• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Lokal Mamahea Niowalu (Mendandu Pengantin) dalam Adat Pernikahan Nias Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tradisi Lokal Mamahea Niowalu (Mendandu Pengantin) dalam Adat Pernikahan Nias Utara"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

66

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

TRADISI LOKAL MAMAHEA NIOWALU (MENDANDU PENGANTIN) DALAM ADAT PERNIKAHAN NIAS UTARA

Agustinus Hulu SMP Negeri 1 Alasa

agthulu@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian yang berkaitan dengan budaya daerah, peneliti mengkaji; 1) bagaimana tradisi pernikahan di Nias Utara, 2) apakah dalam tradisi membawa pengantin di Nias Utara mengandung nilai-nilai gotong royong. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tradisi adat perkawinan pada suku Nias dan melihat bagaimana keberadaan budaya Nias, khususnya pada perkawinan suku Nias Utara yang masih turun tumuran sampai sekarang. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Rober Sibarani, yang merupakan pendekatan yang berkaitan tentang tradisi lisan dan mempunyai keterkaitan dengan kebudayaan daerah. Setelah peneliti melakukan penelitian di daerah Nias Utara, penulis dapat menyimpulkan bahwa sistem adat perkawinan Nias Utara membawa pengantin perempuan dengan cara menandu di kursi tandu dari rumah keluarga perempuan sampai ke keluarga pihak laki-laki, cara ini mempunyai nilai kegotong royongan. Hal ini merupakan suatu cirikhas daerah yang unik dan mempunyai makna dimana masyarakatnya memiliki rasa sepenanggungan dan mereka memupuk rasa kebersamaan dalam masyarakat Nias Utara. Hal ini tercermin dalam pepatah dalam bahasa daerah Nias yang mengatkan “Aoha noro nilui wahea, aoha noro nilului waoso. Alisi tafalawa-lawa, hulu tafawolo-wolo”. Yang artinya: Ringan beban yang dibawa secara bersama-sama, bahu kita sama ratakan dan punggung kita berikan serentak untuk membawa beban yang berat agar terasa ringan.

Kata kunci: Tradisi Lokal, Mamahea, ni’owalu, Adat perkawinan.

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam sepanjang siklus hidup manusia atau dalam ilmu antropologi disebut dengan stage a long life cycle. Tahap-tahap yang ada di sepanjang hidup manusia seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah menikah, masa tua dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1971: 89). Perkawinan juga merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1988: 92).

Robert Sibarani (2012: 123) menjelaskan bahwa tradisi lisan adalah kegiatan-kebiasaan tradisional suatu masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal).

(2)

67

Masyarakat Nias juga memiliki salah satu upacara adat yang menjadi ciri khasnya. Menurut konsep masyarakat Nias, perkawinan (Falőwa) pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk memilih teman hidup bagi anak laki-lakinya.

Upacara tentang perkawinan di Nias Utara merupakan upacara terbesar dibanding upacara lainnya yang dijalani oleh seseorang sejak lahir sampai meninggal. Laki-laki dan perempuan mendapatkan keutuhannya sebagai manusia dalam perkawinan. Laki-laki yang belum kawin belum dapat diperhitungkan dalam sistem adat. Dalam perkawinan laki-laki dihubungkan dengan “pihak bawah (soroi tou)” atau hilir sungai, dan perempuan dihubungkan dengan “pihak atas (ngofi) atau hulu sungai” ². Pihak perempuan dihubungkan dengan dewasa dunia atas Tuhan (Lowalagi), sumber kehidupan, ulu (asal) atau uwu, atau baya (sumber), dan karena itu kemurnian perempuan sebagai sumber hidup sangat dihargai. Terdapat seperangkat sanksi dari hukum adat yang melindungi kemurnian perempuan.

Dalam suatu perkawinan, setiap suku bangsa memiliki konsep dan aturan mengenai acara adat perkawinan. Tiap-tiap aturan acara perkawinan tersebut berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini berdasarkan bagaimana setiap suku bangsa memaknai dan menilai setiap rangkaian upacara adat perkawinan baik itu berdasarkan unsur-unsur budaya setiap suku bangsa, waktu dan biaya yang dibutuhkan, ataupun kepentingan - kepentingan dari fihak keluarga yang melangsungkan perkawinan.

Bila seorang anak laki-laki akan memasuki usia perkawinan (sekitar 18-25 tahun), maka orang tuanya akan mencari jodoh yang sesuai dengan anaknya. Penentuan jodoh sepenuhnya tergantung kepada orang tua, walaupun anak laki-laki telah menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita, persetujuan orang tua masih menentukan bila ia ingin menikahi wanita tersebut. Dalam adat Nias Utara, kawin lari sangat sulit untuk diterima. Seseorang yang kawin tanpa persetujuan orang tua, akan tersingkir dari lingkungan adat, bahkan orang tua bisa saja menyatakan putus hubungan sebagai anak bila anaknya tersebut kawin tanpa restu orang tua.

Untuk menentukan jodoh, orang tua terlebih dahulu melihat beberapa kriteria seperti derajat orang tua si gadis, kecantikan, perilaku si gadis dan tingkat pendidikan pada masa sekarang. Biasanya orang tua akan memilih calon dari keluarga yang setaraf dengan derajat (bosi) mereka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan disamping memperkecil faktor penolakan. Setelah mendapatkan calon yang dianggap sesuai menurut kehendak pihak laki-laki, maka orang tua akan mengutus salah seorang keluarga terdekat yang akan menjadi penyampai lamaran. Utusan ini disebut si’o yang arti sebenarnya adalah tongkat, namun dalam hal ini si’o diartikan sebagai perantara yang menjembatani dua keluarga. Biasanya si’o dipilih dari keluarga terdekat, yakni adik laki-laki dari ayah si pemuda yang telah berkeluarga. Namun bila tidak memungkinkan, maka akan diutus salah seorang kerabat lainnya. Pada saat menyampaikan lamaran si’o tidak berbicara langsung dengan orang tua si wanita, tetapi ia menyampaikan maksud tersebut kepada salah seorang keluarga terdekat mereka yang nantinya akan menyampaikannya kepada orang tua si wanita.

Dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1) bagaimana tradisi pernikahan di Nias Utara, 2) apakah dalam tradisi membawa pengantin di Nias Utara mengandung nilai-nilai gotong royong.

(3)

68

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bitaya, Kecamatan Alasa, Kabupaten Nias Utara, Propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena di Kecamatan Alasa, Kabupaten Nias Utara ini merupakan daerah peneliti sehingga lebih memudahkan bagi penulis untuk menjelaskan tentang adat perkawinan di daerah ini yang memiliki keunikan tersendiri. Pada kesempatan ini, penulis telah mengamati dan merekam acara penyerahan/pengambilan pengantin perempuan dalam masyarakat adat perkawinan di daerah ini.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan ialah metode penelitian deskriptif. Metode diskriptif ialah sebuah metode yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang Tradisi Mamahea Niowalu (Menandu Pengantin) dalam Pernikahan di Nias Utara. Dimana informasinya diperoleh dengan melakukan observasi dan merekam kegiatan yang diteliti pada penelitian ini.

1. Tradisi Mamahea Niowalu (menandu pengantin) merupakan warisan Budaya Nias Utara

Perkawinan adalah ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial, tanggungjawab pasangan kedekatan fisik serta hubungan seksual (Regan, 2003; Olson & Defrain, 2006; Secommbe & Warner, 2004).

Bapak Hukum adat Indonesia Prof. DR. Van Vollenhoven dalam Zein (2005:249) menyatakan bahwa adat itu berasal dari perilaku kebiasaan (zeden en gewoonten), jika kebiasaan itu terus menerus dilakukan dan diikuti orang banyak sebagaimana tindakan yang sebaliknya dilakukan oleh masyarakat itu, maka ia sudah menjadi adat. Acara adat perkawinan suku Nias merupakan salah satu tradisi yang masih diteruskan sampai saat ini pada masyarakat Nias Utara. Dalam perkawinan adat Nias Utara memiliki keunikan yang berbeda dengan perkawinan suku lain.

Sibarani (2012: 19) menyatakan bahwa semua kebiasaan diwariskan secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi lain, dan “dari mulut ke telinga”. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi warisan bagi masyarakat Suku Nias, Perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan di atas bumi ini. Perempuan dianggap sebagai sumber kehidupan. Mengawini perempuan di Nias disebut juga: Mangai Tanömö Niha (mengambil benih manusia) yang terdapat pada pihak perempuan : disebut dengan istilah Uwu/Sibaya atau Ulu (artinya = paman/saudara ibu). Perempuan dilambangkan sebagai hulu (kehidupan) dan laki laki disimbolkan sebagai hilir (kematian). Untuk memiliki kehidupan, lelaki harus melawan arus sungai (manösö) disebut Soroi Tou, menuju hulu (pihak perempuan) yang berada di atas (ngöfi) tepian sungai kehidupan itu.

Gambaran melawan arus inilah yang merupakan simbol tradisi jujuran yang harus dibayar oleh pihak laki-laki. Jujuran (böwö) berarti budi baik. Besarnya jujuran (böwö) yang dilaksanakan oleh laki-laki, menjadi ukuran harga diri dan kedudukan kasta pihak laki-laki tersebut dalam lingkungan masyarakat adat sukunya.

(4)

69

Kata-kata penyerahan pengantin perempuan Kepada Pihak keluarga Pengantin laki-laki pengantin perempuan kepada pihak mempelai laki-laki di Kabupaten Nias Utara berbeda dengan Nias Selatan dan Nias Barat.

a. Penyerahan pengantin perempuan

Sibarani (2012: 27) menyatkan bahwa tradisi lisan telah bertahan cukup lama di tengah komunitas berbagai etnik dan telah menjadi ekspresi estetik, emosional, pragmatik, dan etis masyarakat di tiap-tiap daerah. Di Kabupaten Nias Utara, si ujung acara pada acara adat pernikahan adalah penyerahan pengantin perempuan kepada pihak keluarga mempelai pria, disampikan oleh orang tua (ayah kedua mempelai). Di mana tradisi lisan pada penyerahan pengantin ini kedua orang tua menyampaikan kata-kata sebagai berikut:

Ayah mempelai Perempuan:

Simane da’a mbambatö. Begini basen.

Onoda andre usarakö khö mi. Kami serahkan putri kami.

Ya’ami zamatohu folohe ba zisökhi wa’auri nonoda andre.

Sudi kiranya supaya diteruskan nasehatnya agar dituntun ke arah yang lebih baik. Ena’ö böi elumu.

Agar jangan mereka tidak tersesat.

I’otarai waide-ide nia ofeta ia da’a lö saekhu ba wanuturuma lala nia. Sejak dari kecil hingga sekarang telah kami arahkan dengan baik. Ba i’otarai da’e mifatohu wanuturu lala nia.

Seterusnya agar anak kita diarahkan ke hal yang lebih baik lagi. Ba bawa’a falukhada ma’ökhö andre.

Pada pertemuan kita hari ini.

He wa’ae naso zi lö faudu ba dödöm, ma andrö wa’ebolo dödömi. Kalau ada yang tidak sesuai, kami mohon maaf.

He ngawalö huhuo, he ngawalö laguma, ba wa’orududa ba da’a ba manötöna dödöma wa mibologö dödömi.

Semua pembicaraan, tingkah laku kami, pelayanan yang tidak berkenan, kami mohon maaf.

Ba fefu jujuran si no matema ba meno mitehegö saohagölömi ba ma’andrö saohagölö. Semua jujuran yang telah kami terima dari pemberian yang tulus, kami ucapkan terima kasih.

Ba onoda andre ya ifahowu’ö ia Lowalangi.

(5)

70

Ucapan terimakasih orang tua pihak laki-laki pada keluarga perempuan

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

Ayah mempelai laki-laki:

Simane mbambatö.

Begini besan. (Panggilan antara kedua orang tua pengantin) Iraono ba matema moroi ba wa’owua wua dödö.

Putri bapak kami terima dengan sangat bahagia.

Börö da’ö, iraono andre i’otrai ba waide-ide nia ofeta ma’ökhö ba u’andrö saohaglö fefu.

Karena itu, segala jerih payah basen mengasuh dan mbembesarkan putri basen, kami ucapkan terima kasih.

He göi kho mbambatögu ira alawe, mitehegö saohagölömi enaö ifahowuo ira Lowalangi.

Begitu juga basen kami perempuan, berilah berkat agar anak kita ini diberkati oleh Tuhan.

Ba fefu göi jujuran sino ma sarakö.

Begitu juga semua jujuran yang telah kami serahkan.

Saohagölöma da’ö ena’ö lö faoma tobali mba’a mba’ada khö Lowalangi.

Kami berikan dengan tulus agar kita semua diberkati oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Seperti yang tertera dalam adat perkawinan Nias bahwa terlaksananya pernikahan karena adanya kesepatakan yang baik antara kedua keluarga mempelai, sehingga dilaksanakannya pesta nikah (falöwa) yang ditandai dengan terlunasinya Böwö (maskawin/mahar) yang diberikan oleh pihak keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga perempuan.Pada acara penyerahan pengantin ini, selain kata-kata yang mengandung pesan juga terdapat ungkapan terima kasih atas pemberian dan penerimaan mahar (Böwö). Tetapi Böwö ini telah melahirkan masalah baru yang tidak disadari oleh masyarakat Nias sendiri. Keganjilan penerapan Böwö ini juga dirasakan oleh mereka yang pernah tinggal (berkunjung) di Pulau Nias. Dan tidak heran jika kebanyakan orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karenanya ketika mereka mau menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan.

b. Arti Böwö (Mahar)

Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias.

(6)

71

Pengantin perempuan diangkat dan ditandu menuju rumah pengantin pria

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan, entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga, dsb lalu memberi makanan, baik nasi maupun lauk-pauk pada saat hajatan itu dan diberi juga kepada tetangga dan sanak famili secara cuma-cuma. Ini adalah aktualisasi kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di sekitar kita, juga untuk mempererat persaudaraan. Oleh karenanya, tak heran jika masyarakat Nias menyebut orang yang ringan tangan sebagai niha soböwö sibai. Jadi, arti sejati böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian orangtua kepada anaknya. Terlunasinya Böwö (mahar) ini turut disampaikan pada penyerahan pengantin perempuan kepada pihak keluarga mempelai pria pada hari pelaksanaan perkawinan.

c. Pengantin perempuan dibawa dengan cara ditandu (gotong)

Setelah selesai acara penyerahan pengantin dan acara nyanyi dan doa. Maka saatnya pengantin perempuan dibawa oleh pihak keluarga pengantin laki-laki. Ini Caranya adalah pengantin perempuan diangkat dan ditandu/digotong oleh beberapa orang pada tempat (di kursi tandu) yang diikatan dua batang bambu pada kedua sisi kursi tandu yang panajangnya sekitar 3 meter untuk menjadi pegangan orang yang mengangkat tandu sehingga pengantin yang diduk di atasnya tidak jatuh. Cara ini adalah merupakan simbol penghargaan kepada seorang wanita. Kegiatan tersebut mengandung nilai-nilai gotong royong yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh satu orang, melainkan dibantu oleh beberapa orang.

“Lukman (2005: 249) menyakatakan bahwa adat-budaya yang digunakan oleh masyarakat, pada umumnya adalah tidak tertulis/dikodifikasi, sehingga ia tergolong common laws. Meskipun demikian ia dihafal, dibina dan dilaksanakan dari anak ke cucu. Kebanyakan ketentuan adat itu tercermin di dalam pepatah dan pantun”.

Membawa pengantin dengan cara ditandu (digotong) merupakan salah satu bentuk tradisi adat perkawinan di Nias Utara. Hal ini juga merupakan salah satu tradisi yang mengandung nilai kegotong royongan, kebersamaan dan tolong menolong yang dilakukan bersama-sama yang tidak bisa dikerjakan oleh satu orang. Seperti halnya pepatah dalam bahasa daerah Nias yang mengatkan “Aoha noro nilui wahea, aoha noro nilului waoso. Alisi tafalawa-lawa, hulu tafawolo-wolo”. Yang artinya: Ringan beban yang dibawa secara bersama-sama, bahu kita sama ratakan dan punggung kita berikan serentak untuk membawa beban yang berat agar terasa ringan.

(7)

72

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

tidak hidup sendiri tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dalam sistem makrokosmos ia merasa dirinya hanya sebagai unsur kecil yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar; (2) Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakekatnya bergantung dengan sesamanya; (3) Oleh karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata-sama rasa; dan (4) Selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dan hidup bersama dengan sesamanya dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi-sama rendah.

Bertolak dari pendapat di atas, maka gotong-royong yang dilakukan oleh masyarakat Nias Utara pada adat perkawinan untuk menandu pengantin, jika dicermati secara seksama, mengandung nilai-nilai: yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai itu antara lain: kerbergantungan dengan sesamanya, kebersamaan, musyawarah, dan kerja sama. Nilai kebergantungan dengan sesamanya tercermin dari kepuduliannya terhadap gotong-royong yang ada di Nias Utara, yaitu membawa pengantin dengan cara menandu di kursi tandu. Semua itu dilatarbelakangi oleh nilai budaya yang berkenaan dengan hakekat hubungan antar manusia. Dalam hal ini manusia tidak hidup sendiri tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakekatnya bergantung dengan sesamanya. Oleh karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata-sama rasa; dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dan hidup bersama dengan sesamanya dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi-sama rendah.

Pengantin perempuan menangis karena sedih berpisah dengan keluarganya, ayah, ibu, saudara-saudaranya, sanak famili dan orang-orang di kampungnya. Begitu juga keluarga yang dia tinggalkan merasa terharu karena berpisah dengan putri yang selama ini berada di tengah keluarga baik dalam suka maupun duka, harus berpisah dengan keluarga besarnya dan menuju pada keluarga yang baru. Sehingga ketika pengantin pergi/ pamit, wajar kalau ada rasa haru sampai menangis, tapi dengan harapan kiranya putri mereka diberkati oleh Tuhan sehingga di keluarga barunya putri mereka semakin bahagia dan harmonis bersama keluarga baru (suami) dan keluarga suami/mertua.

Dia diangkat dan ditandu oleh sejumlah orang di kursi itu menuju ke rumah pengantin laki-laki. Yang membawanya adalah beberapa perempuan atau laki-laki kuat yang berasal dari keluarga atau sanak famili mempelai laki-laki. Seperti biasanya yang pertama mengangkat tandu pengantin perempuan ini adalah beberapa orang perempuan kuat dari keluarga pengantin laki-laki, namun setelah melewati kampung pengantin perempuan kemudian yang membawa tandu digantikan oleh sejumplah laki-laki kuat yang dilakukan secara bergantian hingga sampai ke rumah mempelai pria. Namun bila perjalanan terlalu jauh, dan bila memungkinkan adanya mobil pengantin maka tandu bisa dihentikan dan diteruskan melalui mobil pengantin.

(8)

73 SIMPULAN

Nias Utara mempunyai adat perkawinan yang dikenal sangat unik dengan ciri-ciri khas tersendiri yang tidak ditemukan daerah-daerah lain di Indonesia. Dimana salah satu keunikannya adalah saat membawa pengantin perempuanya ke keluarga mempeleai pria. Pengantin diangkat (ditandu) di kursi tandu yang telah dipersiapkan dan dihiasi. Dia di tandu seperti seorang putri raja, yang maknanya adalah bahwa perempuan begitu diangungkan dan dihargai oleh suami. Selama dalam perlalanan ia ditandu dengan mengenakan pakaian pengantin/ pakaian adat yang telah dipersiapkan oleh keluarganya.

Nilai gotong-royong yang dilakukan oleh masyarakat Nias Utara pada adat perkawinan untuk menandu pengantin, jika dicermati secara seksama, mengandung nilai-nilai: yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai itu antara lain: kerbergantungan dengan sesamanya, kebersamaan, musyawarah, dan kerjasama. Nilai kebergantungan dengan sesamanya tercermin dari kepuduliannya terhadap gotong-royong yang ada di Nias Utara, yaitu membawa pengantin dengan cara menandu di kursi tandu dan ditandu oleh beberapa orang yang cukup kuat dari rumah pengantin perempuan sampai di rumah pengantin laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

Zein T.Thyrhaya. (dkk). (2005). Bahasa Sastra dan Budaya dalam Untaian Karya. Medan: USU Press.

Koentjaraningrat. (1971). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Robert Sibarani. (2012). Kearifan Lokal. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Medan: USU Press.

Halawa E. (2007). Kamus Nias. Retrieved December 6, 2014. From http://niasonline.net/kamus-nias/.

Amsal Marinus. (2013). Perkawinan Adat Nias. Retrieved December 6, 2014. From

http://nias-web.blogspot.com/2013/07/inggris-nias-traditional-marriage-nias.html.

Gulo Postinus. (2012). Pihak Pemberi dan Penerima Bowo Menurut Adat Ori Moro’o . Retrieved December 5, 2014. From http://postinus.wordpress.com/tag/perkawinan-nias/.

Agus Rakhmawati. (2012). Gotong Royong. Retrieved December 6, 2014. From http://sangketua.blogspot.com/2012/09/gotong-royong.html.

Gea Agus. (2009). Asesoris Adat Perkawinan Nias. Retrieved December 5, 2014. From

http://www.toz-nias.org/wp-content/uploads/2013/09/Asesoris-Adat-Perkawinan-Nias.pdf.

Referensi

Dokumen terkait