• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan uap air dan stabilitas atmosfer sebagai prediktor kejadian badai guntur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan uap air dan stabilitas atmosfer sebagai prediktor kejadian badai guntur"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN UAP AIR DAN STABILITAS ATMOSFER

SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN BADAI GUNTUR

MARGARETTA PUSPASARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Margaretta Puspasari

(4)

ABSTRAK

MARGARETTA PUSPASARI. Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur. Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY.

Parameter atmosfer digunakan untuk memprediksi kejadian badai guntur sehingga risiko yang ditimbulkan terutama pada bidang transportasi udara dapat diminimalisir. Tujuan penelitian ini adalah mengamati fluktuasi dan kecenderungan kejadian badai guntur berdasarkan kandungan uap air dan stabilitas atmosfer. Kedua prediktor masing-masing diwakili oleh precipitable water (PW) dan lifted index (LI) pada 00 dan 12 Universal Time Coordinated

(UTC). Hubungan prediktor dan kejadian badai guntur dianalisis dengan regresi logistik. Badai guntur tahun 2005 sampai 2008 jarang terjadi pada malam hari (pukul 19.00–03.00 Local Time (LT)), 37 hari dan bulan Juni sampai Agustus (JJA), 64 hari. Nilai PW dan LI terbaik berdasarkan perhitungan True Skill Statistic (TSS) untuk badai guntur periode JJA adalah 45.4 mm dan -1.7 (00 UTC), 53.4 mm dan -2.9 (12 UTC). Badai guntur cenderung meningkat saat PW meningkat dan LI menurun. Model logit yang dibangun oleh PW dan LI dapat memprediksi kejadian badai guntur pada pagi dan malam hari dengan akurasi masing-masing sebesar 60% dan 57%. Badai guntur disebabkan oleh beberapa parameter sehingga kurang dapat dijelaskan hanya dengan satu parameter.

Kata kunci: badai guntur, lifted index, precipitable water, regresi logistik, stabilitas atmosfer

ABSTRACT

MARGARETTA PUSPASARI. Water Vapor Content and Atmospheric Stability as Thunderstorm Predictors. Supervised by SOBRI EFFENDY.

Atmospheric parameters are used to predict thunderstorm so its risk especially for air transportation can be minimized. The aim of this study is observing fluctuation and tendency of thunderstorm case by considering water vapor content and atmospheric stability. The both predictors were estimated respectively by precipitable water (PW) and lifted index (LI) value at 00 and 12

Universal Time Coordinated (UTC). The relationship between predictors and thunderstorm event was analyzed by logistic regression. Thunderstorm event from 2005 to 2008 rarely happened at night (19.00–03.00 Local Time (LT)), 37 days and at June to August (JJA), 64 days. The best value of PW and LI with True Skill Statistic (TSS) calculation for thunderstorm event at JJA are 45.4 mm and -1.7 (00 UTC), 53.4 mm and -2.9 (12 UTC). Thunderstorm activity nominally increased with increasing PW and decreasing LI. The logit models with PW and LI as predictors could predict thunderstorm event at morning and night with 60% and 57% of accuracy respectively. Thunderstorm probability is influenced by several parameters therefore explanation by one parameter was poor.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

KANDUNGAN UAP AIR DAN STABILITAS ATMOSFER

SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN BADAI GUNTUR

MARGARETTA PUSPASARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur

Nama : Margaretta Puspasari NIM : G24100018

Disetujui oleh

Dr Ir Sobri Effendy, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sobri Effendy selaku pembimbing yang telah memberi kritik dan saran sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan serta Bapak Dedi yang telah membantu dalam perolehan data cuaca bandara. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf departemen GFM. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman GFM 47 terutama teman “sepermainan” yang terus memberi dukungan dan semangat serta berbagi pengetahuan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mama, adik, dan kakak serta seluruh kerabat keluarga atas segala dukungan, kasih sayang, dan doa.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Badai Guntur 2

Stabilitas Atmosfer 2

Lifted Index (LI) 3

Precipitable Water (PW) 3

METODE

Bahan dan Alat 4

Prosedur Penelitian

Pengumpulan Data 4

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fluktuasi Kejadian Badai Guntur 6

Variasi Harian 6

Variasi Triwulan 7

Kecenderungan Potensi Badai Guntur

Badai Guntur terhadap Precipitable Water 9

Badai Guntur terhadap Lifted Index 10

Precipitable Water dan Lifted Index sebagai Prediktor 11

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 13

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 15

(10)

DAFTAR TABEL

1 Tabel kontingensi 2 x 2 5

2 Distribusi nilai precipitable water (PW) dan lifted index (LI) tiap 3

bulan 8

3 Nilai PWdan LIdengan TSS tertinggi tiap periode 8 4 Signifikansi model logit selang 3, 6, dan 9 jam (WIB) 11 5 Nagelkerke R2 pada model prediksi dari tiap selang waktu (WIB) 13

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 6

2 Jumlah kejadian badai guntur tiap jam tahun 2005–2008 7

3 Akumulasi badai guntur per jam tiap 3 bulan 7

4 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 07.00–15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang

precipitable water (mm) pukul 00 UTC periode 2005–2008 9

5 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 19.00–03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang

precipitable water (mm) pukul 12 UTC periode 2005–2008 9

6 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 07.00-15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang lifted

index pukul 00 UTC periode 2005–2008 10

7 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 19.00-03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang lifted

index pukul 12 UTC periode 2005–2008 10

8 Peluang kejadian model prediksi pukul 13.00–15.00 (a), pukul 01.00– 03.00 WIB (b), pukul 07.00–15.00 (c), dan pukul 19.00–03.00 WIB (d) 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis regresi logistik 15

2 Kurva penentu cut value untuk peluang model pukul 13.00–15.00 WIB (a), 07.00–15.00 WIB (b), 01.00–03.00 WIB (c), dan 19.00–03.00 WIB

(d) 16

3 Akurasi model prediksi (model logit) 17

4 Contoh tampilan RAOB untuk profil vertikal suhu udara saat terjadi

badai guntur pukul 10.00 WIB tanggal 11 Maret 17

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Badai guntur terjadi hampir di seluruh daerah di muka Bumi. Daerah beriklim sedang (temperate region) mengalami badai guntur yang cukup tinggi terutama saat musim semi dan musim panas sedangkan daerah kutub jarang mengalami badai guntur (Rafferty 2011). Daerah tropis dengan kondisi udara yang hangat dan lembab berpotensi mengalami badai guntur. Badai guntur terjadi di sepanjang Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) karena karakter udara di wilayah ini lembab dan tidak stabil. Sistem tekanan rendah yang terbentuk di ITCZ (5–23 °LU / LS) mendukung pertumbuhan awan kumulonimbus.

Badai guntur terjadi pada awan kumulonimbus sebagai penghasil kilat/petir. Peristiwa petir sering terjadi di daerah tropis. Berdasarkan penelitian dengan jaringan pendeteksi petir, densitas petir cloud to ground di daerah tropis (23.5 °LU–23.5 °LS) lebih banyak daripada daerah beriklim sedang (Pinto et al. 2006). Pulau Jawa bagian barat memiliki aktivitas petir tertinggi selama Desember 1994 sampai November 1995 daripada Jawa bagian timur (Hidayat dan Ishii 1998) dengan keragaman musiman tertinggi pada bulan November sampai April (musim hujan). Aktivitas petir tertinggi, dipantau melalui satelit, dari tahun 1998 sampai 2007 terjadi di atas Danau Maracaibo, Venezuela (Albrecht et al. 2009).

Badai guntur yaitu kejadian kilat, guntur, hujan lebat, dan angin kencang dapat membahayakan kegiatan penerbangan. Pergolakan udara serta perubahan arah dan kecepatan angin secara tiba-tiba (wind shear) yang terjadi selama badai guntur berlangsung dapat mempengaruhi pergerakan pesawat. Sambaran kilat pada badan pesawat merusak sistem navigasi dan mesin pesawat. Hujan lebat yang turun mengurangi jarak pandang pilot selama proses penerbangan. Setiap gangguan dan kerusakan akibat aktivitas badai guntur yang mungkin terjadi selama kegiatan penerbangan berlangsung akan mengancam keselamatan para penumpang dan awak pesawat.

Potensi kejadian badai guntur dapat diprediksi melalui indeks stabilitas yang diperoleh berdasarkan pengamatan rawinsonde. Distribusi vertikal dari suhu, tekanan, kelembaban, dan angin digunakan untuk menghitung indeks stabilitas seperti lifted index (LI), k-index (KI), dan severe weather threat index (SWEAT). Haklander dan Delden (2003) menganalisis 32 indeks dari pengamatan rawinsonde dan memperoleh hasil bahwa setiap indeks memiliki tingkat akurasi berbeda dalam meramalkan kejadian badai guntur di Belanda. Penggunaan nilai tiap indeks stabilitas juga tidak dapat disamakan untuk setiap daerah. Kriteria interval nilai KI, SWEAT, dan total-totals index (TT) yang digunakan untuk wilayah lintang tinggi tidak cocok untuk prakiraan di Stasiun Meteorologi Cengkareng (Budiarti et al. 2012).

(12)

tersebut dalam meramalkan kejadian badai guntur merupakan langkah awal antisipasi untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi terutama untuk sektor transportasi udara. Hasil penelitian yang dilakukan ini dapat meningkatkan kemampuan prakirawan dalam memprediksi kejadian badai guntur melalui penggunaan parameter atmosfer yang tepat pada suatu wilayah kajian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengamati fluktuasi dan kecenderungan kejadian badai guntur berdasarkan parameter kandungan uap air dan stabilitas atmosfer.

TINJAUAN PUSTAKA

Badai Guntur

Badai guntur identik dengan pembentukan awan kumulonimbus yang menghasilkan kilat dan guntur. Ketinggian awan kumulonimbus dapat mencapai 10 km dari permukaan tanah (Ahrens 2000; Rafferty 2011) sehingga bagian atas dan bawah awan berada dalam suhu yang berbeda. Perbedaan suhu tersebut menyebabkan perbedaan muatan listrik di dalam awan. Pembebasan muatan listrik selama aktivitas badai guntur berlangsung disebut kilat. Rafferty (2011) menyatakan bahwa tingginya suhu yang dihasilkan kilat membuat udara memuai atau mengembang dengan cepat sehingga menghasilkan gelombang suara yang dikenal sebagai guntur.

Badai guntur berpotensi terjadi saat kondisi udara hangat dan lembab pada atmosfer tidak stabil. Suhu kantong udara lebih tinggi daripada udara di lapisan atas sehingga kantong udara terangkat ke atas. Uap air yang terbawa selama pengangkatan terkondensasi pada ketinggian tertentu yang disebut Lifting Condensation Level (LCL) dan mulai membentuk awan kumulus.

Pengangkatan massa udara ke atas seiring dengan pembentukan awan kumulus merupakan fase awal terjadinya badai guntur. Awan kumulus terus bertumbuh menjadi awan kumulonimbus yang memiliki landasan pada bagian atas awan dan berwarna gelap pada bagian bawah awan (Rafferty 2011). Selama proses pertumbuhan awan tersebut, titik air atau es akan terakumulasi dan jatuh ke permukaan bumi sebagai presipitasi. Peristiwa presipitasi merupakan pertanda mulainya fase kedua badai guntur atau dikenal sebagai fase pematangan. Kejadian kilat semakin intensif dibandingkan pada fase awal. Intensitas presipitasi perlahan berkurang dan massa awan meluruh melalui evaporasi sehingga dikenal sebagai fase peluruhan. Ketiga fase tersebut merupakan ringkasan siklus badai guntur.

Stabilitas Atmosfer

(13)

dan tidak stabil (Ahrens 2000). Kondisi atmosfer tidak stabil terjadi saat nilai ELR lebih besar daripada DALR. Pergerakan kantong udara yang mengikuti DALR cenderung menuju ke atas karena pada ketinggian tertentu suhu kantong udara lebih besar daripada suhu lingkungan. Gerakan ke atas tersebut berlangsung lama dan semakin kuat. Pada kondisi stabil yaitu nilai ELR lebih kecil daripada DALR, pergerakan kantong udara ke atas tidak berlangsung lama dan menuju ke bawah / turun karena suhu kantong udara lebih rendah daripada suhu lingkungan. Kondisi tanpa ada pergerakan kantong udara terjadi pada kondisi netral yaitu saat nilai ELR sama dengan DALR karena suhu kantong udara dan lingkungan adalah sama.

Mekanisme ketidakstabilan atmosfer secara sederhana dapat diterangkan melalui proses pemanasan permukaan bumi. Pemanasan permukaan bumi oleh radiasi matahari menyebabkan perbedaan suhu antara lapisan udara dekat permukaan dengan lapisan udara atas. Udara dekat permukaan menjadi lebih hangat dan ringan sehingga terjadi pergerakan vertikal ke atas. Ketidakstabilan juga dipengaruhi oleh topografi seperti daerah berbukit (Rafferty 2011). Gunung sebagai penghalang dapat memaksa udara bergerak ke atas.

Lifted Index (LI)

Lifted index merupakan indeks pendugaan stabilitas atmosfer berdasarkan perbedaan suhu kantong udara yang bergerak naik secara adiabatik basah ke ketinggian 500 mb (milibar) dengan suhu lingkungan pada ketinggian 500 mb (Haklander & Delden 2003). Nilai LI dihitung dalam persamaan matematis sebagai berikut.

LI = T500–Tp500

T500 = Suhu lingkungan di ketinggian 500 mb

Tp500 = Suhu kantong udara di ketinggian 500 mb

Badai guntur terjadi pada atmosfer tidak stabil atau saat LI bernilai negatif (Haklander & Delden 2003). Suhu kantong udara (Tp500) lebih besar daripada suhu lingkungan (T500) sehingga pertumbuhan awan kumulus menjadi awan kumulonimbus terus berlangsung. Nilai LI lebih dari 2 menandakan kondisi stabil sedangkan nilai LI lebih kecil dari -4 menunjukkan adanya aktivitas konveksi (Jayakrishnan & Babu 2014).

Precipitable Water (PW)

Precipitablewater merupakan indeks yang menunjukkan jumlah kandungan uap air pada suatu kolom udara. Kandungan uap air berperan sebagai bahan pembuat awan terutama awan konvektif atau kumulonimbus melalui proses kondensasi. Peningkatan jumlah kandungan uap air terjadi pada daerah konvergensi (Jayakrishnan & Babu 2014) sehingga peluang kejadian badai guntur meningkat (Mayangwulan et al. 2011). Parameter PW yang dihasilkan oleh RAOB disebut water dengan satuan sentimeter (cm) dan tidak menunjukkan secara langsung jumlah presipitasi yang turun.

(14)

berasal dari peristiwa evaporasi dan transpirasi. Transpirasi merupakan bagian dari proses fisiologis tumbuhan sedangkan evaporasi (penguapan) dapat berasal dari daratan, badan air, maupun permukaan daun. Ketersediaan air berkontribusi dalam peningkatan kandungan uap air di atmosfer suatu wilayah. Peningkatan kandungan uap air juga dipengaruhi oleh suhu udara karena pemicu air menguap adalah perbedaan suhu.

METODE

Penelitian dimulai dari bulan Februari hingga Juni 2014 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan berupa data, antara lain:

1. Data observasi udara atas tahun 2005–2008 pukul 00 dan 12 UTC yang diambil dari http://ready.arl.noaa.gov/READYamet.php.

2. Data kondisi cuaca harian Bandara Halim Perdanakusuma tahun 2005–2008. Alat yang digunakan berupa seperangkat alat komputer dengan perangkat lunak RAOB (Rawinsonde Observation), SPSS 17, Ms. Word, dan Ms. Excel.

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

Data yang diambil dari situs NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) merupakan data observasi udara atas untuk lokasi Bandara Halim Perdanakusuma dengan kode 96747. Data diolah dengan RAOB sehingga diperoleh nilai PW (precipitable water) dan LI (lifted index) yang masing-masing mewakili parameter kandungan uap air dan stabilitas atmosfer. Nilai PW dan LI ditabulasi dan dihubungkan dengan kondisi cuaca yang tercatat di bandara terkait. Kondisi cuaca bernilai nol (0) jika selama 9 jam ke depan (07.00–15.00 dan 19.00–03.00 WIB) tidak ada aktivitas badai guntur dan angka satu (1) untuk kondisi sebaliknya. Berikut adalah tahapan pengolahan data (Gambar 1).

Analisis Data

Kecenderungan kejadian badai guntur dilihat dari jumlah dan peluang kejadian tiap interval nilai PW dan LI. Nilai PW dan LI dikelompokkan ke dalam 5 kelas (k). Range (R) atau panjang kelas merupakan hasil pengurangan antara nilai tertinggi dan terendah. Interval (I) ditentukan berdasarkan persamaan berikut.

I = R / k

(15)

terprediksi (Haklander & Delden 2003). Peningkatan PW meningkatkan potensi terbentuknya awan kumulonimbus sedangkan penurunan nilai LI meningkatkan ketidakstabilan sehingga badai guntur diprediksi terjadi saat lebih besar atau sama dengan nilai ambang batas PW dan lebih kecil atau sama dengan nilai ambang batas LI. Nilai TSS tertinggi menyatakan bahwa tercapainya suatu nilai PW atau LI tertentu akan diikuti dengan tingginya dugaan badai guntur dalam waktu 9 jam ke depan. Penentuan nilai TSS tertinggi didasarkan pada kriteria antara prediksi dan observasi (Tabel 1) dengan persamaan matematis TSS sebagai berikut.

TSS = (h / (h + s)) - (f / (f + q)) Tabel 1 Tabel kontingensi 2 x 2

Kriteriaa Observasi Total

Terjadi (1) Tidak Terjadi (0)

Prediksi Terjadi (1) h f h + f tidak sesuai observasi; q (quiescent cases): prediksi bukan kejadian badai guntur sesuai observasi.

Hubungan antara nilai PW dan LI dengan badai guntur dianalisis melalui metode regresi logistik. Metode statistika ini bertujuan menggambarkan keterkaitan variabel bebas (x) dengan variabel terikat (y) yang berupa kategori biner (Arfianto 2006) dalam persamaan model logit.

ln(p / (1 - p)) = a + bx1 + bx2 + ... + bxi

Variabel bi merupakan koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas (xi) yang diperoleh melalui metode pendugaan kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Nilai koefisien yang dihasilkan akan memaksimumkan peluang. Variabel p merupakan peluang suatu kejadian dengan y benilai 1 atau 0. Nilai (p / (1 - p)) menunjukkan kemungkinan (odds) sehingga jika odds bernilai kurang dari 1, peluang suatu peristiwa untuk terjadi semakin kecil.

Proses analisis regresi logistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 17. Variabel bebas atau prediktor pada penelitian ini berupa data PW dan LI sedangkan variabel terikat berupa kondisi cuaca. Variabel terikat bernilai 0 (tidak ada badai guntur selama 3, 6, atau 9 jam ke depan) dan 1 (sebaliknya). Pengujian model logit didasarkan pada hipotesis nol (H0) yaitu prediktor tidak berpengaruh dalam model secara signifikan dan hipotesis alternatif (H1) yaitu kondisi sebaliknya (Arfianto 2006). Pada tingkat kepercayaan 95%, H0 akan ditolak jika nilai signifikansi model logit lebih kecil dari 0.05. Berdasarkan uji model ( chi-square), nilai signifikansi (p-value) harus lebih kecil dari 0.05 yang berarti bahwa keberadaan prediktor dalam model mempengaruhi prediksi badai guntur. Walau demikian keberadaan prediktor harus menghasilkan pendugaan yang sesuai dengan observasi. Oleh karena itu, melalui uji kebaikan (goodness of fit) dengan uji Hosmer and Lemeshow nilai signifikansi model harus lebih besar dari 0.05 yang berarti hasil prediksi sesuai observasi.

(16)

Jika nilai peluang tertinggi model tidak bernilai 1, nilai tengah ditentukan dari perpotongan kurva sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas dan spesifisitas model masing-masing menunjukkan prediksi tepat terjadi (h / (h + s)) dan tepat tidak terjadi badai guntur (q / (f + q)). Akurasi model logit diperoleh dari penjumlahan seluruh prediksi yang tepat (h dan q) dibagi total seluruh data (Tabel 1).

Gambar 1 Diagram alir penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fluktuasi Kejadian Badai Guntur

Badai guntur merujuk kepada kondisi cuaca dengan kilat dan guntur disertai hujan dan angin kencang. Badai guntur yang tidak disertai hujan disebut badai guntur kering. Hujan yang terbentuk dan sedang jatuh terevaporasi di udara sehingga hujan tidak mencapai permukaan (Rafferty 2011). Badai guntur terjadi pada awan kumulonimbus (Cb) sehingga keberadaan awan Cb menjadi ancaman dalam jalur penerbangan.

Pengamatan kondisi cuaca di bandara dilakukan rutin setiap hari. Cuaca atau gambaran perubahan kondisi sesaat dari atmosfer diamati untuk mengurangi risiko kecelakaan pesawat oleh faktor alam. Badai guntur termasuk salah satu kondisi cuaca yang cukup sering teramati seperti pada hasil pengamatan cuaca di Bandara Halim Perdanakusuma (HLP).

Variasi Harian

(17)

kejadian (Gambar 2). Badai guntur jarang teramati di malam hari atau di atas pukul 19.00 WIB. Hasil pengamatan Mayangwulan et al. (2011) menunjukkan peningkatan badai guntur di Biak dilihat dari frekuensi awan Cb terjadi pada pagi menjelang sore hari, yaitu pukul 09.00–15.00 WIT.

Gambar 2 Jumlah kejadian badai guntur tiap jam tahun 2005–2008.

Peningkatan jumlah kejadian badai guntur di bandara (daratan) lebih tinggi pada siang hari. Badai guntur pada pukul 07.00–09.00 WIB terjadi sebanyak 260 hari, pada pukul 07.00–12.00 WIB sebanyak 360 hari, dan pada pukul 07.00– 15.00 WIB sebanyak 386 hari. Akumulasi aktivitas badai guntur pada malam hari juga bertambah tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit, yaitu selama pukul 19.00– 21.00 WIB terjadi sebanyak 25 hari, pukul 19.00–24.00 WIB sebanyak 30 hari, dan pukul 19.00–03.00 WIB sebanyak 37 hari. Jumlah hari kejadian badai guntur selama 9 jam ke depan pada siang hari lebih banyak karena kondisi atmosfer tidak stabil terjadi pada siang hari. Pemanasan udara di sekitar permukaan daratan oleh radiasi matahari memicu proses pengangkatan udara. Kemampuan menyimpan panas oleh daratan lebih rendah daripada laut sehingga peristiwa pengangkatan massa udara di daratan mudah terjadi pada siang hari.

Variasi Triwulan

Aktivitas badai guntur di bandara HLP tercatat sebanyak 449 hari mulai tahun 2005 sampai 2008. Akumulasi tertinggi dari kejadian badai guntur baik yang disertai hujan maupun tidak disertai hujan terjadi antara bulan Maret dan Mei (MAM), yaitu 159 hari. Badai guntur antara bulan Desember sampai Februari (DJF), September sampai November (SON), dan Juni sampai Agustus (JJA) masing-masing terjadi sebanyak 126, 100, dan 64 hari. Akumulasi aktivitas badai guntur pada keempat periode meningkat dari pagi hingga menjelang sore hari (Gambar 3).

Gambar 3 Akumulasi badai guntur per jam tiap 3 bulan.

Kejadian badai guntur selama periode JJA lebih sedikit daripada periode DJF, MAM, dan SON karena kandungan uap air selama periode JJA lebih rendah

(18)

daripada periode lainnya. Rerata nilai PW periode JJA lebih rendah daripada periode DJF, yaitu 41.5 mm (00 UTC) dan 44.4 mm (12 UTC). Nilai terendah PW selama JJA dan DJF adalah 22.4 dan 36.3 mm pada 00 UTC serta 21.3 dan 40.0 mm pada 12 UTC (Tabel 2). Fenomena fisis seperti ITCZ mendukung potensi badai guntur (Pinto et al. 2006). Wilayah pertemuan udara permukaan dari belahan bumi utara (BBU) dan selatan (BBS) disebut ITCZ yang terbentuk di atas wilayah Indonesia pada bulan Januari. Peningkatan suhu permukaan laut sekitar ITCZ menambah kandungan uap air di atmosfer. Sistem tekanan rendah yang terbentuk di wilayah ini dan ketersediaan uap air mendukung pembentukan awan kumulonimbus.

Tabel 2 Distribusi nilai precipitable water (PW) dan lifted index (LI) tiap 3 bulan

Jumlah kejadian badai guntur yang rendah selama JJA menunjukkan bahwa pada musim kering keadaan atmosfer cenderung stabil. Manurung (2012) menyatakan kondisi atmosfer di Jakarta cenderung tidak stabil pada periode DJF, MAM, dan SON melalui indeks stabilitas. Periode MAM dan SON merupakan masa transisi atau peralihan dari musim hujan ke musim kemarau dan sebaliknya. Kedua periode ini cenderung tidak stabil sehingga kejadian badai guntur meningkat. Rerata nilai LI pada keempat periode bernilai negatif yang menunjukkan kondisi udara tidak stabil. Walau demikian selang nilai LI periode MAM lebih cenderung negatif daripada periode JJA. Kisaran LI periode MAM adalah -5.4 sampai 3.7 dengan rerata -2.2 sedangkan kisaran LI periode JJA adalah -3.9 sampai 5.5 dengan rerata -0.6 pada 00 UTC (Tabel 2).

Tabel 3 Nilai PWdan LIdengan TSS tertinggi tiap periode

(19)

badai guntur selama 9 jam ke depan pada siang hari untuk periode MAM terprediksi saat nilai LI lebih kecil dari -1.1 dengan kandungan uap air yang melebihi 44.8 mm.

Kecenderungan Potensi Badai Guntur Badai Guntur terhadap Precipitable Water

Fenomena meteorologis seperti badai guntur memerlukan kandungan uap air yang cukup besar. Kantong udara yang bergerak vertikal ke atas dan cukup mengandung uap air (jenuh) akan bergerak secara adiabatik basah dan mengalami kondensasi sehingga membentuk awan (Ahrens 2000). Precipitable water (PW) tahun 2005 sampai 2008 berada dalam kisaran 22.1–63.6 mm dan 21.3–65.4 mm pada 00 dan 12 UTC. Kisaran PW dengan kejadian badai guntur pukul 07.00– 15.00 dan 19.00–03.00 WIB adalah 24.9–62.2 mm dan 36.6–62.6 mm.

Gambar 4 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 07.00–15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang

precipitable water (mm) pukul 00 UTC periode 2005–2008.

Gambar 5 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 19.00–03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang

precipitable water (mm) pukul 12 UTC periode 2005–2008.

Peningkatan kandungan uap air cenderung diikuti dengan kejadian badai guntur. Sebanyak 206 hari (53%) dan 84 hari (22%) dari 386 hari kejadian badai guntur pukul 07.00–15.00 WIB terjadi pada selang 47.3–55.6 mm dan 38.9–47.2 mm (Gambar 4). Pada pengamatan 12 UTC, 16 hari (43%) dan 13 hari (35%) dari 37 hari kejadian badai guntur pukul 19.00–03.00 WIB selama 4 tahun terjadi pada selang 48.0–56.8 mm dan 56.9–65.7 mm (Gambar 5). Kejadian badai guntur pada tiap selang pertama dari kedua waktu pengamatan PW sangat kecil bahkan bernilai nol, yaitu 22.1–30.4 mm hanya diikuti 4 hari kejadian dan 21.3–30.1 mm tidak diikuti dengan kejadian badai guntur.

(20)

Peluang kejadian badai guntur juga berhubungan dengan peningkatan kandungan uap air. Peluang badai guntur meningkat dari selang PW terkecil hingga terbesar yaitu sebesar 7%, 8%, 23%, 34%, dan 35% pada 00 UTC (Gambar 4) serta 0%, 1%, 2%, 3%, dan 3% pada 12 UTC (Gambar 5). Kemunculan nilai PW antara 21.3 mm dan 30.1 mm terjadi sebanyak 17 kali, tetapi kondisi tersebut tidak diikuti dengan kejadian badai guntur. Meskipun nilai persentase peluang pada kedua pengamatan tidak terlalu besar, peluang kejadian badai guntur berbanding lurus dengan peningkatan nilai PW.

Badai Guntur terhadap Lifted Index

Kondisi udara tidak stabil ditunjukkan dari nilai LI yang bernilai negatif tetapi tidak semua badai guntur terjadi saat nilai LI negatif. Rentang nilai lifted index (LI) pada 00 UTC adalah (-5.4)–5.6 sedangkan pada 12 UTC berkisar antara (-6.4) dan 3.5. Nilai LI saat terjadi badai guntur selama 9 jam ke depan (pukul 07.00–15.00 WIB) sebesar (-5.4)–4.8 serta (-5.0)–0.2 untuk selang pukul 19.00– 03.00 WIB. Nilai LI akan semakin kecil ketika suhu kantong udara mendekati suhu lingkungan dan akan bernilai negatif ketika suhu kantong udara lebih tinggi daripada suhu lingkungan pada ketinggian 500 mb. Kondisi ini dapat didukung melalui kontribusi energi panas laten yang dihasilkan dari proses kondensasi sehingga pertumbuhan awan konvektif terus berlanjut melebihi 500 mb.

Gambar 6 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 07.00–15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang

lifted index pukul 00 UTC periode 2005–2008.

Gambar 7 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara pukul 19.00–03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang

lifted index pukul 12 UTC periode 2005–2008.

(21)

WIB terbesar (27 hari) terjadi pada LI antara -4.3 dan -2.3 sedangkan LI lebih besar dari 2.0 tidak diikuti kejadian badai guntur (Gambar 7). Badai guntur saat nilai LI di atas nol hanya terjadi sebanyak 1 kali. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin positif nilai LI maka kejadian badai guntur akan semakin sedikit bahkan tidak terjadi sama sekali.

Peluang atau kemungkinan kejadian badai guntur berbanding terbalik terhadap peningkatan nilai LI. Nilai LI pada selang (-5.4)–(-3.2) memiliki nilai peluang tertinggi sebesar 39% (Gambar 6). Selanjutnya penurunan peluang terus terjadi dengan nilai LI yang semakin besar yaitu sebesar 29%, 13%, 13%, dan 6%. Peluang badai guntur malam hari juga meningkat yaitu 0% sampai 3% dari selang LI terbesar ke terkecil (Gambar 7). Persentase tertinggi dicapai pada selang nilai LI (-4.3)–(-2.3) dan (-6.4)–(-4.4).

Precipitable Water dan Lifted Index sebagai Prediktor

Model logit yang dihasilkan dari analisis regresi logistik menggambarkan hubungan antara variabel bebas (PW dan LI) dengan variabel terikat (kejadian badai guntur). Pertama, pengaruh prediktor diduga dari nilai signifikansi pada model/chi-square (p < 0.05). Variabel PW dan LI berkontribusi dalam penentuan badai guntur pagi hari (p < 0.001) tetapi tidak pada semua model malam hari. Kedua, uji kebaikan (goodness of fit) dengan uji Hosmer and Lemeshow

memperlihatkan kecocokan hasil observasi dan prediksi. Jika hasil prediksi sesuai dengan klasifikasi hasil observasi, model prediksi cocok digunakan (p > 0.05). Model logit yang menunjukkan pengaruh PW dan LI dan menghasilkan prediksi yang sesuai observasi berdasarkan kedua uji tersebut dengan peluang kesalahan 5% adalah model pukul 13.00–15.00 WIB (p < 0.001; p = 0.134) dan 07.00–15.00 WIB serta 01.00–03.00 dan 19.00–03.00 WIB (Tabel 4).

Tabel 4 Signifikansi model logit selang 3, 6, dan 9 jam (WIB)

Uji Model 07.00–09.00 10.00–12.00 13.00–15.00 07.00–12.00 07.00–15.00 chi-square <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001

HLa 0.009 0.035 0.134 0.156 0.250

Koefisien tiap prediktor mempengaruhi potensi badai guntur. Koefisien PW bertanda positif sedangkan LI bertanda negatif sehingga penambahan 1 unit PW meningkatkan nilai logit sedangkan penambahan 1 unit LI menurunkan nilai logit. Parameter PW meningkatkan nilai logit pukul 13.00–15.00 dan 01.00–03.00 WIB masing-masing sebesar 0.025 dan 0.058, sedangkan parameter LI menurunkan nilai logit sebesar -0.404 dan -0.546 (Gambar 8a dan 8b).

Besar perubahan akibat penambahan 1 unit PW dan LI ditunjukkan oleh nilai exp b. Peningkatan 1 unit PW meningkatkan potensi kejadian badai guntur sebanyak 1.026 (exp(0.025)) kali atau 2.6% ((1.026 - 1)·100) pada pukul 13.00– 15.00 WIB dan 1.060 kali atau 6% pada pukul 01.00–03.00 WIB. Peningkatan 1

(22)

unit LI menurunkan persentase kejadian badai guntur pada kedua waktu tersebut sebesar 0.668 (33%) dan 0.579 kali (42%). Hal tersebut juga tidak berbeda dengan model prediksi selama 9 jam, yaitu penambahan 1 unit PW meningkatkan potensi badai guntur sebesar 1.052 (5.2%) pada pukul 07.00–15.00 WIB dan 1.057 kali (5.7%) pada pukul 19.00–03.00 WIB sedangkan peningkatan 1 unit LI menurunkan 0.856 (14%) dan 0.940 kali (6%) (Gambar 8c dan 8d). Pengaruh perubahan nilai LI terhadap potensi kejadian badai guntur lebih besar daripada perubahan nilai PW.

(23)

hasil model prediksi. Kejadian badai guntur diduga saat peluang lebih besar dari 0.50 tetapi peluang tertingggi model prediksi tidak mencapai 0.50, yaitu sebesar 0.173 dan 0.050 serta 0.474 dan 0.053 pada pukul 13.00–15.00 dan 01.00–03.00 WIB serta pukul 07.00–15.00 dan 19.00–03.00 WIB (Gambar 8). Berdasarkan perpotongan kurva sensitivitas dan spesifisitas, cut value atau peluang optimal yang diperoleh keempat model berurutan adalah 0.053, 0.006, 0.298, dan 0.028. Akurasi antara 2 model prediksi siang hari baik selang 3 maupun 9 jam (13.00– 15.00 dan 07.00–15.00 WIB) dengan masing-masing cut value tidak terlalu berbeda begitupula dengan model malam hari, yaitu 60% untuk prediksi siang hari dan 57% untuk prediksi malam hari.

Tabel 5 Nagelkerke R2 pada model prediksi dari tiap selang waktu (WIB) Prediktor 13.00–15.00 01.00–03.00 07.00–15.00 19.00–03.00

PW dan LI 0.054 0.057 0.083 0.024

PW 0.033 0.037 0.076 0.023

LI 0.051 0.049 0.061 0.012

Kemampuan 1 prediktor menjelaskan kejadian badai guntur berdasarkan nilai Nagelkerke R2 lebih kecil daripada 2 prediktor. Model logit dengan variabel PW dan LI dapat menjelaskan keragaman kejadian badai guntur pukul 13.00– 15.00 dan 01.00–03.00 WIB sebesar 0.054 (5.4%) dan 5.7%. Secara terpisah, PW dan LI dapat menjelaskan kejadian badai guntur pukul 13.00–15.00 WIB sebesar 3.3% dan 5.1% serta pukul 01.00–03.00 WIB sebesar 3.7% dan 4.9% (Tabel 5). Kejadian badai guntur kurang dapat dijelaskan hanya dengan satu parameter.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(24)

proporsi keragaman kejadian badai guntur dapat dijelaskan sebesar 5.4% sehingga kejadian badai guntur lebih baik dijelaskan oleh lebih dari satu parameter atmosfer.

Saran

Pendugaan badai guntur perlu dilakukan dengan indeks stabilitas lainnya. Keragaman kejadian badai guntur dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga perlu dilakukan pengamatan lanjutan untuk melihat perbedaan kejadian badai guntur berdasarkan topografi dan karakter wilayah seperti perairan dan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahrens CD. 2000. Essentials of Meteorology: An Invitation to the Atmosphere. Ed ke-3. Belmont (CA): Brooks/Cole.

Albrecht R, Steve G, Dennis B, Themis C. 2009. Tropical frequency and distribution of lightning based on 10 years of observations from space by the lightning imaging sensor (LIS) [Internet]. Fourth Conference on the Meteorological Applications of Lightning Data. 2009 Jan 13. Tersedia pada: https://ams.confex.com/ams/89annual/techprogram/paper_147355.htm

Arfianto AD. 2006. Aplikasi model regresi logistik untuk prakiraan kejadian hujan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Budiarti M, Muzilman M, Yopi I. 2012. Studi indeks stabilitas udara terhadap prediksi kejadian badai guntur (thunderstorm) di wilayah stasiun meteorologi Cengkareng Banten. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13(2):111-117.

Haklander AJ, A van Delden. 2003. Thunderstorm predictors and their forecast skill for the Netherlands. Atmospheric Research 67-68:273-299.

Hidayat S, M Ishii. 1998. Spatial and temporal distribution of lightning activity around Java. Journal of Geophysical Research 103(D12):14001-14009.

Jayakrishnan PR, CA Babu. 2014. Assessment of convective activity using stability indices as inferred from radiosonde and MODIS data. Atmospheric and Climate Sciences 4(1):122-130.doi:10.4236/acs.2014.41014.

Manurung MR. 2012. Prediktabilitas cuaca jangka pendek ditinjau dari indeks stabilitas di Jakarta. JTM 19(3):138-149.

Mayangwulan D, Joko W, Plato MS. 2011. Potensi kejadian badai guntur berdasarkan parameter kelembapan, labilitas udara, dan mekanisme pengangkatan (studi kasus: di bandar udara Frans Kaisiepo Biak). Jurnal Sains Dirgantara 8(2):139-156.

Okstrifiani N. 2013. Prediksi puting beliung di kabupaten Toraja Utara [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.

Pinto O Jr., IRCA Pinto, KP Naccarato. 2006. Maximum cloud-to-ground lightning flash densities observed by lightning location systems in the tropical

region: a review. Atmospheric Research

84:189-200.doi:10.1016/j.atmosres.2006.11.007.

Rafferty JP. 2011. Storms, Violent Winds, and Earth’s Atmosphere. New York (NY): Britannica Educational Publishing.

(25)

Lampiran 1 Hasil analisis regresi logistik

Waktu Amatan 00 UTC 12 UTC

07.00–09.00 WIB 19.00–21.00 WIB

model logita -4.369 + 0.057·PW - 0.051·LI -6.785 + 0.057·PW + 0.083·LI

chi-square 48.714; <0.001 3.367; 0.186

R² 0.054 0.014

hosmer and

lemeshow 20.433; 8; 0.009 5.152; 8; 0.741

exp(bΌ) 1.058 1.059

exp(b΍) 0.950 1.086

10.00–12.00 WIB 22.00–24.00 WIB

model logita -4.465 + 0.048·PW - 0.237·LI -10.126 + 0.091·PW + 0.007·LI

chi-square 66.155; <0.001 2.591; 0.274

R² 0.076 0.030

hosmer and

lemeshow 16.587; 8; 0.035 8.709; 8; 0.367

exp(bΌ) 1.049 1.096

exp(b΍) 0.789 1.007

13.00–15.00 WIB 01.00–03.00 WIB

model logita -5.047 + 0.025·PW - 0.404·LI -9.841 + 0.058·PW - 0.546·LI

chi-square 25.658; <0.001 6.026; 0.049

R² 0.054 0.057

hosmer and

lemeshow 12.406; 8; 0.134 10.412; 8; 0.237

exp(bΌ) 1.026 1.060

exp(b΍) 0.668 0.579

07.00–12.00 WIB 19.00–24.00 WIB

model logita -3.863 + 0.051·PW - 0.149·LI -6.815 + 0.059·PW + 0.042·LI

chi-square 79.528; <0.001 4.837; 0.089

R² 0.079 0.018

hosmer and

lemeshow 11.894; 8; 0.156 9.697; 8; 0.287

exp(bΌ) 1.052 1.061

exp(b΍) 0.861 1.042

07.00–15.00 WIB 19.00–03.00 WIB

model logita -3.763 + 0.051·PW - 0.156·LI -6.688 + 0.055·PW - 0.062·LI

chi-square 85.558; <0.001 7.273; 0.026

R² 0.083 0.024

hosmer and

lemeshow 10.226; 8; 0.250 4.404; 8; 0.819

exp(bΌ) 1.052 1.057

exp(b΍) 0.856 0.940

a

Variabel PW sebagai bІ; variabel LI sebagai bЇ

(26)
(27)

Lampiran 3 Akurasi model prediksi (model logit) Model prediksi Cut Value Akurasi (%)

13.00–15.00 WIB 0.053 59.7

07.00–15.00 WIB 0.298 60.4

01.00–03.00 WIB 0.006 57.2

19.00–03.00 WIB 0.028 56.7

Lampiran 4 Contoh tampilan RAOB untuk profil vertikal suhu udara saat terjadi badai guntur pukul 10.00 WIB tanggal 11 Maret

(28)

Lampiran 5 Contoh tampilan RAOB untuk profil vertikal suhu udara saat tidak terjadi badai guntur pukul 10.00 WIB tanggal 8 Agustus

(29)

RIWAYAT HIDUP

Penulis terlahir sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara pada 5 September 1992 di Jakarta. Ibu penulis bernama Ermas B Doloksaribu dan ayah penulis bernama (Alm.) Usman F Harefa. Pelayanan pendidikan diperoleh penulis di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Budhaya III St.Agustinus pada tahun 2004– 2007 dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 91 Jakarta pada tahun 2007– 2010. Pendidikan sarjana ditempuh oleh penulis di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan program studi Meteorologi Terapan.

Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan organisasi. Pada semester 5, penulis menjadi anggota Perhimpunan Mahasiswa Geofisika dan Meteorologi (HIMAGRETO). Sejumlah kegiatan kepanitiaan juga diikuti oleh penulis, antara lain Spirit dan MetFair. Penulis juga cukup aktif dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan tergabung dalam Komisi Persekutuan.

Gambar

Tabel 1  Tabel kontingensi 2 x 2
Gambar 1  Diagram alir penelitian.
Gambar 2  Jumlah kejadian badai guntur tiap jam tahun 2005–2008.
Tabel 2  Distribusi nilai precipitable water (PW) dan lifted index (LI) tiap 3 bulan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kadar kalsium dan magnesium dalam air minum PDAM Tirtanadi pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau serta kadar kalsium dan magnesium dalam air PDAM

Kadar kalsium dan magnesium dalam air minum PDAM Tirtanadi pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau serta kadar kalsium dan magnesium dalam air PDAM

Berdasarkan uraian tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan mineral kalsium dan magnesium dalam air minum PDAM Tirtanadi di kota Medan pada musim

Tidak berbeda halnya periode kedua atau pada tahun 2021 sampai degan 2050 dengan model CSIRO dan MIROC di Pulau Jawa secara berturut-turut wilayah yang memiliki curah

Curah hujan efektif adalah curah hujan yang jatuh di suatu daerah pada periode tertentu dan secara efektif digunakan guna memenuhi kebutuhan tanaman untuk

Suhu udara rata-rata selama Musim Hujan periode 2014/2015 tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2014 di Stasiun Meteorologi Kemayoran yaitu 30.8 o C dan terendah terjadi pada

Besi Fe Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat bahwa kandungan besi pada perairan Sungai Mahap meningkat pada titik III dan titik V baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau..