• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effectiveness of Political Communication on Saba Desa Program (Case: Saba Desa Program in Bojong Sempu and Hambalang Village, Bogor Regency).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effectiveness of Political Communication on Saba Desa Program (Case: Saba Desa Program in Bojong Sempu and Hambalang Village, Bogor Regency)."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DINI VALDIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Efektivitas Komunikasi Politik pada Program Saba Desa: Kasus Program Saba Desa di Desa Bojong Sempu dan Hambalang Kabupaten Bogor” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013

Dini Valdiani

(3)

DINI VALDIANI. The Effectiveness of Political Communication on Saba Desa Program (Case: Saba Desa Program in Bojong Sempu and Hambalang Village, Bogor Regency). Supervised by Sarwititi S. Agung (Chairperson) and Sutisna Riyanto (Member).

The objectives of this research were: 1) to describe the effectiveness of political communication on leader citizen dialog, 2) to analyze correlation between internal characteristics and message receptivity, 3) to analyze correlation between external factors and message receptivity, 4) to analyze correlation between communication factor and message receptivity, (5) to analize correlation between message receptivity and the effectiveness of political communication on leader-citizen dialog. This research used descriptive-correlational design, with accidental sampling as sampling method. This research was conducted in Bojong Sempu Village, Parung Sub-district and Hambalang Village, Citeureup Sub district. In this research, 71 peoples were taken as respondents. Rank Spearman and Coefficient Contingency were used as data analysis method. This research showed that: (1) Majority of Saba Desa participant saw communicator had a good image. Moreover Majority of Saba Desa Participants have a plan to follow up direction from the communicator, (2) there were significant correlation between revenue rate and motivation rate with message receptivity, (3) there were no significant correlation between social interaction and media exposure with message receptivity, (4) Authority dimension had significant correlation with message receptivity, (5) Message receptivity also had a significant correlation with the effectiveness of political communication. Attention and understanding dimension had a significant correlation with the effectiveness of political communication.

(4)

Kasus pada Program Saba Desa di Desa Bojong Sempu dan Hambalang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh Sarwititi S Agung (Ketua) dan Sutisna Riyanto (Anggota).

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan efektivitas komunikasi politik pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah, (2) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu (faktor internal) dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah, (3) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu (faktor eksternal) dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah, (4) Menganalisis hubungan faktor komunikasi dengan reseptivitas pesan pada dialog warga dengan pemimpin daerah. (5) Menganalisis hubungan antara reseptivitas pesan dengan efektivitas komunikasi politik pada dialog warga dengan pemimpin daerah.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasional, dengan metode pengambilan sampel secara accidental. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung dan Desa Hambalang Kecamatan Citeureup. 71 orang peserta Saba Desa dijadikan responden dalam penelitian ini. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inverensial berupa uji korelasi rank Spearman, dan Koefisien Kontingensi.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunankritik atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(6)

DINI VALDIANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Dini Valdiani

NIM : I352090051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Ir. Sutisna Riyanto, MS Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(8)
(9)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Efektivitas Komunikasi Politik pada Program Saba Desa (Kasus di Desa Bojong Sempu dan Hambalang Kabupaten Bogor).

Selama masa penyelesaian tesis ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr.Ir. Sarwititi Agung, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Sutisna Riyanto, MS, selaku anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, dan masukan serta membagikan pengetahuannya sehingga penulis dapat menyusun tesis ini. 2. Ketua Program Studi / Koordinator Mayor Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan, sekaligus Dosen penguji luar komisi Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS.

3. Dr.Ir. Amirudin Saleh, MS selaku dosen penguji perwakilan dari Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian Pedesaan beserta seluruh dosen dan staf yang telah memberikan perkuliahan dan layanan administrasi dengan baik dan penuh keramahan.

4. Para Kepala Desa beserta staf dan responden penelitian di Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung dan Desa Hambalang Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang telah memberikan dukungan dan membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di lapangan.

5. Ir. Hadiyanto, MS yang selalu memberikan semangat dan ilmu yang bermanfaat, hingga memberikan rekomendasi sehingga penulis dapat melanjutkan studi Magister Sains di IPB.

6. Teman-teman seperjuangan di Program Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP’09): Mas Sardi Duryatmo, Mas Sigit Pamungkas, Ibu Susy Hartati, Ibu Asmawati, Denta Mandra, Rahmah Awaliah, Ageng Rara Cindoswari, Rofi’ah, dan khususnya bagi sahabat terbaik penulis Dwi Retno Hapsari, Imani Satriani, dan Leonard Dharmawan atas segala bantuan dan dukungan semangat.

7. Yogaprasta Adinugraha, M.Si, sahabat di KMP dan di kantor, mentor penelitian sekaligus tim enumerator dari penelitian ini yang telah banyak membantu penulis baik melalui semangat maupun bimbingannya.

8. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Pakuan, Agnes Setyowati M.Hum beserta jajaran Pembantu Dekan atas dukungannya sehingga penulis dapat melanjutkan studi Magister Sains di IPB.

9. Rekan kerja penulis di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Pakuan Bogor, Pak Muslim, Bu Rizka, Bu Ratih, Bella Nandita dan semua rekan-rekan dosen yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas semangat dan pengertiannya.

(10)

Papa Hardy Tobing, serta kakak-kakak dan keponakan-keponakan penulis atas limpahan doa, kasih sayang, semangat dan dukungannya.

13. Keluarga besar penulis di Bogor, yang tersayang Mama Linggaryati dan (Alm) Papa Murdjani Darwis, Bi Piyah, serta kakak-kakak ipar dan keponakan-keponakan penulis atas semangat dan doanya.

14. Suami penulis, Syali Gestanon yang dengan penuh kesabaran, ketulusan, pengertian dan kasih sayangnya telah setia mendoakan, memberikan semangat dan menyediakan seluruh keperluan penulis selama penulis menyelesaikan studi dan tesis ini, serta

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, untuk segala perhatian, dorongan semangat, dukungan materiil dan moril berupa masukan maupun kritik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya bagi pembangunan di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu dengan segala keterbukaan, saran dan kritik tetap diharapkan guna kesempurnaan laporan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Februari 2013

(11)

tanggal 24 Mei 1983, sebagai anak keempat dari empat bersaudara, putri dari Bapak H. Hardy Tobing, dan Ibu Hj. Dra. Utju Djuariah, MS.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Tunas Harapan Bandung pada tahun 1988, kemudian melanjutkan ke SDN Mohamad Toha I Bandung dan tamat pada tahun 1994, penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 3 Bandung pada tahun 1997 dan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas penulis selesaikan di SMU Negeri 11 Bandung pada tahun 2000.

Penulis berhasil masuk ke Universitas Padjadjaran pada tahun 2000 melalui jalur UMPTN atau Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, dan diterima pada pilihan pertama, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik. Selama menduduki bangku kuliah penulis pernah menjadi Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ) Unpad, anggota Paduan Suara Mahasiswa Unpad, serta mengikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan baik sebagai panitia maupun anggota. Selama kuliah penulis juga pernah mengikuti kerja praktek di Radio Rase Bandung dan di Harian Pikiran Rakyat Bandung.

(12)

DAFTAR TABEL ... v

Keterdedahan terhadap Media Massa ... 12

Public Speaking ... 13

Struktur, Gaya dan Imbauan Pesan ... 13

Perubahan Sikap ... 14

Reseptivitas Pesan ... 16

Opini Publik ... 16

Efektivitas Komunikasi Politik pada Program Pemerintah ... 18

Analisis Survei ... 20

Analisis Isi ... 21

Penelitian Terdahulu ... 23

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 25

Kerangka Pemikiran ... 25

Desa Hambalang Kecamatan Citeureup……… 37

Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung………...38

Program Saba Desa………... 39

Profil Bupati Bogor………...40

Analisis Isi Pidato Komunikator………... 41

Karakteristik Internal Responden Saba Desa……… 50

Karakteristik Eksternal Responden Saba Desa………. 53

(13)

Hubungan antara Persepsi Responden Saba Desa terhadap Faktor

Komunikasi dengan Tingkat Reseptivitas Pesan ... 63

Hubungan antara Reseptivitas Pesan dengan Efektivitas Komunikasi Politik ... 64

KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Populasi dan sampel peserta Saba Desa ... 28

2. Pemanfaatan lahan di wilayah Desa Hambalang menurut penggunaannya ... 37

3. Pemanfaatan lahan di wilayah Desa Bojong Sempu menurut penggunaanya .. 39

4. Struktur pesan komunikator berdasarkan pola penyimpulan pesan di Desa Hambalang……….44

5. Sebaran reponden Saba Desa menurut kategori umur ... 51

6. Sebaran responden Saba Desa menurut tingkat pendidikan ... 51

7. Sebaran responden Saba Desa menurut tingkat pendapatan ... 52

8. Sebaran responden Saba Desa menurut afiliasi politik ... 52

9. Sebaran responden Saba Desa menurut motivasi datang ke Saba Desa ... 52

10. Sebaran responden Saba Desa berdasarkan interaksi sosial ... 53

11. Sebaran responden Saba Desa berdasarkan tingkat frekuensi menonton ... 54

12. Sebaran responden Saba Desa berdasarkan tingkat intensitas menonton ... 54

13. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi kredibilitas komunikator ... 55

14. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi daya tarik komunikator ... 55

15. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi kekuasaan komunikator ... 56

16. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi struktur pesan ... 57

17. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi gaya pesan ... 57

18. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi imbauan pesan ... 58

19. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi perhatian pesan ... 59

20. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi pengertian pesan ... 59

21. Sebaran responden Saba Desa terhadap persepsi penerimaan pesan ... 60

22. Sebaran responden Saba Desa menurut citra terhadap komunikator... 61

23. Sebaran responden Saba Desa menurut rencana terhadap pesan... 61

24. Hubungan karakteristik internal responden Saba Desa dengan tingkat reseptivitas pesan...63

25. Hubungan antara persepsi terhadap faktor komunikasi dengan tingkat reseptivitas pesan...64

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Model S-O-R ... 15 2. Kerangka Pemikiran “Efektivitas Komunikasi Politik” ... 26

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Jadwal Program Saba Desa ... 71

2. Kuesioner ... 75

3. Foto-foto ... 85

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pencapaian tujuan pembangunan di Indonesia membutuhkan pemanfaatan dari segenap potensi yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan secara optimal. Menggerakkan segenap potensi yang ada dari masing-masing individu ini memerlukan suatu komunikasi yang efektif dari pemimpinnya, yaitu komunikasi yang bersifat membangun atau merubah individu ke arah yang lebih baik. Dibutuhkan aktivitas pertukaran pesan yang timbal balik antara masyarakat dan pemerintah dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan, agar tercapainya hasil yang maksimal. Komunikasi dua arah seperti inilah yang diharapkan oleh Pemerintah untuk meningkatkan potensi yang ada dari masing-masing warga dan daerahnya agar dapat bersama-sama membangun daerahnya.

Taufik (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Komunikasi Interaktif Sebagai Model Sosialisasi Program Pembangunan bagi Masyarakat Pedesaan di Era Otonomi” menyatakan, bahwa komunikasi interaktif sangat cocok bagi masyarakat desa, sehingga tidak ada salahnya apabila pihak pemerintah daerah di era otonomi mengadopsi model komunikasi ini sebagai sarana sosialisasi program-program pembangunan di pedesaan. Untuk melengkapi penelitian ini, agar berjalan lebih efektif, model sosialisasi program-program tersebut tidak hanya menggunakan komunikasi interaktif, tapi juga harus bermanfaat dan menguntungkan masyarakat. Untuk itu informasi harus disampaikan oleh komunikator (dalam hal ini pemimpin pemerintahan) yang dapat dipercaya. Masyarakat desa membutuhkan figur komunikator yang disukai, mengerti kebutuhan masyarakat dan dekat dengan masyarakat, untuk membimbing mereka ke arah yang lebih baik. Salah satu contoh sukses adalah pemerintah Kota Solo dalam membangun kotanya ketika dipimpin oleh Walikota Joko Widodo. Banyak prestasi yang diraih, di antaranya kota dengan tata ruang terbaik ke-2 di Indonesia tahun 2009 dan kota dengan kualitas udara terbersih tahun 2011. Prestasi seperti ini dapat diraih salah satunya selain partisipasi dari rakyatnya tentu berkat arahan yang baik dari pemimpinnya.

(18)

Kabupaten Bogor berusaha melayani masyarakat dan mengajak partisipasi aktif dari masyarakat melalui Program Saba Desa. Program yang berbentuk dialog antara warga dan pemimpinnya secara langsung ini sudah berjalan sejak tahun 2005 sebagai wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat Kabupaten Bogor. Dengan adanya program ini diharapkan komunikasi pembangunan yang dijalankan oleh Bupati Kabupaten Bogor dapat terwujud menjadi lebih efektif.

Program Saba Desa ini dijadikan oleh Pemeritah Kabupaten Bogor sebagai media untuk memfasilitasi temu langsung antara Pemerintah (yang diwakili pejabat yang terkait) dengan warganya. Pelaksanaannya digelar rutin setiap hari Jumat, dan dipimpin langsung oleh Bupati atau Wakil Bupati Bogor yang didampingi beberapa Kepala Dinas dan pejabat pemerintahan lainnya. Setiap Jumat mereka mengunjungi desa-desa yang ada di daerah Kabupaten Bogor secara bergiliran. Kegiatan ini biasanya berupa sholat Jumat bersama, kemudian dilanjutkan dengan dialog langsung antara Bupati atau Wakil Bupati dengan masyarakat mengenai pembangunan di desa tersebut, dan diakhiri dengan memberikan sumbangan dari Pemerintah Kabupaten Bogor kepada Mesjid atau Sekolah di desa tersebut melalui kepala desanya masing-masing.

Kegiatan Saba Desa mengharapkan adanya komunikasi dua arah melalui dialog, sehingga Bupati atau Wakil Bupati Bogor selaku Kepala Pemerintahan Daerah dapat mengetahui secara langsung permasalahan yang terjadi di setiap pelosok daerah Kabupaten Bogor. Program inipun menjadi ajang bagi Bupati dan Wakil Bupati untuk mengenal dan dikenal langsung oleh warganya. Dialognya dibuat informal seperti layaknya dialog keluarga, agar warga tidak sungkan-sungkan untuk mengutarakan keluhan dan masukannya. Dialog ini juga diharapkan akan menjadi solusi bagi Bupati dan jajarannya untuk menyisipkan pesan-pesan pembangunan. Pelaksanaan kegiatan Saba Desa di Mesjid setelah sholat Jumat, digunakan sebagai lokasi yang paling memungkinkan bertemunya para laki-laki khususnya kepala keluarga dalam sebuah desa. Para kepala keluarga ini dianggap merupakan target sasaran yang paling tepat untuk mengadaptasi dan mengaplikasikan pesan pembangunan di lingkungan keluarganya.

Pye dalam Dilla (2007) mengatakan peranan komunikasi dalam

pembangunan, merupakan bagian dari tinjauan komunikasi politik dalam masyarakat. Secara sederhana, komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah.” Komunikasi politik dalam pembangunan adalah segala cara dan teknik penyampaian gagasan dan keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang berkuasa kepada masyarakat yang menjadi sasaran, agar dapat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam pembangunan

(19)

hanya menyangkut kebijakan yang datang dari pusat, tetapi juga kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah itu sendiri secara tepat dan cepat.

Program Saba Desa dapat dilihat sebagai fenomena komunikasi politik, yakni komunikasi antara pembuat kebijakan (pemerintah) dengan publik. Bentuk-bentuk komunikasi politik antara publik dengan pemerintah antara lain dijalin melalui program-program sosialisasi melalui badan humas pemerintah. Kabupaten Bogor melakukan sosialisasi pembangunannya melalui Asisten Kesejahteraan Rakyat (Kesra) bagian bina mental dan kerohanian, yang berada di bawah langsung Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor. Program ini dapat dijadikan media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi pembangunan dari pemerintah kepada masyarakatnya. Efektivitas program ini harus dilihat dari segi aspek komunikator, isi pesan dan komunikannya. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat seberapa efektifnya komunikasi politik yang diterapkan Sekretaris Desa Kabupaten pada Program Saba Desa dengan melihat peubah komunikator, isi pesan, media dan komunikannya. Penelitian mengenai komunikasi politik yang efektif melalui sebuah program pembangunan juga masih jarang diteliti di institusi ini, sehingga penulis dirasa perlu untuk mengkaji lebih dalam mengenai efektivitas komunikasi politik ini.

Perumusan Masalah

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui efektivitas komunikasi politik melalui program Saba Desa, dalam hal ini kasus pada Saba Desa di wilayah Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung, dan Desa Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Komunikasi dapat dikatakan efektif apabila komunikator berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya (Tubbs dan Moss, 2006). Komunikasi politik ini dinyatakan efektif jika pesan pembangunan yang ingin disampaikan oleh komunikator (Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bogor) dapat diterima dengan baik atau sama kebermaknaannya oleh komunikan (masyarakat Desa Bojong Sempu dan Desa Hambalang), sehingga tidak terjadi salah persepsi. Berdasarkan paparan di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas komunikasi politik pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah?

2. Sejauhmana hubungan karakteristik faktor internal individu dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah?

3. Sejauhmana hubungan karakteristik faktor eksternal individu dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah?

4. Sejauhmana hubungan faktor komunikasi dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah?

(20)

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dirumuskan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Mendeskripsikan efektivitas komunikasi politik pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah.

2. Menganalisis hubungan karakteristik faktor internal individu dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah.

3. Menganalisis hubungan karakteristik faktor eksternal individu dengan reseptivitas pesan pada dialog antar warga dengan pemimpin daerah.

4. Menganalisis hubungan faktor komunikasi dengan reseptivitas pesan pada dialog warga dengan pemimpin daerah.

5. Menganalisis hubungan reseptivitas pesan dengan efektivitas komunikasi politik pada dialog warga dengan pemimpin daerah.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan masukan mengenai efektivitas komunikasi politik pada program pemerintah khususnya mengenai program-program yang mendukung pembangunan suatu daerah.

2. Landasan bagi penelitian selanjutnya, terutama pihak-pihak yang mau melanjutkan penelitian mengenai efektivitas komunikasi politik pada program pemerintah daerah.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Politik

Robin, Plano dan Riggs (1985) menyatakan komunikasi politik sebagai penyebaran arti, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik. Komunikasi politik dapat juga dikatakan merupakan proses melakukan ekspresi pendapat, pandangan atau perilaku, baik perorangan maupun kelompok lembaga yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai masalah yang berhubungan dengan pemerintahan dan pembangunan. Komunikasi politik juga dapat diartikan sebagai proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem sosial dengan sistem politik, serta merupakan proses yang berkesinambungan, dan melibatkan pertukaran informasi diantara individu yang satu dengan kelompoknya pada semua tingkat masyarakat (Althoff&Rush, 1983).

Komunikasi politik menurut Susanto (1985) sebagai komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama. Dilihat dari sisi kegunaannya, menurut Kantaprawira (1987), komunikasi politik berguna untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra-golongan, institut, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor pemerintahan. Secara sederhana, komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah.”

Komunikasi politik adalah suatu proses dan kegiatan-kegiatan membentuk sikap dan tindakan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti (Harun&Sumarno, 2006). Tindakan Komunikasi politik dapat dilakukan dalam beragam konteks, yaitu komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi publik dan komunikasi massa.

(22)

sering bertujuan untuk memberikan penerangan, menghibur, memberikan penghormatan, atau membujuk.

Komunikasi politik dalam pembangunan adalah segala cara dan teknik penyampaian gagasan dan keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang berkuasa kepada masyarakat yang menjadi sasaran, agar dapat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pada konteks ini komunikasi pembangunan dilihat sebagai rangkaian usaha mengkomunikasikan pembangunan kepada masyarakat, agar mereka ikut serta dalam memperoleh manfaat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu bangsa (Dilla, 2007).

Komunikator Politik

Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, namun yang melakukannya secara tetap dan berkesinambungan, jumlahnya relatif sedikit. Walaupun sedikit, para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Nimmo (2004) mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut: politikus, profesional, dan aktivis.

1. Politikus

Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Katz dalam Nimmo (2004), membedakan politikus ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu: politikus ideolog (negarawan) serta politikus partisan.

a. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik. Mereka tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya. Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara.

b. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya. Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua / anggota Mahkamah Agung, Ketua / anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).

2. Profesional

(23)

untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Komunikator profesional beroperasi (menjalankan kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu pihak, dibebankan oleh khalayak akhir dan, di lain pihak, oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat dibedakan politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para jurnalis pada satu sisi, dan para promotor pada sisi lain.

3. Aktivis

Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. Dalam hal lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka. Apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat.

Dalam komunikasi politik, komunikator politik merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas komunikasi. Beberapa studi mengidentifikasi sejumlah karakteristik yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Petty dan Cacioppo (1996) menyatakan bahwa ada empat komponen yang harus ada pada komunikator politik, yaitu kredibilitas komunikator, dayatarik komunikator, kesamaan dengan komunikator dan kekuasaan komunikator.

1. Kredibilitas komunikator

Kredibilitas sumber mengacu pada sejauh mana sumber dipandang memiliki keahlian dan dipercaya. Semakin ahli dan dipercaya sumber informasi, semakin efektif pesan yang disampaikan. Kredibilitas mencakup keahlian sumber (source expertise) dan kepercayaan sumber (source trustworthiness). a. Keahlian sumber adalah tingkat pengetahuan yang dimiliki sumber

(24)

sumber yang kredibel menjadi lebih persuasif dibanding sumber yang kurang kredibel. Sebagaimana dikemukakan Lorge dari hasil penelitiannya, bahwa “a high credibility source was more persuasive than a low credibility source if attitudes were measured immediately after the message” (Petty dan Cacioppo, 1996).

b. Sementara, aspek kepercayaan memiliki indikator-indikator antara lain tidak memihak, jujur, memiliki integritas, mampu, bijaksana, mempunyai kesungguhan dan simpatik.

2. Daya tarik komunikator

Daya tarik seorang komunikator bisa terjadi karena penampilan fisik, gaya bicara, sifat pribadi, keakraban, kinerja, keterampilan komunikasi dan perilakunya. Sebagaimana dikemukakan Petty dan Cacioppo (1996):

“Two communicators may be trusted experts on some issue, but one may be more liked or more physically attractive than the other… in part because of his physical appearance, style of speaking and mannerism, …the attractiveness is due to the performance, communication skills, self evaluation … by verbal and by the behavioral measure.”

Daya tarik fisik sumber (source physical attractiveness) merupakan syarat kepribadian. Daya tarik fisik komunikator yang menarik umumnya lebih sukses daripada yang tidak menarik dalam mengubah kepercayaan. Beberapa hal yang menggambarkan daya tarik seseorang adalah tampan atau cantik, sensitif, hangat, rendah hati, gembira, dan lain-lain.

3. Kesamaan dengan komunikator

Sumber disukai oleh audience bisa jadi karena sumber tersebut mempunyai kesamaan dalam hal kebutuhan, harapan dan perasaan. Dari kacamata

audience maka sumber tersebut adalah sumber yang menyenangkan (source likability), yang maksudnya adalah perasaan positif yang dimiliki konsumen

(audience) terhadap sumber informasi. Mendefinisikan menyenangkan

memang agak sulit karena sangat bervariasi antara satu orang dan orang lain. Namun secara umum, sumber yang menyenangkan mengacu pada sejauh mana sumber tersebut dilihat berperilaku sesuai dengan hasrat mereka yang mengobservasi. Jadi, sumber dapat menyenangkan karena mereka bertindak atau mendukung kepercayaan yang hampir sama dengan komunikan.

Sumber yang menyenangkan (sesuai kebutuhan, harapan, perasaan komunikan) akan mengkontribusi efektivitas komunikasi, bahkan lebih memberikan dampak pada perubahan perilaku. Bila itu terjadi, sumber tersebut akan menjadi penuh arti bagi penerima, artinya adalah bahwa sumber tersebut mampu mentransfer arti ke produk atau jasa yang mereka komunikasikan.

4. Kekuasaan komunikator

(25)

people simply report more agreement with the powerful source to maximize their rewards and minimize their punishment.”

Jadi pada dasarnya harus ada tiga syarat untuk menjadi seorang powerful communicator, yaitu: (1) the recipients of the communication must believe that the source can indeed administer rewards or punishments to them; (2) recipients must decide that the source will use theses rewards or punishments to bring about their compliance; (3) the recipients must believe that the source will find out whether or not they comply. Dengan dihasilkan dan terpeliharanya kepatuhan, artinya komunikator dapat mempengaruhi atau mempersuasi perilaku komunikan. Dalam upayanya mempersuasi komunikan, biasanya ada dua faktor penunjang yang harus diperhatikan pula oleh komunikator. Dua faktor tersebut adalah keterlibatan sumber dan kepentingan isu bagi penerima. Keterlibatan yang tinggi menghasilkan efektivitas pesan yang tinggi pula, dan isu yang semakin sama dengan kepentingan penerima biasanya akan lebih mendorong efektivitas pesan.

Pada peristiwa komunikasi yang manapun, faktor komunikator merupakan suatu unsur yang penting sekali peranannya. Sekalipun nantinya keberhasilan komunikasi yang dimaksud secara menyeluruh bukan hanya ditentukan oleh sumber, namun mengingat fungsinya sebagai pemrakarsa dalam aktifitas yang bersangkutan, maka bagaimanapun juga dapat dilihat betapa menentukannya peran tersebut. Karena itu dalam mengamati proses komunikasi politik, perlu sekali terlebih dahulu memahami karakteristik masing-masing komunikator tersebut, setidak-tidaknya secara umum, guna mendapatkan gambaran tentang bagaimana kelak kemungkinan-kemungkinan yang timbul baik dalam berlangsungnya proses komunikasi itu sendiri, maupun dalam keseluruhan hasil komunikasi yang dilakukan.

Kepemimpinan Politik

Nimmo (2004) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu hubungan di antara orang-orang di dalam suatu kelompok yang di dalamnya satu atau lebih orang (pemimpin) mempengaruhi yang lain (pengikut) di dalam setting tertentu. Lebih lanjut, Ilmuwan politik Lewis Froman dalam Nimmo (2004) merangkumkan kecenderungan yang membedakan pemimpin dan bukan pemimpin di dalam kelompok. Pemimpin (1) memperoleh kepuasan yang beragam karena menjadi anggota kelompok; (2) lebih kuat dalam memegang nilai-nilai mereka; (3) memiliki kepercayaan yang lebih besar tentang kelompok itu dan hubungannya dengan kelompok lain, pemerintah, masalah politik, dan sebagainya; (4) kurang kemungkinannya untuk berubah kepercayaan, nilai, dan pengharapannya karena tekanan yang diberikan kepadanya; (5) lebih mungkin membuat keputusan mengenai kelompok berdasarkan kepercayaan, nilai dan pengharapan sebelumnya; dan (6) lebih berorientasi kepada masalah, terutama mengenai masalah yang menyangkut perolehan material, alih-alih kepuasan yang kurang nyata atau pertanyaan yang penuh emosi.

(26)

terhadap keinginan dan kebutuhan pengikut, penciptaan hubungan pribadi yang hangat, pengembangan rasa saling percaya, pengusahaan kerja sama, dan pencapaian solidaritas sosial.

Bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang terhadap pemimpin; pengikut mengaitkan kepemimpinan dengan orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang apa pemimpin itu. Beberapa komunikator merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Di luar organisasi mungkin mereka tidak banyak artinya bagi orang. Komunikator seperti itu disebut pemimpin organisasi. Namun, komunikator yang tidak menduduki posisi yang ditetapkan dengan jelas; atau jika menduduki posisi demikian, mereka berarti bagi orang karena alasan di luar peran keorganisasian. Komunikator politik yang merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya, diberi nama pemimpin simbolik.

Jelas bahwa sebagian besar politikus, komunikator profesional, dan aktivis politik adalah pemimpin organisasi, pejabat terpilih, atau karier mempunyai posisi formal kepemimpinan di dalam jaringan komunikasi yang terorganisasi yang membentuk pemerintah. Komunikator profesional sering merupakan karyawan organisasi-wartawan yang bekerja pada organisasi media massa, dan promotor sebagai anggota organisasi mempublikasikan kepentingan perusahaan, jawatan pemerintah, kandidat atau partai politik. Jurubicara sebagai komunikator aktivis adalah pembela organisasi. Dari komunikator politik utama yang dilukiskan lebih dulu, hanya pemuka pendapat yang bekerja melalui keakraban yang disediakan oleh jaringan komunikasi interpersonal berada terutama di luar struktur organisasi yang diformalkan.

Terdapat ikatan di antara pemimpin dan pengikut yang ditempa oleh kepuasan material, sosial, dan emosional yang diturunkan orang dari keikutsertaan dalam politik. Kepuasan ini, terutama yang kurang berwujud, yaitu jenis sosioemosional, muncul di dalam dan melalui proses komunikasi. Komunikasi menciptakan, mendorong, atau menghancurkan rasa solidaritas di antara orang-orang dan rasa puas pribadi dalam mengungkapkan harapan dan cita-cita, ketakutan dan kegelisahan orang. Kemudian, sampai taraf yang sangat luas, ikatan antara pemimpin dan pengikut adalah ikatan komunikasi. Oleh sebab itu, komunikator politik utama memainkan peran strategis, bertindak sebagai pemimpin politik dengan menyiarkan pesan-pesan yang oleh para pengikutnya dianggap berarti dan memuaskan, sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka yakini.

Karakteristik Individu

Karakteristik yaitu ciri-ciri atau sifat sedangkan individu adalah diri pribadi. Jadi karakteristik individu adalah sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang. Menurut Robbins (2003) semua perilaku seseorang pada dasarnya dibentuk oleh kepribadian dan pengalaman yang dimilikinya, usia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu.

(27)

penting dalam mengkaji masyarakat lokal di antaranya adalah peubah karateristik individu. Karakteristik anggota kelompok pada dasarnya merupakan karakteristik individu, karakteristik individu meliputi: usia, tingkat pendidikan, dan ciri psikologis.

Soekartawi (2005) lebih rinci mengemukakan karakteristik individu antara lain: umur, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, fatalism, sistem kepercayaan tertentu dan karateristik psikologi.

Menurut De Vito (1997) karakteristik seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Pengalaman seseorang tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dalam menyimpulkan suatu informasi dan menafsirkan pesan disebut persepsi (Rakhmat, 2005).

Konsep Interaksi Sosial

Dalam proses sosial akan terjadi di dalamnya suatu interaksi sosial. Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: 1) Adanya kontak sosial, dimana kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: antara orang perorangan, antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, dan antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya; 2) Adanya komunikasi, dimana arti penting komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, sikap), perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut yang kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan (Soekanto, 2003)

Menurut Susanto (1985), mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses dengan mana manusia saling pengaruh mempengaruhi dan merumuskan pikiran, perasaan, harapan dan kecemasan masing-masing. Interaksi sosial didahului untuk suatu kontak sosial atau komunikasi. Dengan demikian komunikasi merupakan alat dari interaksi. Interaksi akan berlangsung selama pihak-pihak yang terlibat menginginkan atau merasa ada keuntungan yang bisa didapatnya dari kelangsungan komunikasi dengan pihak lain.

Dalam komunikasi politik, warga negara atau publik sebagai konstituen para politisi dapat berperan sebagai komunikator ketika menyalurkan aspirasi atau tuntutan, dan pada saat yang sama mereka juga berperan sebagai khalayak komunikasi ketika menerima pesan-pesan dari para politisi ataupun aparat birokrasi. Perilaku politik mereka dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya masing-masing.

(28)

interaksi antara totalitas kepribadian dengan totalitas pengalaman politis menyediakan bahan baku bagi pembentukkan sikap dan ekspresi pendapat-pendapat individual.

Keterdedahan terhadap Media Massa

Media massa pers, televisi, radio dan lain-lain serta proses komunikasi massa semakin banyak menjadi obyek studi. Gejala ini seiring dengan semakin meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai suatu institusi penting dalam masyarakat. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi (Cangara, 2000).

Terdapat dua dimensi peranan media massa di tengah kekuatan sosial (McQuail, 1996). Pertama sebagai penghubung yang menyebarkan pesan para calon ‘penyokong’, serta di lain pihak sebagai penghubung dalam publik yang berusaha memenuhi kebutuhan informasi dan kebutuhan informasi lainnya. Peran organisasi media beserta komponennya adalah sebagai penentu dalam situasi yang ditandai oleh adanya berbagai kendala, tuntutan, serta sekian banyak pendayagunaan kekuasaan dan pengaruh. McQuail (1996) lebih lanjut mengatakan, bahwa media memiliki dua kekuatan pokok, yaitu:

1. Keefektifan media untuk mencapai tujuan kekuasaan tertentu – persuasi, mobilisasi, informasi, dan sebagainya.

2. Kekuasaan siapa yang diterapkan media-kekuasaan masyarakat secara keseluruhan, kekuasaan kelas atau kelompok kepentingan tertentu atau kekuasaan komunikator secara individu

Kontak dengan media massa adalah bagian dari usaha mencari dan menyebarkan informasi di mana individu sebagai tokoh masyarakat atau masyarakat mendapatkan informasi melalui media massa baik media cetak, maupun media elektronik. Kontak dengan media massa juga merupakan keterdedahan masyarakat terhadap media. Keterdedahan adalah mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih umum mengalami dengan sedikitnya jumlah perhatian minimal pada pesan media (Halim, 1992)

Menurut Rogers (1966), keterdedahan seseorang terhadap media-media massa mempunyai korelasi yang sangat tinggi antara satu dengan lainnya, sehingga dapat dibuat suatu indeks keterdedahan pada media massa. Setiap indikator keterdedahan pada media massa paling tidak dikotomikan ke dalam dua, yaitu (1) sedikitnya pernah terdedah (minimal membaca surat kabar, mendengar radio, dan menonton televisi dalam seminggu), dan (2) tidak terdedah.

(29)

Public Speaking

Menurut Webster’s Third New International Dictionary (2002), tercantum pengertian Public Speaking adalah:

1. Proses pembuatan pembicaraan di depan publik.

2. Sebuah seni ilmu pengetahuan tentang komunikasi lisan yang efektif dengan para pendengarnya.

Sementara menurut Zarefsky (2008), public speaking adalah proses komunikasi yang berkelanjutan dimana pesan dan lambang bersirkulasi ulang secara terus menerus antara pembicara dan pendengarnya, sedangkan menurut Gunadi (1998), public speaking adalah sebuah bentuk komunikasi yang dilakukan secara lisan tentang sesuatu hal atau topik di hadapan banyak orang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi, mengubah opini, mengajar, mendidik, memberikan penjelasan, serta memberikan informasi kepada masyarakat tertentu pada suatu tempat tertentu. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam public speaking, diantaranya: Intonasi, aksentuasi, artikulasi, kecepatan, tempo, jeda, diagframa, tanda baca, mic-ing, nada suara, popping, logat, penulisan naskah dll.

Struktur, Gaya dan Imbauan Pesan

Struktur pesan menurut Rakhmat (2005) adalah pola penyimpulan pesan (baik pesan tersirat maupun tersurat), pola urutan argumentasi (mana yang lebih didahulukan, argumentasi yang penting atau argumentasi yang tidak penting, atau argumentasi yang menunjang komunikator atau membicarakan pro dan kontra sekaligus). Struktur pesan merupakan susunan pokok-pokok gagasan yang menyatu jadi suatu kesatuan pesan yang utuh. Untuk merancang struktur pesan harus memperhatikan sikap khalayak sasaran terhadap pesan dan tujuan komunikator.

Ada dua kelompok struktur pesan yang dapat dibuat, yaitu pro-kontra dengan kontra-pro dan satu sisi dengan dua sisi. Dalam struktur pro-kontra, komunikator mendahulukan argumen atau gagasan yang selaras dengan pendapat atau sikap khalayak, selanjutnya gagasan yang bertentangan dengan sikap khalayak disajikan pada bagian akhir pembicaraan. Sebaliknya dalam struktur kontra-pro, komunikator mengawali presentasinya dengan mengemukakan gagasan yang berlawanan, selanjutnya presentasi ditutup dengan argumentasi pro khalayak. kemudian struktur satu sisi artinya komunikator hanya menyajikan gagasan pada satu dimensi saja, misalnya aspek baik atau keuntungan saja yang dibicarakan dari pesan tersebut tanpa memperhatikan kerugian yang akan diterima. Sedangkan pada struktur dua sisi, komunikator menyajikan program yang akan dilaksanakan dengan melihat sisi keuntungan dari kerugian secara proporsional (Sugiana dan Syam, 2004)

(30)

Perbedaan prinsip gaya antara komunikasi lisan dan komunikasi tulisan, yaitu gaya tulisan lebih formal dalam struktur dan isi dibandingkan komunikasi lisan, gaya lisan lebih berulang-ulang dan gaya lisan lebih personal. Ada dua belas prinsip yang dapat digunakan untuk memaksimalkan bahasa, yaitu (1) memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu; (2) Menggunakan kata-kata pendek dan menghindari kata-kata yang panjang; (3) Menggunakan kata-kata yang konkret; (4) Menggunakan kata secara ekonomis; (5) Menggunakan kata-kata positif; (6) Menghindari jargon yang sudah usang; (7) Menggunakan gaya percakapan; (8) Menyusun kalimat secara ringkas; (9) Mengutamakan kalimat aktif; (10) Mampu mengembangkan paragraf secara efektif; (11) Mengembangkan koherensi; dan (12) Berusaha untuk mengedit dan menulis ulang hasil hasil penulisan.

Imbauan pesan adalah aspek yang digunakan untuk menyentuh (stimulasi) khalayak oleh komunikator dalam menyampaikan pesan, agar khalayak berubah. Ada beberapa jenis imbauan yang digunakan dalam psikologi komunikasi, yakni imbauan rasional dan emosional, takut dan ganjaran, dan imbauan motivasional. Imbauan rasional adalah imbauan didasarkan pada asumsi pokok tentang manusia sebagai makhluk berpikir. Manusia sebagai pribadi rasional, selalu mendasarkan setiap tindakannya pada pertimbangan logika. Sedangkan imbauan emosional artinya pendekatan komunikasi lebih diarahkan pada sentuhan-sentuhan afeksi seperti marah, suka, benci dan lain-lain. Imbauan takut digunakan bila komunikator menghendaki timbulnya kecemasan khalayak dalam menyampaikan pesan. Imbauan ini efektif dalam kadar moderat, sedangkan kadar takut yang rendah dan tinggi cenderung tidak berhasil. Imbauan ganjaran diberikan dengan pendekatan keuntungan yang diperoleh bila khalayak mengikuti perilaku tertentu. Jenis imbauan ini menggunakan asumsi bahwa makhluk hidup akan mempertahankan perilaku tertentu bila perilaku itu memberikan keuntungan. Imbauan motivasional didasarkan pada jenis-jenis kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Kebutuhan tersebut menjadi potensi, yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas persuasif (Sugiana dan Syam, 2004).

Perubahan Sikap

Teori stimulus-respons merupakan teori yang menitikberatkan pada penyebab sikap yang dapat mengubah sikap itu dan tergantung pada “kualitas rangsang yang berkomunikasi dengan organisme”. Karakteristik dari komunikator (sumber), menentukan keberhasilan tentang perubahan sikap seperti kredibilitasnya, kepemimpinannya, dan gaya berkomunikasi (Mar’at, 1981). Pendekatan teori stimulus-respons ini beranggapan bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti melalui suatu analisa dari stimuli yang diberikan, dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik serta didukung oleh hukuman maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi.

(31)

Gambar 1. Model S-O-R (Hosland, Janis dan Kelley dalam Mar’at, 1981)

Proses tersebut di atas menggambarkan “perubahan sikap” dan bergantung pada proses yang terjadi pada individu.

1. Stimulus yang diberikan pada organisme dapat diterima atau dapat ditolak, maka pada proses selanjutnya terhenti. Ini berarti bahwa stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi organisme, maka tidak ada perhatian (attention) dari organisme. Jika stimulus diterima oleh organisme berarti adanya komunikasi dan adanya perhatian dari organisme. Dalam hal ini stimulus adalah efektif dan ada reaksi.

2. Langkah berikutnya adalah jika stimulus telah mendapat perhatian dari organisme, maka proses selanjutnya adalah mengerti terhadap stimulus. Kemampuan dari organisme inilah yang dapat melanjutkan proses berikutnya. 3. Pada langkah berikutnya adalah bahwa organisme dapat menerima secara

baik apa yang telah diolah sehingga dapat terjadi kesediaan untuk perubahan sikap.

Dalam proses perubahan sikap ini terlihat bahwa sikap dapat berubah, hanya jika rangsang yang diberikan benar-benar melebihi rangsang semula. Stimulus awal lebih kecil daripada stimulus kedua---perubahan berarti bahwa stimulus yang diberikan dapat meyakinkan organisme dan akhirnya dapat secara efektif mengubah sikap. Faktor reinforcement adalah penting dalam peranan meyakinkan ini, sebagai suatu incentives yang menggertak stimulus awal sehingga dapat terjadi perubahan. Dalam hal ini faktor komunikasi menentukan dalam meyakinkan dan memberitahu suatu reinforcement terhadap organisme, dan komunikasi yang meyakinkan ini tergantung dari aspek-aspek sebagai berikut: 1. Stimulus yang dikomunikasikan tergantung pada arti agumentasinya dan

himbauannya.

2. Sumber relevansi yang dapat dipercaya.

3. Cara penyajian yang disampaikan dalam berkomunikasi (teknik). Stimulus

Organisme

 Perhatian

 Pengertian

 Penerimaan

Reaksi

(32)

Reseptivitas Pesan

Reseptivitas pesan menurut McGuire dalam Rakhmat (1995) adalah sejauh mana komunikan menyadari, memahami dan menyetujui pesan yang disampaikan oleh komunikator. Reseptivitas pesan ini terdiri dari tiga faktor, perhatian, pengertian dan penerimaan pesan. Faktor perhatian diukur dengan sejauh mana komunikan menyadari adanya pesan, faktor pengertian diukur dengan sejauhmana komunikan memahami pesan dan faktor penerimaan dibatasi pada sejauh mana komunikan menyetujui gagasan yang dikemukakan komunikator.

Jika ditelaah lebih lanjut, agar persuasi itu terjadi, McGuire dalam Nimmo (2004) menyatakan ada enam langkah berturut-turut menurut urutan “pemprosesan informasi”, yang pertama harus ada imbauan persuasif, orang harus memperhatikannya, orang harus memahami isinya, menerimanya, tetap pada opini yang baru dianutnya, dan bertindak lebih lanjut berdasarkan pandangan itu. Bahwa harus ada imbauan persuasif tampaknya cukup jelas, kita akan memperhatikan sejauh mana saluran komunikasi politik itu menyajikan bagi warga negara imbauan demikian dari berbagai pemimpin politik. Kedua, juga agak jelas bahwa orang harus memperhitungkan imbauan itu jika akan relevan dengan dengan perilaku orang tersebut di masa depan; tentu disinilah munculnya tanda-tanda pertama keterlibatan aktif yang dipersuasi di dalam proses itu. Langkah ketiga, pemahaman, memerlukan lebih banyak lagi tindakan dari anggota khalayak; pemahahaman berarti mengerti argumentasi dan kesimpulan pesan. Menerima yaitu langkah keempat, berarti diyakinkan oleh imbauan itu; Retensi, langkah kelima menunjukkan bahwa seseorang tetap pada pandangan yang baru diperolehnya selama jangka waktu yang panjang, jadi bukan sekedar menyatakan persetujuan dan kemudian melupakan seluruh masalah itu. Langkah terakhir, tindakan yang sesuai dengan imbauan persuasif, merupakan hasil praktis, kegiatan ini seperti jika seorang warga Negara benar-benar memberikan suara kepada kandidat yang telah membuat kampanye itu berhasil.

Dengan demikian, keenam langkah persuasi McGuire dapat dipandang sebagai tahap-tahap yang dapat didentifikasi, di dalam proses persuader (propagandis, pengiklan, atau ahli retorika) dan yang dipersuasi (anggota kelompok, perseorangan, yang terisolasi, atau kolaborator) bersama-sama menyusun makna, atau citra, bersama tentang pesan persuasif. Citra itu menghasilkan bertindaknya yang dipersuasi menurut garis yang dimaksudkan oleh persuader. Dengan mengikuti McGuire maka dapat menggabungkan keenam tahap penyusunan citra dengan kelima unsur komunikasi yang telah kita gunakan: sumber (siapa?), pesan (mengatakan apa?), saluran, penerima (dengan siapa?), dan tujuan (dengan akibat apa?).

Opini Publik

(33)

sifat dinamis yang serupa pada opini publik, sifat yang dapat ditelusuri ke sejumlah hal. Ada sebuah faktor utama yang menonjol, yaitu bagaimana orang giat menyusun persepsi yang bermakna tentang gejala politik (citra politik mereka) dan mengungkapkan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang saling lingkup (opini mereka).

Pokok dasar pikiran tentang komunikasi politik adalah bahwa orang bertindak terhadap obyek berdasarkan makna obyek itu bagi dirinya. Akan tetapi, makna sebuah obyek, demikian telah kita katakan, apakah obyek itu manusia, tempat, peristiwa, gagasan, atau kata, tidak tetap dan tidak statis. Orang terus menerus menyusun makna berbagai objek dengan menangani obyek-obyek itu. Singkatnya orang berperilaku terhadap obyek dengan memberikan makna kepadanya, makna yang pada gilirannya diturunkan dari perilakunya sebagai individu. Melalui kegiatan komunikasi memberi dan menerima ini, di antara makna dan tindakan ini, orang memperoleh kecenderungan tertentu. Kecenderungan ini diperhitungkan ke dalam perilakunya jika ia memasuki situasi yang baru. Kecenderungan tidak menentukan perilaku lebih dulu, tetapi kecenderungan adalah kecenderungan dari suatu kegiatan. kecenderungan menunjukkan garis tindakan kepada seseorang, tetapi bukan satu-satunya garis. Apa yang diperhitungkan orang saat menemukan makna dalam situasi yang baru, mungkin saja itu merupakan kecenderungan yang dimilikinya, tetapi tidak perlu selalu demikian. Apalagi, sebagai kecenderungan dari kegiatan, bukan untuk kegiatan. kecenderungan sendiri mengalami perubahan ketika orang menyusun makna dalam dunia subyektif dan berperilaku sesuai dengan makna itu.

Miller, Balanter dan Pribam dalam Nimmo (2004) menguraikan hubungan antara kecenderungan dan kegiatan dengan cara yang akan membantu kita memahami bagian peran yang akan dimainkan oleh kecenderungan dalam kegiatan mengungkapkan kepercayaan, nilai, dan pengharapan personal. Kegiatan adalah karakteristik intrinsik setiap organisme, termasuk manusia. Kegiatan terdiri atas tiga tahap pokok, yaitu citra, rencana, operasi. Citra adalah segala sesuatu yang telah dipelajari seseorang, yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa terjadi di dalamnya. Ke dalam citra tercakup seluruh pengetahuan seseorang (kognisi), baik benar ataupun keliru, semua preferensi (afeksi) yang melekat kepada tahap tertentu peristiwa yang menarik atau menolak orang tersebut dalam situasi itu, dan semua pengharapan berperilaku dengan cara yang berganti-ganti terhadap objek di dalam situasi itu.

Ringkasnya, citra adalah kecenderungan yang tersusun pikiran, perasaan dan kesudian. Citra selalu berubah seiring dengan berubahnya pengalaman. Rencana disajikan di dalam citra dan terdiri atas perintah yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri dengan melakukan kegiatan. Kadang-kadang rencana disusun dan dilaksanakan tanpa disadari. Aspek utama rencana ialah bahwa ia membawa perintah tidak hanya tentang apa yang harus dilakukan, tetapi juga tentang akibat melakukan segala sesuatu; melalui rencana, seseorang membandingkan apa yang dimaksudkan dengan apa yang benar-benar tercapai (seperti ketika seseorang mempersepsi mengangkat pedal gas mobil terlalu banyak dan harus mengimbangi dengan menekannya sedikit). Yang terakhir, operasi adalah apa yang dilakukan orang, seperti mengerjakan mesin tik, menyetir mobil, dan sebagainya.

(34)

dan menyusun perilaku dengan cara yang bermakna sesuatu bagi dirinya. Dalam matriks ini “perilaku bergantung pada citra”, 3) dan “cara orang membayangkan dunia menentukan apa yang akan dilakukannya pada setiap saat tertentu. Akan tetapi, “bergantung pada” dan “menentukan” tidak berarti bahwa itu merupakan citra yang tetap, atau kecenderungan, menentukan tindakan. Menurut Lippmann

dalam Nimmo (2004), pernyataan tentang tujuan atau uraian apapun tentang kecenderungan, untuk mencarinya tidak dapat menerangkan perilaku yang dihasilkannya. Sebaliknya apa yang dicitrakan orang itu membimbing “upaya, perasaan, dan harapan mereka, bukan prestasi dan hasil mereka”. Hanya dalam pengertian bahwa mereka berubah maka citra adalah “unsur penentu dalam pikiran, perasaan, tindakan”. Orang memanfaatkan citranya melalui rencana. Rencana itu menentukan apa yang harus diperhitungkan dalam situasi tertentu yang mungkin relevan dalam membuat pilihan. Kecenderungan seperti citra dan rencana adalah tahap-tahap kegiatan; dengan itu orang memperhitungkan segala sesuatu dan menghubungkan pikiran, perasaan dan kesudiannya kepada apa yang dipersepsinya sebagai sesuatu yang relevan untuk menghadapi situasi tertentu.

Jika disederhanakan opini adalah kegiatan. Orang menyatakan opininya dengan melakukan segala jenis perbuatan-dengan memberikan atau tidak memberikan suara, menjawab pertanyaan Pollster, membawa tanda dalam demonstrasi, menulis surat kepada anggota kongres, menaati hukum, tidak menaati hukum, pergi ke pengadilan, menyumbangkan uang untuk kampanye seorang kandidat, dan segala jenis tindakan lain. Sebagai kegiatan, opini menggabungkan citra dunia politik, rencana yang memperhitungkan obyek politik tertentu, dan operasi yang merupakan tanggapan yang bermakna.

Citra seseorang tentang politik muncul dari perubahan, dan dipertukarkan melalui komunikasi. Rencana seseorang terdiri atas proses interpretatif jika ia memperhitungkan objek-objek dalam membuat pilihan. Operasi adalah kepercayaan, nilai dan pengharapan yang disuarakan melalui perilaku.

Efektivitas Komunikasi Politik pada Program Pemerintah

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tubbs dan Moss

dalam Effendy (1986), mengemukakan bahwa tanda-tanda komunikasi yang

efektif, paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu:

1. Pengertian, yaitu penerimaan yang cermat dari isi pesan yang disampaikan komunikator, sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran pesan oleh komunikan.

2. Kesenangan, yaitu suasana yang menjadikan hubungan menjadi hangat, akrab, dan menyenangkan.

3. Mempengaruhi sikap, yaitu kemampuan persuasif komunikator dalam menyampaikan pesan yang menimbulkan efek pada diri komunikan.

4. Hubungan sosial yang baik, yaitu tumbuhnya perasaan ingin bergabung dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan, serta ingin mencintai dan dicintai.

(35)

Beberapa hal yang diperlukan untuk komunikasi yang efektif adalah sebagai berikut: 1) Penerangan ringkas yang cukup dari penerima; 2) Penggunaan bahasa yang sesuai; 3) Kejelasan; 4) Penggunaan media yang tepat (Moekijat, 1993). Dalam melakukan komunikasi di masyarakat pedesaan terdapat dua metode pendekatan yaitu: 1) Pendekatan berdasarkan kelompok sasaran inovasi (individu, kelompok dan massa); serta 2) Pendekatan berdasarkan cara penyampaian isi pesan (ceramah dan diskusi, demonstrasi, dan penggunaan alat bantu).

Almond dan Powel dalam Nasution (1990) menggambarkan birokrasi pemerintah sebagai suatu kelompok yang terdiri dari para petugas dan jabatan yang dipertautkan melalui hirarki yang terperinci, dan tunduk kepada pembuat aturan formal. Perkembangan birokrasi ditandai oleh spesialisasi tugas, tanggung jawab formal untuk kewajiban tertentu dengan aturan-aturan prosedur yang formal dan terstandarisasi. Karena itu dalam kedudukan sebagai komunikator, para birokrat merupakan orang-orang yang mahir secara teknis dalam bidang-bidang tertentu dari peristiwa atau urusan publik. Bersamaan dengan itu, para birokrat memiliki informasi yang bersifat esensial untuk pembuatan dan penegakan kebijakan publik

Program pemerintah dapat dilihat sebagai fenomena komunikasi politik, yakni komunikasi antara pembuat kebijakan (pemerintah) dengan publik, sehingga dapat dikaitkan antara kebijakan pemerintah dan opini publik. Bentuk-bentuk komunikasi politik antara publik dengan pemerintah antara lain dijalin melalui program-program sosialisasi melalui badan humas pemerintah. Sebagai bentuk periklanan politik pesan-pesan di dalam program sosialisasi itu dapat dikemas dengan berbasis pencitraan dan atau berbasis isu. Sebagai iklan politik, efektivitas program sosialisasi tersebut dapat diukur dari sejauh mana materi komunikasi keterdedahan (exposure), yakni sejauh mana publik membaca, menonton atau mendengarkan materi komunikasi. Daya tarik (attraction) materi komunikasi adalah kemampuan materi atau pesan (dalam bentuk simbol-simbol gambar, kata-kata, tulisan, dan suara) untuk menarik perhatian responden. Pemahaman (comprehension) terhadap materi komunikasi adalah kejelasan materi komunikasi untuk dimengerti responden. Penerimaan (acceptability) terhadap materi komunikasi adalah penilaian responden terhadap isi pesan, sejauhmana isinya mengandung hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, keliru, menyinggung perasaan dan lain-lain. Pelibatan diri (self involvement) dari materi komunikasi adalah persepsi responden terhadap isi pesan sejauh mana ditujukan kepada dirinya dan bukan orang lain. Persuasi (persuasion) dari materi komunikasi adalah penilaian responden sejauh mana pesan tersebut meyakinkan responden untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang diinginkan oleh pesan tersebut (Sarwoprasodjo, 2009).

(36)

kepercayaan, nilai dan pengharapan sosial yang tampil melalui saling pengaruh dari ketiga manifestasi opini publik yang beragam. Opini publik adalah gejala bersegi banyak yang disusun melalui saling pengaruh di antara proses personal, proses sosial dan proses politik.

Mempersepsi suatu materi sosialisasi, publik dapat bersifat selektif karena publik dibatasi oleh filter fisiologis (daya ingat) dan filter psikologis (motivasi menggunakan media massa, harapan terhadap lembaga pemerintahan sebagai sumber informasi, dan pemecah masalah pembangunan). Selain itu, persepsi tersebut dipengaruhi oleh konteks (kehidupan sehari-hari sebagai pedagang/petani, akses media informasi, budaya politik, sosial, budaya maupun kondisi perekonomian).

Opini publik tersebut sekaligus mencerminkan budaya politik yang membentuknya yakni berkenaan dengan pola kecenderungan kepercayaan, nilai dan penghargaan yang dianut publik dan aktor-aktor politik lainnya (Nimmo, 2004). Budaya politik menyangkut konsepsi otoritas yakni tentang bagaimana sebaiknya pemerintahan dilaksanakan dan mengenai konsepsi tujuan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah menurut publik.

Isi opini yang penting dari sisi pembuat kebijakan adalah tentang kebijakan produk politik mereka. Penjabaran dan pengoperasianalan lebih lanjut dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah program-program. Berdasarkan informasi tersebut dapat ditafsirkan apakah pembuat kebijakan sebagai wakil sudah memenuhi harapan publiknya. Pembuat kebijakan dengan dasar pengetahuan tersebut dapat mengembangkan interaksi simbolik dengan cara membentuk hubungan dengan orang-orang (publik) yang diwakilinya maupun makna hubungan itu melalui komunikasi politik (program-program sosialisasi).

Untuk mengetahui opini publik, pembuat kebijakan dapat mengunakan berbagai sumber, yakni (1) ungkapan popular dari banyak warga Negara; (2) ungkapan simbolik dari masa atau satu atau sekelompok warga Negara; (3) ungkapan terorganisasi dan tak terorganisasi dari sejumlah kepentingan khusus (Nimmo, 2004).

Efektivitas komunikasi menurut Cassata dan Assante dalam Rakhmat (2005), ditentukan oleh arus komunikasi. Jika arus informasi dikendalikan oleh komunikator, maka situasinya dapat menunjang persuasi yang lebih efektif. Sebaliknya jika khalayak sasaran yang mengendalikan arus informasi, maka situasi komunikasi akan mendorong khalayak sasaran untuk belajar menerima informasi lebih efektif. Berdasarkan penjelasan ini kita dapat memahami mengapa belajar langsung dari guru lebih memudahkan daripada sekedar membaca dari buku.

Analisis Survei

(37)

bercerai atau rumah tangga sebagai keseluruhan tetapi satu wawancara untuk kuesioner tetap ditujukan kepada satu orang.

Penelitian survei dapat digunakan untuk maksud (1) penjajagan (eksploratif); (2) desktiptif; (3) penjelasan (explanatory atau confirmatory), yakni untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa; (4) evaluasi; (5) prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan datang; (6) penelitian operasional, dan (7) pengembangan indikator-indikator sosial. Kegunaan lainnya dari penelitian survei adalah untuk mengadakan evaluasi. Disini yang menjadi pertanyaan pokok adalah sampai seberapa jauh tujuan yang digariskan pada awal program tercapai atau mempunyai tanda-tanda akan tercapai.

Analisis Isi

Istilah analisis isi yang merupakan terjemahan dari content analysis pertama kali dipopulerkan oleh Berelson pada tahun 1952 yang merujuk pada pendapat Harold Lasswell tentang salah satu riset komunikasi massa yang berkaitan dengan unsur says what (pesan). Isi komunikasi tidak terbatas pada teks tertulis, namun dapat pula pembicaraan lisan, pidato, foto dan sebagainya. Sebagaimana diungkapkan oleh Wimmer dan Dominick dalam Hadiyanto (2010) bahwa analisis isi adalah pendekatan penelitian yang sering digunakan secara khusus pada semua tipe media. Metode ini popular di kalangan peneliti media massa karena merupakan cara yang efisien untuk menginvestigasi isi media. Contohnya menganalisis tipe-tipe iklan di media siaran atau media cetak.

Banyak definisi tentang analisis isi. Beberapa diantaranya dikutip oleh Holsti (1969) berikut ini:

1. Menggunakan istilah analisis isi dan koding secara bergantian untuk merujuk pada pendeskripsian setiap perilaku simbolik secara obyektif, sistematis, dan kuantitatif (Cartwright, 1953)

2. Istilah analisis isi digunakan di sini sebagai suatu cara menganalisis pesan-pesan komunikasi secara ilmiah … yaitu suatu cara analisis yang dilakukan secara ketat dan sistematis (Barcus, 1959)

3. Analisis isi adalah suatu tahap pengolahan informasi, yaitu mengubah isi komunikasi menjadi data yang lebih ringkas dan dapat dibandingkan melalui penerapan aturan kategorisasi secara obyektif dan sistematis (Paisley in press).

Namun diantara beberapa definisi tersebut, yang paling popular adalah definisi yang dikemukakan oleh Berelson dalam Holsti 1969, sebagaimana dikutip di bawah ini:

Suatu Teknik Penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan atau

menggambarkan isi komunikasi yang manifest (tersurat) secara obyektif, sistematis dan kuantitatif (Berelson 1952 dalam Holsti, 1969)

(38)

Obyektivitas berarti setiap tahap dalam proses analisis isi dilakukan berdasarkan aturan dan prosedur yang dirumuskan secara jelas (eksplisit). Bahkan untuk analisis isi paling sederhana da teknis pun, seorang investigator harus memiliki dasar pertimbangan yang jelas untuk mengambil keputusan berdasarkan data yang telah dikumpulkannya. Misalnya kategori apa yang akan digunakan, sejauhmana setiap kategori (misalnya kategori A) dapat dibedakan untuk kategori lainnya (misalnya kategori B), kriteria apa yang digunakan untuk memutuskan bahwa isi media (kata, tema, cerita, dan sejenisnya) harus ditempatkan pada satu kategori tertentu dan bukan pada kategori lainnya.

Sistematis mengandung pengertian bahwa setiap isi komunikasi (misalnya berita) termasuk atau tidak termasuk dalam suatu kategori tertentu dilakukan dengan menerapkan aturan atau pedoman yang telah ditetapkan secara konsisten. Syarat ini bermakna bahwa data (dalam hal ini isi media) yang digunakan dalam analisis harus sesuai dengan kriteria kategori yang kita gunakan dan membuang setiap isi media yang tidak sesuai dengan kriteria kategori. Bila yang menjadi fokus analisis kita adalah berita di halaman pertama koran (sebagai sampel atau contoh yang dipilih) maka berita di halaman lain tidak perlu dimasukkan dalam analisis. Begitu pula berita di tabloid tidak dimasukkan.

Generality atau kerumunan, yaitu setiap hasil analisis memerlukan dasar teoritis yang logis dan sesuai sehingga dapat diambil kesimpulan umum yang memiliki makna. Singkatnya memiliki relevansi teoritis, sehingga ketika kita membahas hasil analisis isi bukan sekedar mendeskripsikan data seperti apa adanya, tetapi ada pembahasan (istilah lain untuk analisis) yang masuk akal dan didukung dengan dasar teori tertentu. Jadi tidak sekedar mengelompokkan berita dalam kategori tertentu secara suka-suka (arbitrer) atau menurut selera saja.

Kuantitatif mengandung pengertian bahwa hasil analisis isi dituangkan dalam bentuk tabulasi angka-angka, baik berupa frekuensi, persentase atau rata-rata. Dengan penyajian seperti ini dapat dilakukan beberapa prosedur analisis deskriptif yang sederhana, misalnya analisis perbedaaan atau perbandingan antar kategori atau bidang masalah yang ditetapkan sebagai unit analisis.

Di samping memiliki keunggulan karena lebih efisien dan praktis dalam penerapannya, analisis isi dianggap memiliki kelemahan karena hanya didasarkan pada informasi yang tersurat (manifest) sehingga kurang mampu mengungkapkan apa yang tersirat dan kurang mampu menjawab pertanyaan mengapa dan latar belakang sebuah teks media.

Analisis isi selalu berhubungan dengan unsur pesan. Contoh yang paling sering dilakukan adalah terhadap berita koran. Meskipun demikian, analisis isi tidak terbatas pada berita, tapi terhadap semua teks tertulis maupun tidak tertulis yang disampaikan melalui berbagai media. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam analisis isi adalah, investigator atau peneliti hanya mengandalkan pada isi komunikasi yang telah terdokumentasi. Analisis isi paling sering digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan karakteristik pesan, tanpa mempertimbangkan maksud dan sumber maupun efek dari pesan tersebut terhadap penerima yang dituju.

Kegunaan Analisis Isi:

1. Menggambarkan trend atau kecenderungan isi komunikasi (pesan)

Gambar

Gambar 1. Model S-O-R (Hosland, Janis dan Kelley dalam Mar’at, 1981)
Gambar 2. Kerangka  Pemikiran “Efektivitas Komunikasi Politik”
Tabel 2. Pemanfaatan lahan di wilayah Desa Hambalang menurut penggunaannya
Tabel 7. Sebaran responden Saba Desa menurut tingkat pendapatan
+4

Referensi

Dokumen terkait