UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT
DAERAH ISTIMEWA ACEH
KERTAS KARYA
Dikerjakan
O l e h
DESTRINA HARYATI HARRIS NIM 062203001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT
Kertas Karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI D3 BAHASA JEPANG
MEDAN
Disetujui Oleh :
Program Diploma Bahasa Jepang
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang
Ketua,
Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. NIP 131662152
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk
Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas rahmat
dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan, pangalaman, kesabaran,
kekuatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
Tugas Akhir ini tepat pada waktunya.
Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan Diploma 3 Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
Dalam proses pembuatan Tugas Akhir ini, penulis mendapat banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, berupa material, spiritual, doa dan
informasi yang dibutuhkan penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Terutama penulis
ucapkan kepada orang tua dan saudara-saudara yang telah memberikan doa
serta dukungannya terima kasih atas segala perhatian dan kasih sayang yang
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan Selaku Dosen
Pembimbing.
3. Ibu Muhibah, selaku Dosen Pembaca.
4. Bapak Drs.Nandi S selaku Dosen Wali.
5. Seluruh Staf pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
6. Teristimewa Kepada keluarga tercinta : Ayahanda Harris Bay, Ibunda
Susnetty, Abangda Hydro Harris S.H dan Oslan Harris S.E, Adik ku
tersayang Riska Fitria Harris.
7. Kak Sondang dan Teman-temanku tersayang, Iin, Popy R.Muda, Wulan,
Afni, Evalina, Lilis, Agnes, Lili, Wisda, Novira, Seluruh anak-anak
Bahasa Jepang 06 kelas A dan B serta sahabat-sahabat ku di Aceh n
anak-anak Hiperz.
8. Spesial ku untuk Alm.Amy dan Hasri, Tyo, Momol, Mona yang selalu ada
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini sehingga
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Akhir kata, kembali penulis ucapkan terima kasih. Semoga kertas karya ini
dapat berguna kita semua dikemudian hari.
Medan, 2009 Penulis,
DAFTAR ISI
3.1 Upacara Meminang (Sebelum Pekawinan) ... 7
3.2 Upacara Peresmian Perkawinan ... 9
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14
4.1 Kesimpulan... 14
4.2 Saran ... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Banda Aceh dikenal sebagai sebuah propinsi yang diberi perdikat Istimewa.
Daerah ini istimewa dalam bidang agama, adat, dan pendidikan. Oleh pemerintah
pusat, daerah ini diberi hak untuk memakai nama Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
berdasarkan keputusan Menteri R.I. Namun sekarang namanya berubah menjadi NAD
(Nanggroe Aceh Darussalam). Terbukanya daerah Banda Aceh kepada dunia luar
telah menyebabkan unsur-unsur kebudayaan luar masuk, melalui jaringan komunikasi
yang semakin lancar sampai daerah pesisir. Kebudayaan Barat masuk di daerah
perkotaan. Dapat dikatakan kebudayaan NAD telah mengalami percampuran dengan
kebudayaan luar sejak berabad yang lalu sampai sekarang. Mereka banyak menerima
pengaruh luar, selama tidak bertentangan dengan agama Islam yang mereka anut.
Demikian pula dengan adat istiadat seperti Adat Perkawinan. Adat Perkawinan
Daerah Istimewa Aceh ini sangat unik karna itu penulis merasa tertarik untuk menulis
1.2Batasan Masalah
Dalam penulisan Kertas Karya ini, penulis hanya membahas tentang
upacara perkawinan masyarakat Daerah Istimewa Aceh. Yaitu upacara meminang,
upacara peresmian pernikahan dan upacara intat dara baro.
1.3Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Kertas Karya ini adalah :
1. Sebagai syarat untuk lulus dari Jurusan D-3 Bahasa Jepang Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui upacara perkawinan masyarakat Daerah Istimewa
Aceh.
3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang upacara perkawinan
masyarakat Daerah Istimewa Aceh.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan Kertas Karya ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka. Metode pengumpulan data, informasi buku, situs internet yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan penulis bahas dalam Kertas Karya ini. Data-data
tersebut kemudian dirangkum dan dimasukkan ke dalam bab-bab yang ada dalam
BAB II
GAMBARAN UMUM
2.1 Letak dan Keadaan
NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) merupakan salah sebuah propinsi di
Indonesia. Dan letaknya di kawasan paling penghujung bagian utara Pulau Sumatera.
Batas Indonesia sebelah barat adalah pulau We. Sebuah pulau yang termasuk
dalam propinsi Daerah Istimewa Aceh (NAD), yang letaknya tepat pada 6 derajat
lintang utara. Banda Aceh merupakan ibu kota dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(NAD).
NAD mempunyai delapan kabupaten yang juga berstatus daerah tingkat II
yaitu : Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Tenggara,
Aceh Barat, Aceh Selatan. Dengan luas daerah 55.390 km2. Di sebelah barat daerah Banda Aceh terdapat sekelompok pulau, yang terdiri dari Pulau Simeulu, Pulau
Tuangku, Pulau Batu, dan lain-lain.
Daerah Istimewa Aceh yang luasnya 55.390 km2 itu, dilingkari sebagian besar oleh selat dan lautan. Di bagian Barat dilingkari oleh lautan Indonesia, sedangkan bagian
Utara dan Timur dilingkari oleh Selat Sumatera (Selat Malaka) dan bagian Selatan
berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara. Letak Daerah Istimewa Aceh membujur dari
Bukit Barisan ini dijumpai daerah yang sempit dengan hutan yang lebat. Disana-sini
terdapat bukit yang sukar dilalui dan merupakan daerah yang curam ke tepi laut.
Keadaan suhu udara di daerah Banda Aceh umumnya panas, yaitu dengan
perkiraan bahwa suhu udara pada waktu panas terik, mencapai lebih kurang 32oC dan suhu pada bulan Agustus adalah 19oC atau 20oC. Keadaan di atas sebenarnya sangat membantu para petani untuk menanam padi dua kali dalam setahun. Batas alam lainya
ialah Sungai Simpang Kiri di sebelah Timur dan Sungai Tamiang di sebelah Barat.
2.2 Penduduk
Jumlah penduduk Daerah Istimewa Aceh dalam tahun 1976 adalah 2.008.747
jiwa. Jumlah kenaikan setiap tahun, terutama setelah tahun tujuh puluhan diperkirakan
2,3 persen. Angka ini telah menurun, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk
sekitar tahun enam puluhan, yaitu mencapai 2,4 persen.
Menurut pengamatan sejarah bahwa sebelum abad ke-XV penduduk Daerah
Istimewa Aceh adalah orang Aceh. Penduduk asli di Daerah Istimewa Aceh ialah
orang Aceh dan mereka dari daerah adat yang lain, seperti orang Tamiang, Aneuk
Jame, Gayo, Alas, Klut dan simeulu. Mereka menyebut dirinya juga orang Aceh. Di
Daerah Istimewa Aceh ada suku pendatang dari berbagai daerah, seperti orang Batak,,
orang Minangkabau, orang Jawa dan sebagainya. Mereka diperkirakan berjumlah 20
2.3 Mata Pencaharian
Secara umum mata pencaharian umum masyarakat Daerah Istimewa Aceh
yaitu bertani (sawah, lading dan kebun) dan menangkap ikan.
Berburu dan meramu (meracik obat) hampir menghilang pada masyarakat
Daerah Istimewa Aceh. Namun berburu bukan merupakan mata pencaharian pokok.
Mata pencaharian lain adalah beternak dan kerajinan tangan. Selain Mata pencaharian
pokok, masyarakat Daerah Istimewa Aceh memiliki mata pencaharian yang lain yaitu,
meulancang (memasak garam), droup kreung dan syue (menangkap lokan dan siput),
muge (penjaja ikan), penggalas uroe gantoe (hari pekan) dan ek-u (panjat kelapa).
Mata-mata pencaharian ini masih berkembang sama dengan mata pencaharian lain.
Pada masa akhir-akhir ini berkembang pula suatu bentuk pekerjaan baru
terutama dalam masyarakat perkotaan, sebagai akibat pertambahan dan perluasan
perusahaan-perusahaan, biro-biro jasa, kantor-kantor pemerintah.
2.4 Kepercayaan
1. Kepercayaan Kepada Dewa-dewa
Masyarakat Daerah Istimewa Aceh tidak mengenal dewa-dewa (polytheisme)
karena memeluk agama Islam. Agama-agama lain separti agama Kristen dan Budha
yang terdapat di daerah ini, hanya berkembang terbatas di kalangan kelompok
pendatang dari luar Daerah Istimewa Aceh, yaitu pada suku-suku bangsa yang berasal
2. Kepercayaan kepada Makhluk Halus dan Kekuatan Ghaib
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan satu-satunya
kepercayaan masyarakat. Agama Islam adalah yang dianut, namun masyarakat Daerah
Istimewa Aceh tersebut mempercayai juga bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan
makhluk-makhluk halus yang mendiami alam barzach atau alam ghaib.
Masyarakat mempercayai bahwa jin-jin jahat mendiami tempat-tempat yang
angker seperti di hutan-hutan, di laut, di lubuk yang dalam, di kuala, di rawa-rawa
atau di pohon-pohon beringin.
Masyarakat Daerah Istimewa Aceh membayangkan tipe-tipe daripada jin tersebut
dalam berbagai bentuk, misal jen aphui (jin api) yang dikenal oleh masyarakat
Daerah Istimewa Aceh dengan bentuk seperti cahaya api di waktu malam hari.
Burong (di daerah jamee disebut burung) yaitu penjelmaan dari roh orang yang
BAB III
UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT
DAERAH ISTIMEWA ACEH
3.1 Upacara Meminang (Sebelum Perkawinan)
Pola pikir masyarakat Daerah Istimewa Aceh tentang perkawinan lebih banyak
tertuju kepada pihak laki-laki. Seseorang laki-laki yang sudah cukup umur, dewasa
tingkah laku, sudah dapat berusaha sendiri, dan mempunyai pengetahuan dalam
pergaulan dengan lingkungannya. Apabila syarat-syarat ini telah dimiliki, maka orang
tuanya berkewajiban untuk mencari jodoh anaknya.
Seseorang yang akan mencari jodoh anaknya, terlebih dahulu ia akan
mengundang kawom untuk deupakat (musyawarah). Apabila deuk pakat (musyawarah)
sudah ada kesamaan pendapat untuk meminang seseorang gadis maka ditugaskanlah
seorang teulangkee (utusan) untuk menyampaikan maksud pihak kerbat laki-laki.
Bila lamaran itu diterima, biasanya orang tua gadis meminta waktu sekitar tiga hari
untuk deuk pakat (musyawarah) dengan kerabatnya.
Kalau lamaran ini diterima, pihak keluarga gadis mengirimkan kabar kepada
pihak laki-laki untuk datang kembali meminang. Kemudian rombongan utusan dari pihak
laki-laki yang terdiri dari keucik (kepala kampung), beberapa orang penting datang ke
menanti atas kedatangan peminang tersebut. Rombongan yang menanti itu terdiri dari
keucik (kepala kampung), dan beberapa orang yang dikenal. Setelah disampaikan maksud
kedatangan rombongan oleh keucik (kepala kampung) yang disertai dengan bate sirih
(pertunangan), dulang yang berisi pakaian dan alat-alat rias wanita, serta sebentuk
perhiasan emas diserahkan kepada keluarga gadis.
Pada hari peminang tersebut diadakan pula perikatan janji mengenai :
1. Jumlah jiname (mahar atau mas kawin)
2. Tahap-tahap proses yang harus dilalui seperti :
a. Tunangan
b. Nikah gantung
c. Nikah pulang terus
Jumlah jiname (mas kawin) dalam suatu perkawinan, biasanya ditentukan
menurut jumlah jiname (mas kawin) dari kakak-kakaknya terdahulu. Apabila anak
yang akan dikawinkan itu anak pertama, biasanya jiname (mas kawin) berkisar dari
lima sampai sepuluh gram. Kadang-kadang penentuan jiname (mas kawin) ini dilihat
juga menurut status sosial keluarga si gadis. Sekarang penentuan mas kawin
Nikah gantung adalah calon suami istri belum dibenarkan bergaul dahulu sebelum
masa pengresmian dilakukan. Nikah gantung ini disebabkan umur calon istri masih
sangat muda. Tetapi sekarang nikah gantung ini sudah jarang dilakukan.
Nikah pulang terus adalah perkawinan yang paling banyak dilakukan di Daerah
Istimewa Aceh. Akad nikah dilakukan pada saat pengresmian perkawinan dilakukan.
Dengan demikian suami istri dapat terus tinggal bersama, sistim perkawinan ini tidak
melalui pertunangan, dan pesta selesai perkawinan dahulu, kemudian baru pulang.
Dengan demikian biaya perkawinan tidak terlalu besar.
3.2 Upacara Peresmian Perkawinan
Suatu kebiasaan masyarakat Daerah Istimewa Aceh, sebelum pesta perkawinan
dilangsungkan, terlebih dahulu selama tiga hari tiga malam diadakan upacara meugacai
(berinai) bagi penganten laki-laki dan penganten perempuan di rumahnya masing-masing.
Tampaknya kedua belah tangan dan kaki penganten dihiasi dengan inai. Selama upacara
meugacai pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana,
hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Setelah tiba saat hari pesta, kerbau atau lembu telah disembelih menjelang
Setelah menerima tamu-tamu undangan di rumah masing-masing maka pada
malamnya akan dilanjutkan dengan upacara intat linto (antar penganten laki-laki)
ke rumah dara baro (penganten perempuan).
Rombongan linto baro sebelum tiba di rumah dara baro (penganten
perempuan) seseorang diantaranya mengucapkan Allahumma Shalli ala Sayyidina
Muhammad, lalu pengikut rombongan menyambut serempak dengan Shallu alaih,
tiga kali berturut-turut. Salah seorang pihak keluarga penganten perempuan dengan
didampingi oleh beberapa orang kawan datang menjemput rombongan linto baro
(penganten laki-laki) dan pertunjukan silat antara suatu pihak dengan pihak yang lain.
Rombongan linto yang perempuan langsung masuk ke kamar penganten,
dan yang laki-laki diterima dalam sebuah seung (tenda) di muka rumah. Tidak
beberapa lama kepada rombongan dipersilahkan makan.
Setelah rombongan selesai makan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini
dilakukan oleh qadli (orang yang menikahkan) yang telah mendapat kuasa dari
ayah dara baro (penganten perempuan). Qadli didampingi oleh dua orang saksi
di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jiname
(mahar) diperlihatkan kepada majelis dan hadirin. Selanjutnya qadli membaca doa
(khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro
(penganten laki-laki) dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna,
qadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui,
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibawa ke pelaminan persandingan,
dimana dara baro (penganten perempuan) telah terlebih dahulu menunggu. Sementara itu
dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami
ini disebut dengan seumah teuot linto.
Selanjutnya kedua mempelai tadi di peusunteng (disunting) oleh sanak kedua
belah pihak yang kemudian diikuti oleh para tamu. Tiap-tiap orang yang menyunting
selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning ditelinga penganten, juga memberikan
sejumlah uang yang disebut dengan teumenteuk. Acara peusunteng umumnya oleh ibu
linto baro (penganten laki-laki), kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
3.3 Upacara Intat Dara Baro (Setelah Perkawinan)
Proses upacara intat dara baro (antar penganten perempuan) ke rumah linto baro,
mempunyai pola yang sama pada seluruh masyarakat Aceh. Hanya ada perbedaan di segi
istilah-istilah, dan bawaan yang akan dipersembahkan kepada pihak laki-laki atau
penganten perempuan.
Proses upacara intat dara baro masyarakat Daerah Istimewa Aceh umumnya,
dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada setelah tujuh hari selesai malam penganten.
Keluarga linto baro (penganten laki-laki) kembali mengutuskan teulangke ke pihak
dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan dara baro. Setelah ada kata
mufakat kedua belah dari kedua belah pihak, maka saat itu kedua belah pihak sibuk
Mengatar penganten perempuan ke rumah penganten laki-laki pada masyarakat
Daerah Istimewa Aceh, juga mempunyai proses yang sama dengan masyarakat Aceh
lainnya. Mengantar penganten perempuan ke rumah penganten laki-laki disebut
meulanjang. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan menuju rumah
pihak penganten laki-laki. Kedua mempelai berpakaian adat seperti pakaian pada hari
upacara peresmian dahulu. Kedatangan ini sudah ditunggu di pekarangan rumah oleh
beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih (daun sirih yang berisi buah pinang)
sebagai tanda penerimaan tamu. Kemudian tamu tersebut dipersilahkan naik ke rumah
pada ruang penganten.
Kedua mempelai selanjutnya dipersunting dengan menepung tawari, ketan kuning
dan memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk oleh masyarakat.
Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh
kerabatnya serta orang-orang setempat yang datang. Ketika dara baro melakukan
seumah jaro tuan (sembah mertua), ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh
mertuanya. Dan kadang juga diberikan barang-barang pecah belah seperti dua buah
piring, satu buah mangkuk (tempat nasi), dua buah sendok, satu buah tempat cuci tangan,
Setelah selesai upacara, semua rombongan dara baro kembali pulang, dan dara baro
tetap menetap di rumah suaminya beberapa hari lamanya. Kemudian ia bersama-sama
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
• Konsepsi dasar cara pikir masyarakat Aceh tentang perkawinan lebih banyak
tertuju kepada pihak laki-laki.
• Secara umum upacara perkawinan Daerah Istimewa Aceh hampir sama dengan
upacara perkawinan daerah Gayo, Aceh Besar, Aceh Utara dan Aceh Timur,
bedanya pada ucapan istilah-istilah penyebutan nama upacara perkawinan
di setiap daerah.
• Proses upacara perkawinan pada masyarakat Daerah Istimewa Aceh
memiliki tiga proses yaitu upacara meminang, upacara peresmian perkawinan,
dan upacara setelah perkawinan.
4.2 Saran
Upacara perkawinan masyarakat Aceh merupakan salah satu kebudayaan
dari bangsa Indonesia. Kebudayaan sebagai hasil perrkembangan suatu bangsa harus
dilestarikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena hal
DAFTAR PUSTAKA
Panitia Pekan Kebudayaan Aceh ke II, Banda Aceh, Calendar of Events of Aceh
Cultural Festival, 1972
Sekretariat Wilayah Daerah, Proyek Pembinaan Kepariwisataan, Banda Aceh, Pemda Aceh, 1976.