PEMBUATAN EKOSEMEN DARI ABU SAMPAH DAN UJI
APLIKASINYA UNTUK PANEL BETON
TESIS
Oleh
NELI SUSANTI
077026016/FIS
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMBUATAN EKOSEMEN DARI ABU SAMPAH DAN UJI APLIKASI UNTUK PANEL BETON
Nama Mahasiswa : Neli Susanti
Nomor Pokok : 077026016
Program Studi : Fisika
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc ) K e t u a
( Prof. Drs. Mohammad Syukur, MS ) Anggota
Ketua Program Studi,
( Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc )
Direktur,
( Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc)
PEMBUATAN EKOSEMEN DARI ABU SAMPAH DAN UJI
APLIKASINYA UNTUK PANEL BETON
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains
dalam Program Studi Magister Fisika pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NELI SUSANTI
077026016/FIS
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada
Tanggal : 8 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof.Dr.Eddy Marlianto,Msc.
Anggota : 1. Prof.Drs.H.Mohammad Syukur,M.S.
2. Dra. Justinon, M.Si.
3.
Dr.Ir.Reza
Fadhila,M.I.M.
ABSTRAK
Semen portland umumnya diproduksi dari bahan alam, batu kapur sebagai sumber CaO; lempung sumber: SiO2, dan Al2O3. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan ekosemen dengan menggunakan beberapa variasi komposisi abu sampah sebagai subsitusi sebagian batu kapur.Jenis sampah rumah tangga yang digunakan sudah terpisah dari logam misalnya: kertas, rumput, dedaunan, kayu, dan lain-lain, yang dibakar pada suhu sekitar 700oC. Abu dari hasil kalsinasi sampah rumah tangga, kemudian diayak hingga lolos ayakan ukuran 5 mm. Bahan baku pembuatan ekosemen jenis portland antara lain: batu kapur, tanah liat, MgCO3 teknis, Fe2O3 teknis, gypsum, dan abu sampah rumah tangga. Besaran fisis yang diamati dalam bentuk ekosemen, antara lain: analisa mikrostruktur serbuk setelah dikalsinasi dengan menggunakan XRD, densitas serbuk, diameter partikel dan waktu ikat atau air
setting. Besaran fisis yang diamati dalam bentuk panel beton ekosemen adalah kuat
tekan dan kuat patah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosemen telah berhasil dibuat dengan menggunakan bahan baku: abu sampah, batu kapur, tanah liat, MgCO3 teknis, Fe2O3 teknis, dan gypsum.Komposisi optimal dengan kode sampel D atau 30% abu sampah dan suhu kalsinasi 1300oC dapat mensubtitusi sebagian dari batu kapur dalam pembuatan ekosemen. Komposisi tersebut juga menghasilkan senyawa dominan: C3S, C2S, C3A dan C4AF, mirip dengan senyawa pada semen
portland. Pada kondisi tersebut, menghasilkan karakeristik ekosemen dengan nilai:
densitas terbesar = 3,15 g/cm3, distribusi ukuran diameter partikel berkisar antara 1,19 – 17,01 μm, dengan diameter rata-rata = 6,09 μm. Nilai waktu ikat awal danwaktu ikat akhir, masing-masing sebesar 2 jam 17 menit dan 2 jam 57 menit. Nilai kuat tekan dan kuat patah yang optimum adalah sebesar 53,5 MPa dan 8,58 MPa masing-masing pada beton ekosemen dengan kode sampel D atau 30% abu sampah, suhu kalsinasi 1300oC dan dikeringkan selama 28 hari. .
ABSTRACT
Portland cement is generally produced from natural materials, calcium
carbonate as source of CaO; clay as source of SiO2 and Al2O3. This research
conducted by making ecocement using several variations from house hold garbage ash as clay substitution. The garbage that is used must be separated from metal, for example: paper, grass, leaves, wood, and others. The garbage was burnt at
temperature of 700oC. Then ash from the garbage combustion is sieved, till get away
from 5 mm size sieve. The raw material of portland ecocement: calcium carbonate,
clay, technical MgCO3, technical Fe2O3, gypsum, and household garbage ash. The
physical propeties of ecocement that is measured are: powder microstructure analyze after being calcinated using XRD, powder density, particle diameter and air setting. While the concrete physical properties that are measured are: compressive and flexural strength. From the result shows that the ecocement has succeeded been made using raw material: household garbage ash, calcium carbonate, clay, technical
MgCO3, technical Fe2O3, and gypsum.The optimal composition with D sample code
or 30% household garbage ash and calcination temperature 1300oC can substitute
calcium carbonate in the ecocement making. At that compositions as well give result
of dominant coumpound: C3S, C2S, C3A and C4AF, similar with portland cement
coumpound. The composition gives result of ecocement characteristic: bigest density
= 3.15 g/cm3, particle diameter distribution between 1.19 – 17.01 μm, with average
particle diameter = 6.09 μm. The initial and final setting time are: 2 hours 17
minutes dan 2 hours 57 minutes. The optimum value of compressive and flexural
strength = 53.5 and 8.58 MPa, each at ecocement concrete with D sample code or
30% household garbage ash, calcination temperature is 1300oC and the aging time is
28 days.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul: Pembuatan
Ekosemen Dari Abu Sampah dan Uji Aplikasinya Untuk Panel BETON, dapat
diselesaikan.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah
Republik Indonesia c.q Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang telah memberikan
bantuan dana sehingga kami dapat melaksanakan Program Magister Sains pada
Program Studi Magister Ilmu Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,
Sp.A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa
Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Magister Fisika, Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc. sekaligus
sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan
pikiran dalam membimbing kami sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini.
4. Sekretaris Program Studi Fisika Bapak Nasir Saleh beserta seluruh staf Pengajar
pada Program studi Magister Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
5. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Drs. Mohammad Syukur, MS. yang dengan
penuh perhatian dan telah memberikan dorongan dan bimbingan hingga
6. Pembimbing Lapangan Bapak Prof. (Riset) Drs. H. Perdamean Sebayang, M.Si.
yang telah banyak membantu kami dilapangan hingga selesainya tesis ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana angkatan 2007 khususnya ibu
Suarni Nst dan Jauharah Cut Ali serta semua pihak yang telah memberikan
bantuan dan dorongan kepada kami selama perkuliahan hingga selesainya tesis
ini.
8. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Ayahanda Husin Syafran, Ibunda Ermiyati dan
Kakanda Heri Aliefson beserta Suami tercinta Ir. H. Muhammad Hendra dan
ketiga ananda terkasih: Nava’atidz Dzikraa, Muhammad Ruzika Wasi’an, dan
Luthfiah Yasmin, terima kasih atas segala pengorbanan kalian baik moril maupun
materil, budi baik ini tidak dapat di balas, tapi hanya diserahkan pada Allah SWT
jua.
Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua dalam usaha
meningkatkan mutu pendidikan, dan kami menyadari bahwa tesis ini masih banyak
kekurangan untuk itu dengan kerendahan hati kami mengharapkan saran dan kritik
yang dapat menyempurnakan tesis ini. Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, Juni 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama lengkap berikut gelar : Neli Susanti, S.Pd.
Tempat dan Tanggal Lahir : Solok (Sum-Bar), 29 Mei 1973
Alamat Rumah : Jl. Puri No.156/96 Medan 20215
Instansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 6 Medan
Alamat Kantor : Jl. Ansari No. 34 Medan
Telepon/Faks : (061) 7367580
DATA PENDIDIKAN
SD : SD Negeri 3 Lubuk Gadang (Sum-Bar) Tamat : 1986
SMP : SMP Negeri 2 Muara Labuh (Sum-Bar) Tamat : 1989
SMA : SMA Negeri 1 Muara Labuh (Sum-Bar) Tamat : 1992
Strata-1 : FPMIPA IKIP Padang Tamat : 1997
Strata-2 : Program Studi Magister Fisika Sekolah Pascasarjana Tamat : 2009 Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 19
3.5.3. Pengukuran Diameter Partikel (Particle Size Measurement) 26 3.5.4. Waktu ikat (Air Setting)... .. 27
3.5.5. Kuat Tekan (Compressive Strength) ... 28
3.5.6. Kuat Patah (Flexural Strength) ... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Analisa Komposisi Kimia dari Abu Sampah ... 31
4.2. Analisa Difraksi Sinar-X pada Abu Sampah ... 32
4.3. Pengukuran Densitas Serbuk Abu Sampah... 44
4.4. Diameter Partikel Ekosemen dari Serbuk Abu Sampah ... 45
4.5. Pengujian Air Setting (waktu ikat) ... 49
4.6. Pengujian Kuat Tekan (Compressive Strength) ... 51
4.7. Pengujian Kuat Patah (Flexural Strength) ... 52
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. 1. Perbandingan komposisi fly ash terhadap abu dari sampah ... 2
2. 1. Komposisi Utama Semen Portland. ... 7
2. 2. Karakteristik Semen Portland ... 8
2. 3. Sifat-sifat fisis dari ekosemen. ... 9
3. 1. Variasi komposisi untuk pembuatan ekosemen ... 20
4. 1. Hasil analisa komposisi kimia dari abu sampah. ... 31
4. 2. Hasil analisa komposisi semen dan abu sampah (teoritis) ... 31
4. 3. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel A). ... 34
4. 4. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel B) ... 37
4. 5. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel C) ... 39
4. 6. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel D) ... 40
4. 7. Puncak - puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel E)... 42
DAFTAR GAMBAR
2. 5. Teknik pengujian kuat patah dengan menggunakan tiga titik tumpu (three point bending)... 18
3. 1. Diagram Alir Pembuatan Ekosemen... 21
3. 2. Skema Peralatan Difraksi Sinar –X (XRD). ... 24
4. 1. Pola difraksi dari semen (kode sampel A) yang masing-masing dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC... 33
4. 2. Pola difraksi dari semen (kode sampel B) yang masing-masing dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC. ... 36
4. 3. Pola difraksi semen dari abu sampah (kode sample C) yang dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC ... 38
4. 4. Pola difraksi semen dari abu sampah (kode sample D) yang dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC ... 41
4. 5. Pola difraksi semen dari abu sampah (kode sample E) yang dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC ... 43
4. 6. Hubungan antara densitas terhadap abu sampah (% berat)... 44
4. 7. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, tanpa menggunakan abu sampah yang dibakar pada suhu 1350oC... 46
4. 8. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 10% abu sampah yang dibakar pada suhu 1350oC. ... 47
4.10. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 30% abu sampah yang dibakar pada suhu 1300oC. ... 48
4.11. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 40% abu sampah yang dibakar pada suhu 1250oC. ... 49
4.12. Hubungan antara kuat tekan beton ekosemen terhadap waktu pengerasan, masing-masing untuk sampel A, B, C dan D. ... 51
DAFTAR LAMPIRAN
No. 70-0388: Calcium Silicate (Ca2SiO4)... 67
b...File
No. 42-0551: Calcium Silicate (Ca3SiO5)... 72
c...File
No. 75-1525: Magnesium Oxide (MgO)... 80
j...File
No. 75-0447: Magnesium Oxide (MgO)... 81
2. Data Pengukuran Densitas ... 82
4. Data Pengukuran Prosentase Massa ... 90
5. Data Pengukuran Kuat Tekan ... 96
6. Data Pengukuran Kuat Patah ... 98
7. Alat Pengujian Kuat Tekan dan Kuat Patah ... 100
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi infrastruktur memegang peranan penting dalam
konsep pembangunan demi kenyamanan hidup manusia. Banyak penelitian telah
dilakukan tentang teknologi beton untuk memenuhi kebutuhan dalam dunia properti:
gedung pencakar langit, apartemen, pabrik, dan perumahan. Dalam bidang
perekayasaan material, terus diupayakan penelitian dan inovasinya, termasuk bahan
bangunan terutama komponen struktur. Salah satu material komponen struktur yang
paling populer adalah semen (portland cement) yang saat ini merupakan kebutuhan
yang paling besar dibidang konstruksi.
Semen portland selama ini diproduksi dengan bahan baku dari alam, seperti:
(Anonym, 2006). Bahan batu kapur merupakan komposisi terbesar dalam pembuatan
semen, yaitu sekitar: 75 – 80 % berat, sisanya adalah lempung, alumina, dan besi
oksida (Anonym, 2006). Bahan baku semen tersebut digiling dan dibakar
menghasilkan kalsium silikat, dan kalsium aluminat yang bersifat hidrolis dan
dicampur bahan gips. Proses kalsinasi (kalsinasi) pada tungku (kiln) dapat mencapai
suhu sekitar 1300 – 1350 oC (Mulyono, T., 2005).
Kebutuhan akan semen semakin lama semakin banyak, karena hal tersebut
tidak terlepas dari perkembangan dunia konstruksi dan pembangunan di suatu negara
dan seiring dengan populasi penduduk. Apabila kebutuhan akan semen setiap
tahunnya meningkat, tentunya kebutuhan bahan baku dari alam juga meningkat.
Dengan demikian akibatnya suatu saat deposit bahan alam cenderung menurun dan
habis. Oleh karena itu perlu dipikirkan dan dikaji bahan baku alternatif, agar produksi
semen dimasa mendatang masih tetap ada.
Kemungkinan-kemungkinan bahan alternatif lain sebagai pengganti batu
kapur antara lain: abu terbang batu bara (fly ash), abu hasil kalsinasi sampah, dan
lain-lain. Oleh karena kedua macam bahan baku alternatif tersebut termasuk murah,
berupa limbah dan selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Pada tabel 1. 1,
merupakan perbandingan komposisi kimia dari abu terbang batu bara (fly ash) dengan
abu hasil kalsinasi sampah setelah dipisahkan dari logam.
Tabel 1.1. Perbandingan komposisi fly ash terhadap abu dari sampah
1 MgO 2,60 1,05
2 Na2O 0,14 0,08
3 Fe2O3 7 10,86
4 CaO 31 1,34
5 K2O 0,83 2,41
6 SiO2 46 53,36
7 Al2O3 29 26,49
8 LOI 1,39 1,91
Sumber: Mulyono,T,2005
Dari tabel komposisi diatas maka abu dari sampah sangat potensial sebagai bahan
baku alternatif atau substitusi bahan baku utama semen, yaitu: batu kapur.
Ekosemen adalah salah satu jenis produk semen yang hampir sama dengan
semen portland dan oleh karena bahan bakunya menggunakan bahan berbasis limbah
maka disebut sebagai ekosemen. Dengan mensubstitusi sebagian atau keseluruhan
batu kapur dengan abu sampah tentunya akan mampu untuk mengurangi eksplorasi
bahan alam dan sekaligus mengurangi emisi gas CO2 dari produk samping industri
semen yang tidak ramah terhadap lingkungan (Khaerudini, 2007; Hemmings et.al,
2004). Proses kalsinasi batu kapur pada industri semen dapat menghasilkan emisi gas
buang CO2, tetapi bila jumlah batu kapur bisa diganti atau dikurangi jumlahnya maka
emisi gas buang juga akan menurun (Intercem, 2003).
Penelitian pembuatan ekosemen (Romano, J.S., et.all., 2006) masih jarang
sekali, Ia telah membuat ekosemen dengan mensubstitusi sampai 40 % batu kapur
dengan limbah berupa abu sekam padi. Hasilnya adalah ekosemen yang memiliki
karakteristik yang menyerupai semen portland yang ada dipasaran (Romano, J.S.,
dengan menggunakan bahan baku abu sampah. Dari hasil penelitian akan dilihat
sejauh mana pengaruh variasi komposisi abu sampah terhadap karakteristik ekosemen
(waktu ikat atau air setting, kuat tekan, kuat patah, densitas, dan analisa
1. 2. Tujuan Penelitian
1. Menguasai teknologi pembuatan ekosemen dan karakterisasinya.
2. Memanfaatkan limbah abu sampah sebagai bahan substitusi sebagian batu
kapur untuk pembuatan ekosemen.
3. Mengetahui pengaruh variasi komposisi abu sampah dan suhu kalsinasi
terhadap karakteristik dari ekosemen (waktu ikat, kuat tekan, kuat patah, nilai
hidrolisis, densitas, dan mikrostruktur dengan XRD).
1. 3. Perumusan Masalah
Bagaimana membuat ekosemen dengan menggunakan bahan baku dari
campuran abu sampah, batu kapur, tanah liat, MgCO3 teknis, Fe2O3 teknis, dan
gypsum sehingga nantinya mempunyai kualitas yang menyerupai semen portland.
Permasalahan utama dalam pembentukan semen adalah komposisi dari campuran
bahan baku, karena akan mempengaruhi senyawa-senyawa pembentukan semen
seperti: kalsium silikat (3CaO.SiO2 dan 2CaO.SiO2), Al silikat, Al feri silikat, dan
MgO. Karena pembentukan senyawa-senyawa tersebut dapat mempengaruhi
karakteristik dari semen yang dihasilkan. Disamping itu usaha penggantian sebagian
CaCO3 (batu kapur) dengan abu sampah dapat memberikan kontribusi pengurangan
emisi CO2. Pada penelitian ini juga dicari komposisi optimal abu sampah yang dapat
1. 4. Batasan Masalah
Penelitian pembuatan ekosemen digunakan komposisi seperti pembuatan
semen pada umumnya dengan bahan baku: batu kapur dari CaCO3 teknis, tanah liat ,
MgCO3 teknis, Fe2O3 teknis, serta menggunakan abu dari hasil pembakaran sampah
rumah tangga (domestic waste). Teknologi pembuatan ekosemen sama seperti
pembuatan semen pada umumnya, yaitu: melalui teknik kalsinasi pada suhu 1200,
1250, 1300 dan 1350oC dengan menggunakan tungku listrik. Variasi penambahan abu
sampah yang dilakukan mulai dari 0, 10, 20, 30 dan 40 % berat. Besaran yang diukur
meliputi: analisa mikrostruktur ekosemen dengan XRD, densitas serbuk, diameter
partikel serbuk ekosemen, waktu ikat, kuat tekan dan kuat patah.
1. 5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah untuk menambah ilmu pengetahuan tentang
teknologi pembuatan ekosemen dan mengetahui manfaatnya bagi dunia usaha di
bidang konstruksi. Secara umum, bila berhasil membuat ekosemen dengan
menggunakan bahan baku abu sampah serta memiliki kualitas seperti semen pada
umumnya (semen portland). Harapan kedepan, nantinya akan mampu menurunkan
tingkat pencemaran lingkungan oleh timbunan sampah serta mengurangi pencemaran
1. 6. Hipotesa
Ekosemen jenis portland dapat dibuat melalui substitusi batu kapur dengan
abu sampah, variasi komposisi abu sampah dan suhu kalsinasi akan memberikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Semen Portland
Semen portland adalah material yang mengandung paling tidak 75 % kalsium
silikat (3CaO.SiO2 dan 2CaO.SiO2), sisanya tidak kurang dari 5 % berupa Al silikat,
Al feri silikat, dan MgO (Hanenara, 2005; Taylor, 2009). Ratio mole antara CaO
terhadap SiO2 tidak kurang dari 2. Pada tabel 2.1, menunjukkan komposisi kimia
komponen yang ada di dalam semen portland.
Tabel 2.1. Komposisi Utama Semen Portland
Nama Kimia Rumus Kimia Singkatan % berat
Tricalcium Silicate 3CaO.SiO2 C3S 50
Dicalcium Silicate 2CaO.SiO2 C2S 25
Tricalcium Aluminate 3CaO.Al2O3 C3A 12
Tetracalcium Aluminoferrite 4CaO.Al2O3.Fe2O3 C4AF 8
Gypsum CaSO4.H2O CSH2 3,5
Sumber : Hanenara, 2005
Pembuatan semen portland menggunakan bahan baku utama, berupa: CaO
dari batu kapur atau 70 % berat CaCO3, 20 % berat lempung sebagai sumber silika
(SiO2), alumina (Al2O3); bahan aditif: 1 % berat MgO untuk kontrol komposisi, 1 %
berat Fe2O3, dan 5 –10 % berat gipsum CaSO4.2H2O; untuk mengatur waktu ikat
semen (Sobelev, K.G., et.all., 1997). Reaksi pembentukan C3S, C2S, C3A, C4AF
1350oC. Apabila semen tercampur dengan air, maka akan terjadi proses hidratasi
yang menyebabkan berlangsungnya pengerasan. Mekanisme reaksi hidratasi dari
komponen-komponen semen adalah sebagai berikut (Sobelev, K.G., 2002):
2Ca3OSiO4 + 6H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca (OH)2………... (II.1)
2Ca2SiO4 + 4H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + Ca (OH)2... (II.2)
Ca3 (AlO3)2 + 3CaSO4 + 32H2O Ca6 (AlO3)2 (SO4)3.32H2O... (II.3)
Ca6 (AlO3)2 (SO4)3.32H2O + Ca3 (AlO3)2 + 4H2O 3Ca4 (AlO3)2 SO4).12H2O...(II.4)
2Ca2AlFeO5 + CaSO4+16H2O Ca4 (AlO3)2 (SO4).12H2O + Ca (OH)2 + 2Fe (OH)3...(II.5)
Reaksi hidratasi (II.1) dan (II.3) berlangsung sangat cepat dalam orde menit,
sedangkan reaksi (II.2), (II.4) dan (II.5) berlangsung lambat bisa dalam orde minggu.
Oleh karena itu pengerasan semen yang maksimal bisa mencapai waktu 28 hari
(Sobelev, K.G., 2002).
Karakteristik semen portland meliputi: komposisi kimia, kehalusan butir,
waktu ikat, kekuatan tekan, dan angka hidrolistis. Karakteristik semen portland
ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Karakteristik Semen Portland
Sifat-Sifat Nilai
Kehalusan: sisa diatas ayakan 0,09 mm Max 10 %
Waktu ikat Awal
Pemuaian dalam autoclave Max 0,8 %.
Terminologi ekosemen dibentuk dari kata “ekologi” dan “semen”, dimana
penelitian ekosemen diawali pada tahun 1992. Para peneliti Jepang yang telah
mempelajari dan memproses abu sampah dan endapan air kotor untuk dijadikan
bahan pembuat semen (Dedy Eka Priyanto,2008). Abu dan endapan air kotor
mengandung senyawa-senyawa oksida, seperti: CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 yang
diperlukan dalam pembentukan semen konvensional. Oleh karena itu, abu hasil
insinerasi sampah rumah tangga dapat difungsikan sebagai pengganti batu kapur dan
tanah liat pada pembuatan semen konvensional.
Sampai saat ini, terdapat dua macam tipe ekosemen (berdasarkan penambahan
alkali dan kandungan klor), yaitu: tipe biasa (Ordinary) dan pengerasan cepat (rapid
hardening) .Dari tabel 2. 3 dan gambar 2. 1, terlihat bahwa ekosemen tipe biasa
(Ordinary type ecocement) memiliki waktu pengikat dan rentang waktu yang lebih
lambat dari waktu awal (initial) sampai akhir (final) dibandingkan waktu ikat pada
tipe rapid hardening ecocement.
Tabel 2. 3. Sifat-sifat fisis dari ekosemen
Disamping itu juga dapat mempengaruhi kekuatannya (hardening), dimana
pada rapid hardening type ecocement memiliki nilai compressive strength yang lebih
tinggi. Sedangkan pada high early strength portland cement memiliki waktu setting,
rentang waktu dan nilai compressive strength yang lebih tinggi dari ordinary portland
cement. Ekosemen tipe biasa mempunyai kualitas sama baiknya dengan semen
Portland biasa. Tipe ekosemen ini biasanya digunakan sebagai ready mixed concrete.
Sedangkan ekosemen tipe fast hardening memiliki kekuatan serta pengerasan yang
lebih cepat dibanding semen Portland tipe high-early strength (gambar 2.1).
Ekosemen tipe fast hardening biasanya digunakan pada blok arsitektur, bahan
genteng, pemecah ombak, dan lain sebagainya (Dedy Eka Priyanto,2004). Ekosemen
tipe fast hardening telah melewati Japanese Industrial Standard (JIS).
2. 2. Beton Ekosemen
Teknologi beton dan konstruksi berkembang pesat dengan variasi dan jenis
tertentu, tetapi dalam aspek kemajuannya perlu diperhatikan dampaknya terhadap
lingkungan. Dalam perekayasaan material struktur yang populer adalah beton dengan
campuran pasta semen dan agregat yang membentuk batu buatan (beton plastis).
Beton plastis mengeras karena terjadinya reaksi kimia antara semen dan air yang
dikenal dengan istilah hidrolis. Agregat berupa pasir dan kerikil berfungsi sebagai
pengisi (filler), sedangkan semen sebagai material pengikat (binder) butir-butir
agregat pada campuran beton.
Limbah abu sampah merupakan produk hasil insenerasi sampah perkotaan
yang jumlahnya dapat berkisar 20 – 25% dari total sampah yang dibakar. Abu
insinerator mengandung senyawa-senyawa: 60,1% SiO2 dan 5% Fe2O3, merupakan
bagian dari senyawa yang dibutuhkan pada semen portland. Abu sampah ini dapat
mengurangi pemakaian pasir dan, clay, serta cocok digunakan sebagai bahan pembuat
beton.
Salah satu jenis limbah lain yang bisa dijadikan bahan konstruksi adalah
limbah pertambangan dan sering disebut sebagai tailling. Limbah ini wujudnya
berupa pasir dan bebatuan, berwarna abu-abu keperakan, merupakan bagian yang
tidak berguna dari proses pengolahan batuan bijih untuk diambil emas, tembaga dan
peraknya. Sekelompok peneliti LAPI – ITB (I Gede Agung Yudana, 2007), telah
membuktikan tailling berpotensi besar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku beton.
beton pracetak untuk jembatan. Jenis beton baru ini dapat dipakai dalam
pembangunan perumahan, seperti: pondasi, balok, dinding hingga bagian lainnya.
Penggunaan tailing sebagai bahan baku semen juga sedang dikaji dan apabila dilihat
dari unsur-unsur yang ada dalam limbah pertambangan tersebut sudah memenuhi
syarat, tinggal menambahkan kapur (CaO) . Selama ini semen yang dikenal terdiri
dari kapur, pasir besi dan tanah liat, tailling berfungsi sebagai pengganti pasir besi
dan tanah liat. Kelemahannya, tailling banyak mengandung magnesium yang dapat
menyebabkan beton mudah retak. Namun masalah itu dapat diatasi dengan
menambahkan resin polimer, seperti selulosa asetat sehingga dapat memperkuat
semen. Selain itu, polimer dapat meningkatkan kekuatan juga dapat menetralisir
unsur berbahaya dalam limbah itu. Copper Tailling Polymer Modified Concrete
(CTPMC) adalah beton mortar berbahan tailling yang memiliki kuat tekan lebih
tinggi dari beton konvensional dan sering disebut sebagai high performance concrete.
CTPMC lebih ulet dan memiliki durability (ketahanan atau keawetan terhadap asam,
basa dan garam) lebih baik dari beton konvensional.
Beton secara umum tergolong material komposit yang terdiri dari semen
sebagai matrik dan agregat sebagai bahan pengisi yang berfungsi sebagai penguat.
Agregat dapat berupa agregat halus (misalnya pasir) dan agregat kasar ( kerikil). Jenis
semen yang digunakan bisa berupa semen portland atau semen sintetis lainnya seperti
ekosemen. Dalam pembuatan beton normal digunakan komposisi yaitu perbandingan
volume antara agregat terhadap semen adalah 1:1, sedangkan dalam pencampurannya
kekuatan mekanik dari beton yang dihasilkan, menurut Mulyono (2005)
perbandingan antara air terhadap semen (Faktor Air Semen atau FAS) adalah sekitar
0.25 – 0.55. Pengaruh FAS terhadap kekuatan tekan dari beton ditunjukkan pada
gambar 2.2.
Kuat Tekan beton, MPa
FAS
Sumber :Tarun, 2006
Gambar 2.2. Kurva Hubungan Kuat Tekan Beton Terhadap nilai FAS
Dari gambar 2.2, menunjukkan bahwa dalam pembuatan beton nilai Faktor Air
Semen (FAS) memberikan pengaruh terhadap nilai kuat tekan beton. Bila semakin
besar nilai FAS nya atau penggunaan air dalam pencampuran bahan baku beton
2. 3. Karakterisasi
Karakterisasi yang dilakukan, yaitu: dalam bentuk serbuk, dan dalam bentuk
panel beton. Pengujian dalam bentuk serbuk meliputi: analisa struktur kristal dengan
X Ray Diffraction (XRD), pengukuran densitas, analisa kehalusan butiran semen, dan
waktu ikat. Waktu ikat adalah waktu yang dibutuhkan adonan pasta semen untuk
pengerasan awal dan waktu untuk pengerasan akhir. Pengujian dalam bentuk panel
beton, antara lain: pengujian mekanik (kuat tekan dan kuat patah).
2. 3. 1. Analisa Mikrostruktur dengan X-ray Diffraction (XRD)
Pada analisis difraksi sinar-X menurut Bragg, gelombang datang di hamburkan
oleh bidang-bidang atom yang sejajar seperti gambar 2.3. Sinar-X di pancarkan pada
permukaan atom yang terletak pada bidang-1 dan bidang-2. Setiap atom merupakan
sumber untuk difraksi. Syarat terjadinya pemantulan pada sudut θ adalah apabila
gelombang A’ sefasa dengan B’ dan juga C’ demikian seterusnya, maka terjadilah
penguatan atau interferensi konstruktif. Berkas A’ dan B’ sefasa jika beda lintasan
antara AA’ dengan BB’ sama dengan kelipatan bulat panjang gelombang λ
(1λ,2λ,....,nλ). Beda lintasan dinyatakan dengan jarak 2y, menurut trigonometri yang
selanjutnya dikenal dengan persamaan Bragg (Eddy Marlianto,2004),
y = d sin θ
bidang-1
sinar datang sinar pantul
Gambar 2.3. Model difraksi Bragg
2. 3. 2. Densitas Serbuk Ekosemen
Pengukuran densitas serbuk ekosemen dilakukan menggunakan Picnometer,
besarnya nilai densitas serbuk dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut
2. 3. 3. Diameter Partikel Serbuk Ekosemen
Ukuran butiran ekosemen diukur dengan menggunakan metoda Anderson
Pipet yang memenuhi hukum Stock’s, diameter partikel yang diperoleh adalah
merupakan nilai rata-ratanya, dan dapat dihitung dengan formula (Muljadi, 1992):
d = 10.000 [18η.L/g (ρA - ρS) 60 T]1/2 ... .(II.8)
dengan:
d = Diameter partikel rata-rata (μm).
η = Viskositas air pada suhu kamar = 0,008004 (poise). L = Tinggi suspensi di dalam Anderson Pipet (cm). g = Gravitasi = 980 (g/cm2).
ρA = Densitas air pada suhu kamar = 1 g/cm3.
ρS = Densitas serbuk pada suhu kamar (g/cm3). T = Waktu (detik).
2. 3. 4. Pengukuran Kuat Tekan (Compresive strength)
Kuat tekan beton adalah besarnya beban persatuan luas yang menyebabkan
benda uji beton hancur bila dibebani dengan gaya tekan tertentu, yang dihasilkan dari
alat Universal Testing Machine (UTM). Pengujian kuat tekan panel beton ekosemen
seperti terlihat pada gambar 2.4, dengan bentuk sampel uji berupa silinder,
perbandingan panjang dan diameter, (L/d) adalah 3 : 1 untuk material yang liat, dan
Sumber : Norman, 1999
Besarnya kuat tekan panel beton ekosemen yang dihasilkan dapat dihitung melalui
persamaan sebagai berikut (Miyaki Satoshi 1997):
Kuat Tekan =
A
F
...(II.9)
dengan :
F = Gaya tekan (kgf)
A = Luas penampang = πd2/4 (cm2)
2. 3. 5. Kuat Patah (Flexural Strength)
Kekuatan Patah sering juga disebut dengan Modulus of Rapture (MOR) yang
menyatakan ukuran ketahanan material terhadap tekanan mekanis dan tekanan panas
(thermal Stress). Kekuatan patah ini berkaitan dengan komposisi, struktur material,
pori-pori, dan ukuran butiran. Ada dua cara pengujian untuk menentukan kekuatan
bahan yang berdasarkan tumpuan, yaitu tiga titik tumpu (three point bending) dan d
L
empat titik tumpu (four point bending). Kuat patah dari sampel beton ekosemen dapat
diukur dengan menggunakan alat uji Universal Testing Machine (UTM). Pada
pengujian sampel panel beton ekosemen ini dilakukan dengan sistem tiga titik tumpu,
seperti pada gambar 2.5.
P
Gambar 2.5. Teknik pengujian kuat patah dengan menggunakan tiga titik tumpu (three point bending).
h b
L
Kuat patah sampel panel beton ekosemen berbentuk balok dapat dihitung dengan
persamaan berikut: (Lam F,et all).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1. Bahan Baku
Bahan baku pembuatan ekosemen jenis portland antara lain:
1. Abu hasil kalsinasi sampah rumah tangga
2. Kapur (CaCO3 teknis )
3. Lempung ( Clay )
4. Magnesium karbonat (MgCO3 teknis)
5. Besi Oksida (Fe2O3 teknis)
6. Gipsum (CaSO4.2H2O teknis)
3. 2. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Timbangan
2. Alat-alat gelas
3. Alat Pengaduk Mekanik
4. Tungku Listrik Thermolyn
5. Anderson Pipet Particle Size
6. Cetakan beton ( mould steel)
8. Crucible Refractory
9. Universal Testing Machine (UTM)
10. X-Ray Diffraction (XRD) equipment
11. X-Ray Flourocent (XRF)
12. Lemari Pengering
3. 3. Variabel dan Parameter Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan dalam pembuatan ekosemen adalah:
1. Variasi komposisi campuran bahan baku, dengan perbandingan antara abu
sampah dan CaCO3 masing-masing dibuat: 0 : 70, 10 : 60, 20 : 50, 30 : 40,
dan 40 : 30 (dalam % massa), dimana komponen lainnya dibuat tetap.
2. Variasi temperatur kalsinasi, yaitu: 1200, 1250, 1300, dan 1350oC
(masing-masing ditahan pada suhu tersebut selama 2 jam).
Dalam pembuatan ekosemen dengan variasi komposisi bahan baku mengacu pada
komposisi standar pembuatan semen portland, seperti pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Variasi komposisi untuk pembuatan ekosemen
Kode Sampel Bahan Baku
A B C D E
CaCO3 , % massa 70 60 50 40 30
Abu Sampah, % massa 0 10 20 30 40
Lempung , % massa 20 20 20 20 20
MgCO3 , % massa 1 1 1 1 1
Fe2O3 , % massa 1 1 1 1 1
Parameter pengujian yang dilakukan meliputi:
1. Pengujian ekosemen dalam bentuk serbuk: analisa struktur kristal dengan
XRD, pengukuran densitas, analisa kehalusan butiran semen, dan waktu ikat.
Pengujian waktu ikat adalah waktu yang dibutuhkan adonan pasta panel beton
untuk pengerasan awal (initial air setting) dan waktu untuk pengerasan akhir
(final air setting).
2. Pengujian ekosemen dalam bentuk panel beton, antara lain: pengujian
mekanik. Pengujian mekanik meliputi: kekuatan tekan dan patah dari panel
beton yang telah di aging, selama: 7, 14, 21 dan 28 hari.
3. 4. Prosedur Pembuatan Ekosemen
Adapun tahapan yang dilakukan pada pembuatan ekosemen seperti
ditunjukkankan pada diagram alir gambar 3.1.
Langkah pelaksanaan pembuatan ekosemen yang sesuai dengan jenis semen portland
adalah sebagai berikut:
1. Persiapkan terlebih dahulu abu dari hasil kalsinasi sampah rumah tangga
dengan suhu kalsinasi sekitar 700oC. Jenis sampah yang dibakar adalah
sampah kering, misalnya: kertas, rumput, dedaunan, kayu, dan lain-lain.
2. Kemudian abu diayak dengan ayakan ukuran 5 mm.
3. Bahan Baku: CaCO3, Abu sampah, Lempung, MgCO3, dan Fe2O3 ditimbang
sesuai dengan komposisi, seperti pada tabel 3.1. Kemudian dicampur dengan
air, perbandingan total berat serbuk : berat air = 1 : 1. Air dan serbuk bahan
baku dimasukkan ke dalam ball mill dan digiling sambil dicampur selama 24
jam, supaya percampurannya betul-betul homogen.
4. Setelah digiling dengan ball mill, kemudian dikeringkan di dalam lemari
pengering pada suhu 100oC, sampai diperoleh campuran serbuk yang
betul-betul kering.
5. Campuran serbuk yang telah kering, selanjutnya dibakar atau dikalsinasi
dengan menggunakan tungku listrik pada suhu: 1200, 1250, 1300, dan 1350oC
yang masing-masing ditahan selama 2 jam.
6. Hasil sampel yang telah dikalsinasi disebut sebagai klinker yang menggumpal
dan keras. Untuk dijadikan ekosemen harus ditambahkan bubuk gipsum dan
digiling menggunakan ball mill (proses kering) selama 24 jam.
7. Selanjutnya diayak hingga lolos ayakan 400 mesh dan diperoleh bubuk halus
8. Pengujian ekosemen dalam bentuk serbuk, meliputi: analisa struktur kristal
dengan XRD, pengukuran densitas serbuk, analisa kehalusan butiran semen,
dan waktu ikat. Sedangkan pengujian waktu ikat dilakukan untuk menentukan
waktu yang dibutuhkan adonan pasta panel beton untuk terjadi pengerasan
awal dan waktu yang diperlukan untuk pengerasan akhir.
9. Untuk pengujian ekosemen dalam bentuk panel beton, maka perlu dilakukan
pencampuran ekosemen dengan agregat (pasir). Perbandingan komposisi
panel beton dibuat tetap, yaitu: perbandingan ekosemen : agregat (pasir) = 1:3
(ratio volum). Adapun besaran fisis yang diamati pada panel beton, antara
lain: pengujian mekanik. Pengujian mekanik meliputi: kekuatan tekan dan
patah dari panel beton yang telah di aging, selama: 7, 14, 21 dan 28 hari.
3. 5. Karakterisasi
Ada dua tahap pengujian yang dilakukan, yaitu: pengujian ekosemen dalam
bentuk serbuk, dan dalam bentuk panel beton. Pengujian ekosemen dalam bentuk
serbuk meliputi: analisa struktur kristal dengan XRD, pengukuran densitas, dan
analisa kehalusan butiran semen dan waktu ikat. Pengujian waktu ikat adalah waktu
yang dibutuhkan adonan pasta panel beton untuk pengerasan awal dan waktu untuk
pengerasan akhir.
Sedangkan pengujian ekosemen dalam bentuk panel beton, antara lain:
pengujian mekanik. Pengujian mekanik meliputi: kekuatan tekan dan patah dari panel
3. 5. 1. Analisa Struktur Kristal dengan X Ray Diffraction (XRD)
Struktur kristal atau fasa yang terbentuk dari beton ekosemen dapat
diidentifikasikan berdasarkan data yang diperoleh dari alat XRD, seperti ditunjukkan
pada gambar 3.2. Hasil yang diperoleh adalah berupa pola difraksi yang menyatakan
hubungan antara intensitas (I) terhadap sudut difraksi (2θ), kemudian pola ini
dicocokkan nilai jarak kisi (d) dengan data dari JCPDS card untuk mengetahui fasa
yang terbentuk.
θ θ 2
Gambar 3.2. Skema Peralatan Difraksi Sinar –X (XRD)
Pada gambar 3.2, peralatan XRD terdiri dari:
1. Generator tegangan tinggi (A), berfungsi sebagai catu daya pada sumber sinar -
X (B)
2. Sampel (C) diletakan di atas tatakan (D) yang sudutnya dapat diatur.
3. Sinar-X dari sumber (B) didifraksi oleh sampel menjadi berkas sinar konvergen
4. D dan F dihubungkan secara mekanis, jika (F) berputar 2 maka D berputar
sebesar .
5. Intensitas difraksi sinar-X yang masuk dalam pelat pencacah (F), dikonversikan
dengan alat kalibrasi (G) dalam signal tegangan yang disesuaikan dan direkam
oleh recorder atau alat perekam (H) dalam bentuk kurva.
6. Dari pengujian ini diperoleh grafik hubungan sudut 2 dengan intensitas pola
struktur dari berbagai puncak.
Dengan menggunakan persamaan II.6, maka besarnya jarak antar kisi (d) dapat
ditentukan, kemudian nilai ini (d yang telah dihitung) dicocokan dengan nilai d dari
JCPDS card.
3. 5. 2. Densitas Serbuk
Pengukuran densitas serbuk ekosemen dilakukan menggunakan Picnometer,
prosedur pengukuran densitas serbuk adalah sebagai berikut:
1. Timbang berat kosong Picnometer bersama penutupnya, mo (gram).
2. Masukkan air ke dalam Picnometer dan tutup sampai air menyembul keluar,
kemudian bagian luar Picnometer dikeringkan dan ditimbang, mA (gram).
3. Air dibuang dan Picnometer dikeringkan dengan cara memasukkannya ke dalam
oven pengering sampai suhu 100oC.
4. Timbang kembali berat Picnometer kosong dan beratnya sama dengan berat
5. Picnometer diisi dengan sampel berupa serbuk dan ditimbang massanya, mS
(gram), dimana serbuk tidak boleh menempel pada bagian leher Picnometer.
6. Picnometer yang telah berisi sampel serbuk ditambahkan air sampai airnya
menyembul keluar, bagian luarnya dikeringkan lalu ditimbang kembali,
mSA(gram).
Dengan menggunakan persamaan II.7, maka densitas serbuk dapat dihitung.
3. 5. 3. Pengukuran Diameter Partikel (Particle Size Measurement)
Kehalusan ukuran butiran dilakukan dengan menggunakan metoda
Anderson Pipet, dengan metoda ini diperoleh distribusi ukuran partikel dan diameter
partikel rata-rata. Prosedur pengujian diameter partikel adalah sebagai berikut:
1. Sampel berupa serbuk dikeringkan di dalam oven sebanyak 4,5 gram, dimasukkan
ke dalam beaker gelas, ditambahkan air sebanyak 10 ml dan celuna 5 ml, diaduk
dan kemudian ditambahkan lagi air sebanyak 300 ml.
2. Suspensi dituangkan ke dalam tabung atau bejana Anderson Pipet dan diatur
isinya hingga mencapai ketinggian 26,5 cm.
3. Pada detik ke nol, suspensi diambil melalui selang (pipet) hingga ketinggian
suspensi mencapai ketinggian tertentu. Kemudian dimasukkan ke dalam botol
kosong yang sebelumnya sudah ditimbang dan dikeringkan di dalam oven.
4. Pengambilan suspensi diulang setelah 3, 10, 20, 30, 45, 60, 120, 180, 300, 480,
kering, kemudian ditimbang kembali maka berat serbuk sebagai fungsi waktu
diketahui.
Dengan menggunakan persamaan II.8, maka ukuran diameter partikel untuk
masing-masing waktu dapat dihitung.
3. 5. 4. Waktu ikat (Air Setting)
Semen jika bereaksi dengan air akan membentuk lapisan kristal halus dan
bersifat koloit pada permukaan semen. Lapisan ini sangat tipis dan plastis, tetapi
sebagai fungsi waktu menjadi keras dan membentuk kristal sempurna. Hidrasi yang
terjadi pada tahap awal disebut setting dan pada tahap akhir dinamakan hardening.
Pada tahap hardening dimulai dengan pengerasan awal (saat sifat plastis mulai
berkurang) hingga mencapai pengerasan akhir (saat sifat plastis hilang seluruhnya).
Waktu yang dibutuhkan pada saat pengerasan awal akan terpenuhi, apabila beton
masih dapat dicampur kembali dengan air dan dapat mengikat atau bereaksi dengan
beton sebelumnya. Sedangkan waktu pengerasan akhir akan dicapai, apabila beton
tidak dapat dicampur kembali dengan air dan tidak mengikat atau bereaksi dengan
beton sebelumnya, serta dapat mengakibatkan kekuatan semen berkurang.
Pengukuran waktu pengerasan awal dan pengerasan akhir dilakukan dengan
menggunakan timer, dimana waktunya dicatat untuk masing-masing komposisi yang
dibuat. Alat pengaduk yang digunakan adalah mixer dengan kecepatan konstan
3. 5. 5. Kuat tekan (Compressive strength)
Untuk mengetahui besarnya kuat tekan dari beton ekosemen yang telah
dibuat, maka perlu dilakukan pengujian yang mengacu pada standar ASTM C 39 –
2001. Alat yang digunakan untuk menguji kuat tekan adalah Universal Testing
Mechine (UTM). Model cetakan untuk benda uji dan dimensi benda uji berupa
selinder, seperti gambar pada lampiran L-37.
Prosedur pengujian kuat tekan dari beton ekosemen adalah sebagai berikut:
1. Sampel berbentuk selinder diukur diameternya, minimal dilakukan tiga kali
pengulangan. Dengan mengetahui diameter (d), maka luas penampang dapat
dihitung, A = π(d2/4).
2. Atur tegangan supply sebesar 40 volt, untuk menggerakkan motor penggerak
kearah atas maupun bawah. Sebelum pengujian berlangsung, alat ukur (gaya)
terlebih dahulu dikalibrasi dengan jarum penunjuk tepat pada angka nol.
3. Kemudian tempatkan sampel tepat berada di tengah pada posisi pemberian gaya
(lihat gambar), dan arahkan switch ON/OFF ke arah ON, maka pembebanan
secara otomatis akan bergerak dengan kecepatan konstan sebesar 4 mm/menit.
4. Apabila sampel telah pecah, arahkan switch kearah OF maka motor penggerak
akan berhenti. Kemudian catat besarnya gaya yang ditampilkan pada panel
display, saat beton polimer tersebut rusak.
Dengan menggunakan persamaan (II.9) maka nilai kuat tekan dari beton ekosemen
3. 5. 6. Kuat Patah (Flexural Strength)
Untuk mengetahui besarnya kuat patah dari beton ekosemen yang telah
dibuat, maka perlu dilakukan pengujian yang mengacu pada standar ASTM C 348 –
1997. Alat yang digunakan untuk menguji kuat patah adalah Universal Testing
Mechine (UTM). Model cetakan dan dimensi benda uji untuk kuat patah benda
berbentuk balok, seperti gambar 3.5. a. dan 3.5. b.
Sedangkan pengujian kuat patah beton ekosemen dilakukan dengan menggunakan
Universal Testing Mechine (UTM), seperti ditunjukkankan pada gambar 3.6. Pada
lampiran gambar.
Prosedur pengujian kuat patah beton ekosemen adalah sebagai berikut:
1. Sampel berbentuk balok diukur lebar dan tingginya, minimal dilakukan tiga kali
pengulangan, kemudian atur jarak titik tumpu (span) sebesar 10 cm sebagai
dudukan sampel (lihat gambar 3. 6).
2. Atur tegangan supply sebesar 40 volt, untuk menggerakkan motor penggerak
kearah atas maupun bawah. Sebelum pengujian berlangsung, alat ukur (gaya)
terlebih dahulu dikalibrasi dengan jarum penunjuk tepat pada angka nol.
3. Kemudian tempatkan sampel tepat berada di tengah pada posisi pemberian gaya
(lihat gambar 3.6), dan arahkan switch ON/OFF ke arah ON, maka pembebanan
secara otomatis akan bergerak dengan kecepatan konstan sebesar 4 mm/menit.
4. Apabila sampel telah patah, arahkan switch kearah OF maka motor penggerak
akan berhenti. Kemudian catat besarnya gaya yang ditampilkan pada panel
Dengan menggunakan persamaan (II.10) maka nilai kuat patah dari beton ekosemen
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Analisa Komposisi Kimia dari Abu Sampah
Abu yang dihasilkan dari pembakaran sampah rumah tangga, diayak hingga
lolos ayakan 5 mm, dan dianalisa komposisi kimianya dengan menggunakan X-Ray
Flourocent (XRF), seperti pada tabel 4.1. Dari tabel 4.1, menunjukkan bahwa
komposisi dari abu sampah dominan mengandung: CaO, SiO2, Al2O3 , Cl dan Fe2O3,
sedangkan senyawa lainnya relatif kecil (< 5% berat). Senyawa-senyawa tersebut
diperlukan dalam pembentukan semen konvensional, karena abu sampah dapat
berfungsi sebagai perekat dan pengganti semen. Menurut referensi(Anonym, 2006),
hasil analisa kimia dari semen dan abu insenerasi pada tabel 4.2.
Tabel 4.1. Hasil analisa komposisi kimia dari abu sampah.
Komposisi (dalam % berat)
CaO SiO2 Al2O3 Fe2O3 SO3 MgO Na2O K2O Cl LOI
30,4 22,9 19,7 5,6 2,1 4,8 3,3 2,6 8,5 11,0
Tabel 4.2. Hasil analisa komposisi semen dan abu sampah
Komposisi (% berat) CaO SiO2 Al2O3 Fe2O3 SO3
Semen konvensional 62 - 65 20 - 25 3 - 5 3 – 4 2 – 3
Ternyata dari hasil pengamatan komposisi kimia dari abu hasil pembakaran
sampah rumah tangga mendekati karakteristik abu insenerasi (teoritis) dan memenuhi
syarat atau layak untuk digunakan sebagai bahan subsitusi semen. Artinya dengan
pemanfaatan abu sampah pada proses produksi ekosemen, maka penggunaan kapur
dapat dikurangi dan dapat mengurangi beban lingkungan atas emisi gas CO2 pada
industri semen.
4. 2. Analisa Difraksi Sinar X pada Abu Sampah
Sampel A ( 0 % abu sampah)
Hasil pengamatan X-ray Diffraction (XRD) semen dari abu sampah (kode
sampel A) yang masing-masing dibakar pada suhu 1200, 1250, 1300 dan 1350oC,
Sampel A
Gambar 4.1. Pola difraksi dari semen (kode sampel A) yang masing-masing dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC
Puncak – puncak yang terbentuk untuk komposisi A atau tanpa menggunakan abu
pada suhu pembakaran 1200 – 1350oC, ditunjukkankan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel A)
Jumlah puncak Suhu
(oC) C
2S C3S C3A C4AF CaSO4 E Q Cr C S
1200 - - - - 2 1 2 2 2 -
1250 3 6 - - 3 - - -
1300 3 6 - - 3 1 - - - -
1350 4 7 2 1 3 1 - - - -
Untuk pembuatan ekosemen dengan komposisi A atau tanpa menggunakan abu, suhu
pembakaran yang dibutuhkan adalah sekitar 1350oC, karena pada suhu tersebut
senyawa-senyawa dominan yang terbentuk adalah mirip dengan semen portland,
yaitu: C3S, C2S, C3A C3AF dan C4AF. Senyawa C3S berfungsi sebagai penguat awal
dan penguat tetap, bila terhidrasi maka akan cepat terhidrolisis menjadi C2S dan
Ca(OH)2. Sedangkan Ca(OH)2 itu sendiri akan membentuk kristal padat yang
menyebabkan semen kaku dan padat. C2S berfungsi sebagai penambah kekuatan
untuk waktu yang lama dan senyawa ini dapat menyebabkan panas hidrasi rendah,
sehingga waktu pengikatan semen menjadi lambat dan relatif tahan terhadap sulfat
yang tinggi. C3A berfungsi menambah kekuatan beton dan mempercepat proses
pengikatan disertai panas yang tinggi saat bercampur dengan air. Reaksi ini
butir C3A. Oleh karena itu penambahan gipsum berperan untuk menghambat laju
hidrasi C3A. Senyawa C4AF menimbulkan panas hidrasi rendah, menambah kekuatan
beton dalam jumlah yang kecil atau sama sekali tidak. Senyawa besi pada C4AF
berpengaruh terhadap warna semen dan meningkatkan temperatur pembakaran.
Dengan demikian apabila bahan baku yang digunakan hanya berupa: CaCO3,
lempung, MgCO3, Fe2O3 dan gipsum (CaSO4 2H2O) maka suhu yang dibutuhkan
untuk pembuatan ekosemen relatif lebih tinggi, yaitu sekitar 1350oC. Untuk suhu
1250 - 1300oC terlihat bahwa senyawa yang terbentuk dan mirip dengan semen
portland , seperti: C3S, dan C2S. Pada suhu 1200oC ternyata malah tidak terbentuk
sama sekali senyawa yang mirip dengan semen portland.
Sampel B ( 10 % abu sampah )
Hasil pengamatan XRD semen dari abu sampah (kode sampel B) yang dibakar pada
suhu 1200, 1250, 1300 dan 1350oC, seperti pada gambar 4.2. Dengan datanya pada
lampiran halaman L3.Pada komposisi B atau dengan 10% berat abu sampah rumah
tangga juga tetap membutuhkan suhu pembakaran sekitar 1350oC. Pada suhu tersebut
senyawa-senyawa dominan yang terbentuk adalah mirip dengan semen portland,
yaitu: C3S, C2S, C3A dan C3AF. Kondisi yang sama terjadi pada suhu 1250 - 1300oC,
yaitu hanya ada senyawa: C3S, dan C2S dan pada suhu 1200oC tidak terbentuk sama
Sampel B
Gambar 4.2. Pola difraksi dari semen (kode sampel B) yang masing-masing dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC
Pada tabel 4.4, menunjukkan puncak-puncak yang terbentuk untuk komposisi
B atau dengan menggunakan 10% abu yang dibakar pada suhu 1200 – 1350oC.
Tabel 4.4. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel B).
Jumlah puncak Suhu
(oC) C2S C3S C3A C4AF CaSO4 E Q Cr C S
1200 - - - - 2 1 2 2 2 -
1250 3 6 - - 3 - - -
1300 3 6 - - 3 - - -
1350 4 7 2 1 3 - - -
Sampel C (20 % abu sampah)
Hasil pengamatan XRD semen dari abu sampah (kode sampel C) yang dibakar pada
suhu 1200, 1250, 1300 dan 1350oC, seperti ditunjukkan pada gambar 4. 3. dan
datanya pada lampiran halaman L5. Pada komposisi C atau dengan 20% berat abu
sampah rumah tangga, membutuhkan suhu pembakaran sekitar 1300 – 1350oC. Pada
suhu tersebut senyawa-senyawa dominan yang terbentuk adalah mirip dengan semen
portland, yaitu: C3S, C2S, C3A dan C3AF. Sedangkan pada suhu 1250oC, sudah mulai
terbentuk sebagian senyawa: C3S, dan C2S yang merupakan bagian dari senyawa
semen portland. Pada suhu 1200oC tidak terbentuk sama sekali senyawa yang sama
dengan semen portland. Dengan demikian untuk penambahan 20% berat abu sampah
rumah tangga suhu pembakaran terendah adalah sekitar 1300oC, sehingga ekosemen
C3A
Pada tabel 4.5, menunjukkan puncak-puncak yang terbentuk untuk komposisi
C atau dengan menggunakan 20% abu yang dibakar pada suhu 1200 – 1350oC.
Tabel 4.5. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel C).
Jumlah puncak Suhu
(oC) C2S C3S C3A C4AF CaSO4 E Q Cr C S
1200 - - - - 3 - 1 2 2 1
1250 1 2 - - 3 - 1 1 1 -
1300 2 2 2 1 3 - - -
1350 4 7 2 1 3 - - -
Sampel D (30 % abu sampah)
Hasil pengamatan XRD dari abu sampah (kode sampel D) yang dibakar pada suhu
1200, 1250, 1300 dan 1350oC, seperti ditunjukkan pada gambar 4.4.Dengan datanya
pada lampiran L7. Pada tabel 4.6, ditunjukkan puncak-puncak yang terbentuk untuk
komposisi D atau dengan menggunakan 30% abu yang dibakar pada suhu 1200 –
Tabel 4.6. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel D)
Jumlah puncak Suhu
(oC) C
2S C3S C3A C4AF CaSO4 E Q Cr C S
1200 - - - - 3 - 1 2 2 1
1250 1 2 - - 3 - 1 1 1 -
1300 2 2 2 1 3 - - -
1350 - - - - - -
Pada komposisi D atau 30% berat abu sampah rumah tangga dengan suhu
pembakaran sekitar 1350oC terjadi penggelasan atau sampelnya lebur. Pada kondisi
ini tidak terdapat puncak-puncak atau tidak terbentuknya struktur yang menyerupai
semen, artinya hanya terbentuk struktur amorfus. Sedangkan pada suhu pembakaran
1300oC Sampel D atau dengan 30% berat abu sampah rumah tangga, menghasilkan
senyawa dominan: C3S, C2S, C3A dan C4AF yang mirip dengan semen portland. Pada
suhu 1250oC, mulai terbentuk sebagian senyawa: C3S, dan C2S yang merupakan
bagian dari senyawa semen portland, tetapi belum sempurna. Pada suhu 1200oC
belum terbentuk senyawa yang sama dengan semen portland. Oleh karena itu
penambahan 30% berat abu sampah rumah tangga dengan suhu pembakaran sekitar
13500C
Gambar 4.4. Pola difraksi semen dari abu sampah (kode sample D) yang dibakar pada suhu: 1200, 1250, 1300 dan 1350oC
Sampel E ( 40 % abu sampah )
Hasil pengamatan XRD semen dari abu sampah (kode sampel E) yang dibakar
pada suhu 1200, 1250, 1300 dan 1350oC, seperti pada gambar 4.5.dan datanya pada
lampiran hal L8. Pada tabel 4.7, ditunjukkan puncak-puncak yang terbentuk untuk
komposisi E atau dengan menggunakan 40% abu yang dibakar pada suhu 1200 –
1350oC.
Tabel 4.7. Puncak-puncak yang terbentuk sebagai fungsi suhu pembakaran (Sampel E).
Jumlah puncak Suhu
(oC) C2S C3S C3A C4AF CaSO4 E Q Cr C S
1200 - - - - 3 - 1 2 2 1
1250 1 2 - - 3 - 1 1 1 -
1300 - - - - - - - -
1350 - - - - - -
Pada komposisi E atau 40% berat abu sampah rumah tangga dengan suhu
pembakaran 1300 – 1350oC telah terjadi penggelasan atau sampelnya lebur. Pada
kondisi ini tidak terdapat puncak-puncak atau tidak terbentuknya struktur yang
menyerupai semen, artinya hanya terbentuknya struktur amorfus. Pada suhu 1250oC,
mulai terbentuk sebagian senyawa: C3S, dan C2S yang merupakan bagian dari
senyawa semen portland, tetapi belum sempurna. Pada suhu 1200oC belum terbentuk
senyawa yang sama dengan semen portland. Berdasarkan hasil pengamatan dengan
XRD dari berbagai pola yang diperoleh maka penambahan abu sampah rumah tangga
maksimal adalah sebesar 30% berat dengan suhu pembakaran sekitar 1300oC,
berat abu sampah) tidak membentuk semen, sehingga tidak layak dipergunakan
sebagai bahan pengikat untuk pembuatan beton.
y Sampel E
Menurut (Hanehara, 2005), mineral komposisi ekosemen yang dominan
adalah C3S, C2S, C3A, C4AF, dan CaSO4, baik untuk tipe portland, maupun normal
portland cement kecuali pada rapid hardening adanya tambahan mineral C11A7CaCl2.
4. 3. Pengukuran Densitas Serbuk Abu Sampah
Picnometer adalah alat untukmengukur densitas serbuk, nilai densitas serbuk
ekosemen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.7. Berdasarkan hasil
pengamatan dengan XRD, maka nilai densitas serbuk ekosemen yang diukur adalah
yang terbaik dari masing-masing komposisi dan suhu pembakaran tertentu saja.
Untuk sampel A dipilih pada suhu 1350oC, sampel B pada suhu 1350oC, sampel C
pada suhu 1300oC, sampel D pada suhu 1300oC dan sampel E pada suhu 1250oC.
Hasil pengukuran densitas serbuk ekosemen pada beberapa komposisi abu sampah
ditunjukkan pada gambar 4.6.
2.9
Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai densitas serbuk ekosemen berkisar
antara 2,98 – 3,15 g/cm3. Nilai densitas tertinggi diperoleh pada komposisi 30% abu
sampah dan suhu pembakaran 1300oC, yaitu sebesar 3,15 g/cm3. Artinya jumlah abu
sampah maksimum yang dapat digunakan adalah 30%, pada suhu pembakaran
1300oC yang disarankan sebagai material ekosemen. Pada komposisi diatasnya (40%
berat abu sampah) tidak menghasilkan ekosemen, karena struktur yang dihasilkan
tidak sama dengan semen portland. Nilai densitas semen portland adalah sekitar
2,97 g/cm3 (holcim,2008), densitas produk ecocement adalah 3,16 g/cm3. (Taiheiyo Cement Corp., 2004), dan densitas dari normal portland cement (NPC) adalah 3,17
g/cm3 (Hanehara, 2005).
4. 4. Diameter partikel ekosemen dari Serbuk Abu Sampah
Diameter partikel ekosemen diukur dengan menggunakan metoda Anderson
Pipet yang memenuhi hukum Stock’s, dan dapat dihitung dari persamaan II.8.
Distribusi ukuran diameter partikel dari ekosemen, tanpa abu sampah yang dibakar
0.0
Particle Diameter (μm)
M
Gambar 4.7. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, tanpa menggunakan abu sampah yang dibakar pada suhu 1350oC.
Dari gambar 4.7, terlihat bahwa dengan jumlah massa partikel > 20%, mempunyai
distribusi ukuran diameter partikel berkisar antara 1,24 – 17,70 μm, dan diameter
rata-rata adalah sebesar 6,36 μm.
Distribusi ukuran diameter partikel dari ekosemen, dengan 10% abu sampah
yang dibakar pada suhu 1350oC, seperti ditunjukkan pada gambar 4.8. Dari gambar
terlihat bahwa dengan jumlah massa partikel > 20%, mempunyai distribusi ukuran
diameter partikel berkisar antara 1,22 – 17,45 μm, dan diameter rata-rata adalah
sebesar 6,25 μm. Pola distribusi partikel dari ekosemen untuk sampel A dan B yang
0.0
Particle Diameter (μm)
M
Gambar 4.8. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 10% abu sampah yang dibakar pada suhu 1350oC
Sample C, 1300oC
Distribusi ukuran diameter partikel dari ekosemen, dengan 20% abu sampah yang
dibakar pada suhu 1300oC, seperti ditunjukkan pada gambar 4.9. Dari gambar, terlihat
bahwa dengan jumlah massa partikel > 20%, mempunyai distribusi ukuran diameter
partikel berkisar antara 1,20 – 17,21 μm, dan diameter rata-rata adalah sebesar 6,16 μm.
Pola distribusi partikel dari ekosemen untuk sampel A, B dan C relatif hampir sama.
Gambar 4.9. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 20% abu sampah yang dibakar pada suhu 1300oC
Particle Diameter (μm)
Distribusi ukuran diameter partikel dari ekosemen, dengan 30% abu sampah
yang dibakar pada suhu 1300oC, seperti diperlihatkan pada gambar 4.10. Dari
gambar, terlihat bahwa dengan jumlah massa partikel > 20%, mempunyai distribusi
ukuran diameter partikel berkisar antara 1,19 – 17,01 μm, dan diameter rata-rata
adalah sebesar 6,09 μm. Pola distribusi partikel dari ekosemen untuk sampel A, B, C
dan D relatif hampir sama.
0.0 20.0 40.0
Gambar 4.10. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 30% abu sampah yang dibakar pada suhu 1300oC
Particle Diameter (μm)
M
Distribusi ukuran diameter partikel dari ekosemen, dengan 40% abu sampah
yang dibakar pada suhu 1250oC, seperti ditunjukkan pada gambar 4.11. Dari gambar,
terlihat bahwa dengan jumlah massa partikel > 20%, mempunyai distribusi ukuran
diameter partikel berkisar antara 1,22 – 2,83 μm, dan 6,57 – 17,52 μm, diameter
rata-rata adalah sebesar 7,10 μm. Pola distribusi partikel dari ekosemen untuk sampel E
0.0
Particle Diameter (μm)
Ma
Gambar 4.11. Hubungan antara persen massa terhadap diameter partikel dari ekosemen, dengan 40% abu sampah yang dibakar pada suhu 1250oC
Ukuran partikel semen menurut (Horiba 2008) relatif lebih kecil dari 50 μm.
Sedangkan diameter rata-rata portland cement tipe ordinary ada dua ukuran, yaitu: 5
dan 30 μm, tetapi pada umumnya lebih banyak produksi semen pada diameter 5 μm
(holcim oilwell cemen,2008).
4. 5. Pengujian Air Setting ( waktu ikat)
Pengerasan (hardening) dimulai dengan pengerasan awal (saat sifat plastis
mulai berkurang) hinggga mencapai pengerasan akhir (saat sifat plastis hilang
seluruhnya). Waktu pengerasan awal adalah waktu yang dibutuhkan beton masih
dapat dicampur kembali dengan air dan dapat mengikat atau bereaksi dengan beton
dapat dicampur kembali dengan air dan tidak mengikat atau bereaksi dengan beton
sebelumnya, serta dapat mengakibatkan kekuatan semen berkurang. Hasil pengujian
waktu initial dan final setting diperlihatkan pada tabel 4. 8. Dari tabel 4. 8,
ditunjukkan bahwa pengaruh penambahan abu sampah lebih banyak akan
mempercepat setting time yang dibutuhkan. Ternyata dari ke lima sampel yang
dibuat, menunjukkan bahwa sampel E tidak mempunyai daya rekat yang baik, karena
mudah terdegradasi.
Tabel 4.8. Hasil pengujian air setting dari ekosemen berbasis abu sampah dengan W/C = 0,5
Setting time (jam, menit) Kode
Sampel Initial Final Keterangan
Sampel A, 1350oC 2, 28 3, 35 Tanpa abu sampah
Sampel B, 1350oC 2, 23 3, 13 10% abu sampah
Sampel C, 1300oC 2, 21 3, 01 20% abu sampah
Sampel D, 1300oC 2,17 2,57 30% abu sampah
Sampel E, 1250oC 2,14 2,54 40% abu sampah
Pada pembuatan ekosemen yang membutuhkan air sebanyak 17,6% menghasilkan
initial dan final setting time masing-masing sebesar 4 jam 59 menit dan 7 jam (Lian
Huizhen and Yan Peiyu, 2008). Pada jenis semen portland menghasilkan initial
setting time sebesar 2 jam dan final setting time sebesar 4 jam 30 menit. Sedangkan
pada rapid hardening mengasilkan initial dan final setting time sebesar 9 menit dan
13 menit. Untuk normal portland cement (NPC) menghasilkan initial dan final
4. 6. Pengujian Kuat Tekan (Compressive Strength)
Untuk menguji kuat tekan dari beton ekosemen yang telah dibuat
menggunakan alat Universal Testing Mechine (UTM). Hasil pengujian kuat tekan
ditunjukkan pada gambar 4.12.
30
Gambar 4.12. Hubungan antara kuat tekan beton ekosemen terhadap waktu pengerasan, masing-masing untuk sampel A, B, C dan D
Dari gambar 4.12, menunjukkan bahwa kuat tekan beton ekosemen yang diperoleh
berkisar antara 32,5 – 53,5 MPa dan kuat tekan beton dengan semen dari abu
insinerator dengan kode sampel C40 adalah sekitar 52 MPa (Lian Huizhen and Yan
Peiyu, 2008). Hasil pengujian menunjukkan bahwa waktu pengerasan berbanding
lurus terhadap kuat tekan beton ekosemen. Sedangkan untuk komposisi 30% abu
sampah yang dibakar pada suhu 1300oC dan dikeringkan selama 21 hari
Apabila dilihat kuat tekan dari ekosemen yang dikeringkan selama 28 hari adalah
sebesar 55 N/mm2 (55 MPa), sumber: (Anonym, 2006).
4. 7. Pengujian Kuat Patah (Flexural Strength)
Untuk menguji kuat patah dari beton ekosemen yang telah dibuat
menggunakan alat Universal Testing Mechine (UTM). Hasil pengujian kuat patah
ditunjukkan pada gambar 4.13.
2
Kuat patah beton konvensional = 4,9 MPa
K
u
a
Sampel B Sampel A
Gambar 4.13. Hubungan antara kuat patah beton ekosemen terhadap waktu pengerasan, dari masing-masing sampel: A, B, C dan D
Dari gambar 4. 13, menunjukkan bahwa kuat patah dari beton ekosemen adalah
berkisar antara 2,82 – 8,58 MPa, kuat patah dari beton konvensional sebesar 4,9 MPa
(Sebayang, 2008) dan kuat patah dari ekosemen dari limbah abu insinerator adalah
komposisi 10% abu sampah, suhu pembakaran 1350oC dan dikeringkan selama 28
hari memenuhi standar beton konvensional, yaitu sebesar 4,9 MPa. Untuk sampel C
atau 20% abu sampah, dibakar pada suhu 1300oC, dikeringkan selama 21 hari dan
dikeringkan selama 28 hari masing-masing menghasilkan kuat patah sebesar 5,59 dan
6,20 MPa. Nilai yang dihasilkan relatif lebih tinggi dari beton konvensional.
Sedangkan untuk sampel D atau 30% abu sampah yang dibakar pada suhu 1300oC,
pada 14, 21 dan 28 hari masing-masing menghasilkan kuat patah sebesar: 5,84, 7,32
dan 8,58 MPa, nilai ini lebih tinggi dari pada nilai kuat patah beton konvensional.