• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS TINGKAT RESIDU ANTIBIOTIK PADA SUSU SEGAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS TINGKAT RESIDU ANTIBIOTIK PADA SUSU SEGAR"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS TINGKAT RESIDU ANTIBIOTIK PADA SUSU SEGAR

(The Concentrations of Antibiotic Residues in Fresh Milk)

MISGIYARTA, ROSWITA S., S.J. MUNARSO, ABUBAKAR danSRI USMIATI Balai Besar Penelitian dan Pengambangan Pascapanen Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor

ABSTRACT

Milk is an important livestock product commodity as a very good source of nutrition produced by dairy cattle at centers at dairy farms. Relatively few number of cattle owned, rearing method and inadequate post-harvest handling result in low quality milk. Low quality milk causes farmers to have very weak bargaining position to obtain high fresh milk price. The improvement of milk quality is crucial to be carried out, which eventually will increase the income of dairy cattle. Before conducting the efforts on improving the milk quality, it is necessary to find out the initial milk quality. The milk processing industries start implementing stricter requirements concerning the price in accepting fresh milk including the present of antibiotic contaminants. Researches to find out the milk quality were conducted at KSU Tandang Sari, Tanjung sari, Sumedang, and KUD Sarwamukti, Lembang, West Java. The contaminants observed are antibiotic residues including penicillin, oxytetracycline, tetracycline, and chlortetracycline. The milk residue concentrations measured were at the levels of farmers, collectors, and cooperative bodies. The concentrations of residues were analyzed by using High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) method. The antibiotic concentrations in fresh milk from KSU Tandang Sari and KUD Sarwamukti areas varied. The antibiotic residue concentrations in ppm at the farmer levels are penicillin 0.0023, tetracycline 0.0002, oxytetracycline 0.0002, and chlortetracycline 0.0055. At the level of collectors, the antibiotic residue concentrations in ppm are penicillin 0.0008, tetracycline 0.0002, oxytetracycline 0.0002, and chlortetracycline 0.0037. The antibiotic residue concentrations in ppm at the level of cooperative body are: penicillin undetected, tetracycline undetected, oxytetracycline undetected, and chlortetracycline 0.02. The Indonesian National Standard - Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 allows a maximum limit for antibiotic in fresh milk amounted (ppm); penicillin 0.1, tetracycline 0.05, oxytetracycline 0.05, and chlortetracycline 0.05. The concentrations of antibiotic residues in fresh milk are still safe as they are still below the maximum antibiotic limit recommended by SNI 01-6366-2000.

Key Words: Fresh milk, Antibiotic Residues, Penicillin, Tetracycline, Chlortetracycline, Oxytetracycline ABSTRAK

Susu merupakan komoditas hasil ternak yang penting sebagai sumber gizi yang sangat baik. Susu dihasilkan oleh ternak sapi perah di sentra-sentra peternakan sapi perah. Kepemilikan jumlah ternak yang relatif kecil, cara budidaya, serta cara penanganan pascapanen susu yang belum memadai mengakibatkan mutu susu yang dihasilkan rendah. Mutu susu rendah menyebabkan posisi tawar peternak untuk mendapatkan kesempatan harga susu yang tinggi sangat lemah. Perbaikan kualitas susu sangat perlu dilakukan untuk memperoleh kualitas susu segar yang baik, pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani ternak susu. Usaha penanganan mutu susu perlu diketahui terlebih dahulu status mutu susu. Industri Pengolahan Susu mulai menerapkan syarat penerimaan susu segar termasuk adanya kontaminan antibiotik yang semakin ketat dikaitkan dengan harga susu segar. Penelitian untuk mengetahui status mutu susu dilakukan di KSU Tandang Sari, Tanjung sari, Sumedang, dan KUD Sarwamukti, Lembang, Jawa Barat. Status tingkat kontaminan pada susu yang diamati adalah tingkat residu antibiotik meliputi; penicilin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, dan klortetrasiklin. Tingkat residu susu diukur pada sampel-sampel susu di tingkat peternak, pengumpul, serta pada tingkat koperasi. Tingkat residu antibiotik dianalisis dengan menggunakan metode High Presure Liquid Cromatography (HPLC).Tingkat residu antibiotik pada susu segar dari wilayah KSU Tandang Sari bervariasi, dan KUD Sarwamukti bervariasi. Tingkat residu antibiotik dalam ppm pada tingkat peternak adalah; penisilin 0,0023, tetrasiklin 0,0002, oksitetrasiklin 0,0002, klortetrasiklin 0,0055. Pada tingkat pengumpul residu antibiotik dalam ppm adalah; penisilin 0,0008, tetrasiklin 0,0002, oksitetrasiklin 0,0002, klortetrasiklin 0,0037. Tingkat residu antibiotik pada koperasi dalam ppm adalah; penisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin tidak terdeteksi dan klortetrasiklin 0,02. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 memberikan batas

(2)

maksimal antibiotik pada susu segar adalah sebagai berikut (ppm); penisilin 0,1, tetrasiklin 0,05, oksitetrasiklin 0,05, klortetrasiklin 0,05. Tingkat residu antibiotik pada susu segar masih aman karena masih di bawah batas maksimal antibiotik yang direkomendasikan oleh SNI 01-6366-2000.

Kata Kunci: Susu Segar, Residu Antibiotik, Penicilin, Tetrasiklin, Klortetrasiklin, Oksitetrasiklin

PENDAHULUAN

Susu adalah hasil sekresi kelenjar ambing yang mengandung bahan-bahan campuran komplek terdiri dari lemak, protein, laktosa, mineral dan vitamin. Susu merupakan bahan pangan sumber gizi bagi manusia dan dibutuhkan oleh hampir semua tingkatan umur terutama balita. Susu juga merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan bahkan pecahnya susu, sehingga susu tidak bernilai lagi. Tingkat konsumsi susu rata-rata di Indonesia masih rendah, baru mencapai 5,50 kg/kap/tahun pada tahun 2002 (DIRJEN PETERNAKAN, 2002). Untuk memenuhi ketersediaan susu harus disertai peningkatan mutu dan keamanan produk susu karena tinggi nilai gizi suatu pangan tidak ada artinya apabila pangan tersebut tidak bermutu dan berbahaya bagi kesehatan (MURDIATI et al. 2002). Diharapkan peningkatan konsumsi susu akan dapat memacu peningkatan produksi susu, juga sebaliknya peningkatan produksi akan mendorong peningkatan konsumsi susu.

Populasi sapi perah adalah 353.953 ekor, dan sebagian besar termasuk peternakan rakyat. Umumnya peternak hanya memiliki 3−4 ekor/(DIRJEN PETERNAKAN, 2002). Dari beternak sapi inilah, peternak berupaya menghidupi kebutuhan keluarganya. Peternakan rakyat umumnya merupakan usaha sambilan belum mengarah pada usaha profesional, namun mempunyai andil besar dalam sumbangan untuk kebutuhan susu nasional. Dari 521.000 ton susu yang dihasilkan terutama melalui koperasi-koperasi susu ternyata sebagian besar yaitu 95% ditampung oleh IPS (Industri Pengolahan Susu). Adapun sisanya 5% diserap oleh konsumen lokal dalam bentuk susu segar, susu pasteurisasi, produk olahan susu seperti yoghurt, karamel, dodol, dan kerupuk.

Berbagai literatur melaporkan bahwa mutu susu di Indonesia tergolong rendah. Hal itu ditandai oleh berat jenis (BJ) yang rendah, kadar protein dan lemak kurang dari 3%.

Sementara itu dari standar SNI maupun Codex menetapkan BJ susu minimal 1,0280 dan kadar lemak serta kadar protein >3%. Angka Total Plate Count (TPC) susu di tingkat pengumpul dan koperasi susu diinformasikan mencapai puluhan juta/ml, jauh di atas standar SNI (Tabel 1), maupun Codex yang menetapkan batas maksimum 1 juta/ml.

Laporan mengenai total bakteri susu di daerah Jawa Barat ternyata susu mengandung TPC sangat tinggi dengan variasi antara 6,75 - 88,42 juta/ml (GKSI JAWA BARAT, 2000). Di Jawa Timur diperoleh TPC lebih rendah, namun masih di atas 1 juta/ml yaitu 2,20-7,60 juta/ml (GKSI JAWA TIMUR, 2000). Hasil penelitian MURDIATI et al. (2002) di dua kelompok peternak di Cipanas dan Bogor ternyata TPC pada awal pengamatan adalah relatif tinggi (106 CFU/ml), namun setelah diintroduksi cara penanganan susu yang baik dan benar dan setelah dievaluasi pada minggu ketiga terjadi penurunan nilai TPC menjadi 104 CFU/ml. Penurunan nilai TPC dalam penelitian tersebut tidak terlalu signifikan karena pada saat penelitian, air yang digunakan untuk membersihkan ambing sapi dan peralatan yang digunakan kurang bersih dan diduga mengandung mikroorganisme yang merugikan.

Kerusakan susu yang terjadi umumnya disebabkan oleh tingkat sanitasi lingkungan yang rendah. Penurunan mutu dan tingkat produksi susu hingga 70% juga disebabkan oleh terjadinya mastitis subklinis, suatu penyakit yang umumnya menyerang ambing sapi perah yang menyebabkan infeksi pada ambing. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya kerugian pada peternak karena harga jual susu menjadi rendah dan terjadi kerusakan atau kepecahan susu. Di KUD Batu Malang dilaporkan bahwa sekitar 70% sapi perah di wilayah tersebut menderita mastitis (ANONIMUS, 2001a). Penanganan terhadap sapi perah yang terkena penyakit kebanyakan menggunakan obat-obatan antibiotik. Penggunaan obat antibiotik berpengaruh terhadap adanya antibiotik pada susu yang dihasilkan oleh sapi saat diperah.

(3)

Untuk memperoleh susu yang bermutu tinggi diperlukan sanitasi kandang, lingkungan dan operator (harus bersih dan kering). Kebersihan baik pada ternak, ambing sebelum dan sesudah diperah, alat-alat perah yang digunakan (ember penampungan/milk can dan

saringan), dan air sebagai bahan pembersih membutuhkan perhatian. Selain itu, pemberian pakan yang baik dalam kualitas dan kuantitas perlu dilakukan. Pada umumnya peternak sapi perah hanya mengandalkan rumput sebagai sumber pakan. Padahal untuk meningkatkan Tabel 1. Syarat mutu susu

Komponen Syarata Syaratb

Warna, bau, rasa, kekentalan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan

Berat jenis (pada 27,5oC) minimum 1.0280 1.0280

Kadar lemak minimum 2,8% 3,0%

Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 8,0% 8,0%

Derajat asam 4,5 sampai 7oSH 6 sampai 7oSH

Uji alkohol 70% Negatif Negatif

Uji didih Negatif -

Katalase maksimum 3 cc 3 cc

Titik beku -0,520 sampai -0,560oC -0,520 sampai -0,560oC

Angka refraksi 34,0 36−38

Kadar protein minimum 2,7% 2,7%

Angka reduktase 2−5 jam 2−5 jam

Residu mikroba, maksimum: Total kuman Salmonella E.coli (patogen) Caliform Streptococcus Group B Staphylococcus aureus 3 juta per cc - - - - - 1 juta CFU/ml Negatif Negatif 20/ml Negatif 1 x 102/ml

Kuman patogen dan benda asing Negatif Negatif

Jumlah sel radang maksimum - 4 x 105/ml

Residu logam berbahaya Maksimum Timbal (Pb) Seng (Zn) Merkuri (Hg) Arsen (As) - - - - 0,3 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm Residu Antibiotika Pestisida/insektisida - -

Sesuai dengan peraturan yang berlaku

Uji pemalsuan - Negatif

Uji peroxidase - Negatif

aDirektorat Jenderal Peternakan No. 17/KPTS/PJP/DEPTAN/93 bSNI 01-3141-1998

(4)

mutu susu perlu pemberian konsentrat, namun hal ini membutuhkan biaya tambahan untuk membeli konsentrat tersebut.

Sebagian besar susu dihasilkan dari peternakan sapi perah rakyat yang dimiliki peternak dari beberapa ekor sampai belasan ekor sapi perah. Oleh karena peternak bermodalkan keuangan yang rendah menyebabkan keterbatasan fasilitas kandang, peralatan pemerahan dan ketersediaan air sangat terbatas. Hal tersebut dapat mengakibatkan rendahnya mutu susu yang dihasilkan seperti BJ rendah, TPC tinggi mengakibatkan positif test alkohol, dsb. Hal ini yang memicu susu dibuang karena penolakan susu oleh IPS (Industri Pengolahan Susu). Konsumsi susu segar paling besar adalah IPS, oleh sebab itu persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh IPS seharusnya adalah yang disepakati bersama antara produsen (peternak) melalui koperasi dan IPS. Saat ini penolakan susu juga didasarkan kepada tercemarnya bahan kimiawi yang berbahaya maupun tidak berbahaya seperti ditambahkannya gula, susu, aflatoxin, antibiotika, pestisida, logam berat (INDOMILK, 2004).

Persayaratan kadungan antibiotik yang rendah bahkan negatif menjadi suatu persayaratan yang semakin kuat disampaikan oleh pihak IPS. Antibiotik adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba tertentu yang memliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bahkan mematikan mikroba lain. Penggunaan antibiotik adalah untuk mengeliminasi berbagai agen patogen yang menyebabkan penyakit, termasuk kasus penyakit mastitis yang menyerang sapi perah (KATZ dan FASSBENDER, 1978). Namun demikian penggunaan antibiotik pada dosis yang tidak tepat, serta waktu pemberian yang tidak tepat akan menyebabkan tercemarnya susu oleh antibiotik. Upaya untuk mengatasi adanya residu antibiotik pada susu perlu dilakukan. Upaya awal dilakukan adalah untuk mengetahui sejauh mana status antibiotik tersebut mencemari susu. Beberapa jenis atau golongan antibiotik yang dapat mencemari susu adalah penisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin dan klortetrasiklin.

Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai pasar utama susu rakyat sejauh ini menjadi andalan pemasaran susu. Adanya SKB 3 Menteri tahun 1982 dan dikukuhkan melalui

Inpres No. 2/1985 tentang kebijakan rasio susu yang mengharuskan IPS untuk menampung susu rakyat dari koperasi sebenarnya memberikan kekuatan bagi peternak. Saat ini IPS bersedia menerima susu rakyat atas dasar kemitraan, bukan lagi merupakan suatu keharusan (ANONIMUS, 2001b). Namun adanya problem mutu dan keamanan pangan seperti di atas dan pencabutan SKB di atas melalui Inpres No. 4/1988, membawa susu rakyat pada permasalahan pemasaran. Saat ini IPS masih mengandalkan bahan baku susu impor dari luar negeri sebanyak 13.308.000 ton pada tahun 2002 (DIRJEN PETERNAKAN, 2002). Hal ini meresahkan koperasi susu, terutama peternakan rakyat (KOMPAS, 2004).

Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tingkat residu antibiotik pada susu; serta 2. Untuk mengetahui status tingkat residu antibiotik dibandingkan dengan standar keamanan pangan susu.

MATERI DAN METODE

Penelitian untuk mengetahui status tingkat residu antibiotik dilakukan pada tahun 2004. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Bahan penelitian

Sampel susu segar diambil dari KUD Sarwa Mukti, Lembang dan KUD Tandang Sari, Tanjungsari, Sumedang derah Jawa Barat. Sampel diambil dari tiga tingkat pengumpul susu yaitu pada tingkat peternak, pada tingkat pengumpul, serta pada tingkat KUD. Sampel susu diambil masing-masing 1 l dari setiap lokasi. Sampel disimpan dalam keadaan dingin dan dibawa ke laboratorium di Balai Penelitian Veteriner, Bogor untuk dianalisis kadar antibiotiknya. Es batu diperlukan untuk menghambat kerusakan susu saat sampel susu tersebut dibawa dari lokasi pengambilan sampel sampai di laboratorium analisis. Bahan kimia yang diperlukan meliputi bahan kimia untuk analisis antibiotik. Bahan kimia tersebut adalah: 0,17 M H2SO4 dan sodium tungstat, NaCl 20%, metanol, larutan 2% NaCl, asetonitril, 0,2 M phosphate buffer, KH2PO4

(5)

0,01M, CH3CN3, EDTA, heksan etil asetat, asam oksalat 0,0025 M.

Metode penelitian

Pengumpulan data sekunder tentang mutu susu, permasalahan penerimaan susu oleh industri pengolahan susu dari Dinas Peternakan, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Industri Pengolahan Susu (IPS), dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) setempat. Data sekunder tersebut sebagai dasar untuk survei ke koperasi calon kooperator. Dilakukan pemilihan koperasi tersebut dengan pertimbangan; populasi sapi yang besar, produksi susu tinggi, tingkat mutu dan keamanan susu, serta keberadaan industri pengolahan susu yang akan menampung susu yang dihasilkan peternak. Metode survei yang dilakukan adalah dengan wawancara tentang manajemen koperasi, penanganan susu segar dari pengumpul, produksi susu, fasilitas pengujian mutu susu, pemasaran susu. Dari survei tersebut dipilih dua koperasi yang memiliki kriteria manajemen baik dan kurang baik, dengan standar mutu SNI, pemasaran lancar/ tidak lancar, peluang pengembangan susu untuk memperoleh nilai tambah.

Dari koperasi kooperator tersebut sampel susu diambil dari tiga tingkatan, yaitu sampel susu tingkat peternak, tingkat pengumpul dan tingkat koperasi. Sampel susu segar dianalis kandungan residu antibiotik yang meliputi residu antibiotik penisilin, tetrasiklin, khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin. Metode analisis tingkat residu antibiotik tersebut adalah sebagai berikut:

Analisis residu penisilin-G dalam susu YUNINGSIH (1995)

Lima ml susu dimasukkan kedalam tabung sentrifuge. Ke dalam sentrifuge ditambahkan 25 ml akuades, 4 ml 0,17 M H2SO4 dan 4 ml sodium tungstat. Campuran tersebut dikocok dengan menggunakan vortex selama 2 menit dan disntrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 rpm. Filtrat dipisahkan dan ditambahkan 10 ml NaCl 20%. Filtrat dialirkan ke catridge yang telah dikondisikan dahulu dengan 20 ml metanol, 20 ml akuades dan 10

ml 2% NaCl. Catridge dicuci dengan 10 ml 2% NaCl dan 10 ml akuades. Elusi dengan 1 ml campuran 60 ml asetonitril dan 5 ml 0,2 M phosphate buffer, kemudian diencerkan sampai 100 ml dengan asetonitril. Eluate diuapkan dan siap dimasukkan ke dalam alat HPLC dengan cara diinjeksi, dengan kondisi panjang gelombang 310 nm, detektor UV, fase gerak: KH2PO4 0,01M : CH3CN3 : CH3OH = 5 : 3 : 2.

Analisis residu tetrasiklin, khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin dalam susu YUNINGSIH (1995)

Ke dalam tabung sentrifuse, 10 ml atau 20 ml susu tambahan 10 ml atau 20 ml asetonitril dan 1 g atau 2 g EDTA. Campuran tersebut dikocok dengan vortex selama 5 menit. Tarik lemaknya dengan penambahan 1 ml atau 20 ml heksan dan kocok. Lapisan heksan dibuang. Sisa lapisan diekstraksi dengan 3 x kali 10 ml etil asetat. Satukan ekstrak etil asetat dan keringkan dan siapkan injeksi pada alat HPLC dengan kondisi : fase gerak : campuran asam oksalat 0,0025 M dan asetonitril (grade) = 8 : 2 : panjang gelombang 366 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tingkat residu antibiotik pada susu segar diawali dengan survei ke berbagai daerah penghasil susu yaitu ke DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Survei ini bertujuan untuk mengetahui tentang potensi daerah dalam menghasilkan susu, dan mengetahui karakteristik koperasi susu di daerah produsen penghasil susu yang berperan besar sebagai media penghubung antara peternak sapi perah dengan Industri Pengolahan Susu (IPS). Hasil survei mengenai potensi daerah penghasil susu serta karakteristik beberapa koperasi susu di wilayah penghasil susu dipaparkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Dari data Tabel 2 dan Tabel 3 diketahui Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan wilayah peternakan sapi perah dan penghasil susu yang potensial. Di wilayah Jawa Barat terjadi dinamika penerimaan dan penolakan susu oleh IPS yang disetorkan oleh peternak lewat koperasi susu disebabkan mutu susu yang rendah. Alasan tersebut sebagai dasar Wilayah Jawa Barat sebagai pilihan untuk

(6)

survei lebih lanjut untuk memilih koperasi sebagai koperator untuk penelitian dan pembinaan mutu susu. Pemilihan koperasi kooperator sebagai di Jawa Barat didasarkan pada beberapa aspek pertimbangan diantaranya adalah koperasi yang dipilih adalah koperasi yang mewakili koperasi dengan kualitas manajemen yang baik, dengan koperasi yang kualitas manajemen kurang/sedang, belum/ pernah ada penolakan susu oleh IPS, kelengkapan pengolahan susu dan faktor lainnya. Dari Data yang terpapar pada Tabel 3 dipilih koperasi yang memiliki manajemen yang baik adalah koperasi Tandang Sari, Tanjung Sari Sumedang, sedang koperasi Sarwamukti adalah koperasi yang manajemennya kurang baik atau sedang.

Dari kedua wilayah koperasi ini sampel susu untuk keperluan analisis residu antibiotik dilakukan. Sampel diambil dari tingkat petani peternak, tingkat pengumpul dan pada tingkat koperasi.

Dari data hasil analisis tingkat residu antibiotik pada sampel susu dari wilayah koperasi Tandang Sari dipaparkan pada Tabel 4. Data tersebut menunjukkan tingkat residu antibiotik banyak terjadi pada sampel susu yang diambil dari peternak. Pada sampel susu di tingkat pengumpul tidak terdapat residu antibiotik. Hal tersebut memungkinkan terjadi sebab antibiotik memiliki waktu henti (withdrawal time) (LEWIS dan WILKEN, 1982).

Antibiotik pengaruhnya semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Tingkat residu antibiotik (penisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin dan klortetrasiklin) pada sampel susu yang diambil dari wilayah KUD Tandang Sari masih dibawah ambang batas maksimal yang dipersyaratkan oleh SNI 01-6366-2000.

Tabel 5 memaparkan tingkat residu antibiotik pada sampel susu dari wilayah KUD Sarwamukti. Residu antibiotik terjadi pada sampel susu dari peternak dan dari pengumpul. Pada sampel susu dari tingkat koperasi tidak terdapat residu antibiotik. Hal tersebut disebabkan antibiotik memiliki waktu tinggal tertentu. Apabila watu tinggal telah lewat maka antibiotik tidak berpengaruh atau tidak terdeteksi. Secara umum tingkat residu antibiotik (penisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin dan klortetrasiklin) masih pada level yang aman.

Tingkat residu antibiotik sampel susu wilayah KUD Tandang Sari yang memiliki manajemen yang baik ternyata lebih rendah dibandingkan dengan tingkat residu antibiotik pada sample susu dari wilayah KUD Sarwamukti. Secara umum tingkat residu antibiotik rata-rata sampel susu dari dua wilayah KUD Tandang Sari dan KUD Sarwamukti masih di bawah ambang batas maksimal yang dipersyaratkat oleh SNI 01-6366-2000, yaitu (ppm); penisilin 0,1, tetrasiklin 0,5, oksitetrasiklin 0,5, klortetrasiklin 0,5 (Tabel 6).

Tabel 2. Karakteristik wilayah produsen susu nasional di Pulau Jawa Wilayah Jumlah populasi sapi perah Tingkat produksi susu Rata-rata mutu

susu IPS penampung Frekuensi penolakan susu oleh IPS Sistem manajemen penanganan susu DKI Jakarta Rendah Rendah Dipertanyakan Tidak ada Tidak ada Sedang Jawa Barat Tinggi Tinggi Sedang−baik Ada (Indomilk,

Indolakto, Friesian Vlaag) Jarang (hanya koperasi tertentu) Sedang– baik Jawa

Tengah Sedang Sedang Sedang−baik Ada (Indomilk, Cita Nasional) Jarang (hanya koperasi tertentu)

Sedang– baik

Jawa Timur Tinggi Tinggi Sedang−baik Ada (Nestle hanya koperasi binaannya)

Tidak ada Sedang– baik IPS = Industri Pengolahan Susu

(7)

Tabel 4. Residu antibiotik pada susu asal KSU Tandang Sari, Tanjung Sari, Sumedang Asal susu

Mutu susu Koperasi

Pengumpul I Peternak I Pengumpul II Peternak II SNI 01-6366-2000 Antibiotika (ppm) Penisillin Oksitetrasiklin Tetrasiklin Klortetrasiklin tt tt tt 0,04 tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt tt 0,0037 tt tt 0,0167 0,1 0,5 0,5 0,5 tt = tidak terdeteksi

Tabel 5. Residu antibiotik susu dari KUD Sarwamukti, Lembang. Asal susu

Mutu susu Koperasi

Pengumpul I Peternak I Pengumpul II Peternak II 6366-2000 SNI 01-Antibiotika (ppm) Penisillin Oksitetrasiklin Tetrasiklin Klortetrasiklin tt tt tt tt tt 0,001 0,001 0,015 0,0005 0,0008 0,001 0,00525 0,003 tt tt tt 0,005 tt tt tt 0,1 0,5 0,5 0,5 tt = tidak terdeteksi

Tabel 6. Rata-rata tingkat residu antibiotik pada susu segar di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi Asal susu

Mutu susu Koperasi Pengumpul Peternak SNI 01-6366-2000

Antibiotika (ppm) Penisillin Oksitetrasiklin Tetrasiklin Klortetrasiklin Tt Tt Tt 0,02 0,0008 0,0002 0,0002 0,0037 0,0023 0,0002 0,0002 0,0055 0,1 0,5 0,5 0,5

Aplikasi atau pemanfaatan antibiotik tidak hanya pada manusia, namun juga digunakan pada ternak. Pemanfaatan antibiotik pada bidang peternakan juga terkait dengan mengatasi penyakit pada ternak, misalnya untuk mengatasi penyakit mastistis. Antibiotik golongan penisilin dan golongan tetrasiklin sering digunakan pada peternakan.

Penggunakan antibiotik yang tidak sesuai dengan aturan maupun tidak sesuai dengan waktu penggunakaan memiliki dampak negatif, tidak hanya pada ternak (sapi perah) tetapi juga terhadap manusia. Efek negatif terhadap ternak

tersebut adalah menjadi tidak efektifnya antibiotik tersebut dalam menanggulangi penyakit. Dampak negatif terhadap manusia yang mengkonsumsi produk peternakan yang mengandung residu antibiotik menyebabkan resistennya bakteri patogen yang menyerang manusia, dan dapat pula menyebabkan reaksi alergi bagi orang yang sensitif terhadap antibiotik.

Mengkonsumsi produk peternakan berupa daging, susu, telur yang dihasilkan dari ternak yang diterapi dengan antibiotik masih bisa dilakukan asal antibiotik tersebut telah

(8)

melewati waktu henti (withdrawal time). Waktu henti untuk setiap jenis antibiotik beragam tergantung jenis antibiotik dan cara pemberian antibiotiknya.

Dalam praktek keseharian masih banyak ditemukan susu segar yang mengadung antibiotik walaupun pada kadar yang minimal. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani peternak tentang cara penggunaaan antibiotik serta aspek keamanan terkait dengan penggunaan antibiotik untuk kesehatan ternaknya. Untuk itu beberapa hari setelah sapi diberi antibiotik, susu yang dihasilkan biasanya tidak boleh dikonsumsi.

Adanya tuntutan persyaratan mutu penerimaan susu segar dari petani peternak oleh industri pengolahan susu agar kadar residu antibiotik negatif atau minimal perlu mendapat perhatian yang serius. Dengan penanganan cara produksi susu segar yang menerapan aspek-aspek Good Agriculture Practices (GAP) akan meningkatkan mutu susu.

KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat residu antibiotik pada susu tingkat peternak, pengumpul maupun tingkat koperasi.

Koperasi yang menerapkan manajemen yang baik berpengaruh terhadap kadar residu antibiotik lebih rendah, dibandingkan dengan koperasi yang manajemennya kurang.

Status residu antibiotik pada susu masih di bawah batas maksimum yang dipersyaratkan mutu susu oleh SNI 01-6366-2000.

Perlu dilakukan pembinaan kepada para petani peternak tentang aspek penggunaan antibiotik yang aman bagi ternak dan aman bagi manusia (konsumen).

Perlu dilakukan pembinaan kepada para petani untuk penerapan cara berternak yang baik atau penerapan Good Agriculture Practicess (GAP) untuk meningkatkan mutu susu.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2000. Laporan Produksi dan Kualitas Susu Koperasi/KUD Jawa Barat Bulan Januari−Desember 2000.

ANONIMUS. 2000. Laporan Produksi dan Kualitas Susu Koperasi/KUD Jawa Timur Bulan Januari s.d Desember 2000.

ANONIMUS. 2001 a. Koperasi mengambil alih peranan pemerintah. Dari Diskusi Panel: Reposisi Koperasi Pedesaan pada Era Otonomi Daerah. Lacto Media hlm. 8. Produksi: GKSI Pusat, Jakarta.

ANONIMUS. 2001 b. Susuku Sehat, Susuku Selamat, Penghasilanku Meningkat. Laporan dari Lokakarya Kesehatan Hewan pada tanggal 21 April 2001 di Malang. Lacto media hal 12-13. Produksi: GKSI Pusat, Jakarta.

DITJEN PETERNAKAN. 2002. Statistik Peternakan 2000. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta. INDOMILK. 2004. Kunjungan dan Diskusi Persyaratan

Mutu Susu untuk Industri Pengolahan Susu Indomilk. Jakarta.

KATZ, S.E. and C.A. FASSBENDER. 1978. Improved Microbiological Assay for Penicillin Residues in Milk and Dairy Products. J. Assoc. of Anal. Chem. 61(4): 918–922.

KOMPAS. 2003. Harian Kompas tanggal 31 Januari 2004.

LEWIS B.P.JR. and L.O. WILKEN. 1982. Veterinary Drug Index; W.B. Saunders Company.USA. MURDIATI, T.B, M. POELOENGAN, R. MARIAM, S,

RAHMAWATI, W. SUWITO, E. MASBULAN, S. M. NOOR dan ABUBAKAR. 2002. Teknologi Penanganan dan Pengamanan Produk Segar dan Olahan Hasil Ternak. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian.

SNI No: 01-6366-2000. Batas Maksimum Residu Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional Indonesia.

YUNINGSIH. 1995. Analisis Residu Antibiotik. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

(9)

Tabel 3. Karakteristik beberapa koperasi susu di wilayah produsen susu nasional sampai dengan April 2004 Mutu susu

Wilayah Koperasi susu Pop. sapi

perah (ekor) Rata2 prod. Susu (liter/hari) SNF (%) Lemak (%) TS (%) TPC (CFU/cc) IPS penampung Kasus penolakan susu Sistem manajemen penanganan susu Alat pengolahan susu Jawa Barat KSU

Tandang Sari 4.935 877.332 (Juni 2004)

8,00 3,82 11,82 3.26x106 Indomilk,

Indolakto Tidak ada Baik Tidak ada

KSU Sarwa Mukti 4.750 (tahun 2002) 751.321 7,64 3,42 11,06 10,65x106 Indomilk, Indolakto Tidak ada (peringatan)

Sedang Ada alat

pasteurisasi KSU Puspa

Mekar (tahun 2002) 4.277 1.098.480 7,70 3,50 11,50 3,00x10

7 Indomilk,

Indolakto Pernah April-Mei Buruk Tidak ada

Jawa Tengah

KSU Andini Luhur

- 9.716 - - 11,40-11,50 6.8x106 Indomilk Pernah Sedang Ada alat

pasteurisasi

KSU Getasan - 14.740.69

5 (th 2003)

- - - - Cita Nasional Tidak ada Baik Tidak ada

Jawa Timur KSU Batu, Malang

6.000 20.000 - - - <106CFU/ml Nestle (untuk

koperasi binaannya)

Tidak ada Baik Ada

A = NF/Solid Non Fat (%)

B = Lemak (%)

C = TS/Total Solid (%)

D = TPC/Total Plate Count (CFU/ml)

IPS = Industri Pengolahan Susu

KSU = Koperasi Serba Usaha

Gambar

Tabel 5 memaparkan tingkat residu  antibiotik pada sampel susu dari wilayah KUD  Sarwamukti
Tabel 6. Rata-rata tingkat residu antibiotik pada susu segar di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi  Asal susu
Tabel 3.  Karakteristik beberapa koperasi susu di wilayah produsen susu nasional sampai dengan April 2004 Mutu susu

Referensi

Dokumen terkait

Interview, 26 April 2017... dalam proses belajar mengajar. Salah satu faktor penyebab rendahnya pemahaman konsep belajar peserta didik adalah proses belajar Fiqih

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) evaluasi program MGMP IPA.Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan analisis

Straipsnio autorės turi nemenką įdirbį šioje sri- tyje: keletą metų jos tyrinėjo mokinių matematikos pasiekimus, stebėjo jų kitimo tendencijas, aktyviai dalyvavo

Hal tersebut menunjukkan, bahwa buku ajar akidah akhlak berbasis pendekatan saintifik valid dan sudah layak digunakan untuk pembelajaran di kelas.45 Buku ajar berbasis

Latihan 5 Latihan 5 Latihan 2 Latihan 2 Konsep Vektor Konsep Vektor Vektor Vektor Ilmuwan yang Ilmuwan yang Mengembangkan Mengembangkan Analisis Vektor Analisis Vektor

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan karunia dan berkat-Nya maka Penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul

Jawaban Siswa Lengkap dan Benar pada Pemahaman Konsep Gambar 4 (a) dan (b)merupakan contoh jawaban siswa yang lengkap dan benar, karena pada jawaban tersebut siswa

The purposes of this research were to internalize life skills education through the learning cycle model which can improve students learning outcomes in civics lesson