DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU
SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN
KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI
TAHUN 2014
SKRIPSI
OLEH :
CHRISTI GESTARINI S. 091000169
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU
SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN
KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI
TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
CHRISTI GESTARINI S. 091000169
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Skripsi : DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI
TEPUNG UBI KAYU SEBAGAI PANGAN
POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN
KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI TAHUN 2014
Nama Mahasiswa : Christi Gestarini S. Nomor Induk Mahasiswa : 091000169
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Departemen : Gizi Kesehatan Masyarakat
Tanggal Lulus : 31 Maret 2015
Disahkan oleh Komisi Pembimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si NIP. 19680516 199303 2 001 NIP. 19670613 199303 1 004
Medan, April 2015 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ii ABSTRAK
Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tetapi tidak didukung dengan produksi padi yang sesuai, sehingga pemerintah melakukan impor beras dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah melaksanakan program diversifikasi untuk pemanfaatan pangan lokal termasuk ubi kayu. Desa Tanjung Beringin memproduksi ubi kayu tetapi kurang dimanfaatkan karena terbiasa mengkonsumsi beras.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yaitu pembuatan beras analog dengan menggunakan tepung ubi kayu dengan penambahan air. Panelis dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Hasil uji daya terima diperoleh dengan uji organoleptik dan dianalisis secara deskriptif. Nilai kandungan gizi disesuaikan dengan DKBM.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya terima ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin terhadap beras analog adalah rendah. Hal ini terlihat dari persentase penilaian rasa beras analog hanya 47,778% dan masuk kategori tidak suka. Warna beras kurang disukai dengan persentase penilaian sebesar 63,333%. Aroma dan tekstur beras analog masuk kategori disukai dengan persentase masing-masing 80% dan 78,889%. Berdasarkan DKBM, perbandingan jumlah zat gizi yang dikandung beras padi dan beras analog dari tepung ubi kayu hampir sama. Keduanya mengandung karbohidrat, fosfor dan kalsium serta menghasilkan energi yang hampir sama.
Maka disarakan penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog serta pengayaan zat gizinya. Perlu dikembangkan program diversifikasi pangan dari ubi kayu yang dapat diterima masyarakat.
iii
Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg / capita / year in 2013. But not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice.
This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM.
The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both contain carbohydrates, phosphor and calcium and produce nearly the same energy.
So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content. Need to be developed a program diversification of cassava that can be accepted by society.
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Christi Gestarini S.
Tempat Lahir : Medan
Tanggal Lahir : 14 September 1990
Suku Bangsa : Batak Toba
Agama : Katolik
Nama Ayah : Drs. Gusman Sitindaon
Suku Bangsa Ayah : Batak Toba
Nama Ibu : Tumiur Simanjuntak, S.Pd
Suku Bangsa Ibu : Batak Toba
Riwayat Pendidikan :
1. Tahun 1997 – 2003 : SD Inpres I No. 030356, Tanjung Beringin
2. Tahun 2003 – 2006 : SMP Negeri 2 Sumbul, Tanjung Beringin
3. Tahun 2006 – 2009 : SMA Sw. St. Petrus, Sidikalang
v
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan
rahmat dan karunia-Nya yang melimpah kepada penulis sehingga penulis dapat
mengikuti perkuliahan dari awal sampai akhir serta dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai
Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate
Dairi Tahun 2014”
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orangtua yang terkasih,
Bapa Gusman Sitindaon dan Mama Tumiur Simanjuntak yang selalu setia
memberi kasih dan pengorbanan yang tidak tidak dapat dibandingkan dengan
apapun dalam membesarkan penulis, memberikan dukungan, perhatian dan doa.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner
Siagian, M.Si dan Ibu Evawany Y. Aritonang, M.Si karena dengan arahan dan
bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan
skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak dan pada
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara;
2. Ibu Arfah Mardiana Lubis, M.Psi selaku Dosen Pembimbing Akademik;
3. Ibu Etti Sudaryati, MKM, Ph.D dan Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku
vi
4. Seluruh dosen dan staf FKM-USU khususnya kepada Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat, seluruh dosen dan Bapak Marihot sebagai staf yang
telah banyak memberikan bimbingan dan membantu penulis selama proses
pengerjaan skripsi ini;
5. Bapak Dekan Fakultas Pertanian UNIKA St. Thomas atas izin yang diberikan
untuk pemakaian laboratorium dan Bapak Negara Simbolon yang
meluangkan waktu untuk membantu proses pembuatan produk beras analog;
6. Kepala Desa Tanjung Beringin Bapak Singanui Silalahi yang telah
memberikan ijin untuk melakukan penelitian di desa yang beliau pimpin;
7. Abangku Jimmy Sitindaon dan kedua adikku yang terkasih Rina Sitindaon
dan Chandra Sitindaon yang telah mendukung baik lewat perhatian, dan doa.
8. Sahabat terbaik John Lianto Purba, S.Pd, ST, MM yang dengan sabar
memberi waktu, bantuan, semangat dan perhatian untuk menyelesaikan
skripsi ini;
9. Keluarga Rumah Rela 72 (John, Harrys, Nelly, Andri, Rina, Erikson,
Hermanto, Guspriadi, Hayeni, Meri, Indris, Junita, Dahlia dan Chandra)
untuk dukungan dan kebersamaannya;
10.Sahabat seperjuangan di HMP Gizi Kesehatan Masyarakat (Risanti,
Lisparyanda, Rahmi, Vella, Bertha, dan seluruh mahasiswa HMP Gizi) untuk
kebersamaan dan semangat juangnya;
11.Semua Sahabat di Lingkungan FKM-USU terima kasih atas kebersamaan,
dorongan dan motivasinya khusunya Sri Ulina Purba, Florentina, dan
vii
12.Semua pihak yang turut serta memberi dukungan yang tidak dapat saya
sebutkan namanya satu per satu saya ucapkan terima kasih.
Akhir kata semoga Tuhan Yesus senantiasa melimpahkan karunia-Nya
kepada kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Maret 2015
viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Pangan Pokok ... 8
2.2 Ubi Kayu ... 11
2.2.1.Kandungan Gizi Ubi Kayu ... 12
2.2.2.Manfaat dan Konsumsi Ubi Kayu ... 13
2.2.3.Produksi ... 15
2.3 Tepung Ubi Kayu ... 17
2.3.1.Tahapan Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 17
2.3.2.Kandungan Zat Gizi Tepung Ubi Kayu ... 21
2.4 Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 22
2.5 Uji Organoleptik ... 24
2.6 Panelis ... 26
2.7 Kerangka Teori ... 29
2.8 Kerangka Konsep... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.3. Objek Penelitian... 31
3.4. Defenisi Operasional ... 32
3.5. Alat dan Bahan ... 33
3.6. Tahapan Penelitian... 33
3.6.1 Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 33
3.6.2 Pembuatan Beras Analog ... 34
ix
3.7. Pengolahan Data ... 38
BAB IV HASIL ... 41
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
4.1.1 Geografi... 41
4.1.2 Demografi ... 42
4.2. Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan ... 42
4.3. Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 43
4.4. Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu... 43
4.5. Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 44
4.6. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 45
4.7. Kandungan Zat Gizi Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 45
BAB V PEMBAHASAN ... 47
5.1. Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan ... 47
5.2. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog... 48
5.3. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog... 49
5.4. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog... 50
5.5. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog... 51
5.6. Zat Gizi ... 53
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 57
6.1. Kesimpulan ... 57
6.2. Saran ... 58
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu ... 12 Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia
pada Tahun 2009 – 2013 ... 15 Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera
Utara pada Tahun 2009 – 2013 ... 17 Tabel 3.1 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik... 34 Tabel 3.2 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan ... 37 Tabel 5.1 Perbandingan Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Beras Analog
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Teori ... 27
Gambar 2. Kerangka Konsep ... 28
Gambar 3. Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 32
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Kuesioner Penelitian Lampiran II : Master Data
Lampiran III : Dokumentasi
Lampiran IV : Angka Kecukupan Gizi (AKG) Lampiran V : Surat Izin Penelitian
ii
Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tetapi tidak didukung dengan produksi padi yang sesuai, sehingga pemerintah melakukan impor beras dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah melaksanakan program diversifikasi untuk pemanfaatan pangan lokal termasuk ubi kayu. Desa Tanjung Beringin memproduksi ubi kayu tetapi kurang dimanfaatkan karena terbiasa mengkonsumsi beras.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yaitu pembuatan beras analog dengan menggunakan tepung ubi kayu dengan penambahan air. Panelis dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Hasil uji daya terima diperoleh dengan uji organoleptik dan dianalisis secara deskriptif. Nilai kandungan gizi disesuaikan dengan DKBM.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya terima ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin terhadap beras analog adalah rendah. Hal ini terlihat dari persentase penilaian rasa beras analog hanya 47,778% dan masuk kategori tidak suka. Warna beras kurang disukai dengan persentase penilaian sebesar 63,333%. Aroma dan tekstur beras analog masuk kategori disukai dengan persentase masing-masing 80% dan 78,889%. Berdasarkan DKBM, perbandingan jumlah zat gizi yang dikandung beras padi dan beras analog dari tepung ubi kayu hampir sama. Keduanya mengandung karbohidrat, fosfor dan kalsium serta menghasilkan energi yang hampir sama.
Maka disarakan penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog serta pengayaan zat gizinya. Perlu dikembangkan program diversifikasi pangan dari ubi kayu yang dapat diterima masyarakat.
iii ABSTRACT
Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg / capita / year in 2013. But not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice.
This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM.
The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both contain carbohydrates, phosphor and calcium and produce nearly the same energy.
So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content. Need to be developed a program diversification of cassava that can be accepted by society.
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis
khatulistiwa, sehingga sepanjang tahun Indonesia hanya mengalami musim hujan
dan musim kemarau. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Indonesia karena
terdapat banyak keanekaragaman hayati di Indonesia dan hasil pertanian
melimpah sepanjang tahun. Keanekaragaman hayati itu dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya di bidang pangan.
Bahan pangan yang beragam serta melimpah di Indonesia, berupa pangan
hewani, pangan nabati, pangan pokok dan juga pangan tambahan. Pangan hewani
meliputi daging, telur, ikan, susu dan lain-lain sedangkan pangan nabati berupa
makanan pokok yang mengandung karbohidrat seperti beras, ubi jalar, ubi kayu,
kentang, jagung, sagu, talas dan lain-lain serta sayur-sayuran dan buah-buahan.
Beras adalah salah satu bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang
banyak dikonsumsi hampir seluruh penduduk di Indonesia. Beras berasal dari
tanaman padi (Oryza sativa), salah satu jenis tanaman serealia yang tumbuh subur
di wilayah Indonesia. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik dan Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan 2013, produksi beras Indonesia mengalami peningkatan
kecuali pada tahun 2011 yang mengalami penurunan. Akan tetapi hal ini tidak
2
pemenuhan kebutuhan beras tidak dapat mencukupi adalah ketidakseimbangan
antara produksi beras dengan jumlah penduduk.
Tingkat kebutuhan beras masyarakat Indonesia termasuk yang paling
tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan negara lain seperti
Cina sekitar 90-100 kg/kapita/tahun, Malaysia 90 kg/kapita/tahun, Brunei
Darussalam 80 kg/kapita/tahun, Jepang 70 kg/kapita/tahun dan konsumsi beras
dunia 60 kg/kapita/tahun (Nurhayat, 2013).
Kekurangan hasil produksi beras Indonesia dipenuhi pemerintah dengan
cara mengimpor beras sebanyak 826 ribu ton/tahun 2012 (Christianto, 2013) dan
menghabiskan anggaran belanja sampai milyaran rupiah. Pemerintah juga
melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi lokal dengan penggunaan bibit
unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah persawahan dan usaha lainnya agar
peningkatan produksi padi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi
dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan
dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu,
jagung, kentang dan serealia lain. Hal ini didukung oleh beberapa peraturan dan
perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah
satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang
(PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7
yang telah disusun juga turut mendukung sosialisasi pentingnya
penganekaragaman pangan pengganti beras (Hidayah, 2011).
Penganekaragaman pangan atau yang disebut juga diversifikasi pangan
adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk menurunkan tingkat konsumsi beras
dengan pengenalan pangan pengganti beras. Selain pengenalan bahan pangan lain
pengganti beras, banyak juga penelitian yang telah dilakukan dalam pembuatan
beras analog dari bahan pangan lain pengganti beras.
Pangan pengganti beras yang banyak dikenal dan dikonsumsi masyarakat
Indonesia adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kentang. Bahan pangan tersebut
mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, penyumbang kalori yang besar dan
membuat rasa kenyang. Semua bahan pangan tersebut memiliki kandungan zat
gizi tertentu yang lebih besar dibandingkan dengan beras. Ubi kayu memiliki
kandungan kalsium dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras
dan ubi jalar mengandung vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras
dan memiliki beberapa kelebihan karena kandungan beberapa jenis antioksidan.
Ada beberapa penelitian yang mengembangkan pangan pokok di
Indonesia, seperti pembuatan brownis dari tepung ubi kayu. Tepung ubi kayu
digunakan untuk mensubsitusi tepung terigu dalam pembuatan brownis. Penelitian
tersebut terdiri dari dua uji coba, yaitu menggunakan 100% tepung ubi kayu dan
pencampuran tepung terigu dan tepung ubi kayu dengan perbandingan 1 : 1
(Pulungan, 2013).
Roti tawar adalah salah satu makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat
4
roti tawar dikonsumsi saat sarapan ditambah susu atau teh. Roti tawar adalah
makanan yang diolah dari tepung terigu yang masih diimpor. Zuraida dan Supriati
(2008) dalam Hardoko, dkk (2010) menyatakan ubi ungu memiliki kadar abu dan
kadar serat yang lebih tinggi, serta kandungan karbohidrat dan kalori yang hampir
setara dengan tepung terigu sehingga dapat dimanfaatkan untuk mensubsitusi
tepung terigu dalam pembuatan roti tawar sebagai makanan sumber karbohidrat
dan kalori di Indonesia.
Penganekaragaman bahan pangan seperti beberapa contoh di atas sudah
dilakukan tetapi masih perlu ditingkatkan karena pola konsumsi masyarakat
sumber karbohidrat masih mengutamakan beras. Kendala yang dihadapi dalam
penganekaragaman pangan ini adalah dukungan besar terhadap beras dalam pola
makan berbasis nasi yang menyebabkan citra produk pangan selain beras masih
sangat rendah. Menghadapi kendala di atas ahli teknologi pangan mulai
mengembangkan pembuatan beras yang dibuat dari pangan lain yang dikenal
dengan sebutan beras analog.
Salah satu penelitian yang mengembangkan beras analog adalah penelitian
yang dilakukan Hasnelly, dkk (2013). Beras analog yang dibuat berbahan dasar
beberapa jenis ubi jalar, seperti ubi jalar putih, ubi jalar jingga, ubi jalar ungu dan
ubi jalar organik. Jenis-jenis ubi jalar tersebut menghasilkan beras dengan variasi
warna yang beragam.
Proses pembuatan beras analog yang dilakukan Hasnelly dibuat dengan
cara mencuci ubi jalar dan kemudian dikukus dengan tujuan untuk menguapkan
Setelah dikupas, ubi jalar ditimbang dan kemudian dicampur dengan 20% tepung
tapioka dan 10% tepung beras menjadi adonan. Kemudian adonan dibentuk
menjadi untaian dengan diameter 2 mm dan untaian tersebut dipotong-potong
dengan ukuran panjang 1 cm. Butiran yang dibuat dari adonan tepung ubi jalar,
tepung tapioka dan tepung beras tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu
700C selama 2 jam. Butiran kering ini disebut beras analog karena bentuknya
mirip beras padi.
Desa Tanjung Beringin merupakan salah satu wilayah pedesaan di
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Jumlah penduduk di desa tersebut
diperkirakan 703 kepala keluarga dan seluruh keluarga mengkonsumsi beras
sebagai pangan pokok . Sebagian besar penduduk desa ini hidup sebagai petani
dengan rata-rata tingkat perekonomian menengah ke bawah. Secara geografis,
desa Tanjung Beringin berada di wilayah pegunungan dengan dataran yang
berbukit-bukit sehingga masyarakat di desa tersebut mengolah tanah dengan cara
berladang. Jenis tanah yang ada di desa ini sangat mendukung produksi bahan
pangan pokok selain padi seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kentang. Ubi
kayu adalah tanaman pokok yang paling sering ditanam masyarakat desa ini.
Hampir seluruh petani menanam ubi kayu yang dimanfaatkan sebagai makanan
selingan dan makanan ternak.
Konsumsi makanan pokok selain beras kurang populer di masyarakat desa
Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari pemanfaatan yang kurang maksimal dari
bahan pangan tersebut. Misalnya, selain untuk dipasarkan, pemanfaatan jagung
6
pemanfaatan lain sebagai pakan ternak. Sama halnya dengan jagung, ubi jalar dan
ubi kayu sering diolah sebagai konsumsi selingan minimal sekali seminggu oleh
penduduk desa dengan cara digoreng, direbus, dibakar atau dijadikan olahan
seperti kolak.
Dilihat dari penelitian yang pernah dilakukan dalam pembuatan beras
analog, desa ini cukup potensial untuk pengembangan beras analog karena
konsumsi pangan pokok masyarakat yang sangat bergantung pada ketersediaan
beras dan hal ini didukung ketersediaan bahan pangan pokok sebagai dasar
pembuatan beras analog.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin mengetahui daya terima
beras analog dari tepung ubi jalar di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul
Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2014 mengingat bahwa
beras dengan beras analog memiliki rasa, warna, aroma, tekstur dan juga bentuk
yang berbeda.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan informasi yang ada di bagian latar belakang, dapat dilihat
bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana daya terima beras
analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan pokok di Desa Tanjung Beringin
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui daya terima beras analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan
pokok dengan uji organoleptik di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul
Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi
pengembangan beras analog dari tepung ubi kayu di desa Tanjung Beringin
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi untuk pengembangan beras analog dari tepung ubi
kayu berdasarkan penerimaan masyarakat.
2. Sebagai peningkatan pengetahuan bagi penulis mengenai program
diversifikasi pangan.
3. Sebagai bahan penyuluhan pengenalan pangan beras analog yang dibuat
dari bahan pangan pokok lain bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Pangan Pokok
Menurut Food Agricultural Organization (FAO), pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan
lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan
makanan dan minuman. Sedangkan menurut Undang-Undang tentang Pangan No.
18 Tahun 2012, pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati produk pertanian, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, perairan
dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi
manusia. Sederhananya, pangan adalah segala makanan dan minuman yang
dikonsumsi manusia.
Pangan pokok adalah makanan yang paling sering dikonsumsi dan dalam
jumlah yang paling banyak diantara bahan pangan lain. Menurut Suyono dalam
Haryadi (2004), konsumsi makanan masyarakat Indonesia didominasi pangan
yang mengandung karbohidrat sekitar 70% dari total seluruh makanan yang
dikonsumsi. Pangan sumber kabohidrat yang banyak dikonsumsi adalah beras
yang mencapai 90%.
Bahan pangan pokok selain beras yang sangat melimpah di Indonesia,
kurang diminati masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi faktor
mengapa beras dijadikan makanan pokok di Indonesia, yaitu sumber daya alam
Indonesia mampu memproduksi beras, daya simpan cukup lama, pengolahannya
cepat dan mudah, enak dan memiliki nilai gizi yang baik.
Tahun 1940 keberagaman konsumsi pangan di Indonesia sangat baik.
Jumlah makanan di Indonesia jika dirata-ratakan maka konsumsi per kapita per
tahun adalah beras 86 kg, jagung 38 kg, ubi kayu 162 kg, dan ubi jalar 30 kg.
Sejak swasembada beras pada tahun 1984, konsumsi pangan pokok mengalami
pergeseran angka konsumsi yang didominasi konsumsi beras bahkan pada tahun
1999, konsumsi jagung hanya 3,1% dan ubi kayu 8,83%. Selain beras, konsumsi
pangan pokok yang meningkat adalah terigu, mencapai 500% yang diperoleh dari
impor dari negara lain (Gardjito, 2013).
Bergesernya pola konsumsi pangan pokok di Indonesia menyebabkan
ketersediaan beras tidak seimbang dengan kebutuhan penduduk Indonesia
sehingga pemerintah harus mengimpor beras untuk mencukupi seluruh kebutuhan
penduduk. Pemerintah juga melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi
lokal dengan penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah
persawahan dan usaha lainnya agar peningkatan produksi padi mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Indonesia.
Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi
dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan
dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi, ubi kayu, sagu, jagung,
10
perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah
satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang
(PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7
Tahun 1996 tentang Pangan dan Pedoman Umum Penganekaragaman Pangan
yang telah disusun juga turut mendukung agar sosialisasi pentingnya
penganekaragaman pangan pengganti beras (Nurul Hidayah, 2011).
Konsumsi beras sebagai pangan pokok yang telah menjadi kebiasaan bagi
penduduk Indonesia menyebabkan kesulitan untuk menerima pangan lain karena
mengonsumsi beras/nasi sudah menjadi kebiasaan dan mudah dikombinasikan
dengan berbagai macam menu lauk dan sayuran. Beberapa penelitian telah
menghasilkan pembuatan beras analog untuk mencukupi kebutuhan beras dengan
pemanfaatan bahan pangan pokok lain yang kurang diminati masyarakat. Beras
analog adalah butiran-butiran mirip beras yang dibuat dari bahan pangan pokok
lain selain beras dengan menggunakan cara yang beragam.
Menurut Lie dalam Haryadi (2006), tanah yang tingkat kesuburannya
rendah seperti di daerah Gunung Kidul dan Pegunungan Seribu mengubah pola
pangan mereka dari beras menjadi ubi kayu pada musim paceklik. Penggantian
beras menjadi jagung juga terjadi di wilayah yang memiliki lahan kering seperti di
Banjarnegara dan Jawa Timur bagian timur (Khudori dalam Haryadi, 2006).
Pembuatan beras analog dari bahan pangan pokok lain didukung dengan
tersedianya pangan pokok non-beras yang melimpah di Indonesia. Beberapa
jagung dan ubi kayu dapat tumbuh dengan baik sehingga menguntungkan untuk
tetap menghasilkan bahan pangan pokok.
2.2Ubi Kayu
Ubi kayu atau yang sering disebut singkong atau ketela pohon adalah
tanaman perdu yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan juga sub-tropis. Ubi
kayu merupakan salah satu pangan penghasil karbohidrat yang banyak dikonsumsi
di Indonesia setelah beras dan jagung (Asnawi, 2008). Tanaman ubi kayu
menyimpan cadangan makanan di akar yang membesar membentuk umbi. Bagian
dalam umbinya berwarna putih dan juga putih kekuningan tergantung varietas.
Ubi kayu pertama kali dikenal di Amerika Selatan dan dikembangkan di
Brasil dan Paraguay. Dahulu ubi kayu hidup secara liar di daerah Brasil dan
semua varietas dapat dibudidayakan. Setelah pembudidayaan ubi kayu di
beberapa negara, di Brasil Selatan masih ditemukan ubi kayu yang masih tumbuh
liar.
Pada abad XVI, Portugal mengenalkan ubi kayu di Indonesia yang dibawa
dari Brasil dan ditanam secara komersial pada tahun 1810. Pembudidayaan ubi
kayu lebih banyak di tanah-tanah marginal yang kurang subur dan banyak
dikonsumsi sebagai pangan pokok di daerah yang tidak dapat memproduksi padi.
Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
12
Umbi ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, tetapi
memiliki kandungan protein yang rendah, tetapi pada bagian daun ubi kayu
memiliki kandungan protein yang baik karena memiliki asam amino metionina.
Umbi ubi kayu rasanya agak manis karena mengandung sedikit glukosa. Jumlah
kalori dalam 100 gram ubi kayu adalah 146 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat
dalam ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu
No. Nama Zat Gizi Jumlah
kandungan karbohidrat yang cukup besar dan berpeluang dijadikan pangan
ubi kayu sebagai pangan pokok. Masyarakat menganggap bahwa ubi kayu adalah
pangan pokok kelas dua. Selain itu, kandungan lemak dan protein yang rendah
serta kandungan racun HCN di dalam ubi kayu menjadi alasan mengapa
masyarakat Indonesia tidak menjadikan pangan pokok (Simanjuntak, 2006).
2.2.2.Manfaat dan konsumsi
Umbi ubi kayu yang sudah dikupas tanpa pengolahan tidak memiliki daya
simpan walaupun disimpan di lemari pendingin. Kerusakan dapat dilihat dengan
munculnya warna biru kehitaman karena terbentuknya asam sianida (HCN) yang
bersifat toksik. HCN terbentuk saat umbi ubi kayu teroksidasi sehingga glukosa
berubah menjadi glukosida yang membentuk HCN. HCN menyebabkan ubi kayu
menjadi pahit. Ubi kayu segar dengan HCN yang tinggi memiliki kandungan pati
yang tinggi juga sehingga dalam industri pembuatan tepung tapioka biasanya
menggunakan varietas ubi kayu yang mengandung HCN yang tinggi.
Dilihat dari kadar HCN, ubi kayu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1)
tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN lebih dari 100 ppm, hal ini ditandai
dengan rasa pahit pada ubi kayu, (2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN
40-100 ppm dan rasanya agak pahit, dan (3) boleh dikonsumsi bila kadar HCN
kurang dari 40 ppm, rasanya tidak pahit.
Cara pengolahan ubi kayu sebelum dikonsumsi cukup beragam. Ubi kayu
dapat dimakan setelah dikukus, dibakar dan digoreng. Ubi kayu banyak diolah
menjadi penganan-penganan kecil seperti keripik yang diberi bumbu untuk
14
Selain itu, ubi kayu juga dapat dibuat menjadi tapai melalui proses peragian atau
fermentasi.
Gaplek adalah salah satu olahan ubi kayu. Cara pembuatan gaplek
sederhana adalah dengan mengupas ubi kayu kemudian dikeringkan. Ada dua
jenis gaplek yaitu, gaplek putih biasanya ditepungkan dan sebagai bahan baku
pembuatan tiwul dan gaplek hitam yang disebut dengan gatot. Warna hitam pada
gatot dihasilkan dari bermacam fungi dan bakteri yang tumbuh selama proses
penjemuran dengan tekstur yang kenyal.
Olahan ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku industri adalah
tapioka yang dibuat dari pati ubi kayu. Tapioka dibuat dengan cara, ubi kayu yang
sudah dikupas kemudian dicuci bersih. Setelah dicuci, ubi kayu diparut dan
dicampur dengan air. Kemudian campuran itu disaring dan diperas sampai
patinya keluar. Air perasan diendapkan menghasilkan gumpalan pati dan airnya
dibuang. Gumpalan pati tersebut diremahkan sehingga terbentuk butiran kasar
yang selanjutnya dikeringkan, digiling dan diayak. Ampas hasil olahan pati
tersebut dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak namun masyarakat Cirendeu,
Cimahi, Jawa Barat mengonsumsi ampas tapioka yang dijemur terlebih dulu.
Ampas tapioka yang kering dikukus dan dimakan dengan lauk dan sayur.
Masyarakat Cirendeu menyebutnya rasi.
Sugihono dan Sarpina seperti yang dikutip dalam Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (2011) mengatakan sagu kasbi adalah makanan khas
Muluku Utara yang dibuat dengan cara mencetak tepung kasbi (ubi kayu) dalam
panjang, rasanya tawar, berwarna putih dengan tekstur yang keras. Sagu kabi
sangat cocok sebagai bahan pangan di musim paceklik karena memiliki daya
simpan yang lama, yaitu sekitar 1-2 tahun dalam kondisi baik dan kering.
Masyarakat Maluku Utara mengonsumsi sagu kasbi dengan mencelupkan ke
dalam air atau kuah makanan hingga lembek dan dimakan dengan lauk dan sayur
seperti mengonsumsi nasi. Mengonsumsi sagu kasbi saat sarapan dapat
dicelupkan ke dalam teh atau kopi. Sekarang ini telah dikembangkan sagu kasbi
aneka rasa dengan penambahan gula halus dan perisa makanan seperti perisa
mangga, perisa jeruk, strawberry dan coklat.
Masyarakat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara mengolah ubi
kayu kasaomi. Kasaomi dibuat dengan cara ubi kayu dikupas, diparut, diperas
untuk mengurangi kandungan air kemudian dikeringkan. Saat akan dikonsumsi,
kasaomi dikukus dan dikonsumsi dengan sayur dan lauk.
2.2.3.Produksi
Ubi kayu di Indonesia dibudidayakan dan dikembangkan dalam skala
agrobisnis dalam industri makanan yang cukup tinggi. Hal menguntungkan dari
ubi kayu adalah dapat diproduksi di lahan-lahan yang kurang subur. Produksi ubi
16
Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia pada Tahun 2009 - 2013
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas
(Ku/Ha)
Produksi (Ton)
2009 1175666.00 187.46 22039145.00
2010 1183047.00 202.17 23918118.00
2011 1184696.00 202.96 24044025.00
2012 1129688.00 214.02 24177372.00
2013 1137210.00 224.18 25494507.00
Sumber: BPS 2013
Pada tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa produktivitas ubi kayu secara
nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 selalu mengalami
peningkatan. Produksi ubi kayu yang meningkat tidak mengalami perubahan
walaupun luas lahan mengalami penurunan pada tahun 2012. Hal ini
menguntungkan untuk pemanfaatan ubi kayu secara maksimal di bidang pangan
karena dengan luas lahan tidak mempengaruhi produksi ubi kayu.
Sentra produksi ubi kayu ada tujuh provinsi pada tahun 2002 yaitu,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTT dan
Sulawesi Selatan. Namun pada tahun 2008 ditambah satu provinsi sebagai sentra
produksi ubi kayu yaitu, provinsi Sumatera Utara.
Batasan provinsi disebut sebagai sentra produksi ubi kayu adalah memiliki
areal luas panen ubi kayu > 50000 ha selama lima tahun terakhir. Setiap provinsi
juga memiliki kabupaten sentra produksi ubi kayu dan batasan kabupaten sentra
yaitu, kabupaten atau kota yang mempunyai rata-rata areal luas panen > 5000 ha
untuk Pulau Jawa dan > 2500 ha untuk luar Pulau Jawa.
Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi kabupaten sentra
Bedagai, Labuhan Batu, dan Dairi. Untuk produksi ubi kayu di Sumatera Utara
dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera Utara pada Tahun 2009 - 2013
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas
(Ku/Ha) Produksi (Ton)
2009 38611.00 260.88 1007284.00
2010 32402.00 279.48 905571.00
2011 37929.00 287.83 1091711.00
2012 38749.00 302.34 1171520.00
2013 46765.00 318.85 1491108.00
Sumber: BPS 2013
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa produktivitas ubi kayu Sumatera Utara
lebih tinggi dibandingkan produktivitas ubi kayu secara nasional. Produksi ubi
kayu yang tinggi di Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai dasar pemanfaatan
ubi kayu sebagai pangan pokok.
2.3Tepung Ubi Kayu.
2.3.1.Tahapan proses pembuatan tepung ubi kayu
Alternatif pengolahan umbi ubi kayu saat ini sedang diupayakan
pemerintah adalah pembuatan tepung ubi kayu atau sering disebut juga tepung
kasava. Hal ini disebabkan daya simpan ubi kayu segar sangat rendah. Tepung ubi
kayu dibuat dengan cara penghancuran atau penepungan umbi ubi kayu yang
sudah dikeringkan. Tepung ubi kayu merupakan produk setengah jadi yang
18
Pembuatan tepung ubi kayu harus memperhatikan kadar air, pH, kadar
pati, kadar pati dan amilosa. Menurut Ingram dalam Gardjito (2013), kadar air
menjadi parameter penting dalam menjamin daya simpan tepung ubi kayu. Kadar
air yang lebih dari 12% akan menjadi tempat tumbuh mikroba dan kadar air yang
lebih rendah akan memperlama waktu simpan. Sedangkan keasaman atau pH yang
rendah akan membatasi jumlah subsitusi tepung ubi kayu saat digunakan dalam
pembuatan roti.
Proses pembuatan tepung ubi kayu bisa dilakukan dengan cara sederhana
dalam skala rumah tangga dan dengan cara modern dalam skala yang lebih besar
seperti dalam industri. Salah satu proses pembuatan tepung ubi kayu dengan cara
penyawutan memiliki beberapa kelebihan, yaitu rendemen lebih tinggi dibanding
tepung gaplek yang 20-22% menjadi 25-30%, hygene, awet, gizi lebih baik, dapat
mensubsitusi tepung terigu, baik secara parsial maupun seluruhnya.
Tepung ubi kayu mengandung 12% air, lemak 0,32%, protein 1,19%,
karbohidrat 81,75%, dan serat 3,34%. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi
dalam tepung ubi kayu sangat baik dalam pengolahan tepung ubi kayu sebagai
bahan dalam pembuatan makanan seperti mie dan biskuit.
Tahapan proses dalam pembuatan tepung ubi kayu menurut Badan Litbang
Pertanian dalam majalah Agroinovasi Sinartani adalah sebagai berikut.
1. Ubi kayu segar
Pembuatan tepung ubi kayu bisa berasal dari semua varietas kecuali untuk
tepung ubi kayu putih harus menggunakan umbi yang putih bukan ubi
sehingga umbi ubi kayu harus segera disawut dalam waktu 24 jam setelah
dipanen karena keterlambatan dalam memeroses ubi kayu akan
menyebabkan menurunnya kualitas tepung ubi kayu.
2. Pengupasan
Pengupasan ubi kayu secara manual dengan menggunakan pisau akan
menghasilkan rendemen kupas yang tinggi tetapi membutuhkan waktu
yang lama dan tenaga yang banyak sedangkan menggunakan alat pengupas
kulit ubi kayu lebih cepat dan tenaga yang sedikit. Ubi kayu yang dikupas
dengan alat pengupas kulit ubi kayu akan menghasikan mutu kupasan yang
kurang bagus.
3. Pencucian dan perendaman
Ubi kayu yang telah dikupas harus dicuci secepatnya di air mengalir atau
di dalam bak. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang
menempel selama proses pengupasan, membersihkan lender yang terdapat
di permukaan umbi dan untuk mengurangi kadar HCN. Perendaman
dilakukan sampai seluruh ubi kayu tercelup agar kebersihan dan warna
putihnya tetap terjaga. Jenis ubi kayu akan menentukan lama tidaknya ubi
kayu direndam. Ubi kayu manis hanya perlu direndam sambil menunggu
proses penyawutan sedangkan ubi kayu pahit harus direndam semalaman
untuk menurunkan kadar HCN sampai ambang batas yang diizinkan oleh
Departemen Kesehatan.
20
4. Penyawutan
Penyawutan dilakukan dengan alat penyawut/perajang baik secara manual
atau digerakkan mesin. Hasil penyawutan berupa irisan ubi kayu dengan
lebar 0,2-0,5 cm, panjang 1-5 cm dan tebal 0,1-0,4 cm. Irisan ubi basah
ditampung dalam bak plastik atau wadah yang tidak mudah berkarat.
5. Pengepresan
Alat pengepres digunakan untuk menekan irisan ubi kayu basah sampai
airnya keluar. Pengepresan ini bertujuan agar pengeringan irisan ubi kayu
lebih cepat dan juga untuk mengurangi kadar HCN terutama ubi kayu
dikeringkan dengan alat pengering. Pengeringan irisan ubi kayu harus
diperhatikan secara khusus karena akan menentukan mutu tepung ubi kayu
yang akan dihasilkan. Kadar air irisan ubi kayu maksimum 14% karena
kadar air yang tinggi akan mempersingkat waktu simpan dan menurunkan
kualitas tepung. Alas yang digunakan dalam penjemuran irisan ubi kayu
bisa dari anyaman bambu atau wadah yang tidak mudah berkarat.
7. Pengemasan
Irisan ubi kayu kering dikemas dalam plastik tebal kedap udara dan
kemasan irisan ubi kayu harus bersih dan kering kemudian dialasi dengan
kayu untuk menghidarkan karung menyentuh lantai.
8. Penepungan
Penepungan atau proses penggilingan sawut dapat dilakukan dengan
menggunakan alat penepung beras yang banyak beredar di pasaran. Agar
lebih efisien, penggilingan dapat dilakukan dua kali, yaitu irisan ubi kayu
kering dihancurkan menjadi butiran kecil kemudian digiling sampai halus
(80 mesh).
2.3.2.Kandungan zat gizi tepung ubi kayu
Tepung ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat, kalsium dan fosfor
yang tinggi. Jumlah kalori yang terdapat dalam 100 gram tepung ubi kayu adalah
363 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam tepung ubi kayu dapat dilihat
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Tepung Ubi kayu
No. Nama Zat Gizi Jumlah
Berdasarkan tabel 2.4 di atas dapat dilihat bahwa kandungan zat gizi dalam
tepung ubi kayu layak dijadikan pangan pokok karena memiliki kandungan
22
pemenuhan zat gizi lain dapat diperoleh dari sayuran dan lauk-pauk sama seperti
mengonsumsi nasi.
2.4Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu
Beras analog adalah pangan alternatif yang dibuat dari sumber pangan
karbolokal non-padi berupa umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, talas, gembil dan
umbi lainnya), serealia (jagung, sorgum, hotong), tanaman pohon (sagu), tanaman
buah (sukun, pisang), dan sumber karbohidrat lainnya (Budijanto, 2013).
Sedangkan menurut Machmur (2011), beras analog adalah bahan pangan
lokal yang diolah sampai memiliki ciri-ciri yang menyerupai beras yaitu,
berbentuk butiran, ditanak dan memiliki kemiripan tekstur. Pembuatan beras
analog ini dilakukan untuk menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan
konsumsi pangan lokal lain sesuai dengan tujuan diversifikasi pangan.
Metode pembuatan beras analog yang dikenal adalah dengan metode
granulasi dan metode ekstruksi. Metode yang paling dikenal adalah metode
ekstruksi karena dengan metode ini akan dihasilkan beras analog dengan
karakteristik yang sangat mirip dengan beras alami dari bahan baku yang lebih
beragam dan dapat dilakukan fortifikasi (Setia Budi, 2013).
Beberapa penelitian dalam pembuatan beras analog sudah dilakukan di
beberapa fakultas pertanian di Indonesia. Pembuatan beras analog dilakukan
dengan menggunakan bahan dasar bahan pokok yang melimpah di wilayah
Penelitian yang dilakukan Hindarto Putra (2012) menggunakan bahan
dasar tepung pisang goroho (Musa acuminate) yang banyak terdapat di Sulawesi
Utara. Kandungan karbohidrat dalam pisang goroho cukup tinggi sehingga pisang
ini dapat dijadikan dasar pembuatan beras analog.
Ubi jalar juga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan beras analog.
Hampir semua varietas ubi jalar pernah digunakan dalam pembuatan beras analog.
Ubi jalar yang akan diolah menjadi beras analog dikukus dalam jangka waktu
tertentu. Kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan lain dan dibentuk
menyerupai butiran beras. Beras analog ini kemudian dijemur sampai kering. Ubi
jalar mengandung zat gizi yang sangat baik sehingga beras analog yang dihasilkan
juga memiliki kandungan gizi yang masih baik (Hasnelly, dkk, 2013).
Tahapan proses dalam pembuatan beras analog adalah sebagai berikut.
1. Pencampuran
Proses pencampuran dilakukan dengan mencampur bahan dasar yaitu
bahan pangan pokok nonberas dan bahan pengikat yang berfungsi untuk
menjaga agar beras yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras seperti
beras. Pencampuran harus mendapatkan adonan yang tidak terlalu encer
atau terlalu kering atau seperti tekstur adonan pembuatan biskuit.
2. Pembentukan beras
Pembentukan beras analog dari adonan dapat dilakukan menggunakan
mesin pembuat beras analog. Adonan dimasukkan ke dalam mesin yang
digerakkan dengan tenaga listrik melalui sebuah corong yang ada di bagian
24
3. Pemotongan
Adonan yang terbentuk pipih memanjang kemudian dipotong kecil-kecil
hingga menyerupai beras.
4. Pengeringan
Beras analog yang sudah dibuat dijemur sampai kering dan mengeras.
Beras analog yang sudah jadi dapat ditanak dengan cara dikukus. Sebelum
dikukus beras direndam selama 5 menit. Saat proses pengukusan, beras disiram
dengan air sedikit demi sedikit dan merata agar nasi yang dihasilkan tidak terlalu
keras atau terlalu lembek.
2.5Uji Organoleptik
Uji organoleptik atau yang sering disebut evaluasi sensori adalah penilaian
terhadap suatu produk makanan untuk memperoleh warna, tekstur, rasa dan
penampakan dengan menggunakan indera manusia. Uji ini dilakukan oleh panelis
atau pencicip yang dianggap paling peka. Penilaian ini dilakukan untuk menilai
mutu berbagai jenis makanan.
Uji organoleptik ada empat jenis yaitu, uji pembedaan (defferent test), uji
pemilihan/penerimaan (preference test/acceptance test), uji deskripsi (descriptive
test), uji skalar.
1. Uji Pembedaan (defferent test)
Uji pembedaan digunakan untuk melihat perbedaan sensorik diantara
beberapa contoh sampel. Uji ini menilai pengaruh beberapa macam
mengetahui adanya perbedaan atau persamaan dua produk dengan
komoditas yang sama.
Hasil uji ini akan efektif jika sifat dan criteria yang diujikan jelas dan
dipahami panelis. Keandalan (realiabilitas) dari uji pembedaan ini
tergantung dari pengenalan sifat mutu yang diinginkan, tingkat latihan
panelis dan kepekaan masing-masing panelis. Pengujian pembedaan ini
meliputi: Uji pasangan (Paired comparison/Dual comparation), Uji segitiga
(Triangle test), Uji duo-tri, Uji pembanding ganda (Dual standard), Uji
pembanding jamak (Multiple standard), Uji rangsangan tunggal (Single
stimulus), Uji pasangan jamak (Multiple pairs), Uji tunggal.
2. Uji Pemilihan/Penerimaan (preference test/acceptance test)
Uji penerimaan digunakan untuk melihat penilaian rasa suka seseorang
terhadap sifat atau kualitas suatu bahan. Dalam pengujian ini, panelis
memberikan tanggapan pribadi suka atau tidaknya terhadap sifat sensoris
bahan yang dinilai. Uji ini lebih subjektif dari uji pembedaan.
Tujuan uji ini adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat
sensorik dapat diterima oleh masyarakat tetapi hasil uji ini tidak dapat
menjamin suatu komoditi akan mudah dipasarkan. Uji penerimaan ini
meliputi: Uji kesukaan atau uji hedonik dan Uji mutu hedonik.
3. Uji Skalar
Dalam uji ini panelis diminta menyatakan besaran tanggapan yang
diperolehnya. Besarannya dapat diberikan dalam bentuk besaran skalar atau
26
yaitu, bentuk garis lurus berarah dengan pembagian skala dengan jarak yang
sama dan bentuk pita skalar deenga degradasi yang mengarah, contohnya
degradasi warna dari sangat putih sampai hitam. Uji ini meliputi: Uji skalar
garis, Uji skor (Scoring), Uji perbandingan pasangan (Paired comparation),
Uji perbandingan jamak (Multiple comparation), Uji penjenjangan atau uji
pengurutan (Ranking).
4. Uji Deskripsi (descriptive test)
Pengujian deskripsi merupakan penilaian sensorik dengan sifat-sifat
sensorik yang lebih kompleks karena mutu suatu komoditi umunya
ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik
dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu
sensorik secara keseluruhan. Sifat yang dipilih sebagai pengukur mutu
adalah yang paling peka terhadap perubahan mutu dan paling relevan
terhadap mutu.
2.6Panelis
Pelaksanaan dalam penilaian organoleptik diperlukan panelis untuk
menilai bertindak sebagai instrumen atau alat. Panelis ini terdiri dari orang atau
kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan
secara subjektif.
Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel
dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian
dalam melakukan penilaian organoleptik.
1. Panel Perseorangan
Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan
spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang
sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara
pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisis
organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah
kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian efisien dan tidak cepat fatik. Panel
perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi jangan yang tidak terlalu
banyak dan mengenali penyebabnya. Keputusan sepenuhnya ada pada seorang.
2. Panel Terbatas
Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi
sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor
dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh
bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil berdiskusi diantara
anggota-anggotanya.
3. Panel Terlatih
Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup
baik. Untuk menjadi terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan.
Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik.
28
4. Panel Agak Terlatih
Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk
mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan
terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat
menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya
5. Panel Tidak Terlatih
Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih
berdasarkan jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak
terlatih hanya diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat
kesukaan. Panel tidak terlatih biasanya dari orang dewasa dengan komposisi
panelis pria sama dengan panelis wanita.
6. Panel Konsumen
Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada
target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan
dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.
7. Panel Anak-anak
Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10
tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian
produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya.
Cara penggunaan panelis anak-anak harus bertahap, yaitu dengan
pemberitahuan atau dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta
responnya terhadap produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka
Keahlian seorang panelis biasanya diperoleh melalui pengalaman dan
latihan yang lama. Dengan keahlian yang diperoleh itu merupakan bawaan sejak
lahir, tetapi untuk mendapatkannya perlu latihan yang tekun dan terus-menerus.
2.7Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pikir yang digunakan sebagai acuan untuk
menyusun sebuah tulisan yang bersifat ilmiah. Adapun kerangka pikir yang dibuat
dalam pengerjaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Kerangka Teori Konsumsi Beras Tinggi
Diversifikasi Pangan
Pembuatan Tepung dari Ubi Kayu
Diolah menjadi Beras
Analog Masyarakat
30
2.8Kerangka Konsep
Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara
abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian.
Konsep tersebut akan dibuat dalam bentuk kerangka untuk mempermudah
penyederhanaan pikiran dengan istilah untuk beberapa kejadian yang saling
berkaitan.
Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 2. Kerangka Konsep
Dalam kerangka konsep di atas dapat dilihat apakah beras analog dari
tepung ubi kayu diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.
Uji Organoleptik ke masyarakat Pembuatan
31
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kesukaan ibu
terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur beras analog yang dibuat dari tepung ubi
kayu.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian pembuatan beras analog dilakukan di Laboratorium Pertanian
Universitas Katolik St. Thomas Medan dan penanakan beras analog dilakukan di
rumah peneliti di Jalan Medan-Sidikalang No. 226, Desa Tanjung Beringin
sedangkan pelaksanaan uji daya terima dilaksanakan di Desa Tanjung Beringin
Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada
bulan April sampai dengan bulan Juli tahun 2014.
3.3. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah beras analog yang dibuat dari tepung ubi kayu.
32
3.4. Defenisi Operasional
1. Beras analog adalah bahan pangan yang dibentuk menyerupai beras
dibuat dari tepung ubi kayu.
2. Uji daya terima adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesukaan ibu dengan mempergunakan skala hedonik tiga titik
sebagai acuan.
3. Uji daya terima terhadap warna adalah pengujian yang dilakukan
untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap warna yang tampak
pada beras analog dari tepung ubi kayu.
4. Uji daya terima terhadap aroma adalah pengujian yang dilakukan
untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap aroma beras analog
dari tepung ubi kayu.
5. Uji daya terima terhadap rasa adalah pengujian yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap rasa beras analog dari
tepung ubi kayu.
6. Uji daya terima terhadap tekstur adalah pengujian yang dilakukan
untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap konsistensi
atau kekenyalan yang dihasilkan beras analog dari tepung ubi kayu.
7. Panelis adalah ibu yang diuji tingkat kesukaannya terhadap beras
3.5. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pisau
b. Pengupas buah
c. Mesin penggiling
d. Ayakan halus
e. Alat pencetak beras
f. Panci pengukus
g. Kompor
h. Piring dan sendok
Bahan yang digunakan adalah ubi kayu segar dari spesies Manihot
esculenta yang sering disebut dengan ubi Malaysia dengan kualitas yang baik dan
tidak busuk. Ciri ubi kayu jenis ini adalah batangnya bercabang tiga dan berwarna
putih, tulang daun menjari lima, umbi pendek dengan diameter kurang lebih 10
cm dan berwarna putih. Ubi kayu yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari kebun warga desa Tanjung Beringin.
3.6. Tahapan Penelitian
3.6.1 Pembuatan tepung ubi kayu
Pembuatan tepung ubi kayu di dalam penelitian ini dari ubi kayu yang
segar dan tidak busuk. Ubi kayu dikupas, dicuci kemudian dirajang dengan
pengupas buah untuk menghasilkan irisan ubi kayu yang tipis. Hal ini sangat
34
kemudian dikeringkan dengan di bawah sinar matahari terik kurang lebih 16 jam.
Setelah kering ubi kayu digiling sampai halus kemudian diayak untuk
mendapatkan tepung ubi kayu yang halus dan tidak menggumpal. Proses
penepungan lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut.
Prosedur Pembuatan Tepung Ubi Kayu
Gambar 3. Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu
3.6.2 Pembuatan beras analog
Proses pembuatan beras analog dari tepung ubi kayu ada sebanyak 3 kali
percobaan. Pertama, tepung ubi kayu dicampur dengan air menjadi adonan seperti
adonan dalam pembuatan roti kemudian adonan dibentuk menjadi butiran kecil
menyerupai beras yang dijemur sampai kering. Beras analog yang dihasilkan
memiliki warna putih kekuningan, sangat mirip dengan beras tetapi teksturnya
rapuh dan hancur saat penanakan.
Kedua, prosesnya hampir sama dengan proses pembuatan beras seperti
yang pertama, bedanya pada proses yang kedua sebelum tepung ubi kayu
beras yang sama dengan percobaan pertama yaitu, tekstur beras rapuh dan hancur
saat penanakan.
Proses yang ketiga, tepung ubi kayu dan air yang sudah dibuat dalam
bentuk adonan dikukus terlebih dulu kemudian dibentuk menjadi butiran beras.
Pengukusan ini bertujuan untuk meningkatkan kelengketan adonan sehingga beras
yang dihasilkan teksturnya tidak rapuh. Pembuatan beras analog dalam penelitian
ini dibuat dengan menggunakan mesin pembuat bulir beras. Adonan tepung
berasal yang dimasukkan ke dalam alat pembuat beras ini akan menghasilkan
beras analog. (Gambar dapat dilihat di lampiran).
Gambar 4. Proses Pembuatan Beras Analog
36
Beras analog yang dikukus harus diaduk agar nasi yang dihasilkan matang dan
merata, pada bagian-bagian beras yang masih keras dapat sambil dipercikkan
dengan air sampai menghasilkan nasi yang matang merata. Nasi yang dihasilkan
dari beras analog tepung ubi kayu ini berwarna kuning kecoklatan dan memiliki
tekstur kenyal dan lengket.
3.6.4 Uji daya terima
Penilaian secara subjektif dilakukan dengan uji organoleptik.Uji
organoleptik adalah penilaian yang menggunakan indera. Jenis uji organoleptik
yang digunakan adalah uji penerimaan untuk menyatakan suka/tidaknya terhadap
suatu produk. Uji penerimaan dapat menggunakan panelis yang belum
berpengalaman, tidak ada sampel baku atau sampel pembanding, dan dilarang
mengingat sampel baku atau sampel pembanding.
Pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan secara subjektif suka atau
tidak suka dan juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan
disebut juga skala hedonic. Skala hedonic diubah ke dalam skala numerik dengan
angka menaik menurut tingkat kesukaan agar dapat dilakukan analisa statistik.
Uji hedonik mempergunakan skala hedonik sembilan titik sebagai acuan,
namun mempermudah panelis dan peneliti skala ini diperkecil menjadi 3 tingkatan
dengan skor yang paling rendah adalah 1 dan skor yang paling tinggi adalah 3.
Berdasarkan tingkatannya, tingkat penerimaan konsumen dapat diketahui sesuai
Tabel 3.1 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik
Organoleptik Skala Hedonik Skala Numerik
Warna Suka 3
Jenis panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang dipilih dari ibu-ibu
di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Umur panelis berkisar antara 25-50
tahun. Syarat-syarat menjadi panelis adalah :
a. Sehat lahir dan batin
dilaksanakan di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten
38
b. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah beras analog dari tepung ubi kayu yang
sudah ditanak sedangkan alat yang digunakan adalah formulir penilaian,
alat tulis dan air minum dalam kemasan.
3. Langkah-langkah Pada Uji Daya Terima
a. Mengunjungi ibu yang menjadi panelis ke rumahnya.
b. Membagikan beras analog dari tepung ubi kayu yang sudah ditanak, air
minum dalam kemasan, formulir penilaian dan alat tulis.
c. Memberikan penjelasan singkat kepada panelis tentang cara memulai dan
cara pengisian formulir.
d. Memberikan kesempatan kepada panelis untuk memulai dan menuliskan
penilaian pada lembar fomulir penilaian.
e. Meminta formulir yang telah diisi oleh panelis.
f. Setelah formulir penilaian dikumpulkan kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisa deskriptif.
3.7 Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif persentase. Analisis ini dilakukan untuk melihat reaksi panelis
terhadap beras analog yang diujikan. Untuk mengetahui tingkat kesukaan dari
panelis dilakukan analisis deskriptif kualitatif persentase yaitu kualitatif yang
diperoleh dari panelis harus dianalisis dahulu untuk dijadikan data kuantitatif.
% = n/N x 100
Keterangan:
% = skor persentase
n = jumlah skor yang diperoleh
N = skor ideal (skor tertinggi x jumlah panelis)
Data skor persentase diubah menjadi nilai kesukaaan panelis dengan
analisis kualitatif, yaitu sebagai berikut.
Nilai tertinggi = 3 (suka)
Nilai terendah = 1 (tidak suka)
Jenis kriteria yang ditentukan = 3 kriteria
Jumlah panelis = 30 orang
a. Skor maksimum = jumlah panelis x nilai tertinggi
= 30 x 3 = 90
b. Skor minimum = jumlah panelis x nilai terendah
= 30 x 1 = 30
c. Persentase maksimum = skor maksimum/skor maksimum x 100%
= 90/90 x 100% = 100%
d. Persentase minimum = skor minimum/skor maksimum x 100%
= 30/90 x 100% = 33,3%
e. Rentangan = skor tertinggi – skor terendah
= 100% - 33,3% = 66,7%
f. Interval persentase = rentangan : jumlah kriteria
40
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat interval
persentase dan kriteria kesukaan sebagai berikut.
Tabel 3.2 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan
Persentase (%) Kriteria Kesukaan
78 – 100 Suka
56 – 77,99 Kurang suka