor subjek dalam populasinya terdistribusi secara normal

(Azwar, 2010). Uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji one-sample

Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS version 17.0.for Windows. Data

dikatakan terdistribusi normal jika nilai ρ> 0,05.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas ataupun

variabel tergantung memiliki hubungan yang linear atau tidak. Hubungan yang linear

antara variabel bebas dan tergantung dapat dilihat apabila nilai p < 0,05, sebaliknya

apabila nilai p > 0,05 berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung

dinyatakan tidak linear (Hadi, 2000). Sugiyono (2012) mengatakan apabila nantinya

kedua variabel tidak memenuhi asumsi linearitas maka analisa regresi tidak dapat

dilanjutkan. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan teknik uji F melalui

(46)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan pembahasan hasil penelitian sesuai dengan data

yang diperoleh. Pembahasan pada bab ini meliputi gambaran subjek penelitian, hasil

uji asumsi, hasil utama penelitian berupa pengujian hipotesis. Dan hasil tambahan

berupa deskripsi data penelitian yang turut memperkaya hasil penelitian.

A. Gambaran Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan oleh peneliti adalah orang bersuku

Nias yang tinggal di kota Medan. Dari subjek penelitian yang berjumlah 151 orang,

diperoleh gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan

terakhir dan suku orang tua.

1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian diperoleh gambaran sebagai

berikut.

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Persentase (%)

Laki-laki 58 38,4

Perempuan 93 61,6

(47)

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran subjek penelitian yang berjenis

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar subjek

penelitian berusia 20-40 tahun, yaitu sebanyak 102 orang (67,54%), kemudian

subjek yang berusia 41-65 sebanyak 49 orang (32,46%).

3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan terakhir

Berdasarkan pendidikan terakhir subjek penelitian diperoleh gambaran

(48)

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar subjek

penelitian memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi sederajat, yaitu

sebanyak 90 orang (59,6%). Selanjutnya, subjek penelitian yang menempuh

pendidikan terakhir di jenjang SMA sebanyak 59 orang (39,1%) dan yang berada

di jenjang SMP sebanyak 2 orang (1,3%).

4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan suku orang tua

Berdasarkan suku kedua orang tua dari subjek penelitian diperoleh gambaran

sebagai berikut.

Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Orang Tua

Suku Orang Tua N Persentase (%)

Nias 133 88,1

Ibu bersuku lain 18 11,9

Total 151 100

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran bahwa subjek penelitian yang

kedua orang tuanya bersuku Nias sebanyak 133 orang (88,1%) dan yang memiliki

(49)

B. Hasil Uji Asumsi

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear

sederhana. Sebelum melakukan analisis tersebut, dilakukan terlebih dahulu uji

normalitas dan linearitas untuk melihat bagaimana distribusi data penelitian.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat bahwa data penelitian terdistribusi

secara normal. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan

menggunakan metode statistik One Sample Kolmogorv-Smirnov Test. Data

dikatakan terdistribusi normal apabila signifikansi atau nilai p > 0,05. Hasil uji

normalitas pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas

Variabel P

Experienced Stigma 0,178

Self Esteem 0,642

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa nilai p pada variabel experienced

stigma adalah sebesar 0,178 yang berarti bahwa data terdistribusi secara normal.

Nilai p pada self esteem sebesar 0,642 menunjukkan bahwa data terdistribusi

secara normal.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengatetahui apakah korelasi antara variabel

(50)

linearitas dalam penelitian ini menggunakan metode statistik uji F. Data

penelitian berkorelasi secara linear apabila nilai p untuk linearity < 0,05. Hasil uji

linearitas dapat dilihat pada tabel berikut.

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai p untuk linearity < 0,05,

yaitu sebesar 0,000. Dengan demikian experienced stigma berhubungan secara

linear dengan self esteem.

C. Hasil Utama Penelitian

Berikut akan dijabarkan mengenai hasil pengolahan data mengenai peran

experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias dengan metode analisis

regresi linier sederhana menggunakan bantuan SPSS 17.0 for Windows. Hasil

pengolahan data dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12. Hasil Analisis Regresi Linear Sederhana

Model Koef. Korelasi (R) Koef. Determinan (R2) P F

(51)

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai F sebesar 61,373 dan nilai p < 0,05,

yaitu sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa experienced stigma mampu

memprediksi self esteem pada suku Nias. Dengan demikian, hipotesis utama dalam

penelitian ini diterima, yaitu ada peran experienced stigma terhadap self esteem pada

suku Nias. Selanjutnya, besar korelasi variabel experienced stigma terhadap self

esteem pada suku Nias adalah 0,540. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa

nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,292 atau 29,2%. Dengan kata lain, variabel

experienced stigma memberikan pengaruh sebesar 29,2% terhadap self esteem suku

Nias. Sedangkan sisanya 70,8% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam

penelitian ini.

Selanjutnya hasil analisis koefisien regresi adalah sebagai berikut.

Tabel 13. Hasil Analisis Koefisien Regresi

Model Koefisien Regresi

Konstan 151,782

Experienced Stigma - 0,946

Persamaan garis linear sederhana adalah Y = a + bX dengan Y melambangkan

self esteem suku Nias, X melambangkan experienced stigma, a merupakan harga

konstan ketika X = 0, dan b merupakan koefisien regresi yang menunjukkan

peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada perubahan

variabel independen.

Berdasarkan tabel diatas, persamaan garis linear sederhana dalam penelitian ini

(52)

experienced stigma, telah terbentuk self esteem sebesar 151,782. Koefisien regresi

-0,946 menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 satuan experienced stigma akan

menurunkan self esteem suku Nias sebesar 0,946.

D. Hasil Tambahan Penelitian

1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Experienced Stigma

a) Deskripsi Data Variabel Experienced Stigma

Berdasarkan data penelitian, maka data empirik dan data hipotetik

experienced stigma adalah sebagai berikut.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa mean hipotetik experienced

stigma adalah 57 dengan standar deviasi sebesar 12,67 dan mean empirik experienced stigma sebesar 35,95 dengan standar deviasi sebesar 10,076. Jika

dilihat dari perbandingan mean hipotetik dengan mean empirik pada variabel

experienced stigma, maka diperoleh mean empirik lebih kecil daripada mean

hipotetik. Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi suku Nias pada penelitian ini

terhadap stigma yang diberikan orang lain lebih positif daripada rata-rata

(53)

b) Kategorisasi Data Variabel Experienced Stigma

Kategorisasi dari data experienced stigma dilakukan dalam tiga kategori

dengan menggunakan rumus mean dan standar deviasi sebagai berikut.

Tabel 15. Norma Kategorisasi Experienced Stigma

Rentang nilai Kategorisasi

X < (μ-1.0 SD) Positif

(μ-1.0SD) ≤ X ≤ (μ+1.0 SD) Netral

X > (μ+1.0 SD) Negatif

Besar mean hipotetik experienced stigma adalah sebesar 57 dengan standar

deviasi sebesar 12,67, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 16. Kategorisasi Data Experienced Stigma

Kategori Rentang Nilai N Persentase (%)

Positif X < 44,33 121 80,1

Netral 44,33≤ X ≤ 69,67 30 19,9

Negatif X > 69,67 - -

Total 151 100

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa sebagian besar experienced

stigma pada subjek penelitian ini berada pada kategori positif yaitu sebanyak

121 orang (80,1%). Hal ini menunjukkan bahwa 80,1% suku Nias yang menjadi

subjek penelitian ini tidak membentuk perasaan atau keyakinan yang negatif

terhadap pandangan orang lain kepada dirinya sebagai kelompok yang terkena

(54)

2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Self Esteem

a) Deskripsi Data Variabel Self Esteem

Berdasarkan data penelitian, maka data empirik dan data hipotetik self

esteem adalah sebagai berikut.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa mean hipotetik self esteem adalah

96 dengan standar deviasi sebesar 21,33 dan mean empirik self esteem sebesar

121,87 dengan standar deviasi sebesar 16,577. Jika dilihat dari perbandingan

mean hipotetik dengan mean empirik pada variabel self esteem, maka diperoleh

mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik, artinya adalah rata-rata self

esteem subjek penelitian ini lebih tinggi dari self esteem yang diperkirakan pada

populasi penelitian.

b) Kategorisasi data self esteem

Kategorisasi dari data self esteem dilakukan dalam tiga kategori dengan

menggunakan rumus mean dan standar deviasi sebagai berikut.

Tabel 22. Norma Kategorisasi Self Esteem

Rentang nilai Kategorisasi

(55)

(μ-1.0SD) ≤ X ≤ (μ+1.0 SD) Sedang

X > (μ+1.0 SD) Tinggi

Besar mean hipotetik self esteem adalah sebesar 96 dengan standar deviasi

sebesar 21,33, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 23. Kategorisasi Data Self Esteem

Kategori Rentang Nilai N Persentase (%)

Rendah X < 74,67 1 0,7

Sedang 74,67 ≤ X ≤ 117,33 61 40,4

Tinggi X > 117,33 89 58,9

Total 151 100

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan bahwa sebagian besar self esteem

subjek penelitian ini berada pada kategori tinggi, yaitu sebanyak 58,9%. 40,4 %

subjek penelitian berada dalam kategori sedang dan 0,7% berada dalam kategori

rendah. Dari hasil di dapatkan bahwa sebagian besar suku Nias yang menjadi

subjek penelitian ini memiliki sef esteem yang tinggi, artinya mereka

(56)

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan negatif antara

perceived stigma terhadap self-esteem pada orang bersuku Nias yang artinya adalah

semakin tinggi nilai perceived stigma yang dirasakan oleh seseorang, maka akan

berdampak pada penurunan self esteem, begitu juga dengan sebaliknya. Selanjutnya,

pada penelitian ini, experienced stigma suku Nias yang menjadi subjek penelitian

berada dalam kategori positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak

mempersepsikan evaluasi-evaluasi negatif dari orang lain sebagai suatu stigma dan

hal ini tidak menyebabkan penurunan self esteem.

Hasil analisa tersebut didukung oleh pendapat Camp, Finley dan Lyons

(2002); Watson dan River (2005) (dalam Mickelson, 2008) yang mengatakan bahwa

penurunan self-esteem tidak selalu terjadi kepada individu yang berada dalam

kelompok yang terkena stigma, karena tidak semua individu tersebut menerima

societal labels atau stereotype yang dibentuk oleh masyarakat.

Hal-hal yang mempengaruhi tidak menurunnya self esteem pada suku Nias di

penelitian ini, masih belum diketahui. Akan tetapi, peneliti berasumsi bahwa hal ini

bisa ditinjau dari cara seseorang mempersepsikan sesuatu, termasuk evaluasi dari

orang lain. Menurut Robins (1998), ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang, salah satunya ialah perceiver atau karakter yang ada pada individu,

(57)

Afthonul (2010) mengatakan bahwa tradisi yang ada pada suku Nias terwarisi

secara lintas generasi berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini.

Menurut Faoziduhu (2012), ada satu falsafah suku Nias yang menggambarkan bahwa

harga diri yang tinggi merupakan hal yang paling penting dalam masyarakat suku

Nias, yaitu Sokhi Mate Moroi Aila, yang artinya secara harafiah adalah lebih baik

mati daripada malu. Nilai ini hampir diterapkan ke seluruh aspek kehidupan suku

Nias. Hal ini tampak jelas pada adat-istiadat yang berlaku pada suku Nias, seperti

jujuran (mahar) yang terbilang cukup tinggi, adanya tingkatan dalam struktur sosial

masyarakat, atau tradisi owasa (tradisi pesta tiga hari tiga malam dengan

mengorbankan puluhan bahkan ratusan babi).

Faoziduhu (2012) juga mengatakan bahwa meskipun kebiasaan-kebiasan

tersebut, (seperti mengadakan Owasa), lambat laun mulai ditinggalkan karena

perkembangan zaman, tetapi dalam kehidupan pergaulan sosial prinsip “tidak ingin

dipermalukan” tetap terlihat. Misalnya bila seseorang bertamu di suatu keluarga,

maka keluarga tersebut meskipun tidak mampu secara ekonomi akan mencoba

dengan segala daya upaya mengadakan pesta kecil untuk menyambut tamunya yang

dihormati. Dari hal ini didapatkan bahwa dari segi budaya pun suku Nias sudah

(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasl penelitian yang diperoleh, maka ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Experienced Stigma memiliki hubungan yang negatif terhadap self esteem. Setiap

penambahan nilai experienced stigma akan menurunkan self esteem.

2. Sumbangan efektif yang diberikan variabel experienced stigma terhadap self

esteem orang bersuku Nias adalah sebesar 29,2%, yang berarti bahwa perceived stigma mempengaruhi self esteem sebesar 29,2%, sedangkan sisanya dipengaruhi

oleh faktor lain.

3. Hampir seluruh orang bersuku Nias yang menjadi subjek penelitian ini memiliki

experienced stigma berada dalam kategori positif, yang artinya orang bersuku

Nias tidak membentuk persepsi yang negatif mengenai perilaku orang lain

terhadap dirinya sebagai seorang suku Nias.

4. Sebagian besar Self Esteem subjek penelitian berada dalam kategori tinggi, artinya

evaluasi orang bersuku Nias terhadap dirinya sendiri positif.

5. Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa suku Nias yang

menjadi subjek penelitian ini tidak mempersepsikan evaluasi-evaluasi negatif dari

orang lain sebagai suatu stigma, sehingga hal ini tidak menyebabkan penurunan

(59)

B. Saran

1. Saran Metodologis

Peran experienced stigma terhadap self esteem sebesar 29,2%, dan selebihnya

70,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka disarankan kepada peneliti selanjutnya

yang berminat meneliti variabel experienced stigma untuk mengkaji faktor-faktor

lain yang turut mempengaruhi variabel tersebut, seperti faktor budaya, atau

faktor-faktor yang mempengaruhi cara seseorang dalam mempersepsikan stigma

atau penilaian dari orang lain.

2. Saran Praktis

Bedasarkan hasil yang telah diperoleh, penelitian ini memberikan informasi

bahwa orang bersuku Nias merasa bahwa mereka terkena stigma dari orang lain.

(60)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self Esteem

1. Definisi Self-Esteem

Menurut Larsen dan Buss (2008), harga diri (self esteem) merupakan apa

yang kita rasakan berdasarkan pengalaman yang kita peroleh selama menjalani

hidup. Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana

individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga.

Definisi ini lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu

sendiri yang mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan

kriteria tertentu. Selanjutnya Branden (1981) menekankan self-esteem sebagai apa

yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang diri mereka sendiri, bukan

mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang diri kita.

Maslow (dalam Schultz dan Schultz, 1994) menjelaskan self-esteem sebagai

bagian dari kebutuhan penghargaan (esteem needs) yang terdapat dalam hirarki

kebutuhannya. Esteem needs terdiri dari 2 (dua), yaitu kebutuhan untuk

menghargai diri sendiri dan dihargai oleh orang lain. Dengan adanya self-esteem,

maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih

(61)

terpenuhi, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian

dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya.

Robson (1988) mengatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang

tinggi ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuan

yang jelas, selalu berpikir positif, mampu untuk berinteraksi sosial, solving

problem yang tinggi, serta mampu menghargai diri sendiri, sedangkan orang yang

memiliki self-esteem yang rendah ditandai dengan rasa takut, cemas, depresi, dan

tidak percaya diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem (harga diri)

merupakan evaluasi ataupun penilaian individu mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan dirinya, sejauh mana individu tersebut merasa berharga, diterima dan

berhasil dan hal ini berlangsung terus menerus.

2. Dimensi Self-Esteem

Menurut Coopersmith (1967) dimensi self esteem terdiri dari:

1. Feeling of Belonging (perasaan diterima)

Perasaan individu sebagai bagian dari kelompok dan merasa dirinya

diterima, diinginkan, serta diperhatikan oleh kelompoknya. Kelompok ini

dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, dan sebagainya. Ketika

seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian

dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai

(62)

apabila dirinya merasa diterima sebagai bagian dari kelompok. Namun

individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya merasa

tidak diterima atau ditolak dalam suatu kelompok.”

2. Feeling of Competence (perasaan mampu)

Perasaan individu bahwa dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan

kemampuannya dalam mencapai hasil yang diharapkan serta dalam

menghadapi permasalahan. Individu yang memiliki perasaan mampu

umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi

yang realistis. “Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila

dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya serta yakin dirinya

dapat menghadapi permasalahan yang ada. Sebaliknya, individu akan

memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak yakin pada hasil

pekerjaan dan kemampuannya, serta tidak yakin dirinya dapat menghadapi

permasalahan yang ada”.

3. Feeling of Worth (perasaan berharga)

Perasaan individu dimana dia merasa dirinya berharga. Perasaan ini

banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Perasaan yang dimiliki

individu sering ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan positif

yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain-lain. Individu yang

merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya

terhadap dunia di luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat

(63)

baik. “Individu dikatakan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya

merasa berharga dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Namun, individu

dikatakan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak merasa

berharga dan merasa dirinya tidak memiliki kelebihan”.

4. Faktor yang Mempengaruhi Self-Esteem

Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

self-esteem, antara lain:

1. Penerimaan dan Penghargaan dari Significant Others

Significant others yang dimaksud disini adalah seseorang yang dianggap

individu berperan dalam meningkatkan dan mengurangi keberhargaan dirinya.

Self esteem merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman

individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi tersebut

akan membentuk suatu penilaian mengenai dirinya berdasarkan reaksi yang ia

terima dari orang lain. Seseorang yang merasa dirinya dihormati, diterima dan

diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk self esteem yang

tinggi, dan sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan diperlakukan

buruk akan cenderung akan membentuk self esteem yang rendah.

2. Kelas Sosial dan Kesuksesan

Seseorang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, seperti pekerjaan

yang bergengsi, pendapatan yang besar dan berada di tempat tinggal yang

(64)

keuntungan baik secara material maupun budaya. Hal ini meyakini seseorang

bahwa mereka lebih berharga dari orang lain.

3. Nilai-nilai dan Inspirasi Individu

Pengalaman-pengalaman individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi

sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya. Individu akan

memberikan penilaian yang berbeda terhadap pengalaman yang terjadi dalam

hidupnya. Kesuksesan maupun kegagalan yang di alami seseorang tidak

secara langsung mempengaruhi self esteem, akan tetapi terlebih dahulu

melauli nilai-nilai ataupun inspirasi yang dipegang oleh individu.

4. Cara Individu dalam Merespon Devaluasi

Individu dapat meminimalisir perlakuan yang merendahkan dirinya seperti

evaluasi negatif dari orang lain atau lingkungannya. Mereka dapat menolak

penilaian negatif yang diterimanya dari orang lain. Seseorang yang mampu

merespon dengan baik devaluasi yang diterimanya dari lingkungan, akan

memiliki self esteem yang lebih tinggi.

B. Experienced Stigma

Experienced stigma adalah salah satu dimensi yang membentuk perceived stigma

(Mickelson, 2008). Menurut Mickelson, experienced stigma adalah persepsi

seseorang terhadap pengalaman stigma yang diterimanya dari orang lain. Stigma ini

(65)

perilaku orang di sekitarnya terhadap dirinya sebagai orang yang terkena stigma.

Biasanya stigma ini berhubungan dengan pengalamn-pengalaman terkait dengan

diskriminasi maupun prejudice. Beberapa peneliti juga memiliki istilah yang

berbeda-beda dalam menggambarkan experienced stigma ini, seperti enacted stigma dan

public stigma.

Goffman (1963) mengatakan enacted stigma merupakan perilaku nyata (seperti

pengucilan atau diskriminasi sosial secara langsung) oleh orang lain untuk

mendiskreditkan atau mengabaikan seseorang yang memiliki kondisi tertentu. Jacoby

(1994); Scrambler (2004), mengatakan bahwa enacted stigma merupakan perilaku

atau persepsi orang lain terhadap individu yang dianggap memiliki atribut yang

berbeda. Selanjutnya, Donaldson (2015) mengatakan bahwa public stigma merupakan

sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang lain terhadap individu yang terkena stigma.

Horch (2011) juga mengatakan bahwa enacted stigma terjadi ketika individu

mengalami kesulitan sebagai akibat dari label yang diterimanya dari orang lain. Label

yang diberikan ini bisa berupa hubungan kondisi stigma dengan stereotype yang ada

di kelompok (Link dan Phelan, 2001).

Berdasarkan beberapa definisi dari experienced stigma di atas, dapat disimpulkan

bahwa experienced stigma merupakan persepsi atau keyakinan yang dibentuk

individu terhadap perasaan atau perilaku orang lain kepada dirinya sebagai orang

yang terkena stigma atau yang mendapatkan pengalaman stigma seperti, diskriminasi

(66)

C. Suku Nias

Suku Nias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang sebagian besar

mendiami pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Suku ini memiliki nilai-nilai budaya

yang dipegang sebagai falsafah hidupnya. Menurut Tuhoni Telaumbanua (2010)

Nilai-Nilai budaya yang dianut oleh suku Nias antara lain :

1. Banua dan Fatalifusӧta

Fatalifusӧta memiliki makna “persaudaraan” yang tidak hanya berdasarkan

atas hubungan darah (sesama marga atau suku), tetapi juga hubungan

persaudaraan karena berada dalam satu lingkungan (satu banua) meskipun

suku, agama atau kepercayaan berbeda.

2. Emali dome si so bal ala, ono luo na so yomo

Ungkapan ini merupakan salah satu falsafah hidup suku Nias. Ungkapan

tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : “

Seseorang yang masih berada di jalan di anggap sebagai tamu tak dikenal

atau orang asing, namun jika seseorang itu dapat menjadi saudara yang sangat

dihormati kalau ia sudah berada di dalam rumah kita”. Ungkapan ini

sebenarnya suatu bentuk penghormatan kepada orang asing (pendatang).

Intinya adalah ketika seseorang sudah dianggap menjadi bagian dari

masyarakat Nias, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai orang asing

lagi, melainkan sebagai saudara yang sama dengan saudara-saudara lainnya

(67)

3. Sebua ta’ide’ide’ӧ, side’ide’ide mutayaigӧ

Ungkapan ini sering digunakan dalam menyelesaikan konflik atau masalah

yang terjadi di kalangan masyarakat Nias. Ungkapan ini mengandung makna

yang berarti bahwa masalah yang terjadi jangan dibesar-besarkan, sebaliknya

diusahakan untuk menjadi lebih kecil lagi sehingga dapat di selesaikan secara

tuntas tanpa meninggalkan bekas atau dendam apapun di hati kedua belah

pihak yang bermasalah.

D. Hubungan antara Experienced Stigma dengan self-esteem

Hogg (2011) mengatakan bahwa target dari prasangka adalah kelompok yang

terkena stigma dari masyarakat. Stigma dapat dikonseptualisasikan dalam hal

perceived, internalized atau enacted stigma (Goffman, 1963). Pengalaman stigma

juga dapat dideskripsikan sebagai “persepsi” atau keyakinan akan adanya sikap atau

perilaku stigma dalam masyarakat, atau sebagai sebuah proses “internalisasi”, dimana

pikiran atau perasaan negatif muncul pada individu terstigma (Luoma et al, 2007).

Dalam hal ini, Mickelson mengistilahkannya dengan perceived stigma, yaitu perasaan

negatif individu terhadap dirinya sendiri karena stigma yang dimilikinya (internalized

stigma) dan persepsi individu tersebut mengenai bagaimana perilaku atau perasaan

orang lain terhadap kondisi stigma yang dimilikinya (experienced stigma).

Donaldson (2015) mengatakan bahwa individu yang terkena stigma bisa jadi

(68)

lain terhadap kondisi stigma yang ada pada dirinya dan kemudian menginternalisasi

penilaian tersebut. Keyakinan personal tersebut semakin jelas setelah mereka

memperoleh ‘label’ dari kondisi stigma yang diterimanya (Link, 1987). Sehingga,

dapat dikatakan bahwa, ketika seseorang menerima suatu perlakuan atau penilaian

negatif dari lingkungan (terstigmatisasi), kemudian membentuk suatu keyakinan atau

pesepsi tersendiri akan hal tersebut (experienced stigma) dan akhirnya membentuk

evaluasi negatif terhadap dirinya sendiri karena stigmatisasi tersebut.

Mickelson dan William (2008) mengatakan bahwa orang yang terstigma

cenderung untuk menginternalisasi penilaian-penilaian negatif dari lingkungannya

dan membentuk evaluasi diri yang negatif pula mengenai dirinya atau memiliki self

esteem yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Hogg (2011) yang mengatakan

bahwa kelompok yang terkena stigma sulit untuk mengelak bahwa citra diri mereka

ataupun kelompok mereka dipandang negatif dari orang lain, dan hal ini akan

membentuk self esteem yang rendah pula.

Coopersmith (1967) mendefinisikan self esteem sebagai suatu evaluasi diri

apakah seseorang merasa mampu, berharga dan berhasil dan penting. Faktor-faktor

yang mempengaruhi tinggi rendahnya self esteem seseorang adalah penghargaan dan

penerimaan dari significant others, nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang dan

bagaimana cara seseorang dalam menanggapi devaluasi yang terjadi padanya.

Berdasarkan hal ini, salah satu faktor self esteem yang berkaitan dengan experienced

stigma adalah cara seseorang dalam menanggapi devaluasi. Devaluasi yang dimaksud

(69)

evaluasi tersebut dengan baik, cenderung memiliki self esteem yang tinggi, begitu

juga dengan sebaliknya, apabila seseorang menanggapi evaluasi negatif dengan tidak

baik, maka akan membentuk self esteem yang rendah.

E. Paradigma Teoritis

Berdasarkan uraian hubungan experienced stigma dan self esteem di atas,

maka skema penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Skema Penelitian

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

Ada peran experienced stigma terhadap self esteem

Semakin tinggi experienced stigma, maka self esteem semakin rendah

Self Esteem

(70)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia yang sudah dikenal sejak

dahulu, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Ragam budaya Indonesia

merupakan kekayaan unik yang tidak dimiliki setiap bangsa di dunia. Ragam ini

terlihat baik dari kondisi sosial kultural dan geografisnya. Badan Pusat Statistik

(BPS) sampai dengan tahun 2011 mencatat bahwa Indonesia memiliki 1.128 suku

bangsa dengan lebih dari 746 bahasa daerah yang tersebar dalam 13.000 pulau dari

Sabang hingga Merauke.

Salah satu Provinsi terbesar di Indonesia ialah Sumatera Utara. Menurut data

dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan hasil sensus tahun

2010, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 13,77 jiwa yang terdiri dari berbagai

macam suku bangsa. Suku bangsa paling banyak di provinsi ini adalah Batak

(Tapanuli/Toba, Karo, Mandailing dan Pakpak) sebesar 44,75%, suku Jawa 33,40%

dan sisanya merupakan suku Tionghoa, Melayu, Nias dan lain-lain. BPS juga

melaporkan bahwa Provinsi Sumatera utara merupakan provinsi yang memiliki suku

bangsa yang sangat beragam dan diakui oleh pemerintah.

Sarwono (2007) mengatakan dari keberagaman etnik-etnik yang terpisah

(71)

pengalaman psikologis masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan identitas

etnik masing-masing juga. Keterikatan pada identitas etnik tersebut akan

menimbulkan saling prasangka antar etnik yang nantinya bisa berdampak kepada

proses akulturasi bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Widiastuti (2013) yang

mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang beragam mempunyai potensi untuk

konflik. Perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang

dilatar belakangi sosio-kultural, akan menjadi pendorong munculnya perasaan

kesukuan yang berlebihan dan dapat memicu munculnya nilai negatif berupa sikap

membeda-bedakan perlakuan sesama anggota masyarakat, sehingga menimbulkan

prasangka yang bersifat subjektif.

Hogg (2011) mengatakan bahwa target dari prasangka (prejudice) adalah

anggota dari kelompok yang terkena stigma. Stigma merupakan atribusi terhadap

suatu kelompok yang diperantarai evaluasi sosial yang negatif kepada orang-orang.

Salah satu hal penting dari stigma ini sendiri adalah stigma yang berasal dari

dalam diri individu itu sendiri atau disebut dengan istilah perceived stigma. Brakel

(2003) mendefiniskan perceived stigma sebagai ketakutan dan kekhawatiran akan

diskriminasi, penolakan, kehilangan pekerjaan, pelecehan fisik yang dirasakan oleh

seseorang karena kondisi tertentu yang dialaminya. Stigma yang berasal dari dalam

diri individu ini dapat menyebabkan stress emosional, kecemasan, masalah dalam

hubungan sosial, isolasi diri, depresi bahkan adanya usaha untuk bunuh diri.

Perceived stigma berhubungan terhadap persepsi negatif orang lain (Crandall &

(72)

1985; Link, Cullen, Struening, Shrout, & Dohrenwend, 1989) dan pembatasan yang

dirasakan dan dialami seseorang dalam aktivitas sosial.

Mikelson dan Williams (2008) mengatakan bahwa perceived stigma adalah

perasaan negatif seseorang terhadap dirinya sendiri karena stigma yang diterimanya

(internalized stigma) dan persepsi orang tersebut terhadap perilaku orang sebagai

pengalaman stigma (experienced stigma). Donaldson (2015) mengatakan bahwa

individu yang terkena stigma bisa jadi mempunyai keyakinan tersendiri mengenai

bagaimana penilaian atau perasaan orang lain terhadap kondisi stigma yang ada pada

dirinya dan kemudian menginternalisasi penilaian tersebut. Sehingga dapat dikatakan

bahwa ketika seseorang mengalami interakasi atau perlakuan negatif dari orang lain,

maka akan membentuk perceived stigma, artinya individu membentuk persepsi

tersendiri mengenai bagaimana penilaian atau perasaan orang lain terhadap dirinya

sebagai orang yang terkena stigma dan menginternalisasi stigma tersebut terhadap

dirinya.

Kelompok yang terkena stigma pada umumnya sulit untuk menghindari

kenyataan bahwa citra diri mereka maupun kelompok mereka dipandang negatif oleh

masyarakat. Anggota kelompok yang terkena stigma ini akan cenderung

menginternalisasi evaluasi negatif tersebut, dan akhirnya akan membentuk self-image

yang tidak baik pula atau memiliki self-esteem yang rendah (Hogg, 2011). Hal ini

sejalan dengan pendapat Mickelson dan Williams (2008) yang mengatakan bahwa

ketika seseorang merasakan pengalaman stigmatisasi dari orang lain, individu

(73)

telah terkena stigma dan hal ini bisa menyebabkan self esteem seseorang menjadi

rendah.

Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana individu

mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini

lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang

mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu.

Dengan kata lain self-esteem adalah bagaimana seseorang memandang dirinya

sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan self esteem menurut

Coopersmith (1967) adalah perlakuan dari orang lain. Apabila individu mendapatkan

perlakuan yang buruk, diremehkan atau ditolak, maka akan membentuk self esteem

yang rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa ketika seseorang merasakan pengalaman

stigmatisasi dari orang lain, individu tersebut membentuk suatu perasaan dan

penilaian tersendiri mengenai dirinya yang telah terkena stigma dan hal ini bisa

menyebabkan self esteem seseorang menjadi rendah.

Di beberapa daerah yang ada di Sumatera Utara, suku Nias cukup banyak

mendapat anggapan yang negatif atau stigma. Ariesta (2011) mengatakan bahwa suku

Nias cenderung dinilai negatif, seperti kasar, pembuat onar, kebiasaan buruk seperti

senangnya menerima gratisan dan sejenisnya, mental yang kurang berwirausaha,

pasrah pada keadaan, keras kepala dan tidak mau diajari, dengki. Salah satu contoh

yang terkait akibat dari stigma terhadap suku Nias adalah di Kampung Susuk,

Kecamatan Medan Baru, Medan. Pada awal memasuki wilayah Kampung Susuk,

(74)

terjadilah konflik. Di dalam kehidupan sehari-hari pun mereka dari dahulu sampai

sekarang masih saja di diskriminasi. Setiap ada masalah di Kampung Susuk dan

kebetulan salah seorang suku bangsa Nias yang membuat masalah, suku bangsa Karo

akan mencap atau menandai semua suku bangsa Nias yang ada di daerah Kampung

Susuk yang berbuat salah dan pantas untuk dihukum. Hukuman itu bisa berupa

cemoohan, pukulan, ditelanjangi dan dikeroyok dengan massa (Ariesta, 2011).

Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti secara personal ke beberapa

orang mengenai pandangan terhadap suku Nias, didapatkan hasil, yaitu: orang-orang

dengan suku ini dianggap kasar, jahat, punya ilmu hitam yang kuat, dan tidak mau

maju, tertutup kepada setiap orang dan tidak mau tidak mau berbagi, iri dan dendam

yang berkelanjutan, dan tidak jujur.

Berdasarkan data wawancara kepada beberapa suku Nias, diperoleh bahwa

peneliti mendapatkan data bahwa mereka menyadari dan beberapa mendapatkan

pengalaman stigma. Berikut hasil wawancara tersebut.

“Banyak orang yang anggap kami (Suku Nias) punya pegangan ilmu hitam. Kalau di masa kakekku emang masih ada, tapi kan sekarang gak lagi, kan udah ada agama dan pengetahuan pun berkembang loh. Karena stigma kek gini, orang –orang ngelihat kami kayak sesat dan terkutuk.”

(Wawancara Personal, PZ, Januari 2016)

“Kalau dari pengalamanku, banyak kawan yang bilang kalau Nias itu gak manusialah, punya pegangan ilmu hitamlah, bahkan ada yang bilang kalau nenek moyang kami dari anjing. Padahal gak loh, kalau dari sejarah kami ya, justru kami ini berasal dari manusia titisan dewa gitu.. hahaha, kalau udah kek gitu aku jelasin ajalah yang sebenarnya..”

(Wawancara Personal, DH, Januari 2016)

(75)

suka balas dendam, pake ilmu hitam, jahat, gitu-gitu.. tapi aku bawa ke

bersuku Nias mendapatkan pengalaman-pengalaman stigma dari lingkungan

sekitarnya, seperti diejek, dianggap memiliki ilmu hitam, dan jahat, akan tetapi tidak

menginternalisasi penilaian tersebut. Mereka tidak membentuk evaluasi negatif

terhadap dirinya sendiri meskipun ada stigma yang diberikan kepada mereka. Hal ini

sejalan dengan pendapat Luoma et al., (2013) yang mengatakan bahwa meskipun

individu menyadari bahwa mereka terkena stigma, belum tentu mereka

menginternalisasi stigma atau penilaian negatif tersebut.

Peneliti juga menemukan bahwa sebenarnya mereka sudah membentuk suatu

penilaian tersendiri terhadap perilaku orang lain kepadanya. Hal ini ditunjukkan dari

hasil wawancara berikut.

(76)

Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sebenarnya suku Nias sudah

membentuk penilaian bahwa mereka diperlakukan secara buruk dikarenakan kondisi

stigma yang ada pada mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Donaldson (2015)

yang mengatakan bahwa seseorang yang terstigmatisasi akan memiliki keyakinan

tersendiri mengenai bagaimana perilaku dan perasaan orang lain terhadap kondisi

stigma yang ada pada dirinya.

Berdasarkan data wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya, suku Nias

menyadari kalau mereka dinilai secara negatif oleh orang lain, seperti orang bersuku

Nias jahat, mempunyai ilmu hitam, dan lain sebagainya. Namun, meskipun

menyadari hal tersebut, mereka tidak menginternalisasi penilaian yang muncul

kepada dirinya sendiri. Sementara itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,

perceived stigma merupakan perasaan negatif yang terbentuk akibat dari internalisasi

stigma yang diterima dan persepsi individu tersebut terhadap perilaku orang lain

kepadanya sebagai orang yang terkena stigma. Dalam hal ini, Mickelson dan William

(2008) membaginya kedalam dua dimensi, yaitu internalized stigma (perasaan negatif

yang muncul karena internalisasi stigma) dan experienced stigma (persepsi individu

tersebut terhadap perilaku orang lain kepadanya).

Jika dilihat dari pengalaman dan respon suku Nias terhadap stigma yang ada

pada mereka dan merujuk kepada pengertian perceived stigma seperti yang dijelaskan

sebelumnya, peneliti merasa bahwa stigma yang dirasakan suku Nias ini lebih

mengarah kepada experienced stigma, yaitu persepsi atau keyakinan tersendiri

(77)

terkena stigma, dalam hal ini sebagai orang yang bersuku Nias. Mickelson (2008)

juga mengungkapkan bahwa experienced stigma berhubungan secara tidak langsung

dengan penurunan self esteem. Sehingga, peneliti memilih untuk melihat bagaimana

peran experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias.

B.

Pertanyaan penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Apakah ada peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias?

2. Berapa besar peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias?

C.

Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peran Experienced

stigma terhadap self esteem pada suku Nias.

D.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Memberi sumbangan informasi, memperkaya hasil penelitian yang telah ada

Gambar

Tabel 1. Skor Alternatif Jawaban Skala
Tabel 3. Blueprint skala Self Esteem
Tabel 4. Blueprint skala Experienced stigma setelah Uji Coba
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program pengembangan kualitas mencakup seluruh aspek kegiatan audit di lingkungan APIP. Program tersebut dirancang untuk mendukung kegiatan audit APIP, memberikan nilai tambah dan

Rencana tindakan yang penulis susun adalah berikan klien dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal dengan rasional perubahan pada tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan

Katalis zeolit bifungsional telah berhasil dibuat dengan cara aktivasi zeolit alam menggunakan larutan asam klorida atau amonium nitrat dan diikuti dengan impregnasi logam Cr,

Perencanaan / redesain lining tersier DAERAH IRIGASI WILAYAH UPTD SIMPANG AGUNG, UPTD TERBANGGI BESAR, UPTD SEPUTIH

Dalam tari Besagu Ayu terdapat gerak dasar yaitu, ansing- ansing, sirang satu dan sirang dua yang menjadi dasar pokok inti dalam tarian ini.Tari Besagu Ayu adalah

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk : (a) Mengetahui pengaruh peran kepala sekolah sebagai leader terhadap disiplin kerja guru SD Negeri

pengolahan data di Kantor Urusan Agama Kecamatan Girimaya yang diperbaiki sebagaimana pada. pengolahan data yang diusulkan

Persiapan Bercerita dalam Mengembangkan Karakter Sopan Santun Anak Usia 4-5 Tahun Di TK Pertiwi 1 Pontianak Barat. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di