KAJIAN SISTEM DRAINASE TERHADAP BANJIR
AKIBAT CURAH HUJAN
STUDI KASUS:
JALAN SUDIRMAN UJUNG KOTA LANGSA
TESIS
OLEH
ASMADI SURIA
087020005/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KAJIAN SISTEM DRAINASE TERHADAP BANJIR
AKIBAT CURAH HUJAN
STUDI KASUS:
JALAN SUDIRMAN UJUNG KOTA LANGSA
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik
Dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
OLEH
ASMADI SURIA
087020005/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERNYATAAN
KAJIAN SISTEM DRAINASE TERHADAP BANJIR
AKIBAT CURAH HUJAN
STUDI KASUS:
JALAN SUDIRMAN UJUNG KOTA LANGSA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi manapun
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dibuat sebagai
acuan dalam naskah penulisan ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Langsa,13 Januari 2011
Penulis
Judul Tesis : KAJIAN SISTEM DRAINASE TERHADAP BANJIR AKIBAT CURAH HUJAN
STUDI KASUS: JALAN SUDIRMAN UJUNG KOTA LANGSA
Nama Mahasiswa : ASMADI SURIA
Nomor Pokok : 087020005
Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR
Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA
Menyetujui Komisi Pembimbing
(A/Prof. Abdul Majid Ismail B.Sc, B.Arch, PhD) (Ir. N. Vinky Rahman, MT Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)
TELAH DIUJI PADA
TANGGAL: 13 JANUARI 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua Komisi Penguji : A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, PhD
Anggota Komisi Penguji : 1. Ir. N. Vinky Rahman, MT
2. Imam Faisal Pane, ST, MT
ABSTRAK
Saat ini Kota Langsa terus berkembang dengan penyediaan sarana dan prasarananya sebagai penunjang kegiatan perdagangan dan industri, hal tersebut ditunjukan dengan menyediakan unit-unit pasar dan juga terdapat beberapa akomodasi yang juga memberikan kontribusi pada perekonomian daerah seperti keberadaan Hotel dan sejenisnya. Sebagai dasar penulisan tesis ini salah satu sarana prasarana yang diteliti adalah sistem drainase kota dimana sarana tersebut merupakan unsur penting dalam pengembangan suatu daerah agar menjadi kota yang bebas dari banjir, dengan mengambil studi kasus sekitar daerah Jalan Sudirman Ujung Kota Langsa. Daerah tersebut dipilih karena merupakan pusat aktivitas kegiatan perekonomian dan jaringan drainase nya terutama dibagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih rendah dari elevasi dasar saluran muara.
Metodologi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu: objek dan batasan penelitian, jenis penelitian, pengumpulan data dan analisis data. Sedangkan untuk memperkirakan besarnya hujan rencana digunakan Metode Distribusi Log pearson Tipe III yang bertujuan untuk mendapatkan harga debit banjir puncak dengan periode ulang tertentu.
Hasil penelitian dan perhitungan diketahui bahwa besaran debit drainase eksisting (Q) daerah sekitar Jalan Sudirman Ujung lebih kecil dari pada besaran debit
banjir puncak (Qp). Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa sistem
drainase eksisting yang ada tidak dapat menampung debit banjir puncak.
Dengan demikian, untuk mengatasi masalah genangan air/banjir di sekitar Jalan Sudirman Ujung, melalui beberapa upaya dalam mengatasinya yaitu: (1). Melakukan normalisasi saluran dengan membentuk kemiringan saluran dan perbaikan pada tanggul saluran utama (2). Memperbesar dimensi saluran yang ada dan peninggian dari lebar 4m menjadi lebar 7m (3). Membangun kolam resapan di perkotaan, aliran hujan ditampung dalam kolam resapan, untuk mengurangi laju run-off dan sekaligus mememaksa aliran masuk ke dalam sistem air tanah.
ABSTRACT
Currently Langsa City continues to grow with the provision of facilities and infrastructures as supporting the activities of trade and industry, it is shown to provide market units and also there are some accommodations that also contribute to the regional economy such as the presence of hotels and the like. As the basis of this thesis one infrastructure drainage system under study is the city where the facility is an important element in the development of an area for a city that is free from flooding, with a case study around the city of Ujung Jalan Sudirman Langsa. The area was chosen because it is a center of economic activity and its drainage network especially in the downstream channel has a bottom elevation lower than the mouth of the channel bottom elevation.
The methodology used by the authors in this study are: the object and limits of research, this kind of research, data collection and data analysis. Meanwhile, to estimate the amount of rainfall used plan method Log Pearson Type III Distribution that aims to get the price of peak flood discharge with a certain return period.
The results and calculations is known that the amount of existing drainage discharge (Q), the area around Jalan Sudirman Edge magnitude smaller than the flood peak discharge (Qp). Thus it can be deduced that the existing drainage system is unable to accommodate peak flood discharge.
Thus, to overcome the problem of stagnant water/floods in the vicinity of Ujung Jalan Sudirman, through some effort in to overcome that: (1). Normalize the channel by forming the slope of the channel and levee repairs in the main channel (2). Enlarging the existing dimensions of the channel width and the exaltation of 4m to 7m wide (3). Building a pond in the urban catchment, the flow of rain in the catchment pond, to reduce the rate of run-off and well mememaksa flow into the groundwater system.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdullilah atas kehadirat ALLAH SWT sehingga penulisan tesis
ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini dilakukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan ujian akhir pada Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik Arsitektur
Universitas Sumatera Utara. Tesis ini merupakan kajian penelitian yang diberi judul
KAJIAN SISTEM DRAINASE TERHADAP BANJIR AKIBAT CURAH HUJAN
(Studi Kasus Daerah Sekitar Jalan Sudirman Ujung Kota Langsa).
Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak yang
telah memberikan bimbingan dan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis
sejak mengikuti pendidikan sampai terselesaikannya penulisan tesis ini. Untuk itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus
dan ikhlas kepada semua pihak, terutama kepada Ketua Program Studi Magister
Teknik Arsitektur, Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, MSc, Sekretaris Program Studi
Magister Teknik Arsitektur, Ibu Beny Octofryana Yousca Marpaung, ST, MT, PhD,
Koordinator Manajemen Pembangunan Kota, Bapak Achmad Delianur Nasution, ST,
MT, IAI.
Tak lupa juga ucapan terimakasih yang tidak terhingga kepada A/Prof. Abdul
Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, PhD, selaku Dosen Pembimbing I dan Ir. N. Vinky
Rahman, MT, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini,
informasi serta data-data yang berkaitan dengan penelitian kepada penulis, Seluruh
Dosen Pengajar Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan pendidikan yang berarti, dan saudari
Novi sebagai staf administrasi, serta Rektor dan Dekan Fakultas Teknik Universitas
Samudera Langsa Pak Ir. Zulkifli, MM, Rulina Rita ST, MT, Dosen dan Staf Tata
Usaha.
Penghargaan selanjutnya kuhaturkan kepada Isteri, Anak serta keluargaku
Dra. Rosdawati, Rizki, Fahrul, Apit, Fozan, Wawa atas dukungannya, baik selama
kuliah, maupun di dalam penyelesaian tesis ini, serta teman-teman kuliah khususnya
Pakpahan, Ibu Lusi, Erwin Sitorus, Hendra, Sahid, Bayhaki, Arfan, Yani, Bernas,
Jayadin, Armelia, Amsuardiman, Muara.
Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
Langsa, 13 Januari 2011
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Asmadi Suria
Alamat : Kompleks BTN Sei Pauh Langsa
Agama : Islam
Tempat/Tanggal Lahir : Rantau Prapat, 26 Oktober 1963
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak ke : 1 dari 5
Warga Negara : Indonesia
Nama Ayah : Asnawi (Alm.)
Nama Ibu : Hj. Nurmila Siregar
Nama Istri : Dra. Rosdawati Abdi
Nama Anak : Rizki Asnanda
Fahrullrozi
Afit Astriansyah
Muhammad Fozan
Fadiah Siti Salwah
Pendidikan Formal : SD Negeri 43 Pematang Siantar
(tamat tahun 1976)
SMP Negeri 2 Pematang Siantar
(tamat tahun 1979)
SMA Negeri 1 Padangsidimpuan
(tamat tahun 1982)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Permasalahan ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Kontribusi Penelitian ... 4
BAB II LANDASAN TEORI ... 5
2.1 Infrastruktur ... 5
2.2 Drainase ... 5
2.2.1 Pola Aliran Air dalam Drainase ... 11
2.2.2 Bentuk-Bentuk Penampang Melintang Saluran Drainase ... 14
2.3 Banjir ... 16
2.3.1 Sistem Peringatan Dini Tentang Banjir ... 19
2.3.2 Renaturalisasi Sungai ... 21
2.4 Hujan ... 27
2.4.1 Tipe-Tipe Hujan ... 29
2.4.2 Pengukuran Hujan ... 29
2.4.3 Radar Hujan untuk Antisipasi Banjir ... 31
2.4.4 Hujan Rata-Rata Suatu Wilayah ... 32
2.6 Debit Banjir Rencana ... 37
2.7 Koefisien Run Off ... 40
2.8 Intensitas Hujan ... ... 41
2.9 Luas Daerah Genangan Air/Banjir ... 41
2.10 Perhitungan Kapasitas ... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44
3.1 Objek dan Batasan Tahapan Penelitian ... 45
3.2 Jenis Penelitian ... 45
3.3 Pengambilan Data ... 46
3.4 Analisis Data ... 48
BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ... 49
4.1 Gambaran Umum ... 49
4.2 Keadaan Lokasi Daerah Sekitar Jalan Sudirman Ujung ... 57
4.3 Keadaan Drainase Daerah Kawasan Area Sekitar Jalan Sudirman 58
4.4 Kondisi saluran Drainase Eksisting ... 62
4.5 Data Curah Hujan Daerah Sekitar Jalan Sudirman Ujung ... 63
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64
5.1 Perhitungan Curah Hujan Rencana ... 64
5.2 Perhitungan Debit Banjir Rencana ... 67
5.3 Perhitungan Kapasitas Saluran Drainase Eksisting ... 71
5.4 Perhitungan Luas Penampang Basah Saluran Rencana ... 74
5.5 Hasil Perhitungan Luas Penampang Basah Saluran ... 78
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 81
6.1 Kesimpulan ... 81
6.2 Rekomendasi ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 84
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal.
2.1 Standar Pelayanan Minimal Bidang Drainase ... 20
2.2 Perbandingan dari tiap luas tiap poligon terhadap luas daerah pengaliran merupakan faktor koreksinya ... 34 2.3 Contoh Perhitungan Curah Hujan dengan Metode Log Person Tipe III ... 37 2.4 Koefisien Penyebaran Hujan ... 39
2.5 Standar Harga Koefisien Run Off ... 41
2.6 Standar Harga Koefisien Kekasaran ... 43
4.1 Data Kondisi Saluran Drainase Sekitar Jalan Sudirman Ujung ... 62
4.2 Informasi Curah Hujan Maksimum ... ... 63
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal.
2.1 Konsep saluran drainase konvensional yang mengalirkan air
secepat-cepatnya ke sungai sehingga mengakibatkan bahaya banjir,
kekeringan dan tanah longsor ...
8
2.2 Struktur Drainase Perkotaan ... 9
2.3 Bentuk Segi Empat Penampang Melintang Saluran Drainase ... 15
2.4 Bentuk Bulat dan Oval Penampang Melintang Saluran Drainase ... 15
2.5 Bentuk Trapesium dan Trapesium Tersusun Penampang Melintang Saluran Drainase ... 15
2.6 Metoda Kolam Konservasi dan metoda river side polder ... 17
2.7 Mengaktifkan tanggul sodetan atau oxbow ... 23
2.8 Menanami kembali bantaran dan tebing dengan vegetasi ... 24
2.9 Memperlebar daerah bantaran sungai untuk konsentrasi hulu ... 25
2.10 Membangun pulau buatan pada daerah sungai ... 26
2.11 Daur Hidrologi ... 28
2.12 Jenis-Jenis Alat Ukur Curah Hujan ... 31
2.13 Hitungan Hujan Rata-Rata Aljabar ... 33
3.1 Peta Genangan Banjir Kota Langsa ... 44
3.2 Tahapan-Tahapan Penelitian ... 47
4.1 Peta wilayah detail lokasi penelitian area Jalan Sudirman ujung di Kota Langsa ... 51 4.2 4.3 4.4 Peta detail genangan banjir di Jalan Sudirman ujung Kota Langsa ... Peta Jalan Ahmad Yani ... Peta Drainase Jalan Syiah Kuala ... 52 53 54 4.6 Peta Drainase di Jalan Prof. A. Majid Ibrahim ... 55
4.7 Peta Drainase di Jalan Sudirman Ujung ... 56
4.8 Keadaan Drainase Jalan A. Yani ... 59
4.9 Keadaan Drainase Jalan Syiah Kuala ... 60
4.10 Keadaan Drainase Jalan Sudirman ... 60
4.11 Keadaan Drainase Jalan Prof. A. Majid Ibrahim ... 62
5.1
5.2
Perbandingan kemiringan saluran eksisting ...
Penampang saluran rencana daerah sekitar Jalan Sudirman Ujung ... 71
ABSTRAK
Saat ini Kota Langsa terus berkembang dengan penyediaan sarana dan prasarananya sebagai penunjang kegiatan perdagangan dan industri, hal tersebut ditunjukan dengan menyediakan unit-unit pasar dan juga terdapat beberapa akomodasi yang juga memberikan kontribusi pada perekonomian daerah seperti keberadaan Hotel dan sejenisnya. Sebagai dasar penulisan tesis ini salah satu sarana prasarana yang diteliti adalah sistem drainase kota dimana sarana tersebut merupakan unsur penting dalam pengembangan suatu daerah agar menjadi kota yang bebas dari banjir, dengan mengambil studi kasus sekitar daerah Jalan Sudirman Ujung Kota Langsa. Daerah tersebut dipilih karena merupakan pusat aktivitas kegiatan perekonomian dan jaringan drainase nya terutama dibagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih rendah dari elevasi dasar saluran muara.
Metodologi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu: objek dan batasan penelitian, jenis penelitian, pengumpulan data dan analisis data. Sedangkan untuk memperkirakan besarnya hujan rencana digunakan Metode Distribusi Log pearson Tipe III yang bertujuan untuk mendapatkan harga debit banjir puncak dengan periode ulang tertentu.
Hasil penelitian dan perhitungan diketahui bahwa besaran debit drainase eksisting (Q) daerah sekitar Jalan Sudirman Ujung lebih kecil dari pada besaran debit
banjir puncak (Qp). Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa sistem
drainase eksisting yang ada tidak dapat menampung debit banjir puncak.
Dengan demikian, untuk mengatasi masalah genangan air/banjir di sekitar Jalan Sudirman Ujung, melalui beberapa upaya dalam mengatasinya yaitu: (1). Melakukan normalisasi saluran dengan membentuk kemiringan saluran dan perbaikan pada tanggul saluran utama (2). Memperbesar dimensi saluran yang ada dan peninggian dari lebar 4m menjadi lebar 7m (3). Membangun kolam resapan di perkotaan, aliran hujan ditampung dalam kolam resapan, untuk mengurangi laju run-off dan sekaligus mememaksa aliran masuk ke dalam sistem air tanah.
ABSTRACT
Currently Langsa City continues to grow with the provision of facilities and infrastructures as supporting the activities of trade and industry, it is shown to provide market units and also there are some accommodations that also contribute to the regional economy such as the presence of hotels and the like. As the basis of this thesis one infrastructure drainage system under study is the city where the facility is an important element in the development of an area for a city that is free from flooding, with a case study around the city of Ujung Jalan Sudirman Langsa. The area was chosen because it is a center of economic activity and its drainage network especially in the downstream channel has a bottom elevation lower than the mouth of the channel bottom elevation.
The methodology used by the authors in this study are: the object and limits of research, this kind of research, data collection and data analysis. Meanwhile, to estimate the amount of rainfall used plan method Log Pearson Type III Distribution that aims to get the price of peak flood discharge with a certain return period.
The results and calculations is known that the amount of existing drainage discharge (Q), the area around Jalan Sudirman Edge magnitude smaller than the flood peak discharge (Qp). Thus it can be deduced that the existing drainage system is unable to accommodate peak flood discharge.
Thus, to overcome the problem of stagnant water/floods in the vicinity of Ujung Jalan Sudirman, through some effort in to overcome that: (1). Normalize the channel by forming the slope of the channel and levee repairs in the main channel (2). Enlarging the existing dimensions of the channel width and the exaltation of 4m to 7m wide (3). Building a pond in the urban catchment, the flow of rain in the catchment pond, to reduce the rate of run-off and well mememaksa flow into the groundwater system.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Langsa merupakan daerah pemekaran dari Pemerintah Aceh Timur, yang
mana pemerintahan aceh timur di mekarkan menjadi dua kabupaten kota yaitu
Pemerintahan Kota Langsa dan Pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang. dan saat ini
Kota Langsa terus berkembang dengan penyediaan sarana dan prasarananya sebagai
penunjang kegiatan perdagangan, industri dan administrasi pemerintahan. Selain itu
Kota Langsa sebagai pusat ekonomi pada tiga wilayah Kabupaten Kota, hal tersebut
ditunjukan dengan keberadaan dermaga Kuala Langsa juga terdapat beberapa
akomodasi yang juga memberikan kontribusi pada perekonomian daerah seperti
keberadaan Hotel dan sejenisnya.
Dengan demikian dalam penulisan tesis ini salah satu sarana prasarana yang
diteliti adalah sistem drainase Kota dimana sarana tersebut merupakan unsur penting
dalam pengembangan suatu daerah agar menjadi kota yang bebas dari banjir. Jika
sistem drainase kotanya tidak baik maka tentunya akan berdampak sangat buruk
terhadap perkembangan kota itu sendiri. Dari hasil pengamatan sebagian besar
drainase utama di Kota Langsa, baik yang alamiah atau buatan, dibagian hilir
ini menyebabkan sedimentasi serius dan menimbulkan pendangkalan hingga akhirnya
banjir. Sumber-sumber banjir Kota Langsa dapat di bedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1. Banjir akibat luapan suangai: aliran banjir yang datangnya dari daerah
hulu sungai di luar kawasan yang tergenang. Hal ini terjadi jika hujan
yang terjadi di daerah hulu menimbulkan aliran banjir yang melebihi
kapasitas sungainya, sehingga terjadi limpasan. Menurut Sumber dari
Dinas Pekerjaan Umum menyebutkan bahwa, banjir akibat luapan sungai
yang besar tercatat pada awal tahun 2006 yang diakibatkan dari intensitas
hujan hingga 2 (dua) hari berturut-turut akibatnya sungai/krueng Langsa
meluap menggenangi rumah-rumah warga, dari data tersebut juga
menyebutkan, ketinggian banjir saat itu mencapai 50-300 cm selama 6-12
jam dan itu berlangsung hingga sekarang.
2. Banjir Lokal: genangan air yang timbul akibat hujan yang jatuh di daerah
itu sendiri. Hal ini dapat terjadi kalau hujan yang terjadi melebihi
kapasitas sistem drainase yang ada. Masih pada sumber yang sama dari
Dinas Pekerjaan Umum Kota Langsa, ketinggian genangan air mencapai
30-50 cm dan lama genangan antara 1-3 jam. Banjir ini sering terjadi
terutama pada daerah dataran rendah, meliputi: BTN Seuriget, kawasan
lapangan Merdeka di wilayah Gampong Jawa, Gampong Sungai Pauh dan
3. Banjir Rob: banjir yang terjadi baik akibat aliran langsung air pasang atau
air balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang. Banjir
pasang merupakan banjir rutinakibat air laut pasang yang terjadi di
sepanjang wilayah pesisir laut. Banjir rob ini sering terjadi terutama pada
daerah Gampong Kuala Langsa, Gampong Sei Luaeng, Gampong Telaga
Tujuh, Gampong Cinta Raja dan Gampong Sungai Pauh.
Sejak 3 (tiga) tahun terakhir ini banjir di Kota Langsa semakin meningkat. Hal
ini diakibatkan oleh meningkatnya debit banjir dari daerah tangkapan air,
berkurangnya kapasitas saluran akibat sedimentasi, dan akibat penurunan muka tanah.
Dilandasi pemikiran tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai sistem drainase di Kota Langsa, yang dibatasi hanya pada masalah sistem
drainase akibat curah hujan yang menyebabkan banjir di daerah sekitar Jalan
Sudirman Ujung. Jalan Sudirman Ujung dipilih karena dilandasi oleh pemikiran
penulis bahwa pada sekitar daerah itulah pusat terparah terjadinya banjir baik besaran
maupun frekuensinya di Kota Langsa.
1.2 Rumusan Permasalahan
Sistem darainase Kota Langsa merupakan unsur penting dalam pengembangan
daerah agar menjadi kota yang bebas dari banjir. Keadaaan eksisting sistem drainase
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah:
1. Mengidentifikasi keadaan eksisting sistem drainase pada daerah sekitar Jalan
Sudirman Ujung apakah sarana penunjang bangunan drainase sudah
dipenuhi atau belum.
2. Mencari penyelesaian secara konprehensif dengan memperhatikan
tangkapan air (catchment area).
1.4 Kontribusi Penelitian
Kontribusi penelitian, antara lain:
1. Memberikan usulan-usulan yang berguna untuk perencanaan drainase
didaerah Kota Langsa khususnya sekitar Jalan Sudirman ujung dengan
meminimalkan pengaruh genangan air/banjir.
2. Memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pembangunan suatu lingkungan di daerah perkotaan.
3. Memberikan landasan bagi studi-studi selanjutnya yang behubungan dengan
pengendalian air/banjir, terutama untuk perencanaan drainase perkotaan
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Infrastruktur
Menurut sumber dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002),
infrastruktur dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: infrastruktur ekonomi dan
infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang
digunakan pada proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas
termasuk semua prasarana umum seperti: drainase perkotaan, air bersih dan sanitasi,
irigasi, telekomunikasi perhubungan, sedangkan infrastruktur sosial meliputi
prasarana kesehatan dan pendidikan. Urusan prasaranan umum hampir identik dengan
persoalan-persoalan yang menjadi perhatian bidang pekerjaan umum (public works)
2.2 Drainase
.
Di Indonesia saat ini pekerjaan umum merupakan tugas dari Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah atau Dinas terkait pada level pemerintah
Kabupaten/Kota.
Menurut Haryono (1999), drainase adalah suatu ilmu tentang pengeringan tanah.
Drainase (drainage) berasal dari kata to drain yang berarti mengeringkan atau
mengalirkan air dan merupakan terminologi yang digunakan untuk menyatakan
sistem-sistem yang berkaitan dengan penanganan masalah kelebihan air, baik di atas
pembuangan air yang berlebihan namun lebih luas lagi menyangkut keterkaitannya
dengan aspek kehidupan yang berada didalam kawasan diperkotaan. Semua hal yang
menyangkut kelebihan air yang berada di kawasan kota sudah pasti dapat
menimbulkan permasalahan yang cukup komplek. Dengan semangkin kompleksnya
permasalahan drainase perkotaan maka di dalam perencaaan dan pembangunannya
tergantung pada kemampuan masing-masing perencana. Dengan demikian didalam
proses pekerjaanya memerlukan kerja sama dengan beberapa ahli di bidang lain yang
terkait.
Menurut sumber dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002)
ada beberapa sarana penunjang bangunan drainase:
1. Lubang air pada dinding saluran (wheep hole) yaitu lubang yang berfungsi
untuk mengalirkan air resapan yang berasal dari tanah sekitar saluran
drainase, sehingga tanah tidak menjadi berlumpur dan becek.
2. Lubang air pada trotoar (street inlet) yaitu lubang yang berfungsi untuk
mengalirkan air yang berasal dari jalan yang beraspalsehingga tidak terjadi
genangan air/banjir.
3. Saringan sampah kasar (bar screen) yaitu saringan sampah yang diletakkan
sebelum terdapatnya kantong lumpur/pasir sehingga sampah yang berukuran
4. Saringan sampah halus (fine screen) yaitu saringan sampah yang mempunyai
ukuran lebih kecil dari pada ukuran saringan sampah kasar di letakkan pada
gorong-gorong (box culvert) sehingga sampah yang mempunyai ukuran
kecil tidak dapat masuk kedalam gorong-gorong (box culvert).
5. Penutup atas parit (cover slab) yaitu struktur beton bertulang yang diletakkan
di atas bangunan drainase. Umumnya penutup parit ini digunakan pada
daerah perkotaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan lahan untuk
pembuatan trotoar (pedestrian).
Menurut Maryono (2000), pada daerah perkotaan konsep drainase konvensional
atau darainase ramah lingkungan sering dilakukan, dimana dalam konsep drainase
konvensional selurh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secapat-cepatnya
dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Konsep drainase konvensional
untuk permukiman atau perkotaan dibuat dengan cara membuat saluran-saluran lurus
terpendek menuju sungai. Demikian juga di areal wisata dan olahraga, semua saluran
drainase di design sedemikian rupa sehingga air mengalir secepatnya kesungai
terdekat dan sama sekali tidak memperhatikan apa yang akan terjadi di bagian hilir.
Jika semua air hujan dialirkan secapatnya-cepatnya ke sungai tanpa diupayakan agar
air mempunyai waktu cukup untuk meresap ke dalam tanah akhirnya dampak tersebut
dapat kita lihat sekarang ini yaitu terjadinya kekeringan dimana-mana, banjir, tanah
Gambar 2.1 Konsep saluran drainase konvensional. Sumber: Maryono, 2000
Selanjutnya menurut Maryono (2000), sistem drainase perkotaan dapat dibagi
manjadi 2 (dua) macam sistem dan ditambah dengan pengendalian banjir (food
control), sistem tersebut adalah:
a. Sistem Jaringan Drainase Utama (Major Urban Drainage System),
berfungsi mengumpulkan aliran air hujan dari minor drainase sistem untuk
pemerintahan kota dan kabupaten, seperti: waduk, rawa-rawa, sungai dan
muara laut untuk kota-kota ditepi pantai) seperti terlihat pada gambar 2.1.
b. Drainase Lokal (Minor Urban Drainage System), adalah jaringan drainase
yang melayani bagian-bagian khusus perkotaan seperti kawasan real estate,
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan perkampungan, kawasan
komplek-komplek, perumahan dan lain-lain.
c. Struktur saluran, secara hirarki drainase perkotaan mulai dari yang paling
hulu akan terdiri dari: saluran kwarter/saluran kolektor jaringan drainase
lokal, saluran tersier, saluran sekunder dan saluran primer (ilustrasi dapat
dilihat pada gambar 2.2.
Keterangan:
1. Saluran Primer 3. Saluran Tersier 5. Batas Daerah Pengalian 2. Saluran Skunder 4. Kuarter
Gambar 2.2 Struktur Drainase Perkotaan Sumber: Maryono, 2000
4
3
2
5
1
2
4
Menurut Haryono (1999), ada beberapa kegunaan drainase, selain untuk
pengeringan tanah atau menghambat terjadinya banjir, drainase dapat berfungsi untuk
pertanian, bangunan, kesehatan, dan lansekap.
1. Pertanian
Tanah yang terlalu basah seperti rawa misalnya tidak dapat ditanami. Untuk
dapat digunakan sebagai lahan pertanian, tanah rawa yang selalu basah perlu
dikeringkan.
2. Bangunan
Untuk mendirikan bangunan (gedung, jalan dan lapangan terbang) di atas
tanah yang basah perlu drainase, agar tanah menjadi kering dan daya dukung
tanah manjadi bertambah sehingga dapat mendukung beban bangunan di
atasnya.
3. Kesehatan
Tanah yang digenangi air dapat menjadi tempat berkembangnya nyamuk,
sehingga perlu dikeringkan dengan sistem jaringan drainase. Pada tanah
kering telur dan larva nyamuk tidak hidup. Sedangkan dari ilmu kesehatan
gas-gas yang terdapat di rawa seperti gas methan tidak baik untuk kesehatan,
sehingga tanah sekitar permukiman perlu dikeringkan.
4. Lansekap
Untuk pemandangan yang baik, tanah basah/berair harus dikeringkan,
Menurut Haryono (1999), pengaliran air dalam drainase perkotaan disebabkan
terutama oleh limbah rumah tangga dan hujan. Tetapi yang paling dominan yang
mengakibatkan banjir adalah air hujan. Jatuhnya hujan disuatu daerah, baik menurut
waktu maupun menurut pembagian geografisnya tidak tetap melainkan berubah-ubah.
Bila hujan yang jatuhnya deras dan/atau lama dan lebih besar dari kapasitas infiltrasi
dan kapasitas intersepsi, semakin besar pula aliran melalui permukaan tanah, maka
kelebihan aliran permukiman tanah menjadi lebih besar, saluran drainase dan sungai
tidak dapat menampung seluruh air yang datang karena telah terisi penuh dan terjadi
luapan air. Dalam perencanan bangunan air, masalahnya adalah berapakah besar debit
air yang harus disalurkan itu adalah debit suatu saluran pembuangan atau sungai,
maka besarnya debit tidak tertentu dan berubah-ubah karena adanya banjir. Debit
banjir ini disebut banjir rencana, yaitu banjir yang dipakai sebagai dasar untuk
perhitungan ukuran bangunan saluran drainase yang direncanakan. Debit banjir
rencana itu sudah tentu tidak boleh diambil terlalu kecil, sebab jika sewaktu-waktu
terjadi banjir maka banguna tersebut akan selalu terancam keamanannya. Sebaliknya
jika debit banjir rencana juga tidak boleh diambil terlalu besar sehingga menyebabkan
ukuran bangunan air menjadi terlalu besar, dan mungkin dapat melampaui batas-batas
ekonomis yang dapat dipertanggungjawabkan.
2.2.1 Pola aliran air dalam drainase
Aliran dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka (open chanel
permukaan air yang bebas (free surface). Permukaan bebas ini dapatdipengaruhi oleh
tekanan udara luar secara langsung. Sedangkan pada aliran saluran tertutup tidak
terdapat permukaan yang bebas, hal ini dikarenakan seluruh saluran diisi oleh air.
Pada aliran saluran tertutup permukaan air secara tidak langsung dipengaruhi oleh
tekanan udara luar, kecuali hanya oleh tekanan hidraulika yang ada dalam aliran saja.
Pada aliran saluran terbuka untuk penyederhanaan dianggap bahwa aliran sejajar,
kecepatan beragam dan kemiringan kecil.
Dalam hal ini permukaan air merupakan garis derajat hidraulika dan dalamnya
air sama dengan tinggi tekanan. Meskipun kedua jenis aliran hampir sama,
penyelesaian masalah aliran dalam saluran terbuka jauh lebih sulit dibanding dengan
aliran pipa tekan. Hal ini desebabkan karena permukaan air bebas cenderung bebas
sesuai dengan waktu dan ruang juga bahwa kedalaman aliran, debit, kemiringan dasar
saluran dan kedudukan permukaan bebas saling bergantung satu sama lainnya. Aliran
dalam suatu saluran tertutup tidak selalu merupakan aliran pipa.
Menurut Haryoyo (1999), apabila terdapat permukaan bebas, harus digolongkan
sebagai aliran saluran terbuka. Sebagai contoh saluran drainase air hujan yang
merupakan saluran tertutup, biasanya dirancang untuk aliran saluran terbuka sebab
aliran saluran drainase diperkirakan hampir setiap saat memiliki permukaan bebas.
Selanjutnya manurut Haryono (1999), penggolongan jenis aliran berdasarkan
perubahan kedalaman aliran sesuai dengan perubahan ruang dan waktu di bagi 2,
1. Aliran lunak (steady flow). Aliran lunak adalah aliran yang mempunyai
kedalaman tetap untuk selang waktu tertentu. Aliran lunak diklasifikasikan
menjadi:
a. Aliran seragam (uniform flow). Aliran saluran terbuka dikatakan
seragam apabila ke dalam air sama pada setiap penampang saluran.
b. Aliran berubah (varied flow). Aliran saluran terbuka dikatakan
berubah secara lambat apabila kedalaman air berubah di sepanjang
saluran. Aliran berubah terdiri dari atas 2 yaitu aliran berubah secara
lambat apabila kedalaman aliran berubah secara lambat dan aliran
berubah secara cepat apabila kedalaman aliran berubah secara cepat.
2. Aliran tidak lunak (unsteady flow). Aliran tidak lunak adalah aliran yang
mempunyai kedalaman tidak tetap untuk selang waktu tertentu. Aliran
tidak lunak diklasifikasikan menjadi:
a. Aliran seragam tidak lunak (unsteady uniform flow). Aliran saluran
terbuka dimana alirannya mempunyai permukaan yang berklasifikasi
waktu dan tetap sejajar dengan dasar saluran. Aliran seperti ini jarang
ditemukan di lapangan.
b. Aliran berubah tidak lunak (unsteady varied flow). Aliran saluran
terbuka dimana kedalaman aliran berubah sepanjang waktu dan ruang.
Aliran berubah tidak lunak terdiri dari 2 yaitu aliran yang berubah
ruang dengan perubahan kedalaman secara lambat, serta aliran tidak
lunak berubah secara cepat dimana kedalaman aliran berubah
sepanjang waktu dan ruang dengan perubahan kedalaman secara cepat.
Selanjutnya menurut Haryono (1999), kekentalan dan gravitasi dapat
mempengaruhi sifat aliran pada saluran terbuka. Tegangan permukaan aliran dalam
keadaan tertentu dapat pula mempengaruhi sifat aliran, tetapi pengaruh ini tidak
terlalu besar dalam masalah saluran terbuka pada umumnya ditemui dalam dunia
perekayasaan.
1. Aliran Laminer. Aliran saluran terbuka dikatakan laminer apabila gaya
kekentalan (viscosity) relatif sangat besar dibandingkan dengan gaya
inersia sehingga keketalan berpengaruh besar terhadap sifat aliran.
Butir-butir aliran bergerak menurut lintasan tertentu yang teratur atau lurus dan
selapis cairan tipis seolah-olah menggelincir diatas lapisan lain.
2. Aliran Turbulen. Aliran saluran terbuka dikatakan turbulen apabila gaya
kekentalan (viscosity) relatif lemah dibanding dengan gaya inersia.
Butir-butir air bergerak menurut lintasan tertentu yang tidak teratur, tidak lancar
dan tidak tetap walaupun butir-butir tersebut bergerak maju di dalam aliran
keseluruhan.
2.2.2 Bentuk-bentuk penampang melintang saluran drainase
Haryono (1999), juga mengatakan ada beberapa macam bentuk penampang
Gambar 2.3 Bentuk Segi Empat Penampang Melintang Saluran Drainase Sumber: Haryono, 1999
[image:32.612.120.520.118.410.2]Gambar 2.4 Bentuk Buat dan Oval Penampang Melintang Saluran Drainase Sumber: Haryono, 1999
Gambar 2.5 Bentuk Trapesium dan Trapesium Tersusun Penampang Melintang Saluran Drainase
2.3 Banjir
Menurut Haryono (1999), genangan air/banjir pada umumnya terjadi akibat
adanya hujan lebat dengan durasi lama sehingga meningkatkan volume air dan
mempercepat akumulasi aliran permukaan (run off) pada permukaan tanah.
Akhir-akhir ini banjir terjadi dimana-mana, hal ini terjadi disebabkan oleh intensitas dan
frekuensi curah hujannya meningkat.
Sedangkan menurut Irianto (2003), kajian masalah banjir terlebih dahulu harus
dianalisa penyebab utamanya sebelum menyusun strategi antisipasinya. Secara
teoritis banjir terjadi dengan intensitas cenderung meningkat merupakan akibat dari
masukan sistem yang berlebihan, dalam hal curah hujan yang melibihi normalnya
atau sering dikenal dengan curah hujan perkecualian (eksepsional). Kejadian banjir
yang terus berulang merupakan hasil (resultan) dari kerusakan sistem dalam hal ini
adalah daerah aliran sungai (DAS).
Berdasarkan kajian menurut Maryono (2000), ada beberapa metode pencegahan
banjir perkotaan, yaitu metode kolam konservasi, metode river side polder, metode
sumur peresapan, dan metode pengembangan areal perlingsungan air tanah (ground
water protection area).
1. Metode kolam konservasi. Dalam metode ini dikatakan dengan membuat
kolam-kolam air, baik di perkotaan, permukiman, pertanian, atau
perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat untuk menampung air hujan
perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan
daerah-daerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara
ekstra dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian tertentu (Gambar
2.6).
2. Metode river side polder. Metode menahan air dengan mengelola/menahan
kelebihan air (hujan) disepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder
pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di
berbagai tempat secara selektif disepanjang sungai. Lokasi polder perlu
dicari, sejauh mungkin polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan
tanggul-tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik
(banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir
reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan konservasi air
[image:34.612.244.432.487.643.2]terjaga (Gambar 2.6).
3. Metode Sumur Resapan. Metode ini merupakan metode praktis dengan
cara membuat sumur-sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh apada
atap perumahan atau kawasan tertentu. Sumur resapan ini juga dapat
dikembangkan pada areal oleh raga dan wisata. Perlu diketahui bahwa
sumur peresapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan dan tidak boleh
memasukan air limbah rumah tangga.
4. Metode Pengembangan Areal Perlindungan Air Tanah. Metode ini
dilakukan dengan cara menetapkan kawasan lindung untuk air tanah,
dimana di kawasan tersebut tidak boleh dibangun apapun. Areal tersebut
dkhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Pada berbagai
kawasan perlu segera mungkin dicari tempat-tempat yang cocok secara
geologi dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air
tanah sekaligus sebagai bagian penting dari komponen drainase kawasan.
Selanjutnya menurut Irianto (2003, rekayasa dan rancang bangun antisipasi
serta minimalisasi resiko banjir dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:
1. Curah hujan perkecualian (eksepsional). Perubahan iklim global yang
terjadi belakangan ini ternyata berdampak pada terjadinya akumulasi curah
hujan tinggi dalam waktu yang singkat. Dengan curah hujan tahunan yang
relatif sama, namun dengan durasi yang singkat akan berdampak pada
menyimpang jauh lebih tinggi (hujan eksepsional) dibandingkan
normalnya, maka banjir yang akan terjadi akan sangat besar.
2. Kerusakan sistem daerah aliran sungai (DAS). Laju pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Lahan yang dahulunya
merupakan areal pertanian (cultivated land) akibat bertambahnya jumlah
penduduk lahan-lahan tersebut berubah menjadi daerah permukiman,
sehingga penggunaan lahan melampaui daya dukungnya.
I. Sistem peringatan dini tentang banjir
Menurut Irianto (2003), sistem peringatan dini tentang banjir dimaksudkan
supaya masyarakat di daerah endemik banjir memperoleh informasi awal tentang
besaran (magnitude) banjir yang mungkin terjadi serta waktu evakuasi korban
sehingga resiko yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Sistem peringatan dini sangat
penting, hal ini disebabkan karena:
1. Intensitas dan keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi
sehingga bisa terjadi secara tiba-tiba atau yang dikenal dengan banjir
kiriman/bandang (flash food).
2. Curah hujan yang tinggi umumnya terjadinya pada sore sampai malam hari
sebagai akibat proses orografi, sehingga terjadinya debit puncak umumnya
Selanjutnya menurut Irianto (2003), resiko banjir dapat juga diminimalkan
dengan perbaikan sistem daerah aliran sungai (renaturalisasi sungai). Untuk itu perlu
dilakukan peningkatan jumlah dan kualitas vegetasi penutup tanah maupun daya
tampung jaringan hidrologi daerah aliran sungai. Caranya antara lain yaitu dengan
menanami kembali kawasan daerah aliran sungai dengan tanaman yang akarnya
mampu meretensi air dan melakukan perbaikan bila terdapat penyempitan jaringan
hidrologi.
Jaringan hidrologi yang optimal dalam menampung aliran permukaan akan
membantu menyediakan air secara merata di seluruh permukaan daerah aliran sungai,
menurunkan debit banjir, memperpanjang waktu respons daerah sungai berupa selang
antara aliran sungai pada musim kemarau sesuai dengan standar pelayanan minimal
drainase (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Standar pelayanan minimal bidang drainase dan pengendalian banjir
Bidang Pelayanan
Indikator Standar Pelayanan Keterangan
Kuantitas Kualitas Cakupan Tingkat
Pelayanan Drainase dan pengendal ian banjir Luas genangan banjir tertangani di daerah perkotaan dan kualitas penanganan Tidak ada genangan banjir di daerah perkotaa n > 10 Ha.
Di lokasi genangan:
Dengan tinggi genangan rata-rata > 30 cm, lama genangan > 2 jam, frekuensi kejadian banjir > 2 kali/tahun
Tidak terjadi genangan banjir bila terjadi genangan, tinggi genangan rata-rata < 30 cm, lama genangan < 2 jam, frekuensi kejadian banjir < 2 kali/tahun
Indikasi penanganan: Genangan < 10 Ha, penanganan drainase mikro, Genangan > 10 Ha, penanganan drainase makro
2.3.2 Renaturalisasi sungai
Untuk mencegah terjadinya banjir pada daerah perkotaan mengingatkan kita
pentingnya merenaturalisasi sungai-sungai yang ada. Menurut Maryono (2000),
renaturalisasi adalah usaha koreksi terhadap kesalahan konsep hidraulik murni pada
pembangunan wilayah sungai dekade lalu dan sekaligus menghambat laju
pembangunan sungai dengan konsep hidraulik murni yang sekarang masih sering
dilakukan.
Di Swiss renaturalisasi ini sering disebut river revitalization, di kawasan Eropa
lain disebut river restoration, sedangkan di Amerika dan Kanada disebut
renaturalization. Renaturalisasi didefenisikan sebagai usaha mengembalikan kondisi
sungai atau wilayah air ke kondisi natural atau paling tidak mendekati, setelah
sebelumnya dilakukan koreksi terhadap berbagai pembangunan seperti sodetan,
pelurusan, penanggulangan, penalutan, pemindahan sungai, maupun penutupan alur.
Selanjutnya menurut Maryono (2000), tujuan renatulisasi adalah untuk
meningkatkan kualitas ekosistem dan keanekaragaman hayati wilayah sungai,
meningkatkan konservasi air di hulu, meningkatkan retensi ekologi hidraulik
sepanjang sungai, menurunkan intensitas banjir di hilir, menanggulangi kekeringan,
kelongsoran di hulu serta meningkatkan kualitas air sungai. Lokasi renaturalisasi
harus dipilih secara selektif sehingga apa yang terjadi dapat terkontrol dengan baik.
Namun di era keterbukaan ini mudah-mudahan usulan ini bisa menjadi entry
dirasakan hari ini. Sebagian orang menganggap bahwa konsep renaturalisasi ini
bersifat Eropa Sentris sehingga mengkhawatirkan ketetapan aplikasinya di Indonesia.
Mereka lupa bahwa pelurusan, sodetan dan pembuatan tanggul adalah juga produk
Eropa 300 tahun silam. Pada prinsipnya renaturalisasi, konservasi, dan konsep back
to nature merupakan konsep yang sebenarnya sudah dianut secara tradisional oleh
bangsa-bangsa di dunia termasuk di Indonesia.
Berdasarkan kajian Maryono (2000), disajikan berbagai macam metode
renaturalisasi yang sedang giat dilakukan di beberapa Negara Eropa, Kanada,
Amerika, dan Jepang. Diharapkan metoda-metoda ini dapat diimplementasikan di
Indonesia. Di antara metode tersebut ada yang membuka kembali tanggul yang
menutup oxbow sungai lama atau mengaktifkan oxbow menjadi sungai lagi tanpa
harus menutup sungai sodetan, menanami bantaran dan tebing sungai yang telah
diluruskan dengan berbagai vegetasi, menginisiasi sungai yang diluruskan menjadi
meander, membangun pulau buatan di sungai, dan memperlebar bantaran banjir di
sepanjang sungai.
Mengaktifkan tanggul sodetan atau oxbow buatan (Gambar 2.7) di sungai
bekas pelurusan sodetan biasanya disebut danau oxbow buatan (initial oxbow lake).
Sedangkan oxbow lake adalah danau oxbow natural hasil proses alamiah terputusnya
meander sungai setelah ratusan tahun terjadi penggerusan. Energi kelebihan atas
putusnya meander secara alamiah ini akan diredam meander-meander lain di bagian
Gambar 2.7 Mengaktifkan Tanggul Sodetan atau Oxbow Sumber: Maryono, 2000
Danau oxbow buatan merupakan penggal ekosistem sungai yang mati, airnya
diam, kualitas airnya jelek dan sering menjadi sarang nyamuk, selain biasanya
menjadi tempat pembuangan sampah masyarakat. Lambat laun oxbow buatan ini akan
dangkal dan tertutup sedimen, baik sedimen yang berasal dari daerah sekitarnya
maupun endapan sisa-sisa vegetasi. Akhir dari perkembangan oxbow baik alamiah
maupun hasil sodetan adalah berupa hutan moor atau dijadikan areal persawahan,
industri dan pemukiman oleh penduduk setempat.
Cara renaturalisasi oxbow adalah dengan membuka kembali tanggul pembatas
oxbow dengan sungai utama. Dengan dibukanya tanggul pemisah, aliran air sungai
akan melewati oxbow kembali, di samping air masih dapat melewati sungai sodetan
yang ada. Aliran air yang kembali ke danau oxbow akan mengurangi kecepatan air ke
hilir sehingga resiko banjir juga berkurang. Sementara konservasi air di hulu dapat
kembali bantaran tebing dengan vegetasi setempat akan meningkatkan kualitas
ekosistem dan retensi air banjir sehingga menjamin stabilitas tebing sungai (Gambar
2.8).
Gambar 2.8 Penanaman Bantaran dan Tebing dengan Vegetasi Sumber: Maryono, 2000
Berikutnya adalah menginisiasi meander. Sungai yang telah diluruskan dapat
dimeanderkan lagi dengan cara menginisiasi meander di berbagai tempat secara
berselang-seling. Sarana inisiasi ini dapat dipakai vegetasi setempat atau kombinasi
bronjong batu dan vegetasi. Secara simultan maka sungai yang bersangkutan akan
membentuk meander atau berkelok-kelok lagi, diservifikasi flora dan fauna
meningkat, banjir dihulu berkurang.
Memperlebar daerah bantaran banjir dan memanjangkan sungai (Gambar 2.9)
juga bisa dilakukan. Daerah bantaran banjir (flood plain) yang biasanya berubah
direnaturalisasi dengan membuka kembali talud, tanggul, atau mengeruk kembali
[image:42.612.135.525.168.370.2]timbunan yang ada.
Gambar 2.9 Pelebaran daerah bantaran sungai untuk konsentrasi hulu Sumber: Maryono, 2000
Di samping itu pada bantaran-bantaran yang sempit diperlebar secara
proporsional. Areal terbuka bantaran sungai dapat dibiarkan sebagai kolam retensi
bantaran atau direvegetasi dengan tanaman yang sesuai. Cara ini sangat efektif untuk
menahan banjir dan meningkatkan konservasi air di hulu. Membangun pulau-pulau
buatan (lihat Gambar 2.10) menjadi pilihan lain.
Pulau-pulau sungai buatan pada normalisasi dan pelurusan sungai umumnya
dikeruk atau dihilangkan. Dalam renaturalisasi pembuatan pulau-pulau di tengah
sungai ini umumnya sangat digemari di Eropa karena merupakan komponen
ekologi-hidraulik yang sangat vital dan secara cepat dapat menyediakan lokasi
Gambar 2.10 Pulau Buatan pada Daerah Sungai Sumber: Maryono, 2000
Selanjutnya menurut Maryono (2000), untuk membangun pulau di sungai
perlu dipelajari dan diteliti karakteristik pulau yang pernah ada dilokasi tersebut.
Pulau-pulau buatan di sungai yang paling stabil adalah pulau buatan yang baik
bentuk, formasi, maupun tata letaknya di sungai mengikuti karakteristik pulau
alamiah yang pernah ada.
Pembuatan pulau ditengah sungai dapat dilakukan dengan cara langsung,
yaitu dengan membangun pulau ditengah sungai dan cara tidak langsung yaitu
membuat pelebaran di suatu penggal sungai sehingga kecepatan aliran sungai turun.,
pengendapan ditengah sungai terbentuk, selanjutnya secara simultan terbentuk pulau
sungai. Keterlambatan renaturalisasi sungai biasanya banyak mendapat kesulitan
misalnya, mahalnya pembongkaran kembali bantaran yang telah di talud dan
2.4 Hujan
Menurut Soemarto (1995), terjadinya hujan diawali oleh suatu peristiwa
penguapan air dari seluruh permukaan bumi, baik dari muka tanah, permukaan
pohon-pohonan dan permukaan air. Penguapan yang terjadi dari permukaan air
dikenal dengan penguapan (free water evaporation), sedangkan penguapan yang
terjadi dari permukaan yang terjadi dari permukaan pohon-pohonan dikenal dengan
transpirasi (transpiration). Sebagai akibat terjadinya penguapan, maka akan dapat
terbentuk awan. Oleh sebab adanya perbedaan temperatur, awan tersebut akan
bergerak oleh tiupan angin ke daerah-daerah tertentu. Hujan baru akan terjadi apabila
berat butir-butir hujan air tersebut telah lebih besar dari gaya tekan udara ke atas.
Dalam keadaan klimatologis tertentu, maka air hujan yang masih melayang
tersebut dapat berubah kembali menjadi awan. Air hujan yang sampai ke permukaan
tanah yang disebut hujan dan dapat diukur. Hujan yang terjadi tersebut sebagian akan
tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dan akan diuapkan kembali. Air yang jatuh
dipermukaan tanah terpisah menjadi dua bagian, yaitu bagian yang mengalir di
permukaan yang selanjutnya menjadi aliran limpasan (overland flow) yang
selanjutnya dapat menjadi limpasan (run-off), yang selanjutnya merupakan aliran
menuju sungai dan kemudian menuju laut. Aliran limpasan sebelum mencapai saluran
dan sungai, sebagian akan mengisi lekukan-lekukan permukaan bumi. Bagian lainnya
masuk kedalam tanah melalui proses infiltrasi, dan dapat menjadi aliran mendatar
sungai atau laut. Air yang meresap lebih dalam lagi, sebagian akan mengalir melalui
pori-pori tanah sebagai air perkolasi (percolation). Sebagian besar lagi yang meresap
lebih jauh lagi ke dalam tanah, mencapai muka air tanah, inilah yang menyebabkan
muka air tanah naik.
Selanjutnya menurut Soemarto (1995), pada suatu keadaan dimana dasar
sungai lebih rendah dari muka air tanah, maka air tanah akan mengalir ke dalam
sungai dan membentuk pengaliran secara perlahan-lahan, terutama pada musim
kemarau, aliran yang demikian disebut aliran-aliran air tanah (groundwater flow),
seperti pada gambar 2.11.
Keterangan:
1. Penguapan (evaporation, transpiration) 6. Aliran limpasan (overland flow) 2. Awan hujan 7. Aliran permukaan (surface run off) 3. Penguapan kembali 8. Aliran antara (subsurface flow, interflow) 4. Hujan (precipitation, rainfall) 9. Perkolasi (percolation)
[image:45.612.115.525.373.574.2]5. Infiltrasi (infiltration)
2.4.1 Tipe-tipe hujan
Berdasarkan sumber dari Departemen Pekerjaan Umum (1989), hujan sering
dibedakan menurut faktor penyebab pengangkatan udara yang menyebabkan
terjadinya hujan, antara lain Hujan Konvektif, Hujan Siklon, dan Hujan Orografik.
1. Hujan Konvektif, disebabkan oleh pergerakan naiknya udara yang lebih
panas dari keadaan di sekitarnya. umumnya hujan jenis ini terjadi pada
daerah tropis, dimana pada saat cuaca panas, permukaan bumi
memperoleh panas yang tidak seimbang, menyebabkan udara naik ke atas
dan kekosongan yang diakibatkan diisi oleh udara di atasnya yang lebih
dingin.
2. Hujan Siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara
panas yang bergeraknya di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih
dingin.
3. Hujan Orografik, terjdi bila udara dipaksa naik di atas sebuah hambatan
berupa gunung. oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada
arah angin biasanya menjadi daerah yang berhujan lebat.
2.4.2 Pengukuran hujan
Berdasarkan sumber dari Departemen Pekerjaan Umum (1989), hujan
merupakan komponen masukan yang sangat penting pada proses hidrologi, sebab
ini perlu diperhatikan adalah besaran kedalaman hujan yang terjadi di seluruh daerah
aliran drainase. Jadi tidak hanya besaran hujan yang terjadi di satu stasiun penakar
hujan/pengukuran hujan. Dalam hal ini diperlukan adalah data kedalaman hujan dari
banyak stasiun hujan yang tersebar di seluruh daerah aliran. Untuk memperoleh
besaran hujan yang dianggap sebagai kedalaman hujan yang sebenarnya terjadi di
seluruh daerah aliran sungai, maka diperlukan sejumlah stasiun hujan yang dipasang
sedemikian rupa sehingga dapat mewakili besaran hujan di daerah aliran sungai
tersebut.
Selanjutnya berdasarkan sumber dari departemen pekerjaan umum (1989),
besaran hujan ini dapat diukur dengan alat pengukur hujan (rain gauge) seperti
terlihat pada gambar 2.12. Dalam pemakaiannya ada terdapat dua jenis alat ukur
hujan, yaitu:
1. Penakar hujan biasa (manual rain gauge), merupakan alat ukur yang
paling banyak digunakan, yang terdiri dari corong dan bejana. Ukuran
diameter dan tinggi corong ini berbeda-beda untuk masing-masing negara
yang berbeda sehingga hasil dari pengukuran ini tidak dapat
diperbandingkan
2. Penakar hujan otomatis (automatic rain gauge), mencatat tinggi muka air
secara otomatis untuk jangka waktu tertentu,. Dalam pemakaian alat ini
terdapat tiga jenis alat ukur hujan otomatis, yaitu dengan weighing bucket,
Gambar 2.12 Jenis-jenis Alat Ukur Curah Hujan Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1989
2.4.3 Radar hujan untuk antisipasi banjir
Menurut Irianto (2003), pemerintah daerah yang wilayahnya sering dilanda
banjir sehingga aktifitas masyarakatnya terganggu sebaiknya memanfaatkan radar
hujan yang bisa memprediksi curah hujan sesaat sebagai sistem peringatan dini
tentang banjir. Alat ini dapat memprediksi intensitas dan lamanya hujan yang akan
terjadi dapat dikombinasikan dengan perhitungan karakteristik sistem daerah aliran
sungai (DAS) sehingga dapat diperkirakan berapa besar banjir yang mungkin terjadi.
Bila kemungkinan banjir sudah diketahui sejak dini, maka masyarakat dapat
mengantisipasinya. Peringatan dini tentang banjir dapat dilakukan mulai H minus 3
sampai dengan H minus 1, dengan menginformasikan pada instansi terkait sehingga
evakuasi korban dapat diantisipasi lebih dini. Untuk pengadaan radar hujan ini
membutuhkan biaya yang sangat mahal, namun kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya dan Medan tampaknya perlu memikirkan peluang aplikasinya.
2.4.4 Hujan rata-rata suatu wilayah
Menurut Soemarto (1995), curah hujan yang diperlukan untuk menyusun
suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah
hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu
titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan
dalam millimeter (mm).
Selanjutnya menurut Soemarto (1995), curah hujan wilayah ini harus
diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Untuk menghitung besaran
ini dapat ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini sangat lazim digunakan, yaitu
dengan cara:
1. Rata-Rata Aljabar. Cara perhitungan dengan rata-rata aljabar (mean
semua stasiun hujan terhadap jumlah stasiun pada daerah yang
bersangkutan. Cara ini biasanya digunakan untuk daerah yang datar,
dengan jumlah stasiun curah hujan yang cukup banyak dan dengan
[image:50.612.131.527.250.498.2]anggapan bahwa hujan di daerah tersebut bersifat seragam (gambar 2.13).
Gambar 2.13 Hitungan Hujan Rata-Rata Aljabar Sumber: Haryono, 1999
2. Poligon Thiessen. Cara perhitungan Poligon Thiessen dilakukan seperti
memperhitungkan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang
bersangkutan, untuk digunakan sebagai faktor koreksi (weighing factor)
dalam menghitung jumlah rata-rata (lihat tabel 2.2). Tahapan perhitungan
hujan rata-rata adalah sebagai berikut:
80mm R7
R2 120mm
110mm
100mm
90mm
80mm
120mm
110mm
100mm
90mm
R5
R1
R3
R4
i. Semua stasiun pengamatan di dalam dan sekitar daerah pengaliran
harus dicantumkan pada peta fotografi, kemudian tiap-tiap stasiun
yang berdekatan dihubungkan dengan sebuah garis lurus sehingga
terbentuk jaringan-jaringan segitiga.
ii. Daerah yang bersangkutan tersebut dibagi dalam poligon-poligon
yang didapat dengan menggambar garis bagi tegak lurus pada tiap
sisi segitiga.
iii. Curah hujan dalam tiap poligon itu dapat dianggap diwakili oleh
curah hujan dari titik pengamatan dalam setiap poligon .
Tabel 2.2. Perbandingan dari tiap luas tiap poligon terhadap luas daerah pengaliran merupakan faktor koreksinya
R1 (mm)
A1 (km²)
FK R1 x FK
(mm) Ri
R2 .... .... Rn
Ai A2 .... .... An
a1 a2 .... .... an
a1R1 a2R2 .... .... anRn
A
Keterangan:
Ri = Kedalaman hujan di stasiun i, Ai = Luas vbagian daerah yang diwakili i, FK = Faktor koreksi, ai = Ai / A
R = Curah hujan wilayah pada stasiun yang diperkirakan
Sumber: Haryono, 1999
Cara gambar 2.14 dipandang cukup baik, karena memberikan koreksi
Gambar 2.14 Hitungan dengan poligon Thiessen Sumber: Maryono, 1999
3. Isohyet. Cara perhitungan Isohyet adalah garis yang menghubungkan
tempat-tempat yang mempunyai curah hujan yang sama pembagian
daerahnya. Tahapan perhitungannya adalah sebagai berikut:
i. Cara ini dilakukan dengan membuat kontur, berupa garis-garis yang
menunjukkan nilai curah hujan yang sama
ii. Luas bagian daerah antara dua garis isohyet yang berdekatan diukur
dengan planimeter
A. Perhitungan Curah Hujan Rencana
Menurut Soemarto (1995), untuk perhitungan debit banjir dengan periode
ulang tertentu, diperlukan juga hujan maksimum dengan periode ulang tertentu pula.
Hujan maksimum ini sering disebut dengan hujan rencana. Selanjutnya menurut
Soemarto (1995), ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan
berapa besarnya hujan rencana, antara lain Metode Distribusi Log Pearson Tipe III
dan Metode Gumbel
Berdasarkan uraian persamaan rumus Metode Gumbel pada lampiran II dapat
diketahui bahwa aliran debit puncak (Qp) lebih besar harganya dari pada dengan
uraian persamaan rumus perhitungan Metode Log Person Tipe III. Sehingga pada
penulisan ini, penulis memperkirakan besarnya hujan rencana dengan menggunakan
Metode Distribusi Pearson Tipe III (Rumus 2.1), untuk contoh perhitungan lihat
Tabel 2.3. Persamaan Metode Log Pearson Tipe III adalah:
Log X = Log
−
X+ K.Si ...(2.1)
Keterangan: −
X= Curah hujan rata-rata
K = Kolerasi dari harga G yang terdapat pada tabel Skweness (lampiran I) Si = Standar deviasi
Rumus perhitungan curah hujan rata-rata (
−
X):
Log
−
X = n
Xi n
i
∑
=1 log
...(2.2)
Keterangan:
Tabel 2.3 Contoh perhitungan curah hujan dengan metode log person Tipe III.
NO Tahun Xi Log Xi Log Xi - log X− (4)² (4)³
1 Tahun Data Log Data - - -
2 Tahun Data Log Data - - -
3 Tahun Data Log Data - - -
4 Tahun Data Log Data - - -
Rumus perhitungan standar deviasi (Si):
Si = 1 ) log (log 1 2 − −
∑
= − n X Xi ni . ...(2.3)
Keterangan:
Xi = Data curah hujan −
X= Curah hujan rata-rata n = Jumlah data
Rumus perhitungan Koefisien Kemencengan (G):
G =
3 3 1 ) 2 )( 1 ( ) log (log S n n X Xi n i − − −
∑
− ...(2.4) Keterangan:Xi = Data curah hujan
−
X = Curah hujan rata-rata (mm) n = Jumlah data
2.6 Debit Banjir Rencana
Menurut Soemarto (1995), cara menghitung debit banjir rencana tergantung
sedangkan data curah hujan tersedia cukup panjang, maka debit hujan rencana dapat
dihitung dengan metode rasional (modified rational method).
Asumsi dasar yang ada selama ini adalah bahwa kala ulang debit ekivalen
dengan kala ulang hujan. Debit rencana untuk daerah perkotaan pada umumnya
dikehendaki pembuangan air yang secepatnya, agar jangan ada genangan air/banjir
pada daerah perkotaan tersebut. Untuk memenuhi tujuan ini saluran-saluran harus
disesuaikan dengan debit rancangan.
Faktor-faktor yang menentukan sampai berapa tinggi genagan air yang
diperbolehkan agar tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat perkotaan adalah:
1. Berapa luas daerah yang akan tergenang (sampai batas tinggi yang
diperbolehkan)
2. Berapa lama waktu penggenangan itu
Suatu daerah perkotaan umumnya merupakan bagian dari suatu daerah aliran
yang lebih luas dan pada daerah aliran ini sudah ada sistem jaringan drainase alami.
Perencanaan dan pengembangan sistem bagi suatu daerah perkotaan yang baru harus
diselaraskan dengan sistem drainase alami yang sudah ada, agar keadaan aslinya
dapat dipertahankan sejauh mungkin.
Menurut Mulvaney T.J. (1847) Dalam Haryono (1999), menyatakan bahwa
hubungan secara aljabar, antara intensitas hujan dan luas daerah aliran adalah sebagai
Haryono (1999), koefisien penyebaran hujan (Tabel 2.4) merupakan nilai yang
digunakan untuk mengoreksi pengaruh penyebaran hujan yang tidak merata pada
suatu daerah pengaliran. Untuk daerah yang relatif kecil biasanya kejadian hujan
diasumsikan merata.
Tabel 2.4 Koefisien penyebaran hujan
Luas Daerah Pengaliran (km²) Koefisien Penyebaran Hujan
0 - 4 1
5 0.995
10 0.980
15 0.955
20 0.920
25 0.875
30 0.820
50 0.500
Sumber: Haryono, 1999
Rumus Metode Rasional
Qp = Cs.C.I.A...(2.5)
Keterangan:
Qp = Debit puncak aliran (m³/det) C = Koefisien run off (tabel 2.6) Cs = Koefisien penampungan
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam) A = Luas daerah aliran genangan air/banjir (m²)
Menurut Haryono (1999), koefisien penampungan (Cs) tidak mudah
ditetapkan, tetapi perkiraan nilai tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
formula rumus:
Cs =
td tc
tc
+
2 2
...(2.6)
Keterangan:
ts = Waktu konsentrasi
Waktu tempuh di dalam Modified Rational Method adalah waktu aliran air di
atas permukaan tanah sampai ke ujung saluran (td), sehingga didapat perumusan
menjadi:
tc = to + td...(2.7)
Selanjutnya menurut Haryono (1999), harga to sangat sulit diperkirakan,
karena tergantung pada kemiringan permukaan tanah, kekerasan permukaan tanah,
sifat infiltrasi, detensi permukaan dan intensitas curah hujan dan biasanya harga to
diambil sebagai berikut:
• Untuk kota besar to = 10-30 menit
• Untuk kota kecil to = 20-30 menit
Langkah selanjutnya, td ditentukan dengan menggunakan rumus empiris dari
Kirpich sebagai berikut:
td = 0,0195
77 . 0
S L
...………(2.8)
Keterangan:
td = Waktu tempuh air didalam saluran (menit)
L = Panjang saluran (m)
S = Kemiringan saluran (m)
2.7 Koefisien Run Off
Menurut Haryono (1999), untuk menghitung analisis hidrologi yang harus
penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan tanah. Besarnya koefisien run off
untuk berbagai jenis tata guna lahan disajikan dalam tabel 2.5.
Tabel 2.5 Standar Harga Koefisien Run Off
No Tata Guna Lahan Koefisien Run Off
1 Daerah Komersial Perdagangan 0.75 – 0.95
2 Daerah Industri 0.50 – 0.90
3 Daerah Permukiman dengan kepadatan:
a. Rendah < 20 rumah/ha 0.25– 0.40
b. Sedang =20-40 rumah/ha c. Tinggi > 40 rumah/ha
0.40 – 0.60 0.60 – 0.75
4 Daerah Pertanian 0.45 – 0.55
5 Daerah Perkebunan 0.20 – 0.30
6 Daerah Kosong, datar dan kemiringan v. Kemiringan < 20 %
v. Kemiringan = 2% - 7%
0.10 – 0.50 0.10 – 0.15
Sumber: Haryono, 1999
2.8 Intensitas Hujan
Menurut Haryono (1999), intensitas hujan selama waktu konsentrasi (I)
dihitung dengan menggunakan rumus Mononobe, yang merupakan dasar dalam
menentukan harga intensitas hujan, yaitu sebagai berikut:
I = 24
24 R
tc 24 2/3
...(2.9)
Keterangan:
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) tc = Lamanya curah hujan (menit)
2.9 Luas Daerah Genangan Air/Banjir
Menurut Haryono (1999), luas daerah genangan air/banjir (A) merupakan data
dari daerah penelitian/data sekunder yang dapat dipertanggung jawabkan.
2.10 Perhitungan Kapasitas
1. Kapasitas saluran. Menurut Haryono (1999), kapasitas rencana saluran
dihitung dengan menggunakan rumus Manning, yang merupakan dasar
dalam menentukan dimensi saluran, yaitu sebagai berikut:
V = K.R⅔.S½ (m/det)...(2.10) Q = V.F (m³/det)...(2.11)
R = P F
(m)...(2.12)
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det) K = Koefisien kekasaran (tabel 2.7)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan rata-rata saluran
F = Luas penampang basah saluran (m²) P = Keliling basah saluran (m)
Q = Debit aliran (m³/det)
Penurunan rumus perhitungan luas penampang basah saluran (F):
F = (b+m.y).y...(2.13)
Keterangan:
b = Lebar dasar saluran (m)
m = Perbandingan kemiringan lining y = Ketinggian saluran (m)
Penurunan rumus perhitungan keliling basah saluran (P):
P = b + 2.y. 2 2
1 +m ...(2.14)
Keterangan:
b = Lebar dasar saluran (m)
Kemiringan saluran (S) diasumsikan:
S = ...m
2. Koefisien kekasaran (K). Menurut Haryono (1999), koefisien kekasaran
(K) sangat berfariasi dan tergantung pada berbagai faktor. Pada tabel 2.6
diberikan beberapa harga koefisien kekasaran (K).
Tabel 2.6 Standar Harga Koefisien Kekasaran
NO Material Saluran Koefisien Kekasaran Stickler
1 Plesteran halus 77 - 100
2 Plesteran kasar 67 - 91
3 Beton cor dipoles 60 - 77
4 Beton pra cetak 67 - 91
5 Pasangan batu disiar 50 - 67
6 Pasangan batu kosong 42 - 59
7 Pasangan batu bronjong 29 - 50
8 Saluran tanah bersih 30 - 45
9 Saluran tanah dan timbunan 1 - 3
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini