• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Upacara Sacap Me Dan Penggunaan Musikpada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai Di Vihara Pekong Kelurahan Polonia Dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Agama Budha Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Deskriptif Upacara Sacap Me Dan Penggunaan Musikpada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai Di Vihara Pekong Kelurahan Polonia Dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Agama Budha Kota Medan"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF UPACARA SACAPME DAN PENGGUNAAN MUSIK PADA SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI DI VIHARA PEKONG KELURAHAN POLONIA DALAM BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA AGAMA BUDHA KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

EBEN EZER S NIM: 030707012

(2)

M E D A N

2009

STUDI DESKRIPTIF UPACARA SACAPME DAN PENGGUNAAN MUSIK PADA SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI DI VIHARA PEKONG KELURAHAN POLONIA DALAM BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA AGAMA BUDHA KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OLEH :

EBEN EZER S NIM: 030707012

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D

NIP.19651221 199103 1 001 NIP.19601118

198803 2 001

Dra.Frida Deliana,M.Si

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Panitia Ujian Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang

Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada

Hari : Tanggal :

FAKULTAS SASTRA USU Dekan,

(4)

Disetujui oleh :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

(5)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Masalah………...……….1

1.2. Pokok Masalah………...9

1.3. Tujuan dan manfaat ………...9

1.3.1. Tujuan...9

1.3.2. Manfaat ………10

1.4. Konsep dan Teori………...………..10

1.4.1. Konsep………..10

1.4.2. Teori………...13

1.5. Metode Penelitian...20

1.5.1 Kerja

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian Dan Informan……….23

BAB II ORANG TIONGHOA DI KOTA MEDAN DALAM KONTEKS INDONESIA...25

2.1. Sejarah Migrasi ……….………....25

2.1.1 Populasi Di Indonesia…...27

2.1.2 Suku-Suku Tionghoa Di Indonesia………...29

2.2. Kebudayaan...33

2.3 Sistem Kekerabatan………34

2.3.1 Perkawinan………...34

2.3.2 Pantang Pemilihan Jodoh……….35

2.3.3 Mas Kawin………...37

2.3.4 Adat Menetap Sesudah Menikah……….38

2.3.5 Perceraian……….39

2.3.6 Poligami………39

2.3.7 Kedudukan Wanita………...40

2.3.8 Kelompok Kekerabatan………41

(6)

2.6 Hari Raya Orang Tionghoa di Indonesia………..43

2.7 Adaptasi………43

2.8 Organisasi Sosial………..45

2.9 Di Medan dan Sumatera Utara………47

BAB III LATAR BELAKANG BUDAYA SACAPME SERTA GUNA DAN FUNGSINYA...51

3.1. Sejarah Gong xi Fat Cai ………...51

3.1.1. Tahun Baru Imlek………...51

3.1.2. Penanggalan Imlek………...56

3.1.3. Cap Go Meh ………...59

3.4 Kelenteng………63

3.5 Fungsi Upacara Sacapme Dalam Masyarakat Tionghoa………68

3.5.1 Sacapme Sebagai Upacara………..68

3.5.1.1 Fungsi Ritual………68

3.5.1.2 Fungsi Komunikasi………..69

3.5.1.3 Fungsi Perlambangan………...69

3.5.1.4 Fungsi Norma-Norma Sosial………70

3.5.1.5 Fungsi Reaksi Jasmani……….70

3.5.2 Sacapme Sebagai Sarana Hiburan………..70

3.5.2.1 Fungsi Penghayatan Estetis……….71

3.5.2.2 Fungsi Pengungkapan Emosional…………71

3.5.2.3 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial………71

3.5.2.4 Fungsi Kesinambungan Budaya…………..72

3.5.2.5 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat……….72

BAB IV DESKRIPSI UPACARA SACAPME SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI ………..73

4.1. Upacara Sacapme Pada Masyarakat Tionghoa………...73

4.2 Pendukung Pelaksanaan Upacara Sacapme………...76

4.2.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Upacara…………..76

4.2.2. Pemusik ………...79

4.2.3. Perantara …………..………...79

4.2.4 Umat Yang Sembahyang………80

4.2.5 Penonton……….80

4.3 Jalannya Upacara………...81

BAB V PENUTUP……….106

5.1. Kesimpulan ……….106

(7)

DAFTAR

(8)

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME. Karena hanya berkat dan rahmat dan karuniaNya lah penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “STUDI DESKRIPTIF UPACARA SACAP ME DAN PENGGUNAAN MUSIKPADA SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI DI VIHARA PEKONG KELURAHAN POLONIA DALAM BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA AGAMA BUDHA KOTA MEDAN”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Departemen Etnomusikologi pada Program Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya atas dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

(9)

tergenggam dan dapak membanggakan bapak, ibu, dan adik-adikku sekalian disatu hari nanti. Terima kasih atas segalanya.

2. Sumber inspirasiku Phoebe DeHoe. Terima kasih buat dukungan moral yang tak mungkin bisa kubalas. Buat pikiran-pikiran baru dan semangat yang selalu ada disaat pikiran buntu.

3. Prof.Drs.Syaiffuddin, M.A, Ph.D. Sebagai Dekan Fakultas Sastra yang memiliki tanggung jawab untuk memimpin segala sesuatu baik manajemen pendidikan maupun tanggung jawab keberhasilan mahasiswa/I dalam menyelesaikan pendidikan maupun lapangan pekerjaan selepas menuntaskan kewajiban sebagai mahasiswa/i.

4. Drs.M.Takari,M.Hum. Selaku dosen pembimbing satu, bahkan sebagai dosen wali yang telah setulus hati memberikan pemikiran-pemikiran cemerlang sehingga dapat membuka pemikiran penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tidak hanya berperan sebagai dosen dan pembimbing yang baik, namun dapat memposisikan diri sebagai kawan yang baik karena senantiasa membukakan pintu sewaktu penulis membutuhkan pemecahan masalah baik skripsi maupun kehidupan sehari-hari. Tidak akan terlupa, dan semoga tetap terjalin dikemudian hari.Maafkan saya karena tidak banyak bertukar pikiran dengan bapak.

(10)

memberikan masukan dan diskusi-diskusi untuk dapat mensistemasikan penyusunan skripsi ini.

6. Drs.Torang Naiborhu M.Hum sebagai dosen harian yang selalu memberikan masukan dan memiliki jiwa menghargai karya mahasiswa terlepas dari kekurangan yang sangat banyak.

7. Dra.Heristina Dewi, M.Pd. Sebagai Dosen dan juga sekretaris Departemen Etnomusikologi. Tidak banyak mata kuliah yang menpertemukan penulis dengan ibu. Namun banyak peran yang sangat membantu dalam hal birokrasi, namun kritik, saran dan pikiran-pikiran yang bersifat membangun selalu disampaikan kepada penulis dengan senyuman khasnya.

8. Kawan-kawan di komunitas BREAKTHRU, B-ONE, ROCK Medan Mall, GSJA yang mungkin tidak dapat saya sebutkan satu persatu.Terima kasih atas dorongan moral yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kawan-kawan seperjuangan Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi. Kita telah berbuat, kita mau belajar, jaga semangat. Jadikan ilmu kita, pikiran dan tenaga untuk berguna bagi masyarakat mayoritas.

(11)

11. Semua pihak yang telah membantu penulisan Skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi banyak pihak terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Desember 2009

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang sadar akan pentingnya waktu. Dimensi waktu yang dilalui manusia selalu menghasilkan berbagai peristiwa penting, baik itu untuk individu, keluarga, kelompok, maupun manusia di dunia secara mayoritas. Waktu-waktu penting dalam kehidupan manusia ini selalu pula diperingati, untuk meneruskan nilai-niai yang terkandung di dalamnya. Peristia penting itu di antaranya seperti hari kelahiran seseorang, hari kelahiran tokoh masyarakat, hari peperangan, hari kemenangan, peristiwa bencana alam, peristiwa pemberontakan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

(13)

Masehi ini berdasar kepada perputaran bumi mengelilingi matahari yaitu 365 hari lebih seperempat hari dalam setiap tahunnya.1

Dalam kebudayaan masyarakat China, baik di Republik Rakyat China, Taiwan, Hongkong, Malayais, Thailand, Filipina, Indonesia, dan semua daerah perantauan China, setiap tahunnya mereka merayakan tahun baru system

Selain itu, masyarakat Islam juga mengenal penanggalan hijriah, yang berdasar kepada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah di awal-awal perkembanan Islam. Kalender umat Islam ini berdasar kepada perputaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu system penanggalam umat Islam ini disebut sebagai system penanggalan qamariah (bulan).

Di samping itu masyarakat India juga mengenal sistem kalender tahun saka. Begitu juga dengan masyarakat China mengenal sistem penanggalannya sendiri yaitu kalender China yang setiap tahunnya diperingati dalam tahun baru Imlek. Begitu pula masyarakat Jawa memiliki system kalender yang disebut sistem kalender Jawa, yang secara cultural memiliki hubungan dengan system penanggalan Islam. Begitu pula masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara memiliki penanggalannya, yang kinimasih dapat dilacak melalui berbagai ritus dalam religi Parmalim.

1

(14)

kalenderna yang disebut perayaan Imlek. Perayaan ini pada malam hari sebelumnya disebut dengan sacapme.

Sacapme merupakan seni upacara ritual pertunjukan masyarakat Tionghoa

beragama Budha yang di dalamnya terdapat unsur-unsur, yang meliputi : musik dan trance. Dalam setiap pertunjukan sacapme disajikan dalam bentuk musikal dan

trance, yaitu suatu upacara kebudayaan dan agama yang memakai musik sebagai

media pengantar trance dan dialog-dialog khusus untuk memanggil dewa-dewa yang tidak dimengerti oleh masyarakat awam (Taufik Adi Susilo dkk.).

Secara harfiah sacapme dalam bahasa Mandarin artinya hari ketiga puluh, namun upacarasacapme bukan berarti upacara hari ketiga puluh, walaupun ada cap go meh yang artinya hari kelima belas dan sacap artinya tiga puluh. Sacapme

merupakan nama hari ataupun nama upacara penyambutan tahun baru Tionghoa. Gong xi fat cai mempunyai arti ucapan syukur dan doa kepada Tuhan (Dewa-dewa)

harapan agar di tahun depan mendapat rejeki lebih banyak. Acaranya meliputi sembahyang imlek, sembahyang kepada sang pencipta, dan perayaan cap go meh.

(15)

mereka tetap melestarikan kesenian tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat. Sampai saat ini upacara sacapme sudah mulai dikenal oleh masyarakat dan berkembang ditengah kesenian lain yang ada di Sumatera Utara.

Salah satu etnik minoritas di Sumatera Utara yang mempunyai beragam kesenian unik dari daerah asalnya adalah etnik Tionghoa. Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera juga diikuti dengan beberapa kesenian yang sampai saat ini masih tetap mereka pertunjukkan. Misalnya barongsai, liongsai, upacara cap go meh, tiau sang dan lain-lainnya yang diselenggarakan oleh penganut agama Budha.

Kesenian tersebut tetap eksis di beberapa daerah yang dihuni oleh komunitas orang Tionghoa di Sumatera Utara diantaranya seperti di Polonia, Belawan, Tanjung Balai, dan Siantar, walaupun kesenian tersebut biasanya diadakan tahunan.

(16)

sesepuh pelaksana upacara tersebut. Dari penjelasan mereka inilah penulis merasa tertarik dan tertantang untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang kesenian ini, setelah selesai wawancara penulis meminta alamat dari beberapa sesepuh pelaksana upacara. Beberapa hari kemudian penulis mendatangi mereka untuk melakukan penelitian sebagai bahan dasar untuk penulisan skripsi.

Dari beberapa buku tentang upacara-upacara Tionghoa, seperti Stefanus Akim, 2002 ;Taufik Adi Susilo, 1998, para pemulis buku ini menyatakan bahwa ciri yang paling menonjol dalam pertunjukan upacara sacapme di vihara adalah penggunaan lonceng dan gendang, serta trance dari pelaku upacara, dalam kesenian ini terdapat unsur mistik, pemakaian alat musik lonceng, iringan gendang yang diletakkan jauh di atas di dekat atap vihara dan memerlukan seperti tangga duduk untuk membunyikannya serta pola pukulan yang lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.

Gilbert Rouget (1961), menyatakan hubungan antara musik dan kedudukan trance sebagai berikut.

Musik dan trance bisa dikatakan saling berhubungan, karena mempunyai ciri keterikatan satu sama lain, misalnya ritme (degupan tekanan) musik yang jika dimainkan dengan motif yang berulang-ulang secara terus menerus dan dengan waktu tertentu dapat menyebabkan trance kepada pendengarnya. Trance adalah keadaan dimana seseorang berada dalam alam bawah sadarnya, hal ini menjadikan sangat jelas bahwa musik benar-benar sangat berperan dalam sebuah upacara ritual.

(17)

maupun yang diadakan di rumah. Menurut Stefanus Akim (2002), di Indonesia, sacapme merupakan bentuk kesenian rakyat yang ditampilkan untuk keperluan adat

tionghoa. Upacara sacapme yang ditampilkan pada saat malam tahun baru gong xi fat cai di vihara biasanya diikuti oleh masyarakat Tionghoa khususnya beragama

Buddha yang tinggal di sekitar vihara maupun yang tinggal di tempat lain tapi sering sembahyang di vihara itu.

Upacara sacapme yang diadakan di Vihara Pekong kelurahan Polonia memiliki perbedaan dengan upacara-upacara yang diadakan di rumah-rumah masyarakat Tionghoa lainnya. Upacara sacapme di Vihara Pekong diadakan untuk masyarakat di sekitarnya yang tidak mengadakan upacara di depan rumahnya. Perbedaan itu juga terdapat dalam beberapa aspek seperti: instrumen, musik pengiring, jenis persembahan, ukuran hio, dan materi jalannya upacara.

(18)

Upacara sacapme merupakan upacara ritual, karena dilakukan dalam upacara keagamaan untuk menyambut tahun baru. Biasanya masyarakat Tionghoa sendiri menyebut pertunjukan ini ‘sacapme’ saja tanpa ada kata upacara. Si pembawa upacara juga memanggil dewa untuk masuk dan berkomunikasi dengannya yang sering disebut dengan kesurupan atau trance.”

Instrumen musik pengiring yang digunakan untuk mengiringi upacara sacapme di vihara tidak menggunakan seperangkat peralatan yang rumit melainkan

hanya menggunakan gendang dan lonceng. Pukulan gendang dan lonceng yang dibawakan biasanya teratur atau bermeter, namun terkadang jika pemainnya dalam keadaan kesurupan maka ritme pukulan yang dimainkan lari dari meter (freemeter). Keterampilan dan keahlian yang dilakukan penabung gendang dan lonceng berupa sahut-sahutan seperti saling menjawab dan si pembunyi lonceng harus mendengar bunyi gendang untuk membuat bagian-bagiannya lebih teratur. Dalam setiap upacara, sesepuh pelaksananya terdiri dari 3 orang pemain, yaitu 1 orang penabuh gendang, 1 orang pembunyi lonceng, 1 orang pembakar hio, sementara masyarakat yang lain berdoa di luar dan di dalam vihara.

(19)

persembahan sesuai dengan profesi, umur, dan kesanggupannya dalam membeli persembahan.

Ritual diakhiri dengan membakar tiang hio besar di luar vihara serta mendoakan persembahan yang telah ditaruh pada meja persembahan di depan pintu masuk. Setelah itu baru jemaat bisa masuk ke vihara dan melanjutkan doanya disana. Di dalam hal musiknya, ritual sacapme di dalam vihara ini diiringi dengan instrumen gendang dan lonceng yang dibunyikan secara teratur oleh pembawa upacara.

Hal-hal tersebut sagat menarik perhatian saya untuk meneliti jalannya ritual sacapme di vihara dan instrumen musik yang dipakai dalam upacaranya. Juga

dikarenakan semakin pesatnya perkembangan dan kebudayaan di abad 20-an, menyebabkan banyak masyarakat umum maupun masyarakat Tionghoa sendiri tidak tahu bahkan kurang mengerti bagaimana ritual sacapme yang dilakukan di dalam vihara. Untuk itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan skripsi dengan judul Studi Deskriptif Upacara Sacapme dan Penggunaan Musik Pada Sembahyang Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai di Vihara Pekong

(20)

1.2 Pokok Masalah

Setelah penulis meneliti kesenian upacara sacapme ternyata banyak sekali yang dapat di jadikan sebagai bahan penelitian seperti: analisa musik, trance, durasi pertunjukan, instrumen dan musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan pembahasan kepada beberapa aspek saja walaupun secara umum tidak dapat dipisahkan maka penulis merasa perlu untuk memfokuskan perhatian kepada satu masalah utama yaitu: bagaimana mendeskripsikan jalannya pertunjukan upacara sacapme di vihara pekong kelurahan Polonia pada malam

tahun baru suku Tionghoa yang beragama Buddha, termasuk pertunjukan

musiknya. Masalah utama ini akan diperkuat dengan permasalahan tambahan yang

berkai rapat yaitu apa saja guna dan fungsi upacara sacapme pada masyarakat Tionghoa di kelurahan Polonia.

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui gambaran jalannya upacara sacapme yang dilakukan di

vihara pekong kelurahan Polonia.

(21)

c. Untuk memahami keberadaan budaya atau system eligi yang tercermin dalam upacara sacapme.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjadi bahan kajian banding terhadap berbagai seni pertunjukan khususnya yang terdapat di Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990:456). Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat

(1977:32), konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian (Koentjaraningrat,1977:36).

Dari hasil pengamatan, wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut:

(a) Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau

(22)

(1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang kesenian upacara Sacapme agar dapat dijadikan informasi bagi para pembaca yang membutuhkan.

(b) Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep di atas maka upacara sacapme dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.

(23)

(d) Istilah sacapme merupakan bahasa Tionghoa yang artinya malam sebelum tahun baru, atau yang biasa disebut imlek. Sacapme ditulis tergabung, bukan sacap-me yang dapat membuat artinya menjadi lain. (Stefanus Akim, 2002 : 45).

(e) Menurut Stefanus Akim (2002), sacapme mempunyai pengertian ritual persembahan dan permohonan perlindungan yang diadakan pada malam sebelum bergantinya hari ke tahun yang baru pada kalender Cina. Ritual ini mengandung unsur magis, karena adanya pemanggilan dewa-dewa pemberi rezeki dan membakar hio yang dipercaya dapat membawa berkah. Berkaitan dengan pengertian ritual sacapme tentunya menggunakan pengertian yang perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana adanya hubungan trance musik dalam pelaksanaan ritualnya. Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk kesenian ini adalah upacara sacapme, karena sesuai dengan bahasa asli tionghoa dan sama sekali tidak mengalami perubahan sampai saat ini.

(f) Trance adalah suatu keadaan dimana seseorang berada dalam

keadaan alam bawah sadarnya. Trance dapat diakibatkan oleh beberapa hal, sebagai contoh musik yang dimainkan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam batas waktu tertentu akan menyebabkan trance bagi pendengarnya. Trance yang penulis maksudkan disini adalah pembawa upacara yang kesurupan ketika berkomunikasi dengan dewa-dewa.

(24)

yang terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,1980:157-161). Masyarakat Tionghoa yang penulis maksudkan di sini adalah orang-orang Tionghoa yang sudah lama menetap di Jalan Pekong Kelurahan Polonia dan orang-orang Tionghoa kelahiran Sumatera atau yang sering disebut dengan orang-orang Cina.

1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10). Teori adalah landasan dasa keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

(1) Untuk mendeskripsikan pertunjukan musik dalam upacara sacapme, penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer (dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165). Menurut Singer

(25)

terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya.

Dalam kaitannya dengan pertunjukan religi sacapme, maka waktu pertunjukannya dilakukan pada malam hari menjelang tahun baru China atau disebut juga dengan Gong Xi Fat Cai. Waktunya sekitar pukul 23.00 sampai 01.00 WIB. Waktu ini tentu saja bias ianggap relatif panjang dibandingkan dengan pertunjukan musik dan tari hiburan di atas pentas. Pertunjukan sacapme ini juga terdiri dari masa awal atau persiapan, isi pertunjukan, dan akhir. Upacara ini juga merupakan sebuah institusi kuno dalam radisi masyarakat China yang diorganisasikan secara rapi dan sifatnya nonformal, yaitu digerakkan oleh masyarakat Tionghoa. Di Medan khususnya oleh masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha. Upacara ini didukung oleh beberapa orang sepert perantara trance, pemusik, dan orng-orang yang sembahyang, terutama orang Tionghoa yang

beragama Buddha. Yang menjadi penonton atau penikmat upacara adalah segenap mereka yang hadir. Tempat pertunjukan upacara ini adalah di Vihara Pekong Medan, yang mengindikasikan bahawa ini adalah pertunjukan riual bukan untuk tujuan utamanya hiburan atau estetika. Kesempatan atau waktu pertunjukan adalah setahun sekali menjelang tahun baru China. Teori ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam mendeskripsikan jalannya upacara sacapme paa Bab IV.

(26)

upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, dan (4) orang yang melakukan dan memimpin upacara. Hampir sama dengan teori pertunjukan Milton Singer, maka teori upacara Koentjaraningrat ini melihat komponen upacara lebih umum, yaitu tempat, waktu, benda, dan orang yang terlibat dala suatu upacara dalam kebudayaan. Di sini tampak bahwa Koentjaraningrat lebih memokuskan perhatian kepada upacara itu sendiri bukan pertunjukan budayanya seperti yang dikemukakan Milton Singer. Dalam teori ini Koenjaraningrat tidak begitu memokuskan perhatian pada seniman (pemain) dan penonton.

Sesuai dengan teori Koentjaraningrat ini, maka tempat upacara sacapme adalah di Vihaa Pekong, Kelurahan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara. Vihara ini adalah tempat beribadahnya umat Buddha di sekitar kelurahan ini atau Kota Medan secara umum. Kemudian saat upacara adalah malam menjelang tahun baru Gong Xi Fat Cai China, atau kadang disebut juga tahun baru Imlek. Benda-benda dan alat upacara adalah seperti kursi dewa, nisan perlabang dewa, gendering, lonceng besar, hio (yang kemudian dibakar), lilin, sesajian, dan lain-lainnya. Orang yang melakukan upacara ini adalah perantara, pemsik, dan umat Budha yang bersembahyang.

(27)

masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991-112-113).

(28)

Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.

Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry 1957:82), yaitu:

(29)

(2) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;

(3) Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem sosial tertentu.

Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.

(30)

menjelaskan bahwa ada perbedaan makna antara penggunaan (use) dan fungsi (function) music, seperti yang diuraikannya berikut ini.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanisms such as dancer, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is inseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment af a sense of security vis-vis the universe. "Use" them, refers to the situation in which music is employed in human action; "function" concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210).

Menurut Merriam, seperti kut ipan di atas, musik dipergunakan dalam situasi tertentu yang menjadi bagian darinya--fungsi ini dapat atau tidak dapat menjadi fungsi yang lebih dalam. Ia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai kontinuitas dan kesinambungan keturunan. Mekanismenya fungsional seperti itu adalah melalui penari, pembaca doa, ritual yang diorganisasikan, dan kegiatan-kegiatan seremonial. "Penggunaan" menunjukkan situasi musik dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan "fungsi" memperhatikan pada sebab yang ditimbulkan oleh pemakaiannya, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari apa yang dilayaninya.

(31)

lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10) pengintegrasian masyarakat.

Dalm konteks menganalisis upacara sacapme dan salah satu kegiatannya mengguanakan music, maka fungsi utama musik adalah untuk mengabsahkan upacara sacapme ini. Namun berbagai funsi sosiobudaya dapat dikaji dan dideskripsikan. Bahwa sacapme dan music yang digunakan memiliki fungsi untuk menjaga tradisi China dan ajaran Buddha. Upacara ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat Tionghoa. Kegiatan sosioreligius ini juga berfungsi untuk sarana pembelajaran agama dan kebudayaan. Upacara dan musinya juga berfungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai filsafat dan religi, dan seterusnya. Fungsi ini akan dibahas secara mendalam dalam Baba IV.

1.5 Metode Penelitian

(32)

penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

1.5.1 Kerja Lapangan 1.5.1.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi dan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat berupa buku-buku, makalah, artikel, skipsi-skripsi. Dalam hal ini penulis mempelajari buku tentang upacara-upacara tionghoa yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti Stefanus Akim (2002) dan Taufik Adi Susilo (1998). Studi kepustakaan juga penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pertunjukan barongsai. gong xi fat cai, sejarah Tionghoa dan persebarannya, dan lain

sebagainya.

1.5.1.2 Observasi

(33)

Pekong Polonia.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan demikian dalam mendeskripsikan upacara sacapme, penulis akan lebih cermat.

1.5.1.3 Wawancara

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.

1.5.1.4 Perekaman

(34)

1.5.1.5Kerja Laboratorium

Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Lokasi penelitian upacara Sacapme dalam tulisan ini adalah vihara pekong di jalan ternak kelurahan polonia kotamadya Medan. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini karena daerah ini merupakan salah satu daerah komunitas suku tionghoa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional tionghoa seperti tarian Barongsai dan masih banyak kesenian tionghoa lainnya.

Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang ritual sacapme ini. Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Aseng Lim (41 tahun) dan Acek Tian (71 tahun).

(35)
(36)

BAB II

ORANG TIONGHOA DI KOTA MEDAN

DALAM KONTEKS INDONESIA

2.1 Sejarah Migrasi

Suku bangsa satu et mereka disebut Tangren bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai oran

Leluhur orang Tionghoa Indonesia migrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dala dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di yang berkuasa di dan lalu lintas barang maupun manusia dari China ke Nusantara dan sebaliknya.

(37)

Republik Indonesia. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam

Sekelompok orang asal China yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja

memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah China menjad

2.1.1 Populasi di Indonesia

(38)

Dalam responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

Gambar 1.

(39)

(40)

seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.

2.1.2 Suku-suku Tionghoa di Indonesia

Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara China. Mereka termasuk suku-suku: (a dapat dimengerti, karena dari sejak zaman pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. pada zaman tersebut.

(41)

Ambon. Kantonis tersebar di Jawa (terutama di d (khususnya di

Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga disebut lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu

(42)

sebagian besar terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai barat Sumatera (Vasanty 1990:353).

Imigran Tionghoa lainnya adalah suku bangsa Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan Negeri China di daerah pedalaman Swatow di bagian timur Provinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton. Walaupun orang Hakka merupakan suku bangsa China yang paling banyak merantau ke seberang lautan, mereka bukan suku bangsa maritim. Pusat daerah mereka adalah Provinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang tandus. Orang Hakka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencaharian hidup. Selama berlangsungnya gelombang-gelombang imigrasi dari ahun 1850 samai 1930, oran Hakka adalah orang yang paling miskin di antara para perantau Tionghoa. Mereka bersama orang Teo-Chiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber mineral, sehingga sampai sekarang orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di distrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka, dan Biliton. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang Hakka mulai migrasi ke Jawa Barat, karena tertarik dengan perkembangan kota Jakarta dan karena dibukanya daeah Priangn bagi pedagang Tionghoa (Vasant 1990:353-354).

(43)

abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebahagian besar tertairk oleh tambang-tambang timah di Pulau Bangka. Mereka umumnya datang dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka—dan mereka datang dengan keterampilan tenis dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia mereka dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko-too besi, dan industri kecil. Orang Kanton ini lebih tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding orang Hokkian, Teo-Chiu, atau Hakka. Jadi orang Tionghoa perantau di Indonesia ini paling sedikitnya ada empat suku bangsa seperti terurai di atas.

2.2 Kebudayaan

(44)

Ciri khas dari rumah-rumah orang Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga. Pada rumah-rumah orang yang berada, terdapat banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok dan sebagainya.

Dalam tiap-tiap perkampungan Tionghoa selalu ada satu atau dua kuil. Bangunan ini biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya dengan ukiran-ukiran Tionghoa. Kuil-kuil ini bukanlah merupakan tempat beribadah, tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak dan tempat orang mengucapkan syukur. Untuk itu ia membakar hio (dupa) kepada dewa yang melindunginya. Besar kecilnya sebuah kuil tergantung pada kekuatan dari umatnya untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaannya. Kuil-kuil itu terbagi dalam tiga golongan yaitu: kuil Budha, kuil Tao dan kuil yang dibangun untuk menghormati dan memperingati orang-orang yang pada masa hidupnya telah berbuat banyak jasa bagi masyarakat.

2.3 Sistem Kekerabatan 2.3.1 Perkawinan

Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang, yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah.

(45)

seseorang. Upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia adalah tergantung pada agama atau religinya yang dianut. Karena itu upacara perkawinan orang Tionghoa di Indonesia amat berbeda satu dengan lainnya. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda pula dengan upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan.

Sampai pada awal abad ini perkawinan diatur oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak mengetahui calon kawan-hidupnya, mereka baru saling melihat pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi.

2.3.2 Pantang Pemilihan Jodoh

(46)

Peraturan lain ialah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki, tetapi adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Sering juga terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.

Bagi masyarakat Tionghoa terdapat anggapan bahwa seseoran itu baru dianggap dewasa atau “mejadi orang” bila ia telah menikah, karena itu upacara perkawinan haruslah mahal, rumit, dan agung. Perkawinan adalah suatu kejadian yang istimewa dalam kehidupan seseorang. Pelaksanaan upacara perkawinan tersebut berbeda-beda sesuai denan agama atau religi yang dianut. Dalam perkawinan terdapat suatu pantangan, yaitu antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga (she) yang sama, tidak diperbolehkan untuk menikah. Tetapi sejalan dengan perekmbangan zaman, kini larangan ini dibolehkan tetapi dengan syarat bukan berasal dari kerabat dekat.

(47)

Tempat tinggal setelah menikah bagi masyarakat Tionghoa adalah i rumah tua si suami. Ini berkaitan dengan tradisi Tionghoa sendiri, yakni anak laki-laki tertua merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap arwah leluhur, sedankn putra-putra yang lain tidak terikat dengan ketentuan tempat tinggal itu. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uksorilokal) atau keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka bentuk rumah tangga orang Tionghoa adalah keluarga luas, yang terbagi ke dalam dua bentuk: (1) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya dan saudara-saudaranya yang belum pernah kawin, (2) bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua degan anak-anak laki-laki beserta keluarga mereka masing-masing (Vasanty 1990:363).

2.3.3 Mas kawin

(48)

yang sangat buruk, karena dengan menerimanya, orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya.

Menjelang hari perkawinan keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim suatu utusan ke rumah keluarga si gadis untuk menyampaikan sebungkus ang-pao, beberapa potong pakaian dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya biasanya akan menolak pemberian ini dengan halus, tetapi keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian saja.

2.3.4 Adat Menetap Sesudah Nikah

Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya tidak terikat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

2.3.5 Perceraian

(49)

calon suami bagi anak perempuannya, biasanya menasehatkan anak itu untuk berusaha menghindarkan perceraian. Toh perceraian dapat terjadi karena si isteri tidak memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami. Di dalam hal inilah kelihatan bahwa si suami menjalankan hak istimewanya. Ada juga perceraian terjadi, karena sang isteri tidak mau tinggal bersama-sama isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.

2.3.6 Poligami

(50)

2.3.7 Kedudukan Wanita

Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu adalah sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian di dalam kehidupan di luar rumah. Keadaan demikian sekarang sudah ditinggalkan. Wanita dapat memasuki perkumpulan-perkumpulan, memasuki sekolah dan di dalam kehidupan ekonomi peranan wanita sebagai pembantu suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting.

Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak-anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan kadang-kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tuanya secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki-laki.

2.3.8 Kelompok Kekerabatan

(51)

2.4 Sistem Kemasyarakatan

Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah sangat menyolok karena golongan buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.

Tionghoa Peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena mereka menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.

(52)

2.5 Agama

Di Indonesia, umumnya orang menganggap bahwa orang Tionghoa itu memeluk agama Buddha. Memang di negara Cina sebagian besar rakyatnya memeluk agama Buddha, Kung Fu-tse dan Tao, Kristen, Katolik, atau Islam.

2.6 Hari Raya Orang Tionghoa Di Indonesia

Tahun baru imlek atau tahun baru tradisional orang Cina yang berdasarkan sistem penanggalan bulan, kini di negara Cina disebut Pesta Musim Semi. Dengan pesta ini dirayakan hidupnya kembali dari alam semesta, sesudah berada dalam keadaan mati selama musim dingin yang gelap dan suram itu. Tahun baru Imlek ini di Indonesia oleh sebagian orang dirayakan. Pada hari itu dilakukan Sembahyang Tahun Baru di kuil atau dimuka meja abu. Sembahyang tahun baru ini harus diselenggarakan dengan sebersih-bersihnya. Bukan saja bersih lahir, melainkan juga bersih batin.

2.7 Adaptasi

(53)

penting untuk menjamin kerja sama yang harmonis antara golongan ini dengan orang Indonesia lainnya.

Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat, antara lain karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dari suku-bangsa atau golongan lain yang dihadapi dan karena perasaan superioritet pada individu-individu dari satu golongan terhadap golongan yang lain.

Di dalam pengerahan potensi dari tiap-tiap suku-bangsa atau golongan maka haruslah kita melihat potensi yang ada pada mereka. Golongan keturunan Tionghoa di Indonesia dapatlah kita anggap mempunyai suatu bagian besar di antara mereka, yang memiliki kepandaian dalam perdagangan. Kepandaian itu perlulah kita manfaatkan dalam sektor-sektor pembangunan ekonomi sekarang ini. Sifat keuletan dalam berusaha adalah memang suatu sifat yang dinilai tinggi di antara pedagang-pedagang keturunan Tionghoa itu. Sifat inilah perlu diperdalami dan di-contoh.

(54)

memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.

2.8 Organisasi Sosial

(55)

Pada mulanya orang Tionghoa di beberapa kota besar mendirikan perkumpulan kamar dagang yang disebut sia hwe. Kamar dagang ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang dari Tionghoa yang bekerja untuk kepentingan anggota-anggotanya mengurus pajak.

Selain itu dikenal perkumpulan yang berdasarkan suku bangsa di Negara China. Di Medan terdapat beberapa perkumpulan China sesuku bangsa tersebut, antara lain Club Hokkian, Club Kuan Tung, Pat Soet Hwee Kwan, dan lain-lain. Nama perkumpulan ini diambil dari sastra kuno yang menandakan tempat kuno, seperti untuk marga Tan maka perkumpulan Tan diberi nama In Zuan, yang merupakan nama historis dari distrik di Provinsi Fu Khien (Hokkian). Anggota In Zuan hanya untuk mereka yang menyandan marga Tan tersebut dan perkumpulan ini khusus untuk mereka yang memiliki kelompok agama yang sama yaitu Buddha.

Demikianlah gamabaran singkat tentang kedatangan orang-orang Chian ke Sumatera Utara, yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang, dan ulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli Maatschappij. Sebagian besar lainnya datang sebagai imigran. Sebagian di antara mereka ini ada yang kembali ke Negara Republik Rakyat China, namun sebagian besar menetap di Sumatera Utara dan menjadi warga negara Republik Indonesia beserta keturunannya, dengan menggunakan nama-nama yang beridentitas Indonesia, di samping nama Tionghoanya.

(56)

Di Sumatera Utara orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan 0enyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.

Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekali gus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup (eksklusif) dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka. Melalui tulisan ini, penulis akan memaparkan keberadaan umum masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara.

(57)

menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terleta di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan yang demikian ini didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang diteukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi.

(58)

timbul kegoncangan-kegoncangan sosial ekonomi yang hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk, maka telah banyak pula di antara orang-orang di Negeri China yang menjadi imigran ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekali pun. Seorang dari mereka yang mengikuti perjalanan Laksmana Mahmud Cheng Ho ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak orang China yang menetap di sini (Z. Pangaduan Lubis 1990:5).

Selanjutnya dalam abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak mencukupi, maka didatangkanlah dalam jumlah yang banyak tenaga buruh China dari Singapura dan Penang. Pada tahun 1870 Perkebunan embakau Deli Maatcchappij (1809) mendatangkan 4.000 orang tenaga buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan (Tengku Luckman Sinar 1991:200).

(59)
(60)

BAB III

LATAR BELAKANG BUDAYA UPACARA SACAPME

SERTA GUNA DAN FUNGSINYA

3.1 Sejarah Gong Xi Fat Cai 3.1.1 Tahun Baru Imlek

Hari raya ini merupakan hari pertama dalam bulan pertama dari sistem kalender yang dipakai oleh orang Tionghoa. Imlek merupakan sistem kalender lunisolar yaitu gabungan dari sistem kalender bulan dan kalender matahari. Tahun Baru Imlek dikenal juga sebagai Tahun Baru China dan Festival Musim Semi (Chun jie). Perayaan tahun baru ini tentunya tidak bisa lepas dari segala mitos dan ritual yang melekat kuat di dalamnya.

(61)

memainkan barongsai untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut datangnya musim semi.

Imlek secara tradisi telah diperingati oleh masyarakat Tionghoa seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Dari buku kuno diketahui Imlek dirayakan di Tiongkok 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Secara tradisi penyambutan Imlek diisi dengan aktivitas menjadi baru mulai dari mendandani rumah dan dirinya sendiri dengan pakaian dan semangat baru. Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin artinya datangnya tahun baru mengubah

segalanya menjadi baru. Warga Tionghoa kini menghabiskan hari-harinya mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan angpao. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan atau mencat rumah.

(62)

pemeluk agama Khong Hu Cu, meski kemeriahannya tak semencolok pada Malam Tahun Baru Imlek, dan Cap Go Meh atau hari ke-15 Tahun Baru Imlek.

Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun imlek yang disebut Sacapme. Acara persembahyangan Tahun Baru sendiri, dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya.

Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau sacapme, seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi. Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang

sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu.

(63)

Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus

merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru.

Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada malam tahun baru setelah berdoa dan makan malam, tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah.

Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, pertama yang akan dilakukan adalah sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Bagi yang tidak punya altar, akan ke klenteng terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat. Selain itu bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main barongsai yang mengandung arti mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Seperti tidak menyapu dan tidak membuang sampah yang katanya akan mengusir rejeki keluar rumah.

(64)

sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.

Pada hari kedua tahun baru adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau

Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga,

mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas.

Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Warga Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh.

(65)

dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru.

Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting adalah pergi ke Vihara, berdoa menghaturkan kasih dan persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah. Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua.

3.1.2 Penanggalan Imlek

Penanggalan Imlek Perhitungan penanggalan Imlek semula didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calender), dan telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Uniknya perhitungan penanggalan ini juga didasarkan atas peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calender), seperti penanggalan masehi. Maka terjadi penyesuaian yaitu melalui mekanisme yang dikenal sebagai ‘Lun Gwee’ (bulan ulang) atau penyisipan 2 (dua) bulan tambahan setiap 5 (lima) tahun. Dengan adanya penyesuaian ini maka lebih tepat disebut penanggalan Imyanglek (sistem lunisolar).

(66)

adalah He Lek, yakni Penanggalan Dinasti Ke / Hsia (2205-1766 SM), di mana pertama kali mengenalkan penanggalan berdasarkan solar, dan penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni akhir musin dingin. Nabi Khongcu yang hidup pada zaman Dinasti Cou / Chin (1122-255 SM) merasakan bahwa sistem penanggalan yang dipakai Dinasti Ciu kurang mempunyai nilai praktis, yaitu karena tahun baru jtuh jatuh pada hari Tangcik (Tung Ze).Saat itu hari tengah musim dingin maka pendapat Nbi Khongcu, penanggalan Dinasti He yang paling tepat, hal itu dapat diketahui dari Sabda Nabi Khongcu : “Pakailah penanggalan Dinasti He …” Kitab Sabda Suci (Lun Gi / Lun Yu) jilid XV : 11.

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Nabi Khongcu adalah kesejahateraan umat manusia. Pada kehidupan zaman dahulu, penetapan saat tahun baru memegang peranan yang amat penting, karena penetapan tersebut menjadi pedoman bagi semua orang untuk mempersiapkan segala pekerjaan untuk tahun yang berjalan, terutama para petani yang akan mulai bercocok tanam pada saat akhir musim dingin dan memasuki musim semi. Penanggalan ini sangat cocok bagi petani karena penanggalan tersebut perhitungan musim, peredaran matahari, serta uraian penjelasan mengenai iklim, maka penanggalan tersebut jadi populer dan disebut juga Long Lek (penanggalan petani).

(67)

dianjurkan oleh Nabi Khongcu, yaitu He Lek resmi dipakai semua orang, baik masyarakat maupun pemerintahan dan tahun pertamanya dihitung dari tahun kelahiran Nabi Khongcu, yaitu tahun 551 SM, dengan demikian penanggalan Imlek dan penanggalan masehi berselisih 551 tahun. Oleh karenanya jika tahun masehi saat ini 1999, maka tahun Imleknya menjadi 1999 + 551 = 2550. Karena dihitung sejak Nabi Khongcu lahir maka tahun Imlek lazim disebut sebagai Khongculek.

Sistem penanggalan Imlek ini digunakan juga dalam kehidupan keagamaan di antara umatnya di Jepang, Korea, Vietnm, Taiwan, Burma, dan negara lainnya meskipun dengan nama yang diucapkan berbeda-beda tetapi merayakan hari tahun barunya sama. Bahkan di lingkungan agama Budha Sekte Mahayana yang berkembang di kawasan Asia Timur juga menggunakan penanggalan Imlek guna menentukan hari-hari suci keagamaannya.

(68)

ditegaskan bahwa Tahun Baru Imlek Khongculek 2550 yang benar adalah 16 Februari 1999.

3.1.3 Cap Go Meh

Cap Go Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15.

(69)

umumnya dimulai dari Kelenteng. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah “Tri Dharma” (Buddhism , Taoism dan Confuciusm).

(70)

kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.

Di depan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang menggunakan topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut Shi Zi Lang dan penari inilah yang menggiring barongsai untuk meloncat atau bermain atraksi serta memetik sayuran. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut Xiao Mian Fo.

Pada awalnya tarian barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat. Jadi budaya atau kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dimanfaatkan atau bersinergi dengan lembaga keagamaan.

(71)

usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.

Tarian naga (liong) disebut “Nong Long”. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Naga di Cina dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di Cina merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Cina menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang Cina akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.

(72)

mengadakan upacara menjemur naga yang dibuat dari tanah liat untuk membalas dendam atau mendemo sang Naga yang tidak mau menurukan hujan.

3.4 Kelenteng

(73)

Gambar 2

(74)

Gambar 3

(75)
(76)

Gambar.5

(77)

3.5 Fungsi Upacara Sacapme Dalam Masyarakat Tionghoa

(78)

estetis. Ketiga fungsi upacara sacapme tersebut akan penulis jelaskan secara lengkap seperti pembahasan berikut ini:

3.5.1 Sacapme Sebagai upacara

Dalam penyajian sacapme untuk upacara terdapat beberapa fungsi, yaitu: fungsi ritual, fungsi komunikasi, fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, fungsi reaksi jasmani, fungsi perlambangan. Dalam hal ini penulis akan menjabarkan fungsi upacara sacapme satu persatu.

3.5.1.1Fungsi Ritual

Para tetua yang memainkan genderang dan lonceng memukul dalam keadaan trance sambil berkomunikasi dengan dewa, diyakini umatnya dapat mengantarkan permohonan maupun doa syukur kepada para dewa supaya sepanjang tahun yang akan datang umatnya akan lebih diberkati.

(79)

Dengan adanya trance para tetua maka umat yang sembahyang dapat langsung berinteraksi juga dengan para dewa melalui medium para tetuanya. Lihat gambar di bawah ini:

Gbr.23

tetua yang sedang berkomunikasi dengan para dewa

Menurut kepercayaan orang-orang Tionghoa medan, setelah mereka berkomunikasi dengan para dewa maka diyakini sepanjang tahun mereka akan mengalami kelimpahan berkat dan terhindar dari marabahaya.

3.5.1.3 Fungsi Perlambangan

(80)

3.5.1.4 Fungsi Norma-norma sosial

Penyajian sacapme dalam upacara malam tahun baru imlek masyarakat Tionghoa yang ada di jalan pekong menunjukkan bahwa upacara sacapme dapat sebagai penghubung antara umat yang melakukan sembahyang dengan para tetua vihara maupun dengan masyarakat sekitar vihara. Hal ini menunjukkan hubungan yang harmonis dan sudah tertata dengan baik dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di jalan Pekong kelurahan Polonia.

3.5.1.5 Fungsi Reaksi Jasmani

Dalam setiap upacara tercipta suasana kemeriahan dan semua umat dapat merasakan kemeriahan tersebut sehingga masyarakat dapat langsung berinteraksi dengan umat yang sembahyang. Terkadang masyarakat juga sering ikut berteriak-teriak untuk lebih memeriahkan suasana pada saat upacara telah selesai.

3.5.2 Sacapme Sebagai Sarana Hiburan

(81)

pengintegrasian masyarakat.Dalam hal ini penulis akan menjabarkan fungsi upacara sacapme satu persatu.

3.5.2.1 Fungsi Penghayatan Estetis

Sacapme sebagai penghayat estetis dapat dilihat dari pertunjukan upacara yang disajikan mampu mempresentasikan keindahan kesenian tradisional. Hal tersebut dilihat dari atraksi yang dilakukan para tetua yang memainkan alunan genderang dan lonceng dengan teratur dan bersemangat yang dapat menambah maraknya suasana upacara Hal ini dapat menumbuhkan minat generasi muda untuk tetap menjaga dan melestarikan kesenian tradisional yang menyimpan banyak keindahan.

3.5.2.2 Fungsi Pengungkapan Emosional

Upacara sacapme ini sangat dinanti-nanti oleh masyarakat karena pada setiap upacaranya masyarakat dapat menonton secara bebas tanpa ada batas dan hambatan. Dengan menyaksikan upacara sacapme juga dapat mengobati rasa rindu umat Tionghoa terhadap kampung halaman dan budaya asli Tionghoa.

3.5.2.3 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial

(82)

pada saat peresmian gedung atau tempat, dan pada peringatan Hari Besar Nasional, menyambut para petinggi Negara dan Pemerintahan.

3.5.2.4 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan

Masyarakat Tionghoa yang terdapat jalan pekong kelurahan polonia adalah masyarakat yang tetap ingin mempertahankan kebudayaannya, oleh sebab itulah masyarakat Tionghoa tersebut melestarikan kebudayaan mereka dengan cara mendirikan balai kesenian Tionghoa yang bertempat di vihara itu juga untuk melatih dan mendidik generasi muda agar lebih mencintai budayanya sendiri. Masyarakat Tionghoa melakukan pertunjukan kesenian lainnya diberbagai acara.

3.5.2.5 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat

(83)

BAB IV

DESKRIPSI UPACARA SACAPME

SEMBAHYANG MALAM TAHUN BARU GONG XI FAT CAI

4.1 Upacara sacapme pada masyarakat Tionghoa

Secara umum upacara sacapme adalah upacara penyambutan malam tahun baru Gong Xi Fat Cai (Imlek) masyarakat Tionghoa pada umumnya.Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir denga tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".

Di Indonesia, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Cina sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan

Gambar

Gambar 2 Suasana diluar kelenteng
Gambar 3 Ibadah di Depan Dewi Kwan In
gambar di bawah ini:
Gambar 6.
+4

Referensi

Dokumen terkait