• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI KEJADIAN BADAI GUNTUR

RODIAH MUTIARA NOVIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

RODIAH MUTIARA NOVIANI. Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur. Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY.

Badai guntur merupakan salah satu faktor terjadinya kecelakaan pesawat. Tingginya potensi badai guntur di wilayah Bogor menyebabkan kegiatan penerbangan lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Prediksi badai guntur mengunakan parameter udara atas dapat meminimalkan resiko yang ditimbulkan badai guntur. RAOB merupakan software untuk menganalisis atmosfer bagian udara atas. Software ini akan menghasilkan parameter seperti LI(Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), dan PW (Precipitable Water) yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian badai guntur. Tujuan penelitian ini adalah mengamati fluktuasi dan kecenderungan kejadian badai guntur berdasarkan parameter PW, LI dan CAPE tahun 2014 wilayah Landaan Udara Atang Sendjaja. Kejadian badai guntur pada Landasan Udara Atang Sendjaja terbanyak yaitu pada bulan april yang merupakan puncak musim peralihan. Badai guntur cenderung mengalami peningkatan ketika parameter LI menurun. Setiap wilayah memiliki akurasi parameter yang berbeda-beda untuk wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja Parameter LI merupakan parameter paling baik dalam memprediksi badai guntur. Residance time massa udara mengakibatkan dalam proses terjadinya badai guntur mengalami waktu tunda. Seluruh parameter memiliki akurasi paling baik ketika terjadi residance time 1 hari dengan akurasi untuk 00 UTC dan 12 UTC sebesar 51% .

(6)
(7)

ABSTRACT

RODIAH MUTIARA NOVIANI. Analysis of Thunderstorm Potential Occurance. Supervised by SOBRI EFFENDY.

Thunderstorm is one of factor in the airplane crash. The high potential of thunderstorm in the area of Bogor caused aviation activities less than other regions in Indonesia. Thunderstorm prediction using atmospheric parameters can minimize the caused thunderstorm. RAOB is a software for analyzing atmospheric air section above. This software will generate parameters such as LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), and PW (precipitable Water) which can be used to predict the incidence of thunderstorms. The purpose of this research is to observe the fluctuations and trends of incidence of thunderstorm based on parameters PW, LI and CAPE in 2014. The incidence of thunderstorm at Atang Sendjaja airfield is the most on April which is the peak season transition. The incidence of Thunderstorm increase when the parameter LI decrease. Every region has a has a different parameters of accuracy, LI parameter is a parameter of the most excellent in predicting thunderstorm at Atang Sendjaja airfield. Residance time the air mass causing time lag in the process formation of a thunderstorm. All parameter have best accuracy when one day of residance time with accuracy to 00 UTC and 12 UTC same respectively by 51%.

(8)
(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika Dan Meteorologi

ANALISIS POTENSI KEJADIAN BADAI GUNTUR

RODIAH MUTIARA NOVIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini ialah Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, kritik dan nasihat serta Jajaran Staff Bagian Meteorologi Markas Besar TNI AU dan Bapak Junadi Selaku Kepala Bagian Meteorologi Landasan Udara Atang Sendjaja, yang telah membantu selama pengumpulan data. Di Samping itu, terima kasih kepada Margareta Puspasari, S.Si yang membantu Penulis dalam penerapan metode, serta kepada seluruh dosen dan staf departemen GFM. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh GFM 48 terutama teman seperjuangan mahasiswa bimbingan Bapak Sobri, serta Atu, Erika, Hawa dan Priyo yang terus memberikan dukungan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, Hazmi, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

BAB I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

Badai Guntur (Thunderstrom) 2

Rawinsonde Observation (RAOB) 3

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 4

Lokasi dan Waktu 4

Alat dan Bahan Penelitian 4

Prosedur Penelitian 4

Pengumpulan Data 4

Analisis Data 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Fluktuasi Kejadian Badai Guntur tiap bulan 7 Fluktuasi Parameter PrecipitableWater, LiftedIndex,

dan ConvectiveAvailablePotentialEnergy Tiap Musim 8

PrecipitableWater (PW) 8

LiftedIndex (LI) 10

ConvectiveAvailablePotentialEnergy (CAPE) 13 Akurasi Lifted Index Dibandingkan dengan parameter

Precipitable Water dan Convective Available Potential

Energy Serta kecenderungannya Tiap Selang 17

BAB V SIMPULAN 23

Simpulan 23

DAFTAR PUSTAKA 23

(14)

DAFTAR TABEL

1 Skala kandungan embun berdasarkan nilai PW 8

2 Stabilitas atmosferberdasarkan nilai LI 11

3 Ketidakstabilan atmosfer berdasarkan nilai CAPE 13 4 Distribusi nilai Precipitable Water (PW), Lifted Index (LI),

Convective Avaliable Potential Energi (CAPE) tiap 3 bulan pada

00 UTC 17

5 Distribusi nilai Precipitable Water (PW), Lifted Index (LI), Convective Avaliable Potential Energi (CAPE) tiap 3 bulan pada

12 UTC 17

6 Nilai PW, LI, dan CAPE dengan TSS tertinggi tiap periode 17 7 Tabel 7 Perhitungan parameter Precipitable Water, Lifted Index,

dan Convective Available Potential Energy berdasarkan tiga

kondisi residance time. 18

8 Akurasi parameter LI (%) dibandikan parameter PW daan CAPE

sebagai prediktor Badai guntur 19

9 Hasil Perbandingan Berbagai Penelitian 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 5

2 Fluktuasi badai guntur tiap bulan 7

3 Fluktuasi parameter Precipitable Waer (PW) pada empat periode (a) periode DJF (b) periode MAM (c) periode JJA (d) periode

SON 9

4 Fluktuasi parameter Lifted Index (LI) pada empat periode (a)

periode DJF (b) periode MAM (c) periode JJA (d) periode SON 12 5 Fluktuasi parameter Convective Avaliable Potential Energy

(CAPE) pada empat periode (a) periode DJF (b) periode MAM

(c) periode JJA (d) periode SON 14

6 Distribusi suhu rata-rata, suhu maksimum dan suhu minimum

wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja tahun 2014 15 7 Distribusi curah hujan wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja

tahun 2014 15

8 Distribusi kelembaban relatif rata-rata wilayah Landasan Udara

Atang Sendjaja tahun 2014 16

9 Distribusi kecepatan angin rata-rata wilayah Landasan Udara

Atang Sendjaja tahun 2014 16

10 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai precipitable water

(15)

11 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai lifted index (LI)

tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b) 21

12 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai convective available potential energy (CAPE) tiap selang pukul 00 UTC (a)

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Badai guntur merupakan salah satu kejadian cuaca yang mempengaruhi kehidupan manusia. Badai guntur (Thunderstrom) terjadi pada awan kumulonimbus. Daerah di sepanjang Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) lebih banyak mengalami kejadian badai guntur dibandingkan dengan daerah yang berada di luar garis ITCZ. Bogor merupakan salah satu wilayah yang dekat dengan garis ITCZ. Menurut Zoro (2005) Bogor mengalami kejadian badai guntur terbanyak di dunia dengan rata-rata 350 badai dalam setahun.

Badai guntur merupakan salah satu faktor terjadinya kecelakaan pesawat. Tingginya potensi badai guntur di wilayah Bogor menyebabkan kegiatan penerbangan lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Badai guntur akan meyebabkan gangguan dan kerusakan pada pesawat. Setiap gangguan dan kerusakan akibat aktivitas badai guntur dapat mengancam keselamatan para penumpang dan awak pesawat.

Potensi kejadian badai guntur dapat diprediksi melalui parameter stabilitas yang diperoleh dengan melakukan pengamatan udara atas. Parameter stabilitas seperti KI (K-Index), LI (Lifted Index), dan SWEAT (Severe Weather Threat Index) dapat di peroleh dengan menghitung distribusi vertikal dari suhu, tekanan, kelembaban dan angin. Analisis kejadian badai guntur dapat dilakukan dengan mengamati parameter atmosfer melalui pengamatan langsung udara atas. Analisis pengamatan langsung udara atas dilakukan dengan menggunakan software RAOB (Rawinsonde Observation Program).

Software RAOB akan menghasilkan parameter seperti LI(Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), dan PW (Precipitable Water) yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian badai guntur. Menurut Haklander dan Delden (2003) software RAOB akan menghasilkan 32 parameter parameter yang memiliki tingkat akurasi berbeda dalam menghasilkan prediksi badai guntur di Belanda. Berdasarkan penelitian Mayangwulan et. al (2011) menunjukan bahwa peluang kejadian di Biak berkorelasi positif dengan nilai PW. Pemanfaatan kemampuan parameter tersebut dalam memprediksi badai guntur dapat menjadi antisipasi mengurangi kecelakaan transportasi udara. Hasil penelitian yang dilakukan dapat meningkatkan prediksi kejadian badai guntur melalui parameter LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), dan PW (Precipitable Water) pada suatu wilayah.

Tujuan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Badai Guntur (Thunderstrom)

Badai guntur merupakan salah satu fenomena cuaca yang terjadi akibat aktivitas awan konvektif yaitu awan kumulonimbus (Cb). Awan ini terbentuk karena adanya massa udara naik dan mengalami proses kondensasi. Awan Cb ini kemudian memindahkan muatan negatif (elektron) lebih ke tanah dan udara sekitarnya yang menghasilkan kilat dan guntur (Duhah et. Al 2010). Badai guntur

berasal dari awan kumulonimbus tunggal maupun awan kumulonimbus yang tergabung dari beberapa awan kumulonimbus. Badai guntur akan menghasilkan angin kencang, hujan lebat bahkan hujan es, serta petir. Badai terbentuk ketika udara lembab dan hangat naik ke atmosfer di lingkungan yang tidak stabil (Lutgens et. al 2004).

Badai guntur terdiri atas dua jenis. Badai guntur yang terbentuk akibat pengaruh lokal yang hanya bertahan dalam hitungan menit merupakan Air-mass Thunderstorms. Badai guntur ini akan mereda ketika terjadi downdrafts yang akan

menghentikan pasokan udara lembab ke dalam awan kumulonimbus. Akan tetapi ketika terjadi downdrafts pada awan hujan lebat akan mengintensifkan badai

guntur di awan tersebut. Badai guntur ini diklasifikasikan sebagai Severe Thunderstorms. Air-mass Thunderstrom merupakan badai guntur yang paling

sering terjadi. Badai guntur ini memiliki masa hidup yang sangat terbatas, biasanya berlangsung selama kurang dari satu jam. meskipun menyiratkan bahwa badai ini mungkin menempati seluruh massa udara, air mass thunderstorms ini

hanya bersifat lokal (Aguado et. al 2004).

Pembentukan badai guntur terdiri dari tiga tahap yaitu, tahap kumulus, tahap mature (matang), dan tahap dispatif. Tahap pertama dalam pembentukan

badai guntur adalah ketika udara yang tidak stabil mulai naik, dengan konveksi lokal yang sering terjadi karena beberapa permukaan mengalami pemanasan lebih cepat daripada yang lain. Badai guntur sering terjadi di malam hari ketika udara lebih dingin, karena adanya proses pengangkatan lain yang dapat memicu peningkatan awan konvektif.

Tahap mature merupakan tahap yang paling kuat dalam pembentukan

badai guntur, karena pada tahap ini hujan, petir dan badai guntur terjadi sangat intens. Selama fase badai, terdapat transisi tiba-tiba antara tepi awan dan sekitar udara yang tak jenuh, karena semakin banyak awan yang menghasilkan hujan lebat, downdraft menempati porsi peningkatan dasar awan. Ketika downdraft

menempati seluruh dasar awan, pasokan uap air tambahan terputus dan badai masuk dalam tahap dispatif. curah hujan berkurang dan langit mulai cerah, serta tetesan air hujan yang tersisa menguap.(Aguado et. al 2004).

Severe thunderstorms merupakan badai guntur kuat yang dapat

mengakibatkan downdraft berat dan banjir bandang yang kuat, angin yang sangat

kencang, hujan es yang kuat, petir dengan frekuensi yang tinggi bahkan mengakibatkan tornado (Lutgents et. al 2004). Menurut Aguado et. al (2004) Severe thunderstorm memiliki kecepatan angin higga 93 km/ jam, hujan es yang

(18)

3

bumi mengalami kejadian badai guntur, akan tetapi wilayah dengn badai guntur terbanyak adalah wilayah Bogor yang terletak di provinsi Jawa barat Indonesia.

Rawinsonde Observation (RAOB)

RAOB merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis kondisi udara atas. Input yang digunakan RAOB adalah data dari radiosonde atau P-ballon. Radiosonde dapat mengetahui distribusi suhu, tekanan dan kelembaban secara vertikal sampai ketinggian 30 km (Asep 2012). Data yang dihasilkan oleh radiosonde merupakan unsur-unsur meteorologi untuk ketinggian yang berbeda-beda. Data radiosonde digunakan sebagai input software RAOB untuk menganalisis kondisi atmosfer dan mengetahui stabilitas atmosfer serta potensi pertumbuhan awan konvektif. RAOB akan menganalisis data radiosonde yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk diagram. Diagram yang dihasilkan merupakan Aerological diagram seperti skew-T, Emagram, atau Tephigram.

Parameter atmosfer dapat diidentifikasi menggunakan parameter yang di hasilkan oleh aplikasi RAOB. Parameter RAOB yang digunakan untuk menentukan ketinggian dasar awan adalah CCL (Convective Condensation Level), LCL (Lifting Condensation Level), dan LFC (Level Free Convection). Parameter CCL, LFC, dan LCL digunakan untuk menentukan keawanan di suatu wilayah. Akan tetapi menurut Davies (2004) nilai LCL dan LFC dapat mengindikasikan terjadinya badai pada ketinggian 832 mdpl dan 1361 mdpl. Parameter lain dalam program RAOB antara lain: PW (Precipitable Water), LI (Lifted Index), KI ( K-Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), SWEAT Index, dan lain-lain.

PW (Precipitable Water), LI (Lifted Index) dan CAPE (Convective Available Potential Energy) saling berkaitan yaitu ketika nilai PW dan CAPE meningkat maka akan diikuti oleh penurunan nilai LI. Ketiga parameter tersebut akan merepresentasikan pertumbuhan awan secara vertikal, sehingga ketiga parameter RAOB ini dapat digunakan untuk menganalisis kejadian badai guntur. PW (Precipitable Water) adalah jumlah kandungan massa uap air dalam kolom udara yang dapat turun sebagai hujan jika semua uap air tersebut mengembun. Menurut Syaifullah (1998) semakin tinggi nilai PW maka titik embun akan semakin tinggi sehingga uap air yang terbentuk akan berpotensi sebagai awan potensial. LI adalah parameter stabilitas yang digunakan untuk menentukan potensi badai.

Nilai LI didapatkan dari perbedaan suhu parsel udara yang bergerak naik secara adiabatik dengan suhu lingkungan pada tekanan 500 mb di atmosfer (AWS 1990). Nilai LI positif menunjukan atmosfer dalam kondisi stabil, tetapi jika bernilai negatif menunjukan atmosfer pada kondisi tidak stabil (terdapat gaya angkat yang dapat mendukung proses terjadinya hujan (Haby 2006). Selain itu menurut Kim dan Lee (2005) semakin negatif nilai LI hingga mencapai -6 akan menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas lebat.

(19)

nilai ini dapat digunakan sebagai parameter stabilitas atmosfer (AWS 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kim dan Lee (2005) nilai CAPE antara 1779 hingga 2521 akan menyebabkan terjadinya hujan dengan

intensitas sangat lebat.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2014 hingga Maret 2015 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Wilayah kajian penelitian adalah Landasan Udara Atang Sendjaja.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan berupa data, antara lain:

1. Data observasi udara atas tahun 2014 pukul 00 dan 12 UTC atau 07.00 WIB dan 19.00 WIB yang diambil dari http://ready.arl.noaa.gov/READYamet.php. 2. Data kondisi cuaca harian Landasan udara Atang Sendjaja terletak di antara

6.55° LS dan 106.7° BT.

Alat yang digunakan berupa seperangkat alat komputer dengan perangkat lunak RAOB (RAwinsonde Observation), Ms.Word, dan Ms. Excel.

Prosedur Penelitian

1. Pengumpulan Data

(20)

5 Gambar 1 Diagram alir penelitian

2. Analisis Data

Kecenderungan kejadian badai guntur dilihat dari presentase kejadian tiap interval nilai PW, LI dan CAPE. Presentase tersebut diperoleh dari banyaknya angka satu dari total kejadian dalam persen (%). Seluruh prediktor dibagi kedalam lima kelas (k). Range atau sebaran (R) data merupakan hasil dari pengurangan nilai parameter tertinggi dan terendah. Interval (I) tiap kelas ditentukan oleh persamaan:

I=R / k

……….. (1)

Keterangan : I : Interval

R : Range atau sebaran k : Banyaknya kelas

Menentukan kecenderugan Indeks

PW, LI, dan CAPE

mulai

Data Sounding pukul 00

UTC dan 12 UTC Data Kondisi Cuaca

Khusus Lanud Atang Sendjaja Menentukan nilai PW, LI dan

CAPE dengan RAOB

Menabulasi data dengan Ms.Excel

Menentukan Nilai Ambang Batas Menentukan

Fluktuasi Badai Guntur

Menginterpretasikan hasil pengolahan

(21)

Parameter PW, LI dan CAPE data kondisi cuaca Landasan Udara Atang Sendjaja juga dibuat presentase kejadian tiap interval. Selanjutnya kemampuan PW dan LI sebagai prediktor dilihat dengan metode TSS (True Skill Statistic) sehingga diperoleh suatu nilai ambang batas atau threshold terbaik. Nilai TSS merupakan presentase dari jumlah kejadian badai guntur yang terprediksi dikurangi jumlah bukan kejadian badai guntur yang tidak terprediksi (Haklander dan Delden 2003). Peningkatan PW meningkatakan potensi terbentuknya awan kumulonimbus sedangkan penurunan nilai LI meningkatkan ketidakstabilan sehingga badai guntur diprediksi terjadi saat lebih besar atau sama dengan nilai ambang batas PW dan lebih kecil atau sama dengan nilai ambang batas LI. Penentuan nilai TSS tertinggi didasarkan pada kriteria antara prediksi dan observasi (Tabel 1) dengann persamaan TSS matematis sebagai berikut :

TSS = (h / (h + s)) – (f / (f + q))

……….. (2) Keterangan :

TSS : Ambang batas prediktor

h (hits) : prediksi kejadian badai guntur sesuai dengan observasi s (surprises) : prediksi bukan kejadian badai guntur tidak sesuai dengan

observasi

f (false alarm) : prediksi kejadian badai guntur tidak sesuai dengan observasi

q (quiescent cases) : prediksi bukan kejadian badai guntur sesuai dengan observasi

Setiap prediktor dilakukan akurasi untuk merepresentasikan seberapa besar jumlah prakiraan yang sesuai secara keseluruhan. Akurasi tiap prediktor ditentukan dengan menggunakan persamaan matematis berikut ini:

Akurasi (%) = JOS / Total * 100%

………..(3)

Keterangan :

(22)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Badai guntur adalah salah satu fenomena cuaca berupa kilat dan guntur disertai hujan serta angin kencang yang terjadi akibat aktifitas awan konvektif yaitu awan kumulunimbos (Cb). Awan ini terbentuk karena adanya massa udara naik dan mengalami proses kondensasi. Awan Cb sangat menganggu aktivitas penerbangan baik selama take off, penerbangan dan landing termasuk aktivitas penerbangan pada Landasan Udara Atang Sendjaja. Badai guntur merupakan fenomena cuaca kategori khusus pada Landasan Udara Atang Sendjaja. Sehingga pengamatan badai guntur dilakukan setiap hari untuk meminimalkan adanya kecelakaan pesawat.

Fluktuasi Kejadian Badai Guntur Variasi Bulanan

Puncak kejadian badai guntur wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja terjadi pada bulan april 2014 yang merupakan puncak musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau dengan 25 kejadian badai guntur selama bulan april. Sedangkan yang paling sedikit kejadian badai guntur pada bulan september yang merupakan awal musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan dengan 4 kejadian (Gambar 2).

Gambar 2 Fluktuasi badai guntur tiap bulan

Kejadian badai guntur lebih banyak pada musim peralihan musim hujan ke kemarau atau selama periode MAM karena pada musim peralihan stabilitas atmosfer cenderung tidak stabil. Selain itu, pada wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja faktor orografis lebih mendominasi sehingga mengakibatkan banyak terbentuk awan konvektif. Selama periode JJA kejadian badai guntur lebih sedikit daripada periode DJF, MAM, dan SON karena kandungan uap air selama periode JJA lebih rendah daripada periode lainnya.

Menurut Pinto et al. (2006) adanya fenomena fisis seperti ITCZ mendukung potensi badai guntur. ITCZ merupakan wilayah pertemuan udara permukaan dari belahan bumi utara (BBU) dan selatan (BBS) yang terbentuk di atas wilayah Indonesia pada bulan Januari. Peningkatan suhu permukaan laut sekitar ITCZ menambah kandungan uap air di atmosfer. Sistem tekanan rendah yang terbentuk di wilayah ini dan ketersediaan uap air mendukung pembentukan awan kumulonimbus.

(23)

Fluktuasi Parameter Precipitable Water, Lifted Index dan Convective Available Potential Energy Tiap Musim

Precipitable Water (PW)

Badai guntur dalam proses pembentukannya memerlukan kandungan uap air yang cukup besar. Precipitable water (PW) merupakan parameter yang merepresentasikan jumah kandungan uap air dalam kolom udara yang mengalami kondensasi menjadi awan dan dapat turun sebagai presipitasi.

Pada penelitian Haby (2006) menunjukan semakin tinggi nilai PW berarti titik embun akan semakin tinggi sehingga uap air yang terbentuk akan berpotensi menjadi awan potensial yang ditunjukan pada Tabel 1. Penelitian Kim dan Lee (2005) menunjukan bahwa nilai PW antara 51.9 mm – 56.9 mm mengindikasikan akan terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat sedangkan penelitian Rohmawati (2009) menunjukkan nilai PW berkisar 49.9 mm – 69.5 mm dapat terjadi pada kejadian banjir.

Tabel 1 Skala kandungan embun berdasarkan nilai PW (Haby 2006)

PW (mm) Kandungan Embun

< 12.7 Sangat Rendah

12.7-31.8 Rendah

31.8-45.0 Sedang

45.0-50.8 Tinggi

>50.8 Sangat Tinggi

Nilai parameter Precipitable Water (PW) dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah pergantian musim. Pergantian musim mengakibatkan nilai parameter berfluktuatif sepanjang tahun 2014. Selain itu, parameter PW bisa berubah nilainya dalam satu hari, terlihat dari adanya perbedaan nilai parameter PW pada 00 UTC dan 12 UTC. Nilai parameter PW pada 00 dan 12 UTC tidak memiliki perbedaan nilai yang terlalu besar.

(24)

9

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3 Fluktuasi parameter Precipitable Water (PW) pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA (d) SON

(25)

Kondisi kandungan embun yang rendah meminimalkan pengangkatan massa udara ke atmosfer. Pada musim peralihan hujan-kemarau (MAM) nilai parameter precipitable water mengalami peningkatan hingga akhir musim peralihan (Gambar 3 (b)). Kandungan embun berada pada selang 12.7 hingga 31.8 mm pada awal periode MAM yang selanjutnya nilai PW terus meningkat hingga akhir periode MAM. Hal ini menunjukan semakin menuju ke akhir musim peralihan hingga awal musim kemarau semakin banyak terjadi pengangkatan massa udara. Pada periode MAM parameter precipitable water untuk 00 dan 12 UTC memiliki nilai relatif tidak memiliki perbedaan yang besar, namun nilai parameter dominan lebih besar pada 12 UTC untuk periode MAM.

Nilai parameter PW pada musim kemarau (JJA) relatif konstan dibandingkan musim lainnya. Pada periode JJA parameter precipitable water untuk 00 dan 12 UTC sama seperti periode lainnya nilai parameter tidak memiliki perbedaan yang sangat besar, namun pada saat 12 UTC nilai parameter PW lebih besar dibandingkan dengan 00 UTC (Gambar 3 (c)). Pada periode ini nilai parameter tidak mengalami perubahan nilai yang relatif besar. Selama musim kemarau nilai parameter terus berada di antara 45 dan 50.8 mm yang menunjukan kandungan embun pada periode JJA yang tinggi dan mengindikasikan banyak awan konvektif yang menghasilkan hujan dengan intensitas lebat. Parameter precipitable water (PW) periode SON memiliki karakteristik hampir sama dengan periode MAM yaitu semakin menuju ke akhir periode nilai parameter PW terus meningkat hingga akhir periode. Pada periode SON peningkatan nilai parameter tidak terlalu besar seperti yang terjadi pada periode MAM. Kandungan embun pada periode SON berada pada selang tinggi (45-50.8 mm) sehingga banyak awan konvektif yang terbentuk pada periode ini (Gambar 3 (d)).

Lifted Index (LI)

LI adalah parameter stabilitas yang digunakan untuk menentukan potensi badai. Nilai parameter LI positif menunjukkan atmosfer berada dalam kondisi stabil, tetapi jika bernilai negatif, menunjukkan atmosfer pada kondisi tidak stabil (terdapat gaya angkat ke atas) yang dapat mendukung proses terjadinya hujan (Tabel 2).

Haklander & Delden (2003) Kondisi udara tidak stabil ditunjukkan dari nilai LI yang bernilai negatif tetapi tidak semua badai guntur terjadi saat nilai LI negatif untuk kejadian hujan ringan memiliki nilai LI sangat rendah mencapai -6 yang menunjukkan kondisi atmosfer sangat tidak stabil. Parameter LI di hitung menggunakan persamaan matematis sebagai berikut.

LI =

T

500 –

T

P500……… (4) Keterangan :

(26)

11 Tabel 2 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI (Haby 2006)

Nilai LI Stabilitas atmosfer

LI > 6 Kondisi sangat stabil

1 - 6 Kondisi stabil

0 – (-2) Agak tidak stabil, terjadi mekanisme pengangkatan (-2) – (-6) Tidak stabil, Thunderstorm sangat mungkin

LI < -6 Sangat tidak stabil, thunderstorm diikuti dengan mekanisme pengangkatan

Stabilitas atmosfer wilayah Atang Sendjaja memiliki karakteristik berbeda-beda pada tiap periode. Nilai parameter LI sangat berfluktuatif pada periode DJF (Gambar 4 (a)). Pada awal musim nilai parameter LI berada pada selang agak tidak stabil yaitu antara 0 hingga -2 yang menunjukan adanya pengangkatan massa udara. Memasuki pertengahan bulan januari parameter LI meningkat pada kondisi stabil, kondisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya hujan Pada periode DJF nilai parameter LI jauh lebih besar pada 12 UTC, meskipun pada 00 dan 12 UTC nilai LI cenderung tidak memiliki perbedaan yang besar. Memasuki musim peralihan hujan-kemarau (MAM) nilai parameter LI semakin kecil hingga -6 yang menunjukan kondisi stabilitas atmosfer hingga akhir musim semakin tidak stabil yang mengindikasikan banyak awan konvektif yang menghasilkan badai guntur terbentuk. Pada periode MAM nilai parameter LI lebih besar pada 12 UTC dibandingkan dengan 00 UTC. Hal tersebut menunjukan pada 00 UTC kondisi atmosfer lebih tidak stabil(Gambar 4 (b)).

(27)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4 Fluktuasi parameter Lifted Index LI pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA (d) SON

-8 -3 2

01-Dec-13 01-Jan-14 01-Feb-14

LI

Tanggal

00 UTC 12 UTC

-8 -3 2

01-Mar-14 01-Apr-14 01-May-14

LI

Tanggal

00 UTC 12 UTC

-8 -3 2

01-Jun-14 01-Jul-14 01-Aug-14

LI

Tanggal

00 UTC 12 UTC

-8 -3 2

01-Sep-14 01-Oct-14 01-Nov-14

LI

Tanggal

(28)

13

Convective Available Potential Energy (CAPE)

Convective Available Potential Energy (CAPE) merupakan parameter yang menunjukan jumlah energi yang dimiliki oleh parsel udara yang diangkat secara vertikal pada atmosfer. Konveksi semakin kuat jika terjadi peningkatan nilai parameter CAPE (Tabel 2). Kim dan Lee (2005) menyatakan nilai CAPE berkisar antara 1779 J/kg – 2521 J/kg menyebabkan hujan lebat. Penelitian lain menunjukan semakin tinggi nilai CAPE Total maka awan yang terbentuk akan memiliki ukuran yang tinggi karena pergerakan massa udara ke atas akan semakin cepat dan pembentukan butiran air akan cepat terbentuk sehingga proses kondensasi akan sangat cepat terjadi.

Tabel 3 Ketidakstabilan atmosfer berdasarkan nilai CAPE (Ferdiansyah 2012) Nilai CAPE

(J/kg) Ketidakstabilan Atmosfer

< 1000 Lemah

1000 - 2500 Sedang

>2500 Kuat

Nilai parameter CAPE untuk wilayah Atang Sendjaja tiap musim memiliki variasi berbeda-beda dan berfluktuatif. Pada awal periode DJF nilai CAPE berkisar antara 1000 hingga 2500 J/kg yang menunjukan ketidakstabilan atmosfer sedang. Pada selang ini memungkinkan terjadi hujan lebat di sertai badai guntur dengan kekuatan yang tidak terlalu kuat (air-mass thunderstrom), akan tetapi semakin menuju ke puncak periode nilai parameter menurun hingga mencapai nilai 0 pada pertengahan Januari hingga awal Februari. Hal ini menunjukan Pada periode ini nilai parameter lebih besar pada 00 UTC dibandingkan dengan 12 UTC (Gambar 5 (a)). Memasuki musim peralihan periode MAM nilai parameter CAPE semakin meningkat hingga akhir periode yang menunjukan kondisi stabilitas atmosfer semakin tidak stabil yang memungkinkan banyak awan konvektif yang menghasilkan badai guntur terbentuk. Pada periode MAM nilai parameter CAPE lebih besar pada 00 UTC dibandingkan dengan 12 UTCyang mengindikasikan pada 00 UTC kondisi atmosfer tidak stabil (Gambar 5 (b)).

(29)

(a) (b)

(c) (d)

(30)

Ketiga parameter Precipitable Water, Lifted Index dan Convective Available Potential Energy memiliki pola yang sama. Nilai parameter PW, LI, dan CAPE menunjukan periode JJA dan SON memiliki potensi terjadinya kejadian badai guntur dibandingkan periode DJF dan MAM yang merupakan musim hujan terlihat dari selang dan rata-rata tiap parameter pada 00 UTC dan 12 UTC. Hasil RAOB berbeda dengan data observasi cuaca seperti suhu, curah hujan, kelembaban, serta kecepatan angin yang menunjukan pada periode DJF serta MAM mengalami pengangkatan massa udara paling banyak.

Gambar 6 Distribusi suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja tahun 2014

Pada pertengahan bulan Januari hingga pertengahan bulan Februari 2014 seluruh parameter menunjukan pada rentang waktu tersebut tidak terindikasi pembentukan badai guntur, akan tetapi pada rentang waktu tersebut suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja mengalami penurunan nilai sangat drastis dibandingkan dengan rentang waktu lainnya.

(31)

16 16

Data observasi curah hujan untuk pertengahan bulan Januari hingga pertengahan bulan Februari 2014 menunjukan terjadi hujan hampir setiap hari,untuk rentang waktu tersebut sedangkan untuk periode JJA yang diindikasikan mengalami badai guntur terbanyak terlihat hujan terjadi lebih sedikit dibandingkan periode DJF walaupun pada periode tersebut terjadi beberapa hujan dengan intensitas tinggi

Gambar 8 Distribusi kelembaban relatif rata-rata wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja tahun 2014

Pada wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja menunjukan periode DJF mengalami kelembaban relatif (RH) rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan periode lainnya hingga memasuki awal periode MAM. Selain itu juga didukung dengan kecepatan angin yang tinggi pada rentang waktu tersebut (5 hingga 10 knot) dibandingkan dengan periode lainnya terutama periode JJA hingga awal memasuki periode SON, pada periode tersebut nilai RH semakin kecil yang diikuti oleh nilai kecepatan angin yang kecil yaitu berkisar antara 3 hingga 4 knot.

Gambar 9 Distribusi kecepatan angin rata-rata wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja tahun 2014

Data observasi cuaca seperti suhu, curah hujan, kelembaban relatif rata-rata serta kecepatan angin rata-rata menunjukan ketepatan parameter Precipitable Water, Lifted Index dan Convective Available Potential Energy menurun untuk menganalisis potensi badai guntur ketika terjadi hujan terus

(32)

17 17 menerus dan ketika memasuki musim kering pada wilayah Atang Sendjaja tahun 2014.

Tabel 4 Distribusi nilai precipitable water (PW), lifted index (LI) dan Convective Available Potential Energy (CAPE) tiap 3 bulan pada 00 UTC Periode

00 UTC

PW (mm) LI CAPE (J/kg)

SELANG RERATA SELANG RERATA SELANG RERATA DJF 21 - 67.3 46.7 (-4.2) - 4.1 -1.1 0-2008 584.5 MAM 21.9-62.7 47.5 (-6.7) - 1.3 -3.7 0-3333 1437.9 JJA 41.3-64.1 57.0 (-7.2)-(-2.4) -5.4 826-3601 2375.3 SON 44.4-64.3 56.3 (-6.3) - (-2) -4.3 710-2682 1741.0

Tabel 5 Distribusi nilai precipitable water (PW), lifted index (LI) dan Convective Available Potential Energy (CAPE) tiap 3 bulan pada 00 UTC Periode

12 UTC

PW (mm) LI CAPE (J/kg)

SELANG RERATA SELANG RERATA SELANG RERATA DJF 22.7-65.4 46.2 (-4.2) - 4.3 -0.9 0-2011 497.0 MAM 22.8-66.7 47.2 (-6.4) - 0.7 -3.0 0-3486 1356.8 JJA 43.5-64.6 56.5 (-6.8)-(-2.3) -4.9 885-3428 2261.4 SON 43.8-65.4 56.2 (-5.8)-(-1.3) -4.0 600-2800 1698.1

Pada periode JJA ketiga parameter menunjukan pada periode ini memungkinkan terjadinya badai guntur dibandingkan periode lainnya, akan tetapi rendahnya jumlah kejadian badai guntur pada periode JJA menunjukan pada musim kemarau keadaan atmosfer cenderung stabil. Hal ini juga merepresentasikan bahwa nilai parameter PW, LI ataupun CAPE memiliki error atau tidak sesuai dengan observasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja berpotensi terjadi badai guntur lebih banyak terbentuk pada waktu awal memasuki musim kemarau hingga puncak peralihan musim kemarau ke musim hujan, yaitu pengaruh lokal (orografis) dan terjadi fenomena cuaca ekstrim seperti ENSO.

Tabel 6 Nilai PW, LI dan CAPE dengan TSS tertinggi tiap periode

Periode 00 UTC 12 UTC

(33)

18 18

untuk periode DJF, MAM, JJA dan SON berturut-turut adalah 38.2, 50.3, 53.3 dan 54.2 mm, untuk nilai LI berturut-turut yaitu -0.1, -1.9, -3.2, -3.3 sedangkan nilai CAPE berturut-turut adalah 1241, 1771, 1833, 1804 J/kg.

Akurasi Parameter Lifted Index Dibandingkan dengan parameter Precipitable Water dan Convective Available Potential Energy serta

Kecenderungannya Tiap Selang

Akurasi Parameter Lifted Index Dibandingkan dengan parameter Precipitable Water dan Convective Available Potential Energy

Tabel 7 Perhitungan parameter Precipitable Water, Lifted Index, dan Convective Available Potential Energy berdasarkan tiga kondisi residance time.

Akurasi ketiga parameter paling baik secara keseluruhan untuk menganalisis potensi kejadian badai guntur adalah ketika mengalami residance time satu hari, akan tetapi nilai parameter paling baik untuk 00 UTC seluruh parameter adalah ketika mengalami residance time 2 hari, sedangkan untuk 12 UTC pada saat residance time 1 hari. Parameter yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah parameter PW. LI merupakan parameter yang paling meningkat jika residance time ditambahkan satu hari bahkan parameter LI mengalami peningkatan bila ditambahkan jumlah residance time menjadi dua hari. Proses pembentukan awan memerlukan uap air yang cukup besar, dalam proses pembentukannya uap air hanya mengalami residance time dalam waktu beberapa jam saja hal tersebut mempengaruhi residance time awan kumulunimbus (Emanuel 1994).

Tabel 8 Akurasi parameter LI (%) dibandikan parameter PW daan CAPE sebagai prediktor Badai guntur

Parameter JOS 00 UTC Akurasi (%) JOS Akurasi (%) 12 UTC

PW 182 50 182 49

LI 185 51 185 51

(34)

19 19 Dalam menentukan parameter mana yang paling baik sebagai prediktor maka harus ditentukan ketepatannya dengan cara membagi JOS dengan jumlah seluruh data observasi di mana JOS merupakan jumlah nilai prediksi yang sesuai dengan nilai observasi. Berdasarkan nilai JOS frekuensi dan peluang kejadian badai guntur cenderung meningkat jika terjadi penurunan nilai LI. Nilai LI yang negatif menunjukkan kondisi udara tidak stabil, walaupun terdapat beberapa kejadian badai guntur yang terjadi saat LI bernilai positif dengan akurasi masing-masing sebesar 51%untuk 00 UTC dan 51% untuk 12 UTC, sehingga parameter ini dikategorikan cukup mampu menjadi prediktor badai guntur wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja.

Tabel 9 Hasil Perbandingan Berbagai Penelitian

Sumber Pustaka 00 UTC Parameter 12 UTC

Setiap wilayah memiliki akurasi parameter berbeda-beda, untuk wilayah Bogor dan Jakarta akurasi parameter juga berbeda walaupun pada satu negara. Parameter yang paling baik sebagai prediktor untuk wilayah Bogor kawasan Landasan Udara Atang Sendjaja adalah LI, sedangkan pada penelitian Puspasari (2014) untuk wilayah Jakarta Kawasan Bandara Halim Perdanakusuma parameter yang paling baik adalah PW. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi akurasi parameter di antaranya faktor kondisi wilayah (orografis) dan fenomena cuaca ekstrim. Penelitian Manurung (2012) untuk wilayah DKI Jakarta untuk prediksi cuaca jangka pendek parameter yang paling baik merupakan parameter SI.

(35)

20 20

Kecenderungan Parameter PW, LI, dan CAPE Tiap Selang

(a)

(b)

Gambar 10 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai precipitable water (PW) tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b)

Jumlah kejadian badai guntur relatif mengalami peningkatan diikuti dengan meningkatnya parameter precipitablewater (PW). Pada tahun 2014 nilai precipitable water wilayah Atang Sendjaja berada pada kisaran 21-67.3 mm dan 22.7-66.7 mm untuk 00 UTC dan 12 UTC. Kejadian badai guntur pada tiap selang pertama dari kedua waktu pengamatan PW sangat kecil, yaitu 21–30.3 mm terjadi 23 kejadian dan 22.7-31.5 mm terjadi 28 kejadian badai guntur. Kemunculan nilai PW paling banyak berada pada selang antara 49.2 mm dan 58.5 mm terjadi sebanyak 155 hari dalam satu tahun pada 00 UTC dan pada selang antara 49.4-58.2 mm terjadi kemunculan sebanyak 151 pada 12 UTC, tetapi kondisi tersebut tidak diikuti dengan kejadian badai guntur (Gambar 10). Awan kumulunimbus setelah menghasilkan badai gutur tidak langsung hilang tetapi akan bertahan beberapa saat hingga akhirnya menghilang. Hal tersebut mengakibatkan besarnya nilai PW walaupun tidak terjadi badai guntur.

(36)

21 21

(a)

(b)

Gambar 11 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai lifted index (LI) tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b)

(37)

22 22

(a)

(b)

Gambar 12 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai convective available potential energy (CAPE) tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12

UTC (b)

Kondisi udara tidak stabil ditunjukkan dari nilai convective available potential energy CAPE yang bernilai besar tetapi tidak semua badai guntur terjadi saat nilai CAPE besar. Rentang nilai CAPE pada 00 UTC adalah 0 dan 3601 J/kg sedangkan pada 12 UTC berkisar antara 0 dan 3486 J/kg.Badai guntur paling banyak berdasarkan nilai CAPE pada 00 UTC adalah 1440.6 dan 2160.8 J/kg sedangkan pada 12 UTC berkisar antara 1394.6 dan 2091.8 J/kg. Badai guntur tergolong banyak ketika nilai CAPE nol pada kedua waktu, hal ini bisa dikarenaan adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti orografis dan adanya fenomena cuaca/iklim ekstrim. Selain itu nilai CAPE yang menunjukan adanya badai guntur bisa mengalami error karena mendeteksi awan konvektif lain selain badai guntur.

(38)

23 23

SIMPULAN

Simpulan

Kejadian badai guntur meningkat memasuki musim peralihan hujan-kemarau (MAM) dengan kejadian badai guntur terbanyak pada puncak musim peralihan yaitu bulan april. Berdasarkan ketiga parameter periode JJA paling banyak terjadi badai guntur, karena pada periode tingginya rata-rata nilai PW dan CAPE serta rendahnya nilai LI. Fluktuasi musiman kejadian badai guntur lebih dipengaruhi oleh parameter LI dibandingkan dengan parameter PW dan CAPE. Peluang kejadian badai guntur relatif terjadi peningkatan ketika penurunan nilai LI. Nilai LI yang negatif menunjukkan kondisi udara tidak stabil, walau terdapat beberapa kejadian badai guntur yang terjadi saat LI bernilai positif. Adanya residance time mempengaruhi akurasi seluruh nilai parameter nilai paramter paling baik untuk 00 UTC adalah ketika mengalami residance time 2 hari, sedangkan untuk 12 UTC pada saat residance time 1 hari. Secara keseluruhan ketika mengalami residance time 1 hari akurasi parameter dianggap paling baik dengan akurasi masing-masing sebesar 51% dan 51%. Selain itu, setiap wilayah memiliki akurasi parameter berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

[AWS] Air Weather Service. 1990. The skew T, log P diagram in analysis and forecasting. Scott Air Force Base: Air Weather Service Technical Report http://www-das.uwyo.edu/~geerts/atsc3032/skewT . [9 november 2014]

Aguado Edward, James E. Burt. 2004. Understanding Weather and Climate. Edisi ke-4. New Jersey : Pearson.

Asep F. 2012. Potensi Parameter Keluaran RAOB (Rawinsonde Observation Programs) sebagai Indikator Kunci dalam Analisis Curah Hujan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Duhah syamsyu, Andrius, Rahmad Tauladani. Metode SWEAT untuk Perkiraan Kejadian Badai Guntur. Di dalam : Penggunaan Metode SWEAT Untuk Perkiraan Kejadian Badai Guntur di Atas Kota Pekanbaru Pada Bulan Oktober hingga November Tahun 2009; 1 Oktober 2010; Pekanbaru. hlm 4. [No abstrak tidak diketahui]

Emanuel, Kerry. 1994. Atmospheric Convection. New York : Oxford University Press

Haby J. 2006. Skew-T. [terhubung berkala] http://www. theweatherprediction.com /habyhints/ [9 November 2014].

Haklander AJ, A Van Delden. 2003. Thunderstorm predictor and ther skil for Netherland. Atmosphere Research 67-68:273-299.

(39)

24 24

Lutgens Federick K., Edward J. Tarbuck. 2004. The Atmosphere. Edisi ke-9. New Jersey : Pearson.

Manurung, Martha R. 2012. Prediktabilitas cuaca jangka pendek ditinjau dari parameter stabilitas di Jakarta. JTM (19)3 : 138-149

Mayangwulan D, Joko W, Plato MS. 2011. Potensi kejadian badai guntur berdasarkan parameter kelembaban, stabilitas udara, dan mekanisme pengangkatan (studi kasus : Bandar udara Frans Kaisiepo Biak). Jurnal Sains Dirgantara (8)2 : 139-156

Pinto O Jr., IRCA Pinto, KP Naccarato. 2006. Maximum cloud-to-ground lightning flash densities observed by lightning location systems in the tropical region: a review. Atmospheric Research

84:189-200.doi:10.1016/j.atmosres.2006.11.007.

Puspasari, Margareta. 2014. Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer Sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Rohmawati FY. 2009. Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir Menggunakan Data Rawinsonde (Studi Kasus: Kabupaten Bojonegoro). [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor

Syaifullah D. 1998. Hubungan antara parameter-parameter data rawinsonde dengan peluang pertumbuhan awan dan hujan. Jurnal IPTEK Iklim dan Cuaca 2: 37- 41.

(40)

25 25

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Diagram alir penelitian
Gambar 3  Fluktuasi parameter Precipitable Water (PW) pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA (d)  SON
Gambar 4  Fluktuasi parameter  Lifted Index LI pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA (d)  SON
Gambar 5  Fluktuasi parameter Convective Available Potential Energy (CAPE) pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA
+7

Referensi

Dokumen terkait