• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SWA

(SUPER WATER ABSORBENT)

PATI

SINGKONG TERHADAP SIFAT RETENSI AIR TANAH

ROSIANA HABAYAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Rosiana Habayahan

(4)

ABSTRAK

ROSIANA HABAYAHAN. Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Pengembangan pertanian lahan kering sering kali menghadapi kendala, terutama terkait dengan kebutuhan air yang sangat bergantung air hujan. Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini mengakibatkan pola turunnya hujan menjadi tidak menentu. Untuk lebih menjamin ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman dibutuhkan teknologi yang dapat membantu mempertahankan kondisi air tanah. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah penggunaan SWA (Super Water Absorbent) pati singkong. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian SWA pati singkong dan perbandingannya terhadap water absorbent lain pada dua tekstur tanah yang berbeda (klei dan klei berpasir). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian SWA pati singkong tidak berbeda nyata dengan water absorbent lain terhadap kemampuan tanah mempertahankan kadar airnya. Kinerja SWA pati singkong pada tanah bertekstur klei lebih baik dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir. Kata kunci: Kadar Air, SWA pati singkong.

ABSTRACT

ROSIANA HABAYAHAN. Effect of Cassava-starch SWA (Super Water Absorbent) on Soil Water Retention. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.

The development of dry-land agriculture often face some constraints, especially when it is related to water needs which is depending on rainwater. Global climate change, that occurs lately has made rainfall patterns become more erratic and less predictable. Therefore, new technology that could help maintaining soil water content is needed to ensure that water availability for plant growth is still sufficient. SWA (Super Water Absorbent) cassava starch is one of a technology that can be used for this purpose. This study was aimed to assess the effect of SWA cassava starch and its comparison to the other water absorbent, for maintaining soil water retention on two different soil textures (clay and sandy clay). The results showed that addition of SWA cassava starch was not significantly different from the other soil water absorbent for maintaining soil water retention. SWA cassava starch performance at clay textured soil was better than sandy clay-textured soil.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PENGARUH SWA (

SUPER WATER ABSORBENT

) PATI

SINGKONG TERHADAP SIFAT RETENSI AIR TANAH

ROSIANA HABAYAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong Terhadap Sifat Retensi Air Tanah

Nama : Rosiana Habayahan NIM : A14080056

Disetujui oleh

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Pembimbing II

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis masih diberikan kesehatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang digunakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc dan Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan. Di samping itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr Darmawan Darwis, MSc,Apt dan Ibu Tita Puspitasari, MSi dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) atas segala bantuan yang telah diberikan. Juga kepada Bapak Saipul selaku Staf Laboratorium Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih yang sangat tinggi penulis sampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, dan seluruh teman-teman mahasiswa Manajemen Sumberdaya Lahan Angkatan 45 atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkannya. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Soil Conditioner 2

SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong 3

Hubungan Air dan Udara dalam Tanah 4

Soil Water Storage 4

Hubungan Tanah-Air-Tanaman 6

METODOLOGI PENELITIAN 8

Waktu dan Lokasi Penelitian 8

Bahan 8

Alat 8

Rancangan Penelitian 8

Pelaksanaan Penelitian 9

Analisis Data 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Volume Air yang Ditahan Tanah 12

Penurunan Kadar Air Tanah 13

Variasi Mingguan Kadar Air Tanah 15

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23

(11)

DAFTAR TABEL

1 Bermacam-Macam Bahan Pembenah Tanah yang Banyak Digunakan

untuk Memperbaiki Struktur Tanah 3

2 Penentuan Volume Air Siraman 10

3 4

Besar Penurunan Kadar Air pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah Bertekstur Klei Berpasir (Hari 1 dan Hari 28) 14

Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air Tanah 16

DAFTAR GAMBAR

1 Volume Air yang Ditahan Tanah Setelah Penyiraman (% Air Siraman) 12 2 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.025 g/kg pada

Tanah Bertekstur Klei dan Klei Berpasir 17

3 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.1 g/kg pada

Tanah Bertekstur Klei dan Klei Berpasir 18

4 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.2 g/kg pada

Tanah bertekstur Klei dan Klei Berpasir 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sifat Fisik Tanah 23

2 Volume Air yang Ditahan Setelah Penyiraman 23

3 Hasil Penetapan Kelas Tekstur 23

4 Kadar Air pF Tanah Bertekstur Klei 24

5 Kadar Air pF Tanah Bertekstur Klei Berpasir 24

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Ditinjau dari potensi dan kesesuaian lahan pertanian, luas daratan Indonesia adalah 188 juta ha. Luasan tersebut terdiri dari: lahan potensial cocok untuk pertanian seluas 94.1 juta ha (50%) (Manan 2008). Walaupun curah hujan cukup besar, rata-rata lebih dari 2000 mm/tahun, namun keterbatasan sumberdaya air menjadi masalah yang sering dihadapi di lahan kering (Haryani dan Sutrisno 2005).

Dalam dua dasa warsa terakhir, kelangkaan air (water scarcity) semakin terasa karena persaingan berbagai kepentingan. Pada waktu yang tidak terlalu lama, kelangkaan air akan semakin terasa bagi kepentingan di bidang pertanian, yang pada akhirnya akan menurunkan produktifitas lahan (Setiabudi dan Fagi 2009).

Pada sistem pertanian lahan kering yang mengandalkan air hujan, pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman akan sangat bergantung pada kemampuan tanah menahan air. Akan tetapi, kemampuan tanah menahan air juga terbatas. Sementara itu, perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini mengakibatkan pola turunnya hujan semakin tidak teratur. Hal ini akan mempengaruhi air tersedia tanah. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang dapat membantu mempertahankan kadar air tanah. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah penggunaan SWA (Super Water Absorbent) pati singkong sebagai soil conditioner. Soil conditioner didefinisikan sebagai bahan sintetis atau alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Suriadikarta et al. 2005). SWA ini terbuat dari bahan organik (pati singkong) sehingga lebih ramah lingkungan.

SWA (Super Water Absorbent) pati singkong merupakan salah satu bahan absorban yang mampu mengembang (swelling) dan menyerap air dalam jumlah besar. SWA pati singkong ini merupakan hasil produksi dari Laboratorium Bahan Industri, Bidang Proses Radiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan merupakan hasil cross-linking antara pati singkong, KOH dan asam akrilat yang selanjutnya diberi radiasi sinar gamma. SWA pati singkong ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air tanah oleh tanaman sehingga dapat mengurangi frekuensi penyiraman dan menghemat biaya.

Tujuan Penelitian

(13)

2

Hipotesis

Pemberian SWA (Super Water Absorbent) pati singkong dapat meningkatkan sifat retensi air tanah dan apabila hendak diaplikasikan pada tanaman, tanaman dapat memanfaatkan air yang terserap dalam SWA tersebut untuk mengurangi frekuensi penyiraman tanaman. Dengan kata lain, SWA pati singkong ini dapat mengefisiensikan penggunaan air sehingga dapat dimanfaatkan pada lahan-lahan pertanian di daerah kering dan juga dapat dimanfaatkan saat musim kemarau.

TINJAUAN PUSTAKA

Soil Conditioner

Soil conditioner didefinisikan sebagai bahan sintetis atau alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Suriadikarta et al. 2005).

Pemberian soil conditioner ke dalam tanah merupakan salah satu bentuk konservasi tanah dengan metode kimia. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pada tahun 1952, Monsanto Chemical Company mengumumkan pembuatan soil conditioner dengan merk dagang krilium. Krilium merupakan senyawa garam Natrium dari polyacrilanitrile yang terhidrolisa.

Perkembangan penggunaan bahan pembenah tanah pada awalnya cukup baik, tetapi berhubung mahalnya bahan-bahan tersebut, penggunaannya semakin terbatas, khususnya pada lahan-lahan sempit. Walaupun telah terbukti bahwa penggunaan pembenah tanah tidak hanya mampu meningkatkan kemantapan agregat tanah, tetapi juga mampu meningkatkan hasil tanaman (Suripin 2004).

Bahan pembenah tanah yang baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Seta 1987) :

a. Mempunyai sifat yang adhesif serta dapat bercampur dengan tanah secara merata.

b. Dapat merubah sifat hidrofobik atau hidrofilik tanah yang dengan demikian dapat merubah kurva penahanan air tanah.

c. Dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, yang berarti mempengaruhi kemampuan tanah dalam menahan air.

d. Daya tahan sebagai pembenah tanah cukup memadai, tidak terlalu singkat atau terlalu lama.

e. Tidak bersifat racun (phytotoxix) dan harganya terjangkau.

(14)

3 Tabel 1 Bermacam-Macam Bahan Pembenah Tanah yang Banyak Digunakan

untuk Memperbaiki Struktur Tanah (Gabriels et al. 1977 dalam Suripin 2004)

Nama Kimia Wujud Komersial dagang Produsen

Polyvinyl acetate (PVa) emulsi Curasol AE Farbwerk Hoeechst Germany Curasol AH

Polyacrilamide (PAM) larutan Hum, PAM Labofina, Belgium

Polyvinyl pyrrolidone larutan Hum, PAM Labofina, Belgium

Asphalt emulsi bitumen Labofina, Belgium

Polyvynil alkohol (PVa) larutan bitumen Labofina, Belgium

Polyurethane larutan PRB 2006 N.V PRB, Belgium

Polyethyneglycol larutan PRB 2006 N.V PRB, Belgium

Latex emulsi Petroset SB Philips Petrolium Company USA

SWA (Super Water Absorbent) Pati Singkong

Singkong (Manihot utilissima) merupakan penghasil pangan kedua terbesar setelah padi di Indonesia, sehingga mempunyai prospek yang besar sebagai sumber karbohidrat untuk bahan pangan dan keperluan industri. Produksi ubi kayu pada tahun 1996 mencapai jumlah 16.91 ton (BPS 1996). Salah satu industri yang banyak memanfaatkan singkong yaitu industri tapioka.

Pati (starch/amilum) merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α -glikosidik. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2008). Amilosa adalah molekul linier yang terdiri dari α-glukopiranosil yang terikat sebagai ikatan 1,4-glikosidik sedangkan amilopektin adalah rantai komplek dengan ikatan 1,4-glikopiranosil pada 1,4-glikosida dan ikatan 1,6-glikosida sebagai rantai cabangnya. Pati tapioka adalah salah satu jenis pati yang mengandung 16% amilosa dengan kisaran bobot molekul 200000 – 700000, dan 84% amilopektin dengan bobot molekul antara 100-200 juta. Studi struktur ultra menunjukkan bahwa pati mempunyai dua morfologi utama yaitu kristalin yang disusun oleh amilopektin dan amorf yang disusun oleh amilosa (Beiitz dan Grosch 1987 dalam Kurniadi 2010).

Penelitian mengenai pemanfaatan pati tapioka dalam bidang pertanian telah cukup banyak dikembangkan. Salah satunya dengan melakukan grafting

pada pati tapioka dengan asam poliakrilat (starch-g-poly acrilid acid) untuk digunakan sebagai soil conditioner (Shimona et al. 2002 dalam Kurniadi 2010).

(15)

4

Hubungan Air dan Udara di Dalam Tanah

Air dan udara dalam tanah bersaing untuk mengisi pori tanah. Total udara yang terdapat dalam tanah bergantung pada jumlah pori dalam tanah dan jumlah cairan (liquid) yang terdapat dalam pori tanah.

Porositas dan Bobot Isi

Porositas total (porosity) adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah (Hanafiah 2005). Sedangkan bobot isi (bulk density) adalah bobot kering suatu unit volume tanah dalam keadaan utuh. Brady dan Weil (2002) dalam Encyclopedia of Soil Science

mendefinisikan bobot isi sebagai bobot tanah dalam suatu unit volume tanah kering. Bobot isi mempengaruhi porositas total dalam tanah. Besarnya porositas tanah berlawanan dengan besarnya bobot isi tanah. Apabila bobot isi tanah tinggi maka porositasnya semakin menurun.

Bobot isi dan porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, tekstur tanah dan kedalaman tanah (soil depth) (Coyne dan Thompson 2006). Tanah yang mengandung bahan organik tinggi memiliki bobot isi rendah dan porositas tinggi sehingga memungkinkan tanah tersebut untuk memegang air lebih banyak dan ditransmisikan lebih cepat. Tanah mineral memiliki bobot isi tinggi dan porositas rendah, tergantung kepada jumlah klei yang terkandung di dalamnya (Singer dan Munns 2006). Tanah berpasir memiliki bobot isi lebih tinggi dibandingkan tanah berklei. Pada tanah berpasir, agregasinya lebih rendah sebaliknya pada tanah berklei terdapat banyak pori mikro di antara agregat tanahnya (Coyne dan Thompson 2006).

Soil Water Storage

Ketersediaan air tanah merupakan salah satu faktor penting bagi tanaman. Pada dasarnya, tanaman menyimpan air dalam jumlah sedikit dan akan langsung hilang karena adanya proses transpirasi. Tanpa adanya air tanah, tanaman akan sulit untuk bertahan hidup.

Secara praktis, dapat dikatakan bahwa soil water storage dan ketersediaan air bagi tanaman akan mencapai jumlah maksimum apabila (Singer dan Munns 2006):

1. Solum tanah dalam.

2. Akar tanaman mampu mencapai sebagian besar volume tanah. 3. Setiap horizon tanah menahan air dalam jumlah besar.

4. Air yang ada di dalam pori tidak dipegang terlalu kuat agar akar tanaman dapat memanfaatkannya.

Retensi Air Tanah (Soil Water Retention)

(16)

5 1. Koloid tanah – klei dan humus – yang menentukan besarnya total

permukaan partikel tanah dimana air dapat dipegang.

2. Jumlah pori, kontinuitas pori dan proporsi pori tanah pada berbagai ukuran (pori makro dan pori mikro).

Kadar Air Tanah (Soil Water Content)

Kadar air tanah merupakan ukuran dari jumlah air yang terdapat dalam tanah, baik dalam satuan bobot maupun satuan volume, dan merupakan air yang hilang dari tanah saat tanah dikeringkan hingga mencapai massa konstan pada suhu 105°C selama 24 jam (Kirkham 2005).

Potensial Air Tanah (Soil Water Potential)

Air bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah. Istilah potensial air tanah mengacu pada energi relatif yang terdapat dalam air tanah. Potensial air tanah memiliki karakteristik yaitu: relatif (relative), negatif (negative), kontinuitas (continuity), bervariasi (variability), dinamis (dynamic) dan merupakan energi penggerak (driving force) dimana potensial air tanah-lah yang mengakibatkan terjadinya pergerakan air tanah (Lal dan Shukla 2004).

Potensial air tanah memiliki empat komponen sebagai berikut:

1. Potensial tekanan (ψp), yaitu gaya yang timbul akibat adanya

perbedaan tekanan di dalam tanah sebagai hasil bekerjanya tekanan udara terhadap air tanah (Hanafiah 2005). Pada tanah jenuh air, potensial tekanan mempunyai nilai positif. Pada tanah tak jenuh air, potensial tekanan bernilai nol (Tan 1991).

2. Potensial matrik (ψm), yaitu gaya yang timbul akibat adanya daya

tarik/atraksi (attraction) antara bahan padatan tanah terhadap air (Kirkham 2005). Potensial matrik dapat diukur dengan suatu alat yang disebut tensiometer.

3. Potensial osmotik (ψo), yaitu bagian dari potensial air yang berasal dari

tarikan zat-zat terlarut (solute) terhadap air melalui gaya osmotik (Tan 1991). Potensial osmotik selalu bernilai negatif (Gardiner dan Miller 2004), akan tetapi nilainya biasanya diabaikan dalam menetukan pergerakan air dalam tanah, kecuali pada tanah salin (Kirkham 2005). 4. Potensial gravitasi (ψg), tergantung pada posisi air tanah dan biasanya

ketinggiannya diukur berdasarkan titik referensi pada posisi vertikal (Lal dan Shukla 2004; Kirkham 2005).

(17)

6

Hubungan Tanah-Air-Tanaman

Menurut Gardiner dan Miller (2004), klasifikasi air tanah dalam kaitannya dengan tanaman dapat dibagi menjadi istilah-istilah sebagai berikut :

1. Air gravitasi (gravitational water), yaitu air yang dipegang secara longgar oleh tanah pada tekanan 33 kPa. Air ini akan segera terdrainase bebas akibat adanya gaya gravitasi. Pada tanah berpasir, kondisi ini terjadi pada tekanan 10 kPa.

2. Kapasitas lapang (field capacity), yaitu banyaknya air yang dapat dipegang tanah pada tekanan sama dengan 33 kPa (10 kPa untuk tanah berpasir). Kondisi ini merupakan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan tanah saat tanah dijenuhkan dan air gravitasi terdrainase semua. Lapisan atas tanah yang dianggap memiliki drainase normal akan mencapai keadaan kapasitas lapang satu hari setelah terjadi hujan.

3. Titik layu permanen (the permanent wilting point), yaitu jumlah air yang ditahan tanah pada tekanan 1500 kPa. Pada kondisi ini, air ditahan dengan sangat kuat oleh tanah sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

4. Kapasitas air tersedia (available water capacity), yaitu jumlah air yang tersedia bagi tanaman dan dapat digunakan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini terjadi di antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.

Air Gravitasi (Gravitational Water)

Air gravitasi dalam tanah merupakan bagian dari air tanah yang mengisi pori tanah, dan mengalir ke bagian bawah tanah karena adanya pengaruh gaya gravitasi. Air gravitasi tidak dapat bertahan lama. Jumlah maksimum air gravitasi terjadi pada saat seluruh pori-pori tanah terisi penuh oleh air. Pada tanah-tanah pada sistem pertanian lahan kering, kondisi ini mencapai 35% hingga 40% dari bobot kering tanah (Widtsoe 2008).

Kapasitas Lapang (Field Capacity)

Kirkham (2005) menyatakan bahwa pada umumnya, setelah terjadi hujan atau irigasi, air tanah akan langsung terdrainase ke dalam tanah. Setelah satu atau dua hari, seiring dengan berjalannya waktu, air tanah akan mencapai keadaan konstan. Kondisi disebut kapasitas lapang. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas lapang antara lain (Hillel 1971 dalam Kirkham 2005):

1. Kondisi air tanah sebelumnya (previous soil water history): tanah yang sebelumnya telah dibasahi atau dikeringkan memegang air dalam jumlah yang berbeda. Tanah jenuh yang kemudian dikeringkan memiliki kapasitas lapang yang lebih tinggi dibandingkan tanah yang sedang dijenuhkan.

2. Tekstur dan struktur tanah (soil texture and structure): tanah berklei menahan air lebih banyak dan lebih lama dibandingkan tanah berpasir. Semakin halus tekstur suatu tanah, semakin tinggi kapasitas lapangnya dan semakin lama pula ia ditahan.

(18)

7 4. Bahan organik (organic matter): bahan organik dapat membantu tanah

menahan air.

5. Temperatur: banyaknya air yang ditahan pada kondisi kapasitas lapang semakin menurun seiring dengan meningkatnya temperatur tanah. 6. Muka air tanah (water table).

7. Depth of wetting.

8. Adanya lapisan penghalang (impeding layers) seperti klei, pasir atau kerikil.

9. Evapotranspirasi: kecepatan dan pola ekstraksi air dari dalam tanah oleh akar tanaman dapat mempengaruhi gradien dan arah aliran air dalam profil tanah.

Titik Layu Permanen (Permanent Wilting Point)

Titik layu permanen merupakan jumlah air (baik dalam %-b atau %-v), diekspresikan dalam satuan persen (%), yang dipegang sangat kuat oleh matriks tanah, dimana akar tanaman tidak dapat mengabsorbsi air tersebut. Pada kondisi ini, tanaman akan mengalami layu permanen (Kirkham 2005). Titik layu permanen mengindikasikan rendahnya ketersediaan air dalam tanah. Pada kondisi tersebut, tanaman tidak dapat kembali ke kondisi semula kecuali adanya penambahan jumlah air ke dalam tanah (Gardiner and Miller 2004).

Kapasitas Air Tersedia (Available Water Capacity)

Air tersedia berada pada kondisi di antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Ketersediaan air tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa kimiawi dan kedalaman solum (Hanafiah 2005).

Tanah berpasir, memiliki fraksi pasir yang lebih banyak dibandingkan tanah berklei. Plaster (2002) mengemukakan butiran pasir memiliki ukuran yang relatif besar sehingga luas permukaannya relatif kecil. Hal ini menyebabkan banyaknya air yang diikat juga menjadi sedikit. Selain itu, banyaknya pori makro yang terbentuk mengakibatkan tanah berpasir lebih sulit menahan air terhadap gaya gravitasi. Sebaliknya, tanah berklei yang memiliki fraksi liat yang lebih banyak, memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga air yang dapat ditahan juga menjadi lebih banyak. Pori yang terbentuk merupakan pori mikro, dimana jarak antar pori-pori tersebut sangat dekat sehingga air yang ada dapat dipegang lebih kuat melawan gaya gravitasi.

(19)

8

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Juni 2012 sampai bulan Oktober 2012 yang dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Analisis tekstur tanah dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: SWA pati singkong, water absorbent komersial lain, H2O2 30%, HCl 0.4 N, natrium pirofosfat 0.0006 molar, air destilata, serta tanah bertekstur klei berpasir (campuran antara latosol dan pasir dengan rasio 1:1) dan tanah bertekstur klei (tanah podsolik).

Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu: pot, ring sampel untuk mengambil contoh tanah, gelas ukur, cangkul, sekop, ember, corong, pressure plate, oven, eksikator, timbangan dan alat-alat laboratorium lainnya.

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium. Jenis tanah yang digunakan yaitu tanah bertekstur klei (dalam hal ini digunakan tanah podsolik) dan tanah bertekstur klei berpasir yang merupakan campuran dari pasir dan latosol dengan rasio 1:1. Perlakuan yang diberikan yaitu :

K : kontrol (tanpa bahan absorban) C : kompos (1 g/kg tanah)

S : SWA komersial lain (0.1 g/kg tanah)

D1L1 : SWA pati singkong dosis 0.2 g/kg tanah disebar

D1L2 : SWA pati singkong dosis 0.2 g/kg tanah dikonsentrasikan D2L1 : SWA pati singkong dosis 0.1 g/kg tanah disebar

D2L2 : SWA pati singkong dosis 0.1 g/kg tanah dikonsentrasikan D3L1 : SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg tanah disebar

D3L2 : SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg tanah dikonsentrasikan

(20)

9 Parameter yang diamati yaitu volume air yang ditahan tanah saat dilakukan penyiraman, penurunan kadar air tanah dalam satu bulan serta variasi mingguan penurunan kadar air tanah.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Contoh Tanah

Penelitian ini menggunakan dua jenis tanah dengan tekstur yang berbeda. Tanah tersebut dikeringudarakan selama dua minggu dan diayak hingga lolos ayakan 2 mm. Tanah yang telah diayak kemudian ditimbang sebanyak 5 kg lalu dimasukkan ke dalam pot. Bahan absorban dimasukkan pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah dalam pot sesuai dengan dosis yang telah ditentukan secara disebar atau dikonsentrasikan. Pada bagian dasar pot diletakkan jaring berukuran 30 cm x 30 cm untuk mencegah adanya tanah yang keluar dari lubang di bagian bawah pot.

Penetapan Tekstur Tanah dan Kurva pF

Penetapan tekstur tanah dilakukan dengan menggunakan metode pipet, sebagai berikut:

a. Contoh tanah ditimbang sebanyak 10 g, lalu dimasukkan ke dalam gelas piala.

b. Tambahkan 25 ml H2O2 30% ke dalam gelas piala, siram di atas bak berisi air untuk mencegah terjadinya reaksi yang hebat. Kocok dengan hati-hati lalu dibiarkan selama satu malam. Bila tanah mengandung MnO2, maka pada saat penambahan H2O2 perlu ditambahkan asam asetat pekat (99%). c. Gelas piala berisi tanah tadi dipanaskan. Mula-mula dengan api kecil,

ditambahkan H2O2 sedikit demi sedikit sambil terus diaduk sampai semua bahan organik habis, yang ditandai dengan tidak terlihat lagi adanya buih. Pemanasan dilakukan terus sampai terlihat gejala peptisasi/dispersi.

d. Apabila tanah mengandung banyak CaCO3 bebas, maka perlu ditambahkan 45 ml HCl 0.4 N, didihkan selama 60 menit dan dibiarkan mengendap. Lakukan pencucian terhadap tanah yang mengendap lalu uji Cl- dengan menambahkan AgNO3 sampai tidak ada endapan AgCl yang berwarna putih.

e. Dinginkan dan langsung disaring melalui ayakan 50µ untuk memisahkan fraksi pasir.

f. Tambahkan 3 tetes HCl pekat, kocok dan biarkan tanahnya mengendap. Kelebihan HCl dicuci secara dekantasi (mengendap-tuangkan) sampai uji Cl- negatif.

g. Tambahkan 5 ml larutan Natrium pirofosfat 0.1 M, aduk dengan sempurna dan langsung dipipet sebanyak 50 ml pada kedalaman separuh tabung. Tuangkan ke dalam cawan porselen. Lalu keringkan pada suhu 105°C (merupakan fraksi debu dan liat).

(21)

10

i. Timbang masing-masing bobot pasir, debu dan liat yang diperoleh. Lalu dikonversi ke dalam bentuk persen.

j. Tekstur tanah ditetapkan dengan menggunakan segitiga tekstur.

Dari hasil penetapan tekstur tanah ini diketahui bahwa tanah podsolik memiliki kelas tekstur klei sedangkan campuran latosol dan pasir menghasilkan kelas tekstur klei berpasir. Selanjutnya kedua jenis tanah ini disebut tanah bertekstur klei dan tanah bertekstur klei berpasir. Hasil penetapan tekstur tanah disajikan dalam Lampiran 3.

Penentuan kurva pF tanah (hasil disajikan dalam Lampiran 4 dan 5) dilakukan dengan menggunakan alat pressure plate dengan metode sebagai berikut:

a. Contoh tanah agregat utuh ditimbang terlebih dahulu kemudian dibagi 4 bagian sama besar. Setiap potongan diatur pada piring (plate) berpori. b. Contoh tanah kemudian dijenuhi selama kurang lebih 48 jam, dan

kemudian dimasukkan ke dalam “Pressure Plate Apparatus” yang dapat diatur tekanannya sehingga dapat diketahui kadar air tanah pada masing-masing hisapan.

Penentuan Volume Air Siraman

Penentuan volume air siraman diperoleh dari data kadar air kering udara tanah yang kemudian disesuaikan dengan kadar air kapasitas lapang berdasarkan pengukuran pF.

Tabel 2 Penentuan Volume Air Siraman Kadar Air

Tanah bertekstur klei membutuhkan air sebanyak 0.85 liter untuk mencapai keadaan kapasitas lapangnya sedangkan tanah bertekstur klei berpasir membutuhkan air sebanyak 0.98 liter. Akan tetapi karena keadaan tanah di lapang tidak selalu konstan, maka volume air siraman ditambah hingga 2.2 liter. Penambahan volume air siraman tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa setiap perlakuan telah mencapai keadaan kapasitas lapangnya. Air diberikan dalam jumlah yang sama untuk kedua jenis tanah dengan tujuan untuk mengetahui bahwa dengan jumlah air siraman yang sama, dapat diketahui perlakuan apa yang menahan air lebih banyak.

Pengukuran Volume Air yang Ditahan Tanah

(22)

11 Dari volume air yang tertampung tersebut dapat diketahui berapa volume air yang ditahan tanah, yaitu dengan menghitung selisih antara volume air yang disiramkan (y) dengan volume air yang tertampung dalam mangkuk (a). Hasil ini kemudian dibagi dengan volume air siraman sehingga diperoleh hasil dalam satuan % air siraman.

Variasi Harian dan Variasi Mingguan Kadar Air Tanah

Setiap perlakuan yang telah disiram, diukur kadar airnya setiap hari, selama sebulan, tanpa dilakukan penyiraman lagi. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode gravimetri sebagai berikut:

c. Sampel tanah diambil sebanyak ±15 gram secara komposit pada kedalaman 5 cm dari permukaan tanah. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cawan tahan panas yang bobotnya telah ditimbang sebelumnya (a). Cawan yang telah berisi sampel tanah kemudian ditimbang (b). Bobot kering udara tanah (x) diperoleh dari hasil pengurangan antara (a) dan (b).

d. Cawan berisi sampel tanah dioven pada suhu 105°C selama 24 jam. Setelah 24 jam, sampel tanah beserta cawannya ditimbang kembali (c). Bobot kering mutlak (y) diperoleh dari hasil pengurangan antara (a) dan (c).

e. Kadar air tanah dapat dihitung dari bobot kering udara (x) dan bobot kering mutlak (y).

Variasi harian kadar air tanah disajikan dalam Lampiran 4 dan Lampiran 5. Variasi mingguan diperoleh dengan menghitung rata-rata kadar air setiap minggu dan disajikan dalam Tabel 3.

Penurunan Kadar Air Tanah

Pengukuran parameter ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan apa yang memiliki kemampuan retensi yang lebih baik. Pengukurannya dilakukan dengan menghitung selisih kadar air hari pertama dan hari terakhir setiap perlakuan.

Analisis Data

(23)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Volume Air yang Ditahan Tanah

Volume air yang ditahan tanah pada setiap perlakuan disajikan dalam Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bagaimana perbedaan tanah bertekstur klei dan tanah bertekstur klei berpasir dalam menahan air yang diberikan.

Secara keseluruhan, dalam Gambar 1 terlihat bahwa air yang ditahan tanah bertekstur klei lebih sedikit dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir. Hal ini disebabkan karena kadar air kering udara (sebelum dilakukan penyiraman) tanah bertekstur klei lebih besar dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir. Kadar air kering udara tanah bertekstur klei yaitu sebesar 34.40% sedangkan tanah bertekstur klei berpasir sebesar 18.84%. Tanah bertekstur klei kondisinya lebih lembab dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir sehingga pada saat diberikan

perlakuan penyiraman, air yang ditahan tanah bertekstur klei lebih sedikit dibandingkan tanah bertekstur klei berpasir yang kondisinya lebih kering.

Pada perlakuan SWA pada tanah bertekstur klei, volume air yang ditahan paling besar ditunjukkan oleh perlakuan D2L2 yaitu sebesar 79.62% dari volume air yang disiramkan (2.2 liter) sedangkan yang paling kecil ditunjukkan oleh perlakuan D1L2 yaitu sebesar 73.26% dari volume air yang disiramkan. Akan tetapi, volume air yang ditahan oleh perlakuan D2L2 tidak lebih besar dibandingkan perlakuan K yaitu perlakuan tanpa bahan absorban. Bahkan semua perlakuan SWA pada tanah bertekstur klei tidak menunjukkan hasil yang lebih besar dari perlakuan K, walaupun jika diperhatikan secara seksama (Lampiran 2),

50

K C S D1L1 D1L2 D2L1 D2L2 D3L1 D3L2

A

Tanah bertekstur klei Tanah bertekstur klei berpasir

Ket: Air yang disiramkan sebanyak 2.2 liter. K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar, D1L2 = SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg dikonsentrasikan.

(24)

13 hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang memungkinkan adalah pengaplikasian SWA pati singkong itu sendiri. SWA pati singkong merupakan bahan absorban yang mampu mengembang dan menyerap air dalam jumlah besar. Untuk dapat mengembang dengan maksimal, SWA pati singkong membutuhkan ruang dan waktu yang cukup. Dalam penelitian ini, SWA pati singkong yang masih dalam keadaan kering, dimasukkan ke dalam tanah lalu disiram dengan lama penyiraman selama 3-5 menit saja. Hal ini menyebabkan SWA pati singkong tidak mampu bekerja dengan maksimal sebab tidak ada ruang dan waktu yang cukup bagi SWA tersebut untuk mengembang, sehingga air yang disiramkan langsung terdrainase tanpa sempat diserap oleh SWA pati singkong.

Metode penyiraman yang tidak secara kontinu juga dapat menjadi penyebab mengapa SWA pati singkong tidak bekerja secara efektif, mengingat bahwa SWA pati singkong membutuhkan waktu selama dua hingga tiga jam untuk dapat mengembang secara maksimal. Air disiramkan hanya satu kali saja dan dalam waktu yang relatif singkat, tidak secara terus menerus. Hasil yang disajikan dalam Gambar 1 lebih kepada variasi hasil bukan karena pengaruh SWA pati singkong itu sendiri.

Pada tanah bertekstur klei berpasir, volume air yang ditahan tanah tidak menunjukkan perbedaan nyata, terlihat dari ketinggian grafik yang hampir sama antara perlakuan yang satu dengan yang lainnya. Namun dari hasil grafik di atas dapat terlihat bahwa volume air yang ditahan paling besar ditunjukkan oleh perlakuan D3L2 yaitu sebesar 81.52% dari volume air yang disiramkan, sedangkan yang paling kecil ditunjukkan oleh perlakuan D2L1 yaitu sebesar 76.74% dari volume air yang disiramkan. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pemberian bahan-bahan absorban ke dalam tanah bertekstur klei berpasir tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam meningkatkan kemampuan tanah menahan air. Namun pemberian SWA pati singkong menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik dibandingkan kontrol.

Penurunan Kadar Air Tanah

Hasil pengamatan penurunan kadar air pada tanah bertekstur klei dan tanah bertekstur klei berpasir selama empat minggu disajikan dalam Tabel 3.

(25)

14

dalam mengikat air. Tanah bertekstur klei berpasir, memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi sehingga pori makronya lebih banyak dan lebih mudah dalam meloloskan air. Jury dan Horton (2004) mengemukakan bahwa tanah berpasir tidak mampu mempertahankan air secara signifikan sehingga membutuhkan penambahan air lebih sering untuk menghindari cekaman air daripada tanah yang dalam iklim yang sama mengandung sejumlah besar klei.

Tabel 3 Besar Penurunan Kadar Air pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah Bertekstur Klei Berpasir (Hari 1 dan Hari 28)

Perlakuan

Hari 1 Hari 28 Penurunan

Tanah

SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg dikonsentrasikan.

Penurunan kadar air paling kecil pada tanah bertekstur klei berpasir ditunjukkan oleh perlakuan C (kompos) yaitu sebesar 14.71%, sedangkan penurunan yang paling besar ditunjukkan oleh perlakuan D1L1 (disebar) yaitu sebesar 18.47%.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa pada tanah bertekstur klei berpasir, perlakuan kompos lebih mampu mempertahankan kadar air tanah dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini tentunya sesuai dengan manfaat kompos yang mampu mempertahankan kadar air tanah karena kandungan bahan organiknya. Setiawan (2006) menyatakan kompos ibarat multivitamin untuk tanah pertanian. Pemberian kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat serta memperbaiki struktur tanah dengan penambahan kandungan bahan organik. Selain itu juga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam mempertahankan kandungan air tanah.

(26)

15 kedua yaitu mampu memperbaiki sifat fisik tanah (struktur tanah) terutama tanah yang didominasi oleh fraksi pasiran. Kompos mampu memperbaiki agregasi tanah dan meningkatkan pori-pori tanah yang berukuran sedang yang menyebabkan air dapat ditahan lebih lama sehingga tanaman dapat memanfaatkannya (Soepardi 1983).

Penurunan kadar air paling kecil pada tanah bertekstur klei ditunjukkan oleh perlakuan D2L2 yaitu sebesar 10.21%, sedangkan yang paling besar ditunjukkan oleh perlakuan D1L2 yaitu sebesar 15.19%. Pemberian SWA pati singkong ke dalam tanah bertekstur klei tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam mempertahankan retensi air tanah. Pada Tabel 3 dapat terlihat bahwa kadar air tanah bertekstur klei pada hari ke-1 maupun pada hari ke-28 tidak menunjukkan perbedaan nyata antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya. Sifat retensi airnya juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun perlakuan D2L2 menunjukkan penurunan yang paling kecil, namun hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.

Penambahan SWA pati singkong ke dalam tanah tidak memberikan pengaruh nyata terhadap sifat retensi air tanah pada kedua macam tekstur tanah yang digunakan. Sifat SWA pati singkong ini lebih kepada absorbansi air bukan kepada restrukturisasi tanah seperti sifat kompos. Kompos mengandung bahan organik yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah. Terhadap sifat fisik tanah, bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, merangsang proses granulasi dan agregasi tanah, menurunkan plastisitas dan kohesi tanah, warna tanah menjadi cokelat sampai kehitaman dan menaikkan kemampuan tanah menahan air. Terhadap sifat kimia tanah, bahan organik mampu menyediakan unsur hara lengkap walaupun jumlahnya sedikit dan ketersediaannya lambat dan meningkatkan kapasitas tukar kation tanah. Terhadap sifat biologi tanah, bahan organik sebagai sumber karbon dan energi bagi mikroorganisme tanah (Suriadi 2004). SWA pati singkong juga mengandung bahan organik, yaitu pati singkong. Namun karena adanya radiasi sinar gamma, sifat bahan organik tersebut mengalami perubahan. SWA pati singkong hanya memiliki sifat menyerap air tetapi tidak turut membantu dalam memperbaiki sifat fisik tanah seperti kompos.

Variasi Mingguan Kadar Air Tanah

(27)

16

Tabel 4 Variasi Mingguan Kadar Air Tanah Minggu Tanah bertekstur klei berpasir

1 46.04 45.35 45.35 47.02 44.80 46.52 45.46 44.85 45.43 2 40.51 40.81 40.66 40.47 39.58 40.75 40.51 39.81 40.76 3 38.31 38.75 38.81 38.03 37.80 38.53 38.53 37.87 38.84 4 34.78 36.80 36.52 34.64 35.09 35.05 36.17 34.65 36.18 Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar, D1L2 =

SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg dikonsentrasikan.

Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, pemberian SWA pati singkong ke dalam tanah tidak memberikan pengaruh nyata terhadap sifat retensi air pada kedua macam tekstur yang digunakan. Pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai kadar air semua perlakuan tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya. Hasil di atas belum dapat menggambarkan bagaimana pengaruh SWA pati singkong terhadap sifat retensi air tanah.

Pada tanah bertekstur klei, kadar air semua perlakuan di minggu keempat lebih besar dari kadar air kapasitas lapang (pF 2.54), yaitu 51.44%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh proses evaporasi tanah itu sendiri. Akan tetapi karena percobaan dilakukan di laboratorium, nilai evaporasi tersebut mungkin saja sangat kecil. Sehingga kadar air pada tanah bertekstur klei tetap lebih besar dari kadar air kapasitas lapang, walaupun telah dibiarkan selama empat minggu. Selain itu, kandungan klei yang sangat tinggi pada tanah tersebut (75.78%) mengakibatkan air dipegang dengan sangat kuat.

Pada tanah bertekstur klei berpasir, kadar air semua perlakuan di minggu keempat lebih kecil dari kadar air kapasitas lapang (pF 2.54), yaitu 38.39%. Akan tetapi pada minggu ketiga, hampir semua perlakuan telah mencapai keadaan kapasitas lapangnya. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa tanah bertekstur klei berpasir telah mencapai keadaan kapasitas lapangnya dalam waktu tiga minggu. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan pori makro yang lebih banyak (pasir 46.35%) dibandingkan tanah bertekstur klei sehingga retensinya tidak sekuat tanah bertekstur klei. Kehilangan air terjadi karena adanya drainase dan evaporasi.

SWA Pati Singkong Dosis 0.025 g/kg Tanah

(28)

17 (disebar) dan D3L1 (dikonsentrasikan) pada tanah bertekstur klei tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Akan tetapi, garis kurva penurunan kadar air tanah yang diberikan SWA dosis 0.025 g/kg ini berada sedikit di atas K, C dan S.

Hal ini menunjukkan bahwa SWA pati singkong mampu mempertahankan kadar air tanah bertekstur klei sedikit lebih baik dibandingkan kompos, walaupun hasilnya tidak berbeda nyata. Begitu pula dengan SWA komersial lain. Kemampuan menahan air SWA komersial lain yang bersifat anorganik ini berada di bawah kemampuan SWA pati singkong, dimana kadar air akhir K sebesar 54.69%, kadar C sebesar 53.67% dan kadar air S sebesar 53.11 %. Sedangkan kadar air D3L2 dan D3L1 berturut-turut sebesar 55.84% dan 55.41%.

Pada tanah bertekstur klei berpasir (Gambar 2b), kadar air akhir perlakuan C, S dan D3L2 lebih besar dibandingkan K dan D3L1. Pada minggu-minggu pertama, kelima kurva berada pada jalur yang hampir sama namun pada minggu keempat perlakuan C, S dan D3L2 masih mampu mempertahankan kadar airnya. Akan tetapi, kadar air C dan S sedikit lebih tinggi dibandingkan perlakuan D3L2. Kadar air akhir C yaitu sebesar 36.80%, kadar air S sebesar 36.25% sedangkan kadar air D3L2 sebesar 36.18%. Kadar air akhir K dan D3L1 berturut-turut sebesar 34.78% dan 34.65%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg tidak memberikan pengaruh nyata terhadap sifat retensi tanah bertekstur klei berpasir.

Secara keseluruhan, pemberian SWA pati singkong dosis 0.025 g/kg ke dalam tanah bertekstur klei tidak berpengaruh nyata dalam mempertahankan sifat retensi air tanah, walaupun kurva SWA pati singkong (D3L1 dan D3L2) berada di

52

Gambar 2 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.025 g/kg pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah Bertekstur Klei Berpasir

(a) Tanah bertekstur klei (b) Tanah bertekstur klei berpasir *Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar,

(29)

18

atas perlakuan lain (K, C dan S). Pada tanah bertekstur klei berpasir, pemberian bahan absorban seperti kompos, SWA lain ataupun SWA pati singkong juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap sifat retensi air tanah (Gambar 2b). Bahan absorban yang cukup memberikan pengaruh yaitu kompos dan SWA lain. Pemberian SWA pati singkong secara disebar kurang dapat mempertahankan kadar air tanah dibandingkan dengan pemberian SWA secara dikonsentrasikan. SWA Pati Singkong Dosis 0.1 g/kg Tanah

Hasil pengamatan perbandingan penurunan kadar air antara K, C dan S terhadap perlakuan SWA dosis 0.1 g/kg pada tanah bertekstur klei dan tanah bertekstur klei berpasir disajikan dalam Gambar 3.

Pada Gambar 3a dapat dilihat bahwa pada tanah bertekstur klei, kurva kadar air D2L2 berpotongan dengan kurva kadar air D2L1 namun kedua kurva tersebut masih berada di atas kurva K, C dan S. Kadar air D2L1 pada minggu-minggu pertama lebih besar dibandingkan D2L2 akan tetapi penurunannya lebih besar, sehingga pada minggu keempat, kadar air D2L2 lebih besar dibandingkan D2L1. Kadar air akhir kontrol yaitu sebesar 54.69% sedangkan kadar air akhir D2L2 sebesar 56.48% dan D2L1 sebesar 55.09%.

Kurva penurunan kadar air antara perlakuan K, C, S, D2L2 dan D2L1 pada tanah bertekstur klei berpasir saling berimpit selama tiga minggu, namun pada minggu keempat perlakuan C, S dan D2L2 berada sedikit di atas kurva K dan D2L1. Hal ini menunjukkan bahwa kelima perlakuan ini cukup dapat mempertahankan kadar air tanah, walaupun tidak berbeda nyata.

52

Gambar 3 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.1 g/kg pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah Bertekstur Klei Berpasir

(a) Tanah bertekstur klei (b) Tanah bertekstur klei berpasir *Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar,

(30)

19 Pada tanah bertekstur klei berpasir, terlihat jelas dalam Gambar 3b bahwa pemberian SWA pati singkong tidak memberikan pengaruh yang nyata dalam mempertahankan sifat retensi air tanah, walaupun kompos menunjukkan kinerja yang sedikit lebih baik pada minggu keempat dibandingkan perlakuan lainnya. Kadar air akhir perlakuan kompos yaitu sebesar 36.80%, tidak berbeda nyata dengan S (36.52%), K (34.78%), maupun D2L1 (35.05%) dan D2L2 (36.17%). SWA Pati Singkong Dosis 0.2 g/kg Tanah

Hasil pengamatan perbandingan penurunan kadar air antara K, C dan S terhadap perlakuan SWA dosis 0.2 g/kg disajikan dalam Gambar 4a (tanah bertekstur klei) dan Gambar 4b (tanah bertekstur klei berpasir).

Gambar 4a menunjukkan bahwa pada tanah bertekstur klei, kadar air akhir K (54.69%) dan D1L2 (54.77%) lebih besar dibandingkan C (53.67%), S (53.11%) dan D1L1 (53.11%). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kontrol dalam menahan air hampir sama dengan perlakuan SWA dosis 0.2 g/kg tanah. Hal ini menunjukkan pula bahwa pemberian SWA pati singkong dosis 0.2 g/kg tanah tidak memberikan perbedaan nyata terhadap sifat retensi air tanah, terlihat dari nilai kadar air yang tidak jauh berbeda antar-perlakuan.

Pada tanah bertekstur klei berpasir (Gambar 4b), perlakuan C (36.80%) dan S (36.52%) lebih dapat mempertahankan kadar air tanah dibandingkan perlakuan K (34.78%), D1L2 (3509%) dan D1L1 (34.64%). Pada minggu pertama, kelima perlakuan ini memberikan hasil yang berbeda-beda namun seiring dengan berjalannya waktu, kelima kurva tersebut semakin berimpit hingga akhirnya pada

52

Gambar 4 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.2 g/kg pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah Bertekstur Klei Berpasir

(a) Tanah bertekstur klei (b) Tanah bertekstur klei berpasir *Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar,

(31)

20

minggu keempat, C dan S lebih mampu mempertahankan kadar airnya dibandingkan tiga perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kompos dan SWA lain lebih dapat mempertahankan kadar air tanah bertekstur klei berpasir dibandingkan SWA pati singkong dosis 0.2 g/kg, walaupun hasil tersebut tidak berbeda nyata.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

SWA pati singkong mampu mengembang (swelling) dan menyerap air dalam jumlah besar. Akan tetapi kinerjanya dalam mempertahankan kadar air tanah tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kompos dan SWA komersial lain yang telah beredar di pasaran.

Secara keseluruhan, pemberian SWA pati singkong ke dalam tanah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam mempertahankan retensi air tanah, baik dari dosis maupun cara peletakannya. Kadar air yang diukur dalam percobaan ini tidak sepenuhnya terkait dengan pengaruh SWA pati singkong, karena yang diukur dalam percobaan ini adalah retensi air oleh tanah itu sendiri, bukan oleh SWA pati singkong. Selain itu, metode pengaplikasian SWA pati singkong dalam percobaan ini kurang tepat sehingga mekanisme kerja SWA pati singkong menjadi terhambat. Hal tersebut terjadi karena ruang yang dibutuhkan SWA pati singkong untuk mengembang tidak tersedia di dalam tanah. Dengan adanya keterbatasan ruang tersebut, kontak antara SWA pati singkong dengan air juga menjadi semakin sedikit sehingga fungsi SWA pati singkong sebagai bahan absorban tidak mencapai hasil yang maksimal.

Saran

(32)

21

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr

Brady N and Weil RR. 2002. The Nature and Properties of Soils. 13th ed. New Jersey (US): Prentice Hall

Chesworth W. [editor]. 2008. Encyclopedia of Soil Science. University of Guelph Canada. Springer

Coyne MS and Thompson JA. 2006. Fundamental of Soil Science. New York (US): Thomson Delmar Learning

Darwis D dan Puspitasari T. 2012. Super Water Absorbent (SWA) Cassava starch-co-acrylate sebagai Bahan Pembenah Tanah (Soil Conditioner). Jakarta (ID): BATAN

Gardiner DT and Miller RW. 2004. Soils in Our Environment: 10th ed. New Jersey (US): Prentice Hall

Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada

Jury WA dan Horton R. 2004. Soil Physics. 6th ed. New York (US): John Wiley & Sons

Kirkham MB. 2005. Principles of Soil and Plant Water Relations. California (US): Elsevier Academic Pr

Kurniadi T. 2010. Kopolimerasi Grafting Monomer Asam Akrilat pada Onggok Singkong dan Karakteristiknya [tesis]. Bogor (ID):IPB

Lal R dan Shukla MK. 2004. Principles of Soil Physics. New York (US): Marcel Dekker

Manan H. 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan dan Energi serta Permasalahan Koordinasinya Di Era Otonomi Daerah. Di dalam: Tarigan SD, Barus B, Panuju DR, Trisasongko BH, Nugroho B, editor. Prosiding Semiloka Nasional: Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk

Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi; 2008 Des 22-23; Bogor,

Indonesia. Bogor (ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB. hlm 37-51

Mulyani A dan Las I. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi

Pengembangan Komoditas Penghasil Bioenergi di Indonesia. Jakarta (ID):

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Plaster EJ. 2002. Soil Science and Management. 4th ed. New York (US): Thomson Delmar Learning

Seta AK. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. 2nd ed. Jakarta (ID): Kalam Mulia

Setiobudi D dan Fagi AM. 2009. Pengelolaan Air Sawah Irigasi: Antisipasi Kelangkaan Air. Di dalam: Suyamto, Widiarta IN, Satoto, editor. Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Jakarta (ID): LIPI Pr. hlm 243-272

Setiawan AI. 2006. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya

Singer MJ and Munns DN. 2006. Soils: An Introduction. 6th ed. New Jersey (US): Prentice Hall

(33)

22

Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Compositon, Reaction. New York (US): John Wiley & Sons

Suriadi A. 2004. Perubahan Kapasitas Menahan Air Tanah dan Ketersediaan Kalium Akibat Penambahan Bahan Organik di Tanah Entisols Lahan Kering NTB. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim; 2004 Sep 14-15; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm 301-314

Suriadikarta DA dan Setyorini D. 2005. Laporan Hasil Penelitian Standar Mutu Pupuk Organik. Bogor (ID): Balittanah

Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI

Tan KH. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr

(34)

23 Lampiran 1 Sifat Fisik Tanah

Jenis Tanah Tanah bertekstur klei

Tanah bertekstur klei berpasir*

Bobot Isi (g/cm3) 1.12 1.27

Porositas Total (-% volume) 57.73 52.08

Air Tersedia (-% volume) 11.23 10.07

Kadar Air Kering Udara (-% volume) 34.40 18.84

Pasir (%) 5.38 46.35

Debu (%) 18.84 4.27

Klei (%) 75.78 49.38

Kelas Tekstur klei klei berpasir

*Tanah yang digunakan merupakan campuran latosol dan pasir dengan perbandingan 1:1

Lampiran 2 Volume Air yang Ditahan Tanah Setelah Penyiraman

Perlakuan

Volume air yang disiramkan

(liter)

Volume air yang ditahan tanah (liter)

Volume air yang ditahan tanah (%)

Lampiran 3 Hasil Penetapan Kelas Tekstur Jenis

(35)

24

Lampiran 4 Kadar Air pF Tanah Bertekstur Klei Nilai

Ket: BKU = Bobot Kering Udara, BKM = Bobot Kering Mutlak, KA = Kadar Air, BI = Bobot Isi

Lampiran 5 Kadar Air pF Tanah Bertekstur Klei Berpasir Nilai

(36)

25 Lampiran 6 Variasi Harian Kadar Air Tanah Bertekstur Klei

Hari ke-

Perlakuan

K C S D1L1 D1L2 D2L1 D2L2 D3L1 D3L2

...kadar air (%)...

1 67.00 66.31 65.53 65.05 68.53 66.54 65.91 68.03 67.14 2 66.85 65.73 65.45 64.33 63.44 66.44 65.87 67.62 66.80 3 64.44 64.49 64.92 63.60 62.81 65.11 64.67 66.91 65.53 4 64.00 64.09 64.30 62.79 61.97 64.63 64.29 65.98 64.75 5 63.44 63.68 64.41 62.47 61.78 64.39 64.27 64.19 64.08 6 62.57 63.43 63.43 62.27 61.76 64.09 63.20 64.15 63.07 7 62.76 62.88 63.48 61.07 61.26 63.68 63.12 64.13 62.68 8 60.89 62.85 63.43 60.76 61.23 63.58 61.73 62.45 62.53 9 59.64 60.47 60.92 60.58 60.11 62.82 61.55 62.27 62.28 10 59.57 60.32 60.28 58.86 59.80 62.78 61.10 61.78 60.80 11 59.51 60.31 60.00 58.54 59.54 61.54 60.17 61.61 60.52 12 58.41 59.88 59.67 57.94 58.43 60.52 60.08 60.51 60.26 13 58.05 59.39 59.49 57.72 58.12 60.50 59.99 60.32 60.25 14 57.89 58.49 58.93 57.43 57.85 60.33 59.71 59.81 60.23 15 57.57 58.34 58.74 57.29 57.19 59.78 59.43 59.51 60.20 16 57.49 58.08 58.15 56.99 57.09 59.39 59.15 59.10 59.37 17 57.46 57.80 58.07 56.58 56.90 58.41 58.93 59.08 59.14 18 57.41 57.58 58.04 56.47 56.75 58.38 58.87 58.88 59.11 19 57.38 57.54 57.87 55.86 56.42 58.35 58.74 58.47 58.96 20 56.46 56.62 57.52 54.96 56.37 58.17 58.28 58.17 58.25 21 56.36 56.29 55.96 54.81 56.02 57.37 58.09 58.11 58.18 22 56.27 56.29 55.37 54.45 55.66 57.22 57.93 56.73 56.88 23 55.41 53.97 54.24 54.11 55.39 56.75 57.05 56.67 56.41 24 55.39 53.59 53.74 53.62 55.42 56.25 56.57 56.25 56.36 25 55.06 53.59 52.90 53.18 54.87 54.14 56.25 55.61 56.33 26 53.96 53.47 52.38 52.52 54.57 54.12 56.10 54.55 55.69 27 53.55 52.56 51.74 52.42 54.17 53.88 55.78 54.35 55.01 28 53.20 52.19 51.36 51.51 53.35 53.29 55.70 53.71 54.19 Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar , D1L2 =

SWA 0.2 g/kg dikonsentrasikan, D2L1 = SWA 0.1 g/kg disebar, D2L2 = SWA 0.1 g/kg dikonsentrasikan, D3L1 = SWA 0.025 g/kg disebar, D3L2 = SWA 0.025 g/kg dikonsentrasikan.

(37)

26

Lampiran 7 Variasi Harian Kadar Air Tanah Bertekstur Klei Berpasir Hari

ke-

Perlakuan

K C S D1L1 D1L2 D2L1 D2L2 D3L1 D3L2 ...kadar air (%)...

1 50.21 50.47 51.37 50.80 50.55 51.17 52.39 50.34 50.37 2 49.66 47.58 48.20 48.68 47.30 47.59 46.67 47.18 47.71 3 46.02 45.35 44.97 47.90 45.13 47.33 45.90 45.91 46.13 4 45.76 45.51 44.06 47.11 44.44 47.03 45.69 45.18 45.71 5 44.41 43.29 43.61 46.67 43.39 45.26 42.60 42.23 43.69 6 43.59 42.86 43.24 44.66 41.90 44.31 42.82 41.54 42.66 7 42.61 42.42 41.96 43.28 40.92 42.94 42.17 41.54 41.75 8 41.74 41.15 41.38 42.08 40.69 42.58 41.75 41.00 41.68 9 40.89 41.11 41.32 41.44 40.54 41.97 41.41 40.99 41.67 10 40.76 41.03 41.06 41.25 39.34 41.03 41.26 39.85 41.10 11 40.63 40.85 40.79 40.64 39.21 40.38 40.79 39.42 40.51 12 40.12 40.80 40.33 39.46 39.20 40.21 39.62 39.37 40.44 13 40.06 40.42 40.12 39.23 39.16 39.50 39.40 39.09 40.12 14 39.39 40.33 39.60 39.20 38.89 39.60 39.31 38.95 39.77 15 39.16 39.61 39.45 38.52 38.90 39.29 39.19 38.83 39.46 16 39.13 39.63 39.36 38.46 38.31 39.07 38.90 38.60 39.31 17 38.66 38.80 39.13 38.25 38.17 37.88 38.80 38.56 39.20 18 38.10 38.65 38.82 37.98 37.97 38.75 38.72 38.05 38.71 19 38.02 38.28 38.69 37.94 37.38 38.71 38.34 37.91 38.63 20 37.78 38.24 38.24 37.63 36.95 38.44 38.03 36.82 38.41 21 37.29 38.01 38.02 37.44 36.90 37.57 37.73 36.32 38.15 22 36.99 37.81 37.97 37.07 36.82 37.52 37.44 36.06 38.01 23 36.60 37.74 37.79 35.76 36.23 35.38 37.04 35.64 36.52 24 35.04 37.50 37.50 35.33 35.61 35.34 36.95 35.02 36.45 25 34.00 36.91 36.60 34.79 35.57 34.61 35.61 34.66 36.26 26 33.73 36.03 35.89 34.01 34.69 34.53 35.61 34.09 36.07 27 33.45 35.87 34.99 33.20 33.50 34.08 35.42 33.52 35.01 28 33.62 35.76 34.88 32.33 33.20 33.87 35.15 33.56 34.97 Ket: K = tanpa absorban, C = kompos, S = SWA lain, D1L1 = SWA 0.2 g/kg disebar , D1L2 =

(38)

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sibolga, sebuah kotamadya kecil yang bersebelahan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada tanggal 9 Januari 1990 dan merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Binsar Habayahan dan Ibu Siti Arofah.

Penulis memasuki jenjang pendidikan dasar pada tahun 1996-2002 di SD Swasta Santa Melania Sarudik, Tapanuli Tengah. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Swasta Santu Fransiskus Aek Tolang, Tapanuli Tengah. Setelah lulus pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Plus Matauli Pandan, Tapanuli Tengah hingga menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2008.

Gambar

Gambar 1 Volume Air yang Ditahan Tanah Setelah Dilakukan Penyiraman
Tabel 3 Besar Penurunan Kadar Air pada Tanah Bertekstur Klei dan Tanah
Gambar 2 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.025 g/kg pada
Gambar 3 Variasi Mingguan Penurunan Kadar Air SWA Dosis 0.1 g/kg pada
+2

Referensi

Dokumen terkait

1.1 Buku Induk Pegawai 1.2 Daftar Hadir Guru/ Pegawai 1.3 Daftar Urut Kepangkatan 1.4 Buku Catatan Prestasi Guru 1.5 Buku Cuti Pegawai.. 1.6

Masih banyak Depo air minum isi ulang di Kabupaten Bungo yang kualitas air minumnya diluar pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo masih, banyak air minum yang dikelola

Dengan menggunakan batas kendali pada fase I didapatkan pengendalian kualitas proses produksi tuna ka- leng pada fase II dalam varians dan rata-rata prosesnya belum

Hal ini bermakna bahwa model yang ditawarkan, yang berupa struktur penyebab terjadinya perilaku agresif di kalangan remaja yang tinggal di permukiman kumuh, yang meliputi faktor

Penelitian ini menggunakan dua (2) variabel yaitu variabel Dependen dan variabel Independen.Variabel Independen adalah modal kerja, likuiditas, aktivitas, ukuran

Tesis merupakan karya tulis ilmiah hasil penelitian yang mandiri untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister pada Program Studi Magister Administrasi dan

Dan keempat, pada waktu yang sama, pikiran mengembangkan Jalan Mulia Beruas Delapan, yang delapan ruasnya melonjak dengan kekuatan yang sangat besar, mencapai ketinggian

Dengan menerapkan metode Simple Additive Weighting method (SAW) diharapkan dapat memaksimalkan kriteria yang digunakan dalam proses pemilihan murid TK terbaik