KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR
BATANG PINANG (
Areca catechu
L.)
HASIL PENELITIAN
Oleh :
TRISNAWATI 051203021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)
Nama : Trisnawati NIM : 051203021 Departemen : Kehutanan
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui oleh, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Evalina Herawati S. Hut., M.Si Ridwanti Batubara, S. Hut., MP NIP. 197706272003122002 NIP. 197602152001122001
Mengetahui,
Ketua Departemen Kehutanan
Judul Penelitian : Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)
Nama : Trisnawati NIM : 051203021 Departemen : Kehutanan
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Evalina Herawati S. Hut., M.Si Ridwanti Batubara, S. Hut., MP
Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
TRISNAWATI: Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.). Dibimbing oleh EVALINA HERAWATI dan RIDWANTI BATUBARA.
Pinang merupakan salah satu tanaman palma yang hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia dan memiliki banyak kegunaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang sifat anatomis, sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan alami batang pinang berdasarkan variasi kedalaman dan ketinggian batang. Pengujian sifat fisis dan mekanis berdasarkan British Standard
373-1975 dan pengujian keawetan alami berdasarkan SNI 01-7207-2006.
Struktur anatomis batang pinang didominasi oleh ikatan pembuluh dan parenkim. Kadar air basah batang pinang berkisar antara 218 – 622 %. Kerapatan batang pinang berkisar antara 0,12 – 1,07 gr/cm3. Variasi kisaran rata-rata penyusutan 3 arah (radial, tangensial, longitudinal) yaitu 1,6 – 44,0 %. Sifat mekanis batang pinang dilihat dari nilai Modulus of Elasticity (MOE) dan
Modulus of Rupture (MOR). Nilai rata-rata MOE sebesar 75513 Kgf/cm2 dan MOR sebesar 748 Kgf/cm2. Hasil uji keawetan alami batang pinang termasuk dalam kelas awet V.
ABSTRACT
TRISNAWATI: Study on Some Basic Properties of Areca Palm (Areca catechu
L.). Under the supervision of EVALINA HERAWATI and RIDWANTI BATUBARA.
Areca catechu L. is a kind palm trees that can be found almost every where in Indonesia and has many advantages. This research aims to provide the information about anatomical properties, physical properties, mechanical properties and natural durability of Areca catechu L. based on depth variety and height variety.Evaluation on physical and mechanical properties based on British Standard 373-1975 and evaluation on natural durability based on SNI 01-7207-2006.
Anatomical structure of Areca catechu L was dominated by vascular bundles and parenchyma. Wet moisture of Areca catechu L. palm was 218 – 622 %. Specific gravity was 0,12 – 1,07 gr/cm3. The average of swelling three direction (radial, tangential, longitudinal) was 1,6 – 44,0 %. Mechanical properties were seen from Modulus of Elasticity (MOE) value and Modulus of Rupture (MOR) value. The average of MOE was 75513 Kgf/cm2 and the average of MOE was 748 Kgf/cm2. The result of natural durability test was include in class V.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 25 November 1986 dari
ayahanda Rahmad Suprapto dan Ibunda Terimah. Penulis merupakan anak
kesembilan dari sembilan bersaudara.
Pada tahun 1999 penulis lulus dari SD Negeri No. 027962 Binjai, tahun
2001 lulus dari SMP Negeri 7 Binjai, tahun 2005 lulus dari SMU Negeri 1 Binjai,
dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis
memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten Pemanenan
Hasil Hutan tahun 2008-2009. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL)
di HPHTI PT. Sumatera Riang Lestari, Labuhan Batu, Sumatera Utara selama dua
bulan. Pada bulan Februari 2009, penulis melakukan penelitian dengan judul
”Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)” dibawah
bimbingan ibu Evalina Herawati, S.Hut., M.Si dan ibu Ridwanti Batubara, S.Hut.,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga hasil penelitian yang
berjudul ”Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.)” dapat
selesai dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Evalina Herawati, S.Hut.,
M. Si dan Ibu Ridwanti Batubara, S. Hut., M.P selaku komisi pembimbing yang
telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. Terima kasih
juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, kakak dan abang yang telah
memberi dukungan, kasih sayang dan doanya kepada penulis serta teman-teman
yang telah membantu dalam penulisan hasil penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum sempurna, oleh
karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari
DAFTAR ISI
Pengujian keawetan alami... 25
Hal.
Kerapatan ... 45
Penyusutan Tiga Arah ... 48
Sifat Mekanis ... 51
Keawetan Alami... 55
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 59
Saran... 58
DAFTAR PUSTAKA... 60
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Penggolongan panjang serat... 9
2. Penggolongan diameter serat ... 9
3. Klasifikasi keawetan kayu ... 16
4. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu... 16
5. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap... 26
6. Hasil pengukuran dimensi serat batang pinang... 40
7. Persyaratan kelas mutu pulp ... 40
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Pinang dan bagian-bagiannya ... 6
2. Pengambilan contoh uji berdasarkan ketinggian batang... 19
3. Pengambilan contoh uji berdasarkan variasi kedalaman ... 20
4. Perbedaan warna dari bagian tepi kulit, tengah, dan empulur ... 28
5. Perbedaan warna berdasarkan ketinggian pada bagian pangkal tepi kulit, tengah, dan ujung... 29
6. Ikatan pembuluh batang pinang bagian pangkal tepi kulit dan bagian ujung empulur ... 32
7. Parenkim batang pinang berdasarkan kedalaman batang, tepi kulit, tengah dan empulur ... 34
8. Variasi rata-rata panjang serat berdasarkan ketinggian batang pinang... 36
9. Variasi rata-rata diameter serat berdasarkan ketinggian batang pinang... 36
10. Variasi rata-rata diameter lumen serat berdasarkan ketinggian batang pinang ... 37
11. Variasi rata-rata tebal dinding serat berdasarkan ketinggian batang pinang... 39
12. Serat batang pinang ... 39
13. Variasi rata-rata kadar air basah berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang... 42
14. Variasi rata-rata kadar air kering udara berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang ... 44
15. Variasi rata-rata kerapatan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang ... 45
16. Variasi rata-rata penyusutan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang pada arah radial (a), longitudinal (b) dan tangensial (c)... 49
No. Hal.
18. Variasi rata-rata modulus of rupture berdasarkan ketinggian dan
kedalaman batang pinang... 53
19. Variasi rata-rata kehilangan berat berdasarkan ketinggian dan
kedalaman batang pinang... 55
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Hasil pengukuran serat batang pinang bagian pangkal (mikron)... 63
2. Hasil pengukuran serat batang pinang bagian tengah (mikron)... 64
3.Hasil pengukuran serat batang pinang bagian ujung (mikron) ... 65
4. Hasil perhitungan statistik kadar air basah (%)... 66
5. Hasil perhitungan statistik kadar air kering udara (%)... 67
6. Hasil perhitungan statistik kerapatan (gr/cm3)... 68
7. Hasil perhitungan statistik susut tangensial (%) ... 69
8. Hasil perhitungan statistik susut longitudinal (%) ... 70
9. Hasil perhitungan statistik susut radial (%) ... 71
10. Hasil perhitungan statistik MOE (Kgf/cm2)... 72
11. Hasil perhitungan statistik MOR (Kgf/cm2) ... 73
ABSTRAK
TRISNAWATI: Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.). Dibimbing oleh EVALINA HERAWATI dan RIDWANTI BATUBARA.
Pinang merupakan salah satu tanaman palma yang hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia dan memiliki banyak kegunaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang sifat anatomis, sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan alami batang pinang berdasarkan variasi kedalaman dan ketinggian batang. Pengujian sifat fisis dan mekanis berdasarkan British Standard
373-1975 dan pengujian keawetan alami berdasarkan SNI 01-7207-2006.
Struktur anatomis batang pinang didominasi oleh ikatan pembuluh dan parenkim. Kadar air basah batang pinang berkisar antara 218 – 622 %. Kerapatan batang pinang berkisar antara 0,12 – 1,07 gr/cm3. Variasi kisaran rata-rata penyusutan 3 arah (radial, tangensial, longitudinal) yaitu 1,6 – 44,0 %. Sifat mekanis batang pinang dilihat dari nilai Modulus of Elasticity (MOE) dan
Modulus of Rupture (MOR). Nilai rata-rata MOE sebesar 75513 Kgf/cm2 dan MOR sebesar 748 Kgf/cm2. Hasil uji keawetan alami batang pinang termasuk dalam kelas awet V.
ABSTRACT
TRISNAWATI: Study on Some Basic Properties of Areca Palm (Areca catechu
L.). Under the supervision of EVALINA HERAWATI and RIDWANTI BATUBARA.
Areca catechu L. is a kind palm trees that can be found almost every where in Indonesia and has many advantages. This research aims to provide the information about anatomical properties, physical properties, mechanical properties and natural durability of Areca catechu L. based on depth variety and height variety.Evaluation on physical and mechanical properties based on British Standard 373-1975 and evaluation on natural durability based on SNI 01-7207-2006.
Anatomical structure of Areca catechu L was dominated by vascular bundles and parenchyma. Wet moisture of Areca catechu L. palm was 218 – 622 %. Specific gravity was 0,12 – 1,07 gr/cm3. The average of swelling three direction (radial, tangential, longitudinal) was 1,6 – 44,0 %. Mechanical properties were seen from Modulus of Elasticity (MOE) value and Modulus of Rupture (MOR) value. The average of MOE was 75513 Kgf/cm2 and the average of MOE was 748 Kgf/cm2. The result of natural durability test was include in class V.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semakin bertambahnya penduduk Indonesia maka kebutuhan kayu akan
semakin meningkat (Iskandar, 2001). Seiring meningkatnya kebutuhan kayu
tersebut maka industri-industri kayu pun semakin berkembang, namun banyak
industri yang terpaksa tutup karena kekurangan bahan baku. Menurut Syumanda
(2008) selama tahun 2006, kebutuhan kayu mencapai 96,19 juta m3 sementara
kemampuan produksi hutan hanya 46,7 juta m3. Dengan figure ini dipastikan 30
juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga menciptakan angka
deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang diselundupkan ke luar
negeri yang diperkirakan mencapai 10 juta m3 setiap tahunnya.
Permintaan kayu yang semakin meningkat harus segera dicari jalan
keluarnya untuk menekan kegiatan illegal logging sehingga tidak merusak hutan.
Salah satu jalan keluar untuk memenuhi permintaan kayu adalah dengan mencari
substitusi kayu. Menurut Dumanauw (1990) kayu adalah bahan organik yang
memiliki beberapa sifat sekaligus yang tidak dimiliki oleh bahan lain. Jadi,
substitusi kayu sebaiknya bahan-bahan yang memiliki sifat-sifat yang mirip
dengan kayu. Salah satu bahan yang dapat dijadikan alternatif pengganti kayu
adalah pinang (Areca catechu L.).
Pinang merupakan salah satu tanaman palma yang terdapat hampir di
seluruh wilayah Indonesia, terutama pulau Sumatera (Maskromo dan
Miftaharrochman, 2007). Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat ada sekitar 15
provinsi yang paling potensial memproduksi pinang. Salah satu di antaranya
dalam Sihombing (2000) disebutkan tahun 1996 luas kebun pinang mencapai
1.443 ha dengan produksi sekitar 493 ton dan tahun 1997 seluas 1.462 ha dengan
produksi mencapai 587 ton (Sihombing, 2000).
Tanaman pinang adalah salah satu jenis palma yang memiliki banyak
kegunaan antara lain sebagai bahan makanan, bahan industri kosmetika,
kesehatan, dan bahan pewarna pada industri tekstil. Sihombing (2000)
mengemukakan batang pinang telah dimanfaatkan oleh masyarakat dari dulu
hingga sekarang sebagai bahan bangunan, jembatan, dan saluran air. Tanaman ini
tersebar luas di wilayah Indonesia, baik secara individu maupun populasi, dan
umumnya ditanam sebagai tanaman pagar atau pembatas kebun (Maskromo dan
Miftahorrochman, 2007). Berbagai penelitian tentang pinang yang banyak
dilakukan adalah terhadap buahnya saja. Penelitian-penelitian pemanfaatan buah
pinang sebagai kosmetik ataupun obat-obatan telah banyak dilakukan. Namun
penelitian sifat dasar batang pinang yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan
maupun furniture belum banyak dilakukan.
Pemanfaatan suatu bahan akan dapat dilakukan secara maksimal bila
sifat-sifat dasar bahan tersebut diketahui secara rinci. Menurut Dumanauw (1990)
sebelum kayu dipergunakan sebagai bahan bangunan, industri kayu maupun untuk
membuat perabot, sifat-sifat dasar kayu harus diketahui. Sifat dasar dimaksud
antara lain yang bersangkutan dengan sifat anatomi, sifat fisis,
sifat-sifat mekanik dan sifat-sifat-sifat-sifat kimia lainnya. Sifat-sifat-sifat dasar tersebut juga diduga
mempengaruhi kekuatan, keuletan, kelenturan dan keawetan dari batang pinang,
sehingga dapat diketahui apakah pinang dapat digunakan sebagai bahan bangunan
pengolahan, pengangkutan maupun penggunaannya dapat dilakukan secara
seksama sehingga tidak terjadi pengorbanan bahan, waktu, tenaga dan biaya yang
sia-sia. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui sifat-sifat dasar yang
mendukung berbagai penggunaan batang pinang, maka dilakukan penelitian
mengenai Kajian Beberapa Sifat Dasar Batang Pinang (Areca catechu L.).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi sifat fisis batang pinang menurut ketinggian dan kedalaman
batang meliputi: kadar air, berat jenis, dan penyusutan batang pinang.
2. Mengevaluasi sifat anatomi batang pinang yang meliputi: ikatan pembuluh,
parenkim dan serat batang pinang.
3. Mengevaluasi sifat mekanis batang pinang yang meliputi MOE (Modulus of
Elasticity) dan MOR (Modulus of Rupture).
4. Mengevaluasi keawetan alami batang pinang melalui uji kubur (Grave Yard
Test).
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh variasi kedalaman
batang dan variasi ketinggian batang terhadap sifat fisis, anatomi, mekanis dan
keawetan alami batang pinang.
Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah tersedianya data mengenai sifat
dasar batang pinang (A. catechu L.) yang dapat dijadikan sebagai bahan
TINJAUAN PUSTAKA
Pinang
Pinang merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu
jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematika
pinang diuraikan sebagai berikut:
Divisi : Plantae
Kelas : Monokotil
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae atau Palmae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu L
(Sihombing, 2000)
Kandungan kimia pinang
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2),
arekolidine, arekalin, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin terkondensasi,
tannin terhidrolisis, flavon, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak
menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang dkk. 1996 dalam Maskromo dan
Miftahorrochman 2007). Nonaka (1989) dalam Maskromo dan Miftahorrochman
(2007) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu
suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid.
Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik,
anti-inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi (Fine 2000 dalam Maskromo dan
efek antioksidan, dan antimutagenik (Wang dkk. 1996 dalam Maskromo dan
Miftahorrochman 2007).
Leigh (2003) dalam Maskromo dan Miftahorrochman (2007) menyatakan
batang pinang mengandung beberapa kandungan yang sama dengan buahnya.
Batang pinang mengandung alkaloid, tanin, kanji, resin, karbohidrat, dan arekolin.
Menurut Nugroho dkk. (2004) batang kelapa bagian atas dan bagian dalam
banyak mengandung gula dan pati sehingga proses ekstraksi membuat sebagian
gula dan pati akan terlarut. Distribusi holoselulosa pada kelapa baik secara
longitudinal maupun lateral memiliki kecenderungan tidak beraturan.
Morfologi tumbuhan
Pinang merupakan tanaman famili palmae yang dapat mencapai tinggi 15 -
20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah
setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang
belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada
umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada awal dan
akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna
kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang
lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan
lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan
Gambar 1. Pinang dan bagian-bagiannya Sumber: http://www.wikipedia.co.id/pinang
Sifat Anatomis
Sifat anatomi kayu merupakan sifat dasar yang ada dalam kayu yang harus
diketahui, baik bentuk serat, pori-pori, dan lainnya yang dapat memudahkan
dalam kegiatan identifikasi jenis kayu. Menurut Butterfield dan Meylan (1980)
dalam Rahayu (2001) kayu kelapa disusun oleh tiga elemen utama yaitu ikatan
pembuluh yang terdiri dari serat sklerenkim dan pembuluh. Ikatan serat dan
jaringan dasar berupa sel-sel bersifat parenkimatis sangat penting pada batang
palmae.
Ikatan pembuluh
Ikatan pembuluh tersebar secara acak pada jaringan dasar dan merupakan
jaringan pertumbuhan secara lateral namun tidak terjadi penambahan jumlah
sel-sel lateral, sehingga penambahan diameternya tidak sebesar pada dikotil. Hal ini
pembuluh pada dikotil membentuk lingkaran yang memungkinkan terjadi
penambahan diameter pohon (Anonim 1992 dalam Wardhani 2005).
Pada satu ikatan pembuluh terdapat serat dan pembuluh metaxilem yang
berdiameter besar terdiri dari phloem dan xilem. Serat merupakan sel yang
bersifat sklerenkimatis yang sangat bervariasi baik ukuran maupun bentuknya,
terdiri dari sel-sel serat yang panjang dan atau sklereid yang pendek dan
membentuk sarung yang menutupi ikatan pembuluh dan pembuluh metaxilem.
Dalam satu ikatan pembuluh minimal terdapat satu pembuluh metaxilem
(Wardhani, 2005).
Ikatan pembuluh pada kayu kelapa terdiri dari pembuluh sebagai penyalur
makanan dan serabut sebagai penyokong batang (Asia Pasific Coconut
Community 1979 dalam Wardhani 2005). Kemampuan ikatan pembuluh sebagai
penyokong kekuatan kayu berkaitan erat dengan tebal dinding sel serabut dan
kandungan silika dalam sel. Pertumbuhan skelerenkim kayu kelapa yang baik
akan mengakibatkan pembentukan lignin yang tinggi pada ikatan pembuluh dan
meningkatkan nisbah serabut dan pembuluh (Rahayu, 2001).
Parenkim
Pinang dan kelapa merupakan famili palmae, membuat beberapa sifat
pinang dapat dirujuk pada beberapa sifat kelapa. Menurut Sudarna (1990) dalam
Rahayu (2001), secara garis besar struktur anatomi batang kelapa terdiri dari
jaringan parenchyme sebagai jaringan dasar, dan sejumlah ikatan pembuluh yang
tersebar diantara jaringan parenchyme terdiri dari sel-sel berdinding tipis
berbentuk polignol sampai bundar. Menurut Rojo dkk. (1988) dalam
penting pada batang palma termasuk kelapa. Bentuknya beragam antara lain
berbentuk kompak, ramping atau kadang-kadang berbentuk seperti karang
(spongy) dan banyak mengandung gula.
Di dalam kayu, parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk
menyimpan serta mengatur bahan makanan cadangan. Menurut Pandit dan
Ramdan (2002), berdasarkan penyusunannya, parenkim dibagi atas 2 macam
yaitu:
1. Parenkim aksial (parenkim), yang tersusun secara vertikal
2. Parenkim jari-jari (jari-jari kayu), yang tersusun secara horisontal
Ciri parenkim yang penting untuk diidentifikasi adalah susunannya
sebagaimana dilihat pada penampang lintang kayu. Pada bagian ini, dengan
bantuan lup, parenkim biasanya dapat dilihat berupa jaringan yang berwarna lebih
cerah daripada jaringan serat, umumnya hampir putih dan lainnya agak coklat atau
coklat merah. Secara garis besar, susunan parenkim dapat dibagi atas dua tipe
berdasarkan hubungannya dengan pembuluh. Tipe pertama dinamakan parenkim
apotrakea yaitu semua bentuk parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan
pembuluh. Tipe kedua parenkim paratrakea, meliputi semua parenkim yang
berhubungan dengan pembuluh (Mandang dan Pandit, 1997).
Serat
Asia Pasific Coconut Community (1979) dalam Rahayu (2001)
mengemukakan kayu palmae mempunyai sifat yang lebih dekat dengan kayu daun
lebar daripada kayu daun jarum. Hal ini dicerminkan oleh adanya saluran pada
Jadi untuk mengetahui serat pada batang pinang rujukan dari serat daun lebar
dapat digunakan.
Apabila sepotong kayu daun lebar seratnya dipisah-pisahkan dan diamati
di bawah mikroskop, maka akan tampak sel-sel dengan berbagai macam bentuk
ukuran, ada yang mirip tong atau pipa, ada yang mirip kotak dan ada yang
berbentuk panjang dan sangat lansing. Sel-sel yang berbentuk panjang dan
langsing ini dikenal dengan nama serat. Dinding serat biasanya lebih tebal dari
dinding parenkim dan pembuluh. Panjangnya antara 300-3600 mikron. Ketebalan
dindingnya relatif dibandingkan diameter, dapat tipis, tebal atau sangat tebal.
Serat dikatakan berdinding sangat tebal jika lumen atau rongga selnya hampir
seluruhnya terisi dengan lapisan-lapisan dinding. Dari ciri inilah dapat dipahami
bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon (Mandang dan Pandit, 1997).
Casey (1960) dalam Panggabean (2008) mengklasifikasikan serat
berdasarkan panjang serat (Tabel 1) dan berdasarkan diameter serat (Tabel 2).
Tabel 1. Penggolongan panjang serat
No. Golongan Panjang Serat (µ)
Sumber: Casey (1960) dalam Panggabean (2008)
Tabel 2. Penggolongan diameter serat
No. Golongan Diameter Serat (µ)
Sifat Fisis
Sifat fisis kayu merupakan faktor dalam dari struktur kayu yang sangat
menentukan, disamping peran lingkungan dimana kayu tersebut tumbuh.
Beberapa sifat fisis kayu yang dianggap penting antara lain: kadar air, kerapatan,
kembang susut dan berat jenis kayu (Dumanauw, 1990).
Kadar air
Kadar air kayu merupakan jumlah air yang dikandung kayu, yang
dinyatakan dalam berat kering ovennya. Jumlah air yang dikandung kayu
bervariasi tergantung dari jenis kayu, berkisar antara 40 - 200 % berat kering kayu
(Panshin dan de Zeeuw, 1980).
Variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa
kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat
higroskopis yang mungkin terdapat pada dinding atau dalam lumen sel kayu.
Prayitno (1995) mengemukakan, variasi kadar air kayu kelapa sawit relatif lebih
besar seperti pada kayu daun lebar yang mempunyai berat jenis rendah yaitu
129,6 – 470 %. Bakar dkk. (1999) juga mengemukakan bahwa kadar air tertinggi
kelapa sawit berkisar berkisar antara 345 – 500 %, variasi ini cenderung turun dari
atas batang ke bawah dan dari empulur ke tepi.
Haygreen dkk.(2003) mengemukakan bahwa titik dimana semua air cair
di dalam rongga sel telah dikeluarkan tetapi dinding sel masih jenuh disebut titik
jenuh serat (TJS). Ini adalah suatu titik yang kritis, karena di bawah titik ini sifat
kayu terganggu oleh perubahan-perubahan dalam kandungan air. Banyaknya air
yang tidak berhubungan langsung dengan air cair akan selalu lebih rendah
daripada TJS.
Kerapatan
Kerapatan kayu adalah massa atau berat kayu per unit volume kayu.
Kerapatan merupakan faktor penting untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik
kayu (Panshin dan Zeeuw, 1980). Kerapatan kayu didalam suatu spesies telah
ditemukan bervariasi dengan sejumlah faktor yang meliputi letaknya dalam
pohon, letak dalam kisaran spesies tersebut, kondisi tempat tumbuh (tanah, air,
dan kelerengan) dan sumber-sumber genetik (Haygreen dkk., 2003).
Pinang adalah famili palmae yang juga merupakan famili dari gewang
(Corypha utan Lamk.). Semakin ke dalam batang gewang mendekati empulur,
jumlah ikatan pembuluh semakin sedikit. Jaringan ikatan pembuluh memiliki
kerapatan yang lebih tinggi daripada jaringan di sekitarnya. Nilai kerapatan batang
gewang memang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kerapatan batang
kelapa. Namun bila dibandingkan dengan kerapatan kelapa sawit nilai batang
gewang masih lebih tinggi (Naiola dkk., 2008).
Secara fisis kayu kelapa mempunyai kerapatan yang sangat beragam baik
dari pangkal ke ujung maupun dari tepi ke dalam. Pada bagian pangkal dan tepi
mempunyai kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh ikatan pembuluh dewasa
sedangkan bagian tengah dan ujung lebih banyak mengandung jaringan dasar
berupa parenkim serta ikatan pembuluh muda dengan kerapatan yang lebih
rendah. Kerapatan yang beragam dalam suatu pohon kemungkinan diikuti oleh
Walker (1993) dalam Nugroho dkk. (2004) kandungan kimia kayu berpengaruh
terhadap kerapatan .
Penyusutan
Haygreen dkk. (2003) mengemukakan jika kayu kehilangan air di bawah
TJS, yaitu kehilangan air terikat, kayu menyusut. Sebaliknya, jika air memasuki
struktur dinding sel, kayu mengembang. Penyusutan dan pengembangan adalah
suatu proses yang benar-benar terbalikkan dalam potongan-potongan kecil kayu
bebas tegangan.
Besarnya penyusutan umumnya sebanding dengan banyaknya air yang
dikeluarkan dari dinding sel. Hal ini berarti bahwa spesies dengan kerapatan
tinggi haruslah menyusut lebih banyak per persen perubahan kandungan air
daripada spesies dengan kerapatan rendah. Inilah kasus pada umumnya.
Perhatikan kayu dengan kerapatan tinggi kehilangan air lebih banyak per persen
perubahan kandungan air (Haygreen dkk., 2003).
Menurut Wiryomartono (1976) peringkat kembang susut dalam kayu
terbesar pada arah tangensial (4,3 – 14 %), sedang pada arah radial (2,1 - 8,5 %),
dan terkecil pada arah longitudinal (0,1 - 0,2 %). Susut tangensial (ST) dua kali
lebih besar susut radial (SR), hal ini disebabkan oleh:
1. Adanya tahanan jari yang menyebabkan susut radial ditahan oleh
jari-jari.
2. Noktah pada dinding radial lebih banyak daripada dinding tangensial,
sehingga proporsi zat kayu pada dinding radial lebih sedikit.
Sifat Mekanis
Sifat mekanis kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan
gaya luar yang bekerja terhadapnya. Gaya luar adalah gaya-gaya yang datangnya
dari luar benda dan bekerja pada benda tersebut, gaya ini cenderung mengubah
ukuran atau bentuk benda (Wangaard 1950 dalam Rahayu 2001). Sedangkan
Brown dkk. (1952) mendefinisikan sifat mekanis kayu sebagai sifat yang
berhubungan dengan gaya luar terhadap kayu dan reaksi kayu itu sendiri.
Naiola dkk. (2008) menyatakan gewang memiliki nilai keteguhan tekan
tinggi pada awalnya dan semakin menurun stabil ke arah dalam. Pada bagian luar
lebih banyak didominasi oleh jaringan ikatan pembuluh yang mempengaruhi
kekuatan gewang dibandingkan bagian dalam yang lebih banyak jaringan
parenkimnya yang cenderung melemahkan batang gewang.
Adanya keragaman yang cukup lebar dari nilai sifat-sifat mekanik
disebabkan adanya perbedaan struktur dari batang gewang mulai bagian luar
sampai ke dalam batang serta bagian bawah dan tengah batang. Pada bagian
dalam batang sebagian besar terbentuk atas jaringan dasar parenkim sedangkan
untuk luar dan tepi yang didominasi oleh berkas pembuluh yang cukup tebal
(vascular bundles) (Naiola dkk., 2008).
Satu faktor penyebab menurunnya kekuatan patah kayu kelapa seiring
dengan meningkatnya letak ketinggian dalam batang adalah penyimpangan arah
sudut serat kayu. Pada tanaman monokotil, semakin ke arah ujung maka sudut
penyimpangan tersebut semakin besar karena adanya bakal daun atau pelepah
yang tumbuh mengelilingi batang (Rudall 1997 dalam Wardhani 2005). Sudut
kekuatan patah (MOR). Semakin besar sudut serat maka kekuatannya akan
semakin rendah (Tsoumis, 1991).
Seperti halnya kekakuan bahan (Modulus of Elasticity), penurunan MOR
(Modulus of Rupture) dari pangkal ke ujung juga dipengaruhi oleh struktur
anatomi seperti dimensi serat dan ikatan pembuluh. Ikatan pembuluh pada bagian
ujung umumnya mempunyai lebih dari satu metaxilem yang berdiameter besar,
sedangkan bagian pangkal lebih banyak ikatan pembuluh yang mempunyai satu
pembuluh metaxilem dan berdiameter kecil. Kehadiran pembuluh metaxilem yang
lebih banyak menyebabkan kekuatan kayu menurun (Wardhani, 2005). Kollman
dan Cöré (1984) dalam Wardhani (2005) menyatakan bahwa banyaknya
pembuluh kayu dengan diameter yang besar dapat menurunkan kekuatan kayu.
Hal ini dapat dilihat dari kerusakan setelah pengujian yang berbentuk getas
(brashness).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan kayu bebas cacat yaitu:
- Kandungan air. Kenaikan kekuatan umumnya mulai nampak sedikit di bawah
titik jenuh serat – biasanya sekitar KA 25 %.
- Waktu penyimpanan. Sejumlah kehilangan kekuatan akan terjadi apabila
penyimpanan lama.
- Suhu. Kebanyakan sifat-sifat mekanik berkurang apabila kayu dipanaskan dan
bertambah apabila didinginkan. Selama suhu tidak melebihi kira-kira 100 0C,
terdapat sedikit saja kehilangan kekuatan yang permanen.
- Kelelahan (fatigue). Kekuatan lelah suatu bahan adalah kemampuannya untuk
- Kayu reaksi. Efek kayu reaksi yang tidak menentu dalam penggunaan kayu
struktural akan mempengaruhi sifat mekanik.
- Ekspos pada zat kimia. Kekuatan kayu mungkin berkurang oleh ekspos pada
lingkungan asam atau basa yang berat.
(Haygreen dkk., 2003).
Keawetan Alami Kayu
Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah
terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi
organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu berhubungan erat dengan
pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu
berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu.
Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu
gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur
pemakaiannya (Duljapar, 2001).
Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam
konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan
berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan
kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila
konstruksi tersebut berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut
diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut
dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan
kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu
memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas
Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu memberi
gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi keawetan
kayu dapat dilihat pada Tabel 3 dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur
pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Klasifikasi keawetan kayu
Kelas Keawetan Kualifikasi Keawetan Umur Pemakaian (tahun) I
Tabel 4. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu
Umur Pakai (Tahun) Pada Kelas Keawetan No Kondisi
Keawetan kayu selain dipengaruhi faktor biologis, juga dipengaruhi faktor
lain seperti, kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang,
kecepatan tumbuh dan tempat kayu tersebut dipergunakan (Tim Elsppat, 1997).
Hal yang sama ditambahkan oleh Haygreen dkk. (2003), apabila kayu secara
alami dapat tahan terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena
sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk
udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan hutan Tridharma
Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian ini dimulai dari bulan
Februari sampai Juni 2009.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah batang pinang yang
berasal dari daerah Binjai. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah
aquades, safranin, larutan H2O2 dan CH3COOH, label nama, alkohol 97%. Bahan
lainnya yaitu kertas saring dan pH meter.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven untuk
mengeringkan contoh uji, timbangan electric untuk menimbang contoh uji,
caliper untuk mengukur dimensi contoh uji, desikator, magnetic stirrer, mesin
serut single dan double planner, amplas, luv pembesaran 10x, band saw, pisau
untuk memotong batang pinang menjadi ukuran korek api, cawan petri untuk
meletakkan batang pinang, tabung reaksi untuk tempat potongan batang pinang
yang akan dilakukan maserasi, pipet tetes digunakan untuk menetesi bahan kimia
yang digunakan, penangas untuk merebus batang pinang dalam proses maserasi,
menggamati dimensi serat batang pinang, Universal Testing Machine, kipas
angin, corong dan gelas ukur untuk proses penyaringan, dan alat tulis.
Prosedur Penelitian
Pengambilan bahan dan pembuatan contoh uji
Pengambilan bahan penelitian dilakukan di daerah Binjai, sebanyak tiga
batang pinang dengan ukuran diameter dan umur yang sama. Adapun batang
pinang yang diambil adalah batang pinang dengan umur 15 tahun, tinggi 13 m dan
diameter minimal 13 cm pada ujung batang. Diambil contoh uji dari tiga bagian
batang pohon, yaitu bagian pangkal, tengah, dan bagian ujung (Gambar 2).
Pengambilan contoh uji juga berdasarkan variasi kedalaman yaitu pada bagian
dekat hati (empulur), tengah dan dekat kulit (Gambar 3).
1 m
1,5 m
3 m
1,5 m
3,5 m
1,5 m
0,8 m
Ujung
Tengah
Pangkal
Gambar 3. Pengambilan contoh uji berdasarkan variasi kedalaman
Keterangan:
H : Dekat hati (empulur)
T : Tengah
K : Dekat kulit
Setiap parameter pengujian, contoh uji diambil dari 3 batang pinang pada
variasi ketinggian dan variasi kedalaman batang pinang. Untuk pengujian sifat
fisis contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Sifat fisis yang diuji meliputi kadar
air, kerapatan, dan penyusutan 3 arah. Untuk pengujian sifat anatomis contoh uji
berukuran 2 cm x 2 cm x 8 cm. Sifat anatomis yang diuji meliputi ikatan
pembuluh, parenkim dan serat. Namun serat dilihat melalui maserasi. Untuk
pengujian keawetan alami contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 25 cm. Keawetan
alami dilihat melalui uji kubur (Grave Yard Test). Untuk pengujian sifat mekanis
contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm. Sifat mekanis yang diuji meliputi
MOE (Modulus of Elasticity) dan MOR (Modulus of Rupture).
Pengujian Sifat Anatomis
Pengamatan dilakukan pada masing-masing contoh uji dengan ukuran 2
cm x 2 cm x 8 cm pada kadar air kering udara yang diambil dari setiap batang
pada variasi ketinggian dan variasi kedalaman. Pengamatan menggunakan luv
dengan pembesaran 10x. Pengamatan meliputi ikatan pembuluh dan parenkim
serta ciri umum batang pinang. Pengamatan serat dilakukan dengan metode
maserasi. Pengujian sifat anatomis batang pinang ini berdasarkan pada Mandang
dan Pandit (1997) dan hasil disajikan melalui foto/gambar.
Maserasi
1. Proses pemisahan serat (maserasi)
Proses maserasi menggunakan metode Forest Product Laboratory (FPL)
menurut Wheeler (1989) dalam Panggabean (2008). Pengamatan dan pengukuran
dilakukan dengan bantuan mikroskop yang dilengkapi mikrometer, adapun
prosedurnya yaitu contoh uji berukuran 0,5 x 0,5 x 2 cm3 dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi larutan H2O2 (Hidrogen Peroksida) dan CH3COOH (Asam
Asetat) dengan perbandingan 2 : 1 sampai terendam. Tabung reaksi kemudian
dimasukkan dalam penangas air dengan suhu 120 0C selama 4 – 5 jam sampai
potongan kayu berwarna putih dan terlihat adanya tanda-tanda serat mulai lepas.
Aquades dimasukkan dan dikocok untuk mendapatkan serat-serat yang melepas
sempurna. Kemudian dicuci berulang-ulang di atas kertas saring sampai bebas
asam. Setelah itu serat dipindahkan ke dalam cawan petri dan diberi beberapa
tetes safranin 2 % kemudian ditunggu selama 6 - 8 jam agar zat warna
dilakukan pemisahan serat. Preparat kemudian ditutup dengan cover glass. Serat
siap diamati di bawah mikroskop kemudian diukur.
2. Pengukuran dimensi serat
1. Dimensi serat yang diukur sebanyak 150 serat. Dimensi serat yang diukur
adalah panjang serat, diameter serat, tebal dinding serat, dan diameter
lumen.
2. Tebal dinding serat dihitung dengan rumus
2
l D W
3. Dihitung turunan dimensinya
D
Pengujian sifat-sifat fisis batang pinang menggunakan British Standard
373-1975 Standard Test for Small Clear Specimen.
Kadar air
Kadar air adalah jumlah air yang terdapat pada kayu dibagi dengan berat
kering tanur (BKT) dan dinyatakan dalam persen. Pengujian kadar air ini
dilakukan untuk penyeragaman contoh uji. Cara penentuan kadar air yaitu contoh
uji kadar air diambil dari setiap batang pinang pada variasi ketinggian dan
kedalaman batang dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji ditimbang berat
awalnya, kemudian dikering udarakan menggunakan kipas angin. Setelah dikering
udarakan contoh uji ditimbang untuk menentukan berat kering udara. Contoh uji
kemudian dioven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 oC, ditimbang beratnya dan
dioven lagi selama 3 jam, kemudian ditimbang lagi, hingga beratnya konstan.
Dihitung kadar air dengan rumus:
%
Kerapatan merupakan perbandingan massa kayu dengan volume kayu.
Cara penentuan kerapatan yaitu contoh uji diambil dari setiap batang pada variasi
ketinggian dan variasi kedalaman dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji
udara) dan diukur dimensinya. Dihitung volume kering udara. Kemudian dihitung
kerapatan kayu dengan rumus:
Kerapatan Kayu (gr/cm3)
Penyusutan pada kayu terjadi dikarenakan adanya molekul-molekul air
yang terlepas dari dinding-dinding sel pada kayu, penyusutan kayu ini terjadi pada
kondisi kayu dibawah titik jenuh serat. Cara penentuannya yaitu contoh uji
dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm diukur dimensinya pada 3 arah (radial,
tangensial, dan longitudinal) kemudian dikeringudarakan dengan menggunakan
kipas angin selama 3 minggu. Setelah dikeringudarakan contoh uji diukur lagi
dimensinya. Penyusutan dapat dihitung dengan rumus:
%
Pengujian sifat mekanis menggunakan Brtish Standar 373-1975 Standard
Test for Small Clear Specimen. Pengujian sifat mekanis ini meliputi pengujian
sifat keteguhan lentur dan keteguhan patah.
Pengujian keteguhan lentur (MOE) dilakukan bersama-sama dengan
pengujian keteguhan patah (MOR) dengan memakai contoh uji yang sama dengan
ukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm. Besarnya defleksi yang terjadi pada saat pengujian
dicatat pada setiap selang beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus:
Dimana:
Nilai MOR dihitung dengan rumus:
MOR =
Pengujian Keawetan Alami Melalui Uji Kubur
Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 25 cm dari setiap batang pada variasi
kedalaman dan ketinggian dengan kadar air kering udara, dikubur atau ditanam
dengan jarak tanam 0,5 m antar contoh uji dengan membiarkan minimal 10 cm
dari bagian ujung batang pinang terlihat di atas permukaan tanah. Setelah 100
menyerang (organisme yang tertinggal dalam batang pinang). Contoh uji
kemudian dioven dengan suhu 103 ± 2 0C selama 24 jam atau sampai berat
konstan. Selanjutnya dilakukan penimbangan (didapat berat akhir). Dihitung
kehilangan berat contoh uji dengan rumus:
Kehilangan Berat = x100%
Penentuan kelas ketahanan contoh uji berdasarkan klasifikasi yang dibuat
SNI 01-7207-2006. Klasifikasi tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap
Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)
I
Dari pengujian sifat fisis, keawetan alami, dan sifat mekanis yang telah
dilakukan, selanjutnya data-data tersebut diolah dengan menggunakan model
rancangan acak lengkap tersarang. Model linear dari rancangan tersebut adalah:
Yijk = µ + αi + ßj ( i) + εk ( ij) Dimana:
Yijk = Respon pengaruh bagian ke-j dalam ketinggian ke-i ulangan ke-k
µ = Rata-rata umum
αi = Pengaruh ketinggian ke-i
ßj (i) = Pengaruh bagian kedalaman ke-j dalam ketinggian ke-i
Uji F dilakukan untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata satu
dengan lainnya. Jika F hitung lebih besar dari F tabel, maka faktor perlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ciri-ciri umum batang pinang yang diamati meliputi warna kayu,
kekerasan, corak serta bau yang terdapat pada batang pinang. Batang pinang
merupakan batang yang berasal dari tanaman palma. Dalam penelitian ini
penampang lintang batang pinang dibedakan menjadi tiga daerah yaitu tepi kulit,
tengah dan dalam. Bagian penampang lintang batang pinang dibagi menjadi tiga
daerah, bertujuan agar diketahui perbedaan warna dan kekerasan batang pinang
pada bagian tepi kulit, tengah dan dalam. Butterfield dan Meylan (1980) dalam
Wardhani (2005) mengemukakan penampang lintang batang kayu kelapa
dibedakan menjadi tiga daerah yaitu tepi, tengah dan dalam. Bagian tepi (dekat
kulit) batang pinang memiliki warna lebih gelap daripada bagian empulur
(dalam). Menurut Wardhani (2005) bagian tepi kayu kelapa berwarna lebih gelap
dari bagian dalam. Pada Gambar 4, dapat dilihat perbedaan warna batang pinang
berdasarkan kedalaman batang.
(a) (b) (c)
Keterangan: = 1 mm
Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x
Bagian tepi kulit batang pinang 4(a) berwarna coklat tua hingga coklat
muda dan semakin berwarna coklat muda kekuning-kuningan pada bagian tengah
4(b) hingga putih kekuning-kuningan 4(c) pada bagian empulur. Perbedaan warna
ini terjadi karena pada bagian tepi kulit lebih didominasi oleh ikatan pembuluh
yang warnanya lebih gelap dari parenkim. Sedangkan bagian empulur lebih
didominasi oleh parenkim sehingga warna empulur akan lebih terang dari warna
tepi kulit. Lebih banyaknya jumlah parenkim pada bagian empulur juga
menyebabkan bagian empulur lebih lunak dari bagian tepi kulit, yang didominasi
oleh ikatan pembuluh.
Sepanjang batang pinang didominasi oleh warna coklat. Warna bagian
pangkal hingga ke ujung batang pinang tidak terlalu berbeda. Untuk bagian
pangkal tepi kulit hingga bagian ujung tepi kulit umumnya berwarna coklat tua
hingga coklat muda, dapat dilihat pada Gambar 5.
(a) (b) (c)
Keterangan: = 1 mm
Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x
Pada Gambar 5 dapat dilihat bagian pangkal tepi kulit 5(a) berwarna
coklat tua, dan tidak berbeda pada bagian tengah tepi kulit 5(b) yaitu masih
berwarna coklat tua. Pada bagian ujung tepi kulit 5(c) warna coklat terlihat sedikit
lebih muda dari bagian pangkal dan tengah. Hal tersebut dikarenakan pada bagian
ujung batang didominasi oleh parenkim yang warnanya lebih cerah dari ikatan
pembuluh, sedangkan di bagian pangkal didominasi oleh ikatan pembuluh.
Sehingga biasanya bagian pangkal memiliki warna yang lebih gelap dari bagian
ujung.
Batang pinang memiliki kekerasan yang cukup keras pada bagian tepi
kulit, kemudian kekerasan akan semakin berkurang menuju bagian pusat kulit.
Bahkan pada bagian pusat kulit (empulur), batang pinang lunak. Begitu juga
menurut ketinggian, pada bagian pangkal batang pinang memiliki kekerasan yang
keras dan kekerasan akan semakin berkurang menuju ujung batang. Hal ini
disebabkan karena pada bagian empulur ataupun ujung batang merupakan
jaringan muda dan baru terbentuk serta didominasi oleh parenkim. Bagian
empulur kayu kelapa merupakan jaringan berwarna kecoklatan dan lunak karena
sebagian besar terdiri dari jaringan parenkim (Krisdianto, 2006).
Batang pinang tidak memiliki corak yang indah. Corak hanya terbentuk
akibat adanya sel pembuluh pada batang pinang, sehingga membentuk seperti
alur-alur pada batang pinang. Batang pinang juga tidak memiliki bau yang khas.
Pada kondisi segar ataupun kondisi kering udara batang pinang tidak berbau.
Sifat Anatomis
Pengamatan sifat anatomis pada batang pinang dilakukan secara
menggunakan lup perbesaran 10x. Adapun sifat anatomis yang diamati secara
makroskopis yaitu ikatan pembuluh dan parenkim pada variasi ketinggian dan
variasi kedalaman batang. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis dilakukan
dengan menggunakan mikroskop elektron dengan pembesaran 40x. Adapun sifat
anatomis yang diamati secara mikroskopis yaitu serat batang pinang melalui
metode maserasi.
Ikatan pembuluh
Batang palma tidak mempunyai pori-pori yang umumnya dimiliki oleh
batang pada tanaman dikotil. Menurut Mandang dan Pandit (1997) pori umumnya
hanya terdapat pada golongan kayu daun lebar (hardwood), sehingga golongan
kayu ini sering juga disebut sebagai porouswood. Menurut Butterfield dan Meylan
(1980) dalam Wardhani (2005) kayu kelapa disusun oleh tiga elemen utama yaitu
ikatan pembuluh yang terdiri dari serat sklerenkim dan pembuluh. Ikatan serat dan
jaringan dasar berupa parenkimatis yang sangat penting pada palma termasuk
pinang. Ikatan pembuluh batang pinang pada bagian pangkal tepi kulit dan bagian
ujung empulur dapat dilihat pada Gambar 6.
Pada Gambar 6a dapat dilihat bahwa batang pinang pada bagian pangkal
tepi kulit mempunyai ikatan pembuluh yang berwarna gelap, yaitu berwarna
coklat tua dengan diameter yang besar. Hasil ini sama dengan warna pada kayu
kelapa, kayu kelapa pada bagian pangkal tepi memiliki warna ikatan pembuluh
1
2 1
(a) (b)
1
2
1
(c) (d)
Keterangan: 1 = ikatan pembuluh; 2 = parenkim = 1 mm
Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x
Gambar 6. Ikatan pembuluh batang pinang bagian pangkal tepi kulit (a dan b) dan bagian ujung empulur (c dan d)
Pada Gambar 6b, ikatan pembuluh tampak seperti pita panjang namun
tidak begitu lebar dan berwarna gelap. Hal ini sedikit berbeda dari ikatan
pembuluh pada kayu kelapa, ikatan pembuluh pada kayu kelapa berupa pita
panjang dan lebar (Wardhani, 2005). Warna gelap dari ikatan pembuluh karena
telah terjadi proses penebalan sekunder dinding sel serat atau sklereida yang
jumlah ikatan pembuluh yang banyak dan berdiameter besar serta berwarna gelap,
umumnya ikatan pembuluh ini berfungsi sebagi penguat batang palma.
Bila dibandingkan dengan bagian pangkal tepi kulit batang pinang, maka
bagian ujung empulur batang pinang (Gambar 6b dan 6c), mengandung ikatan
pembuluh yang lebih kecil, sedikit dan berwarna cerah. Ikatan pembuluh pada
bagian ini lebih banyak berfungsi sebagai alat transportasi karena proses
pertumbuhan masih berlangsung dan sel serat umumnya belum mengalami
penebalan sekunder.
Pada Gambar 6d dapat dilihat ikatan pembuluh tampak lebih pendek
karena terpotong. Ini terjadi karena ikatan pembuluh pada bagian ujung empulur
mempunyai orientasi yang tidak sejajar dengan sumbu pohon karena bagian ini
merupakan bagian dari titik apikal meristem yang nantinya akan membentuk
pelepah atau daun. Menurut Fruhwald (1992) dalam Wardhani (2005) susunan
ikatan pembuluh yang tidak beraturan terbentuk dalam konteks penyisipan bakal
daun pada batang kelapa.
Parenkim
Berdasarkan variasi kedalaman batang, parenkim (Gambar 7) pada bagian
tepi kulit (Gambar 7a) berjumlah sedikit kemudian semakin banyak menuju ke
bagian tengah (Gambar 7b) dan akan lebih banyak lagi pada bagian empulur
(Gambar 7c). Begitu juga berdasarkan variasi ketinggian batang, parenkim pada
pangkal batang berjumlah sedikit dan semakin banyak menuju ujung batang. Pada
bagian tepi kulit batang pinang, ikatan pembuluh berjumlah banyak dan
berdiameter besar sehingga jumlah parenkim hanya sedikit. Parenkim merupakan
pembuluh merupakan jaringan penguat pada batang, khususnya batang palma.
Sehingga biasanya parenkim akan lebih banyak pada bagian batang yang masih
terus tumbuh seperti pada bagian empulur dan ujung batang.
1 2
1 2
(a) (b)
1
2
(c)
Keterangan: 1 = ikatan pembuluh; 2 = parenkim = 1 mm
Foto = Menggunakan lup dengan pembesaran 10x
Gambar 7. Parenkim batang pinang berdasarkan kedalaman batang, tepi kulit (a), tengah (b) dan empulur (c)
Gambar 7 memperlihatkan sel pembuluh pada batang pinang berada di
antara parenkim. Parenkim pada batang pinang ini sama seperti parenkim pada
kayu kelapa, kayu kelapa disusun oleh jaringan dasar parenkim yang diantaranya
kelapa sawit juga tampak sejumlah sejumlah ikatan pembuluh yang tersebar
merata di antara jaringan parenkim (Rahayu, 2001).
Pada bagian empulur (Gambar 7c), parenkim berbentuk spongy (karang)
pada kondisi kadar air kering udara, namun pada kondisi kadar air segar parenkim
tidak berbentuk karang. Hal ini disebabkan karena pada bagian empulur batang
pinang mengandung rata-rata kadar air basah yang sangat tinggi yaitu 573,98 %.
Sehingga pada kondisi kering udara parenkim yang terisi air akan menguap
menyebabkan parenkim kosong sehingga berbentuk seperti karang. Menurut Rojo
dkk. (1988) dalam Wardhani (2005) jaringan parenkim merupakan salah satu
jaringan yang sangat penting pada batang palma termasuk kelapa. Bentuknya
beragam antara lain berbentuk kompak, ramping atau kadang-kadang berbentuk
seperti karang dan banyak mengandung gula.
Serat
Panjang serat batang pinang bervariasi tergantung posisinya dalam
ketinggian pohon. Serat terpanjang terdapat pada bagian pangkal, data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1, serat semakin pendek menuju bagian
tengah hingga ujung batang (Gambar 8). Menurut Panshin dan De Zeeuw (1980),
sel yang matang lebih panjang dari sel yang muda karena sel muda masih terus
mengalami pembelahan, sedangkan penambahan panjang sel merupakan tahap
117
Gambar 8. Variasi rata-rata panjang serat berdasarkan ketinggian batang pinang
Variasi kisaran panjang serat batang pinang berdasarkan ketinggian dari
pangkal ke ujung batang tidak terlalu besar dan lebih pendek (84 – 117 μ), bila
dibandingkan dengan serat kayu kelapa dengan kisaran 788 – 1984 µ (Wardhani,
2005). Berdasarkan klasifikasi serat menurut Casey (1960) dalam Panggabean
(2008) serat batang pinang hasil penelitian ini termasuk dalam katagori serat
”pendek” yaitu < 900 µ. Hasil ini berbeda bila dibandingkan dengan serat kayu
kelapa termasuk dalam kategori “sedang” yaitu antara 900 – 1600 µ (Wardhani,
2005).
Seperti halnya panjang serat, diameter serat (Gambar 9) rata-rata yang
terbesar terdapat pada bagian pangkal. Diameter serat batang pinang berkisar
antara 1,7 – 3,2 μ. Berdasarkan kategori serat Casey (1960) dalam Panggabean
(2008), diameter serat batang pinang hasil penelitian ini termasuk dalam katagori
serat “tipis” yaitu < 10 µ. Sedangkan diameter serat kayu kelapa memiliki kisaran
antara 21,5 – 38,5 µ, yang termasuk dalam kategori serat “lebar” yaitu > 20 µ
(Wardhani, 2005).
Hasil penelitian diameter serat batang pinang (Gambar 9) memperlihatkan
rata-rata diameter serat pada bagian pangkal lebih besar dan akan semakin kecil
menuju bagian ujung batang. Pangkal batang didominasi oleh sel serat dewasa
yang telah mengalami pertumbuhan secara sempurna sehingga diameter serat
lebih besar. Besarnya diameter serat dewasa disebabkan telah terjadi penebalan
sekunder dari dinding sel dan proses lignifikasi telah selesai sehingga menambah
diameter serat yang terbentuk. Sebaliknya pada bagian ujung, data selengkapnya
dapat dilihat dalam Lampiran 3, batang merupakan apikal meristem yang masih
mengalami pertumbuhan dengan sel-sel hidup yang didominasi oleh sel muda.
0,74
Seperti halnya pada pengukuran panjang dan diameter serat, hasil
penelitian terhadap diameter lumen serat batang pinang (Gambar 10) dan tebal
dinding serat (Gambar 11), memperlihatkan nilai yang lebih besar pada bagian
pangkal dan akan semakin kecil menuju bagian ujung batang. Menurut Krisdianto
(2006) tebal dinding serat paling besar terdapat di bagian pangkal pada batang
kelapa dalam dan batang kelapa hibrida.Data selengkapnya mengenai pengukuran
tebal dinding serat dan diameter lumen pada bagian pangkal dan ujung batang
pinang dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan Lampiran 3.
Pada Gambar 11 dapat dilihat tebal dinding serat yang paling besar
terdapat pada bagian pangkal batang dengan tebal dinding serat sebesar 1,26 µ.
Hasil ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan tebal dinding serat pada
batang kelapa dalam sebesar 16,13 µ dan batang kelapa hibrida sebesar 6,72 µ
(Krisdianto, 2006). Tebal dinding serat memiliki kisaran yaitu 0,71 – 1,26 µ, hasil
ini juga sangat kecil bila dibandingkan tebal dinding serat kayu kelapa dengan
kisaran antara 3,79 – 16,33 μ (Wardhani, 2005). Sel serat yang terdapat pada
pangkal batang adalah sel-sel dewasa dan telah mengalami penebalan sekunder
yang sempurna. Proses penebalan sekunder diiringi dengan lignifikasi pada
dinding sel menyebabkan dinding sel bertambah tebal dan kaku
(Higuchi 1997 dalam Wardhani 2005). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa fungsi
utama serat adalah sebagai penyokong utama pohon, tetapi kadang-kadang juga
1,26
Gambar 11. Variasi rata-rata tebal dinding serat berdasarkan ketinggian batang pinang
4 1
3 2
Keterangan: 1= Panjang serat; 2 = Diameter serat;
3 = Diameter lumen; 4 = Tebal dinding serat
Foto = Menggunakan mikroskop elektron dengan pembesaran 40x
Gambar 12. Serat batang pinang
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata kisaran diameter lumen
batang pinang yaitu 0,32 – 0,74 μ. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan
Pada penelitian Wardhani (2005) diameter lumen kayu kelapa terbesar terdapat
pada bagian ujung, berbeda dengan hasil penelitian diameter lumen batang pinang
terbesar terdapat pada bagian pangkal.
Berdasarkan hasil penelitian serat batang pinang yang telah dilakukan
maka diperoleh turunan serat, yang kemudian akan menghasilkan nilai
pengukuran dimensi serat untuk menentukan kelas mutu pulp. Hasil pengukuran
serat batang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengukuran dimensi serat batang pinang
Uraian Hasil Penelitian Nilai
Panjang serat (μm) 102,31 25
Runkel ratio 3,74 25
Daya Tenun (felting power) 43,94 50
Muhslteph ratio (%) 95,57 25
Fleksibility ratio 0,37 25
Coefficient of rigidity 0,21 25
Jumlah 175
Sumber: Data primer penelitian
Untuk penentuan kelas mutu serat dapat dilihat pada Tabel 7, kriteria penilaian
serat kayu Indonesia oleh LPHH No 75. 1976 dalam Wamra (2002).
Tabel 7. Persyaratan kelas mutu pulp
Kelas Mutu
I II III No Uraian
Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai
1 Panjang (mikron) > 2000 100 1000-2000 50 <1000
Sumber: LPHH No 75. 1976 dalam Wamra (2002)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa serat batang pinang
pinang tidak layak untuk dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Rendahnya kelas
mutu batang pinang sebagai bahan baku pulp dapat disebabkan karena serat
pinang yang pendek dan diameter serat yang sangat kecil sehingga akan
menghasilkan kualitas kertas yang rendah, baik dari segi kekuatan sobek dan
warna kertas yang dihasilkan. Menurut Casey (1960) dalam Panggabean (2008)
serat dengan kualitas kelas III adalah serat yang sulit untuk dipipihkan waktu
digiling dan ikatan seratnya tidak begitu baik, sehingga akan menghasilkan
kekuatan sobek dan tarik yang rendah.
Sifat Fisis Kadar air
Menurut Kasmujo (2001) kayu yang baru ditebang dan masih basah kadar
airnya 40 – 200 %, dan besarnya kadar air ini tergantung pada jenis kayu. Kadar
air basah batang pinang yang diukur memiliki nilai yang bervariasi. Menurut
Rahayu (2001) variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau
massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat
higroskopis yang mungkin terdapat dalam dinding atau dalam lumen sel kayu.
Nilai rata-rata kadar air basah batang pinang tertinggi terdapat pada bagian
ujung empulur yaitu sebesar 622 %. Sedangkan, nilai rata-rata kadar air basah
terkecil terdapat pada bagian ujung kulit yaitu sebesar 218 %. Hasil ini lebih
besar bila dibandingkan dengan nilai kadar air basah pada batang kelapa sawit.
Nilai kadar air batang kelapa sawit pada kondisi segar berkisar antara 134 – 500
% (Bakar dkk., 1999). Hasil yang diperoleh juga masih lebih besar bila
dibandingkan dengan kadar air kayu kelapa. Kadar air kayu kelapa (100 %) dan
ekstraktif gula dan pati dengan sifat higroskopis yang tinggi pada kondisi segar
menyebabkan kadar air basah pada batang pinang sangat tinggi.
56
Gambar 13. Variasi rata-rata kadar air basah berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang
Berdasarkan Gambar 13 di atas dapat dilihat pada bagian empulur, baik
yang berada pada bagian pangkal, tengah ataupun ujung mempunyai nilai kadar
air basah yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan bagian tengah ataupun tepi
kulit. Dari Gambar 13 di atas juga terlihat bahwa semakin ke ujung nilai kadar air
semakin tinggi, namun untuk bagian ujung tepi kulit nilainya lebih rendah dari
bagian pangkal tepi kulit. Bagian empulur umumnya mempunyai kadar air yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah tetapi lebih rendah dibandingkan
dengan bagian tepi kulit. Kadar air batang pinang akan turun pada bagian pangkal
dan kemudian naik menuju bagian ujung. Selain itu kadar air juga akan turun dari
bagian pusat batang ke bagian tepi kulit pada semua ketinggian batang. Hal ini
disebabkan pada bagian pusat dan bagian ujung batang memiliki persentase
jumlah parenkim yang lebih besar daripada ikatan pembuluh sedangkan parenkim
KA basah batang pinang berdasarkan variasi kedalaman (tepi kulit, tengah,
empulur) yang terdapat pada variasi ketinggian (pangkal, tengah, ujung) menurut
data statistik pada Lampiran 4 berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan,
bagian tepi kulit pada berbagai ketinggian tidak berbeda satu sama lain namun
berbeda nyata dengan bagian lain. Bagian pangkal dan tengah berbeda dengan
bagian ujung pada tengah. Namun bagian ujung tengah tidak berbeda dengan
bagian tengah dan pangkal pada bagian empulur. Bagian pangkal dan tengah pada
bagian empulur berbeda dengan bagian ujung pada empulur, dan bagian ujung
empulur berbeda nyata dengan seluruh bagian. Bagian ujung empulur berbeda
nyata dengan seluruh bagian karena bagian ujung empulur mengandung parenkim
yang lebih banyak sehingga menghasilkan kadar air yang paling tinggi, hal inilah
yang mengakibatkan bagian ujung empulur berbeda dengan seluruh bagian
terhadap kadar air basah batang pinang.
Kadar air kayu kering udara di Indonesia antara 12 – 18 % atau rata-rata
15 % (Kasmujo, 2001). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada batang
pinang diperoleh hasil kadar air kering udara yang bervariasi dari 12 – 18 %.
Variasi kadar air kering udara pada batang pinang dapat dikarenakan sifat kayu
bersifat higroskopis. Sesuai dengan pernyataan Bowyer dkk. (2003) yang
menyatakan kayu memiliki sifat higroskopis yaitu kemampuan kayu untuk
menyerap uap air dari udara sekitarnya sampai kayu mencapai keseimbangan
kandungan air dengan udara. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 14.
Pada Gambar 14 dapat dilihat nilai kadar air kering udara batang pinang
terbesar terdapat pada bagian tengah empulur yaitu 18,4 %. Sedangkan nilai kadar
berbeda dengan batang kelapa sawit, nilai kadar air kering udara terendah batang
Gambar 14. Variasi rata-rata kadar air kering udara berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang
Berdasarkan variasi kedalaman, nilai kadar air kering udara rata-rata yang
paling besar terdapat pada bagian empulur sebesar 15,2 %, kemudian bagian
tengah sebesar 14,3 % dan kadar air kering udara yang paling rendah terdapat
pada bagian tepi kulit yaitu sebesar 13,1 %. Variasi kadar air kering udara dalam
batang pinang disebabkan oleh perbedaan jumlah ikatan pembuluh yang
bertambah dari bagian empulur menuju bagian tepi kulit. Sesuai dengan pendapat
Supriadi dkk. (1999) banyaknya ikatan pembuluh menyebabkan persentase
parenkim yang mampu mengandung air menjadi lebih kecil. Sehingga bagian tepi
kulit yang didominasi oleh sel pembuluh akan memiliki kadar air yang lebih kecil
Berdasarkan data statistik pada lampiran 5 diketahui bahwa kadar air
kering udara batang pinang pada berbagai kedalaman (tepi kulit, tengah, empulur)
pada ketinggian (pangkal, tengah, ujung) tidak berpengaruh nyata.
Kerapatan
Pengukuran kerapatan batang pinang menunjukkan hasil yang bervariasi.
Kerapatan batang pinang berkisar antara 0,12 – 1,07 gr/cm3 seperti yang tertera
dalam Gambar 15. Nilai kerapatan batang pinang ini lebih kecil dari kerapatan
kayu kelapa yang berkisar antar 0,28 – 1,11 gr/cm3 (Wardhani, 2005). Hasil ini
masih lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kerapatan batang kelapa sawit
yang berkisar antara 0,22 – 0,88 gr/cm3 (Bakar dkk., 1999) dan nilai kerapatan
batang gewang yang memiliki kisaran antara 0,19 – 0,97 gr/cm3
Gambar 15. Variasi rata-rata kerapatan berdasarkan ketinggian dan kedalaman batang pinang
Berdasarkan variasi kedalaman batang, pada Gambar 15 dapat dilihat nilai
tertinggi terdapat pada tepi kulit dan nilainya akan menurun menuju empulur.
tepi kulit, sedangkan terendah pada empulur (Wardhani, 2005). Menurut Naiola
dkk. (2008) semakin ke dalam batang mendekati empulur, jumlah ikatan
pembuluh semakin sedikit.
Jaringan ikatan pembuluh memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada
jaringan sekitarnya. Bagian tepi kulit juga didominasi oleh ikatan pembuluh yang
banyak mengandung sel sklerenkim, sedangkan empulur lebih banyak
mengandung parenkim dan sel-sel muda. Jumlah ikatan pembuluh pada empulur
lebih sedikit dibandingkan bagian tepi kulit, dan ikatan pembuluh pada empulur
umumnya mempunyai pembuluh metaxilem yang besar dengan persentase sel
serat yang lebih kecil (Wardhani, 2005). Hal ini menyebabkan kerapatan bagian
empulur lebih rendah dibandingkan bagian tepi kulit.
Berdasarkan variasi ketinggian batang yang juga tertera dalam Gambar 15,
bagian pangkal batang pinang memiliki nilai kerapatan yang tertinggi dan nilainya
akan semakin menurun menuju ujung batang pinang. Pada pangkal batang
terdapat sel-sel dewasa yang secara makrokopis dapat dilihat dari banyaknya
ikatan pembuluh tua yang berwarna gelap. Lebih dari separuh volume ikatan
pembuluh dewasa ditempati oleh sel sklerenkim yang mempunyai dinding sel
tebal. Semakin tebal dinding sel maka kerapatan akan semakin tinggi
(Anonim 2004 dalam Wardhani 2005). Sebaliknya ujung batang merupakan
apikal meristim pohon yang masih terus berkembang membentuk sel-sel muda
yang protoplasmanya masih hidup. Sel muda umumnya memiliki dinding sel tipis
dengan lumen yang besar. Selain itu pangkal batang merupakan bagian yang
menopang tegaknya pohon yang memerlukan kekuatan. Sehingga bagian pangkal