• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR

PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI

KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

YETI NEFIA SEPTIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang Kabupaten Bandung adalah benar karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Yeti Nefia Septiani

(4)

ABSTRAK

YETI NEFIA SEPTIANI. 2013. Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh HERWIN PISESTYANI dan RP AGUS LELANA.

Dalam rangka meningkatkan pendekatan praktis diagnostik klinik mastitis subklinis, 72 ekor sapi perah di KPBSU Lembang Kabupaten Bandung digunakan untuk penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan panjang puting dan periode laktasi terhadap profil mastitis subklinis. Data periode laktasi dikumpulkan dari wawancara peternak. Pengujian Mastitis subklinis dengan pereaksi IPB-1 Mastitis Test dan panjang puting diukur menggunakan pita ukur (cm). Data dianalisis menggunakan uji Duncan dan regresi logistik. Korelasi tertinggi mastitis subklinis terjadi pada sapi perah dengan rata-rata panjang puting 7.5 cm serta telah berada pada periode laktasi ketiga dan keempat. Hasil ini menunjukkan bahwa panjang puting dan periode laktasi sapi perah merupakan faktor predisposisi mastitis subklinis. Temuan ini penting untuk meningkatkan manajemen pemerahan serta cara klinis untuk mendiagnosis mastitis subklinis.

Kata kunci: mastitis subklinis, panjang puting, periode laktasi.

ABSTRACT

YETI NEFIA SEPTIANI. 2013. Teat Length and Lactation Period Factors as Subclinical Mastitis Predisposition of Dairy Cattle at KPSBU Lembang Bandung District. Supervised by HERWIN PISESTYANI and RP AGUS LELANA.

In order to enhance practical approach on clinical diagnostic of subclinical mastitis, 72 dairy cattle at KPBSU Lembang Bandung District were addressed for this research. The objective of this research was to study the correlation of teat formation within several lactation periods to subclinical mastitis profile. The data of lactation period was collected from the farmer interview. Subclinical mastitis was tested using IPB-1 Mastitis Test and the length of teat was measured using measuring tape (cm). The data were taken then analyzed by Duncan test and Logistic regression. The highest correlation of subclinical mastitis, which also the most severe cased, was happened to dairy cattle with average teat length of 7.5 cm within the third and fourth lactation periods This result was accentuated that the teat length of dairy cattle in certain lactation period was subclinical mastitis predisposition. This finding was important for improving the milking management as well as clinical diagnosing of mastitis.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PANJANG PUTING DAN PERIODE LAKTASI SEBAGAI FAKTOR

PREDISPOSISI MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI

KPSBU LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

YETI NEFIA SEPTIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang

Kabupaten Bandung Nama : Yeti Nefia Septiani

NIM : B04080083

Disetujui oleh

Drh Herwin Pisestyani, MSi Pembimbing I

Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli-Desember 2012 ini adalah Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predisposisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ibu Drh Herwin Pisestyani MSi dan Bapak Dr Drh RP Agus Lelana SpMP Msi selaku Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan selama penyelesaian skripsi serta Dr Drh Sri Murtini Msi selaku Dosen Pembimbing akademik yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam pembelajaran akademik. Penghargaan dan rasa terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Drh Pammusureng yang telah membimbing selama pelaksanaan penelitian di lapangan. Penghargaan dan terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Drh Supratikno MS APVet yang telah berkenan menjadi Dosen Penguji dan menelaah skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Sunarko dan Ibu AD Yekti Ningsih, seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta teman-teman Avenzoar FKH 45 dan Geochelone FKH 46.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Perah Friesian Holstein 2

Skoring Ambing 3

Kesehatan Ambing 3

Periode Laktasi 4

Mastitis Subklinis 4

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat 5

Alat dan Bahan 5

Metode 5

Penentuan Besaran dan Penarikan Sampel 6

Pengukuran Panjang Puting 6

Pengujian Mastitis Subklinis 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Panjang Puting terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis 7 Pengaruh Periode Laktasi terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis 9 Hubungan antara Panjang Puting dan Periode Laktasi dengan Tingkat

Kejadian Mastitis Subklinis 11

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 14

(11)

DAFTAR TABEL

1 Rataan panjang puting pada setiap periode laktasi sapi perah di KPSBU

Lembang Kabupaten Bandung 7

2 Pengaruh panjang puting terhadap derajat keparahan mastitis subklinis

sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung 8

DAFTAR GAMBAR

1 Panjang puting sapi perah 3

2 Pengaruh periode laktasi terhadap derajat keparahan mastitis subklinis

sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung 9

3 Hubungan antara panjang puting dan periode laktasi dengan tingkat kejadian mastitis subklinis sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten

Bandung 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Wawancara Peternak 14

(12)

PENDAHULUAN

Mastitis subklinis merupakan penyakit pada peternakan sapi perah yang sampai saat ini belum dapat diatasi dengan baik. Mastitis subklinis adalah peradangan pada jaringan interna ambing (Sudarwanto 1999). Kerugian yang diakibatkan oleh mastitis subklinis adalah penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal, pengafkiran ternak lebih awal serta pembelian sapi perah baru (Subronto 2003). Ancaman ini dihadapi oleh 127 211 kepala keluarga peternak sapi perah Indonesia yang populasi ternaknya mencapai 475 ribu ekor dengan produksi susu 19 juta liter (DSSP 2009). Indonesia akan sulit mencapai swasembada susu jika tidak memerhatikan ancaman tersebut. Saat ini Indonesia baru mampu memenuhi 20-30% kebutuhan dalam negeri (Luthan 2011).

Salah satu dari masalah yang dihadapi dalam penanganan mastitis subklinis terletak pada kemampuan diagnosa di lapangan dan keterjangkauan peternak untuk mendapatkan kit diagnosa mastitis subklinis. Kondisi ini juga dialami oleh peternakan sapi perah rakyat di Jawa Barat dengan skala usaha 5.8 ekor per unit usaha dan kemampuan produksi sekitar 11.6 liter/ekor/hari (DSSP 2008). Oleh karena itu diperlukan alternatif pemecahan yang lebih praktis, misalnya dengan mempelajari faktor-faktor predisposisi yang dapat dijadikan indikator terjadinya mastitis subklinis.

Upaya untuk mengetahui faktor predisposisi mastitis subklinis diantaranya dengan menilai kesehatan ambing. Menurut Blakely dan Bade (1991), kesehatan ambing sapi perah dalam kaitannya dengan produksi susu dipengaruhi oleh kondisi fisik sapi, kebiasaan memerah, nilai kondisi badan (Body Condition Score/BCS) dan skoring ambing. Skoring ambing ini meliputi panjang puting, letak puting depan, pertautan ambing depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum tengah dan letak puting belakang (Blakely dan Bade 1991). Saragih (2000) menyatakan bahwa selain faktor anatomi ambing, kesehatan ambing juga dipengaruhi oleh kebersihan lantai, permukaan lantai, dan pemerahan ambing yang higienis. Kesehatan ambing dapat dicapai dengan menjaga higiene personal, higiene pemerahan, manajemen perkandangan yang baik, manajemen pemerahan yang baik, program vaksinasi dan pemberian antibiotik secara berkala (Alluwaimi 2004).

Standar panjang puting dari sapi perah Frisian Holstein (FH) menurut Beef Improvement Federation (BIF 2011) yaitu puting depan memiliki panjang 6 cm dan 2.9 cm untuk diameter, sedangkan pada puting belakang memiliki panjang 5 cm dan 2.6 cm untuk diameter. Prihadi (1997) menyatakan bahwa sapi FH Indonesia berbeda dari asalnya, mempunyai kemampuan produksi rata-rata 10

liter per hari dengan calving interval 12-15 bulan dan lama laktasi kurang lebih 10

bulan atau produksi susu rata-rata 2 500-3 000 liter per laktasi. Rataan umur sapi

perah pertama beranak adalah 2-2.5 tahun dan ini merupakan periode laktasi pertama (Sudono 1999). Menurut Subronto (2003) masa laktasi adalah masa sapi menghasilkan susu antara waktu beranak dengan masa kering kandang, sehingga lama laktasi berkisar antara 8-10 bulan.

(13)

2

mengetahui panjang puting dan periode laktasi sebagai salah satu faktor predisposisi dari mastitis subklinis di sapi perah. Penelitian ini dilakukan di peternakan rakyat KPSBU Lembang Kabupaten Bandung, untuk mewakili profil peternakan sapi perah di Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor predisposisi dari panjang puting dan periode laktasi terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis.

Manfaat Penelitian

Diperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kejadian mastitis subklinis di peternakan sapi perah sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan lebih awal.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Perah Friesian Holstein

Sapi perah termasuk ke dalam famili Bovidae, sub famili Bovinae, genus

Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah subtropis dan Bos indicus yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan keturunan Bos taurus dan Bos indicus (Blakely dan Bade 1991).

Bangsa sapi FH murni memiliki warna bulu Black White dan Red Holstein

dengan batas-batas warna yang jelas, seperti pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor, bagian perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee atau hock) berwarna putih, memiliki tanduk yang pendek dan mengarah kedepan, sifatnya jinak, tidak tahan panas tetapi mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan lambat dewasa (Blakely dan Bade 1991).

Karakteristik sapi FH adalah memiliki berat induk rata-rata 675 kg, warna bulu hitam dan putih, temperamen tenang, kemampuan merumputnya sedang, kadar lemak susu 3.5-3.7% dengan warna lemak kuning membentuk butiran-butiran (globula), bahan kering tanpa lemak 8.5%, rata-rata produksi susu per tahun 5 750-6 250 kg dan berat lahir anak 42 kg (Blakely dan Bade 1991). Sapi FH murni yang ada di Indonesia rata-rata produksi susunya sekitar 10 liter per hari

dengan calving interval 12-15 bulan dan lama laktasi kurang lebih 10 bulan atau

(14)

3 Skoring Ambing

Ambing memiliki beberapa sistem yang mendukung dalam strukturnya, antara lain sistem peredaran darah, limfe, saraf, dan sistem saluran yang berperan dalam penyimpanan dan sekresi susu ke dalam sel epitel yang disebut juga dengan alveoli. Produksi susu pada sapi tergantung pada aktifitas alveoli (Foley dan Richard 1972).

Penilaian ambing sapi perah terkait produksi susu dipengaruhi kondisi fisik sapi, kebiasaan memerah, nilai kondisi badan (BCS) dan skoring ambing (Blakely dan Bade 1991). Skoring ambing meliputi panjang puting, letak puting depan, pertautan ambing depan, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang, ligamentum tengah dan letak puting belakang (Blakely dan Bade 1991). Panjang puting adalah jarak antara sphincter puting sampai otot melingkar ambing yang disebut kisterna puting dan berbatasan dengan kisterna ambing. Pertautan ambing depan adalah pertautan antara ligamentum suspensorium dengan bagian belakang abdomen sapi. Kedalaman ambing adalah panjang ambing sampai puting dari persendian tarsus pada kaki belakang sapi (Hock). Tinggi ambing belakang adalah jarak antara vulva dengan bagian atas ambing. Standar panjang puting dari sapi perah (FH) menurut BIF (2011) yaitu puting depan memiliki panjang 6 cm dan 2.9 cm untuk diameter, sedangkan pada puting belakang memiliki panjang 5 cm dan 2.6 cm untuk diameter.

a b c

Gambar 1 Panjang puting sapi perah; a) panjang = 3 cm, b) panjang = 6 cm, dan c) panjang = 9 cm (BIF 2011).

Puting bagian depan memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan dengan bagian belakang (Farmer dan Chrestman 2006). Puting yang memiliki ukuran sangat panjang akan memudahkan masuknya mikroorganisme secara ascendens

(15)

4

Kesehatan Ambing

Menurut Saragih (2000) faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan adalah kesehatan ambing. Kesehatan ambing sangat dipengaruhi oleh kebersihan lantai, permukaan lantai, dan pemerahan ambing yang higienis. Faktor ini memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga stabilitas produksi dan meningkatkan produksi susu selain faktor anatomi ambing.

Kesehatan ambing dapat dijaga melalui tindakan pencegahan dengan menjaga higiene personal, higiene pemerahan, manajemen perkandangan yang baik, manajemen pemerahan yang baik, program vaksinasi dan pemberian antibiotik secara berkala. Semua hal ini dapat menjaga kesehatan ambing (Alluwaimi 2004).

Ambing dikatakan sehat jika perkembangan jaringan kelenjar susu cepat dan dalam siklus estrus saat folikel berkembang menjadi corpus luteum labula alveolar ambing harus ikut berkembang (Frandson 1996) serta tidak ada reaksi peradangan seperti merah, bengkak, panas, dan sakit (Foley dan Richard 1972). Ambing yang tidak dijaga kebersihannya akan menyebabkan masalah bagi kesehatan ambing (Falvey dan Chantalakhana 1999).

Periode Laktasi

Sapi perah bangsa FH beranak pertama kali pada umur 2-2.5 tahun, kemudian kondisi ini dinyatakan sebagai laktasi pertama (Sudono 1999). Subronto (2003) menyatakan kondisi laktasi adalah masa sapi menghasilkan susu antara waktu beranak dengan masa kering, sehingga lama laktasi berkisar antara 8-10 bulan. Produksi susu per hari menurun setelah laktasi 2 bulan, demikian pula kadar lemak susu setelah 1-2 bulan tetapi mulai konstan dan naik sedikit demi sedikit setelah 2-3 bulan masa laktasi. Kondisi laktasi adalah masa sapi memroduksi susu, dibagi dalam masa awal laktasi (pada saat partus sampai akhir bulan ke-2), masa laktasi normal (3-5 bulan), dan akhir laktasi (memasuki bulan ke 6-7). Masa kering kandang (awal bulan ke-8 sampai bulan ke-9 kebuntingan) adalah masa persiapan ambing untuk produksi susu berikutnya dan memperbaiki

kondisi ambing (Lukman et al. 2009).

Siregar (1995) yang menyatakan bahwa kejadian mastitis subklinis akan bertambah sampai kira-kira sapi berumur delapan tahun dan terus meningkat dari periode laktasi pertama hingga mencapai puncak yaitu pada periode laktasi ketiga dan keempat yang selanjutnya akan menurun sesuai dengan periode laktasi berikutnya. Penurunan produksi susu pada sapi tua disebabkan oleh aktivitas kelenjar ambing sapi yang sudah berkurang (Frandson 1996). Komposisi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah bangsa, periode laktasi, interval pemerahan, pakan, dan suhu (Saleh 2004).

Mastitis Subklinis

(16)

5 (Tyler dan Ensminger 1993). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt

et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan pengembalian fungsi normal ambing (Foley dan Richard 1972).

Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadi perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi (Subronto 2003). Mastitis terbagi menjadi tiga, yaitu mastitis klinis, mastitis subklinis dan mastitis non-spesifik. Mastitis klinis dapat ditandai dengan terjadinya perubahan kualitas susu dan ditemukan reaksi peradangan pada ambing berupa panas, merah, bengkak, fungsi abnormal, dan timbul rasa sakit jika dipalpasi. Keadaan ini berbeda dengan keadaan mastitis subklinis yang tanpa adanya perubahan secara fisik pada eksternal ambing. Perubahan yang terjadi hanya dapat ditemukan pada jaringan interna ambing. Susu mengalami perubahan kualitas dan kuantitas serta ditemukannya kuman patogen dalam susu. Mastitis non-spesifik merupakan kejadian mastitis akibat trauma oleh ambing.

Kejadian terbesar dari kasus mastitis adalah mastitis subklinis, karena pada kejadian mastitis subklinis tidak ditandai dengan perubahan fisik ambing sehingga menyulitkan dalam deteksi. Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain: terjadinya penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto & Sudarnika 2008). Prevalensi kejadian mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai mencapai 85% (Rahayu 2009) sedangkan di daerah Kabupaten Bogor mencapai 87.10% (Ananto 1995).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2012, di peternakan sapi perah rakyat yang tergabung dalam KPSBU Lembang di Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah paddle, pita ukur (cm), lap kain, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah pereaksi IPB-1 Mastitis Test

(17)

6

Metode

Penelitian ini merupakan kajian lapang kasus mastitis subklinis. Data diperoleh dengan observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan untuk memeroleh informasi tentang peternak dan sapi pada kondisi laktasi normal. Informasi peternak meliputi: nama peternak, desa, dan jumlah sapi dalam kandang. Informasi sapi meliputi: nomor sapi, umur dan periode laktasi, dan jumlah produksi susu per hari.

Pengujian Jumlah Sel Somatis (JSS) dilakukan dengan metode tidak langsung. Metode tidak langsung yang digunakan adalah diagnosis mastitis subklinis menggunakan pereaksi IPB-1 Mastitis Test. Pengukuran panjang puting dilakukan menggunakan pita ukur dan dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).

Penentuan Besaran dan Penarikan Sampel

Penentuan besaran sampel diawali dengan mendata jumlah sapi perah di Kelurahan Sukajaya berdasarkan pada persyaratan pengujian kesehatan ambing, yaitu sapi berada pada kondisi laktasi normal. Besaran sampel yang diuji adalah 72 ekor sapi perah.

Pengukuran Panjang Puting

Panjang puting diukur dengan menggunakan pita ukur (cm). Pengukuran dilakukan pada setiap kuartir setelah sapi dimandikan.

Pengujian Mastitis Subklinis

Pengujian mastitis subklinis, dilakukan dengan metode tidak langsung menggunakan pereaksi IPB-1 Mastitis Test (Sudarwanto 1998). Paddle diisi 2 ml susu dari sapi yang telah dimandikan sebelumnya, ambing sapi dibersihkan, kemudian susu dikeluarkan dari puting sapi. Pancaran pertama dan kedua dibuang, dan pancaran berikutnya ditampung dalam paddle. Pereaksi IPB-1

Mastitis Test ditambahkan dalam sampel dengan perbandingan 1:1. Sampel dan pereaksi dihomogenkan secara horizontal selama 15-30 detik. Prinsip uji dari IPB-1 Mastitis Test adalah pereaksi akan berikatan dengan DNA dari inti sel somatik membentuk massa kental seperti gelatin. Massa yang semakin kental menunjukkan semakin banyak jumlah DNA inti sel somatik yang berikatan dengan pereaksi IPB-1 Mastitis Test.

(18)

7

Analisis Data

Data dianalis secara deskriptif, uji Gamma dan analisis regresi logistik. Analisis deskriptif dan uji Gamma digunakan untuk melihat adanya hubungan atau korelasi antara peubah-peubah dalam penelitian dan untuk mengetahui asosiasi antara peubah-peubah yang bersifat ordinal (Agresti dan Finlay 2009). Data juga dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel 2007 dan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Panjang Puting terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis

Ambing atau kelenjar susu sapi terdiri dari empat bagian terpisah. Bagian kiri dan kanan dipisahkan oleh sulcus yang berjalan longitudinal yang disebut

sulcus intermamaria. Aspek yang harus dilihat dari bagian ambing berupa ukuran, kapasitas produksi, ketinggian ambing dari permukaan lantai saat sapi berdiri, dan kesimetrisan ambing (Farmer dan Chrestman 2006).

Pembatas dari tiap kuartir ambing berupa Ligamentum suspensorium. Ligamentum ini berfungsi sebagai pondasi ambing dan sebagai sekat antar kuartir. Ligamentum pada sisi luar adalah Ligamentum lateralis (Falvey dan Chantalakhana 1999). Ligamentum ini berfungsi sebagai penyangga dan pemberi bentuk ambing. Umur ternak dapat memengaruhi kekuatan dari ligamentum yang memisahkan tiap kuartir pada ambing. Periode laktasi yang semakin tinggi menunjukkan umur sapi yang semakin tua. Rata-rata panjang puting pada setiap periode laktasi sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata panjang puting pada setiap periode laktasi sapi perah di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung.

Laktasi ke- Panjang puting (cm)

rata-rata min max

1 (n=12) 4.75 3.75 5.0

2 (n=12) 5.6 5.0 6.2

3 (n=12) 6.5 6.0 6.9

4 (n=12) 7.5 7.1 7.5

5 (n=12) 7.6 7.2 7.8

6 (n=12) 8 7.5 8.3

(19)

8

dipengaruhi oleh cara pemerahan yang salah dan kelemahan ligamentum (Falvey dan Chantalakhana 1999).

Pemerahan dengan cara tradisional menggunakan dua jari (Strip Methode)

akan mempengaruhi bentuk anatomi ambing. Pemerahan dua jari adalah pemerahan dengan ibu jari dan telunjuk digeser dari pangkal puting ke bawah sambil memijat, dikendorkan dan tekan ke atas. Kelemahan pemerahan dengan cara ini adalah ambing dan puting selalu basah, mudah terjadi perlukaan pada ambing, dan dapat merubah bentuk anatomi puting secara lambat menjadi semakin panjang (Lukman et al. 2009). Pemerahan dengan metode ini masih diterapkan pada peternakan di KPSBU Lembang. Ambing dengan ligamentum lemah akan memperlihatkan bentuk ambing yang jatuh menggantung. Lemahnya

Ligamentum suspensorium akan menyebabkan ambing kehilangan bentuk dan menghilangnya lipatan antar kuartir. Kelemahan ligamentum ini juga akan menyebabkan puting sapi lebih menonjol dan panjang (Falvey dan Chantalakhana 1999). Penelitian ini juga memperlihatkan adanya pengaruh panjang puting terhadap derajat keparahan mastitis subklinis dari peternakan sapi perah KPSBU Lembang yang disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Pengaruh panjang puting terhadap derajat keparahan mastitis subklinis di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung

Keterangan:*Mastitis Subklinis; Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji p<0.05.

Data yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa panjang puting berpengaruh nyata terhadap derajat keparahan mastitis subklinis (p<0.05). Tabel 2 memperlihatkan bahwa puting dengan panjang 7.5 cm lebih mudah terserang mastitis subklinis dibandingkan puting dengan panjang 4.75 cm, sehingga panjang puting dapat dijadikan sebagai faktor predisposisi dari mastitis subklinis. Puting dengan panjang 7.5 cm memiliki derajat keparahan mastitis subklinis positif 3 (+++), puting dengan panjang 6.5 cm memiliki derajat keparahan mastitis subklinis positif 2 (++), dan puting dengan panjang 5.75 cm memiliki derajat keparahan mastitis subklinis positif 1 (+). Kondisi puting yang tidak mengalami mastitis subklinis ditunjukkan oleh puting yang memiliki panjang 4.75 cm. Berdasarkan hasil dari penelitian yang diperoleh maka peternak dapat menggunakan panjang puting sebagai indikator diagnosis mastitis subklinis, yaitu sapi perah yang memiliki panjang puting 6.5-7.5 cm kemungkinan mengalami mastitis subklinis.

(20)

9 ambing yang sangat menggantung atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar dan panjang merupakan faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternaknya. Puting yang panjang akan mempermudah masuknya mikroba dari luar puting ke dalam jaringan interna ambing melalui lubang puting (ascendens) dan perlukaan ambing akibat gesekan dengan lantai (Lukman et al. 2009). Ukuran puting yang terlalu pendek juga merupakan faktor predisposisi dari mastitis subklinis. Hal ini dikarenakan peternak mengalami kesulitan dalam pemerahan sehingga alveol tidak dapat mensekresikan susu secara sempurna (Subronto 2003).

Pengaruh Periode Laktasi terhadap Derajat Keparahan Mastitis Subklinis

Mastitis merupakan radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel somatik di dalam susu dan perubahan fisik maupun susunan susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto 2003). Kejadian mastitis 95–98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2-3% merupakan kejadian mastitis klinis yang

terdeteksi (Sudarwanto 1999). Kerugian yang diakibatkan oleh mastitis subklinis

adalah penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal, pengafkiran ternak lebih awal serta pembelian sapi perah baru (Subronto 2003).

Mastitis subklinis dapat dipengaruhi oleh panjang puting, pertautan ligamentum, pakan, cuaca, periode laktasi dan mutu genetik sapi (Ikawati 2011). Pengaruh periode laktasi terhadap derajat keparahan mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di KPSBU Lembang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Pengaruh periode laktasi terhadap derajat keparahan mastitis subklinis di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung.

Hasil penelitian ini menunjukkan periode laktasi berpengaruh nyata terhadap derajat keparahan mastitis subklinis (p<0.05), artinya semakin tinggi

(21)

10

periode laktasi akan meningkatkan derajat keparahan mastitis subklinis. Berdasarkan pada Gambar 2 terlihat bahwa kejadian mastitis subklinis dengan derajat keparahan yang berbeda mengalami peningkatan pada setiap periode laktasi. Pada sapi-sapi laktasi pertama, dengan umur berkisar 2.5-3 tahun dan baru pertama kali melahirkan terlihat bahwa persentase kejadian mastitis subklinis dengan derajat keparahan yang berbeda berada pada selang 0.7-1.7%. Kejadian mastitis subklinis dengan derajat keparahan positif tiga terus mengalami peningkatan sampai dengan puncaknya yaitu pada periode laktasi keempat sebesar 8.3%. Hal ini kemungkinan disebabkan sapi-sapi yang semula mengalami mastitis subklinis dengan derajat keparahan positif satu dan dua bertambah parah menjadi positif tiga.

Pada sapi-sapi yang telah mencapai periode laktasi kelima dan keenam dengan kisaran umur 7-8 tahun terlihat bahwa derajat keparahan mastitis subklinis positif tiga mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sapi-sapi yang semula mengalami mastitis subklinis berlanjut menjadi kasus mastitis klinis karena tidak ditangani dengan baik. Penurunan persentase mastitis subklinis dengan derajat keparahan positif tiga dapat pula disebabkan adanya proses persembuhan karena penanganan yang baik. Hal ini terlihat pada periode laktasi kelima dan keenam mastitis subklinis dengan derajat keparahan positif satu dan dua mengalami peningkatan dibandingkan periode laktasi sebelumnya (Gambar 2). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Siregar (1995) yang menyatakan bahwa kejadian mastitis subklinis akan bertambah sampai kira-kira sapi berumur delapan tahun dan terus meningkat dari periode laktasi pertama hingga mencapai puncak yaitu pada periode laktasi ketiga dan keempat yang selanjutnya akan menurun sesuai dengan periode laktasi berikutnya.

Peningkatan kejadian mastitis subklinis dapat terjadi karena sapi yang semakin tua memiliki jaringan penunjang utama ambing yaitu Ligamentum suspensorium lateral et medial yang semakin lemah dan nutrisi yang diberikan pada sapi kurang terjamin sehingga dapat mengarah pada kejadian mastitis klinis (Falvey dan Chantalakhana 1999). Periode laktasi yang semakin tinggi akan menyebabkan sisterna puting menutup dengan waktu lebih lama dan memudahkan mikroorganisme dari luar masuk ke dalam ambing. Faktor umur dan derajat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter

putingnya. Puting dengan spinchter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto 2003).

Hubungan antara Panjang Puting dan Periode Laktasi dengan Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis

(22)

11 kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di KPSBU Lembang disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Hubungan antara periode laktasi dan panjang puting dengan kejadian mastitis subklinis di KPSBU Lembang Kabupaten Bandung (r=0.972, P<0.05).

Gambar 3 menunjukkan hubungan linear antara panjang puting dan periode laktasi terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis di KPSBU Lembang. Hal ini berarti adanya hubungan yang signifikan antara panjang puting dan periode laktasi dengan tingkat kejadian mastitis subklinis. Periode laktasi yang semakin tinggi dan puting yang semakin panjang akan meningkatkan persentase kejadian mastitis subklinis. Pada periode laktasi pertama, sapi-sapi dengan panjang puting 4.75 cm mengalami kejadian mastitis subklinis sebesar 45%. Persentase kejadian mastitis subklinis sebesar 48% terjadi pada sapi-sapi yang memiliki panjang puting 6.5 cm dan telah masuk dalam periode laktasi ketiga. Sapi-sapi yang telah memasuki periode laktasi kelima dan keenam dengan panjang puting 7.6 cm dan 8 cm memiliki peluang terkena mastitis subklinis sebesar 60% dan 70%. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa panjang puting dan periode laktasi dapat dijadikan indikator diagnosa mastitis subklinis serta dapat juga dijadikan faktor predisposisi dari kejadian mastitis subklinis.

Penelitian ini sesuai Sudono et al. (2003) yang menyatakan bahwa periode laktasi yang semakin meningkat dan ukuran puting yang semakin panjang menyebabkan tingkat kejadian mastitis subklinis meningkat. Hal ini dikarenakan kelemahan ligamentum mempertahankan bentuk anatomi dan spinchter puting menutup membutuhkan waktu yang lebih lama. Sudarwanto (1999) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan spinchter untuk menutup atau mengembalikan lebar puting setelah pemerahan adalah 10-15 detik. Semakin lama waktu yang dibutuhkan spinchter untuk menutup menyebabkan semakin banyak jumlah mikroorganisme dari lingkungan masuk ke dalam ambing. Salah satu tindakan pencegahan untuk menekan kejadian mastitis subklinis adalah teat dipping. Teat dipping adalah pencelupan puting setelah pemerahan ke dalam cairan yang

(23)

12

mengandung disinfektan. Disinfektan yang digunakan adalah iodophore dengan konsentrasi iodine 1% (Falvey dan Chantalakhana 1999).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Periode laktasi dan panjang puting merupakan faktor predisposisi terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis pada sapi perah. Kejadian tertinggi mastitis subklinis terjadi pada sapi perah yang memiliki rata-rata panjang puting 7.5 cm serta berada pada periode laktasi ketiga dan keempat.

Saran

Perlu dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan peternak dalam hal pemilihan bibit, pemeliharaan, dan pelaksanaan pemerahan yang baik dan benar dengan metode seluruh jari (Whole Hand Methode). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pertautan ambing, kedalaman ambing, tinggi ambing belakang dan ligamentum tengah untuk mencegah tingkat kejadian mastitis subklinis dan mengetahui profil anatomi ambing yang baik dan sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Agresti A, Finlay B. 2009. Statistical Methods for the Social Science. New Jersey (US): Pearson E.

Alluwaimi AM. 2004. The cytokines of bovine mammary gland: prospect for diagnosis and therapy. Research in Veterinary Science (in Pr).

Ananto D. 1995. Prevalensi mastitis subklinis di beberapa kecamatan di Kabupaten DATI II Bogor dengan menggunakan IPB-1 dan Breed.[Skripsi]. Bogor (ID): Fakutas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Blakely J, Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Ed ke-4. Terjemahan: Srigandono B. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

[BIF] Beef Improvement Federation. 2011. BIF Guidelines for Unifrom Beef Improvement Program. Ed ke-8. Beef Improvement Federation. Athens (GR): Georgia Univ.

[DSSP] Data Sementara Statistik Peternakan. 2008. Produksi susu sapi perah. [Internet]. [diacu 2013 April 17]. Tersedia dari: http://faterna.unand.ac.id /index .php?tabel=1&id_subyek=36.

(24)

13 Falvey L, Chantalakhana C. 1999. Smallholder Dairying in The Tropics. Bibliography: Milking. chapter 16. Nairobi. Kenya (KE): Internasional Livestock Research Institute.

Farmer WS, Chrestman G. 2006. Dairy Cattle Judging. Mississipi (US): Mississipi State University.

Foley CS, Richard CP. 1972. Dairy Cattle. Philadelphia (US): Lea dan Febiger. Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Ikawati A. 2011. Analisis kandungan protein dan lemak susu hasil pemerahan

pagi dan sore pada peternakan sapi perah di Wonocolo Surabaya.[Skripsi]. Surabaya (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Lukman DW, Sudarwanto S, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR, Pisestyani H. 2009. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Lush, Shrode. 1990. Jenetic progress trough selection in a closed herd of indian cattle. J Dairy Sci. 51: 1059-1064.

Luthan F. 2011. Pengembangan Agribisnis Persusuan di Indonesia. Sumatera Barat (ID): Universitas Andalas.

Prihadi S. 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Yogyakarta (ID): Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada.

Rahayu. 2009. Kerugian ekonomi mastitis subklinis pada sapi perah.[Internet]. [diacu 2012 Februari 9]. Tersedia dari: http://www.umm.ac.id/fapet/ekonomi -mastitis.hlml.

Saleh E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Sumatera Utara (ID): Universitas Sumatera Utara.

Saragih B. 2000. Kumpulan Pemikiran: Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda.

Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Sience. Ed ke-2. New Jersey (US): Prentice Hall.

Siregar S. 1995. Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha Sapi Perah. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak 1. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai pereaksi alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinis. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Sudarwanto M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program mastitis subklinis. Orasi Ilmiah. Bogor, 22 Mei 1999.

Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis subklinis. Med Pet 31:107-113.

Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Diktat Kuliah Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB.

Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. BeternakSapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

(25)

14

LAMPIRAN

Data Wawancara Peternak

Hasil Wawancara dan Pengujian Mastitis Subklinis

(26)
(27)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 16 September 1991 dari ayah Sunarko dan ibu AD Yekti Ningsih. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara dengan satu kakak perempuan bernama Yeti Nepi Fitri Astuti dan dua adik laki-laki bernama Heskia Agdika Cahya dan Heskiel Pinki Desire.

Pendidikan formal Penulis dimulai dari SDN Sumber Baru 03 dan lulus pada tahun 2002, yang kemudian dilanjutkan ke SMPN 01 Seputih Banyak dan lulus pada tahun 2005. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 01 Seputih Banyak dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) serta memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Gambar

Gambar 1 Panjang puting sapi perah; a) panjang = 3 cm, b) panjang = 6 cm, dan
Tabel 1 Rata-rata panjang puting pada setiap periode laktasi sapi perah di KPSBU

Referensi

Dokumen terkait

Sistem dirancang untuk mengkategorikan jemaat sesuai dengan peranannya dalam gereja.Kategori ini membentuk suatu kelompok seperti yang terlihat dalam gambar 3.4.Admin yang

Total Pekerjaan Kusen, Pintu, Jendela, Bovenlich, Kaca-. Jumlah

Pembeda individu normal dengan gangguan kepribadian adalah terhadap pada adaptasi Pembeda individu normal dengan gangguan kepribadian adalah terhadap pada

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berupaya semaksimal mungkin untuk memahami tafsirnya satu demi satu sehingga dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa

Pengujian sistem pelacakan benda bergerak menggunakan metode mean-shift dengan perubahan sekala dan orientasi terdiri dari beberapa proses yaitu proses input video,

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) I Pesisir Barat merupakan salah satu kawasan hutan yang terletak di Pulau Sumatera yang berperan sebagai kawasan penyangga

Faktor-Faktor Pengaruh Perkembangan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan beberapa faktor dominan yang mempengaruhi perubahan pola bentuk ruang kampung

atau Jugun ianfu merupakan perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Filipina dan juga di Negara-negara jajahan Jepang lainnya pada masa