• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN NILAI MATA UANG YANG BERLAKU BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI CARREFOUR DAN MAJU BERSAMA MEDAN)

TESIS

Oleh

Sari Banun Harahap 107005037/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN

NILAI MATA UANG YANG BERLAKU BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI CARREFOUR DAN MAJU BERSAMA MEDAN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

Sari Banun Harahap 107005037/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)

Nama Mahasiswa : Sari Banun Harahap Nomor Pokok : 107005037

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Ketua

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S)

(Prof. Dr. Suhaidi, SH.,M.H)

Anggota Anggota

Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

(4)

Judul Tesis : Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)

Nama Mahasiswa : Sari Banun Harahap Nomor Pokok : 107005037

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Ketua

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S)

(Prof. Dr. Suhaidi, SH.,M.H)

Anggota Anggota

Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum)

(5)

Tanggal Lulus : 1 Agustus 2012 Telah diuji pada :

Tanggal : 1 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Tan Kamello, SH., M.S Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH.,M.H

2. Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum 3. Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum

(6)

ABSTRAK

Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang berlaku yang dilakukan oleh pelaku usaha bertentangan dengan Pasal 4 huruf b UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan merupakan hak bagi setiap konsumen yang dijamin oleh UU. Akan tetapi pelaku usaha menetapkan harga suatu barang sebesar Rp. 1.210,- (seribu dua ratus sepuluh rupiah), sementara uang pecahan dengan nominal Rp.10,- (sepuluh rupiah) sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Penpres No. 27 Tahun 1965. Selain itu Uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 2 ayat 2.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, bagaimana perilaku konsumen terhadap sisa kembalian uang pecahan yang tidak dibayarkan kepada konsumen, dan bagaimana peranan pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku di pasar modern ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori efektifitas hukum, yaitu daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Metode penelitian dalam ini adalah empiris (sosiologis) yaitu data yang diperoleh dari lapangan atau langsung di dalam masyarakat (responden) dengan memberikan daftar pertanyaan (kuesioner) di lokasi penelitian. Dikarenakan tidak mendapat izin dari pelaku usaha yang bersangkutan. Oleh karena itu sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang konsumen Carrefour dan Maju Bersama Medan.

Meskipun UU Perlindungan Konsumen telah lahir, pelaksanaannya belum berjalan mulus. Perilaku konsumen terhadap sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen yaitu konsumen tidak mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen dan konsumen mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen. Tindakan pemerintah terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yakni dengan melakukan pengawasan, pengawasan yang dilakukan yaitu operasi pasar yang melibatkan instansi terkait yakni polisi, LPKSM, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) kota Medan yang dilaksanakan 6 kali dalam setahun secara reguler. Terkait dengan pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dengan menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku adalah dengan memberikan peringatan 3 kali selama 3 bulan, apabila tidak dipenuhi maka diajukan secara pidana ke pengadilan negeri. Adapun sanksi yang diberikan, berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.

(7)

ABSTRACT

Pricing of goods that are not based on valid currency by businesses, contrary to Section 4 letter b Law No. 8 Year 1999 on consumer protection, the right of consumers to choose goods and/or services and obtain goods and/or services in accordance with exchange rate and the conditions and guarantees the rights promised to every consumer is guaranteed by law. However, entrepreneurs set prices of goods amounting to Rp. 1210,- (one thousand two hundred and ten dollars), while the banknotes with nominal Rp.10,- (ten dollars) is no longer valid as legal tender. Presidential Edict No. 27 of 1965. In addition Rupiah currency is legal tender in the territory of the Republic of Indonesia based on Law no. 23 of 1999 concerning Bank Indonesia Article 2, paragraph 2.

Formulation of the problem in this study is how the pricing of goods that are not based on the value of the currency prevailing on the Consumer Protection Act, how consumer behavior towards the rest of the fractions that do not return the money paid to the consumer, and how the role of government in protecting consumers against price fixing stuff that does not based on the value of the currency prevailing in the modern market in terms of the Consumer Protection Act. Theory used in this study is the effectiveness of legal theory, namely the legal work in organizing and/or force people to obey the law. The method in this research is empirical (sociological) that the data obtained from the field or directly in the community (respondent) to provide a list of questions (questionnaire) at the sites. Due to not getting permission from the relevant business. Therefore, the sample in this study were 50 men of Carrefour consumers and Maju Bersama consumers of Medan city.

Although the Consumer Protection Act was stated, its implementation has not proceeded smoothly. Consumer behavior towards the rest of the refund is not returned to the consumer that the consumer did not make the rest of the refund is not returned to consumers and consumers concerned about the rest of the refund that is not returned to the consumer. Government action against the pricing of goods that are not based on the value of the currency that is by doing surveillance, monitoring conducted market operations involving the relevant agencies e.g police, LPKSM, and the Department of Industry and Trade (Disperindag) of Medan city conducted six times a year on a regular basis . Associated with oversight by the government against entrepreneurs who commits an offense by setting prices that are not based on the prevailing value of the currency is to give a warning three times for 3 months, if it is not required then, the offense shall be filed in state court. As for the sanctions provided in the form of administrative sanctions and criminal sanctions.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayangNya. Sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa pengaruh baik khususnya bagi ilmu pengetahuan. Sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Megister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum Universita Sumatera Utara, Medan. Adapun judul tesis adalah “Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa bimbingan, pengajaran, nasihat maupun semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya secara khusus yang saya sampaikan kepada yang terhormat komisi pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.,MH, Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, yang telah berkenan meluangkan dan memberikan waktu serta perhatian untuk memberikan bimbingan, masukan, arahan dan koreksi untuk penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

(9)

2. Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH.,M.H, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Komisi Pembimbing II. 4. Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,M.S, selaku Komisi Pembimbing I

5. Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Komisi Pembimbing III.

6. Dr. Dedi Harianto, SH.,M.Hum, selaku Penguji yang telah berkenan meluangkan waktunya memberikan arahan demi kesempurnaan Tesis ini.

7. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN., M.Hum, selaku Penguji yang telah berkenan meluangkan waktunya memberikan arahan demi kesempurna tesis ini. 8. Bapak Ibrahim Nainggolan, SH, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Sumatera Utara.

9. Bapak Drs. H. Dharma Bakti Nasution, SH, Wakil Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan.

10. Seluruh Dosen di lingkungan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh Pegawai Seketariat Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh Teman-Teman Stanbuk 2010 Kelas Paralel B, Kelas Hukum Bisnis pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

Hj. Mawarni Ritonga, yang telah melahirkan, membesarkan dengan segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik, membimbing penulis, dan senantiasa mengiringi dengan doa yang tiada putus. Semoga Allah memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kepada Bapak Mertua Drs. Ali Amri Siregar serta Ibu Mertua Siti Hanum Harahap atas segala dukungan moril yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih.

Abangda Hamonangan Harahap, Khairul Saleh Harahap, dan kakanda Fitri Ramdhani Harahap, suami tercinta Irwansyah Siregar, ST, yang telah menginspirasi dengan penuh kasih sayang, kesabaran, dorongan semangat belajar dan pengorbananyang tiada akhir, serta memberikan dukungan moril dan materil yang tak terhingga. Keponakan-keponakanku Putri Ahimsa Ibrahim Harahap, Fadia Hanifa Harahap, dan Ridho Arkan Syahputra.

14. Dengan segala kerendahan hati : Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada teman-teman, kolega dan seluruh keluarga yang tidak dapat disebut satu persatu, dan semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian Tesis ini. Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan konstribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya membangun guna menyempurnakan tulisan ini.

Medan, Agustus 2012

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... .... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Manfaat Penelitian ... .... 8

E. Keaslian Penelitian ... .... 9

F. Kerangka Teori dan Konsep ... .... 10

1. Kerangka Teori ... ... 10

2. Kerangka Konsep ... .... 18

G.Metode Penelitian ... 19

1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian ... . .... 19

2. Lokasi Penelitian dan Sampel ... ... .... 21

a. Lokasi Penelitian ... ... .... 21

b. Sampel ... ... 21

3. Sumber Data dan Bahan Hukum ... ... 22

4. Teknik Pengumpulan Data ... ... 23

(12)

6. Metode Penarikan Kesimpulan . ... .. 24

BAB II : PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN NILAI MATA UANG YANG BERLAKU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perlindungan Terhadap Konsumen di Indonesia ... 25

1. Perlindungan Terhadap Konsumen Sebelum dan Setelah Diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 ... 26

2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen dan Kaitannya dengan KUH Perdata ... ... 35

3. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 40

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 44

5. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ... 47

6. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ... 50

7. Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 52

B. Penetapan Harga oleh Pelaku Usaha ……….. 60

1. Pengertian Harga ... 60

2. Beberapa Faktor Penentu Keputusan Harga ... 62

a. Pengaruh Konsumen dalam Penetapan Harga ... 62

b. Pengaruh Faktor Lain Dalam Penetapan Harga ... 64

C. Analisis penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang ……… 69

(13)

2. Pengaturan Nilai Mata uang yang berlaku di Indonesia .. . 71

3. Penetapan Harga Barang yang tidak sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku ... 75

a. Kerugian Konsumen ... 75

b. Pelanggaran Terhadap Pasal 4 huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... ... 77

BAB III : PERILAKU KONSUMEN TERHADAP SISA PENGEMBALIAN UANG PECAHAN YANG TIDAK DIKEMBALIKAN KEPADA KONSUMEN A.Pengertian Perilaku Konsumen ... ... 80

B.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen ... 81

1. Faktor Internal ... 81

2. Faktor Eksternal ... 83

C.Perilaku Menyimpang dan Kepatuhan Hukum ... 86

1. Perilaku Menyimpang ... 87

2. Kepatuhan Hukum ... 88

D.Perilaku Konsumen Terhadap Sisa Pengembalian Uang Pecahan Yang Tidak Dikembalikan Kepada Konsumen .. 89

(14)

2. Konsumen mempermasalahkan sisa pengembalian uang yang tidak

dikembalikan kepada konsumen ... 97

BAB IV : PERANAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI KONSUMEN TERHADAP PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN NILAI MATA UANG A.Pengertian Peranan Pemerintah... 100

B.Fungsi Pemerintah dalam Menegakkan Hukum Perlindungan Konsumen ... 102

1. Fungsi Pembinaan ... 102

2. Fungsi Pengawasan ... 104

3. Fungsi Regulasi ... 108

C.Menyediakan Tempat Pengaduan bagi Konsumen : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 109

D.Tindakan Pemerintah Terhadap Penetapan Harga arang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang ... 113

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 117

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel.1 Pengetahuan kosumen terhadap tindakan pelaku usaha yang tidak

mengembalikan uang pengembalian sisa belanja tersebut melanggar hak konsumen ... 89

Tabel.2 Perilaku konsumen terhadap sisa pengembalian uang pecahan yang tidak dikembalikan kepada konsumen... 90

Tabel.3 Respon konnsumen terhadap sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen ... 93

Tabel.4 Alasan-alasan konsumen tidak mempermasalahkan uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen ………. 94

(16)

ABSTRAK

Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang berlaku yang dilakukan oleh pelaku usaha bertentangan dengan Pasal 4 huruf b UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan merupakan hak bagi setiap konsumen yang dijamin oleh UU. Akan tetapi pelaku usaha menetapkan harga suatu barang sebesar Rp. 1.210,- (seribu dua ratus sepuluh rupiah), sementara uang pecahan dengan nominal Rp.10,- (sepuluh rupiah) sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Penpres No. 27 Tahun 1965. Selain itu Uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 2 ayat 2.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, bagaimana perilaku konsumen terhadap sisa kembalian uang pecahan yang tidak dibayarkan kepada konsumen, dan bagaimana peranan pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku di pasar modern ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori efektifitas hukum, yaitu daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Metode penelitian dalam ini adalah empiris (sosiologis) yaitu data yang diperoleh dari lapangan atau langsung di dalam masyarakat (responden) dengan memberikan daftar pertanyaan (kuesioner) di lokasi penelitian. Dikarenakan tidak mendapat izin dari pelaku usaha yang bersangkutan. Oleh karena itu sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang konsumen Carrefour dan Maju Bersama Medan.

Meskipun UU Perlindungan Konsumen telah lahir, pelaksanaannya belum berjalan mulus. Perilaku konsumen terhadap sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen yaitu konsumen tidak mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen dan konsumen mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen. Tindakan pemerintah terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yakni dengan melakukan pengawasan, pengawasan yang dilakukan yaitu operasi pasar yang melibatkan instansi terkait yakni polisi, LPKSM, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) kota Medan yang dilaksanakan 6 kali dalam setahun secara reguler. Terkait dengan pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dengan menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku adalah dengan memberikan peringatan 3 kali selama 3 bulan, apabila tidak dipenuhi maka diajukan secara pidana ke pengadilan negeri. Adapun sanksi yang diberikan, berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.

(17)

ABSTRACT

Pricing of goods that are not based on valid currency by businesses, contrary to Section 4 letter b Law No. 8 Year 1999 on consumer protection, the right of consumers to choose goods and/or services and obtain goods and/or services in accordance with exchange rate and the conditions and guarantees the rights promised to every consumer is guaranteed by law. However, entrepreneurs set prices of goods amounting to Rp. 1210,- (one thousand two hundred and ten dollars), while the banknotes with nominal Rp.10,- (ten dollars) is no longer valid as legal tender. Presidential Edict No. 27 of 1965. In addition Rupiah currency is legal tender in the territory of the Republic of Indonesia based on Law no. 23 of 1999 concerning Bank Indonesia Article 2, paragraph 2.

Formulation of the problem in this study is how the pricing of goods that are not based on the value of the currency prevailing on the Consumer Protection Act, how consumer behavior towards the rest of the fractions that do not return the money paid to the consumer, and how the role of government in protecting consumers against price fixing stuff that does not based on the value of the currency prevailing in the modern market in terms of the Consumer Protection Act. Theory used in this study is the effectiveness of legal theory, namely the legal work in organizing and/or force people to obey the law. The method in this research is empirical (sociological) that the data obtained from the field or directly in the community (respondent) to provide a list of questions (questionnaire) at the sites. Due to not getting permission from the relevant business. Therefore, the sample in this study were 50 men of Carrefour consumers and Maju Bersama consumers of Medan city.

Although the Consumer Protection Act was stated, its implementation has not proceeded smoothly. Consumer behavior towards the rest of the refund is not returned to the consumer that the consumer did not make the rest of the refund is not returned to consumers and consumers concerned about the rest of the refund that is not returned to the consumer. Government action against the pricing of goods that are not based on the value of the currency that is by doing surveillance, monitoring conducted market operations involving the relevant agencies e.g police, LPKSM, and the Department of Industry and Trade (Disperindag) of Medan city conducted six times a year on a regular basis . Associated with oversight by the government against entrepreneurs who commits an offense by setting prices that are not based on the prevailing value of the currency is to give a warning three times for 3 months, if it is not required then, the offense shall be filed in state court. As for the sanctions provided in the form of administrative sanctions and criminal sanctions.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam menjalankan kehidupannya tidak terlepas dari kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Hal ini tidak terlepas adanya hubungan saling ketergantungan antara produsen dan konsumen akan kebutuhan tersebut. Hubungan saling ketergantungan berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan tingkat ketergantungan kebutuhan tersebut.

Selain pasar tradisional, pasar modern umumnya juga menyediakan barang-barang dan/atau jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen sehingga konsumen bebas memilih barang atau produk mana yang akan dibeli. Penjual dan pembeli di pasar modern tidak bertransaksi secara langsung seperti halnya pasar tradisional, melainkan pembeli memilih barang dan melihat label harga yang tercantum atau tertera pada barang atau produk yang disediakan. Selain itu konsumen juga mendapatkan pelayanan yang dilayani oleh pramuniaga.

(19)

tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11,8% selama lima tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24,8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32,4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001–2006, sebanyak 11,8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern1

Pada situasi ekonomi global dan menuju era perdagangan bebas, upaya mempertahankan pelanggan atau konsumen untuk mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas, merupakan dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang makin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen seperti produsen atau pelaku usaha mencari keuntungan yang setinggi-tingginya.

.

Setiap orang pada suatu waktu dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”. Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang

1

(20)

relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang2

Menjamurnya pasar modern (dalam hal ini supermarket atau pasar swalayan) dibeberapa kota besar telah banyak mengabaikan hak-hak konsumen yang dilindungi Undang-Undang yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam hal ini pelaku usaha di pasar modern sering membuat kebijakan sendiri. Seperti terlihat dalam menetapkan harga yang tertera pada label suatu produk atau barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang belaku lagi.

.

Undang-Undang Perlindungan konsumen menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”3. Konsumen dilindungi dari setiap tindakan produsen barang atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan nama pelaku usaha4

Di Indonesia, uang pecahan Rp. 10,- (sepuluh rupiah) Seri Sukarno Irian Barat mulai diedarkan tanggal 1 Mei 1963 sebagai pengganti uang Guelden Netherlands Nieuw Guinea emisi 8 Desember 1954, ini termasuk uang rupiah lama. Setelah Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tentang pengeluaran uang rupiah baru yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah bagi seluruh wilayah Republik Indonesia dan penarikan uang rupiah lama dari peredaran dikeluarkan maka diterbitkanlah uang rupiah

.

2

Sri Redjeki Hartono, Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Tinjauan Makro), Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Edisi Khusus No. 39/X/2001, hlm. 147, (dikutip dari Buku, Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran), (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm.19.

3

LihatUndang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 1 4

(21)

baru yang sejenisnya. Pecahan Rp.100 kebawah (1958, 59, 63 dan 64), uang kertas Pemerintah 1 dan 2,5 rupiah (1960, 1961) berikut semua uang logam pecahan 1, 5, 10, 25 dan 50 sen (sampai dengan 1961) dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 13 Juni 1966 atau tepatnya 6 bulan setelah Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 dikeluarkan5

Dengan tidak berlakunya uang pecahan rupiah tersebut di atas, jelas bertentangan dengan tindakan pelaku usaha yang menetapkan harga barang yang tidak sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku, sehingga hak konsumen untuk memilih atau mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar rupiah yang berlaku dirugikan. Hal ini terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf b dengan tegas disebutkan bahwa “hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”. Misalnya saja, dengan menetapkan harga suatu barang sebesar Rp. 1.210,- (seribu dua ratus sepuluh rupiah), sementara uang pecahan dengan nominal Rp.10,- (sepuluh rupiah) sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Kondisi seperti itu tentu merugikan konsumen, nilainya memang tidak seberapa pertransaksi tetapi sangat menjengkelkan. Namun hal ini jika berulang terus menerus terlebih jika diakumulasi untuk seluruh konsumen nilainya besar juga. Ditambah lagi hal ini menjadi kendala dalam upaya untuk tetap mempertahankan rupiah sebagai mata uang resmi negara Republik Indonesia.

.

Penetapan harga suatu produk atau barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku yang pada akhirnya sisa uang pengembalian belanja yang tidak

5

(22)

dikembalikan kepada konsumen selain bertentangan dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga bertentangan dengan :

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :

“Satuan mata uang negara Republik Indonesia adalah rupiah dengan singkatan Rp”. Pasal 2 ayat (2), yang berbunyi :

“Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia”. Kemudian ayat (3) berbunyi :

“Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali apabila ditetapkan lain dengan Peraturan Bank Indonesia”.

Pasar modern seperti Carrefour dan Maju Bersama merupakan perusahaan yang berusaha memberikan standar pelayan terbaik dalam industri ritel di Indonesia. Carrefour dan Maju Bersama memberikan alternatif belanja kepada konsumen, sehingga konsumen dapat dengan mudah mendapatkan kebutuhan sehari-hari yang diinginkan.

(23)

Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimana perilaku konsumen terhadap sisa pengembalian uang pecahan yang tidak dikembalikan kepada konsumen ?

3. Bagaimana peranan pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen ?

C.Tujuan Penelitian

Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan, maka penelitian ini menitikberatkan kepada perlindungan terhadap konsumen berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Maka tujuan penelitian ini adalah :

(24)

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perilaku konsumen terhadap uang pecahan sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen.

3. Untuk mengetahui peranan pemerintah terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun teorities.

Dari segi teorities, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademisi dibidang ilmu hukum, khususnya hukum konsumen.

Manfaat dari segi praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah sehingga menjadi masukan dalam hal penanganan dan penyelesaian masalah perlindungan konsumen. Serta para pelaku usaha lebih mengutamakan hak-hak konsumen.

Manfaat penelitian ini, antara lain : 1. Bagi konsumen

Diketahui apa yang menjadi hak konsumen dalam peraturan perundang-undangan khususnya perlindungan konsumen.

(25)

Sebagai informasi dan masukan bagi pelaku usaha untuk dapat dijadikan landasan khususnya dalam menetapkan harga barang berdasarkan nilai mata uang yang berlaku.

3. Bagi pemerintah

Sebagai bahan masukan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen bagi pelaku usaha khususnya sektor usaha ritel.

E.Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian baru. Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian mengenai “Penetapan Harga Barang yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang yang berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)”, belum pernah dilakukan. Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan konsumen, namun aspek yang dibahas berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

Peneliti bertanggungjawab apabila dikemudian hari dapat dibuktikan adanya unsur plagiat dalam penelitian ini.

(26)

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera di cari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang6

Di

.

mengajukan perlindungan adalah:

1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33.

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821).

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

6

(27)

4. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.

5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.

7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen7

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya tidak hanya sekadar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperlukan Undang-Undang serta peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari

.

7

Vania Putri Rahmanto, Tugas Aspek Hukum Dalam Ekonomi (Perlindungan Konsumen),

(Universitas Gunadarma, Jakarta, 2011), hlm. 2,

(28)

pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik8

Perlunya Undang-Undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang atau jasa dilakukan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun. Tujuan hukum perlindungan secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun semua tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen

.

9

Terkait dengan tipe penelitian empiris, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori efektifitas hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif

.

10

. Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang dimaksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu11

1. Kaidah hukum

:

8

Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 17-18 9

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm.10 10

Tahegga Alfath, “Efektivitas Hukum dalam Masyarakat (Prespektif Sosiologi Hukum)”,

Februari 2012. 11

Dinatropika’s Blog, “Eksistensi Penegakan Hukum dan Masyarakat dalam Efektifitas Hukum

di Indonesia”,

(29)

Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:

a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis apabila kaidah tersebut efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan). Atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

2. Penegak hukum

(30)

berlaku di nilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang dari aturan–aturan yang telah ditetapkan.

3. Masyarakat

Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang yang patuh pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat secara baik, benar dan adil. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak langsung pada kepatuhan hukum. Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintakan, bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena perintah agama atau kepercayaannya. Jadi dalam hal pengaruh tidak langsung ini kesadaran hukum dari masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin, agama, kepercayaannya dan sebagainnya.

(31)

sosiologis12. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu13

1. Hukumnya sendiri.

:

2. Penegak hukum. 3. Sarana dan fasilitas. 4. Masyarakat.

5. Kebudayaan.

Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah14

a. Let the buyer beware (caveat emptor)

:

Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan

12

Ibid

13

Ibid.

14

(32)

pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan.

b. The due care theory

Doktrin ini menyatakan si pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa. Selama kehati-hatian dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.

c. The prifyty of contact

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha.

d. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat

Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.

(33)

Salah satunya adalah karena faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakan–tindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu bahkan tidak kurang masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknum– oknum penegak hukum. Ditambah lagi masih banyak masyarakat yang awam tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita.

Oleh karena itu di dalam teori ini akan menjelaskan bagaimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen diterapkan di dalam masyarakat. Sehingga dengan teori ini akan diketahui mengenai hambatan diterapkannya peraturan perundangan mengenai konsumen berlaku.

2. Kerangka Konsep

Dalam berbagai literatur banyak mempunyai pandangan tentang penulisan di dalam penelitian ini. Oleh karena itu agar terdapat persepsi yang sama dalam membaca dan memahami penulisan di dalam penelitian ini, maka perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka konseptual sebagaimana yang terdapat di bawah ini:

a. Perlindungan Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

b. Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang adalah harga suatu barang yang ditetapkan tidak berdasar kepada nilai mata uang yang sedang berlaku di negara Republik Indonesia.

(34)

d. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

e. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

f. Pasar modern adalah pasar yang bersifat modern dimana barang-barang diperjual belikan dengan harga pas dan dengan layanan sendiri. Tempat berlangsungnya pasar ini adalah di mal, plaza, dan tempat-tempat modern lainnya.

g. Perilaku Konsumen adalah

demi memenuhiAkan tetapi perilaku konsumen yang dimaksud disini adalah sikap atau perilaku konsumen terhadap harga barang yang tidak sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku yang ditetapkan oleh pelaku usaha. h. Peranan Pemerintah adalah upaya yang dilakukan pemerintah terhadap

penyelenggaraan perlindungan konsumen khususnya bagi konsumen agar mendapatkan hak-haknya.

(35)

G. Metode Penelitian

1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian

Masalah perlindungan konsumen tidak bisa hanya dijelaskan berdasarkan sudut pandang normatif saja, melainkan harus juga memahami situasi dan kondisi sosial masyarakat yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen itu sendiri.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum Empiris (Sosiologis)15

Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis, yakni hasil penelitiannya akan menggunakan analisa normatif sehingga akan menggambarkan (mendeskripsikan) fakta-fakta empiris dilapangan yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan konsumen.

. Penelitian hukum empiris (sosiologis) adalah penelitian yang diperoleh dari masyarakat yang berkaitan dengan masalah “Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan)”.

Jenis penelitian yang kedua digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut berlaku di dalam masyarakat.

Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action) yang mendasarkan pada doktrin para realis Amerika seperti Holmes, yaitu bahwa

15

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum empiris (sosiologis), yaitu yang mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.

(36)

“law is not just been logic but experience” atau dari Roscou Pound tentang “law as a social engineering” dan bukan seperti pandangan positivis bahwa hukum adalah “... law as it is written in books” yang melihat hukum hanya pada aturan sistem norma perundang-undangan16

2. Lokasi Penelitian dan Sampel .

a. Lokasi Penelitian

Carrefour sudah beroperasi tersebar di beberapa Kota/Kabupaten di Indonesia, salah satunya adalah di Kota Medan. Meskipun Maju Bersama hanya tersebar di beberapa tempat di Kota Medan, namun merupakan alternatif belanja yang menawarkan tempat dan produk beragam pilihan yang dipilih konsumen untuk berbelanja dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian dalam penulisan ini akan dilakukan pada Carrefour Plaza Medan Fair Jalan Gatot Subroto dan Maju Bersama Jalan KL. Yos Sudarso (Glugur) Medan.

b. Sampel

Penelitian dalam penulisan ini dilakukan pada bulan Maret 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua konsumen yang berbelanja di Carrefour Plaza Medan Fair Gatot Subroto dan Maju Bersama Glugur Medan. Akan tetapi dalam melaksanakan penelitian, penulis kesulitan untuk mengadakan penelitian di tempat yang dimaksud dikarenakan tidak mendapat izin dari pelaku usaha yang bersangkutan. Oleh karena itu penulis mengambil sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang konsumen, yaitu 25

16

(37)

orang konsumen Carrefour dan 25 orang konsumen Maju Bersama Medan. Dimana setiap konsumen mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel.

3. Sumber Data dan Bahan Hukum

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian empiris yakni data yang diperoleh dari lapangan atau data yang diperoleh langsung di dalam masyarakat. Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden dengan memberikan daftar pertanyaan (kuesioner) di lokasi penelitian. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka atau literatur yang berkaitan dengan materi penelitian.

Data primer dalam penelitian hukum dapat dilihat sebagai data yang merupakan perilaku hukum warga masyarakat. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa17

“Hukum merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang terwujud dalam perilaku manusia maupun di dalam perangkat kaidah-kaidah yang sebenarnya juga merupakan abstraksi dari perilaku manusia. Dengan demikian, maka perilaku manusia dan ciri-cirinya yang mencakup perilaku verbal dan perilaku nyata (termasuk), seperti peninggalan fisik, bahan-bahan tertulis dan data hasil simulasi merupakan data yang penting dalam penelitian hukum”.

:

Penelitian ini juga menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari perpustakaan dan dokumen pemerintah. Adapun sumber dan bahan hukum yang dimaksud diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Undang-Undang No. 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen; 2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;

3) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

17

(38)

4) Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.

b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, artikel, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan hukum;

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, misalnya berupa kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris atau lapangan yaitu wawancara, angket atau kuesioner dan observasi18

Selain itu, bahan penelitian diperoleh dengan penelitian kepustakaan. Bahan-bahan dikumpulkan dan dicatat menjadi kutipan langsung, ikhtisar dan analisis yang berhubungan dengan penelitian. Bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi dan mengoleksi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan konsumen.

. Sedangkan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket atau kuesioner. Angket atau kuesioner merupakan teknik yang digunakan dengan mengumpulkan data dengan cara menyebarkan atau membagi beberapa pertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti yang akan diberikan kepada responden atau narasumber. Angket ini bersifat tertutup, sehingga responden dapat dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di dalamnya sudah ada pilihan jawaban.

18

(39)

5. Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian hukum empiris selain pengolahan data sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna menjawab permasalahan yang dirumuskan.

Analisis data primer yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya19

6. Metode Penarikan Kesimpulan

. Penelitian ini bukan hanya melihat data primer secara kualitatif saja, akan tetapi juga menganalisis hal-hal yang lebih mendalam dari data kualitatif yang diperoleh.

Metode yang digunakan dalam penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif, yaitu teori yang digunakan dijadikan sebagai patokan dalam melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah penetapan harga yang tidak berdasarkan nilai mata uang dan peranan pemerintah dalam melindungi konsumen akan hak-haknya. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian. Maka deduktif-induktif adalah penarikan kesimpulan di dasarkan

19

(40)
(41)

BAB II

PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN NILAI

MATA UANG YANG BERLAKU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia

1. Perlindungan Terhadap Konsumen Sebelum dan Setelah Diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999

Arus globalisasi dan perdagangan bebas serta kemajuan teknologi mempermudah transaksi barang dan/atau jasa produksi dari dalam maupun luar negeri. Keadaan seperti ini di satu sisi bermanfaat bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan/atau jasa. Akan tetapi di sisi lain kedudukan konsumen dan pelaku usaha menjadi tidak seimbang, karena konsumen berada pada posisi yang lemah. Dengan demikian, Undang-Undang konsumen sangat dibutuhkan dalam melindungi konsumen yang dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkualitas dalam menyediakan barang dan/atau jasa.

(42)

rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu20

Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International

(CI). Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai propinsi di Tanah Air

.

21

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Medan merupakan perwakilan YLKI yang ada di berbagai propinsi di Indonesia. Demikian halnya kehadiran Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan merupakan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap kepentingan konsumen.

.

Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan didirikan tanggal 27 September 1999, merupakan refleksi dari semangat untuk membangun dan menggalang gerakan perlindungan konsumen bersama masyarakat. LAPK didirikan oleh para aktivis NGO’s, dosen, pengacara dan mahasiswa, dengan tujuan memberikan advokasi dan perlindungan konsumen, melakukan pembelaan, menampung pengaduan konsumen, pengkajian dan menggalang kerjasama jaringan antar lembaga, khususnya yang punya komitmen terhadap perlindungan konsumen dalam arti luas22

20

Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 16

. Eksistensi

21

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2006), hlm. 49. 22

(43)

lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan sangat membantu pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembina dan pengawas barang-barang yang beredar di pasaran, terlebih dalam melindungi konsumen yang hak-haknya sering terabaikan oleh pelaku usaha. Berbagai kegiatan yang dilakukan antara lain mengadakan berbagai seminar, pengarahan-pengarahan, sosialisasi, dan advokasi mengenai perlindungan konsumen.

Dalam rentang waktu 37 tahun kehadiran YLKI, dapat dibagi menjadi dua periode. Pertama, adalah era perlindungan konsumen tanpa Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kedua, era perlindungan konsumen di bawah Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999). UUPK di satu sisi menjadikan posisi konsumen secara legal formal menjadi lebih kuat, karena hak-hak konsumen menjadi hak hukum yang diatur dan dilindungi Undang-Undang. Namun demikian, secara riil, keberadaan UUPK belum dirasakan manfaatnya secara riil oleh konsumen23

Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk-produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut

.

24

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan

;

23

Sudaryatmo, “Menyuarakan Sebuah Harapan”,

sebuahharapan.html, diakses tanggal 10 Januari 2012.

24

(44)

Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya. Meskipun KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, penyewa, “tertanggung”, atau “penumpang”, yang membedakan apakah mereka sebagai konsumen akhir atau konsumen antara.

b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apa pun yang diperdagangkan di Indonesia.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industri itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri.

d. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor : 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.

(45)

bersangkutan menundukkan dirinya secara sukarela, atau pernah mengalami proses hukum (gelijks telling). Beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang dapat dipakai untuk menindak produsen yang “nakal” (Pasal 204; 205; 359; 360; dan 386), tetapi tidak memberikan kompensasi apa pun kepada konsumen yang dirugikannya. Berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen perumusannya sedemikian luas, sehingga tidak dapat secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Demikian bagian terbesar dari ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, yaitu berbagai paraturan sektoral yang biasanya berbentuk keputusan menteri, belum mampu dimanfaatkan secara langsung untuk melindungi kepentingan. Bahkan pengertian “konsumen” itu sendiri hampir tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedudukan konsumen Indonesia dalam sistem prekonomian nasional masih berada pada keadaan memprihatinkan25

Kemudian, dalam perkembangannya, pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal pengakuan perlindungan konsumen dan secara

.

25

Agus Brotosusilo, Instrumen/Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia, Makalah disajikan pada lokakarya Hukum Perlindungan Konsumen bagi Dosen dan Praktisi Hukum. (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dikutip dari buku Rachmadi Usman,

(46)

legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk tertentu26

Untuk hadirnya suatu Undang-Undang Perlindungan konsumen yang terdiri atas 15 bab dan 65 Pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang Undang-Undang ini dikumandangkan (tahun 1975 sampai dengan tahun 2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari Undang-Undang ini (selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)). Sekalipun demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keterbukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non

.

27

Kehadiran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Diakui, bahwa Undang-Undang tersebut bukanlah yang pertama dan yang terakhir, karena sebelumnya telah ada beberapa rumusan hukum yang melindungi konsumen yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen baik menyangkut hukum materil maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen

.

28

26

Adrian Sutedi, loc.cit.

.

27

Ibid, hlm 8.

28

(47)

Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut29

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

:

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian

29

Sekedar Berbagi, “Hukum Perlindungan Konsumen”,

(48)

Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

Meskipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah lahir, pelaksanaannya belum berjalan mulus, karena adanya pandangan pemerintah bahwa apabila perlindungan konsumen diterapkan, maka banyak pengusaha yang tidak akan mampu melaksanakan kegiatan usahanya, sementara pengusaha menggantungkan hal itu pada kebijakan yang dibuat pemerintah30

Padahal pada dasarnya sebagai pengguna barang dan jasa yang dibelinya, peranan konsumen sangat menguntungkan bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Konsumen merupakan pihak yang menentukan dalam perkembangan usaha para pelaku usaha. Akan tetapi pelaku usaha sepertinya tidak peduli dengan kedudukan konsumen.

.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan konsumen yang dijamin Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta

30

(49)

mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut31.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen32

Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen .

33

a. Perlindungan Preventif

, yaitu :

Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.

b. Perlindungan Kuratif

Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu

31

Ibid 32

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.1

33

(50)

diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan/atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui Undang-Undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya. Konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha34

2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen dan Kaitannya dengan KUH Perdata

.

Terlepas dari kekurangan yang ada, prinsip-prinsip pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia bukan berarti tidak ada sama sekali sebelum UUPK. Untuk itu, ada tiga bidang hukum yang memberikan perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara35

34

Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm.4-5.

.

35

(51)

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen36

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

.

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, 1367, prinsip ini dipegang secara teguh37

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu

.

38

1) adanya perbuatan

:

2) adanya unsur kesalahan 3) adanya kerugian yang diderita

4) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat39

b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung jawab .

36

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 92

37

Shidarta, op.cit, hlm.73

38

Ibid

39

(52)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (persumtion of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

Tampak pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia Omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya pihak Kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK)40

Sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 19, 22, 23 dan 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dibawah ini :

.

Pasal 19 ;

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalianuangatau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

40

(53)

Pasal 22 : “Pembuktian Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”.

Pasal 23 : “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen”.

Pasal 28 : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha”.

Sebagaimana diketahui Pasal 19 yang dimaksud mengatur tanggung jawab ganti rugi, Pasal 22 tentang tanggung jawab pembuktian unsur kesalahan dalam perkara pidana, dan Pasal 23 UUPK mengatur gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen, maka berdasarkan ketentuan Pasal 28 ini bahwa beban pembuktian unsur “kesalahan” dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha yang dapat membuktikan kerugian bukan merupakan kesalahannya terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian41

c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

.

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (persumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan

Gambar

Tabel.1
Tabel.2 Perilaku Konsumen Terhadap Sisa Pengembalian Uang Pecahan
Tabel.3
Tabel.4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan vitamin K pada pasien sirosis hepatik dengan perdarahan saluran cerna bagian atas

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kubu Raya Nomor 6 tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah dan Peraturan Bupati Kubu Raya Nomor 42 tahun 2016

 Namun pengamat tidak bisa mencatat burung yang di luar waktu dan jarak yang di tentukan..

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan intake manifold dengan bahan dasar komposit (serat nanas) terhadap torsi dan daya pada sepeda motor Honda

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan bungkil biji kapuk dan sekam padi yang memiliki kadar air, kadar abu, kadar karbon, dan nilai kalor sesuai

Penulis Memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul “Analisis Efektivitas Kebijakan

reciprocal teaching dengan fieldtrip ) memperoleh nilai 86,8 yang sedangkan kelas kontrol (kelas yang mendapat perlakuan model ceramah) memperoleh nilai 71,3,

Setiap satuan pendidikan termasuk di SMK Negeri 1 Wonorejo Kabupaten Pasuruan harus menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai