• Tidak ada hasil yang ditemukan

An analysis and development of critical land criteria and its interrelated with land productivity on dry land agricultural area of Bogor Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "An analysis and development of critical land criteria and its interrelated with land productivity on dry land agricultural area of Bogor Regency"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN LAHAN KERING

DI KABUPATEN BOGOR

Oleh:

MASHUDI

NRP. A151080021

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Analisis dan Pengembangan Kriteria Lahan Kritis serta Keterkaitannya dengan Produktivitas Lahan di Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, 20 Desember 2010

Mashudi

(3)

ABSTRACT

MASHUDI. 2010. An Analysis and Development of Critical Land Criteria and Its Interrelated with Land Productivity on Dry Land Agricultural area of Bogor Regency. Under Supervision of: OTENG HARIDJAJA and SANTUN R.P. SITORUS.

Critical land in agriculture area occured due to degradation process of physical, chemical and biological soil characteristics. Until now acreage data on critical land area is still uncertain. This is because there is a difference in the meaning of critical land, different criteria used and priority handling in different government instructions. The objectives of this research are to evaluate the existing criteria of land critical level, to develop critical land criteria and classification on the reconnaissance and semi-detail scales, and to analyze the relationship between critical land level and land productivity. The method used in this research is survey method through case studies. Data analysis methods include: bivariate correlation analysis, cluster analysis, discriminant analysis, and simple linear regression analysis. The results showed, that there are fairly large inaccuracies classification of the critical land level of the current criteria. Development criteria at reconnaissance scale resulted three determinant variables, namely: effective soil depth, stones, and degree of erosion; and five variables at semi-detail scale, namely: effective soil depth, stones, degree of erosion, land cover, and slope. Reclassification at reconnaisance scale, produced two classes of critical land, namely: Critical and Non-Critical, and four classes at semi-detail scale, namely: Very Critical, Critical, Rather Critical, and Non-Critical. The results also showed, that the critical level of land tends to correlate positive linear with the land productivity, where increasing critical level of the land tends to decline its land productivity.

(4)

RINGKASAN

Mashudi. 2010. Analisis dan Pengembangan Kriteria Lahan Kritis serta Keterkaitannya dengan Produktivitas Lahan di Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh : OTENG HARIDJAJA dan SANTUN R.P. SITORUS.

Secara umum lahan kering di Kabupaten Bogor memiliki topografi curam, curah hujan tinggi, dan formasi geologi lemah, sehingga tanah peka terhadap erosi. Akibat adanya penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat maka kondisi di atas berpotensi tinggi terhadap terjadinya lahan kritis.

Untuk mengatasi permasalahan lahan kritis, beberapa instansi pemerintah terkait telah melakukan usaha-usaha penanganannya. Namun, karena perbedaan makna lahan kritis, perbedaan kriteria dan klasifikasi yang digunakan serta prioritas penanganannya, menyebabkan data luasan lahan kritis masih merupakan jumlah yang belum pasti.

Tujuan dari penelitian ini adalah: mengevaluasi kriteria dan klasifikasi tingkat kekritisan lahan saat ini (kriteria Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah), mengembangkan kriteria dan klasifikasi kekritisan lahan untuk kawasan budidaya pertanian lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil, dan menganalisis keterkaitan tingkat kekritisan lahan dengan produktivitas lahan. Penelitian berlangsung selama 10 bulan mulai dari Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian lapang dilakukan di 3 kecamatan pewakil yaitu Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Sukamakmur, serta analisis tanah di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kriteria lahan kritis dikembangkan dengan pendekatan statistik sebagai pendekatan utama yang dikombinasikan dengan judgment profesional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei melalui studi kasus. Survei lapang dilakukan untuk pengumpulan data fisik lingkungan dan manajemen, sifat-sifat tanah, dan produksi ubikayu. Pengumpulan data dilakukan pada 60 unit lahan kunci (5 kelas kekritisan lahan x 3 kecamatan x 4 ulangan). Khusus data ubikayu dikumpulkan dari 30 unit lahan kunci (5 kelas kekritisan lahan x 3 kecamatan x 2 ulangan). Variabel penentu tingkat kekritisan lahan diseleksi melalui proses screening dengan menggunakan beberapa tahap analisis statistik, sehingga diperoleh variabel pewakil, baik untuk kriteria tingkat tinjau maupun semi-detil. Teknik analisis data yang digunakan meliputi: analisis korelasi bivariat (bivariate correlation analyis), analisis gerombol (cluster analysis), analisis diskriminan (discriminant analyis) dan analisis regresi linear sederhana (simple linear regression analyis).

Hasil penelitian menunjukkan, terdapat ketidaktepatan pengkelasan tingkat kekritisan lahan yang cukup besar (42%), dari kriteria Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa kriteria tersebut masih perlu diperbaiki dan disempurnakan.

(5)

21%. Pada skala tinjau juga diperoleh kelas baru hasil reklasifikasi berjumlah 2 kelas yaitu: kelas Kritis (K), dan kelas Tidak Kritis (TK).

Hasil pengembangan kriteria untuk skala semi-detil, diperoleh 5 variabel penentu tingkat kekritisan lahan yaitu: kedalaman efektif tanah, tingkat erosi, penutupan lahan, batuan di permukaan, dan lereng, dengan bobot variabel berturut-turut 38%, 22%, 20%, 19%, dan 1%. Pada skala ini juga diperoleh kelas baru hasil reklasifikasi berjumlah 4 kelas yaitu: kelas Sangat Kritis (SK), kelas Kritis (K), kelas Agak Kritis (AK), dan kelas Tidak Kritis (TK).

Hasil uji keakuratan klasifikasi kriteria hasil pengembangan baik skala tinjau maupun semi-detil, diperoleh nilai akurasi yang tinggi yaitu 97% untuk skala tinjau, dan 90% untuk skala semi-detil. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua kriteria hasil pengembangan layak untuk digunakan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengkutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ANALISIS DAN PENGEMBANGAN KRITERIA LAHAN KRITIS SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS LAHAN

DI KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN LAHAN KERING DI KABUPATEN BOGOR

MASHUDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

(8)
(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Analisis dan Pengembangan Kriteria Lahan Kritis serta Keterkaitannya dengan Produktivitas Lahan di Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor.

Nama : Mashudi

NRP : A151080021

Program Studi : Ilmu Tanah

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Tanah

Dr. Ir. Atang Sutandi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 25 November 2010 Tanggal Lulus: Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc Ketua

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya-Nya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah lahan kritis, dengan judul Analisis dan Pengembangan Kriteria Lahan Kritis serta Keterkaitannya dengan Produktivitas Lahan di Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Adapun isi dari tesis ini adalah membahas mengenai variabel-variabel penentu untuk identifikasi kekritisan lahan pada skala tinjau dan semi-detil, yang dikaji dengan pendekatan statistik, sebagai salah satu dasar judgment pakar dalam mengembangkan kriteria lahan kritis, serta membahas keterkaitan hubungan kekritisan lahan dengan produktivitas lahan di Kabupaten Bogor. Keluaran dari penelitian ini adalah dihasilkannya dua kelas kekritisan lahan dengan tiga variabel penentu untuk kriteria tingkat tinjau, dan empat kelas kekritisan lahan dengan lima variabel penentu untuk kriteria tingkat semi-detil. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kekritisan lahan berindikasi pada menurunnya produktivitas lahan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc., selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, selaku anggota komisi pembimbing, atas arahan, bimbingan serta masukan yang sangat berharga mulai dari penulisan proposal hingga penyelesaian Tesis. Secara lebih khusus penulis sampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus sebagai ketua tim peneliti/penanggungjawab, atas bantuannya dalam memfasilitasi dana melalui kegiatan penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch III Tahun Anggaran 2009, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penulisan Tesis ini.

Akhirnya, semoga karya ini menjadi sumbangsih dan kepedulian penulis terhadap dunia ilmu pengetahuan yang berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, 20 Desember 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 10 April 1978 sebagai anak kedua dari pasangan Pandi dan Umi Lestari. Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Rr. Wulansari Winahyu, SP. MSi., dan kini telah dikaruniai 1 orang putra bernama Rakahafiy Wahyu Wirapati.

Selepas Sekolah Menengah Atas, penulis melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih pada tahun 1998. Penulis lulus sebagai Sarjana Pertanian, Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua Manokwari pada tahun 2003.

(12)

DAFTAR ISI

2.3.3. Kritis Secara Hidro-orologis ... 11

2.4. Indikator Penentu Kekritisan Lahan ... 12

2.5. Pengembangan Perangkat dan Metode untuk Identifikasi Kekritisan Lahan ... 14

2.6. Kriteria dan Klasifikasi Lahan Kritis ... 16

2.7. Analisis Multi Variabel ... 19

2.7.1. Analisis Diskriminan ... 21

2.7.2. Analisis Gerombol (Cluster Analysis) ... 22

III METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Tempat dan Waktu ... 23

3.2. Bahan dan Alat ... 23

3.3. Prosedur Penelitian dan Variabel Pengamatan... 24

3.4. Analisis Data ... 27

3.4.1. Analisis Gerombol (Cluster Analysis) ... 27

3.4.2. Analisis Diskriminan Berganda (Muliple Discriminant Analysis) ... 28

3.4.3. Analisis Regresi Linear Sederhana dan Analisis Korelasi ... 29

IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 31

4.1. Morfologi Wilayah ... 32

4.2. Iklim ... 33

4.3. Tanah ... 34

(13)

4.5. Keadaan Penduduk ... 37

4.6. Pertanian... 41

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1. Validasi Kriteria Lahan Kritis Saat Ini di Kabupaten Bogor ... 47

5.2. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan ... 49

5.2.1. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Kekritisan Lahan untuk Skala Tinjau ... 50

5.2.1.1. Reklasifikasi Kelas Kekritisan Lahan Skala Tinjau ... 51

5.2.1.2. Perumusan kriteria tingkat kekritisan lahan skala tinjau ... 54

5.2.1.3. Uji Keakuratan Klsaifikasi Kriteria Skala Tinjau ... 60

5.2.2. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Kekritisan Lahan untuk Skala Semi-detil ... 61

5.2.2.1. Reklasifikasi Kelas Kekritisan Lahan Skala Semi-detil ... 61

5.2.2.2. Perumusan kriteria tingkat kekritisan lahan skala Semi-detil ... 64

5.2.2.3. Uji Keakuratan Klasifikasi Kriteria Skala Semi-detil 71 5.3. Hubungan Tingkat Kekritisan Lahan dengan Produktivitas Lahan ... 72

5.4. Pembahasan Umum... 75

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Matriks tujuan, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan

data, teknik analisis data, dan output yang diharapkan ... 26 2. Interpretasi nilai r ... 30 3. Kondisi topografi lokasi penelitian ... 33 4. Curah hujan bulanan di Kecamatan Cigudeg, Babakan Madang

dan Sukamakmur ... 34 5. Penyebaran Jenis Tanah di Lokasi Penelitian ... 34 6. Sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian ... 36 7. Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di lokasi penelitian

Tahun 2009 ... 38 8. Sebaran jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di lokasi

penelitian Tahun 2008-2009 ... 39 9. Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi

penelitian Tahun 2008-2009 ... 40 10. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan lahan

kering di lokasi penelitian ... 42 11. Produksi buah-buahan di lokasi penelitian ... 43 12. Produksi sayuran di lokasi penelitian ... 43 13. Data luasan dan produksi komoditas perkebunan rakyat yang

diusahkan di lokasi penelitian ... 44 14. Matrik validasi kelas kekritisan lahan saat ini di lokasi penelitian ... 48 15. Matriks korelasi antara variabel predictor dan tingkat kekritisan lahan ... 49 16. Hasil pengengelompokan anggota kelas kekritisan baru setelah

analisis gerombol untuk skala tinjau ... 53 17. Hasil uji signifikansi Box’s M pada skala tinjau ... 54 18. Variabel yang terpilih dalam analisis diskriminan pada skala tinjau... 55 19. Nilai eigenvalues dan uji signifikansi fungsi diskriminan yang

terbentuk pada skala tinjau ... 56 20. Koefisien fungsi diskriminan canonical terstandarisasi pada skala tinjau .. 56 21. Struktur matriks korelasi variabel dengan fungsi diskriminan pada

(15)

22. Selang nilai dan kriteria variabel penentu kekritisan lahan untuk skala

tinjau ... 57 23. Rumusan lengkap kriteria lahan kritis untuk skala tinjau... 59 24. Selang kelas kekritisan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas untuk

skala tinjau ... 59 25. Matriks prediksi kelas kekritisan lahan pada skala tinjau ... 60 26. Hasil pengengelompokan anggota kelas kekritisan baru setelah

analisis gerombol untuk skala semi-detil ... 63 27. Hasil uji signifikansi Box’s M pada skala semi-detil ... 64 28. Variabel yang terpilih dalam analisis diskriminan pada skala semi-detil ... 65 29. Nilai Eigenvalues dari fungsi diskriminan pada skala semi-detil ... 65 30. Uji signifikansi fungsi diskriminan dengan wilks’ lambda pada skala

semi-detil ... 66 31. Struktur matriks korelasi antara masing-masing variabel dengan

kedua fungsi diskriminan pada skala semi-detil ... 66 32. Koefisien fungsi diskriminan canonical terstandarisasi pada skala

semi-detil ... 66 33. Selang nilai dan kriteria variabel penentu kekritisan lahan untuk

skala semi-detil ... 67 34. Rumusan lengkap kriteria lahan kritis untuk skala semi-detil ... 70 35. Selang kelas kekritisan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas untuk

skala semi-detil ... 70 36. Matriks prediksi kelas kekritisan lahan pada skala semi-detil ... 72 37. Analisis sidik ragam persamaan regresi antara kekritisan lahan

dan produktivitas lahan ... 73 38. Matriks perbandingan antara kriteria hasil pengembangan dan

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan alir Kerangka Pikir Penelitian... 6

2. Lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ... 31

3. Dendrogram hasil analisis gerombol untuk skala tinjau ... 52

4. Grafik koefisien dari skedul aglomerasi untuk skala tinjau ... 52

5. Dendrogram hasil analisis gerombol untuk skala semi-detil ... 62

6. Grafik koefisien skedul aglomerasi untuk skala semi-detil ... 62

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kriteria Lahan Kritis Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian,

Direktorat RKT, Departemen Kehutanan (1997) ... 89

2. Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas .... 90

3. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997 ... 90

4. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah (2007) ... 91

5. Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Kering untuk Produksi Biomassa, Kementerian Lingkungan Hidup (2000) ... 92

6. Nilai faktor C (pengelolaan tanaman) ... 93

7. Variabel sifat fisik dan kimia tanah, fisik lingkungan dan manajemen di lokasi penelitian ... 94

8. Nilai korelasi pearson variabel predictor terhadap variabel respons ... 97

9. Skedul aglomerasi hasil analisis gerombol (Cluster Analysis) skala tinjau ... 98

10. Skedul aglomerasi hasil analisis gerombol (Cluster Analysis) skala semi-detil ... 100

11. Data produksi ubikayu di lokasi penelitian ... 102

12. Dokumentasi kelas kekritisan lahan di lokasi penelitian ... 103

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan kritis merupakan masalah yang sangat serius terutama pada areal pertanian lahan kering. Areal-areal pertanian ini umumnya diusahakan secara intensif, terutama lahan-lahan kering di Jawa, sehingga proses degradasi yang terjadi juga berlangsung secara intensif. Degradasi menyebabkan produktivitas lahan menjadi rendah sebagai akibat dari kemunduran/penurunan kualitas kesuburan tanah, baik sementara maupun tetap, sehingga pada akhirnya lahan tersebut tergolong ke tingkat kekritisan tertentu. Tingkat kekritisan yang terjadi semakin parah karena umumnya lahan kering ini memiliki karakteristik yang kurang menguntungkan seperti curah hujan tinggi, topografi curam, dan formasi geologi lemah sehingga tanah peka terhadap erosi (Syam, 2003).

Luasan daratan Indonesia adalah 188,20 juta ha, dan 140 juta ha atau sekitar 74% dari luas daratan adalah lahan kering (Dariah et al., 2004). Kabupaten Bogor sendiri dengan luas 299.428,15 ha memiliki lahan kering seluas 225.309,14 ha atau sekitar 75 % dari luas kabupaten (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2008). Morfologi wilayah Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi,

perbukitan dan pegunungan, dengan tanah penutup yang didominasi oleh material vulkanik lepas, agak peka dan sangat peka terhadap erosi. Dengan curah hujan

dan tingkat kemiringan lahan yang tinggi, maka beberapa wilayah rawan terhadap longsor (BAPPEDA, 2008).

(19)

Untuk mengatasi permasalahan lahan kritis di Indonesia, beberapa instansi pemerintah terkait telah melakukan program penanggulangannya. Berbagai

program diluncurkan seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang bertujuan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis, baik lahan kritis pada hutan negara maupun lahan milik masyarakat (Syahadat, 2005). Namun, karena terdapat perbedaan makna lahan kritis, perbedaan kriteria dan klasifikasi yang digunakan, serta prioritas penanganannya, menyebabkan data mengenai luasan lahan kritis masih merupakan jumlah yang belum pasti (Kurnia, et al., 2007). Hal ini merupakan salah satu faktor penghambat keberhasilan pelaksanaan program penanggulangan lahan kritis tersebut. Oleh karena itu, untuk menunjang dan mendukung keberhasilan program tersebut, selain memetakan lahan kritis yang ada, kegiatan yang tidak kalah penting lainnya adalah menyempurnakan dan memutakhirkan kriteria pengukur kekritisannya, sehingga peta dan data mengenai luasan dan tingkat kekritisan lahan menjadi lebih pasti.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam upaya memetakan lahan kritis yang ada, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menggunakan salah satu perangkat pendekatan, yaitu kriteria lahan kritis, Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah (RKT), Departemen Kehutanan. Menurut hasil data lahan kritis yang diukur berdasarkan kriteria

tersebut, hingga tahun 2008 luas lahan kritis di Kabupaten Bogor mencapai 25.229,98 ha, yang meliputi lahan sangat kritis seluas 320 ha, kritis seluas 9.425

ha, agak kritis seluas 9.572,22 ha, dan potensial kritis seluas 5.912,76 ha.

(20)

ada, terindikasi terjadi misklasifikasi yang cukup besar, yaitu 60% kelas diklasifikasi tidak tepat (Karmellia, 2006). Ini artinya perlu dilakukan penelaahan

kembali terhadap kriteria tersebut, dan perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap pengelompokan kelasnya ataupun variabel-variabel penentunya, sehingga menjadi lebih reliable.

Selanjutnya, terkait dengan skala perencanaan untuk pemetaan dan rehabilitasi lahan kritis, maka dalam mengembangkan kriteria perlu dipertimbangkan aspek kedalaman studi (tingkat kerincian informasi), apakah kriteria yang dibuat hanya untuk memperoleh informasi secara umum saja, ataukah untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap. Oleh karena itu, rumusan kriteria pengembangan perlu dibuat lebih spesifik untuk skala perencanaan tertentu, sehingga dapat diaplikasikan untuk tujuan-tujuan tertentu pula.

Penggunaan lahan yang tidak tepat di lahan kering Kabupaten Bogor berpotensi terhadap terjadinya tingkat kerusakan lahan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena kondisi lahan kering di Kabupaten Bogor umumnya peka terhadap erosi. Dampak akhir yang terjadi adalah menurunnya produksi tanaman yang diusahakan pada lahan-lahan tersebut. Oleh karena itu, perlu dikaji keterkaitan hubungan antara kekritisan lahan dan produktivitas lahan, yaitu bagaimana sifat hubungannya, dan seberapa kuat hubungan yang terjadi.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi kriteria dan klasifikasi tingkat kekritisan lahan saat ini (kriteria Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah).

2. Mengembangkan kriteria dan klasifikasi kekritisan lahan untuk kawasan budidaya pertanian lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil.

(21)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan sebagai bahan evaluasi terhadap kriteria kekritisan lahan yang telah dibuat.

2. Kriteria dapat digunakan untuk menginventarisasi lahan kritis dengan lebih baik.

3. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Lahan kritis di areal pertanian terjadi karena proses degradasi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menuju pada keadaan yang lebih buruk. Proses degradasi tersebut disebabkan oleh kondisi dari faktor biofisik lingkungan alami seperti iklim, topografi, dan vegetasi. Selanjutnya akibat adanya campur tangan manusia, menyebabkan faktor-faktor alami tersebut menjadi bersifat lebih erosif karena keseimbangannya terganggu. Dampak selanjutnya adalah menurunnya produksi tanaman yang tumbuh di atas lahan-lahan tersebut sehingga menurunkan pendapatan usahatani masyarakat. Peningkatan luas lahan kritis merupakan kesatuan yang bersifat simultan antara kondisi biofisik, sosial ekonomi dan

budaya yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebagai faktor produksi utama, serta penerapan kebijakan yang kurang mempertimbangkan kelestarian (Matatula, 2009).

Dalam upaya penanganan lahan kritis, Pemerintah Kabupaten Bogor telah mendata tingkat kekritisan lahan dalam bentuk peta lahan kritis. Namun data lahan kritis yang diperoleh masih memiliki validitas yang cukup rendah, karena berdasarkan validasi yang dilakukan sebelumnya, menunjukkan masih terjadi misklasifikasi yang cukup besar antar kelas kekritisan.

(22)

kriteria tersebut lebih sesuai untuk penetapan lahan kritis di kawasan budidaya pertanian, variabel-variabelnya perlu dikaji dan didalami lagi, sehingga terangkum

secara lengkap kriteria pengukur kekritisan lahan untuk kepentingan bidang pertanian. Selain itu agar dapat tercapai sasaran penelitian sesuai dengan skala perencanaan, maka kriteria dikembangkan dan difokuskan pada dua skala perencanaan yaitu tinjau dan semi-detil.

Dalam kajian terkait dengan kekritisan lahan, perlu diketahui terlebih dahulu aspek-aspek lahan yang berpengaruh terhadap kekritisan lahan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dua aspek pendekatan untuk menjawab tujuan penelitian, yaitu: (1) pendekatan proses degradasi pada lahan kritis, yaitu mengukur variabel-variabel yang ada dalam mekanisme proses penurunan kualitas lahan, dan (2) pendekatan penyebab proses degradasi pada lahan kritis, yaitu mengukur variabel-variabel yang menyebabkan terjadinya proses penurunan kualitas lahan.

Sejauh ini, penetapan variabel-variabel penentu, pengkriteriaan, dan penentuan kelas kekritisan lahan, hanya didasarkan pada suatu kesepakatan-kesepakatan atau judgment yang bersifat sangat subyektif. Pertimbangan dari hasil analisis statistik diperlukan dalam rangka mengurangi faktor subyektifitas tersebut sehingga keputusan akhir yang diambil menjadi lebih obyektif dan mendekati kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kriteria dengan

pendekatan statistik sebagai pendekatan utama yang dikombinasikan dengan judgment profesional. Dengan bantuan pendekatan secara statistik, celah-celah kelemahan dari kriteria terdahulu dapat diperbaiki dan disempurnakan.

(23)

Gambar 1. Bagan alir Kerangka Pikir Penelitian.

Kriteria lahan kritis

(Dit. RKT)

LAHAN PERTANIAN

PROSES DEGRADASI PENYEBAB PROSES DEGRADASI

Tutupan

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Kering

Terminologi lahan kering memiliki beberapa pengertian, di dunia internasional ada yang menyebut dengan istilah: dryland, upland, dan unirrigated land. Menurut World Atlas desertification, dryland adalah zona iklim dengan rasio P/ETp antara 0,05 - 0,65 yang berada pada daerah arid, semi-arid dan dry sub-humid (Dregne, 2002). Literatur lain menyatakan bahwa dryland adalah daerah dengan presipitasi tahunan kurang dari 250 mm. Upland adalah keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain), sedangkan Unirrigated land adalah lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan atau juga lahan yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Pengertian “lahan kering” di Indonesia umumnya sama dengan pengertian upland dan unirrigated land ini (Notohadiprawiro, 1989).

2.2. Degradasi Lahan

Barrow (1991) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi lahan untuk mendukung kehidupan. Kehilangan atau berkurangnya fungsi tersebut tidak dapat digantikan oleh yang lain (Sitorus, 2009). Menurut UN/FAO dalam Stocking dan Murnaghan (2000), degradasi lahan adalah kemunduran permanen atau sementara kapasitas produktif suatu lahan. Penurunan produktifitas tersebut termasuk penggunaan-penggunaannya (pertanian, padang penggembalaan, hutan, dll), sistem usaha taninya, dan nilai ekonomis dari lahan tersebut.

Penurunan produktivitas ini dapat disebabkan oleh perubahan secara alami maupun buatan, seperti hard-setting, laterization, leaching, compaction, crusting, erosi, penurunan keanekaragaman hayati tanah, penurunan kandungan hara, penurunan karbon organik tanah, dan lain sebagainya, sehingga kemudian dikenal

(25)

aktivitas manusia ini lebih disebabkan karena penggunaan lahan yang kurang tepat sehingga mengakibatkan produktivitas lahan menjadi menurun dengan lebih

cepat dan menuju pada keadaan yang disebut kritis. Lahan kritis merupakan istilah spesifik yang digunakan di Indonesia, dimana istilah ini lebih spesifik digunakan untuk mengkaji degradasi lahan non-alamiah atau akibat pengaruh adanya campur tangan manusia.

2.3. Lahan Kritis

Lahan kritis menurut hasil Simposium Pencegahan dan Pemulihan Lahan kritis pada Tahun 1975, didefinisikan sebagai tanah yang karena tidak sesuai dengan penggunaan dan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya (Subardja, 1994). Menurut Departemen Kuhutanan, lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik, dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi < 25%, topografi dengan kemiringan > 15% dan atau ditandai dengan adanya gejala erosi lembar dan erosi parit (Kurnia, et al., 1997). Menurut Departemen Pertanian, lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan atau penggunaan yang tidak atau kurang memperhatikan

kaidah-kaidah konservasi tanah (Sitorus, 2004).

Menurut Notohadiprawiro (1996), kekritisan lahan pada mulanya dapat menyangkut salah satu atau beberapa faktor lahan, seperti iklim, tanah, topografi, flora dan fauna, atau beberapa di antaranya sekaligus. Akan tetapi oleh karena faktor-faktor lahan berada dalam ikatan sistem, kekritisan salah satu faktor lambat laun dapat menjalar ke faktor yang lain. Iklim merupakan faktor pembentuk tanah, menentukan ketersediaan air dan mempengaruhi kehidupan flora dan fauna. Oleh karena itu, kekritisan iklim bisa menggandeng kekritisan tanah, flora dan fauna.

(26)

lahan. Misalnya lahan di daerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman

semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor.

Perubahan tutupan vegetasi permanen (hutan) karena perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforestation) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya dirasakan di bagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Di bagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan dimusim kemarau. Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidakberlanjutan kegiatan usahatani di wilayah hulu. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas lahan karena hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras. Penurunan produktivitas lahan secara langsung akan diikuti oleh penurunan

pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Disamping menyebabkan ketidakberlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidakberlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, dan kerusakan sarana irigasi.

(27)

sebidang lahan sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan atau tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan normal.

2.3.1. Kritis Secara Fisik Kimia

Lahan yang termasuk kelompok kritis secara fisik adalah lahan yang secara fisik telah mengalami kerusakan. Ciri yang menonjol yang dapat dilihat di lapangan dari lahan-lahan kritis secara fisik adalah tanah-tanah yang mempunyai salah satu atau kombinasi dari kondisi berikut: (a) Tanah mempunyai kedalaman efektif yang dangkal atau pada kedalaman tanah tersebut terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman, seperti adanya lapisan gambut tebal, lapisan pasir, lapisan kerikil, lapisan batuan, akumulasi garam atau lapisan penghambat lainnya; (b) Pada bagian tertentu atau keseluruhan dapat terlihat adanya lapisan padas yang sudah kelihatan di permukaan tanah; (c) Adanya batuan atau pasir atau abu yang melapisi tanah sebagai akibat letusan gunung, banjir bandang ataupun bencana alam lainnya.

Lahan yang termasuk ke dalam kelompok lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan/ toksisitasnya tidak lagi dapat memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman apabila lahan tersebut diusahakan sebagai areal pertanian. Lahan yang tergolong kritis secara kimia termasuk juga tanah-tanah dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah sebagai akibat sangat rendahnya penyediaan unsur hara dari

(28)

dan penyiangan, sehingga ketika turun hujan butirannya akan langsung mengenai permukaan tanah dan kemudian memperbesar laju aliran permukaan serta

percepatan proses dispersi dan erosi. Proses ini berakibat pada menipisnya lapisan atas tanah, sehingga terjadi penurunan produktivitas tanah karena hilangnya sumber hara bersama tanah yang tererosi.

2.3.2. Kritis Secara Sosial Ekonomi

Yang termasuk di dalam kelompok ini adalah lahan-lahan terlantar sebagai akibat adanya salah satu atau kombinasi dari beberapa faktor sosial ekonomi sebagai kendala dalam usaha-usaha pendayagunaan lahan tersebut. Termasuk dalam pengertian lahan kritis secara sosial ekonomi ini adalah lahan yang sebenarnya masih berpotensi untuk dapat digunakan bagi usaha pertanian dengan tingkat kesuburan yang relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi (misalnya sengketa pemilikan lahan, sulitnya pemasaran hasil atau harga produksi yang sangat rendah), maka lahan tersebut ditinggalkan oleh penggarapnya sehingga menjadi terlantar baik sebagai padang alang-alang maupun sebagai semak belukar.

2.3.3. Kritis Secara Hidro-orologis

Lahan kritis secara hidro-orologis merupakan lahan yang keadaannya sedemikian rupa dimana tanahnya tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan

(29)

lahan-lahan kritis karena akibat deforestasi lahan menjadi kehilangan fungsi utamanya sebagai pengatur tata air, pengendali erosi dan siklus oksigen

(Rachman, 2006). Kusmana et al. (2004), menambahkan bahwa penutupan vegetasi memegang peranan penting dalam pengaturan sistem hidrologi, terutama "efek spons" yang dapat menyekap air hujan dan mangatur pengalirannya sehingga mengurangi kecenderungan banjir dan menjaga aliran air dimusim kemarau.

Kekritisan lahan juga dapat dinilai secara kuantitatif atau kualitatif. Ukuran kuantitatif menetapkan kekritisan berdasarkan luas lahan atau proporsi unsur lahan yang terdegradasi atau hilang. Misalnya, penipisan tubuh tanah, menunjukkan kekritisan kuantitatif lahan. Ukuran kualitatif menetapkan kekritisan menurut tingkat penurunan mutu lahan atau unsur lahan. Menurunnya produktivitas lahan, menunjukkan kekritisan kualitatif lahan. Akan tetapi ukuran kuantitatif dan kualitatif sering berkaitan. Misalnya, penipisan tubuh tanah (gejala kuantitatif) karena erosi membawa serta penurunan produktivitas tanah (gejala kualitatif) karena lapisan tanah atasan biasanya lebih produktif daripada lapisan tanah bawahan (Notohadiprawiro, 1996).

2.4. Indikator Penentu Kekritisan Lahan

Degradasi lahan oleh pengaruh manusia dibagi menjadi 2 tipe besar: (1) degradasi erosif, yaitu berhubungan dengan pemindahan bahan atau material tanah seperti erosi oleh kekuatan air dan angin; dan (2) degradasi non-erosif, yaitu

merupakan kerusakan atau kemunduran sifat-sifat tanah in-situ yang dapat berupa degradasi fisik dan degradasi kimia dan/atau biologi tanah (Oldeman, 1998; ESCWA, 2007; Direktorat Pengelolaan Lahan, 2009). Sementara Stocking dan Murnaghan (2000), membagi tipe-tipe degradasi lahan menjadi 9 tipe, yaitu: erosi oleh air, erosi oleh angin, penurunan kesuburan tanah, waterlogging, salinisasi, sedimentasi, penurunan muka air tanah, penutupan lahan oleh vegetasi, meningkatnya persentase batuan di permukaan dan singkapan batuan.

(30)

tingkat kekritisan lahan di daerah-daerah mediteran dengan indikator-indikator kunci yang digunakan untuk mengukur kelas kemampuan lahan atau

indikator-indikator untuk mengukur kelas kesesuaian lahan. Indikator ini dapat digunakan untuk mendefinisikan tingkat kekritisan lahan pada skala perencanaan tingkat nasional ataupun regional yang dapat dikelompokkan kedalam 4 kategori besar yaitu: indikator kualitas tanah, indikator kualitas iklim, indikator kualitas vegetasi, dan indikator kualitas manajemen.

Indikator kualitas tanah; Tanah merupakan faktor yang dominan pada ekosistem daratan, terutama pengaruhnya terhadap produksi biomassa. Degradasi akan terjadi pada suatu lahan tertentu ketika tanah tidak mampu menyediakan media perakaran, air dan hara dalam keadaan yang memadai/cukup. Kualitas ini dapat dievaluasi melalui variabel sifat-sifat atau karakteristik tanah yang dipakai dalam survei tanah secara umum seperti: kemiringan lereng, bahan induk, kedalaman efektif tanah, fragmen batuan, tekstur, struktur, drainase, bulk density, permeabilitas tanah (FAO, 2007), crusting, asidifikasi, salinisasi, dan penurunan kandungan hara (Lal et al., 1998). Penurunan kandungan hara karena tercuci atau karena uptake oleh tanaman dapat diidentifikasi melalui perubahan kandungan bahan organik tanah, pH, N, P, Al, Ca, Mg, K, Na, KTK, dan KB (FAO, 2001; van Lynden et al., 2004).

Indikator kualitas iklim; Indikator kualitas iklim dapat dievaluasi melalui variabel-variabel seperti: curah hujan, aridity, dan aspek lereng. Di daerah

tropis, jumlah, intensitas, dan distribusi hujan merupakan faktor yang menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan, serta tingkat kerusakan erosi yang terjadi (Arsyad, 2006). Sementara itu aridity dan aspek lereng lebih banyak dikaji pada daerah-daerah mediteran (zona arid, semi-arid, sub-humid).

(31)

Indikator Kualitas manajemen; Sebidang lahan dengan penggunaan tertentu maka berkaitan dengan jenis manajemen tertentu pula. Suatu lahan akan

mengalami tingkat stres tertentu tergantung pada jenis pengelolaan yang diterapkan, dimana penerapan jenis pengelolaan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, sosial, ekonomi, teknologi dan politik yang ada. Misalnya, adanya kebijakan lingkungan yang berlaku di suatu daerah memberikan dampak tertentu pada lahan dimana kebijakan tersebut diterapkan. Indikator kualitas manajemen dapat di evaluasi melalui variabel-variabel seperti: pengunaan lahan, overgrazing, penerapan teras, dan resiko kebakaran. Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, dalam kriterianya menambahkan bahwa manajemen dapat dievaluasi melalui kualitas penerapan teknologi konservasi tanahnya seperti: adanya tata batas kawasan, adanya pengamanan, dan adanya penyuluhan.

2.5. Pengembangan Perangkat dan Metode untuk Identifikasi Kekritisan Lahan

Sejak dicetuskannya istilah kahan kritis dalam Simposium Pencegahan dan

Pemulihan Lahan kritis pada Tahun 1975, maka sejak saat itu pula lembaga/instansi pemerintah terkait mulai melakukan upaya-upaya untuk pengendaliannya, termasuk upaya pengembangan perangkat dan metode untuk identifikasi kekritisan lahan. Upaya-upaya tersebut tentunya bukan tanpa kendala, hal ini disebabkan karena masih terdapatnya perbedaan pendapat terkait isitilah/definisi lahan kritis, metode penentu lahan kritis, dan prioritas penanganannya.

(32)

Tahun 1997, Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, juga membuat kriteria

baru untuk menetapkan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kawasan hutan lindung, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup, dalam PP No 150 Tahun 2000, pengklasifikasian kekritisan tanah di lahan kering dilakukan dengan menentukan baku mutu ambang kekritisannya. Selanjutnya pada Tahun 2007 balai penelitian tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, mengeluarkan kriteria untuk mengukur tingkat degradasi lahan yang diberi nama bakumutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi.

Sejauh ini, penetapan variabel-variabel penentu kekritisan lahan, pengkriteriaan, dan penentuan kelas kekritisannya, masih bersifat subyektif, dimana hanya didasarkan pada suatu kesepakatan-kesepakatan atau judgment pakar yang selanjutnya ditetapkan dalam suatu forum diskusi atau pertemuan-pertemuan ilmiah. Jadi, selama ini belum dilakukan penetapan-penetapan yang melibatkan pertimbangan dari hasil analisis statistik, sebelum selanjutnya dibuat ketetapan-ketetapan untuk menyusun kriteria.

Dewasa ini perangkat statistik adalah merupakan metode yang populer dan dipercaya untuk membantu peneliti dalam mendeskripsikan dan mengambil kesimpulan ilmiah dari suatu fakta atau fenomena. Masalah lahan kritis

(33)

bisa diandalkan, sehingga keputusan akhir yang diambil menjadi lebih obyektif dan mendekati kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, dalam pengembangan

kriteria lahan kritis, selain didasarkan pada pertimbangan atau judgment dari pakar maka penyusunan kriteria dengan menambahkan pertimbangan dari hasil analisis statistik menjadi perlu untuk dilakukan. Selain dari pada itu, upaya ini dapat ditempuh dalam rangka mereduksi perbedaan dan silang pendapat yang terjadi antar pakar, sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam ketidakpastian.

2.6. Kriteria dan Klasifikasi Lahan Kritis

Beberapa kriteria dan klasifikasi kekritisan lahan yang ada di Indonesia diuraikan sebagai berikut:

Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan Tahun 1997, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : (1) Tidak kritis; (2) Potensial kritis; (3) Agak kritis; (4) Kritis; dan (5) Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabel-variabel: kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen) dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat RKT, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 1997 dan Balai penelitian

tanah Tahun 2007, mengelompokkan lahan kritis atau lahan terdegradasi atas empat tingkat kekritisan lahan, yaitu: (1) Potensial kritis; (2) Semi kritis; (3) Kritis; dan (4) Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabel-variabel: kondisi penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan dan kedalaman tanah. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

(34)

ketebalan solum, kebatuan permukaan, komposisi fraksi, berat isi, porositas total, derajat pelulusan air, pH, DHL, redoks, dan jumlah mikroba. Lebih rinci kriteria

ambang kritis dapat dilihat pada Lampiran 5.

Sementara itu dalam Sitorus (2004) mengemukakan, ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat digolongkan atas empat kelompok, yaitu : (1) Lahan potensial kritis; (2) Lahan semi/hampir kritis; (3) Lahan kritis; dan (4) Lahan sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kerusakan, ditinjau dari variabel-variabel: tingkat erosi, kedalaman efektif tanah, penutupan tanaman, topografi dan kesuburan tanah.

Lahan potensial kritis, adalah lahan yang masih/kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan, akan tetapi apabila pengelolaanya tidak didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi kritis atau kritis. Lahan potensial kritis di lapangan dapat dicirikan dengan keadaan sebagai berikut: (a) Pada lahan belum terjadi erosi atau mulai terjadi erosi ringan, namun karena keadaan topografinya bergelombang dan pengusahaan lahan yang kurang tepat, maka erosi dapat terjadi terutama apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan kegiatan-kegiatan pencegahan erosi dan tindakan konservasi tanah lainnya. Misalnya, hutan yang baru dibuka; (b) Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam, lapisan atas (top soil) lebih dari 20 cm; (c) Persentase penutupan tanah relatif masih tinggi (vegetasi rapat); (d) Mempunyai kemiringan lereng datar sampai berbukit; dan (e) Tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini pada dasarnya bertujuan untuk pencegahan erosi.

(35)

Peristiwa yang terjadi di Indonesia memberikan contoh jelas. Kehilangan lahan produktif di Jawa jarang yang dapat diganti dengan pembukaan lahan baru di luar

Jawa yang tingkat produktivitasnya sebanding. Lahan baru yang dibuka terpaksa dikerjakan secara lebih intensif untuk dapat mengkompensasi kehilangan produksi. Akibatnya, resiko munculnya kekritisan di lahan-lahan bukaan baru menjadi tinggi. Lahan juga dapat dinilai kritis menurut aspek geografi kalau berpotensi membahayakan lahan lain yang berada di bawah kendalinya. Misalnya, lahan di lereng atas dengan bahan yang kurang subur menimbun lahan di bawahnya, bersifat kritis karena longsoran bahan tadi akan merusak lahan hilirnya.

Lahan semi/hampir kritis, adalah lahan yang kurang/tidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi rendah. Lahan semi kritis di lapangan dapat dicirikan dengan keadaan sebagai berikut: (a) Tanah telah mengalami erosi dari tingkat erosi permukaan sampai erosi alur (riil erosion), dengan produktivitas yang rendah; (b) Tanah mempunyai kedalaman efektif sangat dangkal (lapisan atas kurang dari 5 cm); (c) Persentase penutupan lahan sedang (vegetasi antara 50 sampai 75%) dengan vegetasi dominan alang-alang, rumput, semak belukar dan hutan jarang; (d) Kemiringan lereng umumnya > 18%; dan (e) Tingkat kesuburan tanah rendah. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini bertujuan untuk

merehabilitasi lahan dan pencegahan erosi.

Lahan kritis, adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga jika diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. Di lapangan, lahan kritis dicirikan dengan keadaan lahan sebagai berikut: (a) Lahan telah mengalami erosi berat dengan tingkat erosi umumnya berupa erosi parit (gully erosion); (b) Kedalaman solum tanah dangkal (< 60 cm); (c) Persentase penutupan lahan rendah (antara 25 sampai 50%); (d) Kesuburan tanah yang rendah, meliputi daerah perladangan yang telah rusak, padang rumput atau alang-alang dan semak belukar tandus.

(36)

lahan sebagai berikut: (a) Pada tanah telah terjadi erosi sangat berat, sebagian berada pada tingkat erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor atau rayapan tanah (soil creeping); (b) Lapisan-lapisan tanah produktif telah habis tererosi, kedalaman solum tanah sangat dangkal (30 cm); (c) Persentase penutupan tanah oleh vegetasi sangat rendah (< 25%), kadang-kadang sebagian atau seluruhnya gundul; (d) Kemiringan lereng umumnya > 30%; dan (e) Tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini bertujuan untuk merehabilitasi lahan.

2.7. Analisis Multi Variabel

Dalam melakukan analisis fenomena yang kompleks di alam seperti masalah lahan kritis, maka diperlukan suatu penyederhanaan yang disebut model. Model adalah “kumpulan hukum-hukum fisik dan atau pengamatan empirik yang ditulis dalam bentuk persamaan-persamaan matematik dan dikombinasikan sedemikian rupa untuk menghasilkan sekumpulan hasil berdasarkan pada sekumpulan kondisi yang sudah diketahui atau diasumsikan” (Rachman dan Dariah, 2004). Model dapat dibatasi sebagai konsep dari sistem yang disederhanakan, sehingga menurut Djuanda (2009), model dapat didefinisikan sebagai suatu abstraksi atau penyederhanaan dari sesuatu yang nyata (realitas). Jadi model dapat dianggap sebagai pengganti (substitusi) untuk sistem yang dipertimbangkan dan digunakan apabila lebih mudah bekerja dengan model

pengganti tersebut dari sistem yang sesungguhnya. Model yang baik adalah model yang sederhana namun memuat secara akurat informasi yang diperlukan (Tirta, 2006), sehingga dalam mendefinisikan persamaan hubungan antara lahan kritis dan variabel penyebabnya, mesti ada penyederhanaan, yaitu mengambil hal-hal penting yang menjadi penentu utama kekritisan lahan dan mengabaikan rincian hal-hal yang tidak menjadi kepentingan.

(37)

perangkat analisis untuk memecahakan masalah pada berbagai bidang analisis mulai dari ekonomi, sosial, kesehatan hingga pertanian telah tersedia. Perangkat

analisis data seperti SAS, SPSS, Minitab, Statistik 8, sudah sangat populer digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang kompleks di lapangan.

Analisis statistik multivariabel (multivariate) merupakan metode statistik yang memungkinkan kita melakukan penelitian terhadap lebih dari dua variabel secara bersamaan. Dengan menggunakan teknik analisis ini maka kita dapat menganalisis pengaruh beberapa variabel terhadap variabel lainnya dalam waktu yang bersamaan. Analisis multivariat digunakan karena pada kenyataannnya masalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan hanya menghubung-hubungkan dua variabel atau melihat pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya.

Teknik analisis multivariat secara dasar diklasifikasi menjadi dua, yaitu analisis dependensi dan analisis interdependensi. Analisis dependensi berfungsi untuk menerangkan atau memprediksi variabel bergantung (respons) dengan menggunakan dua atau lebih variabel bebas (predictor). Yang termasuk dalam klasifikasi ini ialah analisis regresi linear berganda, analisis diskriminan, analisis varian multivariat (MANOVA), dan analisis korelasi kanonikal (Nugroho, 2005).

(38)

Metode interdependensi diklasifikasikan didasarkan pada jenis masukan variabel dengan skala pengukuran bersifat metrik atau non-metrik. Jika masukan

data berskala metrik, maka kita dapat menggunakan teknik analisis faktor, analisis cluster dan multidimensional scaling. Jika masukan data berskala non-metrik, maka kita hanya dapat menggunakan teknik analisis multidimensional scaling (Simamora, 2005).

2.7.1. Analisis Diskriminan

Analisis diskriminan ialah suatu teknik statistik yang digunakan untuk memprediksi probabilitas obyek-obyek yang menjadi milik dua atau lebih kategori yang benar-benar berbeda yang terdapat dalam satu variabel bergantung didasarkan pada beberapa variabel bebas.

Lebih lanjut analisis diskriminan digunakan untuk membuat satu model prediksi keanggotaan kelompok didasarkan pada karakteristik-karakteristik yang diobservasi untuk masing-masing kasus. Prosedur ini akan menghasilkan fungsi diskriminan yang didasarkan pada kombinasi-kombinasi linier yang berasal dari variabel-variabel bebas (predictor) yang dapat menghasilkan perbedaan paling baik antara kelompok-kelompok yang dianalisis. Semua fungsi dibuat dari sampel semua kasus bagi keanggotaan kelompok yang sudah diketahui. Fungsi-fungsi tersebut dapat diaplikasikan untuk kasus-kasus baru yang mempunyai pengukuran untuk semua variabel bebas tetapi mempunyai keanggotaan kelompok yang belum

diketahui.

(39)

Analisis diskriminan berguna untuk menganalisis data jika variabel tak bebas (respons) bersifat non-metrik/kategorik, maksudnya yaitu data berskala nominal atau ordinal; Variabel bebas (predictor) berupa skala interval atau rasio

(Supranto, 2004); Semua variabel predictor sebaiknya mempunyai distribusi normal multivariat keanggotaan kelompok diasumsikan eksklusif, maksudnya

tidak satupun kasus yang termasuk dalam kelompok lebih dari satu; dan exhaustive secara kolektif, maksudnya semua kasus merupakan anggota satu kelompok. Jika variabel tak bebasnya terdiri dari dua kelompok disebut analisis diskriminan dua kategori/kelompok, sedangkan kalau variabel tak bebasnya lebih dari dua kategori/kelompok disebut analisis diskriminan berganda (multiple discriminant analysis).

2.7.2. Analisis Gerombol (Cluster Analysis)

Analisis Gerombol merupakan suatu teknik analisis statistik yang ditujukan untuk membuat klasifikasi individu-individu atau obyek-obyek kedalam kelompok-kelompok lebih kecil yang berbeda satu dengan yang lain. Prosedur analisis gerombol ini digunakan untuk mengidentifikasi kelompok kasus yang secara relatif sama yang didasarkan pada karakteristik-karakteristik yang sudah dipilih dengan menggunakan algoritma yang dapat mengatur kasus dalam jumlah besar. Algoritma yang digunakan mengharuskan kita membuat spesifikasi jumlah cluster-cluster yang akan dibuat. Metode yang digunakan untuk membuat

(40)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian berlangsung selama 10 bulan mulai dari Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010, meliputi kegiatan penyusunan proposal, pengambilan data di lapangan hingga analisis data dan penulisan Tesis. Kegiatan penelitian lapang bertempat di Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan

Babakan Madang Kabupaten Bogor dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan sebagai berikut:

(1) Lokasi penelitian merupakan daerah lahan kering yang dikategorikan lahan kritis menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor, yang dianggap cukup mewakili dan layak untuk menjawab tujuan penelitian. (2) Kondisi lokasi penelitian diisukan telah mengalami proses kerusakan lahan

yang serius.

(3) Lokasi penelitian memiliki areal cukup luas, karakteristik, dan penggunaan lahannya lebih beragam.

(4) Aksesibilitas menuju lokasi penelitian mudah dijangkau dengan infrastruktur jalan sebagian besar sudah diaspal.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

(1) Peta dasar, yaitu: peta penyebaran lahan kritis dan peta curah hujan.

(2) Peta pendukung, yaitu: peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000, peta tanah, peta arahan penggunaan lahan, peta administrasi dan peta RTRW Kabupaten Bogor.

(3) Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah di laboratorium.

(41)

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Peralatan untuk melakukan survei tanah, yaitu pedoman observasi, bor tanah, ring sampel, altimeter, Global Positioning System (GPS), Abney level,

buku Munsel, skop, cangkul, pisau, meteran, kamera, dan kantong sampel komposit.

(2) Seperangkat komputer yang dilengkapi berbagai software untuk keperluan analisis statistik antara lain bivariate correlation analysis, discriminant analysis, cluster analysis, dan simple linear regression analysis.

3.3. Prosedur Penelitian dan Variabel Pengamatan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui studi kasus dan analisis di laboratorium. Pelaksanaan kegiatan penelitian dibagi ke dalam 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu:

(1) Inventarisasi data di lokasi penelitian :

a. Pengumpulan data fisik lingkungan pada tiap unit lahan kunci yang ada di 3 kecamatan, yang didasarkan pada klasifikasi unit kekritisan lahan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan, yaitu berdasarkan tiap kategori tingkat kekritisan lahan meliputi: Sangat Kritis (SK), Kritis (K), Agak Kritis (AK), Potensial Kritis (PK), dan Tidak Kritis (TK). Masing-masing kelas kekritisan lahan diulang 4 kali di tiap kecamatan, sehingga terdapat 60 unit lahan kunci (5 kelas kekritisan x 4 ulangan x 3

kecamatan).

b. Pengambilan contoh tanah untuk analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah pada 60 unit lahan kunci. Jumlah keseluruhan contoh tanah adalah 120 contoh yang terdiri dari 60 contoh untuk analisis fisik, dan 60 contoh untuk analisis kimia. Khusus contoh untuk analisis kimia diambil secara komposit dari setiap lahan kunci (1 contoh komposit berasal dari 5 titik pengambilan).

(42)

d. Pengumpulan data sekunder dari instansi terkait, terdiri dari : (1) peta kekritisan lahan, (2) data iklim dari stasiun iklim terdekat, (3) data penggunaan lahan.

(2) Mengolah, menganalisis dan interpretasi data.

a. Validasi kriteria kekritisan lahan saat ini (kriteria direktorat RKT). Validasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keakuratan kriteria Direktorat RKT tersebut dalam mengklasifikasikan lahan kritis. Validasi kriteria dilakukan dengan cara mengkriteriakan/mengkelaskan ulang satuan-satuan lahan yang sebelumnya telah dikriteriakan/dikelaskan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor pada Tahun 2008, dengan menggunakan perangkat (kriteria lahan kritis) yang sama. Validasi dilakukan terhadap 30 unit lahan kunci yang ada di lokasi penelitian (5 kelas kekritisan x 2 ulangan x 3 kecamatan). Keakuratan pengkelasan dilihat dari hasil tabulasi silang antara hasil pengkriteriaan ulang dengan hasil pengkriteriaan sebelumnya, yaitu apakah memberikan hasil pengkelasan yang sama, relatif sama, ataukah berbeda.

(43)

kekritisan lahan. Selanjutnya dilakukan judgment dan penyesuaian-penyesuaian, yaitu menentukan variabel mana yang relevan dan tidak relevan untuk diukur di lapangan atas dasar pertimbangan efektifitas, dan efisiensi biaya, waktu, dan tenaga. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kemudian ditetapkan jumlah lengkap variabel yang dilibatkan dalam proses screening untuk membangun kriteria lahan kritis yaitu 27 variabel, dengan rincian sebagai berikut : variabel sifat kimia tanah (pH, C-org, N-tot, P2O5, Al, Ca, Mg, K, Na, KTK, dan KB), variabel sifat fisik tanah (persentase pasir, persentase debu, persentase liat, struktur, bulk density dan permeabilitas), variabel fisik lingkungan (lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, tingkat erosi, kedalaman efektif tanah, penutupan vegetasi, dan drainase), variabel manajemen (penggunaan lahan, tindakan konservasi, dan kelembagaan). Selengkapnya hasil pengumpulan data di lapangan terhadap 27 variabel tersebut dicantumkan pada Lampiran 6.

(3) Menelaah keterkaitan hubungan antara kekritisan lahan dan produktivitas lahan. Bentuk dan keeratan hubungan tingkat kekritisan lahan dengan produktivitas lahan di telaah dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana dan analisis korelasi.

Jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data dan output yang diharapkan untuk ketiga tujuan penelitian tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Matriks tujuan, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan output yang diharapkan

Tujuan Jenis Data Sumber Data

(44)

Adapun, rincian lengkap seluruh variabel utama dan variabel pendukung yang diamati di lapang adalah sebagai berikut :

(1) Data fisik lingkungan :

a. Erosi: jenis erosi, tingkat erosi. b. Jenis tanah.

c. Kedalaman efektif tanah. d. Drainase.

e. Iklim (curah hujan).

f. Keadaan batuan (batuan dipermukaan dan singkapan batuan). g. Topografi (lereng).

h. Tutupan lahan/penutupan vegetasi

(2) Data sifat fisik dan sifat kimia tanah :

a. Tekstur (persentase pasir, liat dan debu), struktur, permeabilitas, dan bulk density.

b. pH (H2O), KTK, KB, basa-basa dapat ditukar (K, Ca, Na, Mg) kejenuhan Al, N-total dan P2O5 (Bray I).

c. Kandungan C organik tanah.

(3) Data manajemen dan data produktivitas lahan

a. Manajemen; terdiri dari penggunaan lahan (landuse), tindakan konservasi, dan kelembagaan

b. Produktivitas lahan; yaitu data produksi ubikayu per hektar.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis Gerombol (Cluster Analysis)

Analisis gerombol merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengklasifikasikan obyek atau kasus ke dalam kelompok yang relatif homogen/sama, yang disebut gerombol. Obyek atau kasus dalam setiap kelompok cenderung mirip/dekat satu sama lain, dan berbeda/jauh dengan obyek dari kelompok lain. Setiap obyek hanya masuk ke dalam satu gerombol saja sehingga tidak terjadi tumpang tindih (overlapping).

(45)

setiap variabel kekritisan lahan. Kriteria dibuat dari rating terendah hingga tertinggi, sehingga diperoleh selang kriteria berdasarkan kelompok-kelompok

yang homogen. Ukuran penyamaan antar obyek didekati dengan ukuran jarak Squared Euclidean (Morrison, 1990).

Secara matematis jarak Squared Euclidean dapat dirumuskan sebagai berikut:

dimana :

dij = jarak euclidean

vik, vjk = Skor obyek ke-i dan ke-j pada variabel k (k=1, 2, ..., n)

3.4.2. Analisis Diskriminan Berganda (Multiple Discriminant Analysis)

Analisis diskriminan berganda adalah teknik statistik peubah ganda yang terkait dengan pemisahan (separating) atau alokasi/klasifikasi (classification) sekelompok obyek atau observasi ke dalam kelompok (group) yang telah terlebih

dahulu didefinisikan. Dalam tujuan pengenalan obyek (observasi), metode ini mencoba menemukan suatu „discriminant’ yang nilainya secara numeris sedemikian sehingga mampu memisahkan obyek yang karakteristiknya telah diketahui. Analisis ini dapat menentukan (mengidentifikasi) variabel-variabel yang dapat digunakan untuk membedakan antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.

Tujuan umum dilakukannya analisis diskiriminan berganda pada studi ini adalah untuk membangun kriteria untuk mengelompokkan kelas kekritisan lahan di lokasi penelitian. Adapun sub-sub tujuan analisisnya adalah sebagai berikut:

(1) Membuat suatu fungsi diskriminan atau kombinasi linear, dari variabel bebas yang bisa mendiskriminasi/membedakan kategori atau kelompok dari variabel tak bebas (Supranto, 2004). Artinya mampu membedakan suatu obyek (kasus) masuk ke dalam kelompok atau kategori kekritisan yang mana. Fungsi umum

(46)

Z

jk

= a+W

1

X

1k

+W

2

X

2k

+ . . + W

n

X

nk

Dimana :

Zjk : Nilai diskriminan Z dari fungsi diskriminan j untuk obyek k a : Intersep

Wi : Koefisien diskriminan untuk variabel independen ke-i Xik : Nilai variabel ke-i untuk obyek ke-k

(2) Mengklasifikasikan tingkat kekritisan lahan di lokasi penelitian ke dalam kelompok yang saling bebas (mutually exclusive/disjoint) dan menyeluruh (exhaustive) berdasarkan sejumlah variabel penentu kekritisan lahan.

(3) Menentukan predictor (variabel penentu kekritisan yang mana yang memberikan sumbangan besar terhadap terjadinya perbedaan kelompok tingkat kekritisan lahan).

(4) Menguji apakah ada perbedaan yang signifikan antara kategori kekritisan lahan (respons), dikaitkan dengan variabel penentu kekritisan (predictor). (5) Mengevaluasi keakuratan hasil klasifikasi.

3.4.3. Analisis Regresi Linear Sederhana dan Analisis Korelasi

Dampak degradasi lahan telah mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan di lahan-lahan kritis. Analisis regresi linear sederhana dilakukan untuk melihat bentuk hubungan yang terjadi antara tingkat kekritisan lahan (X) dengan produktivitas lahan (Y).

Fungsi linear dari regresi linear sederhana adalah sebagai berikut:

Y = β

o

+ β

1

X + ε

dimana βo dan β1 adalah parameter dan ε adalah residual.

(47)

Dengan ketentuan nilai r adalah (-1 ≤ r ≤ 1), dan interpretasi nilai r disajikan pada Tabel 2 (Usman dan Akbar, 2006) :

Tabel 2. Interpretasi nilai r

Interval nilai (koefisien) Derajat hubungan

0 Tidak berkorelasi

0,01 – 0,20 Sangat rendah

0,21 – 0,40 Rendah

0,41 – 0,60 Agak rendah

0,61 – 0,80 Cukup

0,81 – 0,99 Tinggi

(48)

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6º 18’0” - 6º 47’10” Lintang Selatan dan 106º 23’45” - 107º 13’30” Bujur Timur (Gambar 2), yang berdekatan dengan Ibukota Negara sebagai pusat pemerintahan, jasa dan perdagangan dengan aktivitas pembangunan yang cukup tinggi, memiliki luas ± 299.428,15 ha, dengan batasan wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten/ Kota Bekasi dan Kota Depok;

Sebelah Barat : Kabupaten Lebak (Provinsi Banten);

Sebelah Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;

Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur; Bagian Tengah : Kota Bogor.

(49)

Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 411 desa dan 17 kelurahan (428 desa/kelurahan), 3.639 RW dan 14.403 RT yang tercakup dalam

40 kecamatan. Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 (lima) Kecamatan di tahun 2005, yaitu Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea). Selain itu, pada akhir tahun 2006 telah dibentuk pula sebuah desa baru, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug Kecamatan Jasinga (BAPPEDA, 2008).

4.1. Morfologi Wilayah

Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke utara, dengan klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta persentasenya sebagai berikut : (a) Dataran rendah (15 -100 m dpl) sekitar 29,3 %, merupakan kategori ekologi hilir; (b) Dataran bergelombang (100 - 500 m dpl) sekitar 42,6 %, merupakan kategori ekologi tengah; (c) Pegunungan (500 - 1.000 m dpl) sekitar 19,5 %, merupakan kategori ekologi hulu; (d) Pegunungan tinggi (1.000 - 2.000 m dpl) sekitar 8,4 %, merupakan kategori ekologi hulu; dan (e) Puncak-puncak gunung (2.000 - 2.500 m dpl) sekitar 0,2 %, merupakan kategori ekologi hulu (BAPPEDA, 2008).

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 1.  Bagan alir Kerangka Pikir Penelitian.
Tabel 1. Matriks tujuan, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik
+7

Referensi

Dokumen terkait