• Tidak ada hasil yang ditemukan

Campur Kode Pada Program Acara Pro 2 Fm Radio Republik Indonesia Stasiun Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Campur Kode Pada Program Acara Pro 2 Fm Radio Republik Indonesia Stasiun Medan"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

CAMPUR KODE PADA PROGRAM ACARA PRO 2 FM

RADIO REPUBLIK INDONESIA STASIUN MEDAN

TESIS

Oleh

IMELDA DARMAYANTI MANURUNG

067009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

CAMPUR KODE PADA PROGRAM ACARA PRO 2 FM

RADIO REPUBLIK INDONESIA STASIUN MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Linguistik Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMELDA DARMAYANTI MANURUNG

067009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji campur kode pada program acara Pro 2 FM Radio Republik Indonesian (RRI) Stasiun Medan. Peristiwa campur kode timbul sehubungan dengan adanya kontak bahasa.

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan terjadinya campur kode, jenis campur kode,yang dominant, faktor campur kode, serta faktor yang mempengaruhi pengunaan campur kode pada program acara Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Medan. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan metode yang digunakan adalah metode observasi partisipan. Data dalam penelitian ini bersumber pada data lisan yang direkam dan ditranskripsikan dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis komplimentari kombinasi antara dua model Suwito dan Haugen.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa peristiwa tutur pada program acara Pro 2 FM Radio Indonesia Republik Indonesia Stasiun Medan terjadi campur kode, Jenis campur kode secara keseluruhan direalisasikan dan disifatkan secara khusus sebagai berikut: (1) jenis leksikal merupakan yang paling dominan dan (2) kalimat yag terkecil. Campur kode disebabkan oleh beberapa factor, yaitu (1) identifikasi peranan, (2) menggambarkan dan menjelaskan, dan (3) kebiasaan. Kebiasaan merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan terjadinya campur kode dan identifikasi peranan yang terkecil.

Berdasarkan temuan-temuan yang ada, dapat dibuktikan bahwa peristiwa campur kode terjadi dalam aktivitas siaran radio antara penyiar dan partisipan.

(4)

ABSTRACT

This study is aimed to describe about the happening of code mixing, the kind of code mixing, the dominant factors and the factors which influence the using of code mixing in Pro 2 FM’s program of Radio Republik Indonesia Medan. The approach is qualitative/quantitative – descriptive in nature, and the method is participants, observational. The data are collected by means of audio recordings and transcription, and analyzed by employing a complementary method of analysis that combines Soweto’s theory and Haugen theory.

The findings reveal that code mixing is happened, the kinds of code mixing as a whole is typically realized and characterized by the following: (1) lexical as the most dominant and (2) sentence as the least dominant. Code mixing is caused by some factors, namely (1) subject, (2) describing and interpreting, and (3) daily routine. Daily routine as the most dominant factors which influence the using of code mixing and subject as the least dominant factors.

Based on the findings, there is a strong evidence that code-mixing is happening in daily activity of radio broadcasting between the announcer and participants..

Key Word: Code Mixing, Subject, Interpreting, Daily Routine

(5)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesempatan, dan kesehatan sehingga dapat memyelesaikan Tesis ini. Adapun Tesis ini berjudul : “Campur Kode Pada Program Acara Pro 2 Fm Radio Republik Indonesia Stasiun Medan”.

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi diri penulis, lembaga – lembaga penyiaran khususnya Radio Republik Indonesia, serta menjadi masukan bagi perkembangan bahasa di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sungguh sangat diharapkan untuk perbaikan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Medan, Maret 2010 Penulis

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Disadari bahwa penulis masih memiliki keterbatasan kemampuan dan pengalaman sehingga menemukan kendala dalam menyelesaikan tesis ini, namun hal itu dapat teratasi dikarenakan bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh kareana itu, dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya dan rasa hormat kepada:

1. Para Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Jawasi Naibaho, dan Bapak Prof Amrim Saragih, M.A., Ph.D., yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan tugas sehari-hari dengan pemikiran yang sangat berguna kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

(7)

3. Para staf dan pegawai administrasi Program Studi Linguistik SPs USu, khususnya Bapak T. Rabullah, S.H, Putri, Kak Nila, dan Kak Kak Kar, yang sangat banyak membantu penulis.

4. Para Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik USU yang telah mendedikasikan ilmu serta wawasan penegetahuan yang penulis dapatkan selama perkuliahan.

5. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., dan Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., sebagai penguji yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan yang tak ternilai harganya dalam penyelesaian tesis ini.

6. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan di Program Studi Linguistik USU; Bg Andi, Bg Itam “Cocon, Pak Booni, Pak Kamal,Bg Oki. Pak Flans, Bu Waridah, Nda, K’Tha, K’ Novi, K’ Beth, Bu Heni, Bu Ida, Bu Ros, dan yang dapat penulis sebutkan semua, terimakasih atas kebersamaan dan persaudaraannya.

7. Rekan-rekan kerja di FKIP UMSU, YP. Hj. KASIH, terimakasih atas perhatian, kerjasama dan motivasi yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.

(8)

9. Keluarga tercinta, ibunda, suami, ananda, dan adik-adikku tersayang, yang senantiasa memberikan semangat, mengiringi langkah penulis dengan doa restu, serta pengorbanan yang tiada batas sehingga penulis dapat mengakhiri studi ini. 10. Semua pihak yang langsung maupun tidak langsung telah memberikan dorongan

moril dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan semua ini dan tak dapat penulis sebutkan namun tidak akan penulis lupakan.

Penulis sadar, bahwa penulis tidak akan pernah dapat membalas semua kebaikan yang telah penulis dapatkan, semoga segala bantuan, perhatian, dan dorongan tersebut mendapat balasan dari Allah Swt. Amin.

Medan, Maret 2010 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

NAMA : IMELDA DARMAYANTI MANURUNG

NIM : 067009008

ALAMAT :DSN P.W. ASRI, A. DESA SIDODADI

RAMUNIA, KEC. BERINGIN, 20552

NO. TELP /HANDPHONE : 08116487467

TEMPAT/TGL LAHIR : MEDAN/ 07 SEPTEMBER 1981

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

PENDIDIKAN : SARJANA BAHASA DAN SASTRA INGGRIS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PEKERJAAN : DOSEN KOPERTIS WIL – I , DPK FKIP UMSU

(10)

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ……….. ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……… iv

RIWAYAT HIDUP ……….. vi

DAFTAR ISI ………. vii

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

LAMBANG DAN SINGKATAN ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Batasan Masalah ………. 9

1.3 Rumusan Masalah ……… 9

1.4 Tujuan Penelitian ……… 10

1.5 Manfaat Penelitian ……… 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 12

2.1 Bahasa dalam Konteks Sosial ……… 14

2.2 Kontak Bahasa dan Kedwibahsaan……… 15

2.2.1 Kontak Bahasa ……… 15

2.2.2 Kedwibahasaan ……… 16

2.3 Sikap Bahasa ……… 18

2.4 Pemilihan Bahasa dan Wujudnya……… 21

2.4.1 Pemilihan Bahasa……… 23

2.4.2 Wujud Pemilihan Bahasa ………. 25

2.5 Alih Kode………. 26

(11)

BAB III METODE PENELITIAN ……… 37

3.1 Pendekatan Penelitian ……… 37

3.2 Data dan Sumber Data ……… 38

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ……… 45

3.4.2 Teknik Pengolahan Data……… 45

3.4.3 Analisis Data……… 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 48

4.1 Hasil Penelitian ………. 48

4.1.1 Campur Kode Kedalam (Inner-code Mixing) dan Campur Kode Keluar (Outer-Code Mixing)…….. 48

4.1.1.1 Campur Kode Keluar (Outer-Code Mixing)… 48 4.1.1.2 Terjadinya Campur Kode karena Faktor Identifikasi Peranan ……….… 49

4.1.1.3 Terjadinya Campur Kode karena Faktor Keinginan Menjelaskan dan Menafsirkan……… 52

4.1.1.4 Terjadinya Campur Kode karena Faktor Kebiasaan……… 55

4.2 Pembahasan ……. ……….……….…... 63

4.2.1 Pemerolehan Data Campur Kode pada Program Acara Request Indonesia……… 63

4.2.2 Pemerolehan Data Campur Kode pada Program Acara Cakep Cakap Pro 2 FM RRI Medan……… 67

(12)

4.2.4 Pemerolehan Data Campur Kode pada Program

Acara Puisi Malam Pro 2 FM RRI Medan …………..… 73

4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyiar dan Pendengar Menggunakan Campur Kode.……… .. 76

4.3.1 Faktor Identifikasi Peran ……… 76

4.3.2 Faktor Menjelaskan dan Menafsirkan ………. 80

4.3.3 Faktor Kebiasaan……… 83

BAB V SIMPULAN DAN SARAN……… 88

5.1 Simpulan ……..………..………..………… 89

5.2 Saran ………….……….... 90

(13)

DAFTAR TABEL

NO Judul hal

1 Pola Program Acara Pro 2 FM RRI Stasiun Medan Tahun 2009 …… 41 2 Campur Kode karena Faktor Identifikasi Peranan (IP) ……… 52 3 Campur Kode karena Faktor Menjelaskan dan Menafsirkan (M) … ……. 55 4 Faktor Campur Kode yang Paling Dominan ……… 58

5 Jumlah Campur Kode ……… 60

6 Frekuensi Jenis Campur Kode pada Program Acara Pro 2 FM RRI Stasiun Medan . ………. 62 7 Frekuensi Dominan Jenis Campur Kode ……… 63 8 Identifikasi Terjadi Campur Kode Program Acara Request Indonesia Pro 2 FM

RRI Medan ……… 65

9 Identifikasi Terjadi Campur Kode Program Acara Cakep Cakap Pro 2 FM RRI Medan ……… ……. 69 10 Identifikasi Terjadi Campur Kode Program Acara Suara Orang Muda Pro 2

FM RRI Medan ……… 72

11 Identifikasi Terjadi Campur Kode Program Acara Puisi Malam Pro 2 FM RRI

Medan ……… ……… 74

12 Jumlah Peristiwa Tutur Campur Kode Empat Program Acara Pro 2 FM RRI

Medan ……… 74

13 Distribusi Respon Penyiar Terhadap Penggunaan Campur Kode Sebagai Wujud

Identifikasi Peran ……… 77

14 Distribusi Respon Pendengar Terhadap Penggunaan Campur Kode Sebagai Wujud Identifikasi Peran ……….……… 79 15 Distribusi Respon Penyiar Terhadap Penggunaan Campur Kode Sebagai Wujud

Menjelaskan dan Menafsirkan ……… 80 16 Distribusi Respon Pendengar Terhadap Penggunaan Campur Kode Sebagai

(14)
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

NO Judul hal

1 Perolehan Data Campur Kode ………. 95

Program Acara Request Indonesia Pro 2 FM RRI Medan...……… 95

Program Acara Cakep Cakap Pro 2 FM RRI Medan……….…… . 97

Program Acara Suara Orang Muda Pro 2 FM RRI Medan……… 99

Program Acara Puisi Malam Pro 2 FM RRI Medan …...……… 100

2 Identifikasi Faktor Campur Kode……… 101

Program Acara Request Indonesia Pro 2 FM RRI Medan...……… 101

Program Acara Cakep Cakap Pro 2 FM RRI Medan……….…… . 103

Program Acara Suara Orang Muda Pro 2 FM RRI Medan……… 105

Program Acara Puisi Malam Pro 2 FM RRI Medan …...……… 106

3 Padanan Arti dan Jumlah Campur Kode ……….. 107

Program Acara Request Indonesia Pro 2 FM RRI Medan...……… 107

Program Acara Cakep Cakap Pro 2 FM RRI Medan……….…… . 109

Program Acara Suara Orang Muda Pro 2 FM RRI Medan……… 111

(16)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

“…” : Kutipan

RRI : Radio Republik Indonesia bJ : Bahasa Jawa

bI : Bahasa Indonesia

CK : Campur Kode

RI : Request Indonesia

CC : Cakep Cakap SOM : Suara Orang Muda PM : Puisi Malam

IP : Identifikasi Peranan

M : Menjelaskan dan Menafsirkan

K : Kebiasaan

L : Leksikal

F : Frasa

(17)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji campur kode pada program acara Pro 2 FM Radio Republik Indonesian (RRI) Stasiun Medan. Peristiwa campur kode timbul sehubungan dengan adanya kontak bahasa.

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan terjadinya campur kode, jenis campur kode,yang dominant, faktor campur kode, serta faktor yang mempengaruhi pengunaan campur kode pada program acara Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Medan. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan metode yang digunakan adalah metode observasi partisipan. Data dalam penelitian ini bersumber pada data lisan yang direkam dan ditranskripsikan dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis komplimentari kombinasi antara dua model Suwito dan Haugen.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa peristiwa tutur pada program acara Pro 2 FM Radio Indonesia Republik Indonesia Stasiun Medan terjadi campur kode, Jenis campur kode secara keseluruhan direalisasikan dan disifatkan secara khusus sebagai berikut: (1) jenis leksikal merupakan yang paling dominan dan (2) kalimat yag terkecil. Campur kode disebabkan oleh beberapa factor, yaitu (1) identifikasi peranan, (2) menggambarkan dan menjelaskan, dan (3) kebiasaan. Kebiasaan merupakan faktor yang paling dominan menyebabkan terjadinya campur kode dan identifikasi peranan yang terkecil.

Berdasarkan temuan-temuan yang ada, dapat dibuktikan bahwa peristiwa campur kode terjadi dalam aktivitas siaran radio antara penyiar dan partisipan.

(18)

ABSTRACT

This study is aimed to describe about the happening of code mixing, the kind of code mixing, the dominant factors and the factors which influence the using of code mixing in Pro 2 FM’s program of Radio Republik Indonesia Medan. The approach is qualitative/quantitative – descriptive in nature, and the method is participants, observational. The data are collected by means of audio recordings and transcription, and analyzed by employing a complementary method of analysis that combines Soweto’s theory and Haugen theory.

The findings reveal that code mixing is happened, the kinds of code mixing as a whole is typically realized and characterized by the following: (1) lexical as the most dominant and (2) sentence as the least dominant. Code mixing is caused by some factors, namely (1) subject, (2) describing and interpreting, and (3) daily routine. Daily routine as the most dominant factors which influence the using of code mixing and subject as the least dominant factors.

Based on the findings, there is a strong evidence that code-mixing is happening in daily activity of radio broadcasting between the announcer and participants..

Key Word: Code Mixing, Subject, Interpreting, Daily Routine

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menyikapi penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya Radio Republik Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan alih kode (ke dialek bahasa daerah) atau menyelipkan istilah-istilah/kata-kata bahasa Inggris, hendaknya kita tidak serta merta menyatakan bahwa tindak berbahasa itu tidak benar dan penuturnya tidak mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar yang cenderung untuk mengangkat prestise-nya dengan cara menggunakan unsur-unsur bahasa selain bahasa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi dalam era globalisasi dan tidak dapat dihindari jika seseorang menguasai dan menggunakan tidak hanya satu bahasa dalam kegiatan sehari-hari.

Seseorang yang memakai dua bahasa atau lebih dalam pergaulannya dengan oranglain, maka dapat dikatakan bahwa seseorang itu berdwibahasa atau bermultibahasa, dalam arti dia melakukan kedwibahasaan atau kemultibahasaan atau keanekabahasaan. Ada sejumlah ilmuwan bahasa berpendapat bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa semacam itu diacu dengan satu istilah, yakni kedwibahasaan atau bilingualisme. Kata bilingualisme secara leksikal berarti penggunaan dua bahasa, seperti pendapat-pendapat para ahli berikut ini.

(20)

pengertian kedwibahasaan semacam ini merujuk pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu (Muin, 2008:45).

Beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwibahasaan, lebih jauh dapat diikuti penjelasannya dalam buku yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, dia menyatakan sebagai berikut:

In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the childhood shift ….. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-like control of two languages. (Bloomfield dalam Muin, 2008:56)

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi ‘native-like control of two

languages’. Namun demikian, penggunaan dua bahasa atau lebih akan melibatkan

latar kontak sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode itu merupakan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich (1968:5,89) menjelaskan sebagai berikut.

(21)

Atas dasar pendapat dari dua ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yakni: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa lain atau asing itu dapat saja muncul dalam tuturan orang tersebut.Penggunaan bahasa yang melibatkan unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa lain dapat ditanggapi lewat dua perspektif: linguistik dan sosiolinguistik/sosiologi bahasa.

Seorang dwibahasawan yang menyampaikan pesan lewat bahasa kepada orang lain, perjalanan pesan itu terhambat oleh dua faktor. Faktor yang pertama adalah beberapa kaidah bahasa yang dikenalnya, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya: mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenal, kaidah bahasa yang lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, kaidah bahasa yang lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah interferensi (Soetomo, 1985).

(22)

bahasa lain. Fenomena interferensi sebenarnya telah banyak dibicarakan orang. Yus Rusyana, misalnya, telah menyusun disertasi dengan mengangkat masalah interferensi morfologi pada tahun 1975. Beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang juga pernah mengadakan penelitian atau menyusun karya tulis dengan mengangkat masalah interferensi, baik interferensi fonemis, morfologis maupun sintaktis.

Yus Rusyana (1975) menyusun disertasi dengan judul Interferensi Morfologi

pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak-anak yang Berbahasa Pertama

Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar Di Daerah Propinsi Jawa Barat. Kajian

interferensi oleh Yus Rusyana ini jelas dilakukan dalam perspektif linguistik, sebab morfologi merupakan salah satu cabang linguistik atas dasar sistem bahasa. Mengapa penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak sekolah dasar itu mendapat “gangguan” dari unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Sunda? Jawabannya adalah bahwa pada taraf belajar bahasa Indonesia, anak-anak itu telah menguasai bahasa pertama (bahasa ibu) bahasa Sunda. Kebiasaan berbahasa Sunda itu telah tertanam kuat dalam diri mereka, sehingga ketika mereka berbahasa dengan bahasa Indonesia dapat saja unsur-unsur (baik fonetis/fonemis, morfologis, sintaktis maupun semantis) dari bahasa Sunda masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia mereka.

(23)

bahasa yang timbul akibat pengaruh bahasa tertentu. Karena seseorang, misalnya, tidak mampu memilih dan memilah kaidah bahasa yang satu dari bahasa yang lainnya, maka tuturannya dengan suatu bahasa akan terkena interferensi dari salah satu kaidah bahasa-(bahasa) yang dikuasainya. Artinya, sejumlah unsur bahasa yang berbeda masuk ke dalam tuturannya dalam bahasa tertentu. Misalnya, ketika anak-anak yang bahasa pertamanya bahasa Sunda berbahasa Indonesia, unsur-unsur bahasa Sunda masuk dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Atau, ketika seseorang berbahasa Inggris, unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Indonesia masuk ke dalam tuturan bahasa Inggris-nya.

Jika masuknya unsur-unsur dari bahasa lain ke tuturan dalam bahasa tertentu dapat ditanggapi dari perspektif linguistik, maka hal itu dikategorikan dalam bentuk kesalahan berbahasa. Titik berat atau fokus perhatian pada kesalahan berbahasa dalam perspektif ilmu bahasa adalah pada bahasa penerima yang mendapat ‘gangguan’ dari bahasa lain. Telaah dengan perspektif ini mengacu pada komponen-komponen bahasa (bunyi, mofem, kata, frasa, kalimat, dan makna).

(24)

yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode (Soetomo, 1985).

Interferensi dan alih kode bahkan campur kode dapat dilihat dari dua contoh kalimat berikut:

(1) Nuwun sewu, saya bisa mengganggu sebentar?

(2) Ulun mencari piyan di kampus kemarin, piyan sudah bulikan.

Andaikan saja, baik kalimat (1) maupun (2) diungkapkan dalam speech act berbahasa Indonesia, maka dengan demikian bahasa Indonesia sang penuturnya mendapat ‘gangguan’ dari bahasa Jawa untuk kalimat (1) dan bahasa Banjar untuk kalimat (2). Ini berarti bahasa Indonesia kedua penutur itu mendapat interferensi dari bahasa Jawa atau Banjar. Jadi, gejala interferensi dapat dilihat dari bahasa penerima (dalam hal ini: bahasa Indonesia). Bila, baik penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar dan bahasa Indonesia dilihat sebagai penggunaan dua bahasa secara berselang-seling, maka berarti ditemukan gejala alih kode atau campur kode.

(25)

akurasinya, dan demikian juga penutur yang kedua. Pendek kata, kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Dengan demikian, ‘penyimpangan’ dalam berbahasa Indonesia itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ia merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut. Jika dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol atau tata lambang, maka ia dapat mengacu tata lambing konstitusi, kognisi, evaluasi dan ekspresi. Tata lambang konstitusi adalah tata lambang yang bertalian dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang menentukan hidup dan kehidupan manusia atau terhadap kekuatan supernatural di luar kekuatan manusia. Tata lambang kognisi adalah tata lambing yang dihasilkan manusia dalam upayanya untuk memperoleh pengetahuan terhadap segala sesuatu di lingkungannya. Tata lambang evaluasi adalah tata lambang yang bertalian dengan nilai baik-buruk, betul-salah, pantas-tak pantas dan sebagainya. Tata lambang eskpresi adalah tata lambang untuk mengungkapkan perasaan atau emosi manusia (Soetomo, 1985).

(26)

pendengar menjadi penyebabnya, yakni penggunaan atau pemilihan dialek tertentu dilakukan untuk memenuhi ‘tuntutan’ pendengarnya..

Bila dilihat dari sudut penyiarnya, mungkin, yang bersangkutan ingin mengkan diri sebagai penutur berprestise tinggi seperti layaknya para selebritis di Jakarta. Dengan menggunakan dialek Betawi, lalu dia berkeyakinan bahwa prestisenya akan naik maka faktor penyebabnya adalah motivasi, yakni motivasi dalam rangka untuk mencapai prestise melalui penggunaan bahasa (dialek) tertentu. Mungkin saja, alih bahasa atau dialek itu disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya, yang berkaitan dengan sosial budaya (hubungan status-peranan sosial, sistem nilai dan sebagainya ) dari masyarakat tertentu. Seorang penyiar yang menyelipkan unsur-unsur dari bahasa daerah, misalnya: santap (bahasa Melayu), dan

mauliate godang, (bahasa Batak) yang memancarkan konotasi hormat, hendaknya

kita pahami sebagai tindak berbahasa yang dilandasi oleh “keharusan sosial-budaya” di mana penutur itu harus berlaku hormat terhadap para pendengar pemilik bahasa itu (faktor sosial budaya).

Di samping masuknya unsur-unsur bahasa asing dan daerah dalam tuturan bahasa Indonesia, telah cukup lama dikenal dan digunakan istilah prokem. Prokem adalah semacam ‘bahasa’ yang biasanya dipakai di lingkungan remaja dan orang-orang luar terkadang sulit memahaminya, sebab dalaam kode (yang berupa prokem) itu tersembunyi “rahasia”. Kata bapak diganti bokap; ibu diganti nyokap. Sejumlah kata-kata diucapkan terbalik: Anak Medan diucapkan kana nadem, pulang menjadi

(27)

jorok bila diperdengarkan. Penyiar kita tak jarang menggunakan istilah-istilah semacam itu dalam kepenyiarannya. Dalam kaitan ini, hal ini dapat dipandang wajar dalam sudut pandang sosiolinguistik karena merupakan fenomena yang tidak bias kita hindari selaku pemakai bahasa yang pastinya juga melakukan kontak dengan pemakai bahasa lain. Sedangkan bila dipandang dari sisi pembakuan bahasa, hal ini mempersulit proses pembakuan bahasa itu sendiri. Para penyiar radio sangat penting peranannya dalam pembinaan bahasa Indonesia, di atas peran keluarga, para guru, khususnya guru bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tindak bahasa (speech act)-nya dapat didengar oleh khalayak yang sangat luas. Dalam kepenyiarannya yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, seorang penyiar radio hendaknya tidak ikut-ikutan untuk menggunakan istilah-istilah atau dialek daerah tertentu yang justru “merusak” bahasa Indonesia, kecuali jika siarannya dilakukan dalam bahasa daerah atau dialek daerah tertentu, atau bahkan dalam bahasa asing.

1.2. Batasan Masalah

(28)

1.3. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut . 1. Bagaimanakah proses campur kode terjadi dalam mata acara yang terdapat pada

Pro 2 FM RRI Medan?

2. Jenis campur kode apakah yang paling dominan dalam siaran Pro 2 FM RRI Medan?

3. Faktor campur kode apakah yang dominan dalam situasi tutur pada siaran Pro 2 FM RRI Medan?

4. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi penyiar dan pendengar menggunakan campur kode dalam tindak tuturnya?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendekskripsikan dan menganalisis: 1. proses terjadinya campur kode dalam siaran Pro 2 FM RRI Medan,

2. jenis campur kode yang paling dominan dalam siaran Pro 2 FM RRI Medan, 3. faktor campur kode yang paling dominan dalam situasi tutur pada siaran Pro FM

RRI Medan, dan

(29)

1.5. Manfaat Penelitian

Pada hakikatnya penelitian dilakukan untuk mendapatkan suatu manfaat. Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis ialah manfaat yang berkaitan dengan pengembangan ilmu, oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang campur kode yang terdapat dalam iklan acara distasiun radio khususnya dan pembaca pada umumnya, serta dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu linguistik khususnya

tentang campur kode. 2. Manfaat Praktis

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Bahasa Dalam Konteks Sosial

Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.

Sementara itu, sebagai fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu bahasa. Hal yang sama berlaku pula bagi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Indonesia lebih-lebih lagi bagi para penutur asing berarti pula mempelajari dan menghayati perilaku dan tata nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

(31)

kelompok sosial. Oleh sebab itu bahasa dan pemakaiannya tidak saja diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatan masyarakat. Dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial.

Di dalam pemakaiannya, bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor non linguistik. Faktor-faktor non linguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa, antara lain ialah faktor sosial dan faktor situsional. Adanya kedua faktor ini dalam pemakaian bahasa menimbulkan variasi bahasa, yaitu bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola umum bahasa induknya.

Setiap penutur mempunyai sifat-sifat yang khas yang tidak dimiliki oleh penutur lain. sifat khas seperti ini disebabkan oleh faktor fisik dan psikis. Sifat-sifat khas yang disebabkan oleh faktor fisik, misalnya karena perbedaan watak dan tempramen, intelegensi dan sikap mental lainnya. Baik sifat khas karena faktor fisik maupun karena faktor psikis mengakibatkan sifat khas pula dalam tuturannya. Sifat khas dalam tuturan seseorang yang berbeda dengan orang lain dikenal dengan istilah idiolek.

(32)

mengetahui berbagai aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat yang bahasannya dipelajari.

Troike (1982 : 25) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif tidak hanya mencakup pengetahuan tentang bahasa, tetapi juga mencakup kemampuan menggunakan bahasa itu sesuai dengan konteks sosial budayanya. Jadi, kompetensi komunikatif itu tidak hanya berisi pengetahuan tentang masalah kegramatikalan suatu ujaran, tetapi juga berisi pengetahuan tentang patut atau tidaknya suatu ujaran itu digunakan menurut status penutur dan pendengar, ruang dan waktu pembicaraan, derajat keformalan, medium yang digunakan, pokok pembicaraan, dan ranah yang melingkupi situasi pembicaraan itu.

Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa faktor-faktor sosial budaya yang menjadi konteks penggunaan bahasa merupakan hal yang perlu diketahui oleh para pembelajar bahasa agar mereka dapat berkomunikasi secara baik dan benar dalam situasi yang sebenarnya.

Bahasa dan konteks sosial (masyarakat/komunitas) dipelajari melalui sosiolingustik. Sosiolingustik merupakan cabang ilmu linguistik bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan obyek penelitian tentang hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.

(33)

2.1.2. Kontak Bahasa dan Kedwibahasaan

2.1.2.1. Kontak Bahasa

Weinreich (1968) menyatakan bahwa dalam penelitian terkini, dua bahasa atau lebih dikatakan mengalami kontak, jika kedua bahasa tersebut digunakan secara bergantian oleh seorang penutur. Praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian ini disebut bilingualisme atau kedwibahasaan, sedangkan orang yang melakukan praktik ini disebut bilingual atau dwibahasawan.

Menurut Apeltauer (2001:17), kedwibahasaan bukanlah suatu keadaan yang statis. Semakin banyak bahasa asing yang telah dipelajari seseorang, semakin besar pula usaha yang harus dilakukan untuk menjaga keterampilan tersebut. Penguasaan dwibahasawan atas lebih dari satu bahasa sebagai hasil dari kontak bahasa dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dari kaidah-kaidah suatu bahasa dalam tuturan dwibahasawan yang disebut sebagai fenomena interferensi .

Those instance of deviation from the norms of either language which occur in the speech of bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact, will be referred to as INTERFERENCE pheonomena.

(34)

Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut saling kontak. Terjadinya peristiwa saling kontak ini karena penutur mampu menguasai dan bahasa atau lebih sehingga di dalam komunikasi dia dapat menggunakan bahasa yang diketahuinya.

Rohmana (2000 : 13) mengambil dari Mackey (1977 : 554) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain baik langsung maupun tidak langsung. Ia membedakan antara kontak bahasa dan kedwibahasaan, yaitu bahwa kontak bahasa cenderung merupakan gejala bahasa, sedangkan kedwibahasaan lebih cenderung kepada gejala tuturan. Hal ini berarti bahwa kedwibahasaan terjadi akibat dari kontak bahasa.

Suwito (1985 : 39) mengemukakan bahwa kontak bahasa terjadi dalam situasi kontak sosial, yaitu situasi dimana seseorang belajar bahasa kedua didalam masyarakatnya. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa kontak bahasa menyebabkan adanya pengaruh terhadap bahasa pertama yang dimiliki dwibahasaan.

Berdasarkan pandangan di atas, jelaslah bahwa kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan bahasa. Peristiwa ini mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam kontak sosialnya. Fenomena semacam ini terjadi pula dalam wujud kedwibahasaan campur kode.

2.1.2.2. Kedwibahasaan

(35)

bergatian. Artinya, Weinrech tidak menekankan pada kemahiran dan kemampuan yang sama baiknya dalam kedua bahasa.

Weinreich (1974:9-10) juga menjelaskan bahwa menurut tingkat kedwibahasaannya, kedwibahasaan terbagi menjadi tiga.

1. Kedudukan Koordinat

Kedwibahasaan koordinat adalah kedwibahasaan yang terbentuk jika seseorang menguasai bahasa atau lebih sebagai suatu sistem yang terpisah. Dalam penggunaannya, kedua bahasa jarang sekali dipertukarkan. Hal ini terjadi karena misalnya bahasa pertama yang dikuasai penutur diperoleh di rumah, sedangkan bahasa kedua dipelajari melalui jalur pendidikan formal. Pada tingkat ini, penurut akan berbicara seperti penutur aslinya karena penggunaan bahasa kedua bukan merupakan suatu terjemahan dari bahasa pertamanya.

2. Kedwibahasaan Majemuk

(36)

3. Kedwibahasaan Subordinat

Kedwibahasaan subordinat adalah kedwibahasaan yang berbentuk apabila seseorang menguasai dua bahasa sebagai suatu sistem yang terpisah, tetapi masih terdapat proes penerjemahan dari bahasa pertama (BI) ke bahasa kedua (B2). Jadi, bagi penutur kedwibahasa subordinat, bahasa kedua digunakan dengan cara menerjemahkan suatu ungkapan dari bahasa pertamanya terlebih dahulu. Kedwibahasaan subordinat banyak ditemukan pada orang-orang yang masih berada dalam tahap belajar kedua khususnya pada tahap belajar bahasa asing di sekolah. Pada tingkat kedwibahasaan ini, seseorang akan mengalami kesulitan dalam menggunakan dan mengerti bahasa kedua karena ia masih dipengaruhi bahasa pertamanya.

2.1.3. Sikap Bahasa

Chaer (1995 : 2000) membagi sikap bahasa atas dua macam yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap non kebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Kedua jenis sikap ini dapat menyangkut keyakinan mengenai bahasa. Dengan demikian, sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara terentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan bahwa sikap terhadap bahasa bisa positif dan bisa negatif.

(37)

masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain (2) kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan bahasana dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat dan (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun ; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatna menggunakan bahasa (language use). Ketiga ciri yang dikemukakan di atas merupakan ciri-ciri positif terhadap bahasa. Sebaliknya, kalau ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melema dari diri seseorang atau diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri orang atau kelompok itu.

Penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa. Fishman, misalnya, mengkaitkan penggunaan bahasa semacam itu dengan Who speaks What language to Whom and

When (1972:244). Sementara Pride dan Holmes mengatakan bahwa speech act yang

terjadi pada masyarakat multilingual akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor non-kebahasaan seperti: partisipan, topik pembicaraan, setting, jalur, suasana dan maksud (1972:35).

(38)

dilakukan oleh partisipan. Pemilihan bahasa berkaitan dengan topik pembicaraan. Artinya, seorang partisipan memilih bahasa tertentu (dari sejumlah bahasa yang dikuasainya) karena topik pembicaraannya lebih tepat diungkapkan lewat bahasa itu. Pemilihan bahasa juga dipengaruhi oleh waktu dan suasana (Fishman menyebut

when) dan setting. (Menurut Pride dan Holmes, setting merujuk pada waktu dan

tempat).

(39)

Dalam perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa ini, fenomena alih kode dilihat dari pemakai bahasa sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Dalam kaitan ini, seseorang yang melakukan alih kode (mungkin berwujud alih bahasa, alih dialek, alih register, alih gaya, alih nada dan sebagainya) bukan berarti dia tidak mampu berbahasa dengan salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya. Bahasa digunakan oleh manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Sebab, ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota masyarakat lain sesuai dengan tata nilai budaya yang menjadi pedoman hidup mereka. Dia “harus” melakukan alih kode lantaran nilai budaya masyarakatnya, misalnya, “menghendaki” hal itu.

2.1.4. Pemilihan Bahasa dan Wujudnya

2.1.4.1.Pemilihan Bahasa

(40)

memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak akan diperlukan dalam sosiolinguistik apabila tidak ada variasi penggunaan bahasa dan pilihan di antara variasi-variasi tersebut.

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang dibayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bJ (bahasa Jawa) dan bI (bahasa Indoesia) harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.

Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bJ berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bJ kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

(41)

Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational

switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena

perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metofora yang melambangkan identitas penutur.

Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Gejala seperti ini cenderung mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

(42)

masyarakat luas. Pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat.

Grosjean (1982 : 136) berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Keempat faktor tersebut adalah (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi. Dia menekannkan beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan empat faktor pemilihan bahasa tersebut. Faktor pemilihan bahasa partisipasi adalah keahlian berbahasa, pilihan bahasa yang dianggap lebih tepat, usia, pendidikan, pekerjaan, latar belakang etnis, keintiman dan sebagainya, aspek yang berhubungan dengan faktor situasi adalah lokasi atau latar, tingkat formalitas serta kehadiran pembicara. Faktor isi wacana adalah topik sementara faktor yang berhubungan dengan fungsi interaksi yaitu menaikkan status, menciptakan jarak sosial, dan memerintah serta melarang.

Menurut Sugiyono (2005 : 49) situasi sosial sangat berperan aktif pula di dalam menentukan pemilihan bahasa dimana, situasi sosial terdiri atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut juga dapat dinyatakan sebagai obyek yang ingin diketahui “apa yang terjadi” didalamnya.

(43)

pembicara dan pendengar merupakan faktor penentu terpenting dalam pemlihan bahasa.

2.1.4.2. Wujud Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (1972) mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di kelurahan, selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar.

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fungsi interaksi seperti penawaran, menyanmpaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

(44)

pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Faktor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikkan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk/ mengeluarkan seseorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.

Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam masyarakat tersebut, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.

(45)

2.2. KONSEP 2.2.1. Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Sobarna (1994 : 28) menyebutkan bahwa alih kode dapat terjadi antar bahasa daerah di dalam suatu bahasa nasional yang disebut alih kode kedalam dan antar bahasa asli (daerah atau Indoensia) dengan bahasa asing yang disebut alih kode keluar.

Fishman (Chaer, 995 : 143) menyebutkan konteks berbahasa dapat mempengaruhi seseorang beralih kode, bergantung pada siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Untuk dapat memahami pendapat di atas dapat di ilustrasikan sebagai berikut : Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelah kuliah dimulai sudah hadir diruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya. Ketika sedang asik bercakap-cakap masuklah Togar, teman kuliah mereka yang berasal dari Tapanuli yang tidak dapat berbahasa Sunda. Togor menyapa mereka dalam bahasa Indonsia, lalu mereka terlibat percakapan dalam bahasa Indonesia. Dari ilustrasi di atas di dalam pengalihan bahasa tercakup dalam peristiwa yang disebut alih kode (Chaer, 1995 140-142).

(46)

penggunaan suatu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan bahasa-bahasa lain (Chaer, 1995 : 203).

Menurut Gumperz (1976) alih kode memiliki beberapa fungsi berikut.

1. Sebagai acuan unsur yang tidak atau kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan, kebanyakan terjadi karena pembicara tidak mengetahuai suatu kata dalam bahasa lain.

2. Berfungsi direktif, dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung, alih kode diarahkan langsung pada pendengar, peserta ujaran dalam percakapan ini dapat berpikir tentang fungsi langsung dari pemilihan bahasa.

3. Berfungsi ekspresif, pembicara menekankan identitas alih kode melalui penggunaan dua bahas adalam wacana yang sama.

4. Berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi dan berfungsi fatik.

5. Berfungsi sebagai metabahasa, dengan pemahaman alih kode digunakan dalam mengulas suatu bahasa baik secara langsung maupun tidak langsung.

6. Berfungsi di dalam humor atau permainan, hal ini sangat berperan di dalam masyarakat bilingual/multilingual.

(47)

memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.

Suwito (1985:72) membagi alih kode menjadi dua, yaitu : 1. alih kode ekstern

bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya, dan

2. alih kode intern

bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.

Lebih lanjut, dalam Suwito (1985) dinyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan alih kode sebagai berikut..

1. Penutur,

seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.

2. Mitra Tutur

mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.

(48)

untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.

4. Pokok Pembicaraan

pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

5. Untuk membangkitkan rasa humor

biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. 6. Untuk sekadar bergengsi

walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.

(49)

Kode menurut Poejosoedarmo (1976 : 3) adalah sistem tutur yang peranan bahasanya mempunyai ciri khas sesuai latar belakang penutur, hubungan penutur dengan lawan bicaranya, dan situasi tutur yang ada. Selanjutnya, kode tutur adalah sistem tutur yang kebahasaannya memiliki ciri-ciri khas dengan penerapannya mencerminkan salah satu keadaan, salah satu komponen tutur seperti latar belakang orang pertama dan orang kedua, situasi bicara dan lawan lain. Kode tutur ini merupakan bahasa atau varian bahasa yang digunakan dalam komunikasi masyarakat (Poejosoedarmo 1976 : 9)

2.2.2. Campur Kode

Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:

(50)

2. campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.

Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. sikap (attitudinal type)

latar belakang sikap penutur, dan 2. kebahasaan(linguistic type)

latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan peranan, ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.

Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.

Beberapa wujud campur kode, 1. penyisipan kata,

2. menyisipan frasa, 3. penyisipan klausa,

4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan

5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

(51)

juga melihat campur kode antara bahasa Indonesia (atau bahasa daerah) dengan bahasa asing (Nababan, 1984 : 32).

Selanjutnya Nababan (1984) menjelaskan bahwa ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalaupun terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal itu disebabkan karena tidak ada istilah atau ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai. Sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing: dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau menggaris bawahi kata/ungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicaraan ingin memerlukan “keterpelajarannya’ atau “kedudukannya”.

Campur Kode (CK) merupakan salah satu aspek dari ketergantungan bahasa dalam masyarakat bilingual/multilingual. Ciri ketergantungan itu ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara fungsi dan peran kebahasaan. Peran menunjukkan siapa yang menggunakan bahasa itu, yang ditandai oleh latar belakang sosial penutur, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan fungsi menunjukkan apa yang hendak dicapai penutur dengan campur kode dan sejauh mana bahasa yang dipakai memberikan peluang untuk bercampur kode.

(52)

dari bahasa lain itu biasanya berupa kata-kata tetapi dapat juga berupa frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005 : 190), campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, dimana pemakaiannya berupa kata, klausa, idiom, sapaan dan sebagainya.

Scotton (1979 : 65) menjelaskan bahwa campur kode sebagai pilihan kode atau bahasa yang berhubungan dengan pemakaian bahasa atau lebih dalam kalimat yang sama atua percakapan. Selanjutnya dikatakan bahwa wujud dari campur kode dapat merupakan pergantian dari kata, frasa, klausa atau kalimat dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain.

Merujuk pada pendapat dari landasan teori di atas, ter bahwa campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi keotonomiannya. Seorang penutur misalnya, yang dalam bahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa lain, termasuk bahasa asing, bisa dilakukan bahwa dia telah melakukan campur kode.

(53)

dalam aktivitas dialog interaktif antara penyiar dengan pendengar dan pada saat penelitian yang sering menggunakan bahasa campuran dalam tuturannya. Dapat disimpulkan bahwa semakin berkurangnya kadar kemampuan dalam menguasai bahasa ibu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya campur kode.

Imawati (1996 ; 26) mengemukakan dua faktor utama sebagai penyebab campur kode yaitu (1) sebagai jawaban atas situasi tutur, misalnya masuk orang ketiga atau adanya pergantian topik pembicaraan, penggunaan frasa tertentu dalam berbagai salam, dan (2) sebagai alat retorik, misalnya penekanan pentingnya kata tertentu dengan jalan menggunakan kata padanan dalam bahasa lain, atau untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dengan mengambil kata-kata dari bahasa lain.

(54)

sebagaimana telah disebutkan di atas umumnya hanya karena kebiasaan tanpa mempunyai tujuan atau sebab yang jelas.

Di dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada penyiar RRI Medan, penulis mengacu kepada tiga faktor yang dikemukakan Suwito, yaitu (1) peranan, (2) ragam, dan (3) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Mengingat bahwa campur kode dalam penelitian ini dibatasi pada campur kode antar bahasa saja, maka faktor ragam tidak dianalisis dalam penelitian ini. Dengan demikian, hanya dua faktor yang dijadikan acuan dalam menganalisis campur kode ini, yaitu 1) peranan, dan (2) keinginan menjelaskan dan menafsirkan. Akan tetapi, tampaknya kedua faktor ini saling bergantung dan tidak jarang tumpang tindih, sehingga sulit untuk menentukan perbedaan antara keduanya secara jelas.

Selain pendapat Suwito di atas, penulis juga mengacu kepada pendapat Haugen (Rohmana, 2000 : 67) yang menekankan pula pada faktor kebiasaan. Penulis berasumsi bahwa apa yang diajukan tersebut sangat relevan dengan apa yang ingin penulis capai dalam penelitian ini. Jadi dalam menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode dalam penelitian ini, penulis membatasi pada tiga faktor-faktor berikut : (1) peranan, (2) keinginan menjelaskan dan menafsirkan dan (3) kebiasaan.

(55)
(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Linguistik memperlakukan bahasa bukan sebagai sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang selalu berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya pemakainya. Oleh sebab itu, pendekatan kepada bahasa dapat dilakukan secara deskriptif (sinkronis), yaitu dengan mempelajari pelbagai aspeknya pada suatu masa tertentu atau secara historis (diakronis), yaitu dengan mempelajari perkembangannya dari waktu ke waktu (Kridalaksana. 2005 : 12).

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan metode gabungan deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif, dimana akan dibuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Metode deskriptif yang dipilih karena data yang diungkapkan benar-benar terjadi pada saat penelitian ini dilakukan dan untuk mendeskripsikan prilaku berbahasa Indonesia para penyiar Pro 2 FM RRI Medan.

Selain itu Surakhmad (1989 : 139) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah metode yang mencoba menggambarkan dan menganalisis data mulai dari tahap pengumpulan, penyusunan data dibarengi dengan analisis dan interprestasi terhadap data-data tersebut.

(57)

ini dilakukan dengan mula-mula mengumpulkan data, mengklasifiasi data lalu merumuskan kaidah-kaidah terhadap keteraturan yang terdapat pada data itu. Pada dasarnya rumusan kaidah terhadap keteraturan yang terdapat pada data itu tidak lain dari pada teori terhadap data itu.

Sugiyono (2005 : 23) menyebutkan bahwa metode kualitatif paling cocok digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data yang diperoleh melalui lapangan, dengan metode kualitatif peneliti melakukan penjelajahan, pengumpulan data selanjutnya diverifikasi.

Sementara Moleong (2000 : 22) menyebutkan bahwa penelitian yang menggunakan kuantitatif adalah penelitian yang melibatkan perhitungan dan angka. Di dalam mengamati interaksi yang terjadi, penulis melaksanakan metode ini dengan cara mengamati, ikut berperan serta dan melakukan wawancara mendalam terhadap mahasiswa. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Sugiyono (2005 : 22-23) bahwa untuk memahami interaksi sosial yang kompleks penelitian dengan metode kualitatif melakukannya dengan cara ikut berperan serta, wawancara yang mendalam terhadap interaksi tersebut sehingga ditemukan pola-pola yang jelas.

3.2 Data dan Sumber Data

(58)

acara yang melibatkan langsung komunikasi verbal antara penyiar dengan pendengar. Kesepuluh program acara tersebut adalah: Request Indonesia, zona musik Medan, sabtu ketawa, Tell me what 2 play, cakep cakap, siaran bareng, puisi malam, suara orang muda, request band Medan, dan café pro 2.

Menurut Chaer (2000 : 134-135) karena bahasa itu dipakai atau digunakan dalam berbagai tindak kegiatan dan kehidupan, maka kiranya objek, topik atau materi yang bisa dijadikan sumber data bisa dijadikan kajian secara umum, misalnya alih kode dan campur kode dalam suatu masyarakat multilingual atau multietnis, interferensi dari suatu bahasa terhadap bahasa lain, dan bilingualisme dalam suatu masyarakat multilingual atau multietnis.

3.3 Situasi Sosial

Menurut Sugiyono (2005 : 49) dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi situasi sosial. Situasi sosial terdiri dari atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin diketahui “apa yang terjadi” didalamnya.

3.3.1 Tempat

(59)

1. Request Indonesia (RI) yang merupakan acara dialog interaktif antara penyiar

dengan pendengar tentang lagu-lagu Indonesia.

2. Cakep cakap (CC) adalah program acara yang melibatkan partisipan dari luar yang diajak bekerja sama untuk melakukan siaran bareng dengan mengadakan dialog interaktif antara penyiar, dan partisipan.

3. Suara orang muda (SOM) adalah program acara yang dikhususkan untuk para remaja dengan topik pembicaraan seputar masalah anak muda terkini dengan teknik dialog interaktif antara penyiar dan pendengar.

4. Puisi Malam (PM) yang merupakan acara pembacaan puisi yang berasal dari pendengar dan meminta tanggapan atau apresiasi dari pendengar tentang puisi yang dibacakan oleh penyiar.

3.3.2. Pelaku

Adapun pelaku di dalam penelitian ini adalah para penyiar dan partisipan dari setiap program acara yang disiarkan.

3.3.3. Aktivitas

Adapun aktivitas atau kegiatan yang diteliti dalam penelitian ini adalah situasi komunikasi yang terjalin antara penyiar, partisipan, dan pendengar pada program acara Request Indonesia, cakep cakap, suara orang muda, dan puisi malam.

(60)
(61)
(62)
(63)

Tabel 1 POLA PROGRAM ACARA PRO 2 FM RRI STASIUN MEDAN TAHUN 2009

Country Pro Tutup

Siaran

Romantic Song Tutup

Siaran

(64)

3.4 Prosedur Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini data yang dikumpul kemudian diadakan pemeriksaan data dari sumber data yang berhubungan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini dengan cara mengamati, merekam, mencatat, mengklasifikasikan dan mengelompokkan data yang diperoleh menurut ciri-ciri dan jenis yang ada kaitannya dan sesuai dengan perumusan masalah dalam penelitian. Moleong (2000) menyatakan bahwa, pengamatan tidak bisa berdiri sendiri, artinya tidak dapat dilakukan tanpa pencatatan datanya. Oleh karena itu selain pengamatan, penulis melakukan pengumpulan data dengan cara merekam serta mencatat data tuturan dimana terjadinya campur kode dalam situasi tutur, mengkan serta mengelompokkan faktor-faktor campur kode dan jenis campur kode yang paling dominan dalam situasi tutur.

3.4.2 Teknik Pengolahan Data

(65)

ketiga adalah menyimpulkan hasil penelitian campur kode pada penyiar Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Medan.

3.4.3 Analisis Data

Metode analisis yang dipakai dalam menganalisis data adalah dengan analisis induktif. Menurut Sugiyono (2005 : 89) analisa data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh selanjutnya dikembangkan. Sementara Djajasudarma (1993 : 13) menyebutkan bahwa data secara induktif yaitu data yang dikaji melalui proses yang berlangsung dari data ke teori.

Berdasarkan teori Djajasudarma (1993 : 58-60) yang menyatakan bahwa metode kajian (analisis) dapat dibedakan antara metode kajian (analisis) padan dan metode kajian (analisis) distribusional. Lebih lanjut Djajasudarma menyatakan bahwa metode kajian padan di dalam penelitian kualtiatif alat penentunya adalah unsur luar bahasa. Metode kajian padan tersebut dapat dibedakan atas : metode padan referensial, metode padan fonetik artikuler, metode padan translasional dengan penentu bahasa atau langue lain, metode padan pragmatis, metode padan ortografi. Metode kajian (analisis) distribusional (Djajasudarma, 1993 : 60-61) adalah metode kajian dengan teknik pemilihan data berdasarkan kategori (kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan.

(66)

pertama dilakukan dengan langkah-langkah; (1) reduksi data yaitu keragaman variasi kode bahasa, pola pilihan bahasa, dan faktor yang menentukan pilihan bahasa, (2) sajian data, dan (3) pengambilan simpulan.

Prosedur kedua dilakukan dengang langkah-langkah; (1) transkripsi data rekaman, (2) Pengelompokan data rekaman dengan catatan yang disusun selama proses perekaman, (3) penafsiran variasi kode bahasa, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa, (4) penyimpulan tentang pilihan bahasa pada peristiwa tutur dalam siaran radio.

(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Penelitian

Berdasarkan data yang dikumpul dan dianalisis maka diperoleh hasil penelitian dari campur kode yang terdapat di Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Medan sebagai berikut.

4.1.1 Proses Campur Kode

Campur kode dibedakan dua macam yaitu campur kode ke dalam (inner-code

mixing) dan campur kode keluar (outer-code mixing). Campur kode ke dalam berupa

(68)

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor kebiasaan mendominasi penyebab terjadinya campur kode pada keempat program acara Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Medan.

Adapun jenis campur kode yang ditemui pada para penyiar dan pendengar keempat program Pro 2 FM RRI Medan adalah peristiwa tutur adalah jenis leksikal, frasa, klausa atau kalimat, dimana jenis leksikal yang berjumal 30 dari 70 peristiwa tutur jenis frasa berjumlah 39 dari 70 peristiwa tutur, dan jenis klausa atau kalimat berjumlah 1 dari 70 peristiwa tutur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jenis campur kode yang paling dominan dari peristiwa tutur yang ditemui pada para penyiar keempat program acara Pro 2 FM RRI Medan adalah jenis leksikal.

Faktor penyebab terjadinya campur kode dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu sikap dan kebahasaan. Ketiga faktor tersebut berupa:

a. peranan, dipengaruhi oleh faktor sosial dan edukasional

b. keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, hal ini dikarenakan untuk turut menandai sikap dan hubungan terhadap kawan bicara atau sebaliknya. c. kebiasaan, dipengaruhi oleh faktor kemudahan komunikasi

Untuk lebih jelasnya tentang deskripsi terjadinya campur kode pada mata acara siaran RRI Stasiun Medan dapat kita lihat dari pembahasan berikut ini.

4.1.2. Jenis Campur Kode yang terjadi dalam siara Pro 2 FM RRI Medan

(69)

kata/leksikal, frasa, klausa atau kalimat dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain, dalam penelitian ini hanya dibatasi dari bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

Pada Lampiran 3 digambarkan bahwa dari 100 peristiwa tutur yang diperoleh sebagai temuan penelitian, penulis menemu kenali ada sebanyak 70 serpihan, baik itu berupa kata/leksikal, frasa, klausa maupun kalimat seperti yang tertera pada tabel berikut :

Tabel 2 Jumlah Campur Kode

No Program Acara Jumlah Campur Kode

1 RI 25

2 CC 25

3 SOM 15

4 PM 5

Jumlah 70

Sumber: Data Primer (diolah), 2009

Berdasarkan hasil temuan penelitian in dapat dipaparkan pula contoh-contoh dari jenis campur kode yang terjadi pada peristiwa tutur pada para penyiar Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Medan.

Hasil temuan penelitian terhadap para penyiar Pro 2 FM RRI Stasiun Medan ditemu kenali contoh dari jenis campuran kode dalam bentuk leksikal (L) adalah sebagai berikut :

1. “Inilah lagu yang paling trend di kalangan orang muda” “Inilah lagu yang paling terkenal di kalangan orang muda” 2. “Lagu ini masuk dalam top ten Indonesia saat ini”

(70)

3. “Siapa teman chatting anda malam ini?” “Siapa teman mengobrol anda malam ini?” 4. “Topik kita hari ini tentang inner beauty”

“Topik kita hari ini tentang kepribadian yang cantik” 5. “Puisi selalu dapat mengchatarsis jiwa para pendengarnya”

“Puisi selalu dapat membersihkan jiwa para pendengarnya”

Adapun contoh jenis campur kode dalam bentuk frasa (F) yang ditemui di dalam penelitian terhadap para penyiar pada program acara Pro 2 FM RRI Stasiun Medan adalah sebagai berikut :

1. “Jangan lupa untuk merewindnya” “jangan lupa untuk memutarnya kembali” 2. “Inilah chat lagu terbaru”

“Inilah daftar lagu terbaru” 3. “Tolong kamu handle dulu

“Tolong kamu kerjakan dulu” 4. “hidupkan lampu on air nya ”

“Hidupkan lampu tanda siar nya” 5. “Live band dari sudut kota Medan”

“Pertunjukan band langsung dari sudut kota Medan”

(71)

Medan. Adapun contoh jenis campur kode dalam bentuk klausa atau kalimat (K) yang ditemui di dalam penelitian yang penulis laksanakan adalah sebagai berikut : 1. “It’s Okay, semua berjalan lancar”

“Tidak apa-apa, semua berjalan lancar” 2. “Sharing bersama teman lainnya”

“Berbagi bersama teman lainnya” 3. “Mereka best couple malam ini ”

“Mereka pasangan serasi malam ini” 4. “Advice anda sangat dibutuhkan saat ini”

“Nasihat anda sangat dibutuhkan saat ini” 5. “Anak muda sangat suka minuman fresh” “Anak muda sangat suka minuman segar”

Berdasarkan paparan di atas tergambar jenis campur kode yang terjadi pada para penyiar di program acara Pro 2 FM Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Medan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini yang mendeskripsikan frekuensi jenis campur kode yang ditemui dalam penelitian ini terhadap para penyiar Pro 2 FM RRI Stasiun Medan, yakni :

Tabel 3. Frekuensi Jenis Campur Kode Pada Program Acara Pro 2 FM

RRI Stasiun Medan

No Prog. Studi CK L F K

Gambar

Tabel 1   POLA PROGRAM ACARA PRO 2 FM RRI STASIUN MEDAN  TAHUN 2009
Tabel 1   POLA PROGRAM ACARA PRO 2 FM RRI STASIUN MEDAN  TAHUN 2009
Tabel 1  POLA PROGRAM ACARA PRO 2 FM RRI STASIUN MEDAN  TAHUN 2009
Tabel 1  POLA PROGRAM ACARA PRO 2 FM RRI STASIUN MEDAN  TAHUN 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data, disimpulkan bahwa: (1) Bentuk campur kode dalam tuturan bahasa Jawa peyiar acara Hello Dangdut (HelDa) radio Wijang Songko FM di

Stasiun Radio Soka Adiswara Jember, agen pengontak bahasa yang mendorong terjadinya campur kode bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia cenderung didominasi oleh

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Campur kode pada bahasa yang digunakan oleh penyiar radio Setiawana 97,2 FM adalah: (a) faktor kebiasaan, (b) faktor lingkungan

Pada tahap ini melaksanakan acara Dinamika Kita yang disiarkan setiap hari Senin-Jum’at pukul 09.00 – 10.00 WIB. Diselenggarakan distudio RRI Purwokerto Pro 1. Seluruh tim kerja

Pada tuturan (1) di atas mengalami campur kode berwujud klausa bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Hal tersebut terlihat dari penggunaan klausa di bimbing oleh

Pada tuturan di atas mengalami campur kode berbentuk baster yang dilakukan penyiar radio musik Radio Most FM Malang. Hal tersebut dikarenakan serpihan yang disisipkan merupakan

1. Bentuk alih kode terjadi pada penyiar radio Jazirah 104,3 FM yakni alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Bengkulu, bahasa Serawai dialek Kaur, dan

Berdasarkan analisis data, disimpulkan bahwa: (1) Bentuk campur kode dalam tuturan bahasa Jawa peyiar acara Hello Dangdut (HelDa) radio Wijang Songko FM di