• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Jenis dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN

ANDAM DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

SKRIPSI

FATMAYANTI TANJUNG

070805010

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM

DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FATMAYANTI TANJUNG 070805010

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGHARGAAN

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kapada Allah SWT yang telah memberikan anugerahNya sehingga dengan izinNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi pada Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul skripsi ini adalah Jenis Dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan Dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Arlen H.J. M.Si Selaku dosen pembimbing I dan bapak Drs. Nursal M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi, waktu, dan perhatian yang besar saat penulis memulai dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Masitta Tanjung S.Si, M.Si selaku penguji I dan Ibu Dra. Suci Rahayu M.Si selaku penguji II yang telah bersedia memberikan bimbingan arahan dan waktu kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus M.Sc selaku penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa pendidikan. Ibu Nursahara Pasaribu M.Sc dan Bapak Drs. Kiki Nurtjahja M.Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Biologi, dan seluruh staf dosen Departemen Biologi FMIPA USU yang telah mendidik dalam perkuliahan.

Terimakasih penulis ucapkan yang sebesar-besarnya kepada Laboratorium Parasitologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, beserta staf yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik, kepada bapak-bapak yang berada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan bapak yang berada ditempat pemotongan Andam dewi terimakasih atas waktu dan bantuannya dalam pengambilan sampel.

Kedua orangtuaku tercinta (Fahmi Tanjung dan Bisma Warni Tanjung), terimakasih atas segala pengorbanan, doa, cinta, kasih sayang serta air mata kesabaran yang telah kalian berdua berikan sehingga menjadi motivasi dan semangat yang luar biasa bagi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan skripsi ini, suami dan putriku tercinta (Arion hartanto Mahulae dan Alyathul Khadijah) terimakasih karena selalu menemani, memberikan semangat dan cinta kasih kepada penulis, adik-adikku tersayang (Zulham, Ema, Fitri, Hijrah, Yustika, Aida, Sri, Ela, dan Fandy), terimakasih juga atas segala cinta, kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, serta doa yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

(4)

motivasi serta kritikan yang membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kesalahan, dan kekurangannya sehingga penulis berharap kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya dengan segala syukur, penulis mengharapkan semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Medan, Agustus 2014

(5)

DAFTAR ISI

halaman

Persetujuan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Daftar Isi v

Daftar Tabel vi

Daftar Lampiran vii

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Klasifikasi Sapi 4

2.2 Budidaya Sapi Potong 4

2.3 Penyakit Pada Sapi 5

2.4 Jenis Cacing Parasit Pada Sapi 6

2.5 Penularan atau Penyebaran Penyakit 8

2.6 Pengendalian atau Pencegahan 9

Bab 3 Bahan dan Metode

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Bahan dan Alat-alat 11

3.3 Metode Penelitian 11

3.4 Prosedur Penelitian 12

3.5 Analisis Data 13

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing Endoparasit 14 4.2 Jumlah dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit 16 4.3 Persentase Jumlah Jenis Endoparasit 18

4.4 Data Berat Badan Sapi 20

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 22

5.2 Saran 22

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

4.1 Jenis dan Tingkat Infeksi Endoparasit yang Ditemukan pada Feses Sapi Dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Medan dan Beberapa Tempat Pemotongan Di Kecamatan Andam Dewi

14

4.2 Persentase Jumlah Jenis Endoparasit RPH Medan dan Beberapa Tempat Pemotongan Di Kecamatan Andam Dewi

16 4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Di RPH

Medan Dan Beberapa Tempat Pemotongan Di Kecamatan Andam Dewi

18

4.4 Data Berat Badan Sapi yang Di Potong Di RPH Medan Dan Kecamatan Andam Dewi, serta Hubungannya dengan Tingkat Infeksi

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman

1 Skema Kerja 26

2 Klasifikasi Jenis Endoparasit 27

3 Tabel Indikator Parasit 28

(8)

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM

DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

ABSTRAK

Penelitian jenis dan tingkat infeksi cacing endoparasit dilakukan dengan menggunakan metode purposive random untuk pengambilan sampel feses di lapangan dan metode sedimentasi, untuk penentuan jumlah dan jenis di laboratorium. Hasil pengamatan 150 feses dari 25ekor sapi pada RPH Medan dan 25 ekor sapi pada beberapa tempat pemotongan sapi, didapatkan tujuh jenis cacing endoparasit, lima jenis di RPH Medan yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., lima jenis di beberapa tempat pemotongan Andam Dewi yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., Tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH medan dikategorikan ringan, jumlah telur parasit yang ditemukan 1-120 butir dengan persentase tertinggi Haemonchus sp. 5,12%, Chabertia sp. 0,68 %, Bunostomum sp. 0,4 %, Cooperia sp. 0,16 %, dan terendah Paramphistomum sp. 0,04 %, sedangkan tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, jumlah telur parasit yang ditemukan 2-5.020 butir dengan persentase tertinggi 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0,48 %, Fasciola sp., 0,28 %, Haemonchus sp. 0,2 %, dan terendah jenis Cooperia sp. 0,08%. .

(9)

TYPE AND INFEKCTION OF HELMINTH ENDOPARASIT IN FESES COW IN THE RPH MEDAN AND RPH SUB DSTRICT ANDAM DEWI, DISTRICT

TAPANULI TENGAH

ABSTRACT

Research the type and level of endoparasitic helminth infections carried out by using the method of purposive random sampling feces in the field, and sedimentation method, for the determination of the number and type of laboratory. Of 150 observations obtained seven kinds of cow feces endoparasitic helminths, five types in Medan RPH is Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., five types in RPH Andam Dewi is Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., Endoparasitic helminth infection rate in field RPH categorized as mild, the number of parasite eggs 1-127 grains with the highest percentage of Haemonchus sp. 5.12%, Chabertia sp. 0.68%, Bunostomum sp. 0.4%, Cooperia sp. 0.16%, the lowest and Paramphistomum sp. 0.04%, while the rate of endoparasitic helminth infections in RPH Andam Dewi classified as severe, the number of parasite eggs 2-5020 grains with the highest percentage of 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0.48%, Fasciola sp., 0.28% , Haemonchus sp. 0.2%, and the lowest type of Cooperia sp. 0.08%.

(10)

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM

DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

ABSTRAK

Penelitian jenis dan tingkat infeksi cacing endoparasit dilakukan dengan menggunakan metode purposive random untuk pengambilan sampel feses di lapangan dan metode sedimentasi, untuk penentuan jumlah dan jenis di laboratorium. Hasil pengamatan 150 feses dari 25ekor sapi pada RPH Medan dan 25 ekor sapi pada beberapa tempat pemotongan sapi, didapatkan tujuh jenis cacing endoparasit, lima jenis di RPH Medan yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., lima jenis di beberapa tempat pemotongan Andam Dewi yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., Tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH medan dikategorikan ringan, jumlah telur parasit yang ditemukan 1-120 butir dengan persentase tertinggi Haemonchus sp. 5,12%, Chabertia sp. 0,68 %, Bunostomum sp. 0,4 %, Cooperia sp. 0,16 %, dan terendah Paramphistomum sp. 0,04 %, sedangkan tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, jumlah telur parasit yang ditemukan 2-5.020 butir dengan persentase tertinggi 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0,48 %, Fasciola sp., 0,28 %, Haemonchus sp. 0,2 %, dan terendah jenis Cooperia sp. 0,08%. .

(11)

TYPE AND INFEKCTION OF HELMINTH ENDOPARASIT IN FESES COW IN THE RPH MEDAN AND RPH SUB DSTRICT ANDAM DEWI, DISTRICT

TAPANULI TENGAH

ABSTRACT

Research the type and level of endoparasitic helminth infections carried out by using the method of purposive random sampling feces in the field, and sedimentation method, for the determination of the number and type of laboratory. Of 150 observations obtained seven kinds of cow feces endoparasitic helminths, five types in Medan RPH is Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., five types in RPH Andam Dewi is Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., Endoparasitic helminth infection rate in field RPH categorized as mild, the number of parasite eggs 1-127 grains with the highest percentage of Haemonchus sp. 5.12%, Chabertia sp. 0.68%, Bunostomum sp. 0.4%, Cooperia sp. 0.16%, the lowest and Paramphistomum sp. 0.04%, while the rate of endoparasitic helminth infections in RPH Andam Dewi classified as severe, the number of parasite eggs 2-5020 grains with the highest percentage of 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0.48%, Fasciola sp., 0.28% , Haemonchus sp. 0.2%, and the lowest type of Cooperia sp. 0.08%.

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita dalam masyarakat Indonesia berpengaruh terhadap kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat memiliki kesadaran akan gizi, diantaranya yang berasal dari ternak, sehingga terjadi peningkatan permintaan produk-produk peternakan. Salah satu diantaranya adalah daging sapi. Kebutuhan akan daging sapi untuk konsumsi penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahun sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, tetapi dilain pihak pengadaan daging sapi setiap saat mengalami penurunan yang disebabkan oleh gangguan penyakit (Iskandar, 2007).

Menurut Dewi et al., (2011), gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan, diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapatkan perhatian dari para peternak. Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan. Diantara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing. Hasan (1970) menjelaskan bahwa, pada umumnya masyarakat peternak tidak memperhatikan masalah penyakit cacing, karena penyakit tersebut jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung.

(13)

Beberapa faktor yang menyebabkan sapi terinfeksi parasit cacing antara lain hijauan yang masih berembun serta tercemar vektor pembawa cacing, kondisi kebersihan kandang yang tidak diperhatikan oleh peternak sehingga kotoran dari sapi tersebut mencemari pakan, dan pemeliharaan sapi dengan sistem gembala yang merupakan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak (Levine, 1994). Selanjutnya Harmindah (2001) menjelaskan bahwa, peternak kecil menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan ternak mencari makan sendiri bahkan ada yang sama sekali tidak dikandangkan sehingga sangat mudah terinfeksi oleh vektor pembawa cacing dan terkontaminasi telur cacing.

Menurut Tantri et al., (2013), hasil pengamatan terhadap feses sapi di RPH Pontianak menunjukkan bahwa dari 80 sampel yang diambil seluruhnya telah terinfeksi telur cacing parasit. Menurut Harminda (2011), berdasarkan hasil penelitian 147 sampel feses sapi di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, dimana 141 ekor sapi pesisir positif teinfeksi parasit cacing Neoascaris vitulorum dengan tingkat prevalensi sebesar 96 % dan tingkat keparahan infestasi dikategorikan ringan yaitu jumlah telur cacin <499 telur per gram feses sapi.

(14)

I.2 Permasalahan

Hambatan dalam pengembangan peternakan, khususnya peternakan sapi yang disebabkan oleh cacing parasit perlu mendapat perhatian yang cukup besar, namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana jenis dan tingkat keparahan infeksi cacing parasit antara sapi yang ada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dengan sapi masyarakat peternak yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan total telur per gram feses.

I.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Mengetahui jenis-jenis parasit cacing yang terdapat pada sapi yang ada di RPH Medan dan di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah.

b) Membandingkan tingkat infeksi dari parasit cacing yang ada di Rumah Potong Hewan Medan dan yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah dengan menghitung banyaknya jumlah telur cacing yang terdapat pada feses sapi.

I.4 Hipotesa

Sapi yang ada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Sapi yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah terinfeksi parasit cacing dan terdapat perbedaan tingkat infeksi parasit cacing antara sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dengan sapi yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah.

I.5 Manfaat

(15)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Sapi

Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Kindersley (2010), sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos sp.

2.2 Budidaya Sapi Potong

Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut juga sebagai sapi pedaging. Ciri-ciri sapi pedaging biasanya memiliki tubuh besar, dengan kualitas daging maksimum, laju pertumbuhan cepat, dan efisiensi pakan yang tinggi (Santosa, 1995). Abidin (2006) menambahkan, sapi potong adalah jenis sapi khusus yang dipelihara untuk digemukkan.

(16)

pakan yang berkualitas dengan jumlah pemberian sesuai kebutuhan ternak. Manajemen tersebut merupakan salah satu aspek yang penting dalam menunjang keberhasilan usaha peternakan (Haryanti, 2009).

Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif adalah semua aktivitas dilakukan di padang penggembalaan. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008).

Kebutuhan pakan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi ternak, karena sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Pakan yang baik adalah pakan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, seperti energi, protein, lemak, mineral dan juga vitamin. Semuanya dibutuhkan dalam jumlah yang tepat serta seimbang, sehingga bisa menghasilkan produk daging berkualitas dan berkuantitas tinggi (Sugeng, 1998).

Menurut Munadi (2011), salah satu hambatan dalam pengembangan peternakan adalah persoalan penyakit. Penyakit merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan ternak, serta dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

2.3 Penyakit Pada Sapi

(17)

Pada umumnya masyarakat peternak tidak memperhatikan masalah penyakit cacing, karena penyakit tersebut jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung (Hasan, 1970). Kasus kecacingan pada ternak sapi hampir menyerang seluruh ternak sapi di belahan dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% ternak sapi dan kerbau terinfeksi parasit cacing diantaranya cacing hati (Fasciola spp.), cacing gelang (Neoascaris vitulorum), dan cacing lambung (Haemonchus contortus) (Erwin et al, 2010).

2.4Jenis Cacing Parasit Pada Sapi

a). Cacing Hati (Fasciola spp.)

Cacing hati (Fasciola spp.) merupakan cacing daun yang besar dan lebar, bertubuh pipih. Penghisapnya berdekatan satu sama lain, telurnya berkulit tipis dan mempunyai operculum (Levine, 1990). Selanjutnya Martindah et al., (2005) dalam Dewi et al., (2011) menjelaskan bahwa, Fasciola yang menyerang ternak pada umumnya adalah Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. F. hepatica biasanya ditemukan di daerah empat musim atau subtropis, seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia, dan New Zealand, sedangkan F. gigantica umumnya ditemukan di negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, jepang, Filipina, Malaysia, dan Kemboja. Di Indonesia F. gigantica lebih sering ditemukan pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah.

(18)

b). Cacing Pita (Taenia saginata )

Ciri dari cacing pita (T. saginata) memiliki ukuran sangat besar, panjang, terdiri dari kepala (skoleks), leher, dan stobila yang tersusun dari proglotid. Telur berbentuk bulat, berukuran 30-40 x 20-30 mikron, memiliki dinding tebal bergaris radier, dan berisi embrio heksakan, sedangkan skoleks berukuran 1-2 milimeter dan memiliki empat batil isap. Pada cacing dewasa panjang badan dapat mencapai 4-12 cm, jumlah proglotid antara 1000-2000 buah, terdiri atas proglotid immature-mature dan gravid (Ongowaluyo, 2001).

Menurut Kusumamiharja (1995), cacing pita ini melekat pada rumput bersama dengan feses, kemudian ternak sapi memakan rumput yang telah terkontaminasi oleh cacing pita tersebut, telur yang tertelan, dicerna dan embrio heksakan menetas. Embrio heksakan di saluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk kesaluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah, serta masuk ke jaringan ikat sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing pita, peristiwa ini terjadi setelah 12-15 minggu.

c). Cacing Lambung (Haemonchus contortus)

Cacing ini merupakan genus nematoda yang paling penting pada domba dan sapi. cacing jantan mempunyai panjang 10-20 mm dan berdiameter 400 mikron, sedangkan betina memiliki panjang 18-30 mm dengan diameter 500 mikron dengan telur berukuran 62-90 x 39-50 mikron. Haemonchus contortus merupakan cacing lambung yang besar yang biasanya disebut cacing barberpole, cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Cacing ini terdapat pada abomasum domba, kambing, sapi, dan ruminansia lain (Levine, 1990).

(19)

colubriformis, di usus kecil, Trichuris spp. pada Caecum, Oesophagostomum radiatum di colon, Setaria labiato papillosa di ruang Abdomen.

2.5Penularan atau Penyebaran Penyakit

Pengetahuan penularan atau penyebaran penyakit akan membantu mengatasi kejadian penyakit secara menyeluruh. Tidak hanya mengobati penyakit secara individual pada ternak, namun juga dapat memutus siklus agen penyakit atau memutus jalur penularan serta melakukan pencegahan-pencegahan agar penyakit tidak semakin meluas (Hayes, 1987).

Menurut Raphaela (2006), penyakit pada ternak secara umum terdiri dari penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri, mikal, parasit, sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral, keracunan, pakan. Lokasi lesi akibat penyakit non infeksius ini bisa bersifat lokal ataupun sistemik.

Penyebab terjadinya penularan infeksi parasit cacing pada sapi sangat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kebersihan kandang, areal pengembalaan, tempat mencari makan, dan pemahaman peternak dalam pemeliharaan kesehatan ternaknya (Onggowaluyo, 2001). Suweta (1985) menambahkan, perkembangan telur endoparasit diluar tubuh ternak sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti adanya genangan air, kehadiran siput sebagai inang, perantara di sekitar kandang, dan juga faktor lainnya seperti cuaca. Harmida (2011) menambahkan, pemeliharaan sapi dengan sistem gembala juga merupakan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak.

(20)

makanan di dalam tubuh hospes yang mempengaruhi pertumbuhan parasit. Menurut Santosa (2003), faktor lingkungan yang kotor menjadi sumber berbagai penyakit sehingga kondisi hewan menurun. Pada keadaan ini parasit yang semula tidak berbahaya pada hewan menjadi berbahaya karena faktor kondisi tersebut.

2.6Pengendalian atau Pencegahan

Efektifitas pengendalian suatu penyakit sangat tergantung pada ketepatan dan kesempurnaan pelaksanaan tindakannya, dalam hal ini yang meliputi kesempurnaan tindakan adalah pemberantasan parasit di dalam tubuh hospes melalui pengobatan, pemberantasan siput hospes secara fisik, kimia, dan biologi, dan kesempurnaan tindakan penyelamatan ternak dari kemungkinan adanya infeksi cacing parasit (Suweta, 1985).

Apabila tindakan pengobatan akan dilaksanakan, sebaiknya dikaitkan dengan saat terdapatnya penyebaran telur, metasekaria, dan siput secara meluas. Dalam hal ini perlu dilaksanakan pengobatan sebanyak tiga kali setahun yaitu:

a. Pada permulaan musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh ternak selama musim kemarau.

b. Pada pertengahan musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan untuk mengurangi infeksi siput oleh mirasidia.

c. Pada akhir musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan mengurangi pencemaran lapangan oleh telur cacing dimusim kemarau (Boray, 1966).

Pemberantasan siput hospes intermedier dapat dilaksanakan dengan cara:

a. Fisik, dengan mengeringkan lahan berair, yang pengairannya tidak diperlukan lagi.

b. Kimia dengan mollusida. Penggunaan mollusida harus berhati-hati karena dapat merusak lingkungan hidup lainnya. Dalam hal ini dianjurkan penggunaan dalam pengenceran 1 : 50.000 atau sebanyak-banyaknya 10-30 kg/ha

(21)

Dalam usaha pencegahan untuk menyelamatkan ternak dari kemungkinan infeksi endoparasit secara operasional pada tingkat peternak antara lain:

a. Perlu dihindari pengembalaan ditempat-tempat yang tergenang air atau pernah tergenang air dalam waktu yang cukup lama.

b. Tidak menyabit rumput yang pernah tergenang air. Dalam keadaan terpaksa boleh menyabit rerumputan yang berada jauh diatas permukaan air.

(22)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan, dan pada beberapa tempat pemotongan di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, serta di Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi, air kran, dan es batu, sedangkan alat-alat yang digunakan sarung tangan plastik, pinset, masker, tabung low centrifuge, centrifuge, timbangan, pipet tetes, objek gelas, butir kaca, saringan mess 60, batang pengaduk, aspirator, mikroskop, termos, plastik dan karet.

3.3 Metode Penelitian

Metode Pengambilan Sampel

(23)

3.4 Prosedur Penelitian

Di lapangan

Di lapangan feses diambil pada saat pemotongan, kemudian dimasukkan ke dalam plastik, diikat dengan karet gelang, diberi label, diambil 25 feses dari 25 sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan 25 feses dari 25 sapi di beberapa tempat pemotongan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, sampel yang telah diambil dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan.

Di laboratorium

(24)

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian diidentifikasi jenis telur cacing endoparasit yang menginfeksi sapi berdasarkan ciri spesifik telur, dihitung banyaknya telur yang didapat dengan pengamatan langsung, kemudian pembacaan hasil dilihat dari lampiran metode uji sehingga dapat dikelempokkan tingkat infeksi cacing endoparasit tersebut berat atau ringannya infeksi dapat dilihat pada (lampiran 3), dan untuk menentukan persentase jumlah telur cacing endoparasit digunakan rumus : Jumlah telur

(25)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing Endoparasit Yang Ditemukan Pada Sapi

Berdasarkan hasil pengamatan 150 sampel feses sapi dari Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah yang dilakukan di Laboratorium Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, didapatkan jenis-jenis endoparasit yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jenis Telur Cacing Endoparasit Yang Ditemukan Pada Feses Sapi Dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Medan Dan Di

Kecamatan Andam Dewi.

No Jenis Endoparasit RPH-M RPH-A

1 Bunostomum sp. √ -

2 Chabertia sp. √ -

3 Cooperia sp. √ √

4 Dicrocoelium sp. - √

5 Fasciola sp. - √

(26)

7 Paramphistomum sp. √ √

Jumlah 5 5

Keterangan : RPH-M = Rumah Pemotongan Hewan, RPH-A = Rumah Pemotongan

Hewan Andam Dewi, (√) = Ada, (-) = Tidak Ada

Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jenis endoparasit yang ditemukan di RPH Medan berjumlah lima jenis yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp, Haemonchus sp., dan Paramphistomum sp., selanjutnya di RPH Andam Dewi juga terdapat lima jenis endoparasit yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., dan Paramphistomum sp. Tiga jenis endoparasit ditemukan pada ke dua lokasi adalah Cooperia sp., Haemonchus sp., dan Paramphistomum sp.

(27)

Jenis cacing Bunostomum sp. dan Chabertia sp. hanya ditemukan di RPH medan, jenis ini dapat menginfeksi ternak secara langsung tanpa melalui inang perantara, biasanya ternak terinfeksi dari kotoran dalam kandang yang belum dibersihkan atau dari bekas air minum yang terdapat di kandang yang diminum oleh ternak, kemudian menginfeksi ternak tersebut. Meskipun ternak yang berada di RPH Medan dirawat secara intensif, jika kebersihan kandang kurang terawat, maka bisa saja terinfeksi oleh kedua cacing endoparasit ini, tetapi tingkat infeksi kedua cacing tersebut pada ternak di RPH Medan tergolong rendah, sehingga tidak membahayakan.

Cacing Cooperia sp. biasanya ditemukan di dalam usus kecil, daur hidupnya mirip dengan nematoda lainya, dimana cacing tersebut mengeluarkan telurnya dari tubuh hospes melalui feses dan di alam bebas berkembang dibawah pengaruh kelembaban, suhu dan oksigen yang cukup. Menurut Sugama & Suyasa (2011), cacing Cooperia sp. juga merupakan cacing giling atau nematoda, bentuknya kecil yang warnanya kemerah-merahan, dapat ditemukan di dalam usus kecil berbagai ruminansia, terutama sapi.

Ternak yang berada di RPH Andam Dewi dan RPH Medan sebagian besar di beri pakan rumput, dimana rumput atau tumbuhan merupakan media penularan cacing endoparasit, sehingga ternak memiliki kemungkinan yang besar terinfeksi oleh cacing Parampistomum sp., dimana cacing ini biasanya terdapat di lambung, penularannya melalui rumput atau tumbuhan yang mengandung metaserkaria.

(28)

Tabel 4.2. Persentase Jumlah Jenis Endoparasit RPH Medan Dan Beberapa

Tempat Pemotongan Andam Dewi

No Jenis Endoparasit

RPH-M RPH-A

jumlah

(butir) presentase Keterangan

jumlah

(butir) Persentase Keterangan

1 Bunostomum sp. 10 0,4 % ringan - - -

2 Chabertia sp. 13 0,68 % ringan - - -

3 Cooperia sp. 4 0,16 % ringan 2 0.08 % Ringan

4 Dicrocoelium sp. - - - 12 0,48 % Ringan

5 Fasciola sp. - - - 7 0,28 % Ringan

6 Haemonchus sp. 127 5,12 % ringan 5 0,2 % Ringan

7

Paramphistomum

sp. 1 0,04 % ringan 5.020 100 % Berat Keterangan: RPH-M : Rumah Potong Hewan Medan, RPH-A : Rumah Potong

Andam Dewi, Jumlah sapi: 25 ekor.

(29)

Di RPH Andam Dewi tingkat infeksi tergolong berat, dari hasil pengamatan 75 feses dari 25 ekor sapi, 100 % feses terinfeksi cacing jenis Paramphistomum sp. berdasarkan pengamatan di lapangan sapi yang berada di RPH Andam Dewi dibiarkan bebas berkeliaran untuk merumput, dimana larva cacing Paramphistomum sp. penyebarannya melalui rumput atau tumbuhan yang mengandung metaserkaria. Menurut Noble dan Noble (1989) dalam Sugama dan Suyasa (2011), cacing Paramphistomum sp. merupakan jenis cacing trematoda yang predileksinya di lambung ruminansia, siklus hidupnya mirip dengan Fasciola sp., dengan induk semang siput genus Lymnea, dan Planarbis. Hewan terinfeksi jika makan metaserkaria yang ada pada rumput atau tumbuhan.

Dalam penelitian Suyasa dan Sugama (2011) menyatakan, dari beberapa hasil penelitian terdahulu tingkat prevalensi cacing Paramphistomum sp. pada sapi Bali di Bali cukup tinggi dari penelitian Brahmajaya et al., (1981), prevalensi Paramphistomum sp. mencapai 100%, Suaryana et al., (1984), sebanyak 61,36 %, sedangkan Neker (1997), sekitar 88 %. Hal ini dikarenakan cara perawatan ternak, dimana perawatan masih dilakukan secara ekstensif, sapi-sapi di gembalakan di padang rumput, bahkan tidak dikandangkan, sehingga resiko tinggi terinfeksi cacing parasit. Menurut Tantri et al., (2013), pemeliharaan secara ekstensif menyebabkan sapi dapat terinfeksi larva cacing di padang gembala, sedangkan pemeliharaan secara intensif dapat mengurangi resiko infeksi karena pakan ternak diberikan di dalam kandang.

(30)

persentase tertinggi di RPH Medan, tetapi tingkat infeksinya masih tergolong ringan.

(31)

4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Telur Cacing Endoparasit

Keparahan tingkat infeksi dapat dilihat berdasarkan jumlah telur yang ditemukan pada satu gram feses sapi, jumlah dan tingkat infeksi endoparasit dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel. 4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Telur Cacing Endoparasit Di RPH

Medan Dan Beberapa Tempat Pemotongan Andam Dewi

Feses Sapi Jenis Endoparasit

RPH-M RPH-A

Jumlah

Tingkat Infeksi

Jumlah

Tingkat Infeksi

Berat Ringan Berat Ringan

1 Haemonchus sp. 1 - √ - - -

Chabertia sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 297 √ -

2 Paramphistomum sp. - - - 39 √ -

3 Paramphistomum sp. - - - 551 √ -

4 Haemonchus sp. 1 - √ - - -

Chabertia sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. 1 - √ 36 √ -

5 Paramphistomum sp. - - - 7 - √

6 Chabertia sp. 2 - √ - - -

Cooperia sp. 3 - √ - - -

Haemonchus sp. - - - 3 - √

[image:31.595.129.578.362.734.2]
(32)

7 Cooperia sp. 1 - √ - - -

Haemonchus sp. 5 - √ - - -

8 Paramphistomum sp. - - - 25 - √

9 Fasciola sp - - - 4 - √

Haemonchus sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 21 - √

10 Bunostonum sp. 3 - √ - - -

Chabertia sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 4 - √

11 Chabertia sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 16 - √

12 Cooperia sp. - - - 2 - √

Paramphistomum sp. - - - 55 √ -

13 Paramphistomum sp. - - - 25 - √

14 Chabertia sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 14 - √

15 Haemonchus sp. - - - 2 - √

Paramphistomum sp. - - - 9 - √

16 Chabertia sp. 3 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 35 √ -

17 Bunostonum sp. 3 - √ - - -

Chabertia sp. 1 - √ - - -

Paramphistomum sp. - - - 603 √ -

18 Bunostonum sp. 3 - √ - - -

Chabertia sp. 1 - √ - -

Paramphistomum sp. - - - 11 - √

19 Bunostonum sp. 1 - √ - - -

(33)
[image:33.595.112.575.67.358.2]

Ket : (√) : Ditemukan, (-) : Tidak ditemukan

Tabel 4.3 Dapat dilihat bahwa sapi yang berada di RPH Medan mengalami tingkat infeksi yang ringan, kecuali pada sapi ke-23 yang terinfeksi berat oleh endoparasi jenis Haemonchus sp. dengan jumlah telur 120 butir, dan sekitar 14 ekor sapi yang berada di RPH Andam Dewi terinfeksi berat oleh cacing Paramphistomum sp., yaitu pada sapi ke-22 dengan jumlah telur 1111 butir, diikuti sapi ke-25 sekitar 628 butir telur, sapi ke-17 sekitar 603 butir telur, sapi ke-21 sekitar 565 butir telur, sapi ke-3 sekitar 551 butir telur, sapi ke-24 sekitar 507 butir telur, sapi ke-20 sekitar 384 butir telur, sapi ke-21 sekitar 55 butir telur, sapi ke-6 sekitar 40 butir telur, sapi 2 sekitar 39 butir telur, sapi 4 sekitar 36 butir telur, sapi ke-16 sekitar 35 butir telur dan pada sapi ke-23 sekitar 32 butir telur.

Jumlah tersebut dapat dilihat tingkat infeksi endoparasit pada sapi di RPH medan tergolong ringan, dan tidak membahayakan, karena persentase jumlah jenis endoparasit sedikit, hal ini dikarenakan sapi-sapi yang terdapat di RPH Medan merupakan sapi-sapi Import berkualitas tinggi dan dengan perawatan intensif, dimana pakan ternak diberikan di dalam kandang, sehingga resiko sapi terinfeksi

Paramphistomum sp. - - - 5 - √

20 Paramphistomum sp. - - - 384 √ -

21 Dicrocolium - - - 8 - √

Paramphistomum sp. - - - 565 √ -

22 Paramphistomum sp. - - - 1111 √ -

23 Dicrocolium sp. - - - 4 - √

Paramphistomum sp. - - - 32 √ -

Haemonchus sp. 120 √ - - - -

24 Fasciola sp. - - - 3 - √

Paramphistomum sp. - - - 507

-

25 Paramphistomum sp. - - - 628 √ -

Feses

Sapi Jenis Endoparasit

RPH-M RPH-A

Jumlah

Tingkat Infeksi

Jumlah

Tingkat Infeksi

(34)

parasit bisa dikurangi. Penyebaran parasit biasanya melalui pakan yang terinfeksi larva cacing.

Di RPH Andam Dewi tingkat infeksi tergolong berat, hal ini dikarenakan sapi yang terdapat di tempat tersebut di biarkan bebas mencari makan di padang rumput dan tidak di tempatkan di kandang, sehingga besar resiko sapi terinfeksi oleh cacing parasit, karena pada umumnya cacing parasit menginfeksi ternak melaui induk semang perantara yang biasanya berada pada rumput di padang rumput atau daerah persawahan.

4.4 Data Berat Badan Sapi

Berat badan Sapi merupakan dampak langsung yang dapat diamati pada sapi yang diduga terinfeksi endoparasit. Sapi yang dipotong di RPH Medan dan Kecamatan Andam Dewi berumur 3-4 tahun, meskipun dengan umur yang sama memiliki perbedaan berat badan yang sangat berbeda (tabel 4.4).

Tabel 4.4. Data Berat Badan Sapi yang Di potong Di RPH Medan Dan

Kecamatan Andam Dewi, serta Hubungannya dengan Tingkat

Infeksi.

Sapi (S) Berat Badan Sapi (Kg) dan Tingkat Infeksi

RPH-M Tinkat Infeksi RPH-A Tingkat Infeksi

1 457 Ringan 123 Berat

2 553 Ringan 145 Berat

3 489 Ringan 172 Berat

4 502 Ringan 180 Berat

5 505 Ringan 175 Ringan

6 504 Ringan 150 Berat

7 532 Ringan 165 Ringan

[image:34.595.112.517.528.754.2]
(35)

9 516 Ringan 143 Ringan

10 443 Ringan 159 Ringan

11 521 ringan 163 Berat

12 572 ringan 171 Berat

13 544 ringan 158 Ringan

14 524 ringan 149 Ringan

15 553 ringan 188 Ringan

16 564 ringan 177 Berat

17 521 ringan 168 Berat

18 611 ringan 156 Ringan

19 561 ringan 153 Ringan

20 546 ringan 182 Berat

21 548 ringan 145 Berat

22 431 ringan 159 Berat

23 525 berat 164 Berat

24 501 ringan 171 Berat

25 489 ringan 139 Berat

Berat rata-rata 521,52 174,6

Keterangan : RPH-M = Rumah Pemotongan Hewan Medan, RPH-A = Rumah Pemotongan Hewan

Andam Dewi, S = Sapi.

[image:35.595.142.505.82.491.2]
(36)

Andam Dewi di biarkan mencari makan sendiri dengan sistem gembala, sehingga resiko terkena parasit dan dampak kekurangan nutrisi tinggi.

Tabel 4.1 dapat dilihat persentase sapi terinfeksi endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, 100 % sapi terinfeksi cacing Paramphistomum sp., ini menunjukkan bahwa sapi yang berada di RPH Andam Dewi tidak sehat atau memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik, sedangkan di RPH Medan tingkat infeksi tergolong rendah atau ringan, ini menunjukkan bahwa sapi yang berada di RPH Medan memiliki kondisi kesehatan yang baik. Dampak infeksi cacing endoparasit belum berdampak kematian langsung, tetapi penurunan produktivitas ternak, seperti penurunan berat badan dan gangguan pertumbuhan, bila tidak ditangani lebih lanjut maka akan menyebabkan kematian. Menurut Dewi et al., (2012), Penyakit parasit biasanya tidak menyebabkan kematian langsung, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan produktivitas dan berat badan ternak.

(37)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Dari hasil pengamatan 150 feses dari 25 ekor sapi di RPH Medan dan 25 sapi dari beberapa tempat pemotongan Andam Dewi didapatkan tujuh jenis telur endoparasit, lima jenis di RPH Medan yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., serta Paramphistamum sp., dan lima jenis di RPH Andam Dewi yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., serta Paramphistamum sp.

(38)

ditemukan 2-5.020 butir dengan persentase tertinggi 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0,48 %, Fasciola sp., 0,28 %, Haemonchus sp. 0,2 %, Cooperia sp. 0,08 % dan terendah jenis Cooperia sp. 0,08%.

5.2 Saran

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka. Jakarta. hlm. 28.

Arifin, C. dan Soedarmono. 1982. Parasit Ternak dan Cara Penanggulangannya. P.T. Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 45.

Boray, J.C. 1966. Studies on Relative Susceptibility of Some Lymnaeids to Infection With Fasciola Gigantica and on the Adaptation of Fasciola spp. Ann Trop. Med. Parasitol. 60: 114-124.

Dewi, A. P. Eni. F. Edi. S. 2012. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) Pada Sapi Potong Di Kabupaten Kebumen Tahun 2012. Buletin Laboratorium Veteriner Jogyakarta. Vol 12.

Erwin, N. Mustaka, K. dan Indah, R. 2010. Identitas Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus sp.) di Rumah Potong Hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains. FMIPA Universitas Sriwijaya. hlm.1-3.

Haryanti, N. W. 2009. Kualitas Pakan dan Kecukupan Nutrisi Sapi Simental di Peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Jati Kota Semarang. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. hlm. 1

Harmidah, H. D. 2011. Infestasi Parasit Cacing Neoascaris vitolorum Pada Ternak Sapi Pesisir Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Skripsi S1 Peternakan. Fakultas Peternakan UNAND. Padang: Tidak dipublikasikan. hlm. 3.

Hasan, U. M. 1970. Dasar-Dasar Metereologi Pertanian Bagian 2. P.T. Soeroengan. Jakarta. hlm. 45.

Hayes, M. H. 1987. Veterinary Notes for Horse Owners. Stanley Paul. London. page. 9

Iskandar, T. 2007. Gambaran Agen Parasit Pada Ternak sapi Potong Di Salah Satu Peternakan Di Sukabumi. Balai Besar Peternakan Veteriner. Bogor Kendall, S.B. 1965. Relationship between the Species of Fasciola and Their

Muscular Host. In: Advance in Parasitology. Vol 3. (Ben Dawes Ed) Academic Press. London. page. 59.

(40)

Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. hlm. 7.

Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta. hlm. 3-5Aspect of Infectious Diseases. Levine, N.D. 1977. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada

Unversity Press, Yogyakarta.

Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Dan Kaitannya Dengan Kerugian Ekonomi Sapi Potong Yang Disemblih Di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks- Keresidenan Banyumas. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman. Puwokerto.

Onggowaluyo, J. S. 2001, Parasitologi medik I (Helminthologi): Pendekatan Aspek Identifikasi, diagnosis, Dan Kliniik, EGC, Jakarta. hlm. 162.

Reinecke, R.K. 1983. Veterinary Helminthology. Butterworth Publishers (Pty) Ltd., Pretoria. page. 54.

Raphaela, W. 2006. Mitotoksin : Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan Residunya Dalam Preoduk Ternak Serta Pengendaliannya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Vol. 16 (3): 116.

Santosa,U.,2003. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak sapi, Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 23.

Sudardjat, S. 1990. Epidemiologi Penyakit Hewan. Jilid 1. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. hlm. 29.

Sugama, N. Suyasa. N. 2011. Keragaan Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali.

Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Pusat Antar Universitas (PAU) Bidang Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung. Bina Usaha. Bandung. hlm. 12 Sugeng, Y. B. 1989. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 25. Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi

Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan.

(41)

Suweta, I. G. P. Kerugian Ekonomi Oleh Cacing Hati Pada Sapi. Penerbit Alumni. Bandung. hlm. 1-64

(42)

Lampiran 1. Skema Kerja

Dimasukkan ke dalam plastik

Diikat dengan karet gelang

Diberi label

Diambil 1 gram dimasukkan ke dalam tabung Centrifuge 50 ml

Ditambahkan 10 ml air kran

Dikocok sampai homogen

Dimasukkan ke dalam tabung centrifuge yang telah

diisi tiga gram butir kaca

Dimasukkan melalui saringan ukuran 60-90 wire mest

Sisa sampel ditabung pertama dibilas dengan air

dimasukkan ke dalam tabung centrifuge sampai batas leher tabung

Ditunggu 5 menit

Diputar dengan rotator sebanyak 5 putaran

Dibuang supernatant dengan aspirator

Ditambahkan air sebanyak 50 ml

Diaduk dan didiamkan selama 5 menit

Dimasukkan ke dalam rotator diputar sebanyak 5 kali putaran

Diamkan 5 menit untuk disedimentasi

Dibuang supernatant

Ditinggalkan ±2 ml endapan

Diletakkan di slide kaca

Diamati dibawah mikroskop

Feses sapi

Feses dalam plastik

Tabung centrifuge B Tabung centrifuge A

(43)

Lampiran 2. Klasifikasi Jenis Endoparasit

Bunostomum sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Ordo : Strongylina Famili : Ancylostomatidae Genus : Bunotomum Spesies : Bunostomum sp.

Chabertia sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Ordo : Strongylina

Famili : Trichortrongylidae Genus : Chabertia

Spesies : Chabertia sp.

Dicrocolium sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Digenea Famili : Dicrocoeliidae Genus : Dicrocolium Spesies : Dicrocolium sp.

Fasciola sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Digenea Famili : Fasciolidae Genus : Fasciola Spesies : Fasciola sp.

Cooperia sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Ordo : Strongylina

Famili : Trichortrongylidae Genus : Cooperia

Spesies : Cooperia sp.

Haemonchus sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Ordo : Strongylina

Famili : Trichortrongylidae Genus : Haemonchus Spesies : Haemonchus sp.

Paramphistomum sp.

Kingdom : Animalia

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Trematoda

Ordo : Digenea

(44)

Lampiran 3. Gambar Jenis Telur Cacing Endoparasit Dengan Perbesaran 10x10

Bunostomum sp. Chabertia sp.

(45)

Fasciola sp. Haemonchus sp.

Gambar

Tabel 4.1. Jenis Telur Cacing Endoparasit Yang Ditemukan Pada Feses Sapi
Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jenis endoparasit yang ditemukan di RPH Medan
Tabel 4.2. Persentase Jumlah Jenis Endoparasit RPH Medan Dan Beberapa
Tabel. 4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Telur Cacing Endoparasit Di RPH
+4

Referensi

Dokumen terkait

Komputer kuantum adalah komputer untuk menanipulasi dan meinterpretasikan penyandian dari bit-bit quantum &amp;#1048755;qubit&amp;#1048756;, komputer kuantum merupakan tipe

Penjelasannya adalah perusahaan yang mengajukan pinjaman bank dalam jum- lah besar adalah perusahaan yang “sakit” atau memiliki profitabilitas yang rendah, sedangkan

UJI EFIKASI LIMA JENIS PESTISIDA NABATI PADA HAMA PENGGEREK BATANG JAGUNG (Ostrinia furnacalis.. Guen ) (LEPIDOPTERA : PYRALIDAE) SECARA

- OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN

Keefektifan cendawan entomopatogen serangga untuk mengendalikan hama sasaran sangat tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, jenis hama

Independensi yang diterapkan pada 5 Kantor Akuntan Publik yang menjadi objek penelitian sudah sesuai dengan Standar Pengendalian Mutu yang ditetapkan oleh Institut Akuntan

tersebut diketahui bahwa hanya profesionalisme dan kompleksitas secara parsial berpengaruh terhadap audit judgment auditor internal pada Satuan Pengawas Internal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi Pb yang berbeda tidak setabil di akar maupun di daun, ini memperlihatkan bahwa konsentrasi perlakuan logam