LAMPIRAN A
i44 117.96 260.692 .431 .543 .910
2. Reliabilitas dan uji daya diskriminasi aitem skala experienced stigma
i9 33.97 91.699 .415 .352 .876
i10 33.97 92.906 .405 .363 .876
i11 34.01 90.140 .559 .444 .870
i12 34.42 93.686 .517 .413 .872
i13 34.13 88.764 .609 .499 .868
i14 34.17 86.770 .731 .729 .863
i15 34.26 89.143 .620 .580 .868
i16 33.83 89.730 .544 .505 .871
i18 34.04 91.225 .446 .430 .875
i19 34.53 92.851 .619 .746 .870
LAMPIRAN B
3. Uji Normalitas
Most Extreme Differences Absolute .060 .089
LAMPIRAN C
149 2 2 2 3 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1
150 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 1 1 5 1 1 1 3 2 1 1
141 4 3 3 2 2 4 4 3 5 5 4 4 4 3 3 4 3 3 4 3 4 4 2 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 4 4 3 3 2 4 142 3 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
143 5 4 3 2 1 5 1 4 4 4 4 5 4 4 4 2 4 4 2 4 4 4 4 2 5 5 4 4 2 2 2 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 144 3 3 3 2 3 4 3 5 5 3 4 2 4 3 4 4 4 4 5 4 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 5 3 4 3 4 3 3 145 4 5 5 2 2 4 4 5 4 5 5 4 3 3 4 3 3 4 5 5 4 2 2 2 4 4 3 4 2 2 3 3 4 4 4 3 4 5 4 3 3 4 4 3
146 3 3 4 4 1 4 4 5 4 5 5 4 4 5 4 4 5 5 5 5 4 2 4 5 5 4 3 5 4 2 2 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5
147 5 5 5 1 1 5 5 1 2 5 5 1 1 1 5 1 1 1 5 5 5 5 4 1 5 5 5 5 1 5 5 1 5 5 5 5 5 1 5 1 1 1 1 5
148 2 3 5 5 1 4 4 5 2 1 2 1 1 1 5 2 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 3 3 3 5 5 4 4 5 5 3 5 5 5 5 3 4 5 2
149 4 4 5 4 1 4 4 3 5 2 4 2 2 3 4 3 4 4 5 2 5 5 4 4 4 5 3 4 4 3 4 5 4 3 5 5 5 5 4 2 4 4 3 5
LAMPIRAN D
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H., Abu (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th ed.). Upper Saddle River New Jersey: Simon & Schuster / A Viacom Company.
Ariesta, Sari. (2010). Pola Adaptasi Sosial Ekonomi Suku Bangsa Nias di Perkotaan
(Studi Deskriptif di Daerah Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk) Kelurahan P.B. Selayang 1 Kecamatan Medan Selayang Kota-Medan).
Skripsi Diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara
Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Baron, R. A. & Byrne, D. (1997). Social psychology: 8th edition. Massachusetts: Allyn & Bacon.
Brakel, W.H. (2003). Measuring Leprosy Stigma- A Preliminary Review of the
Leprosy Literature. International Journal of Leprosy and Other Mycrobacterial Disease. Vol. 71 Nomor 3
Branden, N. (1981). The psychology of self esteem: A new concept. Toronto: Bantam Books.
BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Sumatera Utara (2015), Sumatera Utara dalam
Angka 2015, Katalog BPS: 1101002.12.
Camp, D. L., Finlay, W. M. L., & Lyons, E. (2002). Is low self-esteem an inevitable
Chaplin, J.P. (2004) Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Coopersmith, Stanley. (1967). The Antecedents of Self Esteem. San Fransisco: W. H. Freeman.
Corrigan, P. W., & Calabrese, J. D. (2005). On the stigma of mental illness: Practical
strategies for research and social change (pp. 239-256). Washington, DC:
American Psychological Association.
Crandall, C.S., & Coleman, R. (1992). AIDS-related stigmatization and the
disruption of social relationships. Journal of Social and Personal Relationships, 9, 163-177.
Devins, G. M., Stam, H., & Koopmans, J. P. (1994). Psychological impact of
laryngectomy mediated by perceived stigma and illness intrusiveness. Canadian Journal of Psychiatry, 39, 608-616.
Hadi, Sutrisno. (2002). Metodologi Research (Jilid I). Yogyakarta: Andi Offset.
Heatherton, T. F., & Wyland, R. J. (2003). Positive psychological assessment: A
handbook of models and measures. USA: American Psychological
Association.
Hogg, Michael A.,dkk. (2011). Social Psychology Third Edition. New York: Prentice Hall.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Stigma. Dalam:
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/.
Larsen, R.J. & Buss, D.M. (2005). Personality psychology: domains of knowledge
Link, B. G., Struening, E. L., Rahav, M., Phelan, J. C., & Nuttbrock, L. (1997). On
stigma and its consequences: Evidence from a longitudinal study of substance abuse. Journal of Health and Social Behavior, 38, 177-190.
Mickelson, Kristin., & Stacey, W. (2008). Perceived Stigma of Poverty and
Depression: Examination of Interpersonal and Intrapersonal Mediators. Journal of Social and Clinical Psychology. (pp. 903-930). East Tennesse
State University
Purwanto. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Robson, P.J. (1988). Self-esteem-psychiatric view. British Journal of Psychiatry.
www.bjp.rcpsych.org/cgi/reprint/153/1/6.pdf. [Diakses: 4 September 2016]
Sarwono, Sarlito (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Schultz, D., & Schultz, S. E. (1994). Theories of Personality (Fifth ed.).California: Brooks/ Cole Publishing Company.
Sonjaya, Jajang Agus. (2003). “Kajian Arkeologi-Religi dalam Perspektif Arkeologi
Interpretif”. Dalam Artefak Edisi 25, hlm. 12 – 17. Himpunan Mahasiswa
Arkeologi UGM. Yogyakarta.
Sugiyono (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah elemen penting dalam penelitian, sebab metode
penelitian membatasi penelitian dengan garis-garis yang sangat cermat untuk menjaga
agar pengetahuan yang dicapai dari penelitian dapat memiliki keilmiahan yang tinggi
(Hadi, 2000). Metode penelitian kuantitatif berarti pengukuran akan diwujudkan
dalam bentuk angka (Minium, King, & Bear, 1993). Menurut Purwanto (2008),
penelitian kuantitatif menganut prinsip untuk lebih baik menjawab sedikit masalah
namun dapat dipertanggungjawabkan, yang penjelasannya lewat tiga kemungkinan,
yaitu mendeskripsikan (deskriptif), menghubungkan (kolerasional) atau membedakan
(komparasi). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif korelasional, yang bertujuan untuk melihat hubungan antar variabel.
Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai identifikasi variabel
penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode dan alat pengumpulan
data, dan metode analisis data.
A. Identifikasi Variabel
Variabel adalah suatu konsep tentang atribut ataupun sifat yang terdapat pada
2010). Variabel kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah Experienced
Stigma dan variabel prediktor dalam penelitian ini adalah Self Esteem.
B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan
berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati sehingga
definisi variabel-variabel penelitian tersebut tidak ambigu (Azwar, 2010). Oleh
karena itu, perlu dirumuskan definisi operasional mengenai variabel penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Experienced Stigma
Experienced stigma adalah persepsi orang bersuku Nias terhadap perilaku
dan perasaan orang lain kepada dirinya sebagai orang yang terstigma.
Experienced stigma diukur dengan skala experienced stigma. Skor yang yang
diperoleh dalam skala menunjukkan positif atau negatifnya persepsi suku Nias
terhadap perilaku orang lain kepada dirinya. Semakin tinggi skor yang
diperoleh dari skala, persepsi suku Nias terhadap perilaku orang lain
kepadanya adalah negatif. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh
dari skala, maka persepsi suku Nias adalah positif.
2. Self Esteem
Self Esteem adalah evaluasi diri orang bersuku Nias, sejauh mana ia
merasa bahwa dirinya mampu (feeling of competence), diterima (feeling of
skala Self Esteem yang dilihat dari apakah individu diterima oleh
kelompoknya, apakah individu yakin terhadap kemampuannya dan apakah
individu merasa berharga. Skor yang diperoleh dari skala ini menunujukkan
tinggi rendahnya self esteem pada suku Nias. Semakin tinggi skor yang
diperoleh dari skala, maka suku Nias memiliki self esteem yang tinggi.
Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh dari skala, maka suku Nias
memiliki self esteem yang rendah.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan individu yang dimaksudkan untuk diteliti.
Populasi dibatasi sebagai jumlah individu yang paling sedikit memiliki sifat yang
sama (Hadi, 2002). Suatu populasi harus memiliki karakteristik bersama yang
membedakannya dengan populasi lain (Azwar, 2010). Karakteristik populasi pada
penelitian ini adalah :
a. Suku Nias
Berdasarkan judul penelitian, yaitu peran experienced stigma terhadap self
esteem pada suku Nias, maka subjek dalam penelitian ini adalah individu yang
bersuku Nias yang merantau.
b. Berusia di atas 20 tahun
Subjek penelitian adalah individu berusia di atas 20 tahun. Usia tersebut
perkembangan kognitif individu akan mencapai reflective thinking yang
dimulai pada usia antara 20 sampai 25 tahun. Reflective thinking merupakan
tipe penalaran logis yang melibatkan evaluasi aktif dan berkelanjutan
mengenai suatu informasi berdasarkan fakta yang mendukung (Papalia, Olds,
& Feldman, 2007).
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2012). Sampel merupakan bagian dari populasi yang dikenai
penelitian. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah individu bersuku
Nias yang berdomisili atau merantau di Kota Medan minimal selama 1 tahun.
3. Teknik Pengambilan Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik insidental, yaitu peneliti menggunakan sampel berupa individu-individu atau
kelompok yang memenuhi karakteristik dan kebetulan ditemui oleh peneliti. Teknik
ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kelebihan dari teknik ini yaitu
lebih mudah memperoleh sampel penelitian, sedangkan kekurangannya adalah hasil
penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan dalam kelompok populasi.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode atau teknik pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai
penelitian ini, peneliti menggunakan skala. Metode skala digunakan karena data yang
ingin diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara
tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk
item-item pernyataan.
Penskalaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penskalaan Likert,
yang diuraikan ke dalam bentuk pernyataan favourable dan unfavourable. Pernyataan
favourable merupakan pernyataan yang mendukung atribut yang diukur, sedangkan
pernyataan unfavourable merupakan pernyataan tidak mendukung atribut yang diukur
(Azwar, 2010). Setiap aitem terdiri 5 alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Nilai dari
setiap pilihan akan bergerak dari angka 1 sampai dengan 5.
Tabel 1. Skor Alternatif Jawaban Skala
Favorable Unfavorable
Alternatif Jawaban Skor Alternatif Jawaban Skor
Sangat Sesuai (SS) 5 Sangat Sesuai (SS) 1
Skala Experienced stigma disusun oleh peneliti berdasarkan pengertian
experienced stigma menurut Mickelson (2008) yaitu, persepsi individu terhadap
Tabel 2. Blue Print Skala Experienced Stigma
dikemukakan oleh Coopersmith, yaitu : feeling of belonging, feeling of competence
dan feeling of worth.
Urbina (1997), validitas tes berhubungan dengan apa yang diukur oleh suatu tes dan
seberapa baik tes tersebut dapat mengukur atribut. Sebuah alat ukur dikatakan
memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsinya
sebagaimana mestinya dan memberikan hasil pengukuran sesuai dengan tujuan yang
dimasudkan. Validitas terdiri atas validitas isi (content validity) dan validitas
konstruk (construct validity).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas tampang (face
validity) dan validitas isi (content validity). Validitas tampang merupakan hal yang
penting dalam membuat skala karena tampilan skala akan membangkitkan minat
subjek untuk menjawab dengan kesungguhan hati. Sedangkan validitas isi merupakan
suatu estimasi untuk melihat sejauh mana aitem-aitem skala mewakili aspek-aspek
dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh mana
aitem-aitem skala mencerminkan indikator keperilakuan yang hendak diukur (Azwar,
2012).
Validitas tampang berusaha dicapai dengan penyajian alat ukur yang rapi, jelas,
serta menarik agar subjek dapat mengisi aitem-aitem dalam skala dengan konsisten.
Validitas isi diusahakan dengan pengujian aitem melalui professional judgement
(Azwar, 2012). Professional judgement dilakukan dengan cara berkonsultasi dengan
pihak lain yang lebih mengerti tentang pembuatan alat ukur dan variabel yang akan
2. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas alat ukur merupakan konsep sejauh mana alat ukur dapat dipercaya
dan konsisten (Azwar, 2010). Reliabilitas juga merujuk pada konsistensi skor yang
dihasilkan oleh subjek ketika mereka diberikan lagi tes tersebut dengan
pertanyaan-pertanyaan yang ekuivalen tetapi pada kesempatan yang berbeda (Anastasi & Urbina,
1997). Alat ukur yang memiliki reliabilitas yang tinggi disebut dengan alat ukur yang
reliabel.
Pada penelitian ini, pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan
pendekatan konsistensi internal berupa koefisien cronbach alpha. Metode ini menguji
konsistensi tes antar aitem atau antar bagian. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila
konsistensi di antara komponen-komponen yang membentuk tes tinggi. Dalam
penelitian ini, perhitungan koefisien reliabilitas dilakukan menggunakan SPSS 17.0
for Windows.
3. Uji Daya Diskriminasi Aitem
Daya diskriminasi aitem merupakan sejauh mana aitem mampu membedakan
antara individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Parameter
daya diskriminasi aitem adalah koefisien korelasi aitem total, yaitu koefisien korelasi
antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala total, yang menunjukkan
kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala. Dengan demikian, pemilihan aitem
Pengujian daya diskriminasi aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien
korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan,
yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson
Product Moment, yang dianalisis dengan bantuan komputerisasi SPSS 17.0 for Windows. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total
yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2012).
Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem-total menggunakan batasan
rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, dianggap
memiliki daya diskriminasi yang memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix ≤ 0,30
diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar,
2012).
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur
1. Hasil Uji Coba Skala Experienced Stigma
Jumlah aitem experienced stigma yang diuji cobakan adalah sebanyak 20
aitem. Dari hasil uji coba tersebut terdapat 1 aitem yang gugur karena memiliki
daya diskriminasi aitem dibawah 0,3. Aitem yang gugur adalah aitem nomor 17.
Hasil uji coba skala ini memiliki koefisien α = 0,879 dengan daya diskriminasi
aitem yang bergerak dari 0,312 sampai 0,731. Selanjutnya, aitem-aitem yang
digunakan oleh peneliti adalah 14 aitem favorable dan 5 aitem unfavorable.
Tabel 4. Blueprint skala Experienced stigma setelah Uji Coba
Jumlah aitem self esteem yang diuji cobakan adalah sebanyak 44 aitem. Dari
hasil uji coba tersebut terdapat 12 aitem yang gugur karena memiliki daya
diskriminasi aitem dibawah 0,3. Aitem yang gugur adalah aitem nomor
1,2,4,5,10,12,13,14,20,21,23 dan 29. Hasil uji coba skala ini memiliki koefisien α =
0,912 dengan daya diskriminasi aitem yang bergerak dari 0,344 sampai 0,705.
Selanjutnya, aitem-aitem yang digunakan oleh peneliti adalah 20 aitem favorable dan
12 aitem unfavorable. Distribusi aitem-aitem setelah uji coba dapat dilihat dari tabel
berikut.
Tabel 5. Blueprint Skala Self Esteem Setelah Uji Coba
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pelaksanaaan penelitian terdiri dari tiga tahap .ketiga tahap tersebut
yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pengolahan data.
1. Persiapan Penelitian
a. Pembuatan Alat Ukur
Dalam proses pembuatan alat ukur, peneliti membuat alat ukur
penelitian yang terdiri dari skala experienced stigma dan skala self esteem.
Pembuatan alat ukur dikaji melalui teori-teori guna mempermudah dalam
penjabarannya. Terdapat 20 aitem experienced stigma dan 44 aitem self
esteem yang dibuat oleh peneliti di dalam alat ukurnya. Untuk skala experienced stigma, peneliti memodifikasi alat ukur berdasarkan teori experienced stigma yang dikemukakan oleh Mickleson (2008). Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menyesuaikan kondisi suku Nias yang
menjadi subjek penelitian ini. Selanjutnya peneliti melakukan elisitasi
kepada 12 orang bersuku Nias, sehingga aitem-aitem yang terbentuk
didasarkan dari jawaban beberapa orang suku Nias.
b. Evaluasi Alat Ukur
Setelah alat ukur disusun, peneliti menemui dosen pembimbing selaku
professional judgement untuk mengevaluasi dan menilai aitem-aitem yang
sudah dibuat oleh peneliti agar sesuai dengan yang seharusnya. Setelah
terhadap aitem-aitem yang dirasa perlu dilakukan revisi. Aitem-aitem
yang menjadi bahan revisi oleh peneliti adalah aitem yang dianggap
memiliki makna ambigu ataupun aitem yang memiliki social desirability
yang tinggi. Setelah proses pembimbingan alat ukur selesai, kemudain
dilanjutkan merancang skala dalam bentuk booklet dan online.
2. Pelaksanaan Penelitian
Setelah melakukan evaluasi alat ukur, peneliti melakukan pengambilan data.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 19 September-1 Oktober 2016
terhadap 152 orang.
3. Pengolahan Data Penelitian
Setelah skala yang disebarkan oleh peneliti terkumpul, peneliti melakukan
pengelolahan data dengan menggunakan program aplikasi computer SPSS
version 17.0 for Windows.
H. Metode Analisa Data
Data dalam penelitian ini akan dianalisa dengan analisa statistik, yang dapat
bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif dan universal (Hadi, 2002). Analisa
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik regresi sederhana untuk
melihat hubungan antara variable bebas (Experienced stigma) dengan variable
Sebelum dilakukan uji regresi linear sederhana, terlebih dahulu dilakukan uji
asumsi penelitian yang meliputi:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian terhadap
variabel ini terdistribusi secara normal. Uji normalitas ini dilakukan atas dasar asumsi
bahwa skor subjek dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor subjek
dalam populasi dan bahwa skor subjek dalam populasinya terdistribusi secara normal
(Azwar, 2010). Uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji one-sample
Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS version 17.0.for Windows. Data
dikatakan terdistribusi normal jika nilai ρ> 0,05.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas ataupun
variabel tergantung memiliki hubungan yang linear atau tidak. Hubungan yang linear
antara variabel bebas dan tergantung dapat dilihat apabila nilai p < 0,05, sebaliknya
apabila nilai p > 0,05 berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung
dinyatakan tidak linear (Hadi, 2000). Sugiyono (2012) mengatakan apabila nantinya
kedua variabel tidak memenuhi asumsi linearitas maka analisa regresi tidak dapat
dilanjutkan. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan teknik uji F melalui
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan pembahasan hasil penelitian sesuai dengan data
yang diperoleh. Pembahasan pada bab ini meliputi gambaran subjek penelitian, hasil
uji asumsi, hasil utama penelitian berupa pengujian hipotesis. Dan hasil tambahan
berupa deskripsi data penelitian yang turut memperkaya hasil penelitian.
A. Gambaran Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan oleh peneliti adalah orang bersuku
Nias yang tinggal di kota Medan. Dari subjek penelitian yang berjumlah 151 orang,
diperoleh gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan
terakhir dan suku orang tua.
1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian diperoleh gambaran sebagai
berikut.
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N Persentase (%)
Laki-laki 58 38,4
Perempuan 93 61,6
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran subjek penelitian yang berjenis
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar subjek
penelitian berusia 20-40 tahun, yaitu sebanyak 102 orang (67,54%), kemudian
subjek yang berusia 41-65 sebanyak 49 orang (32,46%).
3. Gambaran subjek penelitian berdasarkan pendidikan terakhir
Berdasarkan pendidikan terakhir subjek penelitian diperoleh gambaran
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar subjek
penelitian memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi sederajat, yaitu
sebanyak 90 orang (59,6%). Selanjutnya, subjek penelitian yang menempuh
pendidikan terakhir di jenjang SMA sebanyak 59 orang (39,1%) dan yang berada
di jenjang SMP sebanyak 2 orang (1,3%).
4. Gambaran subjek penelitian berdasarkan suku orang tua
Berdasarkan suku kedua orang tua dari subjek penelitian diperoleh gambaran
sebagai berikut.
Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Orang Tua
Suku Orang Tua N Persentase (%)
Nias 133 88,1
Ibu bersuku lain 18 11,9
Total 151 100
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh gambaran bahwa subjek penelitian yang
kedua orang tuanya bersuku Nias sebanyak 133 orang (88,1%) dan yang memiliki
B. Hasil Uji Asumsi
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear
sederhana. Sebelum melakukan analisis tersebut, dilakukan terlebih dahulu uji
normalitas dan linearitas untuk melihat bagaimana distribusi data penelitian.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat bahwa data penelitian terdistribusi
secara normal. Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan
menggunakan metode statistik One Sample Kolmogorv-Smirnov Test. Data
dikatakan terdistribusi normal apabila signifikansi atau nilai p > 0,05. Hasil uji
normalitas pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas
Variabel P
Experienced Stigma 0,178
Self Esteem 0,642
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa nilai p pada variabel experienced
stigma adalah sebesar 0,178 yang berarti bahwa data terdistribusi secara normal.
Nilai p pada self esteem sebesar 0,642 menunjukkan bahwa data terdistribusi
secara normal.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk mengatetahui apakah korelasi antara variabel
linearitas dalam penelitian ini menggunakan metode statistik uji F. Data
penelitian berkorelasi secara linear apabila nilai p untuk linearity < 0,05. Hasil uji
linearitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai p untuk linearity < 0,05,
yaitu sebesar 0,000. Dengan demikian experienced stigma berhubungan secara
linear dengan self esteem.
C. Hasil Utama Penelitian
Berikut akan dijabarkan mengenai hasil pengolahan data mengenai peran
experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias dengan metode analisis
regresi linier sederhana menggunakan bantuan SPSS 17.0 for Windows. Hasil
pengolahan data dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 12. Hasil Analisis Regresi Linear Sederhana
Model Koef. Korelasi (R) Koef. Determinan (R2) P F
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai F sebesar 61,373 dan nilai p < 0,05,
yaitu sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa experienced stigma mampu
memprediksi self esteem pada suku Nias. Dengan demikian, hipotesis utama dalam
penelitian ini diterima, yaitu ada peran experienced stigma terhadap self esteem pada
suku Nias. Selanjutnya, besar korelasi variabel experienced stigma terhadap self
esteem pada suku Nias adalah 0,540. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa
nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,292 atau 29,2%. Dengan kata lain, variabel
experienced stigma memberikan pengaruh sebesar 29,2% terhadap self esteem suku
Nias. Sedangkan sisanya 70,8% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini.
Selanjutnya hasil analisis koefisien regresi adalah sebagai berikut.
Tabel 13. Hasil Analisis Koefisien Regresi
Model Koefisien Regresi
Konstan 151,782
Experienced Stigma - 0,946
Persamaan garis linear sederhana adalah Y = a + bX dengan Y melambangkan
self esteem suku Nias, X melambangkan experienced stigma, a merupakan harga
konstan ketika X = 0, dan b merupakan koefisien regresi yang menunjukkan
peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada perubahan
variabel independen.
Berdasarkan tabel diatas, persamaan garis linear sederhana dalam penelitian ini
experienced stigma, telah terbentuk self esteem sebesar 151,782. Koefisien regresi
-0,946 menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 satuan experienced stigma akan
menurunkan self esteem suku Nias sebesar 0,946.
D. Hasil Tambahan Penelitian
1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Experienced Stigma
a) Deskripsi Data Variabel Experienced Stigma
Berdasarkan data penelitian, maka data empirik dan data hipotetik
experienced stigma adalah sebagai berikut.
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa mean hipotetik experienced
stigma adalah 57 dengan standar deviasi sebesar 12,67 dan mean empirik experienced stigma sebesar 35,95 dengan standar deviasi sebesar 10,076. Jika
dilihat dari perbandingan mean hipotetik dengan mean empirik pada variabel
experienced stigma, maka diperoleh mean empirik lebih kecil daripada mean
hipotetik. Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi suku Nias pada penelitian ini
terhadap stigma yang diberikan orang lain lebih positif daripada rata-rata
b) Kategorisasi Data Variabel Experienced Stigma
Kategorisasi dari data experienced stigma dilakukan dalam tiga kategori
dengan menggunakan rumus mean dan standar deviasi sebagai berikut.
Tabel 15. Norma Kategorisasi Experienced Stigma
Rentang nilai Kategorisasi
X < (μ-1.0 SD) Positif
(μ-1.0SD) ≤ X ≤ (μ+1.0 SD) Netral
X > (μ+1.0 SD) Negatif
Besar mean hipotetik experienced stigma adalah sebesar 57 dengan standar
deviasi sebesar 12,67, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 16. Kategorisasi Data Experienced Stigma
Kategori Rentang Nilai N Persentase (%)
Positif X < 44,33 121 80,1
Netral 44,33≤ X ≤ 69,67 30 19,9
Negatif X > 69,67 - -
Total 151 100
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa sebagian besar experienced
stigma pada subjek penelitian ini berada pada kategori positif yaitu sebanyak
121 orang (80,1%). Hal ini menunjukkan bahwa 80,1% suku Nias yang menjadi
subjek penelitian ini tidak membentuk perasaan atau keyakinan yang negatif
terhadap pandangan orang lain kepada dirinya sebagai kelompok yang terkena
2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Self Esteem
a) Deskripsi Data Variabel Self Esteem
Berdasarkan data penelitian, maka data empirik dan data hipotetik self
esteem adalah sebagai berikut.
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa mean hipotetik self esteem adalah
96 dengan standar deviasi sebesar 21,33 dan mean empirik self esteem sebesar
121,87 dengan standar deviasi sebesar 16,577. Jika dilihat dari perbandingan
mean hipotetik dengan mean empirik pada variabel self esteem, maka diperoleh
mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik, artinya adalah rata-rata self
esteem subjek penelitian ini lebih tinggi dari self esteem yang diperkirakan pada
populasi penelitian.
b) Kategorisasi data self esteem
Kategorisasi dari data self esteem dilakukan dalam tiga kategori dengan
menggunakan rumus mean dan standar deviasi sebagai berikut.
Tabel 22. Norma Kategorisasi Self Esteem
Rentang nilai Kategorisasi
(μ-1.0SD) ≤ X ≤ (μ+1.0 SD) Sedang
X > (μ+1.0 SD) Tinggi
Besar mean hipotetik self esteem adalah sebesar 96 dengan standar deviasi
sebesar 21,33, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 23. Kategorisasi Data Self Esteem
Kategori Rentang Nilai N Persentase (%)
Rendah X < 74,67 1 0,7
Sedang 74,67 ≤ X ≤ 117,33 61 40,4
Tinggi X > 117,33 89 58,9
Total 151 100
Berdasarkan tabel diatas, didapatkan bahwa sebagian besar self esteem
subjek penelitian ini berada pada kategori tinggi, yaitu sebanyak 58,9%. 40,4 %
subjek penelitian berada dalam kategori sedang dan 0,7% berada dalam kategori
rendah. Dari hasil di dapatkan bahwa sebagian besar suku Nias yang menjadi
subjek penelitian ini memiliki sef esteem yang tinggi, artinya mereka
E. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan negatif antara
perceived stigma terhadap self-esteem pada orang bersuku Nias yang artinya adalah
semakin tinggi nilai perceived stigma yang dirasakan oleh seseorang, maka akan
berdampak pada penurunan self esteem, begitu juga dengan sebaliknya. Selanjutnya,
pada penelitian ini, experienced stigma suku Nias yang menjadi subjek penelitian
berada dalam kategori positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak
mempersepsikan evaluasi-evaluasi negatif dari orang lain sebagai suatu stigma dan
hal ini tidak menyebabkan penurunan self esteem.
Hasil analisa tersebut didukung oleh pendapat Camp, Finley dan Lyons
(2002); Watson dan River (2005) (dalam Mickelson, 2008) yang mengatakan bahwa
penurunan self-esteem tidak selalu terjadi kepada individu yang berada dalam
kelompok yang terkena stigma, karena tidak semua individu tersebut menerima
societal labels atau stereotype yang dibentuk oleh masyarakat.
Hal-hal yang mempengaruhi tidak menurunnya self esteem pada suku Nias di
penelitian ini, masih belum diketahui. Akan tetapi, peneliti berasumsi bahwa hal ini
bisa ditinjau dari cara seseorang mempersepsikan sesuatu, termasuk evaluasi dari
orang lain. Menurut Robins (1998), ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi
seseorang, salah satunya ialah perceiver atau karakter yang ada pada individu,
Afthonul (2010) mengatakan bahwa tradisi yang ada pada suku Nias terwarisi
secara lintas generasi berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini.
Menurut Faoziduhu (2012), ada satu falsafah suku Nias yang menggambarkan bahwa
harga diri yang tinggi merupakan hal yang paling penting dalam masyarakat suku
Nias, yaitu Sokhi Mate Moroi Aila, yang artinya secara harafiah adalah lebih baik
mati daripada malu. Nilai ini hampir diterapkan ke seluruh aspek kehidupan suku
Nias. Hal ini tampak jelas pada adat-istiadat yang berlaku pada suku Nias, seperti
jujuran (mahar) yang terbilang cukup tinggi, adanya tingkatan dalam struktur sosial
masyarakat, atau tradisi owasa (tradisi pesta tiga hari tiga malam dengan
mengorbankan puluhan bahkan ratusan babi).
Faoziduhu (2012) juga mengatakan bahwa meskipun kebiasaan-kebiasan
tersebut, (seperti mengadakan Owasa), lambat laun mulai ditinggalkan karena
perkembangan zaman, tetapi dalam kehidupan pergaulan sosial prinsip “tidak ingin
dipermalukan” tetap terlihat. Misalnya bila seseorang bertamu di suatu keluarga,
maka keluarga tersebut meskipun tidak mampu secara ekonomi akan mencoba
dengan segala daya upaya mengadakan pesta kecil untuk menyambut tamunya yang
dihormati. Dari hal ini didapatkan bahwa dari segi budaya pun suku Nias sudah
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasl penelitian yang diperoleh, maka ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Experienced Stigma memiliki hubungan yang negatif terhadap self esteem. Setiap
penambahan nilai experienced stigma akan menurunkan self esteem.
2. Sumbangan efektif yang diberikan variabel experienced stigma terhadap self
esteem orang bersuku Nias adalah sebesar 29,2%, yang berarti bahwa perceived stigma mempengaruhi self esteem sebesar 29,2%, sedangkan sisanya dipengaruhi
oleh faktor lain.
3. Hampir seluruh orang bersuku Nias yang menjadi subjek penelitian ini memiliki
experienced stigma berada dalam kategori positif, yang artinya orang bersuku
Nias tidak membentuk persepsi yang negatif mengenai perilaku orang lain
terhadap dirinya sebagai seorang suku Nias.
4. Sebagian besar Self Esteem subjek penelitian berada dalam kategori tinggi, artinya
evaluasi orang bersuku Nias terhadap dirinya sendiri positif.
5. Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa suku Nias yang
menjadi subjek penelitian ini tidak mempersepsikan evaluasi-evaluasi negatif dari
orang lain sebagai suatu stigma, sehingga hal ini tidak menyebabkan penurunan
B. Saran
1. Saran Metodologis
Peran experienced stigma terhadap self esteem sebesar 29,2%, dan selebihnya
70,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka disarankan kepada peneliti selanjutnya
yang berminat meneliti variabel experienced stigma untuk mengkaji faktor-faktor
lain yang turut mempengaruhi variabel tersebut, seperti faktor budaya, atau
faktor-faktor yang mempengaruhi cara seseorang dalam mempersepsikan stigma
atau penilaian dari orang lain.
2. Saran Praktis
Bedasarkan hasil yang telah diperoleh, penelitian ini memberikan informasi
bahwa orang bersuku Nias merasa bahwa mereka terkena stigma dari orang lain.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Self Esteem
1. Definisi Self-Esteem
Menurut Larsen dan Buss (2008), harga diri (self esteem) merupakan apa
yang kita rasakan berdasarkan pengalaman yang kita peroleh selama menjalani
hidup. Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana
individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga.
Definisi ini lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu
sendiri yang mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan
kriteria tertentu. Selanjutnya Branden (1981) menekankan self-esteem sebagai apa
yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang diri mereka sendiri, bukan
mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang diri kita.
Maslow (dalam Schultz dan Schultz, 1994) menjelaskan self-esteem sebagai
bagian dari kebutuhan penghargaan (esteem needs) yang terdapat dalam hirarki
kebutuhannya. Esteem needs terdiri dari 2 (dua), yaitu kebutuhan untuk
menghargai diri sendiri dan dihargai oleh orang lain. Dengan adanya self-esteem,
maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih
terpenuhi, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian
dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya.
Robson (1988) mengatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang
tinggi ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuan
yang jelas, selalu berpikir positif, mampu untuk berinteraksi sosial, solving
problem yang tinggi, serta mampu menghargai diri sendiri, sedangkan orang yang
memiliki self-esteem yang rendah ditandai dengan rasa takut, cemas, depresi, dan
tidak percaya diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem (harga diri)
merupakan evaluasi ataupun penilaian individu mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan dirinya, sejauh mana individu tersebut merasa berharga, diterima dan
berhasil dan hal ini berlangsung terus menerus.
2. Dimensi Self-Esteem
Menurut Coopersmith (1967) dimensi self esteem terdiri dari:
1. Feeling of Belonging (perasaan diterima)
Perasaan individu sebagai bagian dari kelompok dan merasa dirinya
diterima, diinginkan, serta diperhatikan oleh kelompoknya. Kelompok ini
dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, dan sebagainya. Ketika
seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian
dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai
apabila dirinya merasa diterima sebagai bagian dari kelompok. Namun
individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya merasa
tidak diterima atau ditolak dalam suatu kelompok.”
2. Feeling of Competence (perasaan mampu)
Perasaan individu bahwa dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan
kemampuannya dalam mencapai hasil yang diharapkan serta dalam
menghadapi permasalahan. Individu yang memiliki perasaan mampu
umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi
yang realistis. “Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila
dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya serta yakin dirinya
dapat menghadapi permasalahan yang ada. Sebaliknya, individu akan
memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak yakin pada hasil
pekerjaan dan kemampuannya, serta tidak yakin dirinya dapat menghadapi
permasalahan yang ada”.
3. Feeling of Worth (perasaan berharga)
Perasaan individu dimana dia merasa dirinya berharga. Perasaan ini
banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Perasaan yang dimiliki
individu sering ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan positif
yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain-lain. Individu yang
merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya
terhadap dunia di luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat
baik. “Individu dikatakan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya
merasa berharga dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Namun, individu
dikatakan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak merasa
berharga dan merasa dirinya tidak memiliki kelebihan”.
4. Faktor yang Mempengaruhi Self-Esteem
Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
self-esteem, antara lain:
1. Penerimaan dan Penghargaan dari Significant Others
Significant others yang dimaksud disini adalah seseorang yang dianggap
individu berperan dalam meningkatkan dan mengurangi keberhargaan dirinya.
Self esteem merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman
individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi tersebut
akan membentuk suatu penilaian mengenai dirinya berdasarkan reaksi yang ia
terima dari orang lain. Seseorang yang merasa dirinya dihormati, diterima dan
diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk self esteem yang
tinggi, dan sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan diperlakukan
buruk akan cenderung akan membentuk self esteem yang rendah.
2. Kelas Sosial dan Kesuksesan
Seseorang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, seperti pekerjaan
yang bergengsi, pendapatan yang besar dan berada di tempat tinggal yang
keuntungan baik secara material maupun budaya. Hal ini meyakini seseorang
bahwa mereka lebih berharga dari orang lain.
3. Nilai-nilai dan Inspirasi Individu
Pengalaman-pengalaman individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi
sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya. Individu akan
memberikan penilaian yang berbeda terhadap pengalaman yang terjadi dalam
hidupnya. Kesuksesan maupun kegagalan yang di alami seseorang tidak
secara langsung mempengaruhi self esteem, akan tetapi terlebih dahulu
melauli nilai-nilai ataupun inspirasi yang dipegang oleh individu.
4. Cara Individu dalam Merespon Devaluasi
Individu dapat meminimalisir perlakuan yang merendahkan dirinya seperti
evaluasi negatif dari orang lain atau lingkungannya. Mereka dapat menolak
penilaian negatif yang diterimanya dari orang lain. Seseorang yang mampu
merespon dengan baik devaluasi yang diterimanya dari lingkungan, akan
memiliki self esteem yang lebih tinggi.
B. Experienced Stigma
Experienced stigma adalah salah satu dimensi yang membentuk perceived stigma
(Mickelson, 2008). Menurut Mickelson, experienced stigma adalah persepsi
seseorang terhadap pengalaman stigma yang diterimanya dari orang lain. Stigma ini
perilaku orang di sekitarnya terhadap dirinya sebagai orang yang terkena stigma.
Biasanya stigma ini berhubungan dengan pengalamn-pengalaman terkait dengan
diskriminasi maupun prejudice. Beberapa peneliti juga memiliki istilah yang
berbeda-beda dalam menggambarkan experienced stigma ini, seperti enacted stigma dan
public stigma.
Goffman (1963) mengatakan enacted stigma merupakan perilaku nyata (seperti
pengucilan atau diskriminasi sosial secara langsung) oleh orang lain untuk
mendiskreditkan atau mengabaikan seseorang yang memiliki kondisi tertentu. Jacoby
(1994); Scrambler (2004), mengatakan bahwa enacted stigma merupakan perilaku
atau persepsi orang lain terhadap individu yang dianggap memiliki atribut yang
berbeda. Selanjutnya, Donaldson (2015) mengatakan bahwa public stigma merupakan
sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang lain terhadap individu yang terkena stigma.
Horch (2011) juga mengatakan bahwa enacted stigma terjadi ketika individu
mengalami kesulitan sebagai akibat dari label yang diterimanya dari orang lain. Label
yang diberikan ini bisa berupa hubungan kondisi stigma dengan stereotype yang ada
di kelompok (Link dan Phelan, 2001).
Berdasarkan beberapa definisi dari experienced stigma di atas, dapat disimpulkan
bahwa experienced stigma merupakan persepsi atau keyakinan yang dibentuk
individu terhadap perasaan atau perilaku orang lain kepada dirinya sebagai orang
yang terkena stigma atau yang mendapatkan pengalaman stigma seperti, diskriminasi
C. Suku Nias
Suku Nias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang sebagian besar
mendiami pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Suku ini memiliki nilai-nilai budaya
yang dipegang sebagai falsafah hidupnya. Menurut Tuhoni Telaumbanua (2010)
Nilai-Nilai budaya yang dianut oleh suku Nias antara lain :
1. Banua dan Fatalifusӧta
Fatalifusӧta memiliki makna “persaudaraan” yang tidak hanya berdasarkan
atas hubungan darah (sesama marga atau suku), tetapi juga hubungan
persaudaraan karena berada dalam satu lingkungan (satu banua) meskipun
suku, agama atau kepercayaan berbeda.
2. Emali dome si so bal ala, ono luo na so yomo
Ungkapan ini merupakan salah satu falsafah hidup suku Nias. Ungkapan
tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : “
Seseorang yang masih berada di jalan di anggap sebagai tamu tak dikenal
atau orang asing, namun jika seseorang itu dapat menjadi saudara yang sangat
dihormati kalau ia sudah berada di dalam rumah kita”. Ungkapan ini
sebenarnya suatu bentuk penghormatan kepada orang asing (pendatang).
Intinya adalah ketika seseorang sudah dianggap menjadi bagian dari
masyarakat Nias, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai orang asing
lagi, melainkan sebagai saudara yang sama dengan saudara-saudara lainnya
3. Sebua ta’ide’ide’ӧ, side’ide’ide mutayaigӧ
Ungkapan ini sering digunakan dalam menyelesaikan konflik atau masalah
yang terjadi di kalangan masyarakat Nias. Ungkapan ini mengandung makna
yang berarti bahwa masalah yang terjadi jangan dibesar-besarkan, sebaliknya
diusahakan untuk menjadi lebih kecil lagi sehingga dapat di selesaikan secara
tuntas tanpa meninggalkan bekas atau dendam apapun di hati kedua belah
pihak yang bermasalah.
D. Hubungan antara Experienced Stigma dengan self-esteem
Hogg (2011) mengatakan bahwa target dari prasangka adalah kelompok yang
terkena stigma dari masyarakat. Stigma dapat dikonseptualisasikan dalam hal
perceived, internalized atau enacted stigma (Goffman, 1963). Pengalaman stigma
juga dapat dideskripsikan sebagai “persepsi” atau keyakinan akan adanya sikap atau
perilaku stigma dalam masyarakat, atau sebagai sebuah proses “internalisasi”, dimana
pikiran atau perasaan negatif muncul pada individu terstigma (Luoma et al, 2007).
Dalam hal ini, Mickelson mengistilahkannya dengan perceived stigma, yaitu perasaan
negatif individu terhadap dirinya sendiri karena stigma yang dimilikinya (internalized
stigma) dan persepsi individu tersebut mengenai bagaimana perilaku atau perasaan
orang lain terhadap kondisi stigma yang dimilikinya (experienced stigma).
Donaldson (2015) mengatakan bahwa individu yang terkena stigma bisa jadi
lain terhadap kondisi stigma yang ada pada dirinya dan kemudian menginternalisasi
penilaian tersebut. Keyakinan personal tersebut semakin jelas setelah mereka
memperoleh ‘label’ dari kondisi stigma yang diterimanya (Link, 1987). Sehingga,
dapat dikatakan bahwa, ketika seseorang menerima suatu perlakuan atau penilaian
negatif dari lingkungan (terstigmatisasi), kemudian membentuk suatu keyakinan atau
pesepsi tersendiri akan hal tersebut (experienced stigma) dan akhirnya membentuk
evaluasi negatif terhadap dirinya sendiri karena stigmatisasi tersebut.
Mickelson dan William (2008) mengatakan bahwa orang yang terstigma
cenderung untuk menginternalisasi penilaian-penilaian negatif dari lingkungannya
dan membentuk evaluasi diri yang negatif pula mengenai dirinya atau memiliki self
esteem yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Hogg (2011) yang mengatakan
bahwa kelompok yang terkena stigma sulit untuk mengelak bahwa citra diri mereka
ataupun kelompok mereka dipandang negatif dari orang lain, dan hal ini akan
membentuk self esteem yang rendah pula.
Coopersmith (1967) mendefinisikan self esteem sebagai suatu evaluasi diri
apakah seseorang merasa mampu, berharga dan berhasil dan penting. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya self esteem seseorang adalah penghargaan dan
penerimaan dari significant others, nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang dan
bagaimana cara seseorang dalam menanggapi devaluasi yang terjadi padanya.
Berdasarkan hal ini, salah satu faktor self esteem yang berkaitan dengan experienced
stigma adalah cara seseorang dalam menanggapi devaluasi. Devaluasi yang dimaksud
evaluasi tersebut dengan baik, cenderung memiliki self esteem yang tinggi, begitu
juga dengan sebaliknya, apabila seseorang menanggapi evaluasi negatif dengan tidak
baik, maka akan membentuk self esteem yang rendah.
E. Paradigma Teoritis
Berdasarkan uraian hubungan experienced stigma dan self esteem di atas,
maka skema penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Skema Penelitian
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
“Ada peran experienced stigma terhadap self esteem”
Semakin tinggi experienced stigma, maka self esteem semakin rendah
Self Esteem
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia yang sudah dikenal sejak
dahulu, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Ragam budaya Indonesia
merupakan kekayaan unik yang tidak dimiliki setiap bangsa di dunia. Ragam ini
terlihat baik dari kondisi sosial kultural dan geografisnya. Badan Pusat Statistik
(BPS) sampai dengan tahun 2011 mencatat bahwa Indonesia memiliki 1.128 suku
bangsa dengan lebih dari 746 bahasa daerah yang tersebar dalam 13.000 pulau dari
Sabang hingga Merauke.
Salah satu Provinsi terbesar di Indonesia ialah Sumatera Utara. Menurut data
dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan hasil sensus tahun
2010, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 13,77 jiwa yang terdiri dari berbagai
macam suku bangsa. Suku bangsa paling banyak di provinsi ini adalah Batak
(Tapanuli/Toba, Karo, Mandailing dan Pakpak) sebesar 44,75%, suku Jawa 33,40%
dan sisanya merupakan suku Tionghoa, Melayu, Nias dan lain-lain. BPS juga
melaporkan bahwa Provinsi Sumatera utara merupakan provinsi yang memiliki suku
bangsa yang sangat beragam dan diakui oleh pemerintah.
Sarwono (2007) mengatakan dari keberagaman etnik-etnik yang terpisah
pengalaman psikologis masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan identitas
etnik masing-masing juga. Keterikatan pada identitas etnik tersebut akan
menimbulkan saling prasangka antar etnik yang nantinya bisa berdampak kepada
proses akulturasi bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Widiastuti (2013) yang
mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang beragam mempunyai potensi untuk
konflik. Perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang
dilatar belakangi sosio-kultural, akan menjadi pendorong munculnya perasaan
kesukuan yang berlebihan dan dapat memicu munculnya nilai negatif berupa sikap
membeda-bedakan perlakuan sesama anggota masyarakat, sehingga menimbulkan
prasangka yang bersifat subjektif.
Hogg (2011) mengatakan bahwa target dari prasangka (prejudice) adalah
anggota dari kelompok yang terkena stigma. Stigma merupakan atribusi terhadap
suatu kelompok yang diperantarai evaluasi sosial yang negatif kepada orang-orang.
Salah satu hal penting dari stigma ini sendiri adalah stigma yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri atau disebut dengan istilah perceived stigma. Brakel
(2003) mendefiniskan perceived stigma sebagai ketakutan dan kekhawatiran akan
diskriminasi, penolakan, kehilangan pekerjaan, pelecehan fisik yang dirasakan oleh
seseorang karena kondisi tertentu yang dialaminya. Stigma yang berasal dari dalam
diri individu ini dapat menyebabkan stress emosional, kecemasan, masalah dalam
hubungan sosial, isolasi diri, depresi bahkan adanya usaha untuk bunuh diri.
Perceived stigma berhubungan terhadap persepsi negatif orang lain (Crandall &
1985; Link, Cullen, Struening, Shrout, & Dohrenwend, 1989) dan pembatasan yang
dirasakan dan dialami seseorang dalam aktivitas sosial.
Mikelson dan Williams (2008) mengatakan bahwa perceived stigma adalah
perasaan negatif seseorang terhadap dirinya sendiri karena stigma yang diterimanya
(internalized stigma) dan persepsi orang tersebut terhadap perilaku orang sebagai
pengalaman stigma (experienced stigma). Donaldson (2015) mengatakan bahwa
individu yang terkena stigma bisa jadi mempunyai keyakinan tersendiri mengenai
bagaimana penilaian atau perasaan orang lain terhadap kondisi stigma yang ada pada
dirinya dan kemudian menginternalisasi penilaian tersebut. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ketika seseorang mengalami interakasi atau perlakuan negatif dari orang lain,
maka akan membentuk perceived stigma, artinya individu membentuk persepsi
tersendiri mengenai bagaimana penilaian atau perasaan orang lain terhadap dirinya
sebagai orang yang terkena stigma dan menginternalisasi stigma tersebut terhadap
dirinya.
Kelompok yang terkena stigma pada umumnya sulit untuk menghindari
kenyataan bahwa citra diri mereka maupun kelompok mereka dipandang negatif oleh
masyarakat. Anggota kelompok yang terkena stigma ini akan cenderung
menginternalisasi evaluasi negatif tersebut, dan akhirnya akan membentuk self-image
yang tidak baik pula atau memiliki self-esteem yang rendah (Hogg, 2011). Hal ini
sejalan dengan pendapat Mickelson dan Williams (2008) yang mengatakan bahwa
ketika seseorang merasakan pengalaman stigmatisasi dari orang lain, individu
telah terkena stigma dan hal ini bisa menyebabkan self esteem seseorang menjadi
rendah.
Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana individu
mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini
lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang
mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu.
Dengan kata lain self-esteem adalah bagaimana seseorang memandang dirinya
sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan self esteem menurut
Coopersmith (1967) adalah perlakuan dari orang lain. Apabila individu mendapatkan
perlakuan yang buruk, diremehkan atau ditolak, maka akan membentuk self esteem
yang rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa ketika seseorang merasakan pengalaman
stigmatisasi dari orang lain, individu tersebut membentuk suatu perasaan dan
penilaian tersendiri mengenai dirinya yang telah terkena stigma dan hal ini bisa
menyebabkan self esteem seseorang menjadi rendah.
Di beberapa daerah yang ada di Sumatera Utara, suku Nias cukup banyak
mendapat anggapan yang negatif atau stigma. Ariesta (2011) mengatakan bahwa suku
Nias cenderung dinilai negatif, seperti kasar, pembuat onar, kebiasaan buruk seperti
senangnya menerima gratisan dan sejenisnya, mental yang kurang berwirausaha,
pasrah pada keadaan, keras kepala dan tidak mau diajari, dengki. Salah satu contoh
yang terkait akibat dari stigma terhadap suku Nias adalah di Kampung Susuk,
Kecamatan Medan Baru, Medan. Pada awal memasuki wilayah Kampung Susuk,
terjadilah konflik. Di dalam kehidupan sehari-hari pun mereka dari dahulu sampai
sekarang masih saja di diskriminasi. Setiap ada masalah di Kampung Susuk dan
kebetulan salah seorang suku bangsa Nias yang membuat masalah, suku bangsa Karo
akan mencap atau menandai semua suku bangsa Nias yang ada di daerah Kampung
Susuk yang berbuat salah dan pantas untuk dihukum. Hukuman itu bisa berupa
cemoohan, pukulan, ditelanjangi dan dikeroyok dengan massa (Ariesta, 2011).
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti secara personal ke beberapa
orang mengenai pandangan terhadap suku Nias, didapatkan hasil, yaitu: orang-orang
dengan suku ini dianggap kasar, jahat, punya ilmu hitam yang kuat, dan tidak mau
maju, tertutup kepada setiap orang dan tidak mau tidak mau berbagi, iri dan dendam
yang berkelanjutan, dan tidak jujur.
Berdasarkan data wawancara kepada beberapa suku Nias, diperoleh bahwa
peneliti mendapatkan data bahwa mereka menyadari dan beberapa mendapatkan
pengalaman stigma. Berikut hasil wawancara tersebut.
“Banyak orang yang anggap kami (Suku Nias) punya pegangan ilmu hitam. Kalau di masa kakekku emang masih ada, tapi kan sekarang gak lagi, kan udah ada agama dan pengetahuan pun berkembang loh. Karena stigma kek gini, orang –orang ngelihat kami kayak sesat dan terkutuk.”
(Wawancara Personal, PZ, Januari 2016)
“Kalau dari pengalamanku, banyak kawan yang bilang kalau Nias itu gak manusialah, punya pegangan ilmu hitamlah, bahkan ada yang bilang kalau nenek moyang kami dari anjing. Padahal gak loh, kalau dari sejarah kami ya, justru kami ini berasal dari manusia titisan dewa gitu.. hahaha, kalau udah kek gitu aku jelasin ajalah yang sebenarnya..”
(Wawancara Personal, DH, Januari 2016)
suka balas dendam, pake ilmu hitam, jahat, gitu-gitu.. tapi aku bawa ke
bersuku Nias mendapatkan pengalaman-pengalaman stigma dari lingkungan
sekitarnya, seperti diejek, dianggap memiliki ilmu hitam, dan jahat, akan tetapi tidak
menginternalisasi penilaian tersebut. Mereka tidak membentuk evaluasi negatif
terhadap dirinya sendiri meskipun ada stigma yang diberikan kepada mereka. Hal ini
sejalan dengan pendapat Luoma et al., (2013) yang mengatakan bahwa meskipun
individu menyadari bahwa mereka terkena stigma, belum tentu mereka
menginternalisasi stigma atau penilaian negatif tersebut.
Peneliti juga menemukan bahwa sebenarnya mereka sudah membentuk suatu
penilaian tersendiri terhadap perilaku orang lain kepadanya. Hal ini ditunjukkan dari
hasil wawancara berikut.
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sebenarnya suku Nias sudah
membentuk penilaian bahwa mereka diperlakukan secara buruk dikarenakan kondisi
stigma yang ada pada mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Donaldson (2015)
yang mengatakan bahwa seseorang yang terstigmatisasi akan memiliki keyakinan
tersendiri mengenai bagaimana perilaku dan perasaan orang lain terhadap kondisi
stigma yang ada pada dirinya.
Berdasarkan data wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya, suku Nias
menyadari kalau mereka dinilai secara negatif oleh orang lain, seperti orang bersuku
Nias jahat, mempunyai ilmu hitam, dan lain sebagainya. Namun, meskipun
menyadari hal tersebut, mereka tidak menginternalisasi penilaian yang muncul
kepada dirinya sendiri. Sementara itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
perceived stigma merupakan perasaan negatif yang terbentuk akibat dari internalisasi
stigma yang diterima dan persepsi individu tersebut terhadap perilaku orang lain
kepadanya sebagai orang yang terkena stigma. Dalam hal ini, Mickelson dan William
(2008) membaginya kedalam dua dimensi, yaitu internalized stigma (perasaan negatif
yang muncul karena internalisasi stigma) dan experienced stigma (persepsi individu
tersebut terhadap perilaku orang lain kepadanya).
Jika dilihat dari pengalaman dan respon suku Nias terhadap stigma yang ada
pada mereka dan merujuk kepada pengertian perceived stigma seperti yang dijelaskan
sebelumnya, peneliti merasa bahwa stigma yang dirasakan suku Nias ini lebih
mengarah kepada experienced stigma, yaitu persepsi atau keyakinan tersendiri
terkena stigma, dalam hal ini sebagai orang yang bersuku Nias. Mickelson (2008)
juga mengungkapkan bahwa experienced stigma berhubungan secara tidak langsung
dengan penurunan self esteem. Sehingga, peneliti memilih untuk melihat bagaimana
peran experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias.
B.
Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Apakah ada peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias?
2. Berapa besar peran Experienced stigma terhadap self esteem pada suku Nias?
C.
Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peran Experienced
stigma terhadap self esteem pada suku Nias.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Memberi sumbangan informasi, memperkaya hasil penelitian yang telah ada