• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

vii

IDENTIFIKASI FUNGSI DAN PERAN STAKEHOLDERS

DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT

KEPULAUAN SERIBU (TNKPS)

EKA DANA PRABOWO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

vii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Eka Dana Prabowo

(4)

ABSTRAK

EKA DANA PRABOWO. Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Dibimbing oleh HARNIOS ARIEF dan TUTUT SUNARMINTO.

Kawasan TNKpS berupa areal laut, terdiri dari 110 daratan kecil dengan 108 daratan diluar otoritas pengelolaan TNKpS dan lima diantaranya adalah daratan pemukiman yang dihuni 14.061 orang. Selain kondisi kawasan, kompleksitas pengelolaan terdapat pada aktualisasi fungsi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan pada sumberdaya alam di TNKpS. Untuk mengatasi kompleksitas pengelolaan dibutuhkan kolaborasi dengan pihak lain agar tujuan pengelolaan konservasi tercapai. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi fungsi dan peran, menganalisis keterkaitan dan tingkat kepuasan stakeholder yang berkolaborasi berdasarkan aspek konservasi. Penelitian dilakukan pada seluruh SPTN TNKpS, menggunakan metode kuisioner tertutup, dianalisis secara deskriptif dan SWOT.

Stakeholder terdiri dari lembaga pemerintahan, swasta, LSM, dan masyarakat. Peran positif dominan pada kegiatan konservasi, hanya Pengelolaan abrasi dan intrusi air laut, pengaturan cara pemanfaatan dan pengelolaan daya dukung kawasan belum dilakukan oleh seluruh stakeholder. Keterkaitan antar stakeholder berupa keterkaitan mutualisme dan parasitisme dengan tingkat kepuasan antar stakeholder

yang bekerjasama agak puas kecuali TNKpS dengan Pemda Kep. Seribu. Kata kunci: kolaborasi, stakeholder, TNKpS.

ABSTRACT

EKA DANA PRABOWO. The Identification of Stakeholders Role and Function in Management of Kepulauan Seribu Marine National Park. Supervised by HARNIOS ARIEF and TUTUT SUNARMINTO.

The TNKpS area was marine consist of 110 small land with 108 land outside management authority of TNKpS and five of which are settlement land which occupied by 14,061 people. Beside the area condition, management complexities were actualization of protection, preservation, and utilization of natural resources in TNKpS. To overcome the management complexities, collaboration with other

stkakeholders were needed so that the goals of management could be achieved. The purpose of this research is to identify the function and the role, analyze the relevance and the level of satisfaction among stakeholder based on conservation aspects. Research was done on the all of TNKpS’ SPTN by using a closed-ended questionnaire method, analyzed by descriptive and SWOT. Stakeholders consist of government institutions, private sectors, NGOs, and the communities organization. Positive roles were the dominant to conservation activities only the management of abration and intrution, utilization, and carrying capacity has not been done by all of the stakeholders. The interaction among stakeholders as mutualism and parasitism with the levels of satisfaction was quite satisfied unless TNKpS and local government.

(5)

vii

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

IDENTIFIKASI FUNGSI DAN PERAN STAKEHOLDERS

DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT

KEPULAUAN SERIBU (TNKPS)

EKA DANA PRABOWO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

vii

Judul Skripsi : Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS)

Nama : Eka Dana Prabowo NIM : E34100057

Disetujui oleh

Dr Ir Harnios Arief, MScF Pembimbing I

Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul

“Identifikasi fungsi dan peran stakeholder dalam pengelolaan TNKpS” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini juga disusun untuk mengembangkan wawasan penulis mengenai stakeholder dalam pengelolaan taman nasional.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Harnios Arief, MScF dan Bapak Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan, dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini. Ucapat terima kasih kepada Pihak BTNKpS, Pegawai masing-masing SPTN dan resort serta kepada lembaga-lembaga yang bersedia meluangkan waktu untuk membantu penulis. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada papa dan mama, Agung Satriono dan Lisda Lusiana serta adik-adik tercinta Farid Fajar, Khoirul Anam, dan Salsabila yang selalu mendoakan, mengingatkan, memberi semangat, dukungan, dan kasih sayang yang tak terhingga. Penulis juga tidak lupa berterima kasih kepada teman hidup Rizqiah Megawati dan “keluarga kecil” KPH 47 serta sahabat-sahabat di departemen KSHE Felisia dan Arizka serta teman-teman NR 47 yang telah memberikan semangat, dukungan, kritik dan sarannya. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(9)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Kerangka Pemikiran 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Alat dan Subyek Penelitian 5

Jenis Data 5

Metode Pengambilan Data 5

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Fungsi dan Peran 7

Keterkaitan Antar Stakeholder 25

Tingkat Kepuasan Stakeholder yang Berkolaborasi 28

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

(10)

DAFTAR TABEL

1 Pulau-pulau lokasi penelitian 3

2 Alat dan subyek penelitian 5

3 Panduan analisis fungsi dan peran stakeholder 6

4 Panduan analisis SWOT 7

5 Stakeholders dalam pengelolaan TNKpS 8

6 Peran stakeholder berdasarkan matriks SWOT 21

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 3

2 Pulau-Pulau Lokasi Penelitian 4

3 Nilai persepsi dari aspek perlindungan 13

4 Nilai persepsi pada aspek pengawetan 15

5 Nilai persepsi aspek pemanfaatan secara lestari 17

6 Keterkaitan antar stakeholders 26

7 Pola keterkaitan antar stakeholders menurut WWF (2000) 27 8 Nilai persepsi tingkat kepuasan antar stakeholder 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kesesuaian kolaborasi dengan RPTN TNKpS 33

2 Peran utama para pihak dalam pengelolaan 34

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Laut menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 adalah kawasan dengan ciri spesifik di suatu perairan yang mempunyai fungsi lindung, pengawetan dan pemanfaatan yang lestari. Kawasan taman nasional laut memiliki karakteristik dan kondisi habitat yang unik serta keanekaragaman hayati yang tinggi dengan sebagian besar kawasan taman nasional laut merupakan kawasan kepulauan. Taman nasional laut dikelola dengan menggunakan sistem zonasi yaitu zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan lain seperti zona penyangga dan lainnya (UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya)..

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) ditetapkan sebagai taman nasional laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektar. Kawasan TNKpS merupakan bagian dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (BTNKpS 2008).

Keanekaragaman hayati kawasan TNKpS terbilang tinggi yaitu terdiri dari 15 jenis tumbuhan ekosistem mangrove, 15 jenis tumbuhan pantai,lebih dari 7 jenis lamun, 130 genera terumbu karang. Jenis-jenis faunanya seperti 242 jenis ikan karang, 141 spesies makrobentos, 58 nudibren (kelinci laut), lumba-lumba, abalon, kuda laut, lobster, ikan flasher, udang mantis, kelompok ikan renyok, gurita dan biota laut seperti 7 jenis kima 3 diantaranya dilindungi dan 2 jenis penyu (sisik dan hijau). Keanekaragamn hayati yang tinggi menimbulkan banyak kepentingan dalam pengelolaan kawasan pada berbagai sektor, seperti sektor pelestarian alam, pemberdayaan masyarakat, dan pemanfaatan jasa wisata.

Kawasan TNKpS seluruhnya merupakan kawasan perairan laut meskipun didalamnya terdapat 110 daratan yang terdiri dari pulau, karang, dan gosong namun hanya dua pulau yang dikelola oleh TNKpS (P. Penjaliran Barat dan Timur). Didalam kawasan TNKpS juga dari 108 daratan lima diantaranya adalah pulau pemukiman dengan jumlah penduduk mencapai 14.061 jiwa. Kompleksitas pengelolaan TNKpS selain kondisi kawasan juga terdapat pada aktualisasi penerapan konservasi yaitu bidang perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. kompleksitas pengelolaan TNKpS tidak dapat diselesaikan oleh pihak TNKpS sendiri melainkan harus berkolaborasi denga pihak lain agar tujuan pengelolaan konservasi terwujud.

Kolaborasi dapat efektif jika masing pihak mengetahui peran masing-masing untuk mencapai tujuan kolaborasi, sehingga penting untuk diidentifikasi peran masing-masing stakeholder dalam pengelolaan konservasi. Kejelasan fungsi dan peran para pihak dalam pengelolaan konservasi dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi terhadap rencana pengelolaan TNKpS. Selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kolaborasi pengelolaan TNKpS, sehingga penelitian mengenai identifikasi fungsi dan peran stakeholder dalam pengelolaan TNKpS penting untuk dilakukan

(12)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah :

a. Mengidentifikasi fungsi dan peran masing-masing Stakeholder berdasarkan aspek konservasi.

b. Menganalisis dan memetakan keterkaitan antar Stakeholder dalam pengelolaan TNKpS yang didasarkan pada aspek konservasi.

c. Mengukur tingkat kepuasan antar stakeholder yang berkolaborasi.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan mampu memberikan pertimbangan serta menjadi dasar pengambilan keputusan oleh para pihak-pihak terkait dalam pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable development) Taman Nasional Kepulauan Seribu.

METODE

Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dapat memberikan manfaat baik secara langsung (tangible) maupun manfaat tidak langsung (intangible) terhadap masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan TNKpS. Manfaat yang didapat berasal dari potensi keanekaragaman hayati yang tinggi pada kawasan TNKpS. Manfaat yang diberikan TNKpS memunculkan banyak kepentingan yang berpotensi menimbulkan pengelolaan yang tidak efektif jika antar pihak yang mengelola tidak ada komunikasi dan kerjasama dalam pengelolaan.

Kejelasan fungsi dan peran stakeholder dalam pengelolaan konservasi perlu dipetakan dengan jelas, oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang mengarah pada kejelasan fungsi dan peran konservasi masing-masing pihak sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membentuk pengelolaan secara bersama-sama di TNKpS. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kejelasan peran masing-masing pihak dalam pengelolaan konservasi di TNKpS.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TNKpS, kemudian menganalisis peran masing-masing

stakeholder pada aspek konservasi. Analisis yang dilakukan dengan melihat nilai persepsi pada setiap peran yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder, kemudian diverifikasi dengan kenyataan atau kaeadaan faktualnya. Selanjutnya, menganalisis hubungan antar stakeholder yang berkolaborasi dan dianalisis juga tingkat kepuasan antar stakeholder yang berkolaborasi.

(13)

3

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 5 Maret sampai 5 April 2014 di kawasan TNKpS SPTN I , II, dan III khususnya di pulau-pulau tempat stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan TNKpS. Berikut disajikan Tabel 1 lokasi yang menjadi tempat penelitian.

Tabel 1 Pulau-pulau lokasi penelitian Seksi

Pengelolaan

Nama Pulau Stakeholder

SPTN I Pulau Kelapa

Pulau Kelapa Kecamatan Kep. Seribu utara, Kelurahan P. Kelapa, SPKP Bintang Laut

Pulau Kelapa dua SPTN I dan tiga resort, tokoh masyarakat Pulau Macan

Kecil

PT. United Adventures

SPTN II Pulau Harapan

Pulau Harapan Kelurahan P. Harapan, SPTN II dan 3 resort, tokoh masyarakat, Paguyuban Bintang Harapan, SPKP Elang Bondol,

Pulau Sepa Besar PT. Pulau Sepa Permai SPTN III

Pulau Pramuka

Pulau Pramuka Pemerintah Kabupaten Kep. Seribu, SPTN III dan 2 resort, SPKP Samo-samo, KPA, MMP, tokoh masyarakat, Gurita, AJWKS, Yayasan Terangi

Pulau Panggang Kelurahan P. panggang, Pernitas Pulau Kotok

Besar

JAAN

Perlindungan Pengawetan Pemanfaatan secara lestari TNKpS

SDM SDAH

Stakeholders

Peran Perlindungan

Normatif Implementatif

Analisis

Kepuasan Keterkaitan

Stakeholders Stakeholders

(14)

4

Pemilihan waktu pada bulan Maret sampai April tersebut dipilih tidak mengacu pada tujuan atau objektivitas tertentu, sedangkan lokasi dipilih berdasarkan keberadaan stakeholder yang menjadi subyek penelitian seperti disajikan pada Gambar 2.

(15)

5

Alat dan Subyek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian merupakan sarana yang dibutuhkan dan mampu membantu dalan pengambilan data. Subyek yang digunakan merupakan para pihak yang mampu merespon dan berpikir terhadap hal-hal yang ditanyakan. Alat dan subyek yang dibutuhkan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Alat dan subyek penelitian

Alat Subyek

Kamera adalah alat untuk dokumentasi

kegiatan Subyek dalam penelitian adalah

seluruh stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan TNKpS

Alat perekamperangkat bantu wawancara yang merekam percakapan

Kuisioner alat untuk memperoleh data

Jenis Data

Data Sekunder

Data sekunder berupa penelusuran dokumen berupa buku, laporan hasil kegiatan dan laporan lainnya, digunakan untuk menunjang data primer yang akan dikumpulkan, maupun sebagai studi literatur pada awal penyusunan penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan berupa keadaan umum lokasi (letak, luas, kondisi fisik, dan sosial ekonomi) dan data kependudukan (jumlah, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan potensi lahan).

Data Primer

Data primer diperoleh dari observasi langsung di TNKpS serta dengan kuisioner tertutup (closed-ended) kepada para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TNKpS baik pengelola, LSM, dan masyarakat.

Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data primer yang pertama adalah mengidentifikasi seluruh

stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TNKpS pada aspek konservasi. Identifikasi stakeholder adalah untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan (Colfer et al.

1999).

Pengumpulan data primer selanjutnya adalah observasi langsung di TNKpS. Kegiatan observasi langsung di TNKpS dilakukan dengan tujuan untuk mengecek kondisi aktual atas informasi atau data yang disampaikan, serta untuk mendapatkan gambaran langsung atas isu-isu yang muncul dari sumber ataupun wawancara dalam hal yang terkait dengan topik penelitian.

(16)

6

yang ditentukan oleh peneliti untuk menjawabnya. Menurut Reja et al. (2003), kuisioner tertutup membatasi reponden kepada serangkaian alternatif jawaban yang ditawarkan dalam suatu kegiatan penelitian kualitatif. Keuntungannya adalah kemudahan dalam pengkategorian jawaban responden terlebih jika analisis yang dilakukan berkaitan dengan skala dan skor. Kerugian dari teknik adalah dimungkinkan terjadinya bias data dalam jawaban yang ditawarkan (Reja et al.

2003). Kuisioner tertutup diformulasikan menjadi tujuh skala berdasarkan skala likert yang disesuaikan (Avenzora 2008).

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, yaitu dengan penelusuran pustaka, dokumen, dan laporan untuk memperoleh data pendukung, data tambahan, maupun penjelasan ilmiah yang terkait dengan topik penelitian. Studi pustaka pada penelitian ini merupakan pelengkap dari metode kuisioner, yaitu dengan mengumpulkan pustaka mengenai stakeholder dan perannya dalam pengelolaan konservasi, hasil laporan kegiatan atau dokumen pengelolaan TNKpS seperti data umum lokasi, data kependudukan, Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) TNKpS, rencana strategis TNKpS, laporan bulanan dan tahunan TNKpS serta peraturan perundang-undangan pengelolaan kawasan konservasi.

Analisis Data

Data yang berasal dari pengolahan kuisioner skala likert dengan didasarkan pada fungsi dan peran stakeholder pada aspek konservasi, dianalisis secara statistik deskriptif. Analisis statistik deskriptif adalah penjabaran secara deskriptif hasil pengolahan statistik kuisioner skala likert. Berikut disajikan fungsi dan peran

stakeholder aspek konservasi pada Tabel 3.

Tabel 3 Panduan analisis fungsi dan peran stakeholder

Parameter Hasil

Pengamatan

Fungsi Peran

Perlindungan 1) Penentuan wilayah perlindungan 2) Pola dasar pembinaan wilayah 3) Pencegahan, penanggulangan, dan

pembatasan kerusakan serta Pengamanan kawasan secara efektif 4) Pengaturan cara pemanfaatan

Pengawetan 1) Pengelolaan keanekaragaman 2) Penerapan koridor hidupan liar 3) Pemulihan ekosistem

4) Penutupan kawasan

Pemanfaatan secara lestari

1) Pemanfaatn kondisi lingkungan 2) Pemanfaatan jenis tumbuhan 3) Pemanfaatan jenis satwa liar

(17)

7 konservasi. Peraturan perundang-undangan yang digunakan mencakup UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam.

Analisis selanjutnya menggunakan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) untuk mengidentifikasi dan menganalisis fungsi dan peran

stakeholder dari empat aspek SWOT. Analisis SWOT merupakan metode analisis yang merangkum kondisi lembaga saat ini dan membantu untuk menentukan dan mengembangkan rencana pengelolaan untuk masa depan dengan langkah meningkatkan kekuatan saat ini, mengurangi kelemahan lembaga, mengeksploitasi keuntungan yang dimiliki, dan bertahan dari segala ancaman dengan menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal (Bell 2003). Perpaduan aspek SWOT disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Panduan analisis SWOT

Eksternal Internal

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weekness) Peluang (Opportunities) Comparative advantage Divestment/investment

Ancaman (Threats) Mobilization Damage control

Perpaduan matriks di atas akan menjadikan analisis bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan, yakni:

1. Strength-Opportunity (Comparative advantage) 2. Strength-Threat (Mobilization)

3. Weakness-Opportunity (Divestment/investment)

4. Weakness-Threat (Damage control)

Penelitian ini menggunakan analisis SWOT sebagai cara untuk menentukan posisi masing-masing peran stakeholder yang menjadi dasar analisis pengembangan strategi pada tahapan selanjutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fungsi dan Peran Stakeholder

Stakeholders

Stakeholder merupakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan memiliki obyektivitas masing-masing dalam pengelolaan kawasan. Pengelola TNKpS terdiri dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan aspek konservasi yang berjumlah 36 pemangku kepentingan. Kelompok-kelompok pemangku kepentingan terbagi ke dalam empat kategori kelompok berdasarkan fungsi masing-masing dalam kawasan TNKpS.

(18)

8

balai, kepala seksi pengelolaan, dan kepala resort yang menjadi unit pengelolaan terkecil taman nasional yang merupakan aplikasi dari Resort Pengelolaan Wilayah (RPW) dalam sistem pengelolaan berbasis resort atau Resort Based Management

(RBM). Berikut disajikan pengelompokkan stakeholder pada Tabel 5.

Tabel 5 Stakeholders dalam pengelolaan TNKpS

No Kelompok

Pengelolaan A meliputi

pemerintah kabupaten dan tiga kelurahan Kep. Seribu (Kelurahan pulau Panggang, Pulau Harapan, dan Pulau Kelapa)

Pengelolaan B meliputi BTNKpS, tiga SPTN, dan delapan resort 2 Lembaga swasta

√ √

Bidang pengelolaan C dan D

meliputi PT.Pulau Sepa Permai dan PT.United Adventures

3 LSM

√ √

Pengelolaan E meliputi JAAN (Jakarta Animal Aid Network) Pengelolaan F meliputi Yayasan Terangi (terumbu karang

indonesia) 4 Lembaga

masyarakat

√ √ √

Pengelolaan D meliputi Gurita (guide, tour, and travel),

Paguyuban Bintang Harapan dan AJWKS (Asosiasi Jasa Wisata Kep. Seribu)

Pengelolaan F meliputi Pernitas (perhimpunan nelayan ikan hias dan tanaman hias)

Pengelolaan G meliputi tiga SPKP (Sentra Penyuluhan

Total stakeholders 36 Stakeholders

Keterangan: A=pengelolaan administratif, B=konservasi, C=pelestarian penyu, D=wisata, E=rehabilitasi elang, F=pelestarian terumbu karang, G=pemberdayaan masyarakat

(19)

9 kelurahan dan berperan dalam pengelolaan kawasan, pembangunan sarana prasarana, masyarakat, dan menjaga hubungan sosial. Stakeholder dari pemda yang berperan dalam pengelolaan kawasan TNKpS meliputi Pemerintah Kabupaten (pemkab) Kepulauan Seribu, Kecamatan Kep. Seribu Utara, Kelurahan Pulau Panggang, Pulau Kelapa, dan Pulau Harapan.

Lembaga swasta yang berperan dalam pengelolaan TNKpS adalah lembaga-lembaga yang bekerjasama secara formal dengan TNKpS pada berbagai fokus pengelolaan. Hingga bulan Februari tercatat lembaga swasta tersebut meliputi PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United Adventures yang memiliki dan mengelola Pulau Sepa Besar serta Pulau Macan Kecil dengan fokus kerjasama upaya pelestarian penyu sisik sebagai ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) Pengembangan atraksi wisata alam pada habitat Penyu Sisik. Lembaga swasta lainnya adalah CNOOC Ses. Ltd (China National Offshore Oil Corporation-South-east Sumatra) dengan fokus kerjasama pada program pengembangan sumber daya manusia serta kegiata konservasi yang diaplikasikan melalui SPKP

Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan merupakan perwujudan program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi atau disebut dengan model desa konservasi (MDK). SPKP di TNKpS berada pada masing-masing seksi pengelolaan wilayah, yaitu SPKP Bintang Laut di SPTN wil. I, SPKP Elang Bondol di SPTN wil. II, dan SPKP Samo-samo di SPTN wil. III. SPKP menjadi pemangku kepentingan yang mewakili CNOOC Ses. Ltd karena seluruh kegiatan lingkungan yang dilakukan CNOOC, pemrakarsa dan pelaksananya merupakan SPKP seperti penanaman jenis-jenis bakau, pelestarian penyu sisik, dan program pemberdayaan masyarakat. Peran CNOOC lebih pada pendamping dan sumber pendanaan dalam kegiatan kemasyarakatan dan konservasi.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berperan dalam pengelolaan TNKpS merupakan lembaga yang juga menjalin kerjasama formal dengan TNKpS. LSM yang bekerjasama yaitu JAAN dengan fokus kerjasama pada rehabilitasi elang laut di Pulau Kotok Besar dan pembinaan SPKP dalam pemanfaatan atau pengolahan sampah. LSM lainnya yaitu Yayasan Terangi (terumbu karang indonesia) dengan fokus kerjasama pada pengelolaan ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu. Yayasan Terangi juga berfokus pada pemberdayaan masyarakat khususnya mengenai terumbu karang melalui pelatihan pemanfaatan, pelatihan pemanduan dikawasan terumbu karang.

(20)

10

merupakan lembaga yang dibina serta dibimbing oleh TNKpS dan memainkan peran aktif dalam masyarakat sekitar untuk berkontribusi dalam pengelolaan kawasan TNKpS. Selain lembaga binaan TNKpS, lembaga lain yang tidak dibina namun berperan dalam pengelolaan kawasan adalah AJWKS yang memiliki tujuan sebagai payung utama lembaga wisata seluruh Kepulauan Seribu dengan bimbingan dan arahan dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu.

Adanya masyarakat dalam kawasan TNKpS menjadi situasi yang membutuhkan perhatian khusus, karena jumlah masyarakat sangat banyak hingga mencapai 14.061 jiwa dalam tiga kelurahan (P. Panggang, P.Kelapa, dan P. Harapan. Masyarakat tidak keseluruhan tergabung ke dalam kelompok-kelompok masyarakat (Tabel 4), namun masyarakat tetap merupakan stakeholder dalam pengelolaan kawasan. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memiliki tokoh-tokoh yang dihormati serta didengar aspirasi dan arahannya, sehingga tokoh-tokoh-tokoh-tokoh masyarakat terebut dapat dikategorikan stakeholder yang mewakili masyarakat kawasan TNKpS. Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Eden and Ackermann (1998) dalam Bryson (2004), stakeholder merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi atau suatu kelompok.

Tabel 4 menjelaskan bahwa pihak-pihak tersebut tergolong stakeholder

karena memiliki hak dan kepentingan masing-masing dalam kawasan TNKpS. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Meyer (2005) yang mendefinisikan stakeholder

adalah mereka yang memiliki hak dan kepentingan dalam sebuah sistem.

Stakeholder dapat berupa perorangan, komunitas, grup sosial, atau organisasi. Masing-masing stakeholder memiliki tujuan tersendiri dalam kawasan TNKpS, sehingga dibutuhkan peran aktif TNKpS untuk menyatukan persepsi konservasi dalam peran masing-masing untuk mencapai pengelolaan TNKpS yang efektif untuk kesejahteraan masyarakat.

Analisis kesesuaian kolaborasi dengan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN)

Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) disusun dalam jangka panjang yang menjadi dasar arah pengelolaan taman nasional. Program-program yang dilakukan di taman nasional harus berada dalam lingkup RPTN baik yang dilakukan oleh taman nasional maupun melalui kolaborasi dengan pihak lain sehingga tujuan jangka panjang taman nasional dapat tercapai. Rencana pengelolaan taman nasional TNKpS dibuat dalam jangka waktu 20 tahun yaitu dari tahun 1999 hingga tahun 2019.

(21)

11

research), program pembangunan sarana prasarana penunjang, program perencanaan dan strategi pendanaan, dan program mitigasi, adaptasi serta perubahan iklim

Stakeholder dalam pengelolaan TNKpS terdiri dari berbagai latar belakang dan tujuan. Ditinjau berdasarkan RPTN TNKpS, stakeholder yang berkolaborasi mencakup pada enam aspek (Lampiran 1) yaitu program pemanfaatan potensi sumberdaya alam, program pengelolaan keanekaragaman hayati, program pemanfaatan jasa lingkungan, program perlindungan serta pengamanan kawasan, program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga, program pembangunan sarana prasarana penunjang.

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu melaksanakan keseluruhan program dari RPTN, hal tersebut dikarenakan TNKpS merupakan penyusun dan pengelola utama TNKpS. Pemerintah daerah lebih pada program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga yaitu pada pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam serta melakukan pembangunan infrastruktur umum di TNKpS meskipun tidak ada kerjasama dalam pembangunan tersebut.

Lembaga swasta (PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United Adventures) berkolaborasi dengan TNKpS dalam pengelolaan pelestarian penyu sisik dan pengembangan ODTWA (obyek dan daya tarik wisata alam). Hal tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pengelolaan keanekaragaman hayati dan program pemanfaatan jasa lingkungan.

Lembaga swadaya masyarakat (JAAN dan Terangi) melakukan kolaborasi dengan pihak TNKpS dalam pengelolaan rehabilitasi elang laut, pelestarian terumbu karang, serta pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat oleh JAAN mencakup pengembangan kapasitas dalam pengolahan sampah menjadi barang bernilai ekonomis seperti cinderamata, sedangkan oleh terangi dalam pembinaan pemanfaatan terumbu karang melalui proses transplantasi. Hal tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pengelolaan keanekaragaman hayati dan program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga.

Lembaga wisata dari masyarakat yaitu GURITA, Paguyuban Bintang Harapan dan AJWKS melakukan pengelolaan wisata di TNKpS yang diarahkan pada konsep pengembangan ekowisata. Berbeda dengan GURITA dan AJWKS yang cakupan pengeloaannya seluruh TNKpS, Paguyuban Bintang Harapan terfokus pada pengelolaan wisata di Pulau Harapan. Lembaga tersebut merupakan binaan TNKpS (kecuali AJWKS) yang pengelolaannya sesuai dengan RPTN TNKpS dalam program pemanfaatan jasa lingkungan.

Pengelolaan terumbu karang dalam hal pelestarian dan pemanfaatan melalui transplantasi dilakukan oleh Pernitas. Pengelolaan tersebut dilakukan dibimbing oleh Yayasan Terangi, TNKpS dan pemerintah daerah. Pemanfaatan terumbu

karang melalui transplantasi dilakukan dengan sistem “bapak asuh”, yaitu masing -masing petani terumbu karang memiliki satu perusahaan yang menaungi dan menerima hasil transplantasi. Pengelolaan yang dilakukan Pernitas sesuai dengan RPTN TNKpS program pemanfaatan potensi SDA dan program pengelolaan keanekaragaman hayati.

(22)

12

menjadi penghambat pertumbuhan propagul. Program yang dilakukan oleh SPKP sesuai dengan RPTN TNKpS pada program pemibinaan dan pengembangan daerah penyangga.

Lembaga masyarakat KPA dan MMP merupakan masyarakat yang peduli akan kelestarian lingkungan untuk menjamin keberlangsungan kawasan yang mereka huni. Lembaga tersebut membantu TNKpS dalam kegiatan pelestarian kawasan, keanekaragaman hayati, dan pengamanan kawasan. Hal tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pengelolaan keanekaragaman hayati dan program perlindungan serta pengamanan kawasan.

Tokoh masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam seperti ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan ekonomi. Tokoh masyarakat menjadi pihak yang diharapkan mampu mengarahkan masyarakat untuk tidak melakukan pemanfaatan yang merusak ataupun melakukan pemanfaatan yang ilegal. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pemanfaatan potensi sumberdaya alam, namun harus tetap dalam pengawasan dan pembinaan TNKpS agar tetap dalam ranah pemanfaatan lestari serta tidak ilegal.

Fungsi dan peran dalam pengelolaan konservasi

Fungsi konservasi adalah mandat yang dibebankan kepada setiap pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi, sedangkan peran konservasi adalah lakon yang dijalani oleh para stakeholder sesuai dengan fungsi yang diemban untuk mencapai tujuan-tujuan konservasi yaitu kesejahteraan masyarakat. Fungsi dan peran konservasi tersebut telah dibagi ke dalam tiga aspek konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari dengan nilai persepsi menggunakan skoring skala Likert (1-7) yang disesuaikan (1=Sangat tidak baik/ sangat tidak dilakukan, 2=Tidak baik/ tidak dilakukan, 3=Agak tidak baik/ agak tidak dilakukan, 4=Biasa saja, 5=Agak baik/ agak dilakukan, 6=Baik/ dilakukan, 7=Sangat baik/ sangat dilakukan).

Aspek Perlindungan

Aspek perlindungan merupakan kegiatan perlindungan kawasan yang difokuskan pada sistem penyangga kehidupan, sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1990 Pasal 5 poin pertama. Peran stakeholder pada kegiatan aspek perlindungan mencakup penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, pengelolaan dan pengamanan kawasan, serta pengaturan cara pemanfaatan

Gambar 3 menunjukkan bahwa pengelolaan konservasi dari aspek perlindungan kawasan yang dilakukan pihak TNKpS tergolong agak baik (kategori 5). Daerah-daerah yang ditetapkan menjadi zona tertentu berdasarkan data lapang menunjukkan kesesuaian dengan potensi yang ada. Sebagai contoh pada Pulau Peteloran yang merupakan zona inti II, ditetapkan sebagai zona inti karena merupakan habitat utama penyu untuk bertelur sehingga dibentuklah pengelolaan terpadu yang disebut UKT (Unit Konservasi Terpadu).

(23)

13 memiliki otoritas terhadap kawasan laut sehingga pihak TNKpS berperan aktif dalam pelaksanaan dan penjagaannya.

Peran aspek perlindungan oleh pemerintah daerah menunjukkan nilai 5 (agak baik), namun memiliki faham yang berbeda dengan pengelolaan konservasi. Perlindungan yang dilakukan pemda adalah dalam perlindungan bibir pantai dari abrasi dan intrusi air laut. Kegiatan yang dilakukan pemda berupa pembuatan benteng atau dam yang digunakan untuk menghalangi masuknya air laut, namun secara ekologi tidak baik karena kawasan pemukiman seperti Pulau Pramuka merupakan tempat pendaratan penyu sisik untuk bertelur. Pantai yang dibentengi, menghalangi penyu sisik untuk bertelur sehingga kelestarian jenisnya terancam. Nilai persepsi aspek perlindungan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Nilai persepsi dari aspek perlindungan

Peran LSM dalam aspek perlindungan tergolong biasa saja (kategori 4) baik dari kegiatan pembinaan wilayah, pengelolaan kerusakan dan pengamanan kawasan, serta pengaturan cara pemanfaatan. Kegiatan paling rendah adalah pada penentuan wilayah perlindungan terutama pada penentuan zona ekonomi eksklusif karena pihak LSM tidak ikut terlibat. Kegiatan lain yang tergolong tidak dilakukan oleh pihak LSM adalah pengelolaan dan penataan obyek pengunjung, serta penetapan daya dukung kawasan. Hal tersebut dikarenakan LSM di TNKpS terfokus pada rehabilitasi ekosistem dan penyelamatan jenis elang laut serta terumbu karang.

Lembaga swasta di TNKpS yang berperan dalam aspek perlindungan memiliki nilai 5 (agak baik). Pembinaan wilayah pada kegiatan pengelolaan pengunjung dan penataan obyek dilakukan tergolong sangat baik (nilai 7) karena fokus utama lembaga swasta di TNKpS adalah pengelolaan ODTWA. Kegiatan dengan nilai terendah (nilai 2; tidak dilakukan) adalah penetapan zona ekonomi eksklusif. Kegiatan perlindungan kawasan serta penjagaannya dilakukan dengan nilai tertinggi yaitu 5.57 (kategori baik), namun kegiatan tersebut lebih difokuskan pada area wilayah kerja masing-masing lembaga swasta.

TNKpS Pemda LSM Swasta Masyarakat Penentuan wil. Perlindungan 5.06 4.57 4.07 4.21 4.61 Pembinaan wilayah 5.21 5.60 4.71 5.93 4.87 Pengelolaan kerusakan dan

pengamanan kawasan 5.27 4.94 4.07 5.57 4.89 pengaturan cara pemanfaatan 5.96 4.69 4.64 4.64 4.62

(24)

14

Secara keseluruhan, peran masyarakat dalam aspek perlindungan agak baik (nilai 5). Peran masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat lebih bersifat partisipatif dan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, seperti kegiatan inventarisasi dan penentuan wilayah perlindungan yang memiliki nilai 3.20 (kategori agak tidak dilakukan). Kegiatan pembinaan wilayah menunjukkan bahwa pihak masyarakat sudah agak baik (kategori 5). Salah satunya terlihat dalam upaya pengendalian abrasi bibir pantai dengan penanaman jenis-jenis bakau yang selalu dilakukan berkoordinasi dengan pihak TNKpS maupun pihak swasta dan LSM. Penanaman bakau sebagai pelindung pulau dari abrasi dan intrusi serta sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati lain hanya dilakukan oleh lembaga masyarakat, sedangkan masyarakat pada umumnya menganggap penanaman tersebut sebagai sumber nyamuk yang berpotensi menjadi penyakit.

Kegiatan pencegahan, penanggulangan, pembatasan kerusakan dan pengamanan kawasan, aktivitas yang tergolong agak baik (kategori 5) dan baik (kategori 6) adalah kegiatan patroli rutin dan kemitraan dalam pengamanan kawasan. Berdasarkan kondisi di lapangan kegiatan pengamanan oleh masyarakat terbatas pada masyarakat yang tergabung dalam lembaga-lembaga masyarakat pada Tabel 5. Masyarakat secara luas belum menyadari pentingnya perlindungan kawasan bagi kehidupan, masyarakat cenderung melakukan perusakan terhadap kawasan seperti pengambilan batu karang dan pasir laut secara ilegal.

Aspek Pengawetan

Aspek konservasi selanjutnya adalah pengawetan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. Berdasarkan Gambar 4, pengelolaan yang dilakukan TNKpS sudah baik (kategori 6). Kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi flora, fauna dan habitatnya saat ini semakin intensif diadakan, karena TNKpS baru saja melaksanakan pengelolaan berbasis resort atau Resort Based Management (RBM) sejak awal tahun 2014.

Kegiatan penyelamatan jenis dan ekosistemnya sudah agak baik, namun kegiatannya masih terbatas pada penyelamatan penyu dan rehabilitasi elang laut (JAAN) serta penanaman mangrove. Penyelamatan biota langka dilakukan dengan penjagaan dari pengambilan oleh pihak lain dari alam. Hatchery biota langka pernah dilakukan, namun saat ini sudah tidak berjalan lagi dikarenakan adanya ego sektoral yang mengakibatkan perbedaan kepentingan sehingga program tersebut terhenti.

(25)

15 illegal dan perusakan ekosistem, serta penelitian dan pengembangan. Kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya lebih difokuskan pada pengelolaan di area laut, sedangkan pada area darat masih kurang perhatian, seperti disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Nilai persepsi pada aspek pengawetan

Ancaman terbesar perusakan ekosistem adalah pengambilan material laut seperti batu karang dan pasir laut. Hal tersebut terjadi karena besarnya biaya mendatangkan material bangunan tersebut dari daratan terdekat (Jakarta), sehingga masyarakat menggunakan material laut tersebut. Sehingga diatur kesepakatan penentuan tempat pengambilan material laut namun hanya diperbolehkan untuk bangunan pribadi bukan resort atau homestay serta tidak boleh keluar kawasan Kepulauan Seribu.

Pengelolaan koridor hidupan liar oleh pemda masih kurang dilakukan (nilai 3). Kegiatan penerapan koridor hidupan liar dibutuhkan untuk memberikan akses kepada satwa liar untuk dapat berhubungan dalam berbagai aktivitas dengan sesama jenisnya maupun jenis lain pada suatu ekosistem. Beberapa kegiatan mengenai penerapan koridor hidupan liar, tidak ada peraturan tertulis mengenai penetapan suatu lokasi menjadi koridor bagi hidupan liar.

Peran konservasi dari aspek pengawetan oleh pihak LSM tergolong biasa saja (kategori 4). Keseluruhan kegiatan dalam aspek pengawetan yang dilakukan pihak LSM tergolong biasa saja yaitu kategori 4. Kegiatan yang paling rendah nilainya (kategori 2; tidak dilakukan) adalah upaya pengkayaan vegetasi. Hal tersebut dikarenakan kedua LSM melakukan kegiatan pemulihan ekosistem sebatas pada bantuan dalam penanaman vegetasi serta rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pengkayaan jenis dalam rehabilitasi belum dilakukan, karena belum ada upaya penelitian maupun pengembangan mengebnai jenis lain yang dapat ditanam dikawasan TNKpS. Penanaman vegetasi terbatas pada jenis yang sudah ada seperti

Rhizopora sp., Bruguiera sp., dan lainnya.

TNKpS Pemda LSM Swasta Masyarakat Pengelolaan KEHATI dan

ekosistemnya 6.07 3.31 4.36 3.21 4.30 Penerapan koridor hidupan liar 5.79 3.43 4.14 3.21 4.21 Pemulihan ekosistem 5.64 4.03 4.29 5.07 4.62 Penutupan kawasan 5.35 3.49 4.07 3.36 3.10

(26)

16

Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh LSM yang tergolong kurang baik adalah inventarisasi dan identifikasi flora, fauna serta habitatnya. Hal tersebut karena kegiatan identifikasi dan pengelolaan flora fauna lebih difokuskan pada area kerja masing-masing LSM yaitu JAAN jenis elang dan Yayasan Terangi pada jenis terumbu karang. Kegiatan lainnya yang tergolong kurang baik (kategori 3) adalah. Belum adanya perhitungan daya dukung kawasan baik dilakukan oleh lembaga pemerintahan, swasta maupun LSM mengakibatkan pembuatan kegiatan maupun aktivitas belum didasarkan pada aspek ekologi, namun masih berorientasi pada aspek ekonomi.

Peran konservasi dari aspek konservasi oleh pihak swasta tergolong biasa saja (kategori 4). Kegiatan yang tergolong agak baik pengelolaannya (kategori 5) adalah kegiatan pemulihan ekosistem. Pada kegiatan ini, aktivitas yang tergolong agak baik (kategori 5) dan baik (kategori 6) meliputi kebijakan pemulihan ekosistem, pemulihan struktur fungsi ekosistem, program pemulihan dinamika populasi, rehabilitasi ekosistem, perlindungan pemuliahn ekosistem secara alami, kegiatan penanaman vegetasi. Lembaga swasta melakukan kegiatan pemulihan ekosistem tersebut dilakukan difokuskan pada paulau-pulau resort wisata yang dapat menjadi daya tarik dan menambah nilai kepuasan bagi pengunjung.

Kegiatan yang tergolong kurang baik (kategori 3) adalah kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, serta penutupan kawasan. Keseluruhan aktivitas pada kegiatan di atas tergolong tidak dilakukan oleh swasta karena lembaga swasta tersebut memiliki orientasi bisnis, sehingga lebih condong kepada peningkatan mutu dan kuantitas kunjungan dengan peningkatan kualitas pelayanan serta obyek wisata. Namun lembaga swasta ini (PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United adventures) sudah memiliki kesadaran ekologi dan kelestarian. Hal tersebut terlihat dari kemauan lembaga swasta tersebut menjalin kerjasama terutama dalam pelestarian eksitu penyu sisik.

Pengelolaan kawasan dari aspek pengawetan oleh pihak masyarakat tergolong biasa saja (kategori 4) dengan kegiatan rehabilitasi ekosistem dan penanaman vegetasi yang memiliki skor 5 (agak baik). Kegiatan penanaman bakau merupakan agenda utama dari SPKP yang menjadi perpanjangan tangan dari CNOOC Ses.Ltd. Lembaga-lembaga binaan taman nasional seperti KPA, MMP, Paguyuban Bintang Harapan rutin melakukan penanaman dan telah menjadi agenda rutin masing-masing lembaga.

Kegiatan penanaman bakau menjadi perhatian utama karena berkaitan dengan pengendalian kerusakan oleh alam yaitu abrasi bibir pantai. Kesadaran masyarakat masih kurang terhadap pentingnya ekosistem mangrove, sebagian besar masih menganggap ekosistem mangrove sebagai sumber penyakit (nyamuk) dan bentuk pembatasan akses ke kawasan oleh pihak taman nasional pada masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah pendekatan ke masyarakat melalui kelompok-kelompok masyarakat serta penyedia jasa wisata untuk memberikan penyadartahuan kepada masyarakatnya. Selain itu, pendekatan melalui tokoh masyarakat juga dilakukan, namun masih sedikit masyarakat yang menyadarinya.

(27)

17 masuk karena seluruh kawasan merupakan pintu gerbang. Oleh karena itu, penutupan kawasan secara utuh tidak dapat dilakukan seperti halnya penutupan kawasan konservasi terestrial (taman nasional dengan topografi pegunungan). Namun kegiatan yang terkait pemetaan kawasan yang rawan dan inventarisasi dampak telah dilakukan agak baik oleh taman nasional dengan mengeluarkan peta kerawanan kawasan.

Selain itu, kegiatan yang menjadi perhatian di lapangan adalah inventarisasi dampak, kebijakan pengelolaan penutupan kawasan, dan kegiatan penutupan suatu kegiatan meskipun memiliki skor 4 (biasa saja). Karena inventarisasi dampak belum dilakukan, sehingga arah pengelolaan terkait kebijakan penutupan kawasan pun belum bisa ditetapkan. Selain itu, pengelolaan daya dukung pun belum ada meskipun nilai persepsi menunjukkan nilai 4 (biasa saja). Belum ada penelitian maupun inventarisasi mengenai daya dukung kawasan TNKpS baik untuk pemukiman maupun kegiatan pemanfaatan dan wisata.

Aspek Pengawetan

Aspek konservasi terakhir adalah pemanfaatan secara lestari dan bijaksana. Pemanfaatan digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu pemanfaatan sumberdaya alam hayati (flora dan fauna beserta turunannya) dan ekosistem.

Kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan pada kawasan TNKpS didominasi oleh pemanfaatan jasa wisata. Hal tersebut karena kawasan TNKpS memiliki potensi wisata yang tinggi khususnya untuk kegiatan wisata air (diving, snorkeling). Terdapat sedikitnya delapan spot diving pada masing-masing SPTN Kep. Seribu, menjadikan TNKpS sebagai destinasi diving dan snorkeling unggulan di Indonesia. Berikut disajikan nilai persepsi peran pemanfaatan secara lestari dan bijaksana pada Gambar 5.

Gambar 5 Nilai persepsi aspek pemanfaatan secara lestari

TNKpS Pemda LSM Swasta Masyarakat Pemanfaatan kondisi lingkungan 5.11 4.03 4.21 4.14 4.24 Pemanfaatan tumbuhan 5.44 4.51 2.86 3.29 4.52 Pemanfaatan satwaliar 5.44 4.57 3.14 3.29 4.13

(28)

18

Secara keseluruhan, pemanfaatan kondisi lingkungan tergolong biasa saja (kategori 4). Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagai energi tergolong biasa saja (persepsi TNKpS dan Masyarakat), Pemda dan pihak swasta menyatakan kurang dilakukan (kategori 3). Sedangkan LSM menyatakan tidak dilakukan (kategori 2). Hal tersebut terlihat pada pengamatan lapangan, bahwa tidak ada bentuk pemanfaatan kondisi lingkungan untuk sumber energi baik berupa pembangkit tenaga angin maupun surya. Nilai persepsi tersebut sama halnya dengan pengelolaan mekanisme menyimpanan karbon yang pada fakta di lapangan tidak ada dan belum mengarah pada adanya konsep pengelolaan carbon trade.

Berbeda halnya dengan pemanfaatan wisata. Pengelolaan pemanfaatan kondisi lingkungan di TNKpS didominasi oleh pemanfaatan wisata, hal tersebut sejalan dengan hasil nilai persepsi yang dihitung bahwa TNKpS, Pemda, swasta dan masyarakat menyatakan melakukan pengelolaan wisata dengan baik (kategori 6 dan 5). Pihak LSM kurang memanfaatkan kegiatan wisata, karena mereka memiliki orientasi dan tujuan pengelolaan yang berbeda yaitu rehabilitasi dan pelestarian.

Animo kunjungan wisata sangat tinggi setiap weekend-nya, namun tidak diimbangi dengan pemasukan PNBP dan paket wisata yang tinggi ke TNKpS. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan wisata di TNKpS masih terpisah-pisah, sehingga masing-masing pihak berjalan masing-masing dalam pengelolaan wisata. Tidak adanya koordinasi dan kolaborasi menyebabkan banyak kebocoran wisatawan yang masuk, seperti terlihat dalam pencatatan jumlah wisatawan oleh pihak TNKpS dan pihak Kelurahan (SPTN III 404 pengunjung; Kelurahan P. Panggang 13.456 pengunjung).

Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari jenis tumbuhan merupakan kegiatan pemanfaatan potensi flora yang ada di kawasan TNKpS. Pemanfaatan jenis tumbuhan tergolong biasa saja (kategori 4). Pengelolaan pemanfaatan jenis tumbuhan yang dilakukan TNKpS secara keseluruhan tergolong agak baik (kategori 5). Keseluruhan dari indikator-indikator pemanfaatan jenis tumbuhan berada pada nilai 5 dan 6 yang berarti agak baik dan baik. Hal tersebut terlihat dari inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan, pengelolaan dokumentasi data dan informasi status, dan penelitian, pendidikan, pengembangan yang intensif dilakukan karena TNKpS baru memulai pengelolaan berbasis resort, sehingga kegiatan inventarisasi, identifikasi, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan sedang digalakkan.

Kegiatan penentuan kondisi yang sesuai untuk dipanen, penentuan kuota pemanenan, pemantauan dan evaluasi pemanfaatan tidak dilakukan oleh TNKpS, meskipun memliki nilai 5 dan 6. Hal tersebut dikarenakan kawasan TNKpS Kawasan TNKpS adalah kawasan maritim sehingga pemanfaatan lebih ditujukan pada sumberdaya laut khususnya pada jenis ikan oleh masyarakat. Pemanfaatan tumbuhan dari jenis tumbuhan darat hanya pemanfaatan jenis sukun (Artocarpus communis), namun pemanfaatan tersebut berada pada luar kawasan.

(29)

19 kegiatan penelitian, pengembangan yang bekerjasama dengan lembaga penelikian maupun akademisi.

Nilai aspek pemanfaatan jenis tumbuhan oleh lembaga swasta dan LSM tergolong sama yaitu tidak dilakukan (kategori 3). Hal tersebut dikarenakan lembaga-lembaga pada bidang tersebut memiliki tujuan pengelolaan yang tidak mengarah dan menonjolkan pada pemanfaatan jenis tumbuhan. Lembaga swasta dan LSM memiliki tujuan pengelolaan pada rehabilitasi jenis-jenis elang laut, pelestarian terumbu karang, pelestarian penyu sisik dan pengembangan ODTWA.

Pengelolaan pemanfaatan jenis tumbuhan oleh masyarakat tergolong agak baik (kategori 5), meskipun pada fakta lapang tidak ada pemanfaatan jenis tumbuhan selain sukun dan daun kelapa sebagai alat menangkap ikan. Dahulu pernah ada pemanfaatan dan budidaya rumput laut, namun karena terkena limbah dan petani merugi besar kegiatan rumput laut dihentikan hingga saat ini.

Pemanfaatan terakhir adalah pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari jenis satwaliar yang tergolong biasa saja (kategori 4). Pengelolaan pemanfaatan jenis satwa liar yang dilakukan oleh TNKpS memiliki nilai 5 (agak baik). Inventarisasi, identifikasi dan pengelolaan data potensi dilakukan lebih intensif sejak diberlakukannya sistem RBM di TNKpS, namun penentuan MVP (minimum viable population), kuota panenan, serta evaluasi pemanenan belum dilaksanakan di lapang, meskipun memiliki nilai persepsi 5 (agak baik). Pada kriteria pemanfaatan secara tradisional masih ada, khususnya pada masyarakat mayoritas suku Bugis (P. Kelapa Dua) dengan menggunakan jaring muarami. Kegiatan pemanfaatan fokus pada pemanfaatan fauna laut khususnya ikan, sedangkan fauna darat tidak ditemukan kegiatan pemanfaatannya.

Kegiatan pelanggaran terhadap pemanfaatan satwaliar adalah pengambilan telur penyu pada setiap musim bertelur (pasang air laut tinggi). Hal tersebut terlihat pada kegiatan pembinaan habitat yang ditemukan banyak sarang telah terbuka bukan karena biawak, karena jika biawak akan ada banyak bekas cangkang telur penyu. Sehingga pegelolaan kolaboratif serta penyadartahuan kepada para nelayan sangat penting dan harus lebih diintensifkan.

Aspek pemanfaatan yang dikelola oleh pemda tergolong agak baik (nilai 5) meskipun pada beberapa indikator tidak dilakukan oleh pemda. Indikator yang tidak dilakukan adalah penentuan (MVP) dengan nilai 3 (kategori kurang dilakukan). Indikator lain memiliki nilai 5 pada indikator inventarisasi dan identifikasi potensi satwaliar, pengelelolaan dokumentasi data dan informasi status serta pemantauan dan evaluasi pemanfaatan, nilai 4 pada penentuan kuota pemanenan, dan nilai 6 pada pemanfaatan tradisional oleh masyarakat serta penelitian, pendidikan, pengembangan. Pemanfaatan jenis satwa liar masih terfokus pada pemanfaatan ikan, sedangkan satwa liar lain yang berbasis laut masih kurang dilakukan.

Lembaga swasta dan LSM memiliki nilai persepsi 3 (kategori agak tidak baik atau kurang dilakukan). Hal tersebut karena lembaga swasta dan LSM memiliki fokus pengelolaan pemanfaatan yang berbeda yaitu pemanfaatan wisata, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi elang dan pelestarian penyu.

(30)

20

pengembangan juga memiliki nilai 5 (agak baik) sedangkan nilai indikator lain memiliki nilai 4 (biasa saja).

Berdasarkan penjabaran fungsi dan peran masing-masing pihak di atas, diketahui bahwa masing-masing pihak melakukan spesifik pada beberapa peran konservasi (Lampiran 3). Hal tersebut dikarenakan fokus utama dan obyektivitas pengelolaan masing-masing pihak. Seperti pihak swasta yang melakukan peran konservasi yang mampu memberikan kontribusi dan pengaruh terhadap tujuan penyelenggaraan wisata. Peran yang dilakukan pihak swasta pada aspek perlindungan berperan dalam pengelolaan sampah, pengunjung dan obyek wisata, aspek pengawetan (kebijakan pemuliahan ekosistem, pemulihan dinamika populasi, dan rehabilitasi ekosistem), dan pemanfaatan (kebijakan pemanfaatan kondisi lingkungan dan pemanfaatan wisata).

Lembaga swadaya masyarakat pada aspek perlindungan berperan pada sosialisasi pemanfaatan bijak dan pemantauan proses pemanfaatan, aspek pengawetan (pengawasan perburuan ilegal dan perusakan ekosistem), dan pemanfaatan (pemanfaatan plasma nutfah untuk penunjang budidaya dan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan).

Pihak masyarakat berperan dalam aspek perlindungan pada program pembinaan wilayah dan pengendalian abrasi, aspek pengawetan (Penanaman vegetasi), dan pemanfaatan (pemanfaatan wisata juga pada pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan).

Peran lembaga pemerintahan lebih pada program pelestarian kawasan. Peran pemda pada aspek perlindungan yaitu berperan dalam pengendalian intrusi dan abrasi serta pengeolaan pengunjung, aspek pengawetan (rehabilitasi ekosistem dan penanaman vegetasi), dan pemanfaatan (pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan juga pada pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan). Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu lebih menyeluruh perannya, yaitu pada aspek perlindungan meliputi kegiatan inventarisasi dan penelitian, kesesuaian dengan kriteria zona perlindungan, dan penetapan zona perlindungan, program pembinaan wilayah dan pembinaan serta pengelolaan habitat, pengelolaan hama penyakit, patroli rutin, pengamanan dengan kemitraan, inventarisasi dan penelitian serta evaluasi pemanfaatan. Pada aspek pengawetan (inventarisasi potensi flora fauna dan habitat, penelitian dan pengembangan, kegiatan penanaman vegetasi, dan pemetaan kawasan yang rawan seta sosialisasi penutupan kawasan). Pada aspek pemanfaatan (pengelolaan pemanfaatan wisata dan pemanfaatan plasma nutfah untuk penunjang budidaya, inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan dan penelitian, pendidikan, pengembangan, serta inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan dan penelitian, pendidikan, pengembangan). TNKpS memiliki peran yang lebih menyeluruh karena TNKpS sebagai lembaga utama kegiatan konservasi, meskipun pada beberapa indikator tidak dilakukan.

Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholder Berdasarkan Analisis SWOT

(31)

21

stakeholder saat ini. Peran yang dilakukan oleh para stakeholder pada aspek SWOT dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Peran stakeholder berdasarkan matriks SWOT

No Stakeholder Posisi Peran dalam Aspek SWOT

Strengths Weakness Opportunities Threats

1 TNKpS A,B,C,E,F,G,H,I D,J,K

2 Pemda C,D,K E,F,G A,B,I,J H

3 JAAN B,C,G,I D,E,F,J,K, A,H

4 Terangi G,J,K C,E,F A,B,H,I D

5 PT. Pulau Sepa Permai

C,I E,F,G, A,B,D,J,K H

6 PT. United Adventures

C,I E,F,G A,B,D,J,K H

7 SPKP B,C,J,K E,F,G,H A,D,I

8 Paguyuban Bintang Harapan

G,I E,F A,B,C,D,H,J,K

9 MMP B,C,E,F,G D A,H,I,J,K

10 Pernitas B,C,E,G,J,K A,D,F,H,I

11 Gurita C,G,I K A,B,E,F,H,J D

12 KPA B,C,E,F,G,I A,H,J,K D

13 AJWKS C,I J,K A,B,D,E,F,G,H

14 Tokoh masyarakat

B,C E,F,G A,I,J,K D,H

Keterangan: A. Penentuan wilayah perlindungan, B. Pembinaan wilayah, C. Penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, D. Pengaturan cara pemanfaatan, E. Pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, F. Penerapan koridor hidupan liar, G. Pemulihan ekosistem, H. Penutupan kawasan, I. Pemanfaatan kondisi lingkungan, J. Pemanfaatan tumbuhan, K. Pemanfaatan Satwaliar

Lembaga Pemerintahan

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa peran stakeholder dominan pada posisi opportunities (peluang) pada hampir seluruh stakeholder. Pihak TNKpS peran yang dominan pada strengths (kekuatan) dengan enam peran yaitu penentuan wilayah perlindungan, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemulihan ekosistem, penutupan kawasan, pemanfaatan kondisi lingkungan dan sisanya berada pada posisi peluang. Posisi tersebut jika dijabarkan lebih jauh (dalam 77 indikator) maka akan terlihat adanya aspek kelemahan dan ancaman pada TNKpS seperti kegiatan penetapan zona ekonomi eksklusif, pengadaan pal batas dan pengendalian intrusi air laut. Banyaknya kekuatan pada TNKpS sejalan dengan kondisi TNKpS sebagai penyelenggara utama kegiatan konservasi di TNKpS. Peluang yang ada yaitu pengaturan cara pemanfaatan, pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar dapat diwujudkan dengan kekuatan yang ada atau dengan kekuatan pihak lain seperti lembaga masyarakat maupun LSM.

(32)

22

berpeluang menjadi sumber kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kekuatan yang ada penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengaturan cara pemanfaatan, dan pemanfaatan satwaliar. Terdapat kelemahan dan ancaman yang menjadi sisi negatif dalam pengelolaan yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan penutupan kawasan. Tiga peran berurut merupakan kelemahan karena pihak pemda tidak melakukan peran tersebut, padahal kegiatan tersebut menting dalam kelangsungan kawasan dan kelestarian sumberdaya alam hayati. Ancaman yang dirasakan oleh pemda adalah jika ada kebijakan penutupan kawasan, karena pengunjung tidak diperbolehkan datang sehingga pendapatan asli daerah akan berkurang. Pengelolaan peluang, kelemahan, dan ancaman tersebut dapat juga berkolaborasi dengan pihak lain seperti TNKpS sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin efektif

Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga swadaya masyarakat (JAAN dan Terangi) memiliki pengkategorian peran yang berbeda. Pihak JAAN memiliki kekuatan dalam peran penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan kondisi lingkungan namun lebih ditonjolkan yang berkaitan dengan proses rehabilitasi elang laut (fokus pengelolaan). Kekuatan tersebut dapat menjadi penguat dari peluang-peluang yang dimiliki yaitu penentuan wilayah perlindungan penutupan kawasan. Peluang tersebut menjadi keuntungan eksternal karena secara tidak langsung dapat mendukung upaya rehabilitasi elang laut dari tindakan-tindakan yang mengancam elang laut. Kelemahan yang dimiliki JAAN sesuai dengan tujuan pengelolaan mereka, karena mereka lebih mengedepankan rehabilitasi maka kegiatan pemanfaatan tidak dilakukan oleh mereka. Kelemahan JAAN dalam aspek SWOT yaitu pengaturan cara pemanfaatan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar.

Yayasan Terangi memiliki kekuatan dalam pemulihan ekosistem dan pemanfaatan tumbuhan serta satwaliar dalam hal pembinaan terhadap masyarakat untuk memulihkan dan memanfaatkan terumbu karang. Kekuatan tersebut dapat mendukung peluang yang dimiliki yaitu penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, penutupan kawasan, dan pemanfaatan kondisi lingkungan dalam upaya pemulihan ekosistem terumbu karang. Kelemahan-kelemahan Yayasan Terangi dapat diatasi dengn berkolaborasi dengan pihak lain seperti TNKpS, lembaga swasta, pemda, dan masyarakat untuk melakukan penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta penerapan koridor hidupan liar. Yayasan terangi menganggap pengaturan cara pemanfaatan menjadi ancaman bagi pelestarian terumbu karang, karena ditakutkan akan menimbulkan pemanfaatan yang berlebihan.

Lembaga Swasta

(33)

23 penentuan wilayah perlindungan, pengaturan cara pemanfaatan, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar untuk melindungi, menambah keunikan dan daya jual resort yang mereka kelola. Lembaga swasta memiliki kelemahan pada kriteria pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, dan pemulihan ekosistem karena fokus pengelolaan mereka belum mengarah pada kegiatan tersebut sehingga seharusnya berkolaborasi dalam hal tersebut dengan lembaga yang lebih banyak melakukan seperti TNKpS, MMP, dan KPA. Lembaga swasta menganggap penutupan kawasan sebagai ancaman karena dapat mengurangi jumlah kunjungan meskipun pengelolaan wisata mereka berbasis resort.

Lembaga Masyarakat

Pihak SPKP memiliki kekuatan dalam hal pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar sehingga dapat memaksimalkan peluang yang berupa penentuan wilayah perlindungan, pengaturan cara pemanfaatan, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Hal tersebut dikarenakan peluang yang ada dapat memberikan akses dan kemudahan dalam perlindungan kawasan serta pemanfaataan lestari oleh masyarakat setempat atas bimbingan TNKpS. Kelemahan yang dimiliki yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan penutupan kawasan dapat diatasi dengan melakukan kolaborasi dengan pihak TNKpS dan lembaga masyarakat lainnya.

Peluang yang dimiliki oleh Paguyuban Bintang Harapan cukup banyak yaitu terdiri dari penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengaturan cara pemanfaatan, penutupan kawasan, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar meskipun memiliki kelemahan yang sedikit yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta penerapan koridor hidupan liar namun juga memiliki kekuatan yang sedikit yaitu pada pemulihan ekosistem dan pemanfaatan kondisi lingkungan yang menjadi fokus pengelolaan mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi dengan pihak lain agar fungsi konservasi lain dapat dilakukan karena Paguyuban Bintang Harapan merupakan lembaga binaan TNKpS yang memiliki tujuan perlindungan serta pelestarian kawasan dan keanekaragaman hayati selain dari upaya pengembangan wisata masyarakat lokal. Kolaborasi dapat dilakukan bersama dengan MMP maupun KPA dan SPKP.

(34)

24

sumberdaya alam kepada masyarakat, sehingga jika tidak diatur maka akan berpotensi menjadi ancaman kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Pihak yang perannya hanya pada kekuatan dan peluang adalah pernitas. Kekuatan yang dimiliki berupa pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, pemulihan ekosistem, pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar sedangkan peluang yang dimiliki adalah penentuan wilayah perlindungan, pengaturan cara pemanfaatan, penerapan koridor hidupan liar, penutupan kawasan, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Kekuatan tersebut sesuai dengan tujuan pokok Pernitas dalam pelestarian dan pemanfaatan terumbu karang melalui transplantasi dan ikan hias. Peluang yang ada jika dikelola dengan baik berdasarkan kekuatan yang ada maka akan mampu meningkatkan tujuan utama Pernitas dan menambah petani dari masyarakat sekitar sehingga mampu menbantu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal.

Peran yang tergolong kekuatan dari Gurita meliputi penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Kekuatan tersebut dapat diperkuat dengan peluang yang ada yaitu meliputi penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, penutupan kawasan, dan pemanfaatan tumbuhan. Pihak Gurita menganggap peluang tersebut dapat membantu upaya penanganan dan perlindungan kawasan serta kegiatan wisata dapat diarahkan pada kegiatan ekowisata yang lebih ramah lingkungan. Pihak Gurita menganggap adanya pengaturan pemanfaatan khususnya satwaliar dan tumbuhan berpeluang menjadi ancaman kelestarian ekosistem di TNKpS maskipun jika berjalan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.

Kekuatan yang dimiliki KPA sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga tersebut yaitu sebagai wadah para pemuda yang peduli akan kelestarian lingkungan serta kepedulian terhadap kegiatan wisata yang bertanggung jawab.kekuatan yang dimiliki KPA meliputi pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Peluang yang dimiliki juga mampu meingkatkan upaya-upaya pelestarian kawasan jika dikelola berdasarkan kekuatan yang dimiliki. Kelompok pecinta alam menganggap adanya pengaturan cara pemanfaatan yang tidak berdasarkan fakta lapang akan menimbulkan protes masyarakat sehingga berpeluang pemanfaatan ilegal dan merusak oleh masyarakat.

(35)

25 Peran konservasi pada aspek kekuatan oleh masyarakat meliputi pembinaan wilayah dan penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, karena masyarakat sebagai penduduk lokal mengetahui seluk beluk kawasan dan dan apa yang terjadi sehari-hari. Masyarakat beraktifitas sehari-hari mayoritas sebagi nelayan di laut yang merupakan sebagian kawasan TNKpS, sehingga hari-hari patroli rutin yang tidak dilakukan TNKpS masyarakatlah yang melakukan namun sangat dimungkinkan masyarakat sekitar juga yang melakukan pelanggaran. Sehingga pendekatan individu maupun kelompok yang bersifat persuasif sangat perlu dilakukan. Dapat dilakukan dengan membantu memaksimalkan peluang yang dimiliki masyarakat seperti pemanfaatan satwa dan tumbuhan dengan pengadaan pembinaan dan pembentukan kelompok masyarakat pemanfaatan sumberdaya alam selain ikan secara lestari. Sehingga masyarakat terdorong untuk melindungi sumberdaya alam karena merupakan bagaian dari kehidupannya. Hal tersebut sangat perlu dilakukan oleh TNKpS maupun pemda karena masayrakat menganggap pengaturan cara pemanfaatan dan penutupan kawasan sebagai ancaman yang dapat menghambat pengahsilan mereka.

Keterkaitan Antar Stakeholder

Keterkaitan antar stakeholder secara umum dapat dilihat dari interaksi antar

stakeholder dalam pengelolaan aspek konservasi. Interaksi tersebut dapat berupa keterkaitan wilayah, kebutuhan administratif, hingga kolaborasi dan kemitraan.

Balai TNKpS dan Pemda Kab. Kepulauan Seribu merupakan poros utama dari pengelolaan dengan tujuan masing-masing yaitu BTNKpS pada pengelolaan konservasi dan Pemda pada pengelolaan administratif. Seksi pengelolaan wilayah I Pulau Kelapa berada pada Kelurahan Pulau Kelapa dengan beberapa stakeholder

yang terlibat seperti SPKP Bintang Laut, MMP, dan tokoh masyarakat. Ketiga pemangku kepentingan berkaitan dengan resort pengelolaan ketiganya yaitu Resort I Pulau Kelapa, Resort II Pulau Melinjo, dan Resort III Pulau Hantu Timur. Sedangkan PT. United Adventures lebih intensif berkaitan dengan Resort II Pulau Melinjo yang merupakan RPW (Resort Pengelolaan Wilayah) dengan fokus pengelolaan pemanfaatan wisata. Seluruh pemangku kepentingan dalam SPTN I serta Kelurahan Pulau Kelapa berkaitan langsung dengan BTNKpS serta Pemkab.

Seksi pengelolaan wilayah II Pulau Harapan berada pada Kelurahan Pulau Harapan, pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan meliputi SPKP Elang Bondol, MMP, paguyuban pemandu Bintang Harapan, tokoh masyarakat dan PT. Pulau Sepa Permai. Seluruh pemangku kepentingan tersebut berkaitan langsung dengan BTNKpS dan Pemkab. Kepulauan Seribu, namun lebih terfokus pada pengelola pihak SPTN II dari ketiga resort (Resort I Pulau Harapan, Resort II Pulau Perak, dan Resort III Pulau Penjaliran Timur) dan Kelurahan Pulau Harapan. Namun stakeholder dari pihak PT. Pulau Sepa Permai lebih terfokus pada Kelurahan Pulau Harapan dan Resort II Pulau Perak. Hal tersebut sesuai dengan fokus pengelolaan resort II yang merupakan pengelolaan pemanfaatan wisata.

(36)

26

tokoh masyarakat berinteraksi langsung dengan Kelurahan Pulau Panggang serta SPTN Wil. III pada kedua RPW (Resort Pulau Pramuka dan Resort Pulau Kotok Besar). Namun Pernitas difokuskan pada interaksi dengan Resort Pulau Pramuka, sedangkan JAAN difokuskan terkait pada RPW Resort Pulau Kotok Besar. Berbeda halnya dengan Gurita dan AJWKS, memang lokasi pengelolaan berada pada Pulau Pramuka namun area kerja dan tingkat keterkaitannya mencakup seluruh kawasan Kepulauan Seribu. Sehingga Gurita dan AJWKS memiliki keterkaitan dengan Ketiga SPTN serta ketiga kelurahan. Berikut disajikan pola keterkaitan antar stakeholder pada Gambar 8.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Pulau-Pulau Lokasi Penelitian
Tabel 2  Alat dan subyek penelitian
Tabel 3  Panduan analisis fungsi dan peran stakeholder
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu dalam pengelolaannya perlu diperhatikan sehingga dapat berjalan selaras antara masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang ada sebagai sumber kehidupan

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji potensi sumberdaya alam yang menjadi objek kegiatan ekowisata di Pulau Harapan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu

Peluang pemulihan kearifan tradisional dalam kawasan TNW sangat terbuka mengingat fakta bahwa seluruh wilayah kelola adat sara kadie pada sistem tradisional, di dalam skema zonasi