Muhammad Salman : Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008, 2009
TESIS
Oleh
MUHAMMAD SALMAN
077024027/SP
PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh
MUHAMMAD SALMAN
077024027/SP
PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008 Nama Mahasiswa : Muhammad Salman
Nomor Pokok : 077024027
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Drs. Bengkel Ginting, M.Si) (Drs. Henry Sitorus, M.Si)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)
Telah diuji pada
Tanggal 15 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Drs. Bengkel Ginting, M.Si Anggota : 1. Drs. Henry Sitorus, M.Si
2. Drs. R. Hamdani Harahap, M.Si 3. M. Arifin Nasution, S.Sos, MSP 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA
ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN 2008
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.
Medan, Agustus 2009
Penulis,
Muhammad Salman
i
untuk mensejahterakan masyarakat. Untuk itu, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting mengingat masyarakatlah yang memiliki informasi mengenai kondisi dan kebutuhannya. Oleh sebab itu, masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD. Artinya mempunyai peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk mendengar, menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk merumuskan program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat penyerapan aspirasi masyarakat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2008 dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Tamiang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Paradigma yang digunakan adalah paradigma interpretatif dengan pendekatan fenomenologi. Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah sumber data. Penetapan subjek bersifat Purposive Sampling (sampel bertujuan), dimana informan dipilih berdasarkan tingkat keterlibatan dan penguasaannya dengan masalah dan tujuan penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan petunjuk wawancara (interview guide) dan pengkajian dokumen kemudian dianalisis dengan cara menyusun, menghubungkan dan mereduksi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyerapan aspirasi masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 adalah sangat rendah. Hal ini didasari pada fakta bahwa dari 1.172 kegiatan yang terdapat pada Belanja Langsung 8 (delapan) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 hanya 174 kegiatan atau 15% yang merupakan kegiatan yang berdasarkan pada usulan masyarakat, sedangkan 549 kegiatan (47%) merupakan kegiatan usulan SKPD dan 449 kegiatan (38%) merupakan kegiatan lanjutan. Ditinjau dari tingkat penyerapan anggaran, dari jumlah anggaran sebesar Rp. 259.107.252.005,- yang merupakan aspirasi masyarakat adalah sebesar Rp. 43.385.421.805,- atau 16,74%. Sedangkan Rp. 153.692.246.067,- atau 59,32% merupakan usulan SKPD dan sebesar 23,94% atau sebesar Rp. 62.029.584.133,- untuk kegiatan lanjutan. Faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan aspirasi diatas adalah ; (1) ketersediaan anggaran yang terbatas, (2) kepentingan politik, (3) kualitas usulan, dan (4) tingkat kepentingan (urgensi).
ii
becomes very important considering the community is who has information about the condition and needs. Therefore, the community has the opportunity to convey the aspirations and demands for the budget in APBD. This means haveing a vast opportunity for district government and parliament to listen, concentrate and fight for they aspirations and needs to formulate a program that vastly improves the services and community welfare. Based on this, the formulation of a problem in this research is how the absorption level of the community aspirations in Revenue and Expenditure Budget District (APBD) of Aceh Tamiang District year 2008 and factors that affect the absorption level of the community aspirations.
Research conducted in the District of Aceh Tamiang. Type of research is qualitative research. The Paradigm used is interpretative paradigm with the phenomenology approach. The subject in this research is the source data. The determination of subject is Purposive Sampling, where the informants selected based on the level of involvement and knowledge with the problem and research purposes. Data collected through in-depth interviews using an interview guide and document study then analysis the data with arrange, connect and reduction the data.
Results of research indicate that the absorption level of the aspirations of the community in Aceh Tamiang District Year 2008 is very low. This is based on the fact that from 1.172 projects of the Shop Direct from 8 (eight) The Unit of Work Area (SKPD) in Aceh Tamiang District Year 2008 only 174 projects or 15%, which is based on the community proposed, while the 549 projects (47%) are the projects by SKPD proposed and 449 projects (38%) is the continued projects. Reviewed the absorption level by the budget, from Rp. 259,107,252,005, - which is the community aspirations is Rp. 43,385,421,805, - or 16.74%. While Rp. 153,692,246,067, - or 59.32% is SKPD proposed and 23.94% or Rp. 62,029,584,133, - for continued projects. Factors that affect the absorption level of the community aspiration is; (1) the availability of a limited budget, (2) political, (3) the quality of the proposals, and (4) the level of interest (urgency).
iii
rahmat dan karunia-Nya sehingga dengan segala keterbatasan penulis mampu
menyelesaikan sebuah penelitian yang dirangkum dalam sebuah tesis dengan judul
Analisis Penyerapan Aspirasi Masyarakat Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008.
Selawat dan salam, kepada Rasullullah SAW beserta keluarga dan sahabat
beliau sekalian, yang telah banyak berkorban untuk memperbaiki akhlak ummat serta
menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan keseluruh penjuru dunia.
Dalam melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor USU.
2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik dan Ketua Program Studi Pembangunan USU serta Penguji.
3. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, Selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan
USU.
4. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.Si, selaku Ketua Pembimbing dan Ketua
Penguji. Terima kasih atas ilmu, bimbingan dan waktunya.
5. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si, selaku Pembimbing dan Penguji. Terima kasih
iv USU.
9. Bapak Drs. H. Abdul Latief, selaku Bupati Aceh Tamiang beserta seluruh jajaran
dan staf. Terima kasih atas bantuannya sehingga penulis dapat melanjutkan dan
menyelesaikan studi ini dengan baik.
10. Bapak Drs. H. Arman Muis, Anggota DPRD Aceh Tamiang.
11. Bapak Ir. T. Insyafuddin, Anggota DPRD Aceh Tamiang.
12. Bapak Drs. Zulkifli, MM, selaku Kepala Bappeda Kabupaten Aceh Tamiang.
13. Bapak Kepala Tata Usaha dan Para Kabid Bappeda Kabupaten Aceh Tamiang.
14. Bapak Ir. Adi Darma, M.Si (Abu), selaku Kepala Dinas Pendapatan, Keuangan
dan Aset Kabupaten Aceh Tamiang. Terima kasih buku APBD nya.
15. Bapak Lazwardi H, SE, MAP, selaku Kabid Anggaran Dinas Pendapatan,
Keuangan dan Aset Kabupaten Aceh Tamiang. Terima kasih untuk
masukan-masukannya tentang penyusunan Anggaran.
16. Ibu Rosdiana Sari, SE (Kasubbag. Umum Bappeda) dan Neng. Terima kasih ya,
karena walau kuliah tapi semua administrasi kepegawaianku tetap lancar.
17. Bang Budi, Kak Lia, Dek Balkis dan seluruh kawan-kawan di Bappeda (yang
namanya tidak disebut jangan marah ya...), terima kasih atas bantuannya dalam
v
19. Ibunda Tersayang Jumilah yang telah banyak berkorban untuk membesarkan dan
mendidik dengan penuh kasih sayang dan do’a yang tulus. Ibu....engkau akan
selalu menjadi yang terbaik dihatiku, jangan pernah berhenti untuk mendo’akan
anakmu agar lebih berguna dan menjadi anak yang shaleh.
20. Kak Yong (Lindayani), Kak Ngah (Salwani) dan Kak Lang (Eliyani) dan seluruh
keluarga besar. Terima kasih atas do’a dan dukungannya.
21. Mertuaku Drs. Nurdin Abdullah dan Ibu Farida Hanum. Terima kasih atas do’a
dan dukungannya.
22. My lovely beutiful wife “Rita Puspita”. Terima kasih sayang, engkau telah
menjadikanku pendamping hidupmu dan selalu setia mengiringi setiap langkahku
dalam suka dan duka tanpa pernah mengeluh. Maaf kalau engkau sering
kutinggalkan untuk kuliah dan terima kasih atas do’a dan dukungannya terutama
dalam menyelesaikan tesis ini.
23. Anak-anakku tersayang Azra Hulwana Syifa dan Aisha Humaira. Anugerah
terindah yang telah dititipkan Allah SWT. Maaf kalau Ayah belum bisa menjadi
yang terbaik buat kalian, semoga kalian menjadi anak yang shaleha.
24. K’ Has, K’ Ani dan B’ Jufri (MSP juga ni yee). Terima kasih atas kebersamaan
vi
waktu jumpa pembimbing dan pulang selama tinggal di Jl. Amal).
26. K’ Helen dan D’ Na (kawan seperjuangan dari Tamiang). Makasih atas semua
bantuannya (terutama urusan administrasi dan uang kuliah...heeee).
27. Seluruh kawan seperjuangan di MSP Angkatan XII. Terima kasih telah
menjadikanku teman-teman kalian.
28. Seluruh informan penelitian serta semua pihak yang telah berpartisipasi baik
secara langsung maupun tidak dalam penelitian ini, maaf kalau yang namanya
tidak disebutkan secara khusus.
Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan dimasa datang
dengan harapan kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua...Amin.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
vii
N I M : 077024027
Tempat/Tgl. Lahir : Seruway, 13 Maret 1979
Alamat : Jl. Malikul Adil No. 3c Kel. Matang Seulimeng
Kec. Langsa Kota, Kota Langsa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Status Perkawinan : Kawin
Nama Isteri : Rita Puspita
Nama Anak : 1. Azra Hulwana Syifa
2. Aisha Humaira
Nama Orang Tua :
- Ayah : (Alm.) Sahbuddin
- I b u : Jumilah
Pendidikan : 1. SD Negeri Seruway, Seruway (1986 – 1992)
2. SMP Negeri Seruway, Seruway (1992 – 1995)
3. SMK Negeri 1 Langsa, Langsa (1995 - 1998)
4. Universitas Samudera (Unsam), Langsa (2000 - 2004)
viii
2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan... 19
2.4. Aspirasi Masyarakat dalam APBD ... 21
2.5. APBD... 32
2.5.1. Mekanisme Penyusunan APBD ... 32
2.5.2. Regulasi dari Pengesahan APBD... 34
2.5.3. Kualitas Kinerja dalam Perencanaan dan Penyusunan APBD ... 35
2.5.4. Penyusunan APBD... 38
2.5.5. Proses Perencanaan dan Penganggaran Daerah ... 40
ix
3.4.Informan... 46
3.5.Teknik Pengumpulan Data... 47
3.6.Metode Analisa Data... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
1.3.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50
1.3.1. Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang ... 50
1.3.2. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Tamiang ... 55
1.4.Visi, Misi dan Prioritas Pembangunan Tahun 2007-2012 ... 57
1.4.1. Visi Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007-2012 ... 57
1.4.2. Misi Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007-2012 ... 59
1.4.3. Prioritas Pembangunan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007-2012... 61
1.5.Identitas Informan ... 64
1.5.1. Komposisi Informan ... 65
1.5.2. Komposisi Informan Berdasarkan Strata Pendidikan ... 65
1.5.3. Komposisi Informan Berdasarkan Pengalaman pada Penyusunan APBD ... 66
1.6.Dasar Hukum Penyusunan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ... 67
1.6.1. Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah dengan kebijakan Pemerintah Daerah ... 69
1.6.2. Prinsip dan Kebijakan Penyusunan APBD dan Perubahan APBD ... 71
1.6.3. Teknis Penyusunan APBD ... 76
x
Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008... 100
1.9.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Aspirasi Masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ... 132
BAB V P E N U T U P ... 142
5.1.Kesimpulan ... 142
5.2.Saran ... 145
DAFTAR PUSTAKA ... 150
xi
1. Jalur Pengarusutamaan Partisipasi... 30
2. Luas dan Nama Kecamatan Tahun 2007 Di Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang... 56
3. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57
4. Unsur Informan... 64
5. Komposisi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 65
6. Komposisi Informan Berdasarkan Strata Pendidikan... 65
7. Komposisi Informan Berdasarkan Pengalaman pada Penyusunan APBD ... 66
8. Perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2003 s/d 2008... 78
9. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Manyak Payed ... 86
10. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Bendahara... 87
11. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Banda Mulia ... 88
12. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Seruway... 89
13. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Rantau ... 90
14. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Karang Baru ... 91
15. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Sekrak... 92
16. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Kota Kuala Simpang ... 93
17. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Kejuruan Muda... 94
18. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Tenggulun ... 95
19. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Tamiang Hulu... 96
20. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Bandar Pusaka... 97
21. Rekapitulasi Hasil Musrenbang Kecamatan Tahun 2007... 98
xii
xiii
1. Sendi Anggaran Pro Rakyat dan Prasaratnya ... 27 2. Skema Kerangka Pemikiran ... 42 3. Grafik Perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun
Anggaran 2003 s/d 2008... 80 4. Grafik Porsi Masing-masing Bidang Usulan Masyarakat pada
Musrenbang Kecamatan Tahun 2007 ... 99 5. Grafik Jumlah Aspirasi Masyarakat yang ditampung dalam APBD
Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...104 6. Grafik Perbandingan Tingkat Penyerapan anggaran pada APBD
Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...106 7. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...106 8. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...109 9. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...112 10. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008...116 11. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008...119 12. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Kantor
Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...123 13. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008 ...126 14. Grafik Tingkat Penyerapan Aspirasi Masyarakat Pada Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008...129
xiv
1. Peta Administrasi Kabupaten Aceh Tamiang...155 2. Rincian Belanja pada Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tamiang
Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...156 3. Rincian Belanja pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang
Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...166 4. Rincian Belanja pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh
Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...171 5. Rincian Belanja pada Dinas Koperasi Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...187 6. Rincian Belanja pada Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...189 7. Rincian Belanja pada Kantor Peternakan Kabupaten Aceh Tamiang
Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...191 8. Rincian Belanja pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Aceh Tamiang Berdasarkan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2008 ...192 9. Rincian Belanja pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
1
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan suatu konsep yang berputar di sekitar partisipasi.
Tema ini mengimplementasikan proses fasilitasi masyarakat agar mereka mampu
memahami realitas lingkungannya, memikirkan faktor-faktor yang membentuk
lingkungan, dan bertindak untuk mendorong perubahan demi perbaikan keadaan,
(Gajayanake : 1996 ; 27).
Tema pokok yang terkait dengan pembangunan adalah koordinasi, yang
berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan. Tema kedua adalah
terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh
aspek kehidupan. Mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan
hukum yang terpercaya, yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil.
Tema yang ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti
pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan
nilai-nilai moral dan etika umat. (Mariana : 2006 ; 6).
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau
hal-hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah partisipasi masyarakat di dalam
Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah keterlibatan masyarakat
secara utuh dalam semua proses pembangunan. Partisipasi masyarakat menjadi sangat
penting mengingat masyarakatlah yang memiliki informasi mengenai kondisi dan
kebutuhannya. Selain itu, masyarakat akan lebih mempercayai program
pembangunan jika merasa dilibatkan dan tumbuhnya rasa memiliki yang tinggi untuk
ikut mengawasi jalannya suatu pembangunan, sehingga pembangunan yang
dilakukan lebih efektif dan efesien.
Dalam upaya untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
pemerintah melalui Mendagri mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
4 Tahun 1981 tentang Mekanisme Perencanaan dari Bawah dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan
Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D). Implementasi dari kedua peraturan di
atas adalah pelaksanaan Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan (Rakorbang)
yang dilakukan dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan
Nasional yang bertujuan untuk memadukan perencanaan dari bawah ke atas (Bottom
Up Planning) dengan perencanaan dari atas ke bawah (Top Down Planning)
Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang
No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan adanya
penyempurnaan sistem perencanaan dan penganggaran nasional, baik pada aspek
proses dan mekanisme maupun tahapan pelaksanaan musyawarah perencanaan di
tersebut diperlukan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi seluruh
pelaku pembangunan, melalui suatu forum yang disebut sebagai Musyawarah
Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang.
Payung hukum untuk pelaksanaan Musrenbang diatur dalam Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
secara teknis pelaksanaannya sejauh ini masih diatur dengan Surat Edaran Bersama
(SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan
Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang
diterbitkan setiap tahun.
Musrenbang berfungsi sebagai forum untuk menghasilkan kesepakatan antar
pelaku pembangunan tentang rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan
rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), yang menitikberatkan pada
pembahasan untuk sinkronisasi rencana kegiatan antar kementerian/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah dan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat
dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah.
Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan
Pemerintah No.73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, menjabarkan lebih lanjut
mengenai posisi Desa dalam konteks otonomi daerah dengan mengacu pada UU 32
Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.
Dalam kenyataannya, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan hanya sebatas pada pengusulan program/kegiatan semata yang
forum di tingkat Kecamatan (Musrenbang Kecamatan). Pada tahapan berikutnya
seringkali program kegiatan yang menjadi usulan masyarakat (bottom-up) hilang
digantikan dengan program/kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau
program/kegiatan legislatif yang bersifat teknokratis, politis dan top-down.
Memang benar, Pemerintah Kabupaten telah melibatkan masyarakat desa
melalui forum Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) yang
selanjutnya akan dirumuskan kembali melalui Musrenbang Kecamatan. Akan tetapi
hal tersebut hanya sebatas “formalitas” atau sebagai alat legitimasi suatu perencanaan
yang melibatkan rakyat. Karena pada umumnya, setelah masuk ke Pemerintah
Kabupaten ( Dinas/Satker), aspirasi masyarakat seringkali dipangkas. Bahkan sering
diganti dengan proyek hasil perselingkuhan antara anggota DPRD tertentu dengan
dengan pihak eksekutif. Akibatnya isi APBD pun lebih banyak kepentingan penguasa
daripada kepentingan rakyatnya. Sehingga, meskipun programnya baik tetapi sering
tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat, sehingga sering kita jumpai masyarakat kurang peduli dalam
mendukung program ini maupun memeliharanya.
Berdasarkan pengalaman penulis, setelah mengikuti beberapa kali kegiatan
Musrenbang Kecamatan maupun Musrenbang Kabupaten sejak tahun 2003 hingga
2007, masyarakat Desa selalu mengeluhkan tentang usulan mereka yang jarang sekali
terealisasi dalam APBD, bahkan ada usulan yang setiap tahun mereka usulkan juga
menerima keluhan dari masyarakat tentang usulan mereka yang tidak pernah
terealisasi dalam APBD.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penyertaan masyarakat hanya sebatas
difungsikan sebagai peredaman dan sama sekali belum nampak usulan dari
masyarakat bawah secara substantif. Media peredaman ini nampak sekali saat pada
berlangsungnya Musrenbangdes dimana minimnya kepentingan dan kebutuhan rakyat
menjadi referensi pembuatan program kerja, karena forum tersebut hanya sebatas
media sosialisasi rancangan program pembangunan yang akan dilakukan oleh SKPD,
bukan forum musyawarah yang sesungguhnya.
Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Nomor 25
Tahun 2004 yang mengatur pengelolaan keuangan Negara dan daerah,
Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 tentang perencanaan dan penganggaran di
daerah, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam
penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Kemudian Permendagri 13
Tahun 2006 pasal 4 yang kemudian diganti Permendagri 59 Tahun 2007 menyatakan
bahwa Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Dari penjelasan diatas, masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan
aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD. Artinya
menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk
merumuskan program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya bersumber
dari uang rakyat. Karenanya, kepentingan rakyat haruslah menjadi prioritas utama
dalam penganggarannya dan tentunya bukan untuk kepentingan elit. Dengan
demikian maka pembangunan sebagai continuously process akan dapat berjalan
dengan baik serta manfaat pembangunan betul-betul dapat dirasakan masyarakat, jika
proses dan hasil-hasil Musrenbang dilakukan secara benar dan direalisasikan dengan
benar pula dalam APBD.
Ada beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi
anggaran yang rasional dan proposional dari APBD yaitu :
1. Rakyat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam APBD melalui
pajak dan Retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari hutang pun,
kebutuhan rakyat jualah yang dipresentasikan pada pihak ketiga.
2. Sesuai hakekat dan fungsi Anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan
disejahterakan.
3. Amanah Konstitusi pasal 23 UUD 1945, dengan jelas dan tegas dinyatakan
bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan
Anggaran. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Keuangan Negara dan
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian secara mendalam dengan judul ” ANALISIS PENYERAPAN ASPIRASI MASYARAKAT DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH (APBD) KABUPATEN ACEH TAMIANG TAHUN
2008”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah
penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tingkat penyerapan aspirasi masyarakat dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyerapan aspirasi Masyarakat dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Aceh Tamiang
Tahun 2008?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar usulan masyarakat yang masuk dalam APBD
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya penyerapan
aspirasi masyarakat dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2008.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan informasi tentang data empiris mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan Studi Pembangunan khususnya dalam bidang pembangunan daerah, bagi
para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang
hendak melaksanakan penelitian lanjutan dimasa datang.
2. Manfaat Praktis.
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
Pemerintah dan Masyarakat terutama di Kabupaten Aceh Tamiang tentang arti
pentingnya melibatkan masyarakat dalam Pembangunan. Tujuan pembangunan
9
2.1. Konsep Pembangunan
Pembangunan diartikan sebagai suatu upaya perubahan yang dilakukan dengan
sengaja untuk mencapai kondisi dan situasi yang lebih baik, dilaksanakan secara
sistematis dan bertahap disemua bidang (Ali, 2007 : 7-8).
Katz dalam Abidin (2008 ; 21-22) mengartikan pembangunan sebagai
“….dinamic change of a whole society form one state of national being ti another,
with the connotation that the state is preferable”. Dalam konsep ini, ada empat aspek
yang perlu dicatat. Pertama, Pembangunan adalah perubahan yang bersifat dinamis (a
dynamic change). Kedua, perubahan tidak hanya terjadi pada sekelompok orang atau
sesuatu wilayah saja, tetapi berlangsung dalam seluruh masyarakat (a whole society).
Ketiga, perubahan berlangsung secara bertahap, dari suatu keadaan ke keadaan yang
baru. Keempat, keadaan yang baru lebih disukai daripada keadaan sebelumnya.
Rostow (Sukirno, 2006 : 170) beranggapan bahwa pembangunan merupakan
suatu proses yang akan menciptakan perombakan dalam kehidupan ekonomi yang
bersifat multidimensi.
Sedangkan Coralie Bryant dan Louise White menyatakan Pembangunan adalah
upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa
1. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik
individu maupun kelompok (capacity)
2. Pembangunan berarti mendorong tumbuhkan kebersamaan dan kemerataan nilai
dan kesejahteraan (equity)
3. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk
membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan
memimilih, dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment)
4. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara
mandiri (sustainability)
5. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan Negara yang satu dengan
Negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling
menghormati (interdependence).
Schumacher (1979 : 160-161) menitikberatkan pada tiga faktor penting
pembangunan, yakni pendidikan, organisasi dan disiplin. Ketiga faktor itu harus
dikembangkan setapak demi setapak, dan tugas utama dari politik pembangunan
haruslah mempercepat evolusi ketiganya. Ketiganya harus menjadi milik seluruh
masyarakat, bukan hanya milik segolongan kecil elit saja.
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan maka banyak aspek atau hal-hal
yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam
Cahyono (2006 : 2), menyatakan prinsip-prinsip pembangunan partisipatif
adalah :
1. Perencanaan program harus berdasarkan fakta
2. Program harus memperhitungkan kemampuan masyarakat dari segi teknik,
ekonomi dan sosialnya
3. Program harus memperhatikan unsur kepentingan kelompok dalam masyarakat
4. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
5. Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang ada
6. Program hendaknya memuat program jangka pendek dan jangka panjang
7. Memberi kemudahan untuk evaluasi
8. Program harus memperhitungkan kondisi, uang, waktu, alat dan tenaga
(KUWAT) yang tersedia.
Menurut Cahyono (2006 : 1) pembangunan partisipatif adalah pembangunan
yang memposisikan masyarakat sebagai subyek atas program pembangunan yang
diperuntukkan bagi kepentingan mereka sendiri. Pelibatan masyarakat mulai dari
tahap perencanaan-pelaksanaan-monitoring-evaluasi. Selain itu pengerahan massa
(baca: mobilisasi) diperlukan jika program berupa padat karya.
Pendekatan pembangunan Desa karenanya didesain untuk menciptakan
peningkatan kondisi ekonomi dan sosial bagi masyarakat Desa. Pendekatan ini
menitikberatkan pada pentingnya partisipasi penduduk, berorientasi kebutuhan,
keswadayaan, peningkatan kesadaran, perencanaan bottom-up, dan pemberdayaan
Pendekatan pembangunan masyarakat mendasarkan diri pada asumsi bahwa
pembangunan berhulu ditingkat akar rumput (grassroots level). Inisiatif, kreatifitas,
dan tenaga mereka dapat didayagunakan untuk mengembangkan kehidupan mereka
sendiri, dengan menggunakan proses demokratis dan kerja-kerja sukarela. Hal ini
mengimplikasikan bahwa melalui peningkatan kesadaran, orang-orang di tingkat akar
rumput dibangunkan kesadaran akan potensi yang ada dalam diri mereka. Pada
tataran ideal, para anggota masyarakat mengorganisir diri mereka dalam suatu
perilaku demokratis, untuk : (a) menentukan kebutuhan, permasalahan, isu-isu; (b)
mengembangkan rencana dan strategi pemenuhan kebutuhan, dan (c)
mengimplementasikan rencana yang ada dengan partisipasi sebesar mungkin dari
masyarakat untuk meraup hasil-hasil pembangunan (Ali, 2007 : 83-84).
2.2. Konsep Partisipasi
Di medio 1970-an, ketika ideologi developmentalism telah mulai menampakkan
wajah bopengnya, E.F Schumacher menyerukan bahwa pembangunan tidak dimulai
dengan barang, tetapi dimulai dengan orang. Menurutnya, manusia adalah sumber
utama segala macam kekayaan. Kalau mereka tidak diikutsertakan, kalau mereka
dipermainkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya ahli dan oleh
perencana-perencana yang pongah, maka pembangunan apapun tidak menghasilkan buah (Ali,
Partisipasi merupakan kata yang sering digunakan dalam pembangunan.
Penafsiran tentang artinyapun beragam. FAO seperti yang dikutip Mikkelsen (2001 :
64), memberikan arti partisipasi, yaitu :
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut
serta dalam pengambilan keputusan.
2. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, mengandung arti bahwa orang atau
kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan hal itu.
3. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
informasi mengenai konteks local dan dampak sosial.
4. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri.
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan
dan lingkungan mereka.
Mubyarto dalam Rahayu (2008 ; 6) mendefenisikan partisipasi sebagai
kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang
tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Partisipasi dibangun atas dasar beberapa prinsip yaitu (Anonimous, 2008 ; 41) :
1. Kebersamaan
Setiap individu, kelompok atau organisasi dalam masyarakat membutuhkan suatu
hambatan yang terjadi. Pelembagaan partisipasi hanya dapat dilakukan melalui
proses interaksi antara berbagai elemen baik struktural maupun horizontal.
Partisipasi tumbuh melalui konsensus dan kesamaan visi, cita-cita, harapan,
tujuan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Proses pengaturan
yang terjadi dalam masyarakat akan tumbuh melalui kebersamaan,
pengorganisasian dan pengendalian program pembangunan.
2. Tumbuh dari bawah
Partisipasi bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas ke bawah “top-down” atau
dikendalikan oleh individu atau kelompok melalui mekanisme kekuasaan.
Partisipasi tumbuh berdasarkan kesadaran dan kebutuhan yang dirasakan oleh
masyarakat. Prakarsa dan inisiatif muncul dari, oleh dan untuk masyarakat
sebagai suatu proses belajar sepanjang hayat. Partisipasi merupakan suatu proses
pelembagaan yang bersifat bottom-up, dimana berbagai pengalaman yang terjadi
dijadikan masukan dalam pengembangan program.
3. Kepercayaan dan keterbukaan
Kunci sukses partisipasi adalah menumbuhkan dan membangun hubungan atas
dasar ‘saling percaya’ dan ‘keterbukaan’. Pengalaman menunjukkan bahwa suatu
proses partisipasi berjalan dengan baik, maka berbagai upaya perbaikan akan
terjadi dengan cepat. Sebagai contoh kasus penanganan hama terpadu (PHT),
tidak dapat menunggu instruksi atau program yang direncanakan oleh
Departemen Pertanian, tetapi harus segera ditangani dengan mengeliminasi
petani sendiri dengan cara yang dianggap sesuai. Partisipasi mendorong
hubungan lebih terbuka antara berbagai pihak baik pejabat pemerintah, LSM,
swasta dan masyarakat.
Dalam membantu identifikasi tingkat partisipasi diperlukan alat ukur atau
indikator sebagai kunci pernyataan tentang hasil dan harapan dari tujuan yang
ditetapkan bersama. Indikator dibagi berdasarkan empat kategori yang menunjukkan
tingkat partisipasi yaitu; (1) penerima hasil atau pemanfaat program, (2) pelaksanaan
proyek, (3) pengaruh proyek atau kontrol partisipan, dan (4) akses terhadap
pengambilan keputusan. Secara rinci keempat kategori ini diuraikan sebagai berikut;
1. Penerima hasil atau pemanfaat program
a. Masyarakat menerima semua manfaat program
b. Masyarakat menerima hanya sebagian dari manfaat program yang diharapkan.
c. Hanya kalangan atau kelompok masyarakat tertentu (misalnya kelompok yang
melek huruf atau berpendidikan) yang menerima semua manfaat dari proyek
yang diharapkan.
d. Hanya beberapa orang atau kelompok saja (misalnya laki-laki) menerima
hanya sebagian manfaat proyek yang diharapkan (misalnya, bibit tanpa
pupuk). Tidak ada masyarakat yang menerima manfaat program yang
diharapkan.
2. Pelaksanaan program
a. Masyarakat baik perempuan atau laki-laki memberikan sumbangan tenaga
b. Masyarakat baik perempuan atau laki-laki memberikan sumbangan seluruh
biaya yang dibutuhkan program.
c. Masyarakat baik perempuan atau laki-laki memberikan sumbangan berupa
tenaga kerja dan material saja yang dibutuhkan program. Masyarakat
menyumbang sebagian tenaga kerja, biaya, dan material yang dibutuhkan
program.
d. Hanya beberapa kalangan atau kelompok tertentu saja yang menyumbang
tenaga kerja, biaya dan material.
3. Pengaruh program atau kontrol masyarakat
a. Masyarakat diberi informasi oleh para pengambil keputusan pada tahap
identifikasi, desain, pelaksanaan, dan evaluasi program.
b. Masyarakat yang terlibat dikonsultasikan oleh para pengambil kebijakan pada
seluruh tahap proses pembangunan.
c. Masyarakat meninjau kembali semua proses pengambilan keputusan tentang
program pembangunan.
d. Masyarakat melakukan modifikasi atau menolak keputusan pada semua tahap
proses program.
e. Hanya beberapa kelompok (misalnya, tokoh masyarakat) yang memiliki
kesempatan mendapatkan informasi, diajak berkonsultasi, meninjau dan
menolak keputusan.
f. Masyarakat mengambil kesempatan yang ada untuk menguji, menilai dan
g. Hanya beberapa kelompok atau elemen tertentu yang mengambil kesempatan
yang ada untuk menguji, menilai dan mengkritik hasil program pembangunan.
4. Akses terhadap mekanisme pengambilan keputusan
a. Masyarakat terdiri dari anggota unit atau organ pengambilan keputusan yang
bertanggungjawab terhadap proses identifikasi, desain, pelaksanaan dan
evaluasi program.
b. Masyarakat baik laki-laki atau perempuan menduduki posisi pelaksana unit
pengambilan keputusan.
c. Hanya beberapa kelompok atau kalangan tertentu saja yang menduduki posisi
pelaksana unit pengambilan keputusan.
d. Hanya beberapa posisi unit pengambilan keputusan tertentu saja yang
diduduki oleh masyarakat.
e. Seluruh elemen yang ada dalam masyarakat merupakan anggota suatu
perkumpulan sukarela yang bertanggungjawab untuk berlanjutnya program
pembangunan.
f. Seluruh elemen yang ada dalam masyarakat merupakan anggota suatu
perkumpulan yang didirikan untuk membangun dan memelihara keberlanjutan
program. (Anonimous, 2008 ; 41)
Keterlibatan masyarakat secara aktif, meski disadari merupakan elemen kunci
dalam pembangunan, dipengaruhi oleh kondisi kontekstual tempat program
pembangunan dilaksanakan. Terlebih lagi, partisipasi juga beragam menurut kondisi
masyarakat dalam pembangunan terjabar pada sebuah rangkaian jajaran dari
partisipasi tingkat tinggi sampai partisipasi nominal. Keragaman ini tergantung pada
banyak faktor, termasuk model pembangunan, gaya manajemen, tingkat
pemberdayaan, dan konteks sosio-kultural suatu masyarakat. Kemauan politik pihak
pelaksana (implementator) program guna mendulang partisipasi dan potensi
kelompok sasaran agar berpartisipasi juga merupakan faktor penentu. (Ali, 2007 : 86)
Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang berputar di sekitar partisipasi.
Tema ini mengimplikasikan proses fasilitasi masyarakat agar mereka mampu
memahami realitas lingkungannya, memikirkan faktor-faktor yang membentuk
lingkungan, dan bertindak untuk mendorong perubahan demi perbaikan keadaan.
(Gajayanake, 2007)
Pemberdayaan merupakan suatu proses yang melingkupi warga masyarakat
dalam memutuskan di mana mereka sekarang, kemana mereka ingin pergi, dan
mengembankan sekaligus mengimplementasikan rencana-rencana guna mencapai
tujuan, berdasarkan kepercayaan diri dan pembagian wewenang (Ali, 2007 : 86).
Yang terpenting adalah dengan pemberdayaan dapat menolong orang-orang untuk
membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Pada
intinya, kemampuan untuk berdikari, berfikir progresif, merencanakan dan
mengimplementasikan perubahan secara sistematis, dan menerima hasil secara
2.3. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Satu elemen pokok dalam strategi pembangunan masyarakat adalah partisipasi
masyarakat. Hal ini telah muncul sebagai salah satu elemen inti pembangunan dewasa ini
mengacu pada sejumlah alasan. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat
ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga,
kearifan, dan kreatifitas masyarakat, demi lajunya aktifitas pembangunan. Kedua, partisipasi
masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat, dan
membantu mengatur aktifitas pembangunan agar mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Di
atas itu semua, partisipasi masyarakat merupakan cermin pengakuan (legitimacy) mereka atas
proyek maupun aktifitas, menumbuhkan komitmen di pihak masyarakat dalam implementasi
program, dan demi penguatan daya tahan program. Pengalaman beberapa tahun terakhir
menyiratkan bahwa ada sesuatu keterkaitan signifikan antara tingkat intensitas partisipasi
masyarakat dan peningkatan keberhasilan aktifitas pembangunan. (Ali, 2007 : 85).
Slamet (2003: 8) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut
dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan. Hal senada juga diungkapkan Adisasmita (2006 ; 34)
bahwa partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam
pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi)
program/proyek pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal.
Menurut Asngari (2001: 29), penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya
orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran
serta semua pihak itu diperlukan :
1. Terciptanya suasana yang bebas atau demokratis.
2. Terbinanya kebersamaan.
Bryant dan White menyatakan bahwa partisipasi masyarakat didorong melalui : (1)
proyek pembangunan bagi masyarakat desa yang dirancang sederhana dan mudah dikelola
oleh masyarakat (2) organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan
menyalurkan aspirasi masyarakat (3) peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan.
Jadi masih dibutuhkan wadah untuk berpartisipasi di tingkat kelompok (Ndraha, 1990 ; 105).
Melalui wadah partisipasi tersebut anggota kelompok akan saling belajar melalui pendekatan
"learning by doing" menuju pada tujuan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Yang
terjadi adalah adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun sikap yang merupakan
potensi untuk pembangunan (Rahayu, 2008 ; 6).
Dengan partisipasi masyarakat, perencanaan pembangunan diupayakan menjadi lebih
terarah, artinya rencana atau program pembangunan yang disusun itu adalah sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh masyarakat, berarti dalam penyusunan rencana/program pembangunan
dilakukan penentuan prioritas (urutan berdasarkan besar kecilnya tingkat kepentingannya),
dengan demikian pelaksanaan (implementasi) program pembangunan akan terlaksana pula
secara efektif dan efesien (Adisasmita, 2006 ; 35).
Menurut Adi (2008 ; 110) partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan ataupun
keterlibatan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah, pengidentifikasian
potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif
keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.
Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat
masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam
menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam
berbagai tahapan perubahan dan hanya bersikap pasif dalam setiap perubahan yang
direncanakan oleh pelaku perubahan (misalnya, pihak lembaga Pemerintah, LSM
maupun sektor swasta), masyarakat cenderung akan menjadi lebih dependent
(tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka
ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan menjadi semakin meningkat.
2.4. Aspirasi Masyarakat dalam APBD
Masyarakat adalah sekelompok orang memiliki perasaan sama atau menyatu
satu-sama lain karena mereka saling berbagi identitas, kepentingan-kepentingan yang
sama, perasaan memiliki, dan biasanya satu tempat yang sama (Suharto, 2006 ; 47).
Sementara Mayo dalam Suharto (2006 ; 39) mendefenisikan masyarakat dalam
dua konsep, yaitu :
1. Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi
yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah
perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan
2. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan
berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama
identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang
memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para
pengguna pelayanan kesehatan mental.
Miriam Budiarjo (2005) mengutip pendapat Harold J. Laski, bahwa masyarakat
adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama (a society is a group of human
beings living together and working together for the satisfaction of their mutual
wants).
Berdasarkan fungsinya, maka masyarakat berfungsi sebagai penyedia dan
pendistribusi barang-barang dan jasa, lokasi kegiatan bisnis dan pekerjaan, keamanan
publik, sosialisasi, wadah dukungan bersama atau gotong royong, kontrol sosial,
organisasi dan partisipasi politik (Suharto, 2006 ; 47).
Masyarakat dalam konteks pembangunan merupakan unsur utama, oleh sebab
itu aspirasi masyarakat menjadi hal paling dasar yang harus diserap agar
pembangunan yang dilakukan menjadi lebih bermakna dan terarah. Tanpa adanya
aspirasi masyarakat maka pembangunan akan bermakna ganda : Pertama, sebagai
ajang tipu daya elit kepada masyarakat. Kedua, sebagai perwujudan demokrasi palsu,
sebab pembangunan tidak lebih sebagai gagasan dan kepentingan elit belaka.
Secara definitif, konsep aspirasi mengandung dua pengertian, aspirasi di tingkat
ide dan aspirasi di tingkat peran struktural. Di tingkat ide, konsep aspirasi berarti
sejumlah gagasan verbal dari lapisan masyarakat mana pun. Di tingkat peran dalam
Menurut Bank Dunia (2005 ; 3) aspirasi adalah kemampuan untuk
mempengaruhi dan mendukung dalam proses pembangunan.
Apabila mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Nomor 25
Tahun 2004 yang mengatur pengelolaan keuangan Negara dan daerah,
Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 mengatur perencanaan dan penganggaran di
daerah, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam
penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran.
Selanjutnya pasal 17 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, menyatakan bahwa
dalam penyusunan Arah Kebijakan Umum APBD harus diawali dengan penjaringan
aspirasi masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Permendagri 13 Tahun 2006 pasal 4
yang kemudian diganti Permendagri 59 Tahun 2007 menyatakan bahwa Keuangan
daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif,
efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas
keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Dari penjelasan diatas, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peluang
untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan
dalam APBD, serta adanya peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk
mendengar, menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
untuk menjadi program-program yang mampu meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Stuglitz dalam Hardojo (2008 ; 64) menyatakan partisipasi warga merupakan
dan penganggaran menjadi cara untuk memastikan pembangunan yang berkeadilan
terhadap rakyatnya. Sebab, perencanaan dan penganggaran adalah proses yang
menentukan ke arah mana anggaran publik (APBN/APBD) telah memenuhi aspirasi
rakyat.
Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dibutuhkan
pembangunan yang mantap dan berkesinambungan, yang dijamin pelaksanaannya
oleh adanya arah dan kebijakan serta perencanaan program yang komprehensif,
realistis dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan berkembangnya
pelaksanaan demokrasi, diharapkan rakyat dapat berupaya secara optimal untuk
memperbaiki kesejahteraannya melalui berbagai program pembangunan sesuai
dengan kepentingan dan potensinya, dan pemerintah bertindak sebagai katalisator.
Untuk itu, DPRD dan Eksekutif harus lebih dekat dengan rakyat. Upaya
memberdayakan masyarakat dan melawan kemiskinan harus terus dijadikan agenda
penting dalam kegiatan pembangunan.
Pembangunan dalam berbagai bidang harus dilaksanakan dengan spektrum
kegiatan yang menyentuh pemenuhan kebutuhan masyarakat - khususnya pemenuhan
kebutuhan fisiologis berupa : pangan, papan, kesehatan dan pendidikan sehingga
segenap anggota masyarakat dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung atau
mampu melepaskan dari belenggu struktural yang menyengsarakan, dan meningkat
Untuk dapat menyerap aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh dalam
perencanaan penganggaran diperlukan pergeseran cara pandang, yakni tidak lagi
memandang masyarakat sebagai objek dari pembangunan.
Menurut Archon Fung yang dikutip Purwoko (2008), Secara umum dikenal
tiga metode untuk memahami aspirasi rakyat yaitu :
1. Luas lingkup partisipasi akan menentukan siapa saja yang berhak menyalurkan
aspirasinya untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Terdapat lima model dasar
yang membedakan luasnya ruang partisipasi bagi penyaluran aspirasi rakyat ;
pertama, self selected, yaitu mekanisme yang sepenuhnya membebaskan
masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya atau tidak. Kedua, rekrutmen
terseleksi, yaitu hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan saja
yang memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya dalam proses pembuatan
kebijakan. Ketiga, Random Selection yang juga sering dikenal dengan teknik
polling, yaitu penyerapan aspirasi masyarakat dengan memilih secara acak
beberapa individu yang dianggap mewakili masing-masing komunitas. Keempat,
Lay Stakeholders, yaitu proses penyerapan aspirasi yang melibatkan beberapa
warga negara yang secara sukarela mau bekerja tanpa dibayar. Sekelompok
warga diberi kepercayaan untuk memikirkan atau menangani suatu kebijakan
tertentu. Kita sudah mengenal prinsip penyaluran aspirasi semacam ini, misalnya
melalui Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Kelima, Professional
Stakeholders, yaitu pembuatan kebijakan publik yang melibatkan tenaga-tenaga
profesional ini memiliki kapasitas menemukan solusi terbaik untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
2. Melihat jenis komunikasi yang terjadi antara pemerintah dengan warganya,
apakah satu arah atau timbal balik. Model komunikasi timbal balik memberikan
ruang yang lebih luas bagi proses penyerapan aspirasi yang lebih berkualitas.
3. Melihat relevansi antara perkembangan aspirasi dengan substansi kebijakan.
Semakin relevan produk kebijakan yang dihasilkan dengan persoalan riil yang
berkembang di masyarakat, maka proses penyerapan aspirasi yang terjadi di
masyarakat bisa dikatakan semakin berkualitas.
Dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, haruslah terjadi
pergeseran fungsi birokrasi, yakni hanya sebatas sebagai fasilitator. Selayaknya
birokrasi harus kembali ke hakikat fungsinya, yaitu sebagai public servant (pelayan
masyarakat), bukan lagi sebagai pelaksana pembangunan. Artinya pemilihan program
pembangunan harus betul-betul didasarkan pada kebutuhan masyarakat bukan atas
dasar keinginan atau ketertarikan pejabat pengelolanya. Rakyat memegang hak dan
wewenang yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat
secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari
pemerintah, melalui penggunaan hak dan kewajibannya secara proporsional.
Masyarakat harus diberdayakan untuk mampu mengontrol pelayanan yang diberikan
oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, maka Pemerintah (Eksekutif
maupun DPRD) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli dan lebih
menjamin bahwa apa yang direncanakan oleh Pemda sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi rakyat, maka dalam penyusunan strategi dan prioritas program serta RAPBD
harus melibatkan masyarakat, sejak dari proses analisis masalah dan identifikasi
kebutuhan masyarakat ke perumusan program.
ANGGARAN PRO RAKYAT
Gambar 1. Sendi Anggaran Pro Rakyat dan Prasyaratnya
Secara prinsipil, anggaran pro rakyat dibuhul oleh tiga sendi yang bertautan.
Gambar 1. menunjukkan bagaimana proses penyusunan anggaran demokratis
melibatkan partisipasi, mekanisme pengelolaan yang desentralistik, transparan dan
akuntabel, serta alokasi sumber daya bagi kebijakan yang berpihak kepada kaum
miskin, saling bertautan dalam implementasi anggaran pro rakyat. Kendala yang Alokasi bagi
Kebutuhan Masyarakat Pengelolaan
Transparan & Akuntabel
Proses Partisipatif
Prasyarat
dihadapi oleh satu buhul sendi akan berpengaruh terhadap sendi yang lain serta
capaian optimal dari anggaran pro rakyat secara keseluruhan (Hardojo, 2008 ;
152-153).
Implementasi hak rakyat dalam APBD bisa dilakukan dalam berbagai bentuk.
Pemerintah Daerah sebagai pemegang kuasa pengelolaan Keuangan Daerah harus
mengimplementasikan hak rakyat tersebut melalui (Eka, 2008) :
1. Adanya keterlibatan rakyat secara partisipatif dalam proses penganggaran.
Teknis pelaksanaannya bisa menggunakan beberapa model atau
melakukan kreasi dari berbagai model yang telah dikembangkan oleh banyak
negara. Tentu saja, kreatifitas ini perlu didukung oleh iklim demokrasi yang
substantif liberatif. Selama ini, partisipasi hanya menjadi jargon pemerintah,
metode dan implementasi partisipasi hanya berjalan dalam lingkungan
masyarakat yang “dekat“ dengan Pemerintah. Sementara, dengan kelompok
masyarakat yang kritis dan “jauh“ dengan Pemerintah, dijadikan formalitas
belaka dan masukan serta hasil kajian mereka selalu dikesampingkan. Memang,
partisipasi tidak dapat dilakukan pada orang perorangan atau semua kelompok,
karena keterbatasan pemerintah. Tetapi, semestinya pemerintah harus memiliki
sebuah kriteria yang jelas dalam pelibatan publik. Kriteria ini harus didukung
oleh metodelogi yang tepat sehingga tidak terjebak pada inefisiensi. Metodelogi
menggalang partisipasi ini, yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Mereka hanya
mengikuti secara tekstual apa yang tertulis di UU, Kepmendagri. Sangatlah naif,
Dewan Kelurahan, dan Badan Perwakilan Desa. Karena hampir seluruh badan
tersebut dipilih dengan intervensi pemerintah. Sehingga, badan-badan tersebut
tidak bisa merumuskan kebutuhan warganya. Perlu kearifan menyusun
metodelogi agar partisipasi masyarakat bisa efektif untuk kepentingan bersama.
2. Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan maupun
pertanggungjawaban APBD pada Rakyat.
Selama ini, mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui saluran
formal Lembaga Legislatif (DPRD). Jika ingin membangun transparansi maka
harus dimulai dari para pihak yang akan terlibat dari proses tersebut. Dengan
tidak mengkerdilkan peran DPRD dalam proses transparansi dan Akuntabilitas
APBD, tetapi Lembaga ini juga menjadi sorotan dalam transparansi dan
Akuntabilitas. Bagaimana bisa berharap pada DPRD, yang dalam banyak kasus
korupsi APBD mereka juga terlibat bahkan terkadang menjadi inisiator. Perlu
kiranya Pemerintah merancang sebuah model transparansi dan akuntabilitas
APBD selain melalui saluran formal (DPRD) bisa dilakukan melalui saluran
informal langsung pada masyarakat. Tentu, model ini harus dikaji dan
dipertimbangkan dengan matang sehingga bisa efektif dan sesuai dengan sumber
daya yang dimiliki.
3. Adanya Hak untuk alokasi anggaran yang pro Rakyat miskin.
Keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan utama dari sebuah negara
kesejahteraan. Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai negara
prioritas dalam pembangunan yang dilakukan. Namun sayangnya, doktrin
tersebut belum berwujud, masih sebatas angan-angan.
4. Adanya pengawasan APBD oleh rakyat baik secara perseorangan maupun secara
Lembaga atau kelompok.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini semestinya mendapat
apresiasi positif dari pemerintah. Caranya adalah memberikan akses
seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi, data dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan pengelolaan APBD.
Tabel 1. Jalur Pengarusutamaan Partisipasi
Didorong oleh Negara
(Top-Down)
partai-partai politik di tingkat nasional
• Menggunakan partai politik lokal bagi proses di parlemen lokal
• Mengembangkan mekanisme
alternatif penyusunan anggaran dengan melibatkan
kelompok masyarakat sipil yang lebih luas untuk kemudian diajukan ke parlemen, contoh : people’s
budget di Afrika Selatan dan Alternative budget di Kanada
Partisipasi kepentingan luas diluar prosedur demokrasi perwakilan yang ada
(extra-parliamentary), seperti ;
referendum, plebesit, mekanisme NSEC di Irlandia,
maupun Participatory
Budgenting di Brazil.
Sumber : Hardojo (2008 ; 161)
Sedangkan Willmore dalam Hardojo (2008 ; 160) mengidentifikasikan 4
tipologi proses bagi pengintegrasian partisipasi warga dalam penyusunan anggaran.
Seperti yang bisa dilihat pada tabel 1, partisipasi tersebut bisa didorong oleh Negara
(top-down) maupun masyarakat sipil (bottom-up) baik melalui parlemen maupun
tanpa parlemen (participation that by-pass parliament).
Dalam kerangka Wilmore tersebut, pengarusutamaan partisipasi dalam proses
penganggaran yang terjadi di Indonesia lebih diwarnai oleh proses top-down yang
dipimpin oleh negara melalui parlemen. Dalam jalur ini, proses yang terjadi
ditentukan oleh prosedur formal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Prosedur-prosedur tersebut akan diakomodasi dalam system demokrasi perwakilan, dimana
lembaga Eksekutif dan lembaga Legislatif (representasi wakil-wakil politik di
parlemen yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum) akan menentukan hasil akhir
dari proses penganggaran. Warga dan masyarakat sipil belum mempunyai cukup
kapasitas untuk mendorong perluasan partisipasi warga dalam prosedur formal
tersebut atau, jika hambatan partisipasi dalam prosedur formal tersebut terlalu kuat,
untuk membangun mekanisme tanding bagi suatu proses penyusunan penganggaran
yang lebih partisipatif (Hardojo, 2008 ; 161-162).
Prinsip dalam melibatkan masyarakat secara langsung adalah bahwa apa yang
disebut dengan “melibatkan kepentingan rakyat” hanya mungkin dicapai jika
bagi suatu proses yang baik dan benar. Melibatkan masyarakat secara langsung akan
membawa tiga dampak penting (Abe, 2005 ; 91) yaitu :
1. Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan
memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat.
2. Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak
jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik.
3. Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.
2.5. APBD
Anggaran merupakan sebuah instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan
roda pemerintahan. Kebijakan suatu pemerintah membutuhkan sumber daya berupa
alokasi anggaran yang tertuang dalam APBD. Menurut Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 yang kemudian diganti dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
2.5.1. Mekanisme Penyusunan APBD
Perubahan UU No 22 tahun 1999 menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 menjadi UU No 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah membawa pengaruh yang
anggaran daerah. Sebab ada pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
Pemda untuk menggali dan mengelola semua potensi penerimaan daerah secara
maksimal. Sebagai konsekuensinya, sistem pengelolaan keuangan publik/daerah
yang selama ini bersifat sentralisasi, sekarang berubah menjadi desentralisasi.
Seiring dengan bergulirnya pelaksanaan desentralisasi pemerintahan tersebut,
telah memberikan kewenangan bagi Pemda untuk menentukan dan menyusun sendiri
APBD-nya. Kondisi demikian jelas mempunyai pengaruh yang cukup besar dan
signifikan terhadap mekanisme dan proses penyusunan, pelaksanaan, serta
pertanggungjawaban keuangan daerah kepada semua stakeholders-nya. Namun dalam
pelaksanaan otonomi daerah ternyata kewenangan yang diberikan tersebut secara
umum masih ada yang disalahtafsirkan oleh Pemda baik eksekutif maupun legislatif
(Mahrizal, 2008 ; 1).
Menurut Nazaruddin (2005 ; 1) karena APBD merupakan operasionalisasi dari
berbagai kebijakan yang ditetapkan, maka harus mencerminkan suatu kesatuan sistem
perencanaan yang sistimatis dan dapat dianalisis keterkaitan/benang merahnya
dengan dokumen-dokumen perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu
sangat penting bagi pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan publik dalam
memahami sistimatika perencanaan yang bermuara pada anggaran. Dari sisi aturan,
maka mekanisme penyusunan anggaran khususnya APBD diatur dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang-undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional, dan
dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
2.5.2. Regulasi dari Pengesahan APBD
Emirzon (2005 ; 1) mengemukakan, semenjak otonomi daerah dicanangkan
dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang kemudian
diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Iklim
regulasi di Indonesia mengalami perubahan besar.
Kedua Undang-undang tersebut diatas memberikan kewenangan hukum dan
administrasi kepada kabupaten dan kota sebagaimana Pasal 11 (2) menentukan bahwa
pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengadministrasikan
perdagangan dan industri. Karena itu berhak mengenakan regulasi dan perizinan
usaha. Akan tetapi pemda tidak siap untuk mengemban fungsi baru itu. Dalam tahun
pertama desentralisasi, Pemda telah mengeluarkan ratusan peraturan daerah yang
menerapkan pengenaan pajak, retribusi, dan pungutan lainnya.
Sebenarnya dalam pelaksanaan otonomi daerah (Otda) Pemda tidak hanya
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kebijakan yang diterbitkan oleh pemda haruslah memberi manfaat dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya. Terkesan pemda dapat
bertindak apa saja untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), demi
terpenuhinya anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
2.5.3. Kualitas Kinerja dalam Perencanaan dan Penyusunan APBD
Sejak tahun 2003, sebagian besar Pemda sudah mencoba menerapkan sistem
anggaran berbasis kinerja (performance base budgeting). Tapi, dalam kenyataannya
menunjukkan bahwa dalam proses penyusunan dan pengalokasian anggaran tersebut,
tampaknya Pemda masih belum menghiraukan dan memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan publik (masyarakat). Sayangnya, masih berorientasi pada kepentingan
aparatur Pemda sendiri (eksekutif dan legislatif). Hal ini barangkali terjadi, karena
selama ini partisipasi dan keterlibatan publik dalam penyusunan APBD tersebut
kelihatannya masih relatif rendah sekali Kenyataan yang demikian mengakibatkan
penyusunan dan pengalokasian anggaran dalam APBD tampaknya belum banyak
berpihak kepada kebutuhan masyarakat (stakeholders). Hingga, anggaran yang
dihabiskan sering menjadi tidak efektif dan kurang efisien. Maksudnya, alokasi
anggaran memang makin meningkat dari tahun ketahun. Kenyataannya, belum