ABSTRACT
DIVERSITY AND CORRELATION TEST OF RESISTANT CHARACTER IN SOYBEAN SECOND GENERATION (F2) TANGGAMUS AND B3570
CROSSING AGAINST SOYBEAN MOSAIC VIRUS By
Riza Aprianti
The productivity of soybean in Indonesia is still low. One of the reason of this
situation is caused by soybean mosaic virus. The study was conducted in
September 2013 until January 2014 at the Integrated Field Laboratory of faculty
of Agriculture, University of Lampung, and at the Laboratory of Seed and Plant
Breeding, University of Lampung. The aim of this studywas to determine (1) the
estimation of genotypes and fenotypes diversity for disease severity and
agronomy characters, (2) the correlation between disease severity and agronomy
characters in soybean, and (3) the range mean of incubation period, disease
severity and agronomy characters in soybean. The study was conducted in
September 2013 until January 2014 at the Integrated Field Laboratory of the
College of Agriculture and Seed and Plant Breeding Laboratory, University of
Lampung. The seed which was used in this study from Tanggamus and B3570
crossing (F2). Each plant was inoculated by SMV, and disease severity and
agronomy characters were observed in this study. The design used in this study
was experimental design without replications. The results showed that (1)
Extensive genotypes and phenotypes were found in the character of disease
of seeds, the percentage of healthy seeds, the percentage of diseased seeds, seed
weight per plant, and day of harvesting, (2) Disease severity character did
notcorrelate with various kind of agronomy characters. Agronomy characters that
positively correlated were number of productive branches between number of
pods, number of filled pods, number of empty pods, number of seeds, seed weight
per plant, and number of pods correlated with number of seeds, (3) extensive
mean of each characters were found in the number of pods, number offilled pods,
and number of seeds.
ABSTRAK
KERAGAMAN DAN UJI KORELASI KARAKTER KETAHANAN KEDELAI GENERASI F2 PERSILANGAN TANGGAMUS
x B3570 TERHADAP SOYBEAN MOSAIC VIRUS Oleh
Riza Aprianti
Produksi kedelai di Indonesia saat ini masih rendah. Salah satu penyebab
rendahnya produksi disebabkan oleh infeksi soybean mosaic virus (SMV).
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, dan di Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman
Universitas Lampung pada bulan September 2013 sampai Januari 2014. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui (1) besaran nilai keragaman genotipe dan fenotipe
karakter keparahan penyakit dan karakter agronomi kedelai, (2) korelasi antara
karakter keparahan penyakit dan karakter agronomi kedelai, dan (3) kisaran nilai
tengah karakter periode inkubasi, keparahan penyakit dan karakter agronomi.
Benih yang digunakan merupakan benih hasil persilanganTanggamus x B3570
generasi F2. Setiap individu tanaman diinokulasi dengan soybean mosaic virus
(SMV) dan diamati keparahan penyakit serta karakter agronominya. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan tanpa ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan (1) keragaman genotipe dan fenotipe yang luas terdapat
pada karakter keparahan penyakit, tinggi tanaman, total jumlah polong, jumlah
persentase biji sakit, bobot biji pertanaman, dan umur panen, (2) karakter
keparahan penyakit tidak berkorelasi dengan berbagai karakter agronomi.
Karakter agronomi yang berkorelasi positif yaitu jumlah cabang produktif dengan
jumlah total polong, jumlah polong bernas, jumlah polong hampa, total jumlah
biji, dan bobot biji pertanaman, serta jumlah polong berkorelasi dengan total
jumlah biji, (3) kisaran nilai tengah luas terdapat pada karakter jumlah total
polong, jumlah polong bernas, dan jumlah total biji.
KERAGAMAN DAN UJI KORELASI KARAKTER KETAHANAN KEDELAI GENERASI F2 PERSILANGAN TANGGAMUS
x B3570 TERHADAP SOYBEAN MOSAIC VIRUS
Oleh
RIZA APRIANTI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
KERAGAMAN DAN UJI KORELASI KARAKTER KETAHANAN KEDELAI GENERASI F2 PERSILANGAN TANGGAMUS
x B3570 TERHADAP SOYBEAN MOSAIC VIRUS (Skripsi)
Oleh
RIZA APRIANTI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 24 April 1993 sebagai anak pertama
dari empat bersaudara pasangan Bapak Ibnu Hajib dan Ibu Misna Aini. Penulis
mengawali pendidikan formal di SDN 03 Kota Napal, Kec. Bunga Mayang Kab.
Lampung Utara Tahun 1998—2004, SMP Negeri 4 Kec. Sungkai Utara, Kab.
Lampung Utara Tahun 2004—2007, SMA Negeri 2 Kotabumi Tahun 2007—
2010, dan pada Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas
Pertanian Universitas Lampung Program Studi Agroteknologi melalui Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menempuh masa studi penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) FP 2011/2012, Lembaga Studi Mahasiswa Pertanian (LSMATA)
2012/2013, Duta Fakultas Pertanian 2012/2013, asisten praktikum mata kuliah
Genetika Dasar, Pemuliaan Tanaman, Teknologi Benih, dan Aneka Tanaman
Perkebunan D3 Perkebunan. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
Kelurahan Sumber Agung, Kec. Kemiling, Bandar Lampung pada Tahun 2013
Manusia yang paling lemah yaitu orang yang tidak mampu mencari teman. Tetapi yang lebih lemah dari itu adalah orang yang mendapat banyak teman
namun menyia-nyiakannya (Ali bin Abi Thalib)
Sesungguhnya ada sebagian dari perkataan itu lebih keras dari batu, lebih pahit dari jadam, lebih panas dari bara, dan lebih tajam dari tusukan. Hati
merupakan ladang, maka tanamilah dia dengan perkataan yang baik, sebab bila tidak tumbuh semuanya,
maka niscaya akan tumbuh sebagian ( Al hadis)
Teman dapat menghianatimu, pasangan dapat meninggalkanmu.
Tapi Tuhan…takkan pernah membiarkanmu terjatuh
(Mario Teguh)
Memaafkan adalah kebaikan, segala yang bersumber kebaikan dan bertujuan untuk kebaikan akan berujung kebahagiaan
Alhamdullillah ya Allah
Rasa syukur penulis ucapkan atas segala limpahan karunia yang tiada ujungnya, ku persembahkan karya sederhanaku ini dengan tulus dan ikhlas untuk
orang-orang yang menyayangiku, berdoa, dan selalu menunggu keberhasilanku: Mama, Papa, dan Adikku
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “ Keragaman dan Uji Korelasi Karakter Ketahanan Kedelai Generasi F2
Persilangan Tanggamus x B3570 Terhadap Soybean Mosaic Virus”. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Maimun Barmawi, M.S., selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan perhatian, pemikiran, semangat dan kesabaran untuk
meningkatkan kemampuan akademik penulis, serta bimbingan yang sangat
membangun selama penulis melakukan perkuliahan, penelitian, dan
penyelesaian skripsi.
2. Ir. Joko Prasetyo, M.S., selaku Pembimbing Kedua atas saran, bimbingan,
nasihat, kritik, koreksi, waktu yang diberikan kepada penulis selama
melakukan penelitian dan dalam rangka penyelesaian skripsi.
3. Dr. Ir. Nyimas Sa’diyah, M.P., selaku Penguji atas masukan dan saran-saran
yang berharga dalam menyempurnakan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Darwin Pangaribuan, M.Sc., selaku dosen Pembimbing Akademik.
5. Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
6. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
7. Keluarga tercinta, Ayahanda Ibnu Hajib, Ibunda Misna Aini, dan Adik
penulis Astra, Rama, dan Diva yang selalu mendoakan, mendukung segala
kegiatan perkuliahan dan skripsi pennulis.
8. Miandri Sabli Pratama, S.P., yang selalu memberikan semangat serta motivasi
tiada henti kepada penulis dalam perkuliahan dan penyusunan skripsi.
9. Sahabat penulis Tety dan Windi, terima kasih atas semangat dan dukungan
yang selalu diberikan selama kuliah.
10.Rekan-rekan penelitian : Nurul, Wanda, Novias, Amey, Jepri, Remon, dan
Dimas, atas persaudaraan, kebersamaan, dan bantuannya sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan.
11.Pandu, Niko, Endi dan kawan lainnya yang telah membantu dalam proses
penelitian.
12.Teman-teman AGT 2010 khususnya kelas C, dan anak-anak kosan unila
terima kasih telah memberikan persahabatan, saran, motivasi, dan semangat
kepada penulis selama perkuliahan di Universitas Lampung.
13.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang
membacanya.
Bandar Lampung, Juni 2014
PUSTAKA ACUAN ... 50
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Nilai ragam fenotipe generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 genotipe nomor lima. ... 37
2. Nilai ragam genotipe generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 genotipe nomor lima. ... 37
3. Kisaran nilai tengah generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 genotipe nomor lima. ... 38
4. Nilai koefisien korelasi fenotipe antarkarakter pada generasi F2 hasil persilangan Tanggamus x B3570 Genotipe
nomor lima. ... 39
5. Peringkat genotipe generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 genotipe nomor lima berdasarkan
keparahan penyakit dan bobot biji sehat. ... 40
6. Data variabel pengamatan generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 genotipe nomor lima. ... 55
7. Data variabel pengamatan tetua Tanggamus. ... 60
8. Data variabel pengamatan tetua B3570. ... 61
9. Nilai koefisien korelasi generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 nomor lima. ... 62
10. Nilai t hitung generasi F2 hasil persilangan Tanggamus
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak penanaman benih kedelai hasil persilangan Tanggamus x B3570 generasi F2 genotipe nomor lima dan
kedua tetuanya. ... 31
2. Tahap-tahap inokulasi soybean mosaic virus di lapangan. ... 32
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun,
pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi
907.031 ton. Pada tahun 2011 hingga tahun 2012 produksi kedelai nasional terus
mengalami penurunan menjadi 843.153 ton (Badan Pusat Statistik, 2013).
Rendahnya produksi kedelai berbanding terbalik dengan permintaan kedelai.
Permintaan kedelai terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan
berkembangnya industri yang berbahan dasar kedelai, sehingga pemerintah
mengambil kebijakan dengan mengimpor kedelai. Pada tahun 2012 Indonesia
mengimpor kedelai sebesar 2.087.986 ton untuk memenuhi 71% kebutuhan
kedelai dalam negeri. Akhir tahun 2013 bulog akan mengimpor 1,7 juta ton
kedelai. Hal ini karena kebutuhan kedelai Indonesia sebesar 2,5 juta ton, tetapi
produksi nasional hanya sekitar 800 ribu ton (Sutarto, 2013).
Rendahnya produksi kedelai di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
perbedaan iklim, lahan di Indonesia yang kurang subur, penurunan luas panen,
2
Kedelai merupakan tanaman subtropis, sedangkan di Indonesia kedelai ditanam
pada kondisi tropis. Kedelai termasuk tanaman berhari pendek yang sangat
sensitif terhadap fotoperiode. Tanaman kedelai memerlukan 13,5 jam/hari untuk
berbunga, sedangkan di Indonesia kedelai hanya mendapatkan lama penyinaran
maksimal 12 jam. Kondisi seperti ini menyebabkan kedelai lebih cepat berbunga
tetapi produksinya rendah (Martin dkk., 2006).
Menurut Gardner dkk. (1991), kultivar kedelai yang beradaptasi di daerah tropis
mempunyai ruas-ruas yang lebih sempit, lebih pendek, serta berbunga lebih awal.
Pada daerah subtropis pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai lebih lama bila
dibandingkan dengan daerah tropis. Periode vegetatif yang lama menyebabkan
hasil fotosintesis lebih banyak digunakan untu pertumbuhan tanaman,
pembentukan ruas batang dan pembentukan cabang. Tanaman kedelai yang lebih
tinggi biasanya mempunyai buku yang lebih banyak sehingga polong yang
dihasilkan menjadi lebih banyak.
Perbedaan lingkungan tersebut menyebabkan sulitnya budidaya kedelai sehingga
petani banyak beralih ke komoditas lain yang menimbulkan dampak penurunan
luas panen. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), pada tahun 2013 luas panen
menyusut 8,32 % atau turun 51,76 ribu hektar dan saat ini luas lahan kedelai
sekitar 566.693 hektar. Penurunan luas penen ini disebabkan oleh petani yang
beralih ke komuditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Salah satu yang
menjadi permasalahan dalam budidaya kedelai yaitu kedelai rentan terhadap hama
3
Penyakit penting pada tanaman kedelai adalah mosaik kedelai yang disebabkan
oleh soybean mosaic virus (SMV). Penyakit ini tersebar di beberapa sentra
produksi kedelai di Indonesia dan mampu menimbulkan kehilangan hasil yang
cukup besar. Kehilangan hasil akibat virus SMV dapat mencapai 25% apabila
penularan terjadi pada fase vegetatif, namun kehilangan hasil dapat mencapai 90%
apabila tanaman terinfeksi sejak fase awal pertumbuhan (Kameya, 2001; Ooffei &
Albrechtsen, 2005 dikutip Prayogo, 2012).
Infeksi virus yang terjadi dalam sel akan mempengaruhi sintesis protein dan asam
nukleat tanaman. Infeksi virus juga akan mempengaruhi jumlah dan bentuk sel
serta organel, seperti mitokondria dan kloroplas. Gangguan fisiologis tanaman
mengakibatkan tanaman inang menunjukkan gejala di seluruh bagian tanaman
seperti tanaman menjadi kerdil, perubahan warna daun, ukuran dan bentuk buah
yang dihasilkan (Akin, 2006).
Peningkatkan produksi kedelai di Indonesia sangat membutuhkan ketersediaan
varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi dan responsif terhadap perbaikan
kondisi lingkungan, serta memiliki sifat-sifat unggul lainnya (Arsyad, 2000).
Penggunaan kultivar kedelai yang tahan terhadap virus dan berproduksi tinggi
merupakan cara yang paling baik dalam pengendalian penyakit mosaik virus.
Taichung merupakan varietas yang tahan terhadap SMV, tetapi mempunyai daya
hasil yang rendah. Yellow Bean dan galur B3570 bersifat rentan dan berdaya hasil
tinggi sedangkan Varietas Orba sangat rentan terhadap infeksi SMV (Akin dan
Febriyanti, 2003 dikutip oleh Mulia, 2008). Menurut Putri (2013) dan Jamil
(2013), Varietas Tanggamus merupakan varietas tahan terhadap infeksi SMV.
4
merupakan populasi yang tahan terhadap SMV sedangkan Tanggamus x B3570
termasuk ke dalam kategori agak tahan terhadap infeksi SMV.
Pemuliaan kedelai melalui persilangan buatan merupakan upaya memperoleh
genotipe unggul sebagai akibat adanya gabungan gen-gen baik yang berasal dari
tetua-tetua yang disilangkan (Darlina dkk., 1992). Seleksi merupakan dasar dari
seluruh perbaikan tanaman untuk mendapatkan kultivar unggul baru.
Keberhasilan seleksi tergantung pada kemampuan pemulia untuk memisahkan
antara genotipe yang diinginkan dengan genotipe yang tidak dikehendaki
(Barmawi, 2007).
Benih yang digunakan pada penelitian ini merupakan benih generasi F2 genotipe
nomor lima hasil persilangan Tanggamus x B3570. Populasi Tanggamus x B3570
merupakan hasil persilangan Maimun Barmawi. Pengujian F1 dilakukan oleh
Putri (2013) dan Jamil (2013) untuk mengetahui tingkat ketahanan tanaman
kedelai terhadap SMV. Generasi F2 genotipe nomor lima hasil persilangan
Tanggamus x B3570 dipilih dengan pertimbangan mempunyai jumlah biji sehat
sebanyak 213 butir, jumlah biji sakit sebanyak 44 butir, dan persentase keparahan
penyakit (KP) sebesar 22,5% dan termasuk ke dalam kategori tahan. Dari hasil
penelitian Putri (2013) menunjukkan bahwa nilai estimasi heritabilitas dalam arti
sempit untuk tingkat KP sebesar 32% dan termasuk ke dalam kriteria sedang.
Selain heritabilitas parameter genetik yang dapat digunakan sebagai pertimbangan
agar seleksi efektif dan efisien adalah keragaman genetik dan nilai tengah
(Poehlman, 1991). Seleksi akan efektif jika populasi yang diseleksi memiliki
5
untuk menyeleksi sifat-sifat yang diinginkan (Barmawi dkk., 2013). Keragaman
menjadi begitu penting dalam pemulian tanaman karena pemulia tidak akan
mampu bekerja dengan baik untuk meningkatkan kemampuan genetik apabila
populasi tanaman yang ditangani tidak memperlihatkan ada keragaman. Karena
itu, besarnya keragaman genetik merupakan dasar untuk menduga keberhasilan
perbaikan genetik di dalam program pemulian tanaman (Rachmadi, 2000).
Apabila tingkat keragaman sempit, berindikasi bahwa individu dalam populasi
tersebut relatif seragam dan peluang untuk mendapatkan genotipe yang lebih baik
semakin kecil (Wilson, 1981).
Keragaman populasi F2 merupakan keragaman tertinggi karena populasi F2
mengalami segregasi secara bebas yang mengakibatkan 50% dari populasi
merupakan genotipe heterozigot. Semakin banyak gen yang mengendalikan maka
semakin banyak kombinasi allel yang terbentuk dan akan semakin besar
keragaman pada populasi F2 (Belanger dkk., 2003; Sleper dan Poehlman, 2006).
Apabila keragaman suatu karakter luas dapat mengindikasi bahwa kisaran nilai
tengah karakter tersebut juga luas dan sebaliknya.
Korelasi merupakan pengukuran tentang derajat keeratan hubungan antara dua
peubah. Informasi adanya korelasi antarkarakter tanaman merupakan faktor yang
penting dalam pengambilan keputusan seleksi karakter-karakter kuantitatif.
Korelasi memegang peran yang penting dalam meningkatkan manfaat seleksi,
menghemat waktu, dan mempermudah seleksi karakter kuantitatif. Penampilan
suatu karakter tanaman, seperti karakter hasil, tinggi tanaman, jumlah cabang,
pada umumnya berkaitan dengan penampilan karakter-karakter lain seperti
6
Korelasi antarkarakter merupakan pengaruh lingkungan atau pengaruh genetik.
Korelasi dikatakan positif apabila satu sifat meningkat maka sifat yang lain juga
meningkat. Sebaliknya, korelasi dikatakan negatif apabila sifat yang satu
meningkat mengakibatkan sifat yang lain menurun (Zen, 1995). Koefisien
korelasi berguna untuk mengetahui apakah dua sifat dapat atau tidak dapat
diperbaiki secara bersamaan (Somaatmadja, 1983).
Penyebab timbulnya korelasi antara dua karakter tanaman menurut Jain (1982)
sebagai berikut :
a. Pleiotropi
Suatu peristiwa yang terjadi apabila suatu gen pada suatu lokus, atau suatu set
gen pada beberapa lokus, mengendalikan dua karakter yang berbeda atau
lebih.
b. Linkage
suatu peristiwa dua gen atau lebih yang mengendalikan dua atau lebih karakter
berbeda yang terletak pada unit kromosom yang sama.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat nilai keragaman genotipe dan fenotipe yang luas pada
karakter keparahan penyakit dan karakter agronomi kedelai generasi F2 hasil
persilangan Tanggamus x B3570?
2. Apakah terdapat korelasi antara karakter keparahan penyakit dengan karakter
agronomi dan antara berbagai karakter agronomi itu sendiri pada kedelai
7
3. Apakah kisaran nilai tengah karakter periode inkubasi, keparahan penyakit,
dan karakter agronomi kedelai generasi F2 hasil persilangan Tanggamus x
B3570 luas?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diungkapkan di atas maka dibuat tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui besaran nilai keragaman genotipe dan fenotipe karakter keparahan
penyakit dan karakter agronomi kedelai generasi F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570.
2. Mengetahui korelasi antara karakter keparahan penyakit dengan karakter
agronomi dan antara karakter agronomi itu sendiri pada kedelai generasi F2
hasil persilangan Tanggamus x B3570.
3. Mengetahui kisaran nilai tengah karakter periode inkubasi, keparahan penyakit
dan karakter agronomi kedelai generasi F2 hasil persilangan Tanggamus x
B3570.
1.3 Kerangka Pemikiran
Untuk menjawab rumusan masalah yang telah disusun dibuat kerangka pemikiran
sebagai berikut:
Produksi kedelai di Indonesia masih rendah. Keadaan ini terbukti sampai tahun
8
rendahnya produksi kedelai adalah serangan penyakit mosaik kedelai yang
disebabkan oleh virus mosaik kedelai dan mampu menurunkan 25-90% produksi.
Virus merupakan mikroorganisme penyebab penyakit sistemik yang artinya
apabila virus masuk ke dalam tanaman virus ini akan menyebar ke seluruh bagian
tanaman melalui pembuluh xylem dan floem. Oleh karena itu, tanaman yang
telah terinfeksi virus akan mengalami gangguan proses metabolisme yang
menyebabkan penurunan hasil.
Mosaik kedelai yang disebabkan oleh SMV merupakan penyakit penting pada
tanaman kedelai yang tersebar di hampir seluruh sentra produksi kedelai. Infeksi
virus yang terjadi dalam sel akan mempengaruhi sintesis protein dan asam nukleat
tanaman. Infeksi virus juga akan mempengaruhi jumlah sel serta organel seperti
mitokondria dan kloroplas. Gangguan fisiologis tanaman mengakibatkan tanaman
inang menunjukkan gejala di seluruh bagian tanaman, seperti klorosis dan mosaik
pada daun yang mengganggu proses fotosintesis. Terhambatnya proses
fotosintesis menyebabkan asimilat yang disalurkan untuk pertumbuhan tanaman
tidak maksimal. Hal ini berpengaruh pada tinggi tanaman, biji yang dihasilkan
serta karakter agronomi lainnya. Dalam upaya perbaikan genetik suatu tanaman
dengan metode pemuliaan secara konvensional diperlukan analisis korelasi antara
ketahanan terhadap infeksi SMV dengan karakter jumlah cabang, tinggi tanaman,
total jumlah polong, jumlah polong bernas, jumlah polong hampa, total jumlah
biji, persentase biji sehat, persentase biji sakit, bobot 10 butir, bobot biji per
tanaman, umur berbunga, dan umur panen. Apabila antara karakter ketahanan dan
berbagai karakter agronomi atau antara berbagai karakter agronomi itu sendiri
9
karakter yang bersangkutan. Oleh sebab itu, besar kemungkinan terdapat korelasi
antara tingkat ketahanan (tingkat keparahan penyakit) dan karakter agronomi serta
antara berbagai karakter agronomi itu sendiri.
Penyakit mosaik kedelai paling baik dikendalikan dengan menanam varietas tahan
dan berdaya hasil tinggi. Varietas tersebut diperoleh dari persilangan tanaman
yang mengandung gen ketahanan tetapi produksi rendah dengan tanaman yang
rentan tetapi produksinya tinggi. Dengan demikian diharapkan hasil persilangan
tersebut memiliki ketahanan terhadap SMV dan berproduksi tinggi.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Barmawi yang
menyilangkan lima varietas kedelai secara diallel setengah yang menghasilkan 10
populasi F1. Tetua yang digunakan yaitu varietas Taichung dan Tanggamus
bersifat tahan terhadap infeksi SMV, Yellow Bean dan galur B3570 bersifat rentan,
dan varietas Orba sangat rentan terhadap infeksi SMV. Dari hasil penelitian
tersebut diperoleh keturunan pertama Tanggamus x Yellow Bean dan Tanggamus
x Taichung merupakan populasi yang tahan terhadap SMV, sedangkan
Tanggamus x B3570 merupakan populasi yang agak tahan terhadap infeksi SMV.
Oleh karena itu perlu adanya pengujian ketahanan terhadap SMV pada generasi
F2.
Penelitian ini menggunakan generasi F2 genotipe nomor lima hasil persilangan
Tanggamus x B3570. Populasi pada generasi F2 memiliki heterogenitas genetik
tertinggi, sehingga memiliki potensi untuk menampilkan karakter-karakter yang
berbeda yang disebut keragaman. Adanya keragaman genetik yang luas
10
mendapatkan kultivar unggul yang tahan terhadap SMV dan berdaya hasil tinggi.
Apabila ragam pada suatu karakter luas, maka kisaran nilai tengah karakter
tersebut pun luas dan sebaliknya. Oleh karena itu, diduga terdapat kisaran nilai
tengah yang luas pada karakter yang diamati.
1.4 Hipotesis
Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis
sebagai berikut:
1. Keragaman karakter keparahan penyakit dan karakter agronomi kedelai
generasi F2 hasil persilangan antara Tanggamus x B3570 adalah luas.
2. Antara karakter ketahanan dan berbagai karakter agronomi serta antara
berbagai karakter agronomi terdapat korelasi.
3. Kisaran nilai tengah karakter yang diamati pada populasi kedelai generasi F2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kedelai
2.1.1 Klasifikasi Kedelai
Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja
dan Soja max. Namun, pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang
dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merrill. Klasifikasi
tanaman kedelai sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Ordo : Polypetales
Famili : Leguminosae
Sub-famili : Papilionoidae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) Merrill sama dengan G. soya (L.) Sieb da Zucc atau Soya max atau S. hispida.
Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16 dan penyebarannya yaitu di
Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau
12
2.1.2 Morfologi Tanaman Kedelai
2.1.2.1 Akar
Kedelai merupakan tanaman berakar tunggang. Pada tanah gembur akar kedelai
dapat mencapai kedalaman 150 cm. Pada tanah yang mengandung Rhizobium,
bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari setelah tanam. Perakaran tanaman
kedelai mempunyai kemampuan membentuk bintil-bintil (nodula-nodula) akar.
Bintil-bintil akar bentuknya bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni dari
bakteri Rhizobium japonicum (Rukmana dan Yuniarsih, 1996).
2.1.2.2 Batang
Kedelai termasuk kedalam tanaman semak yang memiliki batang setinggi 30 –
100 cm. Batang memiliki ruas-ruas dan percabangan 3 – 6 cm cabang. Tipe
pertumbuhan kedelai terdiri atas tiga macam yaitu determinate, semi-determinate,
dan indeterminate (Suprapto, 1999).
2.1.2.3 Daun
Daun kedelai memiliki ciri-ciri antara lain helai daun (lamina) berbentuk oval dan
tata letaknya pada tangkai daun bersifat majemuk berdaun tiga (trifoliolatus).
Daun ini berfungsi sebagai alat untuk proses asimilasi, respirasi dan transpirasi
(Rukmana dan Yuniarsih, 1996).
2.1.2.4 Bunga
Tanaman kedelai memiliki bunga sempurna (hermaphrodite), yaitu pada tiap
13
sari). Penyerbukannya bersifat menyerbuk sendiri (self pollinated), persilangan
alami masih sering terjadi tetapi persentasenya sangat kecil. Buah kedelai disebut
polong yang tersusun tiap rangkaian buah (Rukmana dan Yuniarsih, 1996).
2.1.2.5 Buah
Buah tanaman kedelai disebut polong. Polong kedelai pertama kali terbentuk
sekitar 7—10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda
sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun
sangat beragam, antara 1—10 buah dalam setiap kelompok. Setiap tanaman,
jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan
pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses
pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada
saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna
polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak. Di dalam polong
terdapat biji yang berjumlah 2—3 biji (Adisarwanto, 2005).
2.1.3 Syarat Tumbuh Kedelai
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah
yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30 °C. Bila tumbuh pada suhu
tanah yang rendah (<15 °C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat,
bisa mencapai 2 minggu. Hal ini karena perkecambahan biji tertekan pada kondisi
kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30 °C), banyak biji yang
mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Di samping suhu tanah,
14
suhu lingkungan sekitar 40 °C pada masa tanaman berbunga, bunga tersebut akan
rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai yang terbentuk juga menjadi
berkurang. Suhu yang terlalu rendah (10 °C), seperti pada daerah subtropik, dapat
menghambat proses pembungaan dan pembentukan polong kedelai. Suhu
lingkungan optimal untuk pembungaan yaitu 24 –25 °C (Irwan, 2006). Di
Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah
sampai ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Kondisi iklim yang paling
cocok yaitu daerah yang mempunyai suhu antara 25° - 27° C, kelembaban udara
(RH) rata-rata 65%, penyinaran matahari 13,5 jam/hari atau minimal 10 jam/hari
dan curah hujan paling optimum 100 – 200 mm/bulan. Tanaman kedelai memilki
daya adaptasi yang luas pada berbagai jenis tanah. Hal yang paling penting dalam
pemilihan lokasi dan lahan untuk penanaman kedelai adalah tata air (drainase) dan
tata udara (aerasi) tanahnya baik, bebas dari kandungan wabah nematoda dan pH
tanah yang sesuai yaitu 5,0 – 7,0 (Rukmana dan Yuniarsih, 1996).
2.2 Soybean Mosaic Virus
virus merupakan organisme taksel yang mempunyai genom yang dapat bereplikasi
dalam sel inang menggunakan perangkat metabolisme untuk membentuk seluruh
komponen virus (Akin, 2006).
2.2.1 Karakteristik soybean mosaik virus
Virus ini dapat menular secara mekanis, terbawa oleh biji tanaman sakit, dan oleh
beberapa macam kutu daun secara non persisten. Kutu daun yang dapat bertindak
15
persicae Sulzer, dan Rhopalosiphum maydis Fitch. Virus ini memiliki titik
pemanasan inaktivasi 65-700C selama 10 menit, titik pengeceran terakhir
1:1.000-10000 (Bos (1994) dikutip Mulia, 2008).
Menurut Sudjono dkk. (1993) yang dikutip oleh Mulia (2008), SMVtermasuk
genus potyvirus berbentuk batang lentur, rata – rata berukuran 750 nm dan lebar
rata-rata 15 – 18 nm. Infektifitas menurun bila terkena sinar ultraviolet atau
berada dalam larutan sangat asam (pH < 4) atau sangat basa (pH > 9). Pada suhu
26 °C translokasi dan replikasi virus cepat, tetapi pada suhu di bawah 10°C
translokasi virus terhenti.
Menurut Matthews (1992) dikutip oleh Mulia (2008), Genom SMV terdiri atas
RNA utas tunggal berukuran sekitar 10 kb dan poli-A pada ujung tiganya. Tidak
diperoleh subgenom RNA pada jaringan tanaman terinfeksi. Genom SMV
menyandikan delapan protein yang pada awalnya merupakan satu protein besar
yang kemudian mengalami pemotongan (Posttranslationally processed) menjadi
protein virus.
2.2.2 Gejala penyakit mosaik kedelai
Mula-mula tulang daun pada anak daun yang masih muda menjadi kuning jernih.
Setelah itu daun menjadi tidak rata (mengkerut) dan memiliki gambaran mosaik
dengan warna hijau gelap di sepanjang tulang daun dan tepi daun mengalami
klorosis. Tanaman sakit membentuk polong kecil, rata, kurang berbulu, dan lebih
melengkung. Biji lebih kecil dari biasanya dan daya kecambah menurun.
16
kultivar kedelai, strain virus, dan umur tanaman pada waktu terjadi (Semangun,
1991).
2.2.3. Penularan soybean mosaik virus
Soybean mosaic virus dapat ditularkan secara mekanik, melalui benih, serangga
vektor, dan penyambungan, tetapi tidak dapat ditularkan oleh tali putri. Viabilitas
virus terbawa benih dari tanaman yang terinfeksi SMV dapat bertahan paling tidak
selama dua tahun. Dapat tidaknya SMV terbawa benih tergantung pada strain
virus dan genotipe inang.
Menurut Huda (2006), penularan SMV secara mekanik dilakukan dengan
menggunakan karborandum 600 mesh dan cairan perasan dari daun tanaman
kedelai yang terinfeksi SMV (sumber inokulum). Daun kedelai yang terinfeksi
SMV ditimbang sebanyak 1 g, kemudian digerus dan ditambahkan 10 ml bufer
fosfat. Setelah halus disaring untuk mendapatkan cairan perasan. Karborandum
ditaburkan diatas permukaan daun, kemudian cairan perasan dioleskan pada
permukaan daun tanaman. Setelah diinokulasi, daun dibilas dengan
menyemprotkan air ke permukaan daun tanaman.
Soybean mosaic virus biasanya ditularkan melalui serangga vektor yang bersifat
nirpersisten yaitu virus dalam tubuh serangga hanya berada pada alat mulut yang
terbawa stilet. Virus dalam tubuh serangga tersebut tetap bertahan dalam waktu
singkat, setelah itu tertular kembali bila serangga menghisap cairan tanaman.
Serangga vektor membawa virus dengan cara menghisap cairan batang, kuncup,
17
2.2.4. Mekanisme virus menimbulkan penyakit
Replikasi virus melibatkan organisasi sel dan metabolit inang untuk
memperbanyak virus dalam sel inang. Tiga cara virus dapat mengimbas penyakit
pada tanaman inang, yaitu 1) penggunaan hasil metabolisme tanaman untuk
sintesis virus, 2) penumpukan virus atau bagian dari virus, dan 3) dampak dari
polipeptida tak-terstuktur yang disandikan oleh gen virus (Akin, 2006).
2.2.5. Pengendalian Penyakit
Untuk mengendalian penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus SMV, dapat
dilakukan beberapa cara sebagai berikut (Sudjono dkk. (1983) dikutip Semangun
1991) :
1. Menanam benih yang bebas virus
2. Mencabut dan membinasakan tanaman yang terinfeksi
3. Menanam varietas kedelai yang tahan terhadap infeksi SMV
4. Menggunakan insektisida untuk mengendalikan vektor pembawa
2.3 Ketahanan Tanaman Terhadap Penyakit
2.3.1 Ketahanan horisontal
Ketahanan horizontal atau yang disebut ketahanan lapang atau ketahanan umum
merupakan ketahanan alamiah yang dimiliki oleh tanaman yang bersifat
poligenik,pada karakter kuantitatif yaitu dikendalikan oleh sejumlah gen. Sifat
ketahanan horisontal yaitu sebagai berikut :
18
2. Reaksinya tidak diferensial;
3. Tahan terhadap semua ras dari satu spesies patogen, terhadap spesies patogen
berbeda, atau genus;
4. Gen-gen tahan tidak dapat diidentifikasi;
5. Pewarisanya tidak mengikuti nisbah Mendel;
6. Ketahanannya relatif mantap.
2.3.2 Ketahanan vertikal
Ketahanan vertikal disebut juga ketahanan spesifik. Ketahanannya benar-benar
menghadapi gen virulen dari patogen itu. Jadi interaksinya adalah gen tahan
tanaman melawan gen virulen patogen.
Sifat – sifat ketahanan veritikal menurut Oka (1993) adalah sebagai berikut
1) Ketahannya dikendalikan oleh satu gen utama (mayor);
2) Reaksinya diferensial;
3) Tahan terhadap satu ras dari suatu spesies patogen,
4) Mengikuti nisbah Mendel;
5) Gennya dapat diidentifikasi;
6) Ketahanannya tidak mantap dalam menghadapi patogen yang bersifat
mutabilitas tinggi.
Menurut Milah (2007), tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang
mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman atau
perkembangan gejala. Ketahanan dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman
untuk membatasi perkembangan virus di dalam sel tertentu sehingga virus tidak
19
berupa penghambatan penyebaran virus dari: 1) sel yang terinfeksi ke sel
sekitarnya (penyebaran antar-sel), 2) sel parenkim ke jaringan pengangkut
(penyebaran antar-jaringan), dan 3) jaringan pengangkut ke sel parenkim daun
baru (penyebaran antar-organ tanaman).
2.3.3. Ketahanan tanaman terhadap inveksi virus
Ketahanan tanaman terhadap inveksi virus menurut Akin, 2011 adalah sebagai
berikut :
1. Ketahanann melalui satelit RNA
Satelit RNA (satRNA) merupakan molekul kecil RNA, berukuran 200—1500
nt, yang berasosiasi dengan virus lain sebagai inang (helper) dan berada
bersama genom virus inang. Asosiasi satRNA dengan suatu virus dapat
menyebabkan ketidak mampuan isolate virus tersebut untuk menginduksi
gejala pada inangnya dan juga dapat menyebabkan isolate virus tersebut
bersifat antagonis terhadap isolat lainnya.
2. Ketahanan melalui proteksi silang
Proteksi silang merupakan hambatan super infeksi suatu virus akibat imbas
ketahanan dari inveksi virus sebelumnya.
3. Ketahanan melalui protein selubung virus
Mekanisme ketahanan ini dikenal dengan sebutan uncoating partikel virus
target dalam sitoplasma tanaman.
20
Antisense RNA adalah RNA yang di transkripsi dari transgen yang urutan
nukleotida merupakan komplemen dari sebagian genom virus. Tanaman
transgen yang mengekspresikan antisense gen U1 RNA TMV mempunyai
ketahanan yang sangat tinggi terhadap strain- strain virus TMV.
5. Ketahananan virus melalui post transcriptional gene silencing
Penghentian atau supresi ekspresi gen dapat terjadi pada tahap transkripsi, dan
setelah transkripsi tanpa modifikasi gen.
2.4 Korelasi
Karakter jumlah polong setiap buku menunjukkan korelasi fenotipik dan korelasi
genotipik yang sangat nyata terhadap karakter bobot biji. Karakter bobot 100 biji
dan jumlah biji setiap polong nilai korelasinya kecil baik korelasi genotipik
ataupun fenotipik. Karakter jumlah cabang berkorelasi sangat nyata dengan
karakter jumlah buku subur baik secara genotipik maupun fenotipik. Demikian
juga untuk karakter bobot berangkasan berkorelasi dengan jumlah buku subur.
Korelasi umur berbunga dengan jumlah buku subur bernilai positif. Karakter
umur panen berkorelasi negatif dengan jumlah biji setiap polong, baik untuk
korelasi genotipik maupun korelasi fenotipik (Suwardi dan Basuki, 2002).
Menurut Hakim (2010) generasi F2 persilangan kacang hijau terdapat korelasi
positif yang nyata antara biji per tanaman dengan tinggi tanaman, jumlah polong
per tanaman, dan bobot biji 100 butir. Umur berbunga memiliki korelasi positif
sangat nyata dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang. Umur polong masak
memiliki korelasi sangat nyata dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang. Umur
21
tanaman, ukuran biji dan hasil biji per tanaman. Umur berbunga dan umur polong
masak berkorelasi negatif dengan jumlah biji per polong dan panjang polong.
Tinggi tanaman memiliki korelasi positif dengan jumlah cabang dan jumlah
polong per tanaman. Jumlah cabang memiliki korelasi positif dengan jumlah
polong per tanaman tetapi tidak dengan hasil biji pertanaman. Jumlah polong per
tanaman memiliki korelasi positif dengan hasil biji per tanaman.
Hasil analisis pada jarak pagar menunjukkan lebar kanopi dan jumlah cabang total
yang merupakan karakter vegetatif berkorelasi positif dengan karakter generatif
yaitu jumlah cabang produktif, jumlah tandan bunga, dan jumlah tandan buah,
serta komponen hasil yaitu jumlah buah per tanaman. Karaktervegetatif yang
berkorelasi dengan karakter generatif dapatdipertimbangkan untuk dimanfaatkan
dalam proses seleksitanaman jarak pagar berdaya hasil tinggi. Dengan
memanfaatkankarakter vegetatif dalam proses seleksi, kegiatanseleksi dapat
dilakukan lebih dini (Hartati, 2012).
Karakter jumlah cabang berkorelasi positif dan sangat nyata dengan total jumlah
buku, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, maupun total polong. Karakter
total jumlah buku juga berkorelasi positif dan sangat nyata dengan jumlah polong.
Karakter total jumlah polong dengan jumlah polong isi mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,988. Hal ini
menunjukkan bahwa hampir semua polong yang dihasilkan adalah polong isi.
Kedua karakter tersebut juga mempunyai pengaruh yang sama terhadap bobot biji
per tanaman yang ditunjukkan oleh korelasi positif dan sangat nyata. Antara
karakter persentase polong isi dan persentase polong hampa juga mempunyai
22
Dengan demikian untuk karakter yang mempunyai pengaruh yang sama terhadap
bobot biji per tanaman dapat dipilih salah satu sebagai kriteria seleksi.
Shrivastava dkk. (2001) menyimpulkan bahwa tinggi tanaman saatpanen
berkorelasi negatif dengan bobot biji per tanaman,sedangkan umur panen
berkorelasi positif dengan bobotbiji per tanaman. Menurut Bizeti dkk. (2004),
jumlah bukutotal berkorelasi positif dan signifikan dengan daya hasilpada
kedelai.
Hasil analisis keragaman luas terdapat pada rata-rata jumlah polong per tanaman,
dan produksi biji per tanaman. Jumlah polong berkorelasi positif dengan hasil
tanaman, akan tetapi ukuran biji berkorelasi negatif dengan hasil (Harmida, 2010).
2.5 Keragaman
Seleksi merupakan dasar dalam perbaikan tanaman untuk mendapatkan varietas
unggul baru. Keragaman genetik memegang peranan yang sangat penting dalam
perakitan varietas unggul. Keragaman genetik adalah suatu besaran yang
mengukur variasi penampilan yang disebabkan oleh komponen-komponen
genetik. Penampilan suatu tanaman dengan tanaman lainnya akan berbeda dalam
beberapa hal. Keragaman (variabilitas) suatu penampilan tanaman dalam populasi
dapat disebabkan oleh variabilitas genetik penyusun populasi, variabilitas
lingkungan, dan variabilitas interaksi genotipe x lingkungan (Rachmadi, 2000).
Untuk mengetahui keragaman tanaman perlu dilakukan pengamatan karakter
tanaman, seperti tinggi tanaman, potensi hasil, dan lain-lain. Menurut Barmawi
23
terdapat pada karakter umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah
polong per tanaman dan bobot biji per tanaman. Nilai keragaman fenotipe dan
genotipe tanaman kedelai yang sempit terdapat pada karakter jumlah cabang
produktif dan bobot 100 butir. Tinggi rendahnya nilai keragaman genetik pada
populasi hasil persilangan sangat ditentukan oleh genotipe tetua yang digunakan
dalam persilangan tersebut.
Jika koefisien nilai keragaman genetik tinggi maka faktor genetik yang lebih
dominan dari pada faktor lingkungan pada penampilan suatu tanaman. Nilai
keragaman genetik tinggi yang diikuti dengan nilai heretabilitas yang tinggi
menunjukkan bahwa karakter penampilannya lebih ditentukan oleh faktor genetik
(Sa’diyah dkk., 2013).
Menurut Anderson dan Bancrof (1952) yang dikutip Wahdah (1996) keragaman
fenotipe dikatakan luas apabila keragaman fenotipenya lebih besar dua kali lipat
standar deviasinya (SD), sedangkan keragaman fenotipe dikatakan sempit apabila
keragaman fenotipenya dua kali lebih kecil dari standar deviasinya.
Menurut Syukur dkk. (2010), karakter yang memiliki keragaman genetik yang luas
akan memiliki keragaman fenotipe yang luas. Namun, karakter yang memiliki
keragaman genetik yang sempit belum tentu memiliki keragaman fenotipe yang
sempit.
Karakter kualitatif adalah karakter-karakter yang perkembangannya dikendalikan
oleh aksi gen atau gen-gen yang memiliki sebuah efek yang kuat atau
dikendalikan oleh sedikit gen, seperti warna bunga, bentuk bunga, bentuk buah,
bentuk daun, dan bagian tanaman lain. Karakter kuantitatif merupakan karakter
24
terhadap penampilan atau ekspresi karakter kuantitatif tertentu, seperti tinggi
tanaman, jumlah butir benih, hasil, dan lain sebagainya (Baihaki, 2000).
Semakin tinggi keragaman genetik semakin tinggi peluang untuk mendapatkan
25
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian
Universitas Lampung dan Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman Universitas
Lampung pada bulan September 2013 sampai dengan Januari 2014. Perbanyakan
virus dilakukan di Kampung Baru, Bandar Lampung.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah alkohol 70%, zeolit, air, Furadan
3 G, fungisida berbahan aktif mancozeb 80%, insektisida berbahan aktif
delhtametrin 25 g/l, aquades, buffer fosfat, Urea 50 kg/ha, SP36 100 kg/ha, KCl
100 kg/ha, dan pupuk kandang 10 ton/ha. Benih yang digunakan yaitu 100 butir
dari populasi F2 genotipe nomor lima hasil persilangan Tanggamus x B3570, dan
masing-masing 20 tanaman untuk tetua kedelai yang terdiri dari varietas
Tanggamus dan galur B3570. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu mortal,
alu, hand sprayer, mistar, gunting, sungkup, cangkul, sabit, koret, golok,
knapsack sprayer, polybag, cotton bud, botol aqua, gelas ukur, timbangan
26
Tanggamus x B3570 merupakan hasil persilangan dengan metode dialel setengah
yang dilakukan oleh Maimun Barmawi dengan menggunakan lima tetua yaitu
Tanggamus, Taichung, Orba, B5370, dan Yellow Bean yang kemudian penelitian
tersebut dilanjutkan oleh Putri (2013) dan Jamil (2013) untuk mengetahui tingkat
ketahanan populasi F1 terhadap infeksi soybean mosaik virus.
3.3 Metode Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan untuk menguji
hipotesis maka rancangan perlakuan yang digunakan yaitu rancangan perlakuan
terstuktur bersarang dan rancangan percobaan tanpa ulangan.
3.4 Analisis Data
Menurut Suharsono dkk.,(2006), ragam fenotipe ( )ditentukan dengan rumus :
σ
2Ragam lingkungan ( ) ditentukan dengan rumus :
27
Populasi tetua secara genetik adalah seragam sehingga ragam genotipenya nol.
Oleh karena itu, ragam fenotipe yang diamati pada populasi tetua sama dengan
ragam lingkungan. Tetua dan populasi keturunannya ditanam pada lingkungan
yang sama maka ragam lingkungan tetua sama dengan ragam lingkungan populasi
keturunan.
Dengan demikian ragam genetik (σ2g) dapat dihitung dengan rumus :
σ2g = σ2
Menurut Anderson dan Bancrof (1952) yang dikutip Wahdah (1996) keragaman
fenotipe dikatakan luas apabila keragaman fenotipenya lebih besar dua kali dari
standar deviasinya, sedangkan keragaman fenotipe dikatakan sempit apabila lebih
kecil dua kali standar deviasinya.
Berdasarkan kriteria keragaman tersebut, digunakan rumus penghitungan
simpangan baku ( ) berdasarkan Walpole (1992) :
28
Analisis korelasi dihitung menggunakan rumus :
r =
Untuk menentukan ada atau tidaknya korelasi, dilakukan dengan menggunakan
rumus:
Pengamatan dilakukan pada tiap individu tanaman, karena benih yang digunakan
29
3.5 Pelaksanaan Penelitian
3.5.1 Pembuatan Larutan Buffer Fosfat
Pembuatan larutan buffer fosfat dilakukan dengn menyiapkan KH2PO4 (larutan A:
1,36 g), Na2HPO4 .2H2O (larutan B: 1,78 g) dan akuades sebanyak 2 liter. Alat
yang digunakan adalah timbangan elektrik, dua buah gelas ukur berukuran 1000
ml dan satu buah berukuran 500 ml, pengaduk, dan botol berukuran 2 liter.
Pembuatan buffer fosfat dapat dilakukan dengan menimbang 1,36 g KH2PO4 dan
1,78 g Na2HPO4 .2H2O. Pembuatan larutan A dilakukan dengan menimbang
1,36 g KH2PO4 dan dilarutkan ke dalam satu liter akuades. Pembuatan larutan B
dilakukan dengan menimbang 1,78 g Na2HPO4 .2H2O, kemudian dilarutkan ke
dalam satu liter akuades. Satu liter buffer fosfat diperoleh dengan cara
mencampur 510 ml larutan A dan 490 ml larutan B, kemudian dimasukkan ke
dalam botol dan dan ditutup rapat.
3.5.2 Perbanyakan Inokulum SMV
Perbanyakan inokulum menggunakan benih kedelai varietas Orba karena
merupakan benih yang agak rentan terhadap virus. Kegiatan pertama yang
dilakukan untuk perbanyakan inokulum SMV yaitu pembuatan sap/ekstrak daun.
Sap dibuat dengan cara menggerus daun kedelai yang telah terinfeksi sebanyak
5 g dengan menggunakan mortal dan alu yang diencerkan dengan buffer fosfat pH
7 sebanyak 5 ml. . Selama penggerusan daun, berbagai metabolit dan debris dari
sel daun akan terlepas secara bersamaan dengan virus. Beberapa senyawa
30
sebab itu penggunaan larutan buffer fosfat ini bertujuan untuk menjaga kestabilan
virus dan keinfektifan virus tersebut. Inokulasi secara mekanik dilakukan sesuai
dengan prosedur Akin (2006) yaitu setelah daun berjumlah lebih dari 4 helai atau
berumur 10 hari. Selanjutnya, daun tanaman kedelaiditaburi zeolit agar terjadi
luka mikro (sublethal wounding or abrasi). Langkah berikutnya sab dioleskan
pada permukaan daun dan di lakukan pencucian dengan aquades yang
disemprotkan menggunakan hand sprayer.
3.5.3 Persiapan Lahan
Persiapan lahan dilakukan dengan menggunakan cangkul untuk memperbaiki sifat
fisik tanah dan untuk membersihkan gulma. Kemudian tanah tersebut dicampur
dengan pupuk kandang secara merata untuk meningkatkan kesuburan tanah.
3.5.4 Penanaman
Penelitian ini dilakukan dengan menanam 100 benih F2 hasil persilangan
Tanggamus x B3570 pada petak percobaan berukuran 3m x 4m. Tanaman tersebut
ditanam dengan jarak tanam 20cm x 50cm. Jarak antarbaris 50 cm dan jarak
tanaman dalam baris 20 cm. Pada setiap baris ditanam 15 benih yang sama dan
31
Gambar 1. Tata letak penanaman benih kedelai hasil persilangan Tanggamus x B3570 dan kedua tetuanya
Keterangan : P1 (tetua Tanggamus), P2 (tetua galur B3570), dan F2 (populasi F2 persilangan Tanggamus x B3570).
3.5.5 Pemupukan
Pemupukan Urea dilakukan dua kali yaitu pada awal tanam dan pada fase
generatif sedangkan KCl dan SP-36 dilakukan pada awal tanam ketika tanaman
berumur dua minggu setelah tanam. Pupuk yang diaplikasikan yaitu KCl 100
kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan Urea 50 kg/ha. Pupuk diaplikasikan dengan jarak
5 cm dari lubang tanam tanaman kedelai. 3m
4m
32
3.5.6 Inokulasi Soybean Mosaic Virus di Lapangan
Tanaman kedelai yang sudah memiliki daun terbuka sempurna (7 – 10 HST) dapat
diinokulasi dengan sap yang mengandung SMV.
Pada daun sebelumnya telah ditaburi zeolit. Setelah daun dinokulasi, daun
tersebut dicuci kembali dengan aquades secukupnya menggunakan hand sprayer.
Gambar 2. Tahap-tahap inokulasi soybean mosaik virus di lapangan.
3.5.7 Pelabelan
Masing-masing tanaman diberi label seperti tanggal inokulasi untuk
mempermudah dalam pengamatan.
3.5.8 Perawatan dan Pemeliharaan Tanaman
Perawatan dan pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman tanaman yang mati,
33
label yang rusak, dan paranet yang rusak/bergeser. Penyiangan gulma dilakukan
secara mekanis yaitu menggunakan koret. Penyemprotan dengan insektisida dan
fungisida dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Insektisida yang digunakan yaitu
Decis dan fungisida yang digunakan yaitu Dithane. Penyiraman dilakukan pada
sore hari dengan menggunakan gembor dan selang.
3.5.9 Pemanenan
Ciri-ciri umum tanaman kedelai yang siap panen yaitu polong berwarna kuning
kecoklatan secara merata dan matang. Pemanenan dilakukan dengan memanen
tanaman kedelai secara utuh dengan mencabut satu per satu tanaman, kemudian
dimasukkan ke dalam kantong panen yang telah diberi label.
3.5.10 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas pengamatan sebelum
panen dan pengamatan setelah panen. Pengamatan sebelum panen meliputi:
a. Periode inkubasi, dihitung dari waktu inokulasi sampai dengan timbulnya
gejala (Mulia, 2008).
b. Keparahan penyakit, diamati minggu ke enam setelah tanam dan dilakukan
pengamatan pada daun trifoliat sebanyak 10 daun pada batang utama. Hal ini
dilakukan karena pada umur enam minggu setelah tanam, jumlah daun trifoliat
yang ada pada batang utama 9--12 daun. Diharapkan 10 daun yang diamati
telah mewakili seluruh daun trifoliat yang terinfeksi SMV dan pengamatan
34
KP = x 100%
Keterangan:
KP : Keparahan penyakit
N : Jumlah sampel yang diamati
Z : Nilai skor tertinggi
n : Jumlah sampel untuk kategori serangan
v : Nilai skor untuk kategori serangan
Menurut Akin (2006), gejala serangan setiap jenis virus yang muncul memiliki
rincian sebagai berikut:
Gambar 3. Skor gejala penyakit
Keterangan :
Tidak bergejala = 0 (A), klorosis dan tulang daun memucat = 1 (B), mosaik dengan klorosis pada tulang daun dan permukaan daun = 2 (C), mosaik berat, klorosis dan terjadi pembengkokan pada permukaan daun, daun melengkung ke bawah atau ke atas = 3 (D), dan malformasi daun = 4 (E).
A B C
35
Kategori ketahanan keparahan penyakit (%):
1 – 10 = Sangat tahan
11 – 25 = Tahan
26 – 35 = Agak tahan
36– 50 = Agak rentan
51 – 75 = Rentan
76 – 100 = Sangat rentan (Akin, 2013 komunikasi pribadi).
Pengamatan yang dilakukan setelah panen meliputi:
a. Tinggi tanaman, diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh tanaman. Pengukuran dilakukan setelah panen.
b. Jumlah cabang produktif, dihitung berdasarkan jumlah cabang yang dapat menghasilkan polong.
c. Total jumlah polong, dihitung berdasarkan jumlah polong yang muncul pada setiap tanaman.
d. Jumlah polong bernas, dihitung berdasarkan jumlah polong bernas per tanaman.
e. Jumlah polong hampa, dihitung berdasarkan jumlah polong hampa per tanaman
.
f. Total jumlah biji, dihitung berdasarkan jumlah total biji per tanaman.
g. Persentase biji sehat, (jumlah biji sehat/total biji) x 100%.
h. Persentase biji sakit, (jumlah biji sakit/total biji) x 100%.
i. Bobot 10 butir biji per tanaman, diamati setelah dikeringanginkan sekitar 3 minggu setelah panen (g) sampai bobot konstan.
j. Bobot biji per tanaman, dengan cara menimbang biji setiap tanaman.
k. Umur berbunga, dihitung sejak tanam sampai tanaman muncul bunga pertama.
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Karakter jumlah cabang produktif dan bobot 10 butir memiliki karagaman
yang sempit baik keragaman genotipe dan fenotipe, sedangkan karakter yang
lain memiliki keragaman yang luas.
2. Tidak terdapat korelasi antara keparahan penyakit dengan berbagai karakter
agronomi yang diamati. Pada karakter bobot biji per tanaman berkorelasi
positif nyata dengan jumlah cabang produktif, jumlah total polong, dan
jumlah polong bernas.
3. Karakter yang memiliki kisaran nilai tengah yang paling luas dibandingkan
karakter lain yaitu jumlah total polong dan jumlah polong bernas.
5.2 Saran
Karena rata-rata nilai tengah karakter agronomi dan keparahan penyakit F2 terpilih
lebih besar dibandingkan dengan populasi F2 dan tetua, perlu dilakukan penelitian
PUSTAKA ACUAN
Adam, F. and R. W. Pearson. 1967. Crops respons to lime in the Southern United States and Puerto Rico. V. Factor of acid so infertility Am. Soc. Agron. 12:187-195.
Adisarwanto, T. 2005. Kedelai: Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta. 84 hlm.
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada Univeritas Press. Yogyakarta. 713 hlm.
Akin, H. M. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta. Kanisius. 187 hlm.
Akin, H. M. 2012. Virus Patogen Tumbuhan. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 91 hlm.
Arsyad, D. M. 2000. Varietas unggul dan strategi pemuliaan kedelai di Indonesia. Hlm. 39-42. Dalam: L. W. Gunawan, N. Sunarlim, T. Handayani, B. Soegiharto, W. Adil, B. Prianto, dan Suwarno (Eds.). Penelitian Dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan pengembangan pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2013. Data produksi tanaman kedelai. Katalog. Jakarta. BPS 521.
Baihaki, A. 2000. Teknik Rancangan dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Universitas Padjajaran. Bandung. 91 hlm.
Barmawi, M. 2007. Pola segregasi dan heritabilitas sifat ketahanan kedelai terhadap cowpea mild mottle virus populasi Willis x Mlg 2521. J. HPT Tropika. 7(f) : 48 – 52.
Barmawi, M., A. Yushardi, N. Sa’diyah. 2013. Daya waris dan harapan kemajuan seleksi karakter agronomi kedelai generasi f2 hasil persilangan antara
51
Bizeti, H.S., C.G.P. de Carvalto, J. Souza, D. Desto. 2004. Path Analysis under multicollinearity in soybean. Brazilian Archives of Biology and Technology Journal. 47(5): 669-676.
Belanger, F.C., K.A. Plumley, P.R. Day, and W.A. Mayer. 2003. Interspecific hybridization as a potential method for improvement of Agrostis species. 43(6): 2172-2176.
Darlina, E.A., Bhaihaki, Drajat A., T. Herawati. 1992. Daya Gabung dan Heterosis Karakter Hasil dan Komponen Hasil Enam Genotipe Kedelai Dalam Silang Dialil. Zuriat. 3(2): 32 – 38.
Gardner, F. P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Pertumbuhan Vegetatif. Diterjermahkan oleh Herawati, S. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta. Universitas Indonesia Press. 355-389 hlm.
Hakim, L. 2010. Keragaman genetik, Heritabilitas dan Korelasi Beberapa
Karakter Agronomi pada Galur F2 Hasil Persilangan Kacang Hijau (Vigna radiate (L.) Wilczek). Berita Biologi. 10(1): 23-32.
Hapsari, dan Adie. 2010. Pendugaan parameter genetik dan hubungan antara komponen hasil kedelai. PertanianTanaman Pangan. 29(1):18-23.
Harmida, 2010. Respons pertumbuhan galur harapan kedelai (Glycine max (L.)Merril) pada lahan masam. J. Penelitian Sains. 13 (2D). 13209.
Hartati, S. 2012. Keragaman Genetik, Heritabilitas, dan Korelasi Antar Karakter 10 Genotipe Terpilih Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.). Jurnal Litri. 18(2): 74-80.
Huda, A. 2006. Pola segregasi ketahanan kedelai populasi f2 persilangan Slamet dengan Taichung terhadap smv. Skripsi. Universitas lampung. Lampung. 49 hlm.
Iroume, R. N. and D. A. Knauft. 1987. Heritabilities and correlations for pod yield and leafspot resistance in peanut (Arachis hypogaea L.): implication for early generation selection. Peanut Sci. 14(1): 46-50.
Irwan, A.W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max [L.] Merril).
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/budidaya_tanaman_ kedelai.pdf. Diunduh tanggal 4 Februari 2014.
Jain, J.P. 1982. Statistical Techniques in Quantitative Genetic. Tata McGraw-Hill publishing company Ltd. New Delhi. 327 hlm.
Jamil, R. 2013. Estimasi nilai heterosis ketahanan sepuluh populasi F1 tanaman
kedelai (Glycine max [L.] Merrill) terhadap infeksi Soybean mosaic virus.
52
Lindiana. 2012. Estimasi parameter genetikkarakter agronomi kedelai (Glycine max [L.] Merrill) generasi F2 hasilpersilangan antara Wilis x B3570.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar lampung. 48 hlm.
Martin,J. H., R.P. Waldren, dan D.L. Stamp. 2006. Soybean4nd Edition. In Principles Of Field Crop Productio. United State. 613-630 p.
Martono, B. 2009. Keragaman genetik, heritabilitas dan korelasi antar karakter kuantitatif nilam (Pogostemon Sp.) hasil fusi protoplas. Jurnal
Littri.15(1):9-15.
Mulia, Y. 2008. Uji daya gabung karakter ketahanan beberapa genotipe kedelai [glycine max (l.) merril]. Tesis. Universitas lampung. 65 hlm.
Oka, N.I. 1993. Pengantar Epidemilogi Penyakit Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 92 hlm.
Putri, R. 2013. Estimasi nilai heritabilitas dan nisbah potensi karakter ketahanan dan agronomi terhadap infeksi Soybean mosaic virus. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar lampung. 77 hlm.
Prayogo, Y. 2012. Keefektifan cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii (zare & gams) terhadap Bemisia tabaci gen. Sebagai vektor soybean mosaic virus (smv) pada tanaman kedelai. Superman: Suara Perlindungan
Tanaman. 2 (1):11-21.
Poehlman, J.M. 1991. Genetics Of Quantitative Characters. The Mungbean. Westview Press. Boulder, Colorado. 375 hlm.
Rachmadi, M. 2000. Pengantar Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif.
Universitas Padjajaran : Bandung. 159 hlm.
Rukmana, R., dan Y., Yuniarsih. 1996. Kedelai. Yogyakarta. Kanisius. 92 hlm.
Rustikawati. 1998. Studi Pola Pewarisan Sifat ketahanan Terhadap CMV Pada Cabai Merah (Capsicum annum L.). Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 Hlm.
Sa’diyah, N., M. Widiastuti, dan Ardian. 2013. Keragaan, keragaman, dan heritabilitas karakter agronomi kacang panjang (Vigna unguiculata) generasi f1hasil persilangan tiga genotipe. J. Agrotek Tropika. 1(1):32-37.
Shrivasatava, M.K., R. S. Sukla, P. K. Jain. 2001. Path coefficient analysis in diverse genotype of soybean (Glycine max L). Plant Science. 4: 47-51.
Suharsono, M. Yusuf, dan A. P. Paserang. 2006. Analisis ragam, heritabilitas, dan pendugaan kemajuan seleksi populasi F2 dari persilangan kedelai kultivar
53
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 449 hlm.
Suwardi, P., dan Basuki. 2002. Implikasi keragaman genetic, korelasi fenotipik dan genotipik untuk perbaikan hasil sejumlah galur kedelai (Glycine max(L.)Merrill).
Sumarno dan N. Zuraida. 2006. Hubungan korelatif dan kausatif antar komponen hasil dengan hasil kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
25(1):38-44.
Sutarto. 2013. Bulog akan impor 1,7 juta ton kedelai. Merdeka.Edisi Senin, 25 ;1 Februari 2013.
Suprapto. 1999. Bertanam kedelai. Penebar swadaya. Jakarta. 74 hlm.
Suwelo, I.S. 1983. Ragam dan korelasi genotipik dan fenotipik berbagai sifat tanaman untuk seleksi sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Indonesia. Disertasi. FPS-IPB, Bogor 157 hlm.
Somaatmadja , S. 1983. Peningkatan produksi Kedelai Melalui Perakitan Varietas. BTPP-PPPTP. Bogor.
Sleper, DA., dan JM. Poelman. 2006. Breeding field crop. Publishing. Lowa State University Press. 424 Pp.
Syukur, M., S. Sujipriharti, R. Yunianti, K. Nida. 2010. Pendugaan komponen ragam, heritabilitas dan korelasi untuk menentukan kriteria sleksi cabai (Capsicum annuum L.) populasi F5. J. Horti. Indonesia. 1(3):74-80.
Ujianto, L., Idris, dan U. Yakop. 2006. Evaluasi ketahanan terhadap kekeringan 15 galur hasil seleksi kacang tanah varietas lokal bima. Jurnal Penelitian Universitas Mataram. 2(3).
Ujianto, L., N. Basuki, Kuswanto, dan A. Kasno. 2011. Karakteristik dan korelasi antar sifat hibrida hasil persilangan antar spesies kacang hijau dengan kacang beras. Jurnal Agroteksos. 21(2-3):95-105.
Vega, C.R.C, F.H. Andrade, V. O. Sadras, S.A. Uhart, dan O.R. Valentinus. 2001. Seed number as a function of growth. A comparative study in soybean, sun flower, and maize. Crop Science. 41: 748-758.
Wahdah, R. 1996. Variabilitas dan pewarisan laju akumulasi bahan kering pada biji kedelai. Zuriat. 7(2): 92–97.
54
Wilson, D. 1981. Breeding for morphological and physiological traits. In K.j.Free (ed). Plant Breeding II. The Gowa Sate University Press.Minnesota. 237 hlm.
Wirnas, D., I.Widodo, Sobiri, Trikoesoemaningtyasi, dan D. Sopandie. 2006. Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks pada 11 populasi kedelai generasi F6. Bul. Agron. 34(10); 19-24.
Yantama, E. 2012. Keragaman dan heritabilitas karakter agronomi kedelai (Glycine max [L.] Merill) generasi F2 hasil persilangan Wilis dan Malang.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar lampung. 50 hlm.
Yushardi, A. 2012. Daya waris dan harapan kemajuan seleksi karakter agronomi kedelai generasi F2 hasilpersilangan antara Yellow bean dan Taichung.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar lampung. 37 hlm.
Yudiawati, S., Hadi, dan Kaarama. 1998. Korelasi genotopik antara hasil dengan tingkat ketahanan terhadap penyakitbercak daun hitam pada kacang tanah. Bul. Argon. 26: 16-21.
Zen S. Dan H. Bahar. 2001. Variabilitas genetik, karakter tanaman, dan hasil padi sawah pada dataran tinggi. Stigma. 9 (1) : 25-28.