• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian residu antibiotika dalam susu segar dari beberapa peternakan sapi perah di provinsi Jawa Barat menggunakan metode bioassay

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengujian residu antibiotika dalam susu segar dari beberapa peternakan sapi perah di provinsi Jawa Barat menggunakan metode bioassay"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM SUSU SEGAR DARI

BEBERAPA PETERNAKAN SAPI PERAH DI PROVINSI JAWA BARAT

MENGGUNAKAN METODE BIOASSAY

SITI GUSTI NINGRUM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN

MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTUTUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Various Dairy Farms in West Java Province Using Bioassay Method. Under direction of HADRI LATIF and AGATHA WINNY SANJAYA

The objective of this study was to determine the presence of antibiotic residues in raw milk from various dairy farms in the region of West Java, including Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Bogor, and Cianjur. Five samples were taken from each district (total n = 25) and analyzed using bioassay method. The results showed that none of the 25 raw milk samples contained detectable amounts of beta lactam, tetracyclines, makrolida, and aminoglycosides.

(3)

Beberapa Peternakan Sapi Perah di Wilayah Jawa Barat Menggunakan Metode Bioassay. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan AGATHA WINNY SANJAYA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika dalam susu segar dari berberapa peternakan sapi perah di provinsi Jawa Barat seperti Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Bogor, dan Cianjur. Lima sampel diambil dari tiap kabupaten (total n = 25) dan dianalisa menggunakan metode bioassay. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 25 sampel susu segar tidak mengandung antibiotika dari golongan beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida.

(4)

SITI GUSTI NINGRUM

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN

MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengujian Residu Antibiotika dalam Susu Segar dari Beberapa Peternakan Sapi Perah di Provinsi Jawa Barat Menggunakan Metode Bioassay adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Siti Gusti Ningrum

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

Nama : Siti Gusti Ningrum NIM : B04070066

Disetujui,

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus :

Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. Pembimbing II

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengujian Residu Antibiotika dalam Susu Segar dari Beberapa Peternakan Sapi Perah di Wilayah Jawa Barat Menggunakan Metode Bioassay. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Selama penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan berbagai bantuan baik materi, informasi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. dan Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, M.S selaku pembimbing, serta Dr.Iis Arifiantini, M.Si yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh Denny Widaya Lukman, M.Si, Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati Bachrum Sudarwanto, Ibu drh. Herwin Pisestiyani, M.Si, Ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika M.Si, Bapak drh. Chaerul Basri, M.Epid beserta staf KESMAVET FKH IPB, serta Ibu drh. Nuraini beserta staf Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Redep, Kalimantan Timur pada tanggal 05 Agustus 1989 dari pasangan Achmad Sudjali dan Suparmiasih. Penulis merupakan anak kedua dari empat orang bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Samarinda dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan penulis memilih bidang Kedokteran Hewan.

(10)

DAFTAR ISI

2.5 Dampak Residu Antibiotika pada Konsumen ..………... 8

2.6 Metode Pengujian Residu Antibiotika………... 9

2.6.1 Uji Cepat ……….. 9

2.6.2 Uji Tapis dengan Bioassay ……… 9

2.6.3 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) …………... 11

2.6.4 High Performance Liquid Chromatographic……… 11

(11)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ………..……… 24

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat mutu susu segar ……….. 3

2 Withdrawal timebeberapa jenis antibiotika ……..……… 8

3 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu ... 9

4 Hasil uji residu penisilin ……….. 19

5 Hasil uji residu aminoglikosida ………..………. 20

6 Hasil uji residu tetrasiklin ………...……… 21

7 Hasil uji residu makrolida ………..………. 22

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(14)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Jawa Barat merupakan pemasok susu terbesar dalam skala nasional. Produksi susu segar di Jawa Barat mencapai 239 000 ton per tahun. Jumlah ini setara dengan 41.38% produksi susu nasional (Raharjo 2010). Konsumsi susu di Indonesia pada tahun 2005 adalah 845 743 ton sedangkan konsumsi susu di provinsi Jawa Barat adalah 176 650 ton. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan konsumsi susu di Indonesia menjadi 896 791 ton, begitu pula yang terjadi di Jawa Barat. Konsumsi susu di Jawa Barat meningkat hingga 208 698 ton (Ditjenak 2006).

Peningkatan kondisi kesehatan ternak dan optimalisasi produksi susu dapat dilakukan dengan melakukan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang sapi perah. Antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan di peternakan sapi perah untuk tujuan tersebut. Selain digunakan sebagai agen terapeutik untuk mengobati penyakit dan mencegah terjadinya penyakit, penggunaan antibiotika di peternakan juga bertujuan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor). Sebagai pemacu pertumbuhan, antibiotika tersebut biasanya ditambahkan dalam pakan atau yang disebut dengan feed additive. Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan atau untuk pengobatan dan pencegahan penyakit yang tidak sesuai, dosis yang berlebihan, dan tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal time) dapat menimbulkan residu antibiotika dalam susu yang dihasilkan, termasuk pada produk hasil olahannya. Berdasarkan kenyataan di lapangan, ada peternak yang langsung menjual produksi susu sebelum masa henti obat. Hal ini dapat menyebabkan susu tersebut masih mengandung antibiotika. Keberadaan residu antibiotika pada susu segar perlu mendapat perhatian karena sebagian besar antibiotika tahan terhadap pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa produk olahan susu tetap beresiko mengandung antibiotika meskipun telah mengalami proses pengolahan.

(15)

toksikologis, aspek mikrobiologis, dan aspek imunopatologis. Ditinjau dari aspek teknologi pengolahan susu, keberadaan residu antibiotika dalam susu dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi yang menggunakan mikroba dalam pengolahannya (Lukman 2010).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan residu antibiotika pada produk olahan susu sehingga aman dikonsumsi melalui pengujian secara rutin terhadap keberadaan residu antibiotika pada susu segar. Uji yang umum digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi keberadaaan residu antibiotika dalam susu adalah dengan menggunakan metode bioassay.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan keberadaan residu antibiotika dalam susu segar yang dihasilkan di wilayah Jawa Barat.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya keamanan susu dari bahaya residu antibiotika sebagai upaya untuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.

1.4 Hipotesis

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Susu

Susu adalah cairan yang berasal dari ambing ternak perah yang sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan yang berlaku yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan (BSN 2008). Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman dikonsumsi dan digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011

No. Karakteristik Syarat

1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) minimum 1.0270

2. Kadar lemak minimum 3.0%

3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8% 4. Kadar protein minimum 2.8%

5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan

6. Derajat asam 6 - 7.5 °SH 11. Cemaran logam berbahaya, maksimum:

1. Timbal (Pb) 12. Residu antibiotika (golongan laktam,

tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida) Negatif

13. Uji pemalsuan Negatif

14. Titik beku -0.520 °C s/d -0.560 °C

15. Uji peroksidase Positif

(17)

masyarakat, terutama anak-anak. Foodborne disease bisa disebabkan oleh virus, bakteri, cendawan, dan residu antibiotika (Gustiani 2009).

2.2 Keamanan pangan

Keamanan pangan menuntut tanggung jawab bersama antara pemerintah, konsumen, dan produsen (Sparringa 2006). Masalah keamanan pangan meliputi berbagai aspek mulai dari pangan dihasilkan hingga dikonsumsi. Masyarakat berhak mendapatkan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Pangan dikatakan aman jika tidak ada bahan berbahaya dalam kandungannya. Bahan berbahaya dalam pangan terbagi menjadi tiga, yaitu bahaya biologi (mikroba), bahaya kimia (residu pestisida, residu hormon, residu antibiotika, dan residu atau kontaminan lainnya), dan bahaya fisik (debu, bulu, rambut, rumput, ranting kayu, pecahan kaca).

2.3 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan

Antibiotika sering digunakan dalam peternakan dengan tujuan mengobati dan menghindari penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, terutama infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika juga dipercaya dapat memperbaiki konversi pakan ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Hal ini menyebabkan antibiotika tersebut biasanya ditambahkan dalam makanan sebagai imbuhan pakan atau disebut sebagai antibiotic growth promotors (AGP) (Parakkasi & Effendi 1992). Antibiotika yang banyak dipakai di peternakan antara lain golongan beta laktam (prokain penisilin G, kalium penisilin G), golongan tetrasiklin (tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin), golongan aminoglikosida (gentamisin sulfat, neomisin, dihidrostreptomisin sulfat), dan golongan makrolida (eritromisin, tilosin) (Lastari & Murad 1995).

2.3.1 Penisilin

(18)

intravena, intratracheal, intrauterine, dan intramamary. Melalui peroral, penisilin di dalam lambung mamalia akan mengalami inaktifasi oleh asam lambung sampai 70%. Pada individu tua yang produksi asam lambung sangat menurun, pemberian penisilin dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam proses absorbsinya di duodenum. Melalui intramuskuler, penisilindiserap cukup cepat.

Penyuntikan secara intravena menghasilkan kadar tinggi di dalam plasma darah, yang segera diikuti eliminasi yang cepat pula selama 4-6 jam. Melalui intrauterine, absorbsi penisilin terjadi setelah infusi intrauterine dengan dosis 1.5 juta IU penisilin yang diberikan secara intrauterine. Melalui intramamary, absorbsi penisilin berlangsung secara difusi jaringan lokal (Admin 2007).

Menurut Admin (2007), dalam keadaan normal penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh. Persentase volume distribusi (apparent volume distribution, AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan mudahnya distribusi penisilin ke dalam jaringan. Melalui ginjal penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu mencapai 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi lewat kelenjar susu hanya mencapai 16% dari yang ada di dalam plasma. Hal ini menunjukkan bahwa penisilin lebih banyak dieliminasi dari tubuh melalui ginjal daripada melalui susu.

2.3.2 Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan bakteri gram negatif. Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomicin. Streptomisin merupakan obat pilihan pertama untuk menangani kasus tuberculosis. Namun, aminoglikosida memiliki potensi toksik dan residu pada pangan asal hewan (Riviere & Papich 2009).

(19)

2.3.3 Tetrasiklin

Menurut Mutschler (1991), tetrasiklin merupakan golongan antibiotika berspektrum luas yang bekerja pada semua mikroba yang peka terhadap penisilin, bakteri gram negatif, mikoplasma, leptospira, rikettsia, dan amoeba. Obat ini sering digunakan untuk mengatasi Bruselosis di peternakan sapi perah. Menurut Karlina et al. (2009), dalam plasma darah semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin mampu berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik. Golongan tetrasiklin dapat menembus membran barier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang relatif tinggi. Selain melalui susu, antibiotika ini diekskresikan melalui empedu dan urin.

2.3.4 Makrolida

Makrolida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan hampir semua bakteri gram positif. Jenis antibiotika yang termasuk dalam golongan ini antara lain eritromisin, tilmikosin, tylosin, dan spiramisin. Eritromisin merupakan obat pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma (Mutschler 1991).

Menurut Plumb dan Pharm (1999), makrolida diabsorpsi di usus halus setelah administrasi melalui oral. Beberapa faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitas makrolida antara lain dosis, keasaman gastrointestinal, makanan dalam lambung, dan waktu kosong lambung. Makrolida peka terhadap degradasi asam, sedangkan absorpsi sangat lambat melalui intramuscular atau subkutan pada sapi. Bioavailabilitas makrolida hanya sekitar 40% melalui subkutan dan 65% melalui intramuscular. Makrolida didistribusikan ke seluruh tubuh terutama melalui cairan dan jaringan. Makrolida diekskresikan terutama melalui empedu. Namun, level makrolida sekitar 50% dapat ditemukan dalam susu.

2.4 Residu Antibiotika dalam Susu

(20)

Menurut Rahayu (2010), senyawa yang dimasukkan ke dalam tubuh, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Kecepatan proses biologik tersebut tergantung kepada jenis, bentuk senyawa, cara masuknya, dan metabolisme dari senyawa tersebut. Penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut. Senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh setelah terjadi penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam organ-organ tubuh yang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.

Senyawa-senyawa dalam bentuk murni maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh akan terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, itulah yang disebut dengan residu (Rahayu 2010).

Ambing kaya akan suplai darah terutama dari a. externa pudenda, a.subcutanea abdominis, dan a. perinealis. Rasio volume sirkulasi darah melalui kelenjar susu terhadap volume produksi susu adalah 670:1. Hal ini menunjukkan adanya oportunitas dari obat-obatan yang larut dalam lemak yang secara difusa pasif melalui sirkulasi darah masuk ke dalam susu. Masuknya agen antimikroba ke dalam susu segar tergantung dari pengaruh kimia alami, derajat ionisasi, solubilitas lipid dan tingkat plasma protein binding pada konsentrasi equilibrium yang berhasil menembus barier seluler. Agen antimikroba yang memiliki lipid-soluble, asam atau basa lemah yang tidak terionisasi dan bebas (tidak berikatan dengan protein) dalam plasma mampu melakukan penetrasi ke dalam membran sel, masuk ke dalam susu, dan berdifusi ke dalam cairan transelular (Giguere et al 2006).

(21)

substansi antimikrobial dalam susu seperti residu antibiotika dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Hadirnya residu antibiotika dalam susu dapat diakibatkan oleh tidak diperhatikannya withdrawal time antibiotika tersebut. Withdrawal time dari golongan penisilin, makrolida, tetrasiklin, dan aminoglikosida disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Withdrawal time beberapa jenis antibiotika

No. Jenis antibiotika Withdrawal time

1. Penisilin G 96 jam

2. Eritromisin 36 jam

3. Tetrasiklin 72 jam

4. Streptomisin 48 jam

Sumber: Bishop (2005).

2.5 Dampak Residu Antibiotika pada Konsumen

(22)

Tabel 3 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu (mg/kg)

Jenis antibiotika Batas maksimum residu (mg/kg)

Penisilin 0,1 penggunaannya. Pengujian dengan menggunakan uji cepat digunakan sangat luas hampir di seluruh dunia dalam bentuk test kits. Test kits ini memudahkan pengujian residu antibiotika dalam susu saat pengambilan atau penerimaan di pabrik susu. Uji cepat mampu menguji golongan maupun jenis dari antibiotika tertentu. Namun uji cepat hanya dapat menguji residu antibiotika secara kualitatif. Beberapa jenis uji cepat yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika dalam susu antara lain adalah milkguard beta lactams rapid test kit, chloramphenicol rapid test kit, milk test kit, milk antibiotic analysis test kit, beta star, dan lain-lain.

2.6.2 Uji Tapis dengan Bioassay

(23)

dan relatif tidak mahal. Salah satu metode uji tapis yang umum digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika pada pangan, termasuk susu adalah bioassay.

Bioassay merupakan suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif (BSN 2008). Menurut Eenennaam et al. (1993), sensitifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dengan konsentrasi minimum residu antibiotika yang bisa dideteksi. Limit deteksi bioassay terhadap golongan beta laktam adalah 0.00125 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.00125 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan tetrasiklin adalah 0.03 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu tetrasiklin dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.03 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan aminoglikosida dan makrolida adalah 0.1 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor 01-6366-2000. Hal ini menunjukkan bahwa metode bioassay dapat diandalkan untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan beta laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida.

Menurut Eenennaam et al. (1993), spesifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dari tipe golongan antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri. Bakteri tersebut adalah Bacillus stearothermophilus ATCC 7953 untuk golongan beta laktam, Bacillus cereus ATCC 11778 untuk golongan tetrasiklin, Bacillus subtilis ATCC 6633 untuk golongan aminoglikosida, dan Kocuria rizophila ATCC 9341 untuk golongan makrolida. Bakteri-bakteri ini digunakan karena kemampuannya untuk melakukan pertumbuhan yang cepat pada suhu optimum sehingga memungkinkan untuk memperoleh hasil analisis dalam waktu beberapa jam saja. Sporanya dapat disimpan dalam waktu cukup lama sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu (Pikkemat et al. 2009).

(24)

2.6.3 Enzyme Linked Immunosorbent Assay

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu metode yang sangat banyak digunakan pada beberapa tahun terakhir. Metode ELISA dapat digunakan untuk menguji puluhan sampel dalam sekali pengujian dengan waktu yang singkat. Hingga saat ini, ELISA telah menjadi metode yang popular untuk mendeteksi residu antibiotika dan residu pestisida dalam pangan asal hewan karena memiliki sensitivitas yang tinggi, sederhana, dan kemampuan untuk menguji banyak sampel hanya dengan volume yang sedikit (Wang et al 2009).

2.6.4 High Performance Liquid Chromatographic

(25)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2009. Pengambilan sampel susu dilakukan di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), jalan Pemuda no. 29A Kotamadya Bogor, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, tabung sentrifus, labu ukur, gelas ukur, erlenmeyer, botol timbang, pipet volumetric, pipet graduasi, botol media, pengocok tabung, sentrifus, penangas air, lemari steril, homogenizer, autoklaf, lemari pendingin, freezer, timbangan analitik, inkubator, magnet pengaduk, pH meter, pipet mikro, jangka sorong, burner, ose, pinset, dan gunting. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah susu segar, media agar (yeast ekstract, peptone, bacto agar, dextrose, beef extract, glucose), media cair heart infusion broth, larutan buffer (KH2PO4,

Na2HPO4, H3PO4, NaOH, K2HPO4, HCl, NaCl), mikroorganisme (spora

Bacillus stearothermophilus ATCC 7953, spora Bacillus cereus ATCC 11778, spora Bacillus subtillis ATCC 6633, vegetatif Kocuria rizophila ATCC 9341), larutan baku pembanding (natrium penisilin, oksitetrasiklin hidroklorida, kanamisin sulfat, tilosin-tartrat), dan kertas cakram.

3.3 Metode Penelitian

Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada susu secara bioassay yang mengacu pada SNI No. 7424:2008.

3.3.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel

(26)

Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur). Lima sampel diambil dari masing-masing kabupaten kemudian dibawa ke laboratorium dalam cooling box.

3.3.2 Persiapan Uji dan Pengujian Sampel

Pemeriksaan residu antibiotika dalam susu dilakukan dengan metode uji tapis secara bioassay yang ditujukan terhadap empat golongan antibiotika, yaitu tetrasiklin, makrolida, aminoglikosida, dan penisilin. Secara umum, tahapan pengujian residu antibiotika dalam susu dengan metode ini yaitu sampel susu yang telah dihomogenisasi diteteskan pada kertas cakram lalu kertas cakram tersebut ditempelkan di atas permukaan media agar yang telah dicampur dengan biakan bakteri uji dan diinkubasikan pada suhu tertentu (tergantung jenis antibiotika yang akan diuji) selama 16-18 jam. Contoh susu dinyatakan positif mengandung residu antibiotika bila terbentuk zona hambatan di sekitar kertas cakram.

3.3.2.4 Persiapan Uji

3.3.2.1.1 Analisa Residu Golongan Penisilin

Persiapan Media Agar

Sebanyak 5 gram peptone, 12 gram yeast extract, 15-18 gram bacto agar, dan 1 gram dextrose dilarutkan dalam 1000 ml aquadest (pH 5.7 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media

(27)

diambil supernatannya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai suspensi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media

Bakteri Bacillus subtillis ATCC 6633 diinokulasikan ke dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 36 oC selama 1 minggu. Bakteri yang telah ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis steril 20 ml sebanyak 4 tabung. Larutan tersebut dipanaskan dalam penangas air pada suhu 65 oC selama 30 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Kemudian ditambahkan larutan NaCl fisiologis steril secukupnya lalu dikocok. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam refrigerator dengan suhu 4-8 oC selama 18-24 jam. Larutan tersebut dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65oC selama 30 menit. Kemudian, disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

3.3.2.1.3 Analisa Residu Golongan Tetrasiklin

Persiapan Media Agar

Sebanyak 6 gram peptone, 1.5 gram beef extract, 3 gram yeast extract, 15-18 gram bacto agar, dan 1.35 gram KH2PO4 dilarutkan dalam 1000 ml

aquadest (pH 5.7 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media

(28)

3000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Kemudian ditambahkan larutan NaCl fisiologis steril secukupnya lalu dikocok. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam refrigerator dengan suhu 4-8 oC selama 18-24 jam. Larutan tersebut dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65 oC selama 30 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

3.3.2.1.4 Analisa Residu Golongan Makrolida

Persiapan Media Agar

Sebanyak 6 gram peptone, 1.5 gram beef extract, 3 gram yeast extract, 1 gram glucose, dan 15-18 gram bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquadest (pH 8.5 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media

Bakteri Kocuria rizophillia ATCC 9341 diinokulasikan ke dalam agar miring dan diinkubasi pada suhu 18-24 jam. Sebanyak 1 ose kuman biakan Kocuria rizophillia ATCC 9341 diambil, kemudian dimasukkan ke dalam 10 ml media Heart Infusion Broth (HIB). Kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam dalam inkubator dengan suhu 36 oC. Kuman siap digunakan untuk pengujian.

3.3.2.5 Persiapan Larutan Dapar

Sebanyak 6 gram KH2PO4 dan 18.9 gram Na2HPO4 dilarutkan dalam

1000 ml aquadest lalu larutan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

3.3.2.6 Persiapan Larutan Baku

Penisilin

(29)

Larutan baku konsentrasi 1000 IU/ml

Konsentrasi menjadi 0.01 IU/ml (sebagai larutan standar)

Tetrasiklin (Oksitetrasiklin), Aminoglikosida (Kanamisin), dan Makrolida (Tilosin)

Pengenceran larutan baku dibuat dengan larutan dapar hingga konsentrasi 1.0 g/ml.

Larutan baku konsentrasi 1000 g/ml.

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar Konsentrasi menjadi 100 g/ml.

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar Konsentrasi menjadi 10 g/ml.

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar

Konsentrasi menjadi 1.0 g/ml (sebagai larutan standar)

3.3.2.4 Cara Pengujian Sampel Susu

(30)

mendapatkan data yang akurat maka pengujian sampel dilakukan dengan tiga kali pengulangan sehingga setiap jenis golongan antibiotika menggunakan tiga cawan petri.

Hasil uji ditentukan dengan mengamati dan mengukur diameter zona hambatan yang terbentuk di sekeliling kertas cakram menggunakan jangka sorong. Apabila di sekitar kertas cakram terdapat zona hambatan maka susu yang diperiksa dinyatakan positif mengandung antibiotika, namun apabila di sekitar kertas cakram tidak terdapat zona hambatan maka susu yang diperiksa dinyatakan negatif mengandung residu antibiotika. Konsentrasi antibiotika yang berada dalam sampel dapat ditentukan secara semi kuantitatif. Semakin luas zona hambatan di sekitar kertas indikator maka semakin tinggi konsentrasi residu antibiotika dalam sampel. Berikut adalah salah satu gambar hasil pengujian residu antibiotika pada sampel (Gambar 1).

Gambar 1 Contoh hasil uji residu antibiotika menggunakan metode bioassay. Sampel 1 (1), sampel 2 (2), sampel 3 (3), kontrol positif (4), dan kontrol negatif (5)

2

5

3

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat yang sehat dan produktif dapat terwujud melalui perlindungan dan jaminan keamanan produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk menjamin keamanan pangan dapat dilakukan melalui pengawasan higiene dan sanitasi serta pengendalian residu antibiotika dalam susu segar. Implementasi Good Farming Practices (GFM) dan pengawasan keamanan susu segar melalui pengujian residu antibiotika diharapkan dapat menurunkan kejadian residu antibiotika dalam susu.

Antibiotika yang digunakan pada peternakan sapi perah beresiko menjadi penyebab terjadinya residu antibiotika (Pikkemaat et al. 2009). Diperlukan perhatian khusus pada pengobatan dengan antibiotika selama sapi laktasi untuk meminimalkan resiko antibiotika memasuki rantai makanan. Salah satu cara untuk memonitoring adanya antibiotika dalam produk pangan termasuk susu segar adalah dengan melakukan uji residu antibiotika pada susu segar secara rutin.

Saat ini terdapat banyak jenis uji yang akurat untuk mendeteksi residu antibiotika dalam susu. Menurut Eenennaam et al. (1993), peternak sapi perah sebaiknya membuat program pencegahan residu antibiotika dengan melakukan uji tapis terhadap keberadaan residu antibiotika dalam susu. Harapannya, dengan program ini mampu menurunkan kejadian residu antibiotika dalam pangan asal hewan. Dalam menjalankan program monitoring yang efektif diperlukan metode analisis spesifik, sensitif, dan dapat diandalkan yang dapat mendeteksi residu antibiotika.

Pada penelitian ini, pengujian residu antibiotika pada sampel susu segar dilakukan dengan menggunakan metode bioassay berdasarkan golongan antibiotika yaitu beta laktam (penisilin), aminoglikosida, tetrasiklin, dan makrolida.

4.1 Residu Penisilin dalam Susu

(32)

Tabel 4 Hasil uji residu penisilin

No. Asal sampel

Hasil pengujian residu penisilin

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Berdasarkan hasil pengujian, tidak ditemukan residu penisilin dari 25 sampel susu yang diambil dari daerah Bandung, Sumedang, Bogor, Cianjur, dan Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pada media agar pada uji bioassay. Menurut Eenennaam et al. (1993), spesifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dari tipe golongan antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri (Bacillus stearothermophilus untuk golongan beta laktam) pada media agar. Limit deteksi bioassay terhadap golongan beta laktam adalah 0.00125 ppm. Limit deteksi ini masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor 01-6366-2000 tentang batas cemaran dan residu antibiotika (0.1 ppm). Hal ini menunjukkan bahwa metode bioassay dapat diandalkan untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan beta laktam, khususnya grup penisilin.

Menurut Admin (2007), dalam keadaan normal penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan tubuh. Persentase volume disribusi (apparent volume distribution, AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan mudahnya didistribusi penisilin ke dalam jaringan, begitu pula dengan proses ekskresinya. Melalui ginjal, penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu mencapai 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi lewat kelenjar susu hanya mencapai 16% dari yang ada di dalam plasma. Hal ini menunjukkan bahwa penisilin lebih banyak dieliminasi dari tubuh melalui ginjal daripada melalui susu.

(33)

memerah susu. Dengan memperhatikan masa henti obat penisilin dapat menghindari residu penisilin dalam susu segar.

4.2 Residu Aminoglikosida dalam Susu

Pada penelitian ini, susu segar yang diambil secara acak pada beberapa kabupaten di wilayah Jawa Barat diuji terhadap residu aminoglikosida. Hasil pengujian residu aminoglikosida dari 25 sampel susu segar disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji residu aminoglikosida

No. Asal sampel

Hasil pengujian residu aminoglikosida

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Tidak ditemukan adanya residu aminoglikosida dari 25 sampel susu segar di wilayah Jawa Barat (Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Tasikmalaya) yang diuji dengan menggunakan bioassay. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis pada media agar yang digunakan pada metode ini untuk golongan aminoglikosida. Limit deteksi bioassay terhadap golongan aminoglikosida adalah 0.1 ppm sedangkan batas maksimum residu aminoglikosida adalah 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih setara dengan batas maksimum residu aminoglikosida yang diperbolehkan di Indonesia. Hal ini menunjukkan metode bioassay dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika golongan aminoglikosida pada susu segar.

(34)

tuberculosis. Namun, aminoglikosida memiliki potensi toksik dan residu pada pangan asal hewan (Riviere 2009).

4.3 Residu Tetrasiklin dalam Susu

Pada penelitian ini, susu segar yang diambil secara acak pada beberapa kabupaten di wilayah Jawa Barat diuji terhadap residu tetrasiklin. Hasil pengujian residu tetrasiklin terhadap 25 sampel susu segar disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji residu tetrasiklin

No. Asal sampel

Hasil pengujian residu tetrasiklin

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Hasil pengujian sampel pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan residu tetrasiklin dari 25 sampel susu yang diambil dari Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus cereus pada media agar. Limit deteksi bioassay terhadap golongan tetrasiklin adalah 0.03 ppm. Limit deteksi ini masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor 01-6366-2000 tentang batas cemaran dan residu antibiotika (0.05 ppm). Hal ini menunjukkan bahwa metode bioassay dapat digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan tetrasiklin pada susu segar.

4.4 Residu Makrolida dalam Susu

(35)

Tabel 7 Hasil uji residu makrolida

No. Asal sampel

Hasil pengujian residu makrolida

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Tidak ditemukan adanya residu aminoglikosida dari 25 sampel susu segar di wilayah Jawa Barat (Bandung, Sumedang, Bogor, Cianjur, dan Tasikmalaya) pada penelitian dengan menggunakan uji bioassay. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya hambatan pertumbuhan bakteri Kocuria rizophila pada media agar yang digunakan pada metode ini untuk golongan makrolida. Limit deteksi bioassay terhadap golongan makrolida adalah 0.1 ppm sedangkan batas maksimum residu makrolida adalah 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih setara dengan batas maksimum residu makrolida yang diperbolehkan di Indonesia. Hal ini menunjukkan metode bioassay dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika golongan makrolida pada susu segar.

Makrolida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan hampir semua bakteri gram positif. Jenis antibiotika yang termasuk dalam golongan ini adalah eritromisin, tilmikosin, tylosin, dan spiramisin. Eritromisin merupakan obat pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma (Mutschler 1991).

Menurut Mamani (2009), metode uji tapis (screening test) ini hanya dapat mengetahui ada atau tidaknya kandungan residu antibiotika berdasarkan golongan antibiotikanya. Meskipun demikian, bioassay merupakan metode yang sangat berguna untuk screening awal sejumlah besar sampel. Batas bawah limit deteksi bioassay masih di bawah atau setara dengan batas maksimum residu yang ditetapkan SNI nomor 01-6366-2000 untuk golongan penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida.

(36)

Tidak ditemukannya residu antibiotika dari golongan penisilin, aminoglikosida, tetrasiklin, dan makrolida pada seluruh sampel yang diuji kemungkinan disebabkan oleh penggunaan obat-obat ini secara tepat dengan memperhatikan waktu henti obat. Susu yang diperah sebelum masa henti obat terakhir tidak dicampur dan dijual bersama dengan susu dari sapi yang tidak dalam pengobatan dengan antibiotika tersebut. Menurut Martaleni (2007), waktu henti obat harus menjadi acuan bagi peternak untuk memerah susu. Dengan memperhatikan waktu henti obat, keberadaan residu antibiotika dalam susu segar dapat dihindari.

Kemungkinan lainnya adalah konsentrasi residu antibiotika pada sampel berada di bawah limit deteksi uji, yaitu kurang dari 0.00125 ppm untuk penisilin, 0.03 ppm untuk tetrasiklin, dan 0.1 ppm untuk aminoglikosida dan makrolida, sehingga tidak ditemukan residu antibiotika pada sampel dalam penelitian ini. Meskipun demikian, terkait dengan SNI No. 01-6366-2000 tentang batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Pemerintah menetapkan batas maksimum residu antibiotika dalam pangan asal hewan khususnya susu dengan batas maksimum residu untuk penisilin, aminoglikosida, tetrasiklin, dan makrolida berturut-turut yaitu 0.1 ppm, 0.1 ppm, 0.05 ppm, dan 0.1 ppm. Pada pengujian ini, limit deteksi masih dibawah atau setara dengan batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan pemerintah.

(37)

5.1 Simpulan

1. Tidak ditemukan adanya residu antibiotika dari golongan beta laktam, makrolida, tetrasiklin, dan aminoglikosida dalam sampel susu yang diperoleh dari peternakan sapi perah di wilayah Jawa Barat.

2. Bioassay dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan beta laktam, makrolida, tetrasiklin, dan aminoglikosida pada susu segar.

5.2 Saran

1. Untuk mengetahui prevalensi residu antibiotika pada susu segar di wilayah Jawa Barat maka perlu adanya perhitungan jumlah sampel yang sesuai dengan hasil surveilan sebelumnya.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Adams R, ed. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. Lowa: Lowa State University Press.

Admin. 2007. Penisilin dan penggunaannya dalam dunia veteriner. http://www.vet-indo.com [18 Februari 2011].

Bayarski Y. 2006. Macrolide antibiotics uses, side effects, advantages and aisadvantages. http://ezinearticles.com/?Macrolide-Antibiotics-Uses,-Side-Effects,-Advantages-And-Disadvantages&id=395138 [24 Februari 2010].

Bishop MY, ed. 2005. The Veterinary Formula. Ed ke-6. Cambridge: Great Britain University Press.

[BPMPP] Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. 2010. Laporan hasil pengujian residu antibiotika dalam produk peternakan tahun 2010. Bogor: BPMPP.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI No. 01-6366-2000 tentangBatas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI No. 7424:2008 tentang Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu secara Bioassay. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI No. 3141.1:2011 tentang Susu Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan Edisi 2006. Jakarta: CV. Arena Seni.

Eenennaam ALV, Cullor JS, Peran VL, Gardner A, Smith WL, Dellinoer J, Outerbocks WM. 1993. Evaluation of milk antibiotic residue screening tests in cattle with naturally occurring clinical mastitis. Dairy Sci 76: 3041-3053.

Giguere S, Prescott JF, Baggot JD, Walker RD, Dawling PM. 2006. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine, 4th Ed. USA: Blackwell Publishing.

Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Litbang Pertanian 28(3): 96-100.

Hidayat A. 2010. Manajemen Kesehatan Pemerahan. Bandung: Dinas Peternakan Jawa Barat.

(39)

Jamarun N. 1988. Ternak Lingkungan. Padang: Departemen Pendidikan Kebudayaan Pusat Penilitian Universitas Andalas.

Karlina, Siagian RI, Wijaya A. 2009. Farmakokinetika klinik tetrasiklin. http://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/farmakokinetika-klinik-tetrasiklin [20 Februari 2011].

Katzung BG. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC : Jakarta.

Lastari P, Murad J. 1995. Residu antibiotika dalam air susu sapi dan peternakan di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 103:15-18.

Lukman, DW. 2010. Residu antibiotika dalam pangan asal hewan. http://Penelitian Kesehatan Masyarakat Veteriner/residu-antibiotik-dalam-pangan-asal_16.html [16 Juli 2010].

Mamani MCV, Reyes FGR, Rath S. 2009. Multiresidue determination of tetracyclines, sulphonamides and chloramphenicol in bovine milk using HPLC-DAD. FoodChem117: 545-552.

Martaleni. 2007. Deteksi residu antibiotika pada karkas, organ, dan kaki ayam pedaging yang diperoleh dari pasar tradisional Kabupaten Tanggerang [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB.

Olson J. 2003. Clinical Pharmacology Made Ridiculously Simple. Jakarta: EGC.

Parakkasi A, Effendi A.1992. Higiene dan Penyakit Ternak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Pikkemat MG, Rapallini MLBA, Dijk SOV, Elferink JWA. 2009. Comparison of three microbial screening methods for antibiotics using routine monitoring samples. Anal Chim Acta 637: 298-304.

Plumb DC, Pharm D. 1999. Veterinary Drug Handbook, Third Edition. Lowa: Lowa State University Press.

Raharjo B. 2010. Jawa Barat pemasok susu terbesar nasional. Republika. http://www.republika.co.id [26 Mei 2011].

Rahayu ID. 2010. Prinsip pengobatan pada ternak. http://imbang.staf.umm.ac.id [3 Februari 2011].

Riviere JE, Papich MG. 2009. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, Ninth Edition. USA: Wiley Blackwell.

Sparringa RA. 2006. Direktori Keamanan Pangan Indonesia. Jakarta: Direktorat SPKP, Deputi III, Badan POM RI.

(40)

Wehr M, Frank JF. 2004. Standard Methods for The Examination of Dairy Products. Washington: American Public Health Association.

Wiryosuhanto. 1990. Tinjauan penggunaan antibiotika di Indonesia saat ini dan yang akan datang. [Makalah] Di dalam: Seminar Nasional Penggunaan Antibiotika dalam Bidang Kedokteran Hewan.

(41)

Various Dairy Farms in West Java Province Using Bioassay Method. Under direction of HADRI LATIF and AGATHA WINNY SANJAYA

The objective of this study was to determine the presence of antibiotic residues in raw milk from various dairy farms in the region of West Java, including Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Bogor, and Cianjur. Five samples were taken from each district (total n = 25) and analyzed using bioassay method. The results showed that none of the 25 raw milk samples contained detectable amounts of beta lactam, tetracyclines, makrolida, and aminoglycosides.

(42)

Beberapa Peternakan Sapi Perah di Wilayah Jawa Barat Menggunakan Metode Bioassay. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan AGATHA WINNY SANJAYA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika dalam susu segar dari berberapa peternakan sapi perah di provinsi Jawa Barat seperti Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Bogor, dan Cianjur. Lima sampel diambil dari tiap kabupaten (total n = 25) dan dianalisa menggunakan metode bioassay. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 25 sampel susu segar tidak mengandung antibiotika dari golongan beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida.

(43)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Jawa Barat merupakan pemasok susu terbesar dalam skala nasional. Produksi susu segar di Jawa Barat mencapai 239 000 ton per tahun. Jumlah ini setara dengan 41.38% produksi susu nasional (Raharjo 2010). Konsumsi susu di Indonesia pada tahun 2005 adalah 845 743 ton sedangkan konsumsi susu di provinsi Jawa Barat adalah 176 650 ton. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan konsumsi susu di Indonesia menjadi 896 791 ton, begitu pula yang terjadi di Jawa Barat. Konsumsi susu di Jawa Barat meningkat hingga 208 698 ton (Ditjenak 2006).

Peningkatan kondisi kesehatan ternak dan optimalisasi produksi susu dapat dilakukan dengan melakukan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang sapi perah. Antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan di peternakan sapi perah untuk tujuan tersebut. Selain digunakan sebagai agen terapeutik untuk mengobati penyakit dan mencegah terjadinya penyakit, penggunaan antibiotika di peternakan juga bertujuan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor). Sebagai pemacu pertumbuhan, antibiotika tersebut biasanya ditambahkan dalam pakan atau yang disebut dengan feed additive. Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan atau untuk pengobatan dan pencegahan penyakit yang tidak sesuai, dosis yang berlebihan, dan tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal time) dapat menimbulkan residu antibiotika dalam susu yang dihasilkan, termasuk pada produk hasil olahannya. Berdasarkan kenyataan di lapangan, ada peternak yang langsung menjual produksi susu sebelum masa henti obat. Hal ini dapat menyebabkan susu tersebut masih mengandung antibiotika. Keberadaan residu antibiotika pada susu segar perlu mendapat perhatian karena sebagian besar antibiotika tahan terhadap pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa produk olahan susu tetap beresiko mengandung antibiotika meskipun telah mengalami proses pengolahan.

(44)

toksikologis, aspek mikrobiologis, dan aspek imunopatologis. Ditinjau dari aspek teknologi pengolahan susu, keberadaan residu antibiotika dalam susu dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi yang menggunakan mikroba dalam pengolahannya (Lukman 2010).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan residu antibiotika pada produk olahan susu sehingga aman dikonsumsi melalui pengujian secara rutin terhadap keberadaan residu antibiotika pada susu segar. Uji yang umum digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi keberadaaan residu antibiotika dalam susu adalah dengan menggunakan metode bioassay.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan keberadaan residu antibiotika dalam susu segar yang dihasilkan di wilayah Jawa Barat.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya keamanan susu dari bahaya residu antibiotika sebagai upaya untuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.

1.4 Hipotesis

(45)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Susu

Susu adalah cairan yang berasal dari ambing ternak perah yang sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan yang berlaku yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan (BSN 2008). Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman dikonsumsi dan digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011

No. Karakteristik Syarat

1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) minimum 1.0270

2. Kadar lemak minimum 3.0%

3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8% 4. Kadar protein minimum 2.8%

5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan

6. Derajat asam 6 - 7.5 °SH 11. Cemaran logam berbahaya, maksimum:

1. Timbal (Pb) 12. Residu antibiotika (golongan laktam,

tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida) Negatif

13. Uji pemalsuan Negatif

14. Titik beku -0.520 °C s/d -0.560 °C

15. Uji peroksidase Positif

(46)

masyarakat, terutama anak-anak. Foodborne disease bisa disebabkan oleh virus, bakteri, cendawan, dan residu antibiotika (Gustiani 2009).

2.2 Keamanan pangan

Keamanan pangan menuntut tanggung jawab bersama antara pemerintah, konsumen, dan produsen (Sparringa 2006). Masalah keamanan pangan meliputi berbagai aspek mulai dari pangan dihasilkan hingga dikonsumsi. Masyarakat berhak mendapatkan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Pangan dikatakan aman jika tidak ada bahan berbahaya dalam kandungannya. Bahan berbahaya dalam pangan terbagi menjadi tiga, yaitu bahaya biologi (mikroba), bahaya kimia (residu pestisida, residu hormon, residu antibiotika, dan residu atau kontaminan lainnya), dan bahaya fisik (debu, bulu, rambut, rumput, ranting kayu, pecahan kaca).

2.3 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan

Antibiotika sering digunakan dalam peternakan dengan tujuan mengobati dan menghindari penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, terutama infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika juga dipercaya dapat memperbaiki konversi pakan ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Hal ini menyebabkan antibiotika tersebut biasanya ditambahkan dalam makanan sebagai imbuhan pakan atau disebut sebagai antibiotic growth promotors (AGP) (Parakkasi & Effendi 1992). Antibiotika yang banyak dipakai di peternakan antara lain golongan beta laktam (prokain penisilin G, kalium penisilin G), golongan tetrasiklin (tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin), golongan aminoglikosida (gentamisin sulfat, neomisin, dihidrostreptomisin sulfat), dan golongan makrolida (eritromisin, tilosin) (Lastari & Murad 1995).

2.3.1 Penisilin

(47)

intravena, intratracheal, intrauterine, dan intramamary. Melalui peroral, penisilin di dalam lambung mamalia akan mengalami inaktifasi oleh asam lambung sampai 70%. Pada individu tua yang produksi asam lambung sangat menurun, pemberian penisilin dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam proses absorbsinya di duodenum. Melalui intramuskuler, penisilindiserap cukup cepat.

Penyuntikan secara intravena menghasilkan kadar tinggi di dalam plasma darah, yang segera diikuti eliminasi yang cepat pula selama 4-6 jam. Melalui intrauterine, absorbsi penisilin terjadi setelah infusi intrauterine dengan dosis 1.5 juta IU penisilin yang diberikan secara intrauterine. Melalui intramamary, absorbsi penisilin berlangsung secara difusi jaringan lokal (Admin 2007).

Menurut Admin (2007), dalam keadaan normal penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh. Persentase volume distribusi (apparent volume distribution, AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan mudahnya distribusi penisilin ke dalam jaringan. Melalui ginjal penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu mencapai 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi lewat kelenjar susu hanya mencapai 16% dari yang ada di dalam plasma. Hal ini menunjukkan bahwa penisilin lebih banyak dieliminasi dari tubuh melalui ginjal daripada melalui susu.

2.3.2 Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan bakteri gram negatif. Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomicin. Streptomisin merupakan obat pilihan pertama untuk menangani kasus tuberculosis. Namun, aminoglikosida memiliki potensi toksik dan residu pada pangan asal hewan (Riviere & Papich 2009).

(48)

2.3.3 Tetrasiklin

Menurut Mutschler (1991), tetrasiklin merupakan golongan antibiotika berspektrum luas yang bekerja pada semua mikroba yang peka terhadap penisilin, bakteri gram negatif, mikoplasma, leptospira, rikettsia, dan amoeba. Obat ini sering digunakan untuk mengatasi Bruselosis di peternakan sapi perah. Menurut Karlina et al. (2009), dalam plasma darah semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin mampu berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik. Golongan tetrasiklin dapat menembus membran barier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang relatif tinggi. Selain melalui susu, antibiotika ini diekskresikan melalui empedu dan urin.

2.3.4 Makrolida

Makrolida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan hampir semua bakteri gram positif. Jenis antibiotika yang termasuk dalam golongan ini antara lain eritromisin, tilmikosin, tylosin, dan spiramisin. Eritromisin merupakan obat pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma (Mutschler 1991).

Menurut Plumb dan Pharm (1999), makrolida diabsorpsi di usus halus setelah administrasi melalui oral. Beberapa faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitas makrolida antara lain dosis, keasaman gastrointestinal, makanan dalam lambung, dan waktu kosong lambung. Makrolida peka terhadap degradasi asam, sedangkan absorpsi sangat lambat melalui intramuscular atau subkutan pada sapi. Bioavailabilitas makrolida hanya sekitar 40% melalui subkutan dan 65% melalui intramuscular. Makrolida didistribusikan ke seluruh tubuh terutama melalui cairan dan jaringan. Makrolida diekskresikan terutama melalui empedu. Namun, level makrolida sekitar 50% dapat ditemukan dalam susu.

2.4 Residu Antibiotika dalam Susu

(49)

Menurut Rahayu (2010), senyawa yang dimasukkan ke dalam tubuh, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Kecepatan proses biologik tersebut tergantung kepada jenis, bentuk senyawa, cara masuknya, dan metabolisme dari senyawa tersebut. Penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut. Senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh setelah terjadi penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam organ-organ tubuh yang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.

Senyawa-senyawa dalam bentuk murni maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh akan terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, itulah yang disebut dengan residu (Rahayu 2010).

Ambing kaya akan suplai darah terutama dari a. externa pudenda, a.subcutanea abdominis, dan a. perinealis. Rasio volume sirkulasi darah melalui kelenjar susu terhadap volume produksi susu adalah 670:1. Hal ini menunjukkan adanya oportunitas dari obat-obatan yang larut dalam lemak yang secara difusa pasif melalui sirkulasi darah masuk ke dalam susu. Masuknya agen antimikroba ke dalam susu segar tergantung dari pengaruh kimia alami, derajat ionisasi, solubilitas lipid dan tingkat plasma protein binding pada konsentrasi equilibrium yang berhasil menembus barier seluler. Agen antimikroba yang memiliki lipid-soluble, asam atau basa lemah yang tidak terionisasi dan bebas (tidak berikatan dengan protein) dalam plasma mampu melakukan penetrasi ke dalam membran sel, masuk ke dalam susu, dan berdifusi ke dalam cairan transelular (Giguere et al 2006).

(50)

substansi antimikrobial dalam susu seperti residu antibiotika dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Hadirnya residu antibiotika dalam susu dapat diakibatkan oleh tidak diperhatikannya withdrawal time antibiotika tersebut. Withdrawal time dari golongan penisilin, makrolida, tetrasiklin, dan aminoglikosida disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Withdrawal time beberapa jenis antibiotika

No. Jenis antibiotika Withdrawal time

1. Penisilin G 96 jam

2. Eritromisin 36 jam

3. Tetrasiklin 72 jam

4. Streptomisin 48 jam

Sumber: Bishop (2005).

2.5 Dampak Residu Antibiotika pada Konsumen

(51)

Tabel 3 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu (mg/kg)

Jenis antibiotika Batas maksimum residu (mg/kg)

Penisilin 0,1 penggunaannya. Pengujian dengan menggunakan uji cepat digunakan sangat luas hampir di seluruh dunia dalam bentuk test kits. Test kits ini memudahkan pengujian residu antibiotika dalam susu saat pengambilan atau penerimaan di pabrik susu. Uji cepat mampu menguji golongan maupun jenis dari antibiotika tertentu. Namun uji cepat hanya dapat menguji residu antibiotika secara kualitatif. Beberapa jenis uji cepat yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika dalam susu antara lain adalah milkguard beta lactams rapid test kit, chloramphenicol rapid test kit, milk test kit, milk antibiotic analysis test kit, beta star, dan lain-lain.

2.6.2 Uji Tapis dengan Bioassay

(52)

dan relatif tidak mahal. Salah satu metode uji tapis yang umum digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika pada pangan, termasuk susu adalah bioassay.

Bioassay merupakan suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif (BSN 2008). Menurut Eenennaam et al. (1993), sensitifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dengan konsentrasi minimum residu antibiotika yang bisa dideteksi. Limit deteksi bioassay terhadap golongan beta laktam adalah 0.00125 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.00125 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan tetrasiklin adalah 0.03 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu tetrasiklin dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.03 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan aminoglikosida dan makrolida adalah 0.1 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor 01-6366-2000. Hal ini menunjukkan bahwa metode bioassay dapat diandalkan untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan beta laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida.

Menurut Eenennaam et al. (1993), spesifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dari tipe golongan antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri. Bakteri tersebut adalah Bacillus stearothermophilus ATCC 7953 untuk golongan beta laktam, Bacillus cereus ATCC 11778 untuk golongan tetrasiklin, Bacillus subtilis ATCC 6633 untuk golongan aminoglikosida, dan Kocuria rizophila ATCC 9341 untuk golongan makrolida. Bakteri-bakteri ini digunakan karena kemampuannya untuk melakukan pertumbuhan yang cepat pada suhu optimum sehingga memungkinkan untuk memperoleh hasil analisis dalam waktu beberapa jam saja. Sporanya dapat disimpan dalam waktu cukup lama sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu (Pikkemat et al. 2009).

(53)

2.6.3 Enzyme Linked Immunosorbent Assay

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu metode yang sangat banyak digunakan pada beberapa tahun terakhir. Metode ELISA dapat digunakan untuk menguji puluhan sampel dalam sekali pengujian dengan waktu yang singkat. Hingga saat ini, ELISA telah menjadi metode yang popular untuk mendeteksi residu antibiotika dan residu pestisida dalam pangan asal hewan karena memiliki sensitivitas yang tinggi, sederhana, dan kemampuan untuk menguji banyak sampel hanya dengan volume yang sedikit (Wang et al 2009).

2.6.4 High Performance Liquid Chromatographic

(54)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2009. Pengambilan sampel susu dilakukan di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), jalan Pemuda no. 29A Kotamadya Bogor, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, tabung sentrifus, labu ukur, gelas ukur, erlenmeyer, botol timbang, pipet volumetric, pipet graduasi, botol media, pengocok tabung, sentrifus, penangas air, lemari steril, homogenizer, autoklaf, lemari pendingin, freezer, timbangan analitik, inkubator, magnet pengaduk, pH meter, pipet mikro, jangka sorong, burner, ose, pinset, dan gunting. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah susu segar, media agar (yeast ekstract, peptone, bacto agar, dextrose, beef extract, glucose), media cair heart infusion broth, larutan buffer (KH2PO4,

Na2HPO4, H3PO4, NaOH, K2HPO4, HCl, NaCl), mikroorganisme (spora

Bacillus stearothermophilus ATCC 7953, spora Bacillus cereus ATCC 11778, spora Bacillus subtillis ATCC 6633, vegetatif Kocuria rizophila ATCC 9341), larutan baku pembanding (natrium penisilin, oksitetrasiklin hidroklorida, kanamisin sulfat, tilosin-tartrat), dan kertas cakram.

3.3 Metode Penelitian

Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada susu secara bioassay yang mengacu pada SNI No. 7424:2008.

3.3.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel

(55)

Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur). Lima sampel diambil dari masing-masing kabupaten kemudian dibawa ke laboratorium dalam cooling box.

3.3.2 Persiapan Uji dan Pengujian Sampel

Pemeriksaan residu antibiotika dalam susu dilakukan dengan metode uji tapis secara bioassay yang ditujukan terhadap empat golongan antibiotika, yaitu tetrasiklin, makrolida, aminoglikosida, dan penisilin. Secara umum, tahapan pengujian residu antibiotika dalam susu dengan metode ini yaitu sampel susu yang telah dihomogenisasi diteteskan pada kertas cakram lalu kertas cakram tersebut ditempelkan di atas permukaan media agar yang telah dicampur dengan biakan bakteri uji dan diinkubasikan pada suhu tertentu (tergantung jenis antibiotika yang akan diuji) selama 16-18 jam. Contoh susu dinyatakan positif mengandung residu antibiotika bila terbentuk zona hambatan di sekitar kertas cakram.

3.3.2.4 Persiapan Uji

3.3.2.1.1 Analisa Residu Golongan Penisilin

Persiapan Media Agar

Sebanyak 5 gram peptone, 12 gram yeast extract, 15-18 gram bacto agar, dan 1 gram dextrose dilarutkan dalam 1000 ml aquadest (pH 5.7 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media

Gambar

Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011
Gambar 1 Contoh hasil uji residu antibiotika menggunakan metode bioassay.
Tabel 7 Hasil uji residu makrolida
Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011
+3

Referensi

Dokumen terkait

: Analisa Residu Antibiotika pada Susa BubOlk dengan Menggunakan Beberapa Metode Pengujian (Ana{ysis of.. Antibiotic Residues in MUk Pt1Wder Using Some Analytical

Untuk mengetahui jumlah bakteri coliform pada susu segar dan susu pasteurisasi hasil peternakan sapi perah di CV LHM Solo dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba

: Analisa Residu Antibiotika pada Susa BubOlk dengan Menggunakan Beberapa Metode Pengujian (Ana{ysis of.. Antibiotic Residues in MUk Pt1Wder Using Some Analytical

Tingkat residu antibiotik sampel susu wilayah KUD Tandang Sari yang memiliki manajemen yang baik ternyata lebih rendah dibandingkan dengan tingkat residu antibiotik pada sample

Rataan total residu golongan OP (9,0 ppb) terlihat lebih tinggi dibandingkan OC (4,7 ppb), sehingga rataan total residu pestisida dalam serum sapi perah dari kedua golongan

Berdasarkan hasil pada Tabel 1, sebagian besar (11/15; 73,3%) sampel susu segar yang dipanen menggunakan teknik pemerahan konvensional menunjukkan positif E.. Sampel yang terdeteksi

Dari hasil pemeriksaan dengan perangkat High Performance Liquid Chromatographic (HPLC) ditemukan kandungan residu antibiotika penisilin cukup tinggi hal ini disebabkan karena

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengendalian mutu bahan baku susu segar dimulai dari penerimaan susu anggota koperasi di pos penampungan dengan dilakukannya beberapa pengujian