• Tidak ada hasil yang ditemukan

hukum pidana islam.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "hukum pidana islam.docx"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum pidana tidak lain membahas tentang hukum sebab akibat, yang memiliki efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum public, karena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan. Apabila diselesaikan secara pribadi, termasuk kepada kategori main hakim sendiri.

Umat Islam dunia selayaknya menggunakan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, karena keduanya merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung didalamnya, baik tindakan maupun hukumannya. Namun perlu adanya penafsiran untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang terdapat didalamnya. Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya hukum dan sanksi itu sendiri.

(2)

dalam hukum Islam, berlaku asas legalitas dalam penerapan hukumnya

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini ialah 1. Apa yang dimaksud asas legalitas?

2. Apakah sumber hukum asas legalitas?

3. Bagaimanakah Penerapan Asas Legalitas?

4. Berapakah macam-macam asas legalitas?

C. Tujuan

(3)

BAB II PEMBAHASAN A. Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan sesuatu menurut undang undang”[1]

Dengan demukian arti legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang.” Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.”

(4)

legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.[2]

Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.

B. Sumber Hukum Asas Legalitas

Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada

(5)

manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15, Yang terjemahnya kurang lebih demikian: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59, Yang terjemahnya kurang lebih demikian:

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.”

C. Penerapan Asas Legalitas

(6)

diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.

Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya.

Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah [4 ]:

Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal: 1. Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22, Yang terjemahnya

kurang lebih demikian:

(7)

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

2. Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275 Yang terjemahnya kurang lebih demikian:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial;

a. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku

di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni : 1) Negara-negara Islam;

(8)

3) Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.

b. Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku

bagi seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas), maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana Islam.

D. Macam-macam Asas

Adapun macam-macam asas dapat dikelompokkan menjadi empat bagian: 1. Asas tidak Berlaku Surut

Hukum pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai

dengan kaidah

ةيعجرل

يئانجلا عيرشتلا يف

tidak berlaku surut pada pidana Islam, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya.

Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim.

(9)

a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4, Yang

terjemahnya kurang lebih demikian:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

b. Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33, Yang terjemahnya

kurang lebih demikian:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”

(10)

Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Qur’an secara khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (an-Nisa: 22). Sebagai akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu menjadi putus, namun dari sisi hukum pidana pelakunya tidak dipidana.

2. Asas Praduga tak Bersalah

Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence). Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif.

(11)

menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan[5].

Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan membawa pembebasan terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa6

Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya[ 7 ]. Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan

tujuan untuk menjamin keadilan dan melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas dan ta'zir[ 8 ].

3. Asas Material

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk

5 Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri al-Jinai…,I: 254.

6 Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa, Ahmad Syuedi, (Yogyakarta: LKIS,2001), hlm. 200

(12)

tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).

Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :

“Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat” Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. “

4. Asas Moralitas

Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :

(13)

b. Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila.

c. Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.

(14)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum pidana islam memiliki beberapa asas diantaranya:

1) Asas Legalitas, asas legalitas adalah cerminan dari ungkapan dalam

bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Bahwa asas ini menjelaskan bahwa tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.

2) Asas tidak berlaku surut, artinya sebelum adanya nas yang melarang

perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah.

3) Asas praduga tak bersalah ( principle of lawfulness/presumption of

innocence), Menurut asas ini bahwa semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Jadi, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. 4) Asas material, asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa

(15)

bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).

5) Asas moralitas, Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :

(1) Asas Adamul Uzri

(2) Asas Raful Qalam

(3) Asas al-Khath wa Nis-yan Asas

(16)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djazuli, H. A. FIQH JINAYAH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

2. Hanafi,Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1967.

3. Munajat, Makhrus. FIKIH JINAYAH(Hukum Pidana Islam). Pesantren

Nawesea Pres.Jakarta.2009.

4. Santoso, Topo, S,H., M.H, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Urgensi asas legalitas dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, yaitu: asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak bersifat absolut karena adanya ketentuan Pasal 2

Secara umum hal-hal penting yang dikandung di dalam hukum pidana positif, pada hakikatnya juga terdapat di dalam hukum pidana Islam; baik dari segi keberadaan

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang. oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak

Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur mengenai asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa ketentuan pidana yang telah diatur dalam

Urgensi asas legalitas dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, yaitu: asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak bersifat absolut karena adanya ketentuan Pasal 2

Secara lebih tegas prismatika hukum asas legalitas akan memberikan legal policy atau garis kebijakan yang diberlakukan oleh negara mengenai sistem hukum pidana yang bersumber dari

21 Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak

Namun, tidak semua perbuatan dapat dikenakan sanksi hukum, karena hal tersebut sejalan dengan salah satu asas dalam hukum pidana yaitu asas legalitas, prinsip ini menyatakan bahwa