• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kriteria Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor adalah merupakan suatu studi pengembangan kriteria yang didasarkan pada prinsip obyektifitas dengan pendekatan yang melibatkan hasil analisis statistik. Hasil analisis statistik merupakan salah satu faktor penting sebagai dasar pertimbangan dalam judgment pakar untuk merumuskan kriteria lahan kritis. Sejauh ini, penetapan variabel-variabel penentu kekritisan lahan, pengkriteriaan, dan penentuan kelas kekritisannya, hanya didasarkan pada suatu kesepakatan-kesepakatan atau judgment yang bersifat sangat subyektif. Pertimbangan dari hasil analisis statistik diperlukan dalam rangka mengurangi faktor subyektifitas tersebut sehingga keputusan akhir yang diambil menjadi lebih obyektif dan mendekati kenyataan di lapangan. Upaya ini juga dilakukan dalam rangka mereduksi perbedaan dan silang pendapat yang terjadi antar pakar, sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam ketidakpastian.

Selain itu, keberhasilan dari penanggulangan lahan kritis juga tidak terlepas dari tingkat kerincian informasi yang diperoleh dari kedalaman studi yang dilakukan. Penanggulangan bisa lebih tepat sasaran jika kriteria dibuat spesifik untuk skala perencanaan tertentu, sehingga dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, pengembangan kriteria kali ini juga mempertimbangan skala perencanaan tertentu, dalam hal ini difokuskan pada skala tinjau dan semi- detil. Tingkat tinjau digunakan untuk perencanaan umum penggunaan lahan dan penetapan areal yang akan distudi lebih mendalam, sedangkan tingkat semi-detil digunakan untuk pelaksanaan pengembangan dan rencana operasional (Sitorus et al., 2009).

Upaya pengembangan kriteria lahan kritis dilakukan karena sejauh ini validitas data dari kriteria yang sudah ada masih dipertanyakan, sehingga data mengenai lahan kritis juga merupakan jumlah yang belum pasti (Irawan et al., 2002). Hasil validasi terhadap kriteria lahan kritis Direktorat RKT menunjukkan ketidaktepatan pengkelasan yang cukup besar. Ketidaktepatan pengkelasan ini berpengaruh terhadap output kelas kekritisan dan luasan lahan kritis yang diperoleh. Ketidaktepatan pengkelasan yang cukup besar terjadi pada saat

pengkelasan kategori Kritis dan Potensial Kritis, dimana 5 dari 6 sampel yang diujikan dikelaskan tidak tepat dan masuk ke dalam kelas kekritisan lainnya.

Hasil pengembangan kriteria lahan kritis untuk kawasan budidaya pertanian lahan kering di Kabupaten Bogor juga memperlihatkan rumusan kriteria akhir yang berbeda dengan kriteria sebelumnya. Perbedaan-perbedaan tersebut dirangkum dalam matriks perbandingan antara kriteria hasil pengembangan dan kriteria terdahulu (kriteria Direktorat RKT), yang disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38. Matriks perbandingan antara kriteria hasil pengembangan dan kriteria Direktorat RKT.

No Aspek pembeda Kriteria RKT Kriteria pengembangan

1. Skala perencanaan – Tinjau dan semi-detil

2. Klasifikasi kriteria SK, K, AK, PK,

dan TK

- skala tinjau: K dan TK

- skala semi-detil: SK, K, AK, dan TK

3. Variabel penentu (%) Produktivitas (30),

lereng (20), erosi (15), batu-batuan (5), manajemen (30)

- skala tinjau: Kedalaman efektif tanah (49), batuan di permukaan (30), tingkat erosi (21)

- skala semi-detil: Kedalaman

efektif tanah (38), tingkat erosi (22), penutupan lahan (20), batuan di permukaan (19), lereng (1)

4. Pembobotan Hasil desk study

(judgment)

Hasil analisis statistik

Perbedaan kriteria lahan kritis hasil pengembangan dengan kriteria terdahulu (kriteria Direktorat RKT) terlihat pada peruntukan skala perencanaan, klasifikasi kriteria, variabel penentu, dan pembobotan dari masing-masing variabel yang terpilih. Pada Tabel 38 terlihat bahwa kriteria lahan kritis dari direktorat RKT belum mempertimbangkan mengenai tingkat kedalaman studi, sehingga kriteria yang dibuat belum spesifik pada skala perencanaan tertentu, sedangkan kriteria hasil pengembangan sudah dibuat spesifik untuk penilaian kekritisan lahan pada skala perencanaan tingkat tinjau dan tingkat semi-detil.

Pada skala tinjau setelah dilakukan reklasifikasi kelas kekritisan lahan dengan bantuan analisis gerombol menunjukkan bahwa 5 kelas/kelompok keritisan lahan yang telah ditetapkan sebelumnya ternyata lebih optimal jika di kelompokkan menjadi 2 kelas saja. Ini didasarkan pada hasil dendrogram dan aglomerasi (penyatuan) data pengamatan yang memiliki jarak paling dekat ke

dalam kelompok-kelompok tertentu secara statistik. Berdasarkan analisis tersebut maka kelas baru yang terbentuk pada skala tinjau berjumlah 2 kelas, yaitu : (1) kelas Kritis, yang merupakan gabungan dari kelas SK dan K pada kriteria sebelumnya, dan (2) Kelas Tidak Kritis, yang merupakan gabungan dari kelas AK, PK, dan TK pada kriteria sebelumnya. Penetapan 2 kelas ini juga didasarkan pada pertimbangan bahwa perencanaan skala tinjau merupakan perencanaan yang bersifat umum untuk membuat arahan-arahan pengembangan, sehingga dibuat selang pengelompokan yang lebih umum pula.

Seperti halnya skala tinjau, kriteria pengembangan pada skala semi-detil juga menunjukkan hasil yang perbedaan dari kriteria sebelumnya. Kelas kekritisan yang terbentuk pada skala semi-detil berjumlah 4 kelas, yaitu : (1) kelas Sangat Kritis, (2) kelas Kritis, (3) kelas Agak Kritis, dan (4) kelas Tidak Kritis. Untuk kelas yang terakhir ini merupakan kelas gabungan dari kelas PK dan TK pada klasifikasi sebelumnya. Hal ini memperkuat hipotesis sebelumnya bahwa 5 kelas kekritisan merupakan jumlah kelas yang terlalu rapat, sehingga perlu dilakukan reduksi kelas. Dengan reduksi ini diharapkan nantinya tidak menyulitkan dalam mendeskripsikan kelas kekritisan di lapang, dan peluang salah interpretasi semakin dapat dikurangi. Selain itu penetapan kelas pada skala semi-detil sebanyak 4 kelas juga dinilai paling optimal karena sudah berada pada tingkat perencanan operasional di lapang. Dibutuhkan jumlah kelas yang memadai untuk mendapatkan kedalaman studi yang cukup rinci dalam mengelompokkan kelas kekritisan lahan, sehingga faktor penghambat dan tingkat pengelolaan pada skala ini bisa di rinci pada masing-masing kelas kekritisannya.

Perbedaan lainnya juga terlihat pada variabel-variabel yang terpilih serta pembobotannya. Pada kriteria sebelumnya ada 5 (lima) variabel yang digunakan dalam mendeskripsikan kekritisan lahan yaitu produktivitas (30%), lereng (20%), erosi (15%), batu-batuan (5%), dan manajemen (30%) (Lampiran 1), sedangkan kriteria hasil pengembangan menunjukkan bahwa pada skala tinjau variabel yang terpilih berjumlah 3 (tiga) yaitu kedalaman efektif tanah (49%), batuan di permukaan (30%), dan tingkat erosi (21%); serta skala semi-detil dengan variabel terpilih berjumlah 5 (lima) yaitu kedalaman efektif tanah (38%), tingkat erosi (22%), penutupan lahan (20%), batuan di permukaan (19%), dan lereng (1%).

Dari rumusan kriteria yang diperoleh, dapat dilihat bahwa baik pada kriteria tinjau maupun kriteria semi-detil, variabel penentu kekritisan lahan yang paling dominan dengan bobot paling tinggi adalah variabel kedalaman efektif tanah. Hal ini berarti bahwa secara statistik kedalaman efektif tanah adalah merupakan indikator yang paling baik untuk mengidentifikasi tingkat kekritisan lahan di lapang. Berbeda dengan kriteria sebelumnya, variabel yang paling dominan sebagai indikator penentu kekritisan lahan di lapang adalah variabel produktivitas dan variabel manajemen, dengan bobot masing-masing 30%, dimana pemilihan variabel dan pembobotan pada kriteria sebelumnya masih didasarkan pada desk study saja. Di sisi lain, jika ditelaah lebih dalam, variabel produktivitas dan manajemen pada kriteria Direktorat RKT belum memiliki keterangan variabel dengan deskripsi yang jelas, sehingga bersifat multi interpretasi. Keterangan yang bersifat multi interpretasi dapat mengakibatkan hasil klasifikasi yang sangat subyektif, dan berpotensi mengakibatkan validitas data yang rendah.

Pada hasil kriteria skala semi-detil sifat-sifat kimia belum bisa menjadi variabel penciri karena memiliki hubungan korelasi yang lebih rendah dengan tingkat kekritisan lahan pada tingkat signifikansi yang ditetapkan. Hal ini diduga karena pengambilan contoh pewakil pada skala peta semi-detil (tingkat survei intensitas medium) masih belum cukup mengakomodir variabilitas yang tinggi dari sifat-sifat kimia tanah tersebut. Diketahui bahwa pada satu luasan kecil saja, kondisi sifat kimia tanah biasanya sudah sangat beragam akibat pengaruh dari beragamnya faktor-faktor pembentuknya yaitu iklim, bahan induk, relief, vegetasi dan waktu (Hadjowigeno, 2007). Oleh karena itu, untuk mendapatkan kriteria penciri dari aspek sifat-sifat kimia tanah ini dibutuhkan tingkat survei dengan intensitas yang lebih tinggi (skala detil) sehingga sifat-sifat kimia tanah dapat muncul sebagai penciri.

Selanjutnya yang perlu dipahami lagi bahwa kriteria yang diperoleh merupakan kriteria hasil pengembangan pada lokasi yang bersifat spesifik (kawasan pertanian lahan kering Kabupaten Bogor), dengan kondisi iklim, relief, tanah dan manajemen yang masih bersifat spesifik pula. Untuk memperoleh kriteria yang bisa berlaku secara nasional atau lebih luas, maka masih perlu

dilakuan pengkajian yang lebih mendalam, dengan zona iklim, relief, tanah dan manajemen yang lebih beragam.

Terlepas dari segala kekurangan yang ada, dari hasil prediksi secara statistik baik untuk skala tinjau maupun skala semi-detil diperoleh nilai keakuratan klasifikasi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria hasil pengembangan, baik untuk skala tinjau dan skala semi-detil, layak digunakan dan diujikan di lapang. Hal ini dapat dilihat dari seluruh kasus yang diklasifikasikan, 97% diklasifikasikan secara benar pada skala tinjau, dan 90% diklasifikasikan secara benar pada skala semi-detil.

Hubungan regresi antara kekritisan lahan dan produktivitas menunjukkan bahwa semakin tidak kritis lahan (semakin tinggi kualitas lahan) cenderung diikuti dengan meningkatnya produktivitas lahan, meskipun nilai korelasi yang diperoleh agak rendah yaitu r = 0,547. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keragaman data masih banyak dipengaruhi oleh faktor lain selain tingkat kekritisan lahan. Hal ini diduga karena kondisi peubah di lapang tidak benar-benar homogen, yang disebabkan karena pengukuran produksi ubikayu masih dipengaruhi oleh faktor- faktor seperti: sulitnya mencari umur tanaman yang seragam, tingkat pemupukan yang berbeda-beda, tidak teraturnya jarak tanam pada pola pertanaman petani setempat, dan kemungkinan adanya serangan hama penyakit. Oleh karena itu, menurut hemat peneliti, untuk memperoleh bentuk korelasi yang lebih tinggi maka seyogyanya hubungan yang diujikan adalah regresi linear berganda, sehingga dapat mengakomodir peubah-peubah lain yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas lahan selain tingkat kekritisan lahan. Namun demikian dari hasil analisis sudah memberikan gambaran umum bahwa hubungan yang terbentuk antara tingkat kekritisan lahan dan produktivitas lahan bersifat linear.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait