• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU

SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN

KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH :

CHRISTI GESTARINI S. 091000169

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU

SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN

KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

CHRISTI GESTARINI S. 091000169

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

Judul Skripsi : DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI

TEPUNG UBI KAYU SEBAGAI PANGAN

POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN

KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Christi Gestarini S. Nomor Induk Mahasiswa : 091000169

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Departemen : Gizi Kesehatan Masyarakat

Tanggal Lulus : 31 Maret 2015

Disahkan oleh Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si NIP. 19680516 199303 2 001 NIP. 19670613 199303 1 004

Medan, April 2015 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(5)

ii ABSTRAK

Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tetapi tidak didukung dengan produksi padi yang sesuai, sehingga pemerintah melakukan impor beras dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah melaksanakan program diversifikasi untuk pemanfaatan pangan lokal termasuk ubi kayu. Desa Tanjung Beringin memproduksi ubi kayu tetapi kurang dimanfaatkan karena terbiasa mengkonsumsi beras.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yaitu pembuatan beras analog dengan menggunakan tepung ubi kayu dengan penambahan air. Panelis dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Hasil uji daya terima diperoleh dengan uji organoleptik dan dianalisis secara deskriptif. Nilai kandungan gizi disesuaikan dengan DKBM.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya terima ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin terhadap beras analog adalah rendah. Hal ini terlihat dari persentase penilaian rasa beras analog hanya 47,778% dan masuk kategori tidak suka. Warna beras kurang disukai dengan persentase penilaian sebesar 63,333%. Aroma dan tekstur beras analog masuk kategori disukai dengan persentase masing-masing 80% dan 78,889%. Berdasarkan DKBM, perbandingan jumlah zat gizi yang dikandung beras padi dan beras analog dari tepung ubi kayu hampir sama. Keduanya mengandung karbohidrat, fosfor dan kalsium serta menghasilkan energi yang hampir sama.

Maka disarakan penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog serta pengayaan zat gizinya. Perlu dikembangkan program diversifikasi pangan dari ubi kayu yang dapat diterima masyarakat.

(6)

iii

Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg / capita / year in 2013. But not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice.

This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM.

The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both contain carbohydrates, phosphor and calcium and produce nearly the same energy.

So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content. Need to be developed a program diversification of cassava that can be accepted by society.

(7)

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Christi Gestarini S.

Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 14 September 1990

Suku Bangsa : Batak Toba

Agama : Katolik

Nama Ayah : Drs. Gusman Sitindaon

Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Tumiur Simanjuntak, S.Pd

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1997 – 2003 : SD Inpres I No. 030356, Tanjung Beringin

2. Tahun 2003 – 2006 : SMP Negeri 2 Sumbul, Tanjung Beringin

3. Tahun 2006 – 2009 : SMA Sw. St. Petrus, Sidikalang

(8)

v

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan

rahmat dan karunia-Nya yang melimpah kepada penulis sehingga penulis dapat

mengikuti perkuliahan dari awal sampai akhir serta dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai

Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate

Dairi Tahun 2014”

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orangtua yang terkasih,

Bapa Gusman Sitindaon dan Mama Tumiur Simanjuntak yang selalu setia

memberi kasih dan pengorbanan yang tidak tidak dapat dibandingkan dengan

apapun dalam membesarkan penulis, memberikan dukungan, perhatian dan doa.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner

Siagian, M.Si dan Ibu Evawany Y. Aritonang, M.Si karena dengan arahan dan

bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan

skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak dan pada

kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara;

2. Ibu Arfah Mardiana Lubis, M.Psi selaku Dosen Pembimbing Akademik;

3. Ibu Etti Sudaryati, MKM, Ph.D dan Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku

(9)

vi

4. Seluruh dosen dan staf FKM-USU khususnya kepada Departemen Gizi

Kesehatan Masyarakat, seluruh dosen dan Bapak Marihot sebagai staf yang

telah banyak memberikan bimbingan dan membantu penulis selama proses

pengerjaan skripsi ini;

5. Bapak Dekan Fakultas Pertanian UNIKA St. Thomas atas izin yang diberikan

untuk pemakaian laboratorium dan Bapak Negara Simbolon yang

meluangkan waktu untuk membantu proses pembuatan produk beras analog;

6. Kepala Desa Tanjung Beringin Bapak Singanui Silalahi yang telah

memberikan ijin untuk melakukan penelitian di desa yang beliau pimpin;

7. Abangku Jimmy Sitindaon dan kedua adikku yang terkasih Rina Sitindaon

dan Chandra Sitindaon yang telah mendukung baik lewat perhatian, dan doa.

8. Sahabat terbaik John Lianto Purba, S.Pd, ST, MM yang dengan sabar

memberi waktu, bantuan, semangat dan perhatian untuk menyelesaikan

skripsi ini;

9. Keluarga Rumah Rela 72 (John, Harrys, Nelly, Andri, Rina, Erikson,

Hermanto, Guspriadi, Hayeni, Meri, Indris, Junita, Dahlia dan Chandra)

untuk dukungan dan kebersamaannya;

10.Sahabat seperjuangan di HMP Gizi Kesehatan Masyarakat (Risanti,

Lisparyanda, Rahmi, Vella, Bertha, dan seluruh mahasiswa HMP Gizi) untuk

kebersamaan dan semangat juangnya;

11.Semua Sahabat di Lingkungan FKM-USU terima kasih atas kebersamaan,

dorongan dan motivasinya khusunya Sri Ulina Purba, Florentina, dan

(10)

vii

12.Semua pihak yang turut serta memberi dukungan yang tidak dapat saya

sebutkan namanya satu per satu saya ucapkan terima kasih.

Akhir kata semoga Tuhan Yesus senantiasa melimpahkan karunia-Nya

kepada kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Maret 2015

(11)

viii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pangan Pokok ... 8

2.2 Ubi Kayu ... 11

2.2.1.Kandungan Gizi Ubi Kayu ... 12

2.2.2.Manfaat dan Konsumsi Ubi Kayu ... 13

2.2.3.Produksi ... 15

2.3 Tepung Ubi Kayu ... 17

2.3.1.Tahapan Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 17

2.3.2.Kandungan Zat Gizi Tepung Ubi Kayu ... 21

2.4 Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 22

2.5 Uji Organoleptik ... 24

2.6 Panelis ... 26

2.7 Kerangka Teori ... 29

2.8 Kerangka Konsep... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis Penelitian ... 31

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3. Objek Penelitian... 31

3.4. Defenisi Operasional ... 32

3.5. Alat dan Bahan ... 33

3.6. Tahapan Penelitian... 33

3.6.1 Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 33

3.6.2 Pembuatan Beras Analog ... 34

(12)

ix

3.7. Pengolahan Data ... 38

BAB IV HASIL ... 41

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1 Geografi... 41

4.1.2 Demografi ... 42

4.2. Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan ... 42

4.3. Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 43

4.4. Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu... 43

4.5. Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 44

4.6. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 45

4.7. Kandungan Zat Gizi Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 45

BAB V PEMBAHASAN ... 47

5.1. Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan ... 47

5.2. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog... 48

5.3. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog... 49

5.4. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog... 50

5.5. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog... 51

5.6. Zat Gizi ... 53

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... 58

(13)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu ... 12 Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia

pada Tahun 2009 – 2013 ... 15 Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera

Utara pada Tahun 2009 – 2013 ... 17 Tabel 3.1 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik... 34 Tabel 3.2 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan ... 37 Tabel 5.1 Perbandingan Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Beras Analog

(14)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teori ... 27

Gambar 2. Kerangka Konsep ... 28

Gambar 3. Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 32

(15)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Kuesioner Penelitian Lampiran II : Master Data

Lampiran III : Dokumentasi

Lampiran IV : Angka Kecukupan Gizi (AKG) Lampiran V : Surat Izin Penelitian

(16)

ii

Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tetapi tidak didukung dengan produksi padi yang sesuai, sehingga pemerintah melakukan impor beras dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah melaksanakan program diversifikasi untuk pemanfaatan pangan lokal termasuk ubi kayu. Desa Tanjung Beringin memproduksi ubi kayu tetapi kurang dimanfaatkan karena terbiasa mengkonsumsi beras.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yaitu pembuatan beras analog dengan menggunakan tepung ubi kayu dengan penambahan air. Panelis dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Hasil uji daya terima diperoleh dengan uji organoleptik dan dianalisis secara deskriptif. Nilai kandungan gizi disesuaikan dengan DKBM.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya terima ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin terhadap beras analog adalah rendah. Hal ini terlihat dari persentase penilaian rasa beras analog hanya 47,778% dan masuk kategori tidak suka. Warna beras kurang disukai dengan persentase penilaian sebesar 63,333%. Aroma dan tekstur beras analog masuk kategori disukai dengan persentase masing-masing 80% dan 78,889%. Berdasarkan DKBM, perbandingan jumlah zat gizi yang dikandung beras padi dan beras analog dari tepung ubi kayu hampir sama. Keduanya mengandung karbohidrat, fosfor dan kalsium serta menghasilkan energi yang hampir sama.

Maka disarakan penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog serta pengayaan zat gizinya. Perlu dikembangkan program diversifikasi pangan dari ubi kayu yang dapat diterima masyarakat.

(17)

iii ABSTRACT

Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg / capita / year in 2013. But not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice.

This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM.

The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both contain carbohydrates, phosphor and calcium and produce nearly the same energy.

So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content. Need to be developed a program diversification of cassava that can be accepted by society.

(18)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis

khatulistiwa, sehingga sepanjang tahun Indonesia hanya mengalami musim hujan

dan musim kemarau. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Indonesia karena

terdapat banyak keanekaragaman hayati di Indonesia dan hasil pertanian

melimpah sepanjang tahun. Keanekaragaman hayati itu dimanfaatkan untuk

pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya di bidang pangan.

Bahan pangan yang beragam serta melimpah di Indonesia, berupa pangan

hewani, pangan nabati, pangan pokok dan juga pangan tambahan. Pangan hewani

meliputi daging, telur, ikan, susu dan lain-lain sedangkan pangan nabati berupa

makanan pokok yang mengandung karbohidrat seperti beras, ubi jalar, ubi kayu,

kentang, jagung, sagu, talas dan lain-lain serta sayur-sayuran dan buah-buahan.

Beras adalah salah satu bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang

banyak dikonsumsi hampir seluruh penduduk di Indonesia. Beras berasal dari

tanaman padi (Oryza sativa), salah satu jenis tanaman serealia yang tumbuh subur

di wilayah Indonesia. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik dan Direktorat

Jenderal Tanaman Pangan 2013, produksi beras Indonesia mengalami peningkatan

kecuali pada tahun 2011 yang mengalami penurunan. Akan tetapi hal ini tidak

(19)

2

pemenuhan kebutuhan beras tidak dapat mencukupi adalah ketidakseimbangan

antara produksi beras dengan jumlah penduduk.

Tingkat kebutuhan beras masyarakat Indonesia termasuk yang paling

tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan negara lain seperti

Cina sekitar 90-100 kg/kapita/tahun, Malaysia 90 kg/kapita/tahun, Brunei

Darussalam 80 kg/kapita/tahun, Jepang 70 kg/kapita/tahun dan konsumsi beras

dunia 60 kg/kapita/tahun (Nurhayat, 2013).

Kekurangan hasil produksi beras Indonesia dipenuhi pemerintah dengan

cara mengimpor beras sebanyak 826 ribu ton/tahun 2012 (Christianto, 2013) dan

menghabiskan anggaran belanja sampai milyaran rupiah. Pemerintah juga

melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi lokal dengan penggunaan bibit

unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah persawahan dan usaha lainnya agar

peningkatan produksi padi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi

dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan

dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu,

jagung, kentang dan serealia lain. Hal ini didukung oleh beberapa peraturan dan

perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah

satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang

(PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7

(20)

yang telah disusun juga turut mendukung sosialisasi pentingnya

penganekaragaman pangan pengganti beras (Hidayah, 2011).

Penganekaragaman pangan atau yang disebut juga diversifikasi pangan

adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk menurunkan tingkat konsumsi beras

dengan pengenalan pangan pengganti beras. Selain pengenalan bahan pangan lain

pengganti beras, banyak juga penelitian yang telah dilakukan dalam pembuatan

beras analog dari bahan pangan lain pengganti beras.

Pangan pengganti beras yang banyak dikenal dan dikonsumsi masyarakat

Indonesia adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kentang. Bahan pangan tersebut

mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, penyumbang kalori yang besar dan

membuat rasa kenyang. Semua bahan pangan tersebut memiliki kandungan zat

gizi tertentu yang lebih besar dibandingkan dengan beras. Ubi kayu memiliki

kandungan kalsium dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras

dan ubi jalar mengandung vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras

dan memiliki beberapa kelebihan karena kandungan beberapa jenis antioksidan.

Ada beberapa penelitian yang mengembangkan pangan pokok di

Indonesia, seperti pembuatan brownis dari tepung ubi kayu. Tepung ubi kayu

digunakan untuk mensubsitusi tepung terigu dalam pembuatan brownis. Penelitian

tersebut terdiri dari dua uji coba, yaitu menggunakan 100% tepung ubi kayu dan

pencampuran tepung terigu dan tepung ubi kayu dengan perbandingan 1 : 1

(Pulungan, 2013).

Roti tawar adalah salah satu makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat

(21)

4

roti tawar dikonsumsi saat sarapan ditambah susu atau teh. Roti tawar adalah

makanan yang diolah dari tepung terigu yang masih diimpor. Zuraida dan Supriati

(2008) dalam Hardoko, dkk (2010) menyatakan ubi ungu memiliki kadar abu dan

kadar serat yang lebih tinggi, serta kandungan karbohidrat dan kalori yang hampir

setara dengan tepung terigu sehingga dapat dimanfaatkan untuk mensubsitusi

tepung terigu dalam pembuatan roti tawar sebagai makanan sumber karbohidrat

dan kalori di Indonesia.

Penganekaragaman bahan pangan seperti beberapa contoh di atas sudah

dilakukan tetapi masih perlu ditingkatkan karena pola konsumsi masyarakat

sumber karbohidrat masih mengutamakan beras. Kendala yang dihadapi dalam

penganekaragaman pangan ini adalah dukungan besar terhadap beras dalam pola

makan berbasis nasi yang menyebabkan citra produk pangan selain beras masih

sangat rendah. Menghadapi kendala di atas ahli teknologi pangan mulai

mengembangkan pembuatan beras yang dibuat dari pangan lain yang dikenal

dengan sebutan beras analog.

Salah satu penelitian yang mengembangkan beras analog adalah penelitian

yang dilakukan Hasnelly, dkk (2013). Beras analog yang dibuat berbahan dasar

beberapa jenis ubi jalar, seperti ubi jalar putih, ubi jalar jingga, ubi jalar ungu dan

ubi jalar organik. Jenis-jenis ubi jalar tersebut menghasilkan beras dengan variasi

warna yang beragam.

Proses pembuatan beras analog yang dilakukan Hasnelly dibuat dengan

cara mencuci ubi jalar dan kemudian dikukus dengan tujuan untuk menguapkan

(22)

Setelah dikupas, ubi jalar ditimbang dan kemudian dicampur dengan 20% tepung

tapioka dan 10% tepung beras menjadi adonan. Kemudian adonan dibentuk

menjadi untaian dengan diameter 2 mm dan untaian tersebut dipotong-potong

dengan ukuran panjang 1 cm. Butiran yang dibuat dari adonan tepung ubi jalar,

tepung tapioka dan tepung beras tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu

700C selama 2 jam. Butiran kering ini disebut beras analog karena bentuknya

mirip beras padi.

Desa Tanjung Beringin merupakan salah satu wilayah pedesaan di

Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Jumlah penduduk di desa tersebut

diperkirakan 703 kepala keluarga dan seluruh keluarga mengkonsumsi beras

sebagai pangan pokok . Sebagian besar penduduk desa ini hidup sebagai petani

dengan rata-rata tingkat perekonomian menengah ke bawah. Secara geografis,

desa Tanjung Beringin berada di wilayah pegunungan dengan dataran yang

berbukit-bukit sehingga masyarakat di desa tersebut mengolah tanah dengan cara

berladang. Jenis tanah yang ada di desa ini sangat mendukung produksi bahan

pangan pokok selain padi seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kentang. Ubi

kayu adalah tanaman pokok yang paling sering ditanam masyarakat desa ini.

Hampir seluruh petani menanam ubi kayu yang dimanfaatkan sebagai makanan

selingan dan makanan ternak.

Konsumsi makanan pokok selain beras kurang populer di masyarakat desa

Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari pemanfaatan yang kurang maksimal dari

bahan pangan tersebut. Misalnya, selain untuk dipasarkan, pemanfaatan jagung

(23)

6

pemanfaatan lain sebagai pakan ternak. Sama halnya dengan jagung, ubi jalar dan

ubi kayu sering diolah sebagai konsumsi selingan minimal sekali seminggu oleh

penduduk desa dengan cara digoreng, direbus, dibakar atau dijadikan olahan

seperti kolak.

Dilihat dari penelitian yang pernah dilakukan dalam pembuatan beras

analog, desa ini cukup potensial untuk pengembangan beras analog karena

konsumsi pangan pokok masyarakat yang sangat bergantung pada ketersediaan

beras dan hal ini didukung ketersediaan bahan pangan pokok sebagai dasar

pembuatan beras analog.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin mengetahui daya terima

beras analog dari tepung ubi jalar di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul

Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2014 mengingat bahwa

beras dengan beras analog memiliki rasa, warna, aroma, tekstur dan juga bentuk

yang berbeda.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan informasi yang ada di bagian latar belakang, dapat dilihat

bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana daya terima beras

analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan pokok di Desa Tanjung Beringin

(24)

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui daya terima beras analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan

pokok dengan uji organoleptik di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul

Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi

pengembangan beras analog dari tepung ubi kayu di desa Tanjung Beringin

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi untuk pengembangan beras analog dari tepung ubi

kayu berdasarkan penerimaan masyarakat.

2. Sebagai peningkatan pengetahuan bagi penulis mengenai program

diversifikasi pangan.

3. Sebagai bahan penyuluhan pengenalan pangan beras analog yang dibuat

dari bahan pangan pokok lain bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa

(25)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pangan Pokok

Menurut Food Agricultural Organization (FAO), pangan adalah segala

sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun

tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan

lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan

makanan dan minuman. Sedangkan menurut Undang-Undang tentang Pangan No.

18 Tahun 2012, pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber

hayati produk pertanian, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, perairan

dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi

manusia. Sederhananya, pangan adalah segala makanan dan minuman yang

dikonsumsi manusia.

Pangan pokok adalah makanan yang paling sering dikonsumsi dan dalam

jumlah yang paling banyak diantara bahan pangan lain. Menurut Suyono dalam

Haryadi (2004), konsumsi makanan masyarakat Indonesia didominasi pangan

yang mengandung karbohidrat sekitar 70% dari total seluruh makanan yang

dikonsumsi. Pangan sumber kabohidrat yang banyak dikonsumsi adalah beras

yang mencapai 90%.

Bahan pangan pokok selain beras yang sangat melimpah di Indonesia,

(26)

kurang diminati masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi faktor

mengapa beras dijadikan makanan pokok di Indonesia, yaitu sumber daya alam

Indonesia mampu memproduksi beras, daya simpan cukup lama, pengolahannya

cepat dan mudah, enak dan memiliki nilai gizi yang baik.

Tahun 1940 keberagaman konsumsi pangan di Indonesia sangat baik.

Jumlah makanan di Indonesia jika dirata-ratakan maka konsumsi per kapita per

tahun adalah beras 86 kg, jagung 38 kg, ubi kayu 162 kg, dan ubi jalar 30 kg.

Sejak swasembada beras pada tahun 1984, konsumsi pangan pokok mengalami

pergeseran angka konsumsi yang didominasi konsumsi beras bahkan pada tahun

1999, konsumsi jagung hanya 3,1% dan ubi kayu 8,83%. Selain beras, konsumsi

pangan pokok yang meningkat adalah terigu, mencapai 500% yang diperoleh dari

impor dari negara lain (Gardjito, 2013).

Bergesernya pola konsumsi pangan pokok di Indonesia menyebabkan

ketersediaan beras tidak seimbang dengan kebutuhan penduduk Indonesia

sehingga pemerintah harus mengimpor beras untuk mencukupi seluruh kebutuhan

penduduk. Pemerintah juga melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi

lokal dengan penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah

persawahan dan usaha lainnya agar peningkatan produksi padi mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat Indonesia.

Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi

dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan

dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi, ubi kayu, sagu, jagung,

(27)

10

perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah

satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang

(PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7

Tahun 1996 tentang Pangan dan Pedoman Umum Penganekaragaman Pangan

yang telah disusun juga turut mendukung agar sosialisasi pentingnya

penganekaragaman pangan pengganti beras (Nurul Hidayah, 2011).

Konsumsi beras sebagai pangan pokok yang telah menjadi kebiasaan bagi

penduduk Indonesia menyebabkan kesulitan untuk menerima pangan lain karena

mengonsumsi beras/nasi sudah menjadi kebiasaan dan mudah dikombinasikan

dengan berbagai macam menu lauk dan sayuran. Beberapa penelitian telah

menghasilkan pembuatan beras analog untuk mencukupi kebutuhan beras dengan

pemanfaatan bahan pangan pokok lain yang kurang diminati masyarakat. Beras

analog adalah butiran-butiran mirip beras yang dibuat dari bahan pangan pokok

lain selain beras dengan menggunakan cara yang beragam.

Menurut Lie dalam Haryadi (2006), tanah yang tingkat kesuburannya

rendah seperti di daerah Gunung Kidul dan Pegunungan Seribu mengubah pola

pangan mereka dari beras menjadi ubi kayu pada musim paceklik. Penggantian

beras menjadi jagung juga terjadi di wilayah yang memiliki lahan kering seperti di

Banjarnegara dan Jawa Timur bagian timur (Khudori dalam Haryadi, 2006).

Pembuatan beras analog dari bahan pangan pokok lain didukung dengan

tersedianya pangan pokok non-beras yang melimpah di Indonesia. Beberapa

(28)

jagung dan ubi kayu dapat tumbuh dengan baik sehingga menguntungkan untuk

tetap menghasilkan bahan pangan pokok.

2.2Ubi Kayu

Ubi kayu atau yang sering disebut singkong atau ketela pohon adalah

tanaman perdu yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan juga sub-tropis. Ubi

kayu merupakan salah satu pangan penghasil karbohidrat yang banyak dikonsumsi

di Indonesia setelah beras dan jagung (Asnawi, 2008). Tanaman ubi kayu

menyimpan cadangan makanan di akar yang membesar membentuk umbi. Bagian

dalam umbinya berwarna putih dan juga putih kekuningan tergantung varietas.

Ubi kayu pertama kali dikenal di Amerika Selatan dan dikembangkan di

Brasil dan Paraguay. Dahulu ubi kayu hidup secara liar di daerah Brasil dan

semua varietas dapat dibudidayakan. Setelah pembudidayaan ubi kayu di

beberapa negara, di Brasil Selatan masih ditemukan ubi kayu yang masih tumbuh

liar.

Pada abad XVI, Portugal mengenalkan ubi kayu di Indonesia yang dibawa

dari Brasil dan ditanam secara komersial pada tahun 1810. Pembudidayaan ubi

kayu lebih banyak di tanah-tanah marginal yang kurang subur dan banyak

dikonsumsi sebagai pangan pokok di daerah yang tidak dapat memproduksi padi.

Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

(29)

12

Umbi ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, tetapi

memiliki kandungan protein yang rendah, tetapi pada bagian daun ubi kayu

memiliki kandungan protein yang baik karena memiliki asam amino metionina.

Umbi ubi kayu rasanya agak manis karena mengandung sedikit glukosa. Jumlah

kalori dalam 100 gram ubi kayu adalah 146 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat

dalam ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu

No. Nama Zat Gizi Jumlah

kandungan karbohidrat yang cukup besar dan berpeluang dijadikan pangan

(30)

ubi kayu sebagai pangan pokok. Masyarakat menganggap bahwa ubi kayu adalah

pangan pokok kelas dua. Selain itu, kandungan lemak dan protein yang rendah

serta kandungan racun HCN di dalam ubi kayu menjadi alasan mengapa

masyarakat Indonesia tidak menjadikan pangan pokok (Simanjuntak, 2006).

2.2.2.Manfaat dan konsumsi

Umbi ubi kayu yang sudah dikupas tanpa pengolahan tidak memiliki daya

simpan walaupun disimpan di lemari pendingin. Kerusakan dapat dilihat dengan

munculnya warna biru kehitaman karena terbentuknya asam sianida (HCN) yang

bersifat toksik. HCN terbentuk saat umbi ubi kayu teroksidasi sehingga glukosa

berubah menjadi glukosida yang membentuk HCN. HCN menyebabkan ubi kayu

menjadi pahit. Ubi kayu segar dengan HCN yang tinggi memiliki kandungan pati

yang tinggi juga sehingga dalam industri pembuatan tepung tapioka biasanya

menggunakan varietas ubi kayu yang mengandung HCN yang tinggi.

Dilihat dari kadar HCN, ubi kayu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1)

tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN lebih dari 100 ppm, hal ini ditandai

dengan rasa pahit pada ubi kayu, (2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN

40-100 ppm dan rasanya agak pahit, dan (3) boleh dikonsumsi bila kadar HCN

kurang dari 40 ppm, rasanya tidak pahit.

Cara pengolahan ubi kayu sebelum dikonsumsi cukup beragam. Ubi kayu

dapat dimakan setelah dikukus, dibakar dan digoreng. Ubi kayu banyak diolah

menjadi penganan-penganan kecil seperti keripik yang diberi bumbu untuk

(31)

14

Selain itu, ubi kayu juga dapat dibuat menjadi tapai melalui proses peragian atau

fermentasi.

Gaplek adalah salah satu olahan ubi kayu. Cara pembuatan gaplek

sederhana adalah dengan mengupas ubi kayu kemudian dikeringkan. Ada dua

jenis gaplek yaitu, gaplek putih biasanya ditepungkan dan sebagai bahan baku

pembuatan tiwul dan gaplek hitam yang disebut dengan gatot. Warna hitam pada

gatot dihasilkan dari bermacam fungi dan bakteri yang tumbuh selama proses

penjemuran dengan tekstur yang kenyal.

Olahan ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku industri adalah

tapioka yang dibuat dari pati ubi kayu. Tapioka dibuat dengan cara, ubi kayu yang

sudah dikupas kemudian dicuci bersih. Setelah dicuci, ubi kayu diparut dan

dicampur dengan air. Kemudian campuran itu disaring dan diperas sampai

patinya keluar. Air perasan diendapkan menghasilkan gumpalan pati dan airnya

dibuang. Gumpalan pati tersebut diremahkan sehingga terbentuk butiran kasar

yang selanjutnya dikeringkan, digiling dan diayak. Ampas hasil olahan pati

tersebut dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak namun masyarakat Cirendeu,

Cimahi, Jawa Barat mengonsumsi ampas tapioka yang dijemur terlebih dulu.

Ampas tapioka yang kering dikukus dan dimakan dengan lauk dan sayur.

Masyarakat Cirendeu menyebutnya rasi.

Sugihono dan Sarpina seperti yang dikutip dalam Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian (2011) mengatakan sagu kasbi adalah makanan khas

Muluku Utara yang dibuat dengan cara mencetak tepung kasbi (ubi kayu) dalam

(32)

panjang, rasanya tawar, berwarna putih dengan tekstur yang keras. Sagu kabi

sangat cocok sebagai bahan pangan di musim paceklik karena memiliki daya

simpan yang lama, yaitu sekitar 1-2 tahun dalam kondisi baik dan kering.

Masyarakat Maluku Utara mengonsumsi sagu kasbi dengan mencelupkan ke

dalam air atau kuah makanan hingga lembek dan dimakan dengan lauk dan sayur

seperti mengonsumsi nasi. Mengonsumsi sagu kasbi saat sarapan dapat

dicelupkan ke dalam teh atau kopi. Sekarang ini telah dikembangkan sagu kasbi

aneka rasa dengan penambahan gula halus dan perisa makanan seperti perisa

mangga, perisa jeruk, strawberry dan coklat.

Masyarakat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara mengolah ubi

kayu kasaomi. Kasaomi dibuat dengan cara ubi kayu dikupas, diparut, diperas

untuk mengurangi kandungan air kemudian dikeringkan. Saat akan dikonsumsi,

kasaomi dikukus dan dikonsumsi dengan sayur dan lauk.

2.2.3.Produksi

Ubi kayu di Indonesia dibudidayakan dan dikembangkan dalam skala

agrobisnis dalam industri makanan yang cukup tinggi. Hal menguntungkan dari

ubi kayu adalah dapat diproduksi di lahan-lahan yang kurang subur. Produksi ubi

(33)

16

Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia pada Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas

(Ku/Ha)

Produksi (Ton)

2009 1175666.00 187.46 22039145.00

2010 1183047.00 202.17 23918118.00

2011 1184696.00 202.96 24044025.00

2012 1129688.00 214.02 24177372.00

2013 1137210.00 224.18 25494507.00

Sumber: BPS 2013

Pada tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa produktivitas ubi kayu secara

nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 selalu mengalami

peningkatan. Produksi ubi kayu yang meningkat tidak mengalami perubahan

walaupun luas lahan mengalami penurunan pada tahun 2012. Hal ini

menguntungkan untuk pemanfaatan ubi kayu secara maksimal di bidang pangan

karena dengan luas lahan tidak mempengaruhi produksi ubi kayu.

Sentra produksi ubi kayu ada tujuh provinsi pada tahun 2002 yaitu,

Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTT dan

Sulawesi Selatan. Namun pada tahun 2008 ditambah satu provinsi sebagai sentra

produksi ubi kayu yaitu, provinsi Sumatera Utara.

Batasan provinsi disebut sebagai sentra produksi ubi kayu adalah memiliki

areal luas panen ubi kayu > 50000 ha selama lima tahun terakhir. Setiap provinsi

juga memiliki kabupaten sentra produksi ubi kayu dan batasan kabupaten sentra

yaitu, kabupaten atau kota yang mempunyai rata-rata areal luas panen > 5000 ha

untuk Pulau Jawa dan > 2500 ha untuk luar Pulau Jawa.

Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi kabupaten sentra

(34)

Bedagai, Labuhan Batu, dan Dairi. Untuk produksi ubi kayu di Sumatera Utara

dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera Utara pada Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas

(Ku/Ha) Produksi (Ton)

2009 38611.00 260.88 1007284.00

2010 32402.00 279.48 905571.00

2011 37929.00 287.83 1091711.00

2012 38749.00 302.34 1171520.00

2013 46765.00 318.85 1491108.00

Sumber: BPS 2013

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa produktivitas ubi kayu Sumatera Utara

lebih tinggi dibandingkan produktivitas ubi kayu secara nasional. Produksi ubi

kayu yang tinggi di Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai dasar pemanfaatan

ubi kayu sebagai pangan pokok.

2.3Tepung Ubi Kayu.

2.3.1.Tahapan proses pembuatan tepung ubi kayu

Alternatif pengolahan umbi ubi kayu saat ini sedang diupayakan

pemerintah adalah pembuatan tepung ubi kayu atau sering disebut juga tepung

kasava. Hal ini disebabkan daya simpan ubi kayu segar sangat rendah. Tepung ubi

kayu dibuat dengan cara penghancuran atau penepungan umbi ubi kayu yang

sudah dikeringkan. Tepung ubi kayu merupakan produk setengah jadi yang

(35)

18

Pembuatan tepung ubi kayu harus memperhatikan kadar air, pH, kadar

pati, kadar pati dan amilosa. Menurut Ingram dalam Gardjito (2013), kadar air

menjadi parameter penting dalam menjamin daya simpan tepung ubi kayu. Kadar

air yang lebih dari 12% akan menjadi tempat tumbuh mikroba dan kadar air yang

lebih rendah akan memperlama waktu simpan. Sedangkan keasaman atau pH yang

rendah akan membatasi jumlah subsitusi tepung ubi kayu saat digunakan dalam

pembuatan roti.

Proses pembuatan tepung ubi kayu bisa dilakukan dengan cara sederhana

dalam skala rumah tangga dan dengan cara modern dalam skala yang lebih besar

seperti dalam industri. Salah satu proses pembuatan tepung ubi kayu dengan cara

penyawutan memiliki beberapa kelebihan, yaitu rendemen lebih tinggi dibanding

tepung gaplek yang 20-22% menjadi 25-30%, hygene, awet, gizi lebih baik, dapat

mensubsitusi tepung terigu, baik secara parsial maupun seluruhnya.

Tepung ubi kayu mengandung 12% air, lemak 0,32%, protein 1,19%,

karbohidrat 81,75%, dan serat 3,34%. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi

dalam tepung ubi kayu sangat baik dalam pengolahan tepung ubi kayu sebagai

bahan dalam pembuatan makanan seperti mie dan biskuit.

Tahapan proses dalam pembuatan tepung ubi kayu menurut Badan Litbang

Pertanian dalam majalah Agroinovasi Sinartani adalah sebagai berikut.

1. Ubi kayu segar

Pembuatan tepung ubi kayu bisa berasal dari semua varietas kecuali untuk

tepung ubi kayu putih harus menggunakan umbi yang putih bukan ubi

(36)

sehingga umbi ubi kayu harus segera disawut dalam waktu 24 jam setelah

dipanen karena keterlambatan dalam memeroses ubi kayu akan

menyebabkan menurunnya kualitas tepung ubi kayu.

2. Pengupasan

Pengupasan ubi kayu secara manual dengan menggunakan pisau akan

menghasilkan rendemen kupas yang tinggi tetapi membutuhkan waktu

yang lama dan tenaga yang banyak sedangkan menggunakan alat pengupas

kulit ubi kayu lebih cepat dan tenaga yang sedikit. Ubi kayu yang dikupas

dengan alat pengupas kulit ubi kayu akan menghasikan mutu kupasan yang

kurang bagus.

3. Pencucian dan perendaman

Ubi kayu yang telah dikupas harus dicuci secepatnya di air mengalir atau

di dalam bak. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang

menempel selama proses pengupasan, membersihkan lender yang terdapat

di permukaan umbi dan untuk mengurangi kadar HCN. Perendaman

dilakukan sampai seluruh ubi kayu tercelup agar kebersihan dan warna

putihnya tetap terjaga. Jenis ubi kayu akan menentukan lama tidaknya ubi

kayu direndam. Ubi kayu manis hanya perlu direndam sambil menunggu

proses penyawutan sedangkan ubi kayu pahit harus direndam semalaman

untuk menurunkan kadar HCN sampai ambang batas yang diizinkan oleh

Departemen Kesehatan.

(37)

20

4. Penyawutan

Penyawutan dilakukan dengan alat penyawut/perajang baik secara manual

atau digerakkan mesin. Hasil penyawutan berupa irisan ubi kayu dengan

lebar 0,2-0,5 cm, panjang 1-5 cm dan tebal 0,1-0,4 cm. Irisan ubi basah

ditampung dalam bak plastik atau wadah yang tidak mudah berkarat.

5. Pengepresan

Alat pengepres digunakan untuk menekan irisan ubi kayu basah sampai

airnya keluar. Pengepresan ini bertujuan agar pengeringan irisan ubi kayu

lebih cepat dan juga untuk mengurangi kadar HCN terutama ubi kayu

dikeringkan dengan alat pengering. Pengeringan irisan ubi kayu harus

diperhatikan secara khusus karena akan menentukan mutu tepung ubi kayu

yang akan dihasilkan. Kadar air irisan ubi kayu maksimum 14% karena

kadar air yang tinggi akan mempersingkat waktu simpan dan menurunkan

kualitas tepung. Alas yang digunakan dalam penjemuran irisan ubi kayu

bisa dari anyaman bambu atau wadah yang tidak mudah berkarat.

7. Pengemasan

Irisan ubi kayu kering dikemas dalam plastik tebal kedap udara dan

(38)

kemasan irisan ubi kayu harus bersih dan kering kemudian dialasi dengan

kayu untuk menghidarkan karung menyentuh lantai.

8. Penepungan

Penepungan atau proses penggilingan sawut dapat dilakukan dengan

menggunakan alat penepung beras yang banyak beredar di pasaran. Agar

lebih efisien, penggilingan dapat dilakukan dua kali, yaitu irisan ubi kayu

kering dihancurkan menjadi butiran kecil kemudian digiling sampai halus

(80 mesh).

2.3.2.Kandungan zat gizi tepung ubi kayu

Tepung ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat, kalsium dan fosfor

yang tinggi. Jumlah kalori yang terdapat dalam 100 gram tepung ubi kayu adalah

363 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam tepung ubi kayu dapat dilihat

pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Tepung Ubi kayu

No. Nama Zat Gizi Jumlah

Berdasarkan tabel 2.4 di atas dapat dilihat bahwa kandungan zat gizi dalam

tepung ubi kayu layak dijadikan pangan pokok karena memiliki kandungan

(39)

22

pemenuhan zat gizi lain dapat diperoleh dari sayuran dan lauk-pauk sama seperti

mengonsumsi nasi.

2.4Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Beras analog adalah pangan alternatif yang dibuat dari sumber pangan

karbolokal non-padi berupa umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, talas, gembil dan

umbi lainnya), serealia (jagung, sorgum, hotong), tanaman pohon (sagu), tanaman

buah (sukun, pisang), dan sumber karbohidrat lainnya (Budijanto, 2013).

Sedangkan menurut Machmur (2011), beras analog adalah bahan pangan

lokal yang diolah sampai memiliki ciri-ciri yang menyerupai beras yaitu,

berbentuk butiran, ditanak dan memiliki kemiripan tekstur. Pembuatan beras

analog ini dilakukan untuk menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan

konsumsi pangan lokal lain sesuai dengan tujuan diversifikasi pangan.

Metode pembuatan beras analog yang dikenal adalah dengan metode

granulasi dan metode ekstruksi. Metode yang paling dikenal adalah metode

ekstruksi karena dengan metode ini akan dihasilkan beras analog dengan

karakteristik yang sangat mirip dengan beras alami dari bahan baku yang lebih

beragam dan dapat dilakukan fortifikasi (Setia Budi, 2013).

Beberapa penelitian dalam pembuatan beras analog sudah dilakukan di

beberapa fakultas pertanian di Indonesia. Pembuatan beras analog dilakukan

dengan menggunakan bahan dasar bahan pokok yang melimpah di wilayah

(40)

Penelitian yang dilakukan Hindarto Putra (2012) menggunakan bahan

dasar tepung pisang goroho (Musa acuminate) yang banyak terdapat di Sulawesi

Utara. Kandungan karbohidrat dalam pisang goroho cukup tinggi sehingga pisang

ini dapat dijadikan dasar pembuatan beras analog.

Ubi jalar juga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan beras analog.

Hampir semua varietas ubi jalar pernah digunakan dalam pembuatan beras analog.

Ubi jalar yang akan diolah menjadi beras analog dikukus dalam jangka waktu

tertentu. Kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan lain dan dibentuk

menyerupai butiran beras. Beras analog ini kemudian dijemur sampai kering. Ubi

jalar mengandung zat gizi yang sangat baik sehingga beras analog yang dihasilkan

juga memiliki kandungan gizi yang masih baik (Hasnelly, dkk, 2013).

Tahapan proses dalam pembuatan beras analog adalah sebagai berikut.

1. Pencampuran

Proses pencampuran dilakukan dengan mencampur bahan dasar yaitu

bahan pangan pokok nonberas dan bahan pengikat yang berfungsi untuk

menjaga agar beras yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras seperti

beras. Pencampuran harus mendapatkan adonan yang tidak terlalu encer

atau terlalu kering atau seperti tekstur adonan pembuatan biskuit.

2. Pembentukan beras

Pembentukan beras analog dari adonan dapat dilakukan menggunakan

mesin pembuat beras analog. Adonan dimasukkan ke dalam mesin yang

digerakkan dengan tenaga listrik melalui sebuah corong yang ada di bagian

(41)

24

3. Pemotongan

Adonan yang terbentuk pipih memanjang kemudian dipotong kecil-kecil

hingga menyerupai beras.

4. Pengeringan

Beras analog yang sudah dibuat dijemur sampai kering dan mengeras.

Beras analog yang sudah jadi dapat ditanak dengan cara dikukus. Sebelum

dikukus beras direndam selama 5 menit. Saat proses pengukusan, beras disiram

dengan air sedikit demi sedikit dan merata agar nasi yang dihasilkan tidak terlalu

keras atau terlalu lembek.

2.5Uji Organoleptik

Uji organoleptik atau yang sering disebut evaluasi sensori adalah penilaian

terhadap suatu produk makanan untuk memperoleh warna, tekstur, rasa dan

penampakan dengan menggunakan indera manusia. Uji ini dilakukan oleh panelis

atau pencicip yang dianggap paling peka. Penilaian ini dilakukan untuk menilai

mutu berbagai jenis makanan.

Uji organoleptik ada empat jenis yaitu, uji pembedaan (defferent test), uji

pemilihan/penerimaan (preference test/acceptance test), uji deskripsi (descriptive

test), uji skalar.

1. Uji Pembedaan (defferent test)

Uji pembedaan digunakan untuk melihat perbedaan sensorik diantara

beberapa contoh sampel. Uji ini menilai pengaruh beberapa macam

(42)

mengetahui adanya perbedaan atau persamaan dua produk dengan

komoditas yang sama.

Hasil uji ini akan efektif jika sifat dan criteria yang diujikan jelas dan

dipahami panelis. Keandalan (realiabilitas) dari uji pembedaan ini

tergantung dari pengenalan sifat mutu yang diinginkan, tingkat latihan

panelis dan kepekaan masing-masing panelis. Pengujian pembedaan ini

meliputi: Uji pasangan (Paired comparison/Dual comparation), Uji segitiga

(Triangle test), Uji duo-tri, Uji pembanding ganda (Dual standard), Uji

pembanding jamak (Multiple standard), Uji rangsangan tunggal (Single

stimulus), Uji pasangan jamak (Multiple pairs), Uji tunggal.

2. Uji Pemilihan/Penerimaan (preference test/acceptance test)

Uji penerimaan digunakan untuk melihat penilaian rasa suka seseorang

terhadap sifat atau kualitas suatu bahan. Dalam pengujian ini, panelis

memberikan tanggapan pribadi suka atau tidaknya terhadap sifat sensoris

bahan yang dinilai. Uji ini lebih subjektif dari uji pembedaan.

Tujuan uji ini adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat

sensorik dapat diterima oleh masyarakat tetapi hasil uji ini tidak dapat

menjamin suatu komoditi akan mudah dipasarkan. Uji penerimaan ini

meliputi: Uji kesukaan atau uji hedonik dan Uji mutu hedonik.

3. Uji Skalar

Dalam uji ini panelis diminta menyatakan besaran tanggapan yang

diperolehnya. Besarannya dapat diberikan dalam bentuk besaran skalar atau

(43)

26

yaitu, bentuk garis lurus berarah dengan pembagian skala dengan jarak yang

sama dan bentuk pita skalar deenga degradasi yang mengarah, contohnya

degradasi warna dari sangat putih sampai hitam. Uji ini meliputi: Uji skalar

garis, Uji skor (Scoring), Uji perbandingan pasangan (Paired comparation),

Uji perbandingan jamak (Multiple comparation), Uji penjenjangan atau uji

pengurutan (Ranking).

4. Uji Deskripsi (descriptive test)

Pengujian deskripsi merupakan penilaian sensorik dengan sifat-sifat

sensorik yang lebih kompleks karena mutu suatu komoditi umunya

ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik

dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu

sensorik secara keseluruhan. Sifat yang dipilih sebagai pengukur mutu

adalah yang paling peka terhadap perubahan mutu dan paling relevan

terhadap mutu.

2.6Panelis

Pelaksanaan dalam penilaian organoleptik diperlukan panelis untuk

menilai bertindak sebagai instrumen atau alat. Panelis ini terdiri dari orang atau

kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan

secara subjektif.

Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel

(44)

dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian

dalam melakukan penilaian organoleptik.

1. Panel Perseorangan

Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan

spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang

sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara

pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisis

organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah

kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian efisien dan tidak cepat fatik. Panel

perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi jangan yang tidak terlalu

banyak dan mengenali penyebabnya. Keputusan sepenuhnya ada pada seorang.

2. Panel Terbatas

Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi

sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor

dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh

bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil berdiskusi diantara

anggota-anggotanya.

3. Panel Terlatih

Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup

baik. Untuk menjadi terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan.

Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik.

(45)

28

4. Panel Agak Terlatih

Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk

mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan

terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat

menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya

5. Panel Tidak Terlatih

Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih

berdasarkan jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak

terlatih hanya diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat

kesukaan. Panel tidak terlatih biasanya dari orang dewasa dengan komposisi

panelis pria sama dengan panelis wanita.

6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada

target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan

dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panel Anak-anak

Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10

tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian

produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya.

Cara penggunaan panelis anak-anak harus bertahap, yaitu dengan

pemberitahuan atau dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta

responnya terhadap produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka

(46)

Keahlian seorang panelis biasanya diperoleh melalui pengalaman dan

latihan yang lama. Dengan keahlian yang diperoleh itu merupakan bawaan sejak

lahir, tetapi untuk mendapatkannya perlu latihan yang tekun dan terus-menerus.

2.7Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pikir yang digunakan sebagai acuan untuk

menyusun sebuah tulisan yang bersifat ilmiah. Adapun kerangka pikir yang dibuat

dalam pengerjaan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Kerangka Teori Konsumsi Beras Tinggi

Diversifikasi Pangan

Pembuatan Tepung dari Ubi Kayu

Diolah menjadi Beras

Analog Masyarakat

(47)

30

2.8Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara

abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian.

Konsep tersebut akan dibuat dalam bentuk kerangka untuk mempermudah

penyederhanaan pikiran dengan istilah untuk beberapa kejadian yang saling

berkaitan.

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dilihat pada bagan berikut ini.

Gambar 2. Kerangka Konsep

Dalam kerangka konsep di atas dapat dilihat apakah beras analog dari

tepung ubi kayu diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.

Uji Organoleptik ke masyarakat Pembuatan

(48)

31

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kesukaan ibu

terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur beras analog yang dibuat dari tepung ubi

kayu.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian pembuatan beras analog dilakukan di Laboratorium Pertanian

Universitas Katolik St. Thomas Medan dan penanakan beras analog dilakukan di

rumah peneliti di Jalan Medan-Sidikalang No. 226, Desa Tanjung Beringin

sedangkan pelaksanaan uji daya terima dilaksanakan di Desa Tanjung Beringin

Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada

bulan April sampai dengan bulan Juli tahun 2014.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah beras analog yang dibuat dari tepung ubi kayu.

(49)

32

3.4. Defenisi Operasional

1. Beras analog adalah bahan pangan yang dibentuk menyerupai beras

dibuat dari tepung ubi kayu.

2. Uji daya terima adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui

tingkat kesukaan ibu dengan mempergunakan skala hedonik tiga titik

sebagai acuan.

3. Uji daya terima terhadap warna adalah pengujian yang dilakukan

untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap warna yang tampak

pada beras analog dari tepung ubi kayu.

4. Uji daya terima terhadap aroma adalah pengujian yang dilakukan

untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap aroma beras analog

dari tepung ubi kayu.

5. Uji daya terima terhadap rasa adalah pengujian yang dilakukan untuk

mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap rasa beras analog dari

tepung ubi kayu.

6. Uji daya terima terhadap tekstur adalah pengujian yang dilakukan

untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap konsistensi

atau kekenyalan yang dihasilkan beras analog dari tepung ubi kayu.

7. Panelis adalah ibu yang diuji tingkat kesukaannya terhadap beras

(50)

3.5. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pisau

b. Pengupas buah

c. Mesin penggiling

d. Ayakan halus

e. Alat pencetak beras

f. Panci pengukus

g. Kompor

h. Piring dan sendok

Bahan yang digunakan adalah ubi kayu segar dari spesies Manihot

esculenta yang sering disebut dengan ubi Malaysia dengan kualitas yang baik dan

tidak busuk. Ciri ubi kayu jenis ini adalah batangnya bercabang tiga dan berwarna

putih, tulang daun menjari lima, umbi pendek dengan diameter kurang lebih 10

cm dan berwarna putih. Ubi kayu yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dari kebun warga desa Tanjung Beringin.

3.6. Tahapan Penelitian

3.6.1 Pembuatan tepung ubi kayu

Pembuatan tepung ubi kayu di dalam penelitian ini dari ubi kayu yang

segar dan tidak busuk. Ubi kayu dikupas, dicuci kemudian dirajang dengan

pengupas buah untuk menghasilkan irisan ubi kayu yang tipis. Hal ini sangat

(51)

34

kemudian dikeringkan dengan di bawah sinar matahari terik kurang lebih 16 jam.

Setelah kering ubi kayu digiling sampai halus kemudian diayak untuk

mendapatkan tepung ubi kayu yang halus dan tidak menggumpal. Proses

penepungan lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut.

Prosedur Pembuatan Tepung Ubi Kayu

Gambar 3. Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu

3.6.2 Pembuatan beras analog

Proses pembuatan beras analog dari tepung ubi kayu ada sebanyak 3 kali

percobaan. Pertama, tepung ubi kayu dicampur dengan air menjadi adonan seperti

adonan dalam pembuatan roti kemudian adonan dibentuk menjadi butiran kecil

menyerupai beras yang dijemur sampai kering. Beras analog yang dihasilkan

memiliki warna putih kekuningan, sangat mirip dengan beras tetapi teksturnya

rapuh dan hancur saat penanakan.

Kedua, prosesnya hampir sama dengan proses pembuatan beras seperti

yang pertama, bedanya pada proses yang kedua sebelum tepung ubi kayu

(52)

beras yang sama dengan percobaan pertama yaitu, tekstur beras rapuh dan hancur

saat penanakan.

Proses yang ketiga, tepung ubi kayu dan air yang sudah dibuat dalam

bentuk adonan dikukus terlebih dulu kemudian dibentuk menjadi butiran beras.

Pengukusan ini bertujuan untuk meningkatkan kelengketan adonan sehingga beras

yang dihasilkan teksturnya tidak rapuh. Pembuatan beras analog dalam penelitian

ini dibuat dengan menggunakan mesin pembuat bulir beras. Adonan tepung

berasal yang dimasukkan ke dalam alat pembuat beras ini akan menghasilkan

beras analog. (Gambar dapat dilihat di lampiran).

Gambar 4. Proses Pembuatan Beras Analog

(53)

36

Beras analog yang dikukus harus diaduk agar nasi yang dihasilkan matang dan

merata, pada bagian-bagian beras yang masih keras dapat sambil dipercikkan

dengan air sampai menghasilkan nasi yang matang merata. Nasi yang dihasilkan

dari beras analog tepung ubi kayu ini berwarna kuning kecoklatan dan memiliki

tekstur kenyal dan lengket.

3.6.4 Uji daya terima

Penilaian secara subjektif dilakukan dengan uji organoleptik.Uji

organoleptik adalah penilaian yang menggunakan indera. Jenis uji organoleptik

yang digunakan adalah uji penerimaan untuk menyatakan suka/tidaknya terhadap

suatu produk. Uji penerimaan dapat menggunakan panelis yang belum

berpengalaman, tidak ada sampel baku atau sampel pembanding, dan dilarang

mengingat sampel baku atau sampel pembanding.

Pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan secara subjektif suka atau

tidak suka dan juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan

disebut juga skala hedonic. Skala hedonic diubah ke dalam skala numerik dengan

angka menaik menurut tingkat kesukaan agar dapat dilakukan analisa statistik.

Uji hedonik mempergunakan skala hedonik sembilan titik sebagai acuan,

namun mempermudah panelis dan peneliti skala ini diperkecil menjadi 3 tingkatan

dengan skor yang paling rendah adalah 1 dan skor yang paling tinggi adalah 3.

Berdasarkan tingkatannya, tingkat penerimaan konsumen dapat diketahui sesuai

(54)

Tabel 3.1 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik

Organoleptik Skala Hedonik Skala Numerik

Warna Suka 3

Jenis panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang dipilih dari ibu-ibu

di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Umur panelis berkisar antara 25-50

tahun. Syarat-syarat menjadi panelis adalah :

a. Sehat lahir dan batin

dilaksanakan di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten

(55)

38

b. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah beras analog dari tepung ubi kayu yang

sudah ditanak sedangkan alat yang digunakan adalah formulir penilaian,

alat tulis dan air minum dalam kemasan.

3. Langkah-langkah Pada Uji Daya Terima

a. Mengunjungi ibu yang menjadi panelis ke rumahnya.

b. Membagikan beras analog dari tepung ubi kayu yang sudah ditanak, air

minum dalam kemasan, formulir penilaian dan alat tulis.

c. Memberikan penjelasan singkat kepada panelis tentang cara memulai dan

cara pengisian formulir.

d. Memberikan kesempatan kepada panelis untuk memulai dan menuliskan

penilaian pada lembar fomulir penilaian.

e. Meminta formulir yang telah diisi oleh panelis.

f. Setelah formulir penilaian dikumpulkan kemudian dianalisis dengan

menggunakan analisa deskriptif.

3.7 Pengolahan Data

Data yang sudah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan

analisis deskriptif persentase. Analisis ini dilakukan untuk melihat reaksi panelis

terhadap beras analog yang diujikan. Untuk mengetahui tingkat kesukaan dari

panelis dilakukan analisis deskriptif kualitatif persentase yaitu kualitatif yang

diperoleh dari panelis harus dianalisis dahulu untuk dijadikan data kuantitatif.

(56)

% = n/N x 100

Keterangan:

% = skor persentase

n = jumlah skor yang diperoleh

N = skor ideal (skor tertinggi x jumlah panelis)

Data skor persentase diubah menjadi nilai kesukaaan panelis dengan

analisis kualitatif, yaitu sebagai berikut.

Nilai tertinggi = 3 (suka)

Nilai terendah = 1 (tidak suka)

Jenis kriteria yang ditentukan = 3 kriteria

Jumlah panelis = 30 orang

a. Skor maksimum = jumlah panelis x nilai tertinggi

= 30 x 3 = 90

b. Skor minimum = jumlah panelis x nilai terendah

= 30 x 1 = 30

c. Persentase maksimum = skor maksimum/skor maksimum x 100%

= 90/90 x 100% = 100%

d. Persentase minimum = skor minimum/skor maksimum x 100%

= 30/90 x 100% = 33,3%

e. Rentangan = skor tertinggi – skor terendah

= 100% - 33,3% = 66,7%

f. Interval persentase = rentangan : jumlah kriteria

(57)

40

Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat interval

persentase dan kriteria kesukaan sebagai berikut.

Tabel 3.2 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan

Persentase (%) Kriteria Kesukaan

78 – 100 Suka

56 – 77,99 Kurang suka

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu
Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia
Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera Utara pada Tahun 2009 - 2013
Tabel 2.4 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Tepung Ubi kayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

tinggi yang ideal dan cocok adalah tepung terigu jenis lunak, tepung terigu jenis ini mengandung gluten yang rendah, karena pada dasarnya dalam pembuatan kue kering tidak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel-variabel apa saja dari karakteristik ibu rumahtangga mempunyai hubungan dengan pola menonton iklan

Terdapat program menumbuhkan nilai karakter religius di SDIT Hidayaturrahman, dengan latar belakang dari adanya program tersebut yaitu supaya dapat menciptakan

Garapan Tari Elang Mengipeh ini adalah sebuah tari bertema yang berbentuk tari kelompok dan dalam penampilannya didukung oleh 3 orang penari putri.. Dalam tari Elang

Untuk panduan dalam membuat makalah silahkan baca di cara membuat makalah Makalah bahasa indonesia sebenarnya sudah saya posting di artikel sebelumnya hanya saja tema dari

Pengertian Gigi Tiruan Tetap (GTT) adalah gigi tiruan yang menggantikan satu atau lebih gigi yang hilang yang dilekatkan pada gigi asli, biasanya digunakan dengan pontik yang

- Karena perusahaan pengalengan ikan ini sekarang - berada dalam taraf growth, maka adalah sangat baik t/ bila perusahaan mampu menambah alat penguapan dazw pemanasan akhir

tetap sebagai mata pencaharian. Sisi khas dari kerajinan emas di Hutu Sungai Selatan adalah bahwa alat perlengkapannya sebagian besar dapat dipenuhi dari daerah