• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kerentanan Petani Di Daerah Dengan Bahaya Banjir Tinggi Di Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kerentanan Petani Di Daerah Dengan Bahaya Banjir Tinggi Di Kabupaten Karawang"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KERENTANAN PETANI DI DAERAH DENGAN

BAHAYA BANJIR TINGGI DI KABUPATEN KARAWANG

TOMMI

H152124031

PROGRAM PASCASARJANA

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISIS KERENTANAN PETANI DI DAERAH DENGAN BAHAYA BANJIR TINGGI DI KABUPATEN KARAWANG adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Tommi

(3)

RINGKASAN

TOMMI. Analisis Kerentanan Petani di Daerah dengan Bahaya Banjir Tinggi di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh BABA BARUS dan ARYA HADI DHARMAWAN

Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Kabupaten Karawang. Penyebab banjir di wilayah ini disebabkan oleh kondisi DAS Citarum Hulu yang buruk. Kondisi DAS Citarum yang buruk terlihat dari luas hutan yang sedikit sehingga menyebabkan erosi dan peningkatan debit jauh lebih tinggi ketika musim hujan. Debit sungai yang jauh meningkat ketika musim hujan menyebabkan banjir di daerah hilir seperti Karawang. Banjir yang terjadi di Kabupaten hampir selalu menyebabkan kegagalan panen. Data dari Distanhut Kabupaten Karawang dari musim tanam 2008/2009 hingga 2013/2014 rata – rata luas tanaman padi yang mengalami gagal panen (puso) mencapai 219,84 ha. Kondisi ini tentunya merupakan ancaman bagi kehidupan petani di Kabupaten Karawang. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu, menganalisis tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang, dan menganalisis tingkat kerentanan nafkah petani di Kabupaten Karawang.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2015 dalam 3 tahapan. Tahapan pertama yaitu melakukan analisis kerusakan DAS Citarum Hulu. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah KRS, Koefisien Aliran Permukaan, Indeks Erosi, Laju Sedimentasi, dan Luas Vegetasi Permanen. Nilai gabungan dari parameter tersebut akan menghasilkan tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu. Tahapan kedua adalah melakukan analisis tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang. Analisis ini dilakukan pada sebaran lahan sawah di Kabupaten Karawang yang dialiri Sungai Citarum. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah curah hujan, drainase tanah, dan data historis banjir di lahan sawah yang terdiri dari tinggi genangan, lama genangan, dan frekuensi banjir selama 5 tahun terakhir. Hasil dari analisis ini akan menghasilkan peta tingkat bahaya banjir lahan sawah di Kabupaten Karawang. Tahapan ketiga dalam penelitian ini adalah menganalisis tingkat kerentanan nafkah petani di daerah dengan dengan bahaya banjir tinggi. Responden petani yang diambil dalam analisis ini adalah petani yang berada di daerah dengan bahaya banjir tinggi. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah kelima sumber modal yaitu modal manusia, fisik, alam, finansial, dan sosial. Hasil dari analisis ini akan menghasilkan indeks kerentanan nafkah (LVI) dan peta kerentanan nafkah petani di daerah dengan dengan bahaya banjir tinggi.

(4)

tiga wilayah yang berada pada tingkat bahaya banjir tinggi yaitu Kecamatan Jayakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, dan Telukjambe Timur. Kerentanan nafkah petani di daerah dengan bahaya banjir tinggi didapatkan bahwa petani di Dusun Pengasinan dan Dusun Kampek Desa Karangligar Kecamatan Telukjambe Barat kerentanan nafkahnya lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Peundeuy Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta.

Kerentanan nafkah petani di Dusun Pengasinan yang paling tinggi disebabkan oleh penguasaan modal yang masih rendah yaitu modal manusia, fisik, dan finansial. Kerentanan modal petani di Dusun Kampek yang juga tinggi namun masih lebih rendah dibandingkan dengan Dusun Pengasinan juga disebabkan penguasaan modal yang rendah pada modal manusia, fisik, dan finansial. Kerentanan nafkah petani yang rendah di Dusun Peundeuy disebabkan oleh penguasaan keseluruhan modal yang lebih kuat dibandingkan dengan Dusun Pengasinan dan Dusun Kampek.

(5)

SUMMARY

TOMMI.

Vulnerability Analysis Of Farmers In Areas With High Flood

Hazards In The District Karawang

. Supervised by BABA BARUS and

ARYA HADI DHARMAWAN

Floods often happened in the Karawang District. It is caused by the bad condition of Citarum Hulu Watershed that has been seen from the fact that is deforested area. Conversion of land leds to erosion and highly rate of run-off in rainy season. High streamflow when rainy caused flooding in downstream area especially in the Karawang District. Floods always make a failure of crop in Karawang District. Data from Distanhut of Karawang District period 2008/2009 to 2013/2014 showing the average of failure field area was 219.84 ha. This condition become a threat to a farmer life in the Karawang District. Therefore, this study aimed to analyze the damage level of Citarum Hulu Watershed, to analyze the level of flood hazard in Karawang District, and to analyze the vulnerability of farmers livelihood in the Karawang District.

Time of the research are from August to December of 2015. The research consists of three steps. The first step is to analyze the damage of Citarum Hulu Watershed. The parameters in this analysis are KRS, Run-off Coefficient, Erosion Index, Sedimentation Rate, and Permanent Vegetation Area. The combined value of these parameters will show the damage level result of Citarum Hulu Watershed. The second step is to analyze the level of flood hazard in the Karawang District. The analysis was carried out on the distribution of paddy field in Karawang District that flow by Citarum River. The parameters in this analysis are rainfall, soil drainage, and flooding in the historical data that consists of high inundation of paddy fields, long inundation, and frequency of floods during the last 5 years. The results of this analysis is a map of hazard level flooding of paddy field in Karawang District. The third step is to analyze the vulnerability of farmers livelihood in areas with high flood hazard. Respondents farmers who live in areas with high flood hazard. The parameters are fifth source of capital such as human capital, physical, natural, financial, and social. The results of this analysis will produce a Living Vulnerability Index (LVI) and map of livelihood vulnerability of farmers in are with high flood hazard.

(6)

Telukjambe, their livelihood vulnerabilities higher than Dusun Peundeuy Village Jayakerta sub district of Ciptamarga.

The livelihood vulnerability of farmers in the Dusun Pengasinan is highest caused by the own of capital is still low such as human capital, physical, and financial. The livelihood vulnerability of farmers capital in the Dusun Kampek is also high but still lower than the Dusun Pengasinan, it is caused by the low of own capital on human capital, physical, and financial. The lower livelihood vulnerability of farmers in the Dusun Peundeuy caused by the all control of a own capital bigger than Dusun Pengasinan and Dusun Kampek.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

ANALISIS KERENTANAN PETANI DI DAERAH DENGAN

BAHAYA BANJIR TINGGI DI KABUPATEN KARAWANG

TOMMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah bencana banjir dengan judul: Analisis Kerentanan Petani di Daerah dengan Bahaya Banjir Tinggi di Kabupaten Karawang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Baba Barus, M.Sc dan Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr yang telah membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menempuh studi di institusi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ketua Program Studi PWD IPB Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS, Sekretaris Program Studi PWD Dr.Ir Sri Mulatsih, M.Sc.Agr, dan seluruh tenaga pengajar di Program Studi PWD IPB yang telah memberikan banyak ilmu selama kuliah di Program Studi PWD IPB.

Selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada BPDAS Citarum Ciliwung, BBWS Citarum, Dinas PSDA Jawa Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, dan seluruh warga Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga yang telah membantu penulis memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyampaikan terimakasih dan rasa hormat setinggi-tingginya kepada kedua orang tua Stefanus Tani S. Meliala (Alm) dan Sugiarti Mahyudin kakak - kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD atas kebersamaan selama ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam diskusi, saran, doa hingga tesis ini terselesaikan dengan baik.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

ii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

v

DAFTAR LAMPIRAN

vi

DAFTAR BOX

vi

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 9 Manfaat Penelitian 10 Kerangka Pemikiran 10

2. TINJAUAN PUSTAKA Banjir 11

Bahaya 13

Indeks Bahaya/Ancaman 13 Kerentanan 14 Indeks Kerentanan Banjir 15 Kerentanan Nafkah 16 3. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Bahan dan Alat 18 Teknik Pengumpulan Data 18 Prosedur Analisis Data 23 4. GAMBARAN UMUM Kabupaten Karawang 34

5. KERUSAKAN DAS CITARUM HULU Koefisien Regim Sungai (KRS) 41 Koefisien Aliran Permukaan (C) 42 Laju Sedimentasi (Qs) 43

(13)

Indeks Penutupan Lahan (IPL) 44

6. ANALISIS TINGKAT BAHAYA BANJIR

Curah Hujan 50

Drainase 52 Frekuensi Banjir 54 Tinggi Genangan 57 Lama Genangan 58 7. KERENTANAN NAFKAH PETANI TERHADAP BAHAYA BANJIR Modal Manusia 69 Modal Alam 71

Modal Fisik 73

Modal Sosial 75

Modal Finansial 77 Pengaruh Modal terhadap Kerentanan 79 Indeks Kerentanan Nafkah 80 8. SINTESIS PENELITIAN Konsep Pendekatan Bioregional 87 Pendekatan Sosio Kultural 98 9. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 100

SARAN 101

DAFTAR PUSTAKA 101

(14)

DAFTAR TABEL

1. Data Lokasi Bencana Banjir Kabupaten Karawang

Tahun 2007 – 2014 5

2. Perubahan Penggunaaan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun

2001 dan 2011 8

3. Metode dan Prosedur Analisis Data 20

4. Kriteria Nilai KRS dalam Penilaian Kerusakan DAS 25

5. Kriteria Nilai Koefisien Aliran Permukaan dalam Penilaian Kerusakan DAS 25

6. Berat Jenis Tanah pada Berbagai Jenis Tanah 26

7. Kriteria Laju Sedimentasi (Qs) dalam Penilaian Kerusakan DAS 26

8. Nilai SDR berdasarkan Luas DAS 27

9. Pedoman penetapan nilai erosi yang dibolehkan (T) di Indonesia 27 10. Kriteria Nilai Indeks Erosi (IE) dalam Penilaian Kerusakan DAS 28 11. Kriteria Nilai Indeks Penggunaan Lahan (IPL) dalam 28 Penilaian Kerusakan DAS

12. Kriteria Nilai Kinerja DAS 29

13.Skor dan Kriteria Penilaian Tingkat Bahaya Banjir 31

14. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Per Kecamatan Tahun 2014 38 15. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2013 40

16. Hasil Perhitungan KRS DAS Citarum Hulu Tahun 2009 - 2014 42

17. Hasil Perhitungan Koefisien Aliran Permukaan DAS Citarum Hulu

Tahun 2009 - 2014 42

18. Hasil Perhitungan Laju Sedimentasi DAS Citarum Hulu

Tahun 2009 - 2014 43

19. Land Cover DAS Citarum Hulu Tahun 2013 45

20. Hasil Penilaian Kinerja DAS Citarum Hulu Tahun 2009 – 2014 46 21. Sebaran Luas Kelas Curah Hujan di Kabupaten Karawang Tahun 2015 52 22. Luas Kelas Drainase Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2015 53

23. Frekuensi Banjir di Kabupaten Karawang Dalam Kurun

Waktu Tahun 2009 - 2014 55

24. Tinggi Rata – Rata Genangan Banjir di Kabupaten

Karawang Tahun 2009 – 2014 58

25. Lama Rata - Rata Genangan Banjir di Kabupaten

Karawang Tahun 2009 - 2014 59

26. Tingkat Bahaya Banjir Kabupaten Karawang Tahun 2015 62 27. Luas Penggunaan Lahan Desa Karangligar Kecamatan

Telukjambe Barat Tahun 2015 67

(15)

Tahun 2015 68

29. Modal Manusia Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015 70

30. Modal Alam Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015 72

31. Modal Fisik Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015 74

32. Modal Sosial Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015 76

33. Modal Finansial Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015 78

34. Nilai LVI Desa Karangligar dan Desa Ciptamarga Tahun 2015 80

DAFTAR GAMBAR 1. Perubahan Pola Curah Hujan Kabupaten Karawang PeriodeTahun 1991-2000 dan 2001-2010 3 2. Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2009 – 2013 4 3. Koefisien Aliran Permukaan di DAS Citarum Hulu Tahun 2009- 2014 6 4. Koefisien Regim Sungai DAS Citarum Hulu Tahun 2009 – 2014 7 5. Volume Sedimentasi di DAS Citarum Hulu Tahun 2002 – 2007 7 6. Rata - Rata Luas Sawah Gagal Panen di Kabupaten Karawang Musim Tanam 2008/2009 – 2013/2014 9

7. Kerangka Pemikiran 11

8. Peta Lokasi Penelitian 18

9. Tahahapan Analisis Penelitian 23

10. Analisis Kerusakan DAS Citarum Hulu 24

11. Tahapan Analisis Bahaya Banjir 30

12. Tahapan Analisis Kerentanan Nafkah 33

13. Peta Administrasi Kabupaten Karawang 34

14. Peta Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2013 35

15. Peta Topografi Kabupaten Karawang Tahun 2015 37

16. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Karawang Tahun 2013 39

17. Peta Tutupan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun 2013 45

18. Peta Kinerja DAS Citarum Hulu Tahun 2014 46

19. Peta Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2015 50

20. Peta Drainase Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2015 53

21. Peta Frekuensi Banjir di Kabupaten Karawang dalam Kurun Waktu Tahun 2009 – 2014 56

(16)

Tahun 2009 – 2014 60 24. Peta Tingkat Bahaya Banjir di Kabupaten Karawang Tahun 2015 61 25. Peta Daerah Banjir di Desa Karangligar Kecamatan

Telukjambe Barat Kabupaten Karawang Tahun 2014 66 26. Peta Administrasi Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta

Tahun 2014 67

27. Peta Daerah Banjir Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta

Kabupaten Karawang Tahun 2014 69

28. Diagram Kerentanan Modal Nafkah Petani Dusun Pengasinan,

Dusun Kampek, dan Dusun Peundeuy Tahun 2015 79

29. Peta Kerentanan Nafkah Petani Desa Ciptamarga dan

Desa Karangligar Tahun 2015 83

DAFTAR BOX

1. Kerentanan Nafkah Petani di Dusun Pengasinan 81

2. Kerentanan Nafkah Petani di Dusun Kampek 82 3. Kerentanan Nafkah Petani di Dusun Peundeuy 84

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Penggunaan Lahan Desa Karangligar 107

2. Peta Penggunaan Lahan Desa Ciptamarga 107

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan seluruh penduduk yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa, Keluarga hingga peorangan. Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan ketahanan pangan nasional yang diarahkan untuk (a) meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan;(b) meningkatkan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan;dan (c) meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan (DKP 2010).

Namun, dalam melaksanakan arahan kebijakan tersebut ada berbagai permasalahan yang dihadapi seperti seperti pemanasan global, variabilitas iklim, perubahan tata ekonomi global, dan lain sebagainya. Disamping itu, kenyataan menunjukkan bahwa daya dukung alam untuk produksi pangan juga cenderung terus menurun, diantaranya ketersediaan lahan subur semakin menyempit sebagai akibat dari terjadinya alih fungsi lahan dan terjadinya degradasi lingkungan sehingga menurunkan produktivitas dan produksi hasil pertanian.

Salah satu masalah yang cukup besar dalam meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan adalah perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan akibat dari adanya pemanasan global. Perubahan iklim sudah hampir dirasakan di seluruh dunia. Gejala dari perubahan iklim tersebut yang sudah terlihat antara lain kenaikan suhu udara, pergeseran awal musim, perubahan tinggi maupun keragaman hujan, dan naiknya muka air laut. Perubahan iklim juga memberikan dampak terhadap pergeseran awal musim hujan yang berlangsung lebih singkat dengan intensitas curah hujan lebih tinggi, sedangkan musim kemarau/kering lebih panjang. Musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih singkat dengan intensitas yang tinggi menyebabkan kejadian – kejadian ekstrim seperti banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Banjir dan kekeringan merupakan fenomena perubahan iklim yang sangat mengancam khususnya kawasan pertanian. Hal ini dikarenakan banjir dan kekeringan sering menyebabkan gagal panen sehingga dapat menghambat produksi pertanian. Bencana tersebut dapat mengakibatkan kehilangan hasil, menurunkan mutu hasil, terganggunya kontinuitas produksi serta penurunan pendapatan petani. Selain itu dapat menyebabkan ketidakpastian ketahanan pangan dan juga dalam jangka panjang akan menyebabkan kemiskinan.

(18)

Selain perubahan iklim, banjir di Kabupaten Karawang juga disebabkan oleh kondisi hulu DAS Citarum yang buruk. Kondisi hulu DAS Citarum yang buruk dapat terlihat dari luas hutan yang semakin berkurang sementara lahan pertanian dan pemukiman semakin meningkat. Luas hutan yang semakin berkurang menyebabkan ketika musim hujan aliran permukaan meningkat sehinggadebit aliran sungai sangat tinggi. Debit aliran sungai yang tinggi dari hulu menyebabkan daerah hilir seperti Kabupaten Karawang sering terkena banjir.

Ancaman banjir di Kabupaten Karawang baik dari perubahan iklim maupun kerusakan hulu DAS Citarum tentunya harus mendapatkan penanganan yang baik. Hal ini dikarenakan Kabupaten Karawang merupakan daerah lumbung padi Jawa Barat dan salah satu daerah yang memberikan kontribusi bagi kebutuhan beras nasional rata-rata mencapai 865.000 ton beras/tahun (Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang. Ancaman banjir harus segera ditangani dengan baik agar potensi pangan Kabupaten Karawang yang sangat besar tetap terjaga. Dalam lima tahun terakhir, banjir hampir selalu menyebabkan banyak sawah yang gagal panen dan yang paling tinggi pada musim tanam tahun 2013/2014 dimana banjir menyebabkan 7.700 ha sawah gagal panen (Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang). Kondisi ini sangat mempengaruhi produksi pangan di wilayah tersebut. Sawah yang gagal panen menyebabkan waktu panen menjadi mundur sehingga ketersediaan pangan di wilayah tersebut akan berkurang. Jika ancaman banjir tidak bisa ditangani, tentu akan mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan produksi beras menurun sehingga akan mengurangi aksesibilitas konsumen terhadap bahan pangan.

Ancaman banjir yang terus meningkat juga berdampak buruk terhadap masyarakat Kabupaten Karawang. Masyarakat Kabupaten Karawang yang sebagian besar pekerjaannya sebagai petani akan sangat rentan terhadap banjir. Ancaman banjir yang terus meningkat tentunya akan meningkatkan kerentanan petani. Maka dari itu, diperlukan penilaian tingkat kerusakan hulu DAS Citarum dan pemetaan daerah bahaya banjir untuk mengetahui tingkat bahaya di setiap daerah. Adanya pemetaan tersebut akan mempermudah penilaian kerentanan petani khususnya dalam mengahadapi bahaya banjir. Kerentanan petani di daerah yang memiliki tingkat bahaya banjir yang tinggi akan menjadi suatu acuan dalam menyusun suatu strategi dalam menghadapi bahaya banjir.

Perumusan Masalah

Kebijakan ketahanan pangan untuk meningkatkan produksi pangan saat ini dihadapkan pada ancaman pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan terjadi perubahan iklim dan peningkatan variabilitas iklim. Gejala perubahan iklim saat ini sudah dirasakan hampir di seluruh dunia. Gejala – gejala tersebut diantaranya peningkatan suhu udara, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan pergeseran musim. Gejala tersebut sering mengakibatkan kejadian – kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan.

(19)

terpengaruh dengan adanya kejadian ekstrim yang disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu perubahan iklim yang terlihat di Kabupaten Karawang adalah pola curah hujan. Selama 20 tahun terakhir pola curah hujan Kabupaten Karawang mengalami peningkatan. Gambar 1 menunjukkan pada periode 1991 – 2000 musim kemarau lebih banyak daripada musim hujan. Musim hujan dan kemarau terjadi selama 6 bulan sedangkan pada periode 2001 – 2010 musim hujan lebih lama yaitu selama 8 bulan dan musim kemarau hanya terjadi 4 bulan.

Sumber : Pramudia 2006 dan TRMM

Gambar 1. Perubahan Pola Curah Hujan Kabupaten Karawang PeriodeTahun 1991-2000 dan 2001-2010

Rata – rata intensitas curah hujan sangat tinggi khususnya pada bulan Desember, Januari dan Februari. Bulan Maret, April, Mei, dan November intensitasnya relatif sedang namun terjadi peningkatan yang sangat jauh. Sementara pada musim kemarau Juni, Juli Agustus, dan September intensitasnya sangat rendah dan tidak ada peningkatan curah hujan yang signifikan selama 20 tahun. Kondisi ini sering sekali menyebabkan kejadian ekstrim seperti banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di Kabupaten Karawang.

Pola curah hujan tersebut juga masih terjadi dalam lima tahun terakhir. Curah hujan di Kabupaten Karawang, cenderung mengalami peningkatan. Gambar 2 menunjukkan tahun 2009 hingga 2013 menunjukkan curah hujan tahunan mengalami peningkatan kecuali hanya pada tahun 2011. Distribusi curah hujan menunjukkan peningkatan umunya terjadi pada waktu musim hujan yaitu bulan Januari, November, dan Desember. Peningkatan curah hujan yang sangat tinggi terjadi pada bulan Januari.

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Cu

rah

H

u

jan

(

m

m

)

Bulan

1991-2000

(20)

Sumber : BMKG 2015

Gambar 2. Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2009 – 2013

Kondisi curah hujan yang meningkat dalam 5 tahun terakhir khususnya pada musim hujan menyebabkan wilayah ini sering terkena banjir ketika musim hujan. Tabel 1 menunjukkan banjir selalu terjadi pada bulan Januari. Hal tersebut terlihat pada tahun terjadi banjir yaitu tahun 2010, 2013, dan 2014. Banjir yang terjadi pada bulan tersebut hampir selalu berdampak luas. Hal tersebut terlihat pada tahun 2007 dimana banjir melanda 21 kecamatan kemudian tahun 2013 melanda 14 kecamatan dan tahun 2014 melanda 15 kecamatan. Curah hujan yang sangat tinggi pada bulan Januari sangat berpengaruh terhadap terjadinya banjir di Kabupaten Karawang.

Banjir yang berdampak luas juga terjadi pada bulan Februari tahun 2008. Banjir tersebut melanda 20 Kecamatan. Namun, banjir pada bulan Februari tahun 2014 banjir tidak berdampak luas hanya 3 Kecamatan. Kondisi ini menunjukan bahwa banjir tidak terlalu sering terjadi di Kabupaten Karawang pada bulan Febrauari dibandingkan dengan bulan Januari.

Banjir yang berdampak luas juga terjadi pada bulan Maret tahun 2010. Banjir tersebut melanda 10 kecamatan di Kabupaten Karawang. Banjir yang terjadi selain pada bulan Januari menunjukkan pengaruh curah hujan tidak terlalu kuat karena curah hujan pada bulan lainnya jauh lebih rendah dibandingkan bulan Januari. Banjir yang sering terjadi di wilayah ini mengakibatkan banyak sawah, rumah, dan fasilitas umum yang rusak. Banjir juga banyak memakan korban jiwa.

Banjir pada bulan lainya seperti April, Mei, September, dan Desember terjadi tidak berdampak luas. Banjir pada bulan tersebut hanya terjadi pada daerah – daerah

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Cu

rah

h

u

jan

(m

m

)

Bulan

2009

2010

2011

2012

(21)

tertentu seperti Telukjambe Barat, Telukjambe Timur, dan Cilamaya Wetan. Banjir di daerah tersebut tidak selalu terjadi karena curah hujan tinggi.

Tabel 1. Bencana Banjir Kabupaten Karawang Tahun 2007 – 2014

Kecamatan Tahun/Bulan 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9

2010 2013 2014

J a n F e b J a n J a n M a r M e i S e p O k t D e s J a n A p r J a n F e b A p r D e s

Pangkalan √ √

Tegalwaru √

Ciampel √

Telukjambe Timur √ √ √ √ √ √ √

Telukjambe Barat √ √ √ √ √ √ √ √ √

Klari √ √

Cikampek √ √

Purwasari √ √

Tirtamulya √ √ √ √

Jatisari √ √

Kotabaru √ √

Cilamaya Wetan √ √ √ √ √ √ √ √

Cilamaya Kulon √ √

Telagasari √ √ √ √

Majalaya √

Karawang Timur √ √

Karawang Barat √ √ √ √ √ √ √

Rawamerta √ √

Tempuran √ √

Kutawaluya √ √

Rengasdengklok √ √ √ √ √

Jayakerta √ √ √ √

Pedes √ √ √

Cilebar √ √

Cibuaya √ √ √ √ √ √

Tirtajaya √ √ √ √ √ √

Batujaya √ √ √ √ √ √ √

Pakisjaya √ √ √ √ √ √ √

Sumber : BNPB 2015

(22)

Selain karena curah hujan yang tinggi, banjir di Kabupaten Karawang juga disebabkan oleh kondisi DAS Citarum yang semakin buruk khususnya di bagian hulu. Kondisi DAS yang buruk dapat terlihat secara hidrologi dari aliran permukaan yang tinggi. Nilai koefisien aliran permukaan (run-off) yang terdapat pada Gambar 3 menunjukkan nilai Koefisien Aliran Permukaan dalam dua titik tahun terakhir lebih besar dari 0,5. Hal ini menunjukkan curah hujan yang turun di DAS Citarum kurang dari 50 persen yang masuk ke dalam tanah dan lebih dari 50 % menjadi aliran permukaan.

Sumber : BBWS Citarum 2013 diolah

Gambar 3. Koefisien Aliran Permukaan di DAS Citarum Hulu Tahun 2009- 2014

Koefisien aliran permukaan yang tinggi di DAS Citarum Hulu disebabkan oleh kurangnya daerah resapan di sekitar hulu DAS Citarum. Sedikitnya luasan hutan di DAS Citarum Hulu menyebabkan air hujan yang jatuh sedikit sekali yang masuk ke dalam tanah sehingga air yang mengalir di permukaan lebih banyak. Aliran permukaan yang meningkat membuat debit aliran sungai cepat meningkat. Debit aliran sungai yang cepat meningkat di daerah hulu membuat daerah hilir sering terkena banjir. Kondisi ini juga diperparah dengan kondisi daerah hilir yang juga banyak pemukiman dan daerah industri. Kondisi ini membuat daerah hilir sering mengalami banjir akibat pembuangan dari daerah hulu.

Aliran permukaan yang tinggi menyebabkan air yang masuk ke dalam sungai cepat meningkat. Air yang cepat meningkat tersebut menyebabkan debit air sungai ketika musim hujan jauh meningkat dibandingkan musim kemarau. Nilai koefisien regim sungai (KRS) pada Gambar 4 menunjukkan nilai KRS sangat tinggi pada tahun 2013. Nilai pada tahun tersebut diatas 1.500. Nilai KRS yang tinggi menunjukkan adanya perbandingan yang sangat jauh antara debit maksimum dan minimum. Kondisi ini membuat daerah hulu ketika musim hujan tidak mampu menahan air dan mengalirkannya ke dalam tanah, air hujan jatuh melimpas menjadi aliran permukaan dan dialirkan ke sungai. Jumlah hujan yang tinggi dalam waktu yang sangat singkat

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

(23)

menyebabkan daerah hilir sering terjadi banjir. Selain itu, pada musim kemarau sering terjadi kekerigan karena debit sungai yang sangat rendah.

Sumber : BBWS Citarum 2015 diolah

Gambar 4. Koefisien Regim Sungai DAS Citarum Hulu Tahun 2009 – 2014 Tinginya Koefisien Aliran Permukaan, dan nilai KRS DAS Citarum sangat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Citarum Hulu. Tabel 2 menunjukkan selama tahun 2001 hingga 2011 di DAS Citarum hulu terjadi pengurangan luas hutan kurang lebih 1.300 ha. Luas hutan yang berkurang diikuti dengan penambahan luas pemukiman dan pertanian lahan lahan kering campuran. Luas hutan yang berkurang dan meningkatnya luas pemukiman dan pertanian lahan kering campuran menyebabkan kurangnya daerah resapan. Daerah resapan yang berkurang menyebabkan kemampuan infiltrasi tanah berkurang sehingga menyebabkan run-off yang tinggi pada musim hujan. Selain itu, berkurangnya luas hutan juga menyebabkan kemampuan sungai dalam menyimpan air berkurang sehingga debit sungai pada musim hujan jauh lebih tinggi daripada musim kemarau. Pengurangan luas hutan juga meningkatkan volume sedimentasi, hal ini dikarenakan debit sungai yang makin tinggi banyak membawa material dari hulu sehingga banyak terjadi pengendapan.

Penggunaan lahan DAS Citarum Hulu yang didominasi lahan pertanian dan pemukiman banyak tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan (Hidayat et al.

2013). Kondisi ini menyebabkan air hujan sulit meresap ke dalam tanah sehingga aliran permukaan meningkat. Aliran permukaan yang meningkat menyebabkan debit sungai ketika musim hujan tinggi, namun karena kemampuan sungai dalam menyimpan air rendah menyebabkan debit ketika musim kemarau sangat rendah. Curah hujan di DAS Citarum Hulu yang cukup tinggi dan penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan menyebabkan peningkatan erosi. Erosi yang terus meningkat menyebabkan sedimentasi sungai meningkat. Peningkatan aliran

0.0 300.0 600.0 900.0 1200.0 1500.0 1800.0

(24)

permukaan, debit sungai ketika musim hujan, dan sedimentasi sungai sering menyebabkan banjir di daerah hilir.

Tabel 2. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum Hulu Tahun 2001 dan 2011

Sumber : Megandana 2013

Kondisi hulu DAS Citarum yang buruk juga diperparah dengan kondisi hilir DAS Citarum yang buruk. Hal tersebut terlihat dari banyaknya pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Selain itu adanya degradasi prasarana pengendali banjir dan prasarana jaringan irigasi bahkan ada beberapa titik yang kekurangan prasarana pengendali banjir di muara. Kondisi tersebut menyebabkan Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir sehingga menyebabkan limpasan tinggi. Akibatnya aliran keluar dari waduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700 m3/detik. Bersamaan dengan meluapnya sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawang yang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampu lagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di beberapa wilayah di Kabupaten Karawang.

Ancaman banjir tersebut sudah mulai melanda persawahan di Kabupaten Karawang. Banjir yang melanda persawahan tersebut hampir selalu menyebabkan kegagalan panen (puso) di wilayah Kabupaten Karawang. Gambar 6 menunjukkan kegagalan panen akibat banjir hampir terjadi di seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang. Luas sawah rata – rata dari musim tanam 2008/2009 – 2013/2014 yang gagal panen akibat banjir berbeda – beda setiap wilayah. Secara keseluruhan rata – rata luas sawah yang puso mencapai 219,84 ha. Wilayah yang luas rata – rata pusonya tertinggi adalah Kecamatan Cilamaya Kulon. Kecamatan tersebut rata- rata luas pusonya di atas 700 ha kemudian diikuti dengan Kecamatan Cilebar dengan luas puso hampir 600 ha.

Penggunaan Lahan

Luas Penggunaan Lahan (HA)

% Perubahan

Tahun

2001 % 2011

Badan Air 2.246,29 0,97 2.246,29 0,97 0

Hutan 1.4191,59 6,11 12.834,70 5,52 -1.356,89

Hutan Tanaman 2.5851,2 11,13 26.512,32 11,41 661,12

Perkebunan 4.215,58 1,81 4.256,41 1,83 40,83

Pertanian Lahan Kering 4.6597,94 20,06 44.694,29 19,24 -1903,65 Pertanian Lahan Kering

Campuran 3.1296,68 13,47 32.350,83 13,92 1054,15

Pemukiman 3.8899,15 16,74 41.562,4 17,89 2663,25

Semak Belukar 1.603,98 0,69 1.710,43 0,74 106,45

Sawah 6.4689 27,84 64.664,84 27,83 -24,16

Tanah Terbuka 2.732,25 1,18 1.491,15 0,64 -1241,1

(25)

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karawang 2015

Gambar 6. Rata - Rata Luas Sawah Gagal Panen di Kabupaten Karawang Musim Tanam 2008/2009 – 2013/2014

Ancaman banjir yang terus meningkat di Kabupaten Karawang tentunya akan menimbulkan masalah bagi masyarakat Kabupaten Karawang. Hal ini dikarenakan banjir akan mengganggu keamanan dan ketahanan pangan. Selain itu, mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar petani tentunya akan sangat terpengaruh dengan adanya ancaman banjir. Hal ini dikarenakan banjir menyebabkan sawah menjadi rusak sehingga akan mengurangi pendapatan petani. Kondisi ini pada jangka panjang akan menyebabkan kemiskinan pada petani.

Berdasarkan uraian tersebut maka muncul pertanyaan dalam penelitian ini: 1. Bagaimana tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu?

2. Daerah mana saja di Kabupaten Karawang yang memiliki tingkat bahaya tinggi? 3. Bagaimana tingkat kerentanan petani Kabupaten Karawang dalam menghadapi

bahaya banjir?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu

2. Menganalisis tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang

3. Menganalisis tingkat kerentanan petani Kabupaten Karawang di daerah dengan tingkat bahaya banjir tinggi.

(26)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi kepada pemerintah daerah setempat dan masyarakat khususnya petani mengenai kerentanan petani di daerah dengan bahaya banjir yang tinggi sehingga dapat menjadi masukan dalam strategi untuk menghadapi bahaya banjir.

Kerangka Pemikiran

Perubahan iklim menyebabkan perubahan pola curah hujan di Kabupaten Karawang. Perubahan pola curah hujan tersebut menyebabkan pada musim hujan intensitas curah hujan jauh meningkat di atas normal. Curah hujan yang jauh meningkat pada musim hujan menyebabkan kejadian ekstrim seperti banjir di Kabupaten Karawang sering terjadi.

Kondisi DAS Citarum bagian hulu yang buruk karena berkurangnya luas hutan dan terus bertambahnya permukiman juga ikut menyebabkan kejadian banjir di Kabupaten Karawang. Hal ini terlihat dari debit sungai Citarum bagian hulu yang jauh meningkat pada musim hujan. Selain itu, sedimentasi yang tinggi di DAS Citarum menyebabkan pendangkalan sungai sehingga kemampuan sungai dalam menampung air berkurang sehingga ketika musim hujan sungai mudah meluap dan menyebabkan banjir,

Perubahan pola curah hujan dan buruk hulu DAS Citarum meningkatkan ancaman banjir di Kabupaten Karawang. Ancaman banjir tersebut juga sudah melanda areal persawahan di Kabupaten Karawang. Banjir merendam sawah – sawah di Kabupaten sehingga menyebabkan kegagalan panen (puso). Kegagalan panen tersebut menyebabkan ketidakpastian pangan sehingga akan menganggu ketahanan pangan nasional. Banjir yang terus meningkat frekuensinya juga merupakan ancaman bagi kehidupan petani di Kabupaten Karawang. Hal ini dikarenakan kegagalan panen akan menyebabkan penurunan pendapatan petani karena penurunan hasil panen.. Ancaman banjir yang terus meningkat akan meningkatkan kerentanan terhadap petani. Petani yang rentan umumnya memiliki kemampuan adaptasi yang rendah.Sementara petani yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi akan mampu bertahan pada kondisi tersebut.

Kerentanan nafkah petani di pengaruhi oleh kelima modal. Modal tersebut adalah modal manusi, modal alam, modal fisik, modal sosial, dan modal finansial. Kelima modal tersebut memegang peranan penting dalam menilai kerentanan. Kurangnya suatu modal akan membuat petani cukup rentan terhadap ancaman atau bahaya dari luar.

(27)

Gambar 7. Kerangka Pemikiran

2 TINJAUAN PUSTAKA

Banjir

Banjir terjadi ketika volume air tidak lagi tertampung di dalam wadah yang seharusnya, sehingga menggenangi suatu daerah atau kawasan lain di sekitarnya (Suherlan 2001). Dengan demikian debit air sungai yang meningkat pada suatu waktu dan tidak tertampung lagi oleh alur sungai dapat melahirkan banjir. Banjir menjadi masalah dan berkembang menjadi bencana ketika banjir tersebut mengganggu aktivitas manusia dan bahkan membawa korban jiwa dan harta benda (Sobirin 2009). Banjir dapat dipandang sebagai suatu peristiwa alam, namun dapat pula dilihat sebagai hasil dari ulah atau campur tangan manusia seperti pengembangan kota yang sangat cepat, namun tidak diimbangi dengan pembangunan sarana drainase (Diposaptono dan Budiman 2007).

Banjir disebabkan oleh kondisi dan fenomena alam (topografi dan curah hujan), kondisi geografis daerah dan kegiatan manusia yang berdampak pada perubahan tata ruang atau guna lahan di suatu daerah (BMKG 2013). Kodoatie dan Syarief (2006) menjelaskan faktor penyebab banjir antara lain perubahan guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi,

Kerentanan Nafkah Petani

Strategi Bahaya / Ancaman

Banjir

Peningkatan Curah Hujan Kerusakan

DAS Citarum Hulu

Perubahan Iklim Perubahan

Penggunaan Lahan

Peningkatan Debit Sungai

(28)

fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir. banjir juga

dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang

memperhatikan kaidah - kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang yang kurang memperhatikan kemampuannya dan melebihi kapasitas daya dukungnya (Rosyidie 2013).

Banjir merupakan salah satu bencana yang berdampak paling signifikan di dunia. Lebih dari setengah kerusakan banjir global terjadi di Asia. Banjir disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Faktor penyebab alami antara lain hujan deras dan gelombang laut yang tinggi. Sedangkan, faktor penyebab manusia adalah pemblokiran saluran atau penyumbatan saluran drainase, penggunaan lahan yang tidak tepat, deforestasi di daerah hulu, dll. Banjir menyebabkan kerugian jiwa dan material. Peningkatan populasi urbanisasi menghasilkan daerah kurang infiltrasi, dan menjadi puncak banjir dan limpasan. Masalah menjadi lebih penting karena banjir yang lebih parah mungkin sering disebabkan oleh perubahan iklim, ketidakpuasan publik, dan keterbatasan dana (Tingsanchali 2011).

Banjir menjadi ancaman serius bagi usaha tani padi khususnya di daerah pesisir, seperti di bagian barat Sumatera, Selatan dan utara Jawa, dan timur Papua. Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 300 ribu ha lahan sawah yang mengalami kerusakan akibat banjir dan terendam, dan 60 ribu ha diantaranya gagal panen (Manikmas 2008). Di propinsi Jawa Barat, banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi, terutama pada saat musim hujan. Banyak petani di pantura yang hanya bisa pasrah menyaksikan lahan pertanian dan perikanannya hancur diterjang banjir. Ketinggian air ada yang mencapai lebih dari satu meter. Banjir tidak hanya menggenangi daerah perdesaan tetapi juga kawasan perkotaan (Rosyidie 2013).

Banjir juga sering terjadi di DAS Citarum terutama di bagian hulu. Banjir terjadi sejak puluhan tahun lalu antara lain tahun 1931, 1984, 1986, 2005, 2007, 2010 dan tahun 2012 (Dinas PSDA Jawa Barat 2013). Salah satu kawasan di Citarum Hulu yang sering mengalami banjir adalah Cieunteung. Kampung ini biasanya juga paling parah terkena dampak banjir. Setiap tahun ratusan penduduk harus meninggalkan tempat tinggalnya mengungsi ke tempat lain karena rumah tempat tinggal mereka tergenang banjir. Banjir tersebut telah mengganggu berbagai kegiatan penduduk baik untuk keperluan bekerja, pendidikan, maupun lainnya

Kejadian bencana banjir berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Umur padi yang tergenang banjir, varietas yang digunakan, dan lama genangan yang berbeda menyebabkan produksi yang diperoleh berbeda. Produksi tanaman pangan khususnya padi, dapat menurun akibat kejadian banjir, terutama pada kondisi terjadinya iklim ekstrem. Akibat iklim ekstrem, pada musim penghujan dapat terjadi kelebihan air yang dapat mengakibatkan genangan di lahan pertanaman tanaman pangan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan produksi beras nasional (Suhartatik et al. 2010).

(29)

Penanggulangan banjir di negara – negara berkembang sebagian besar masih reaktif menanggapi situasi bencana yang terjadi (tanggap darurat dan pemulihan). Respon reaktif tersebut harus diubah menjadi respon proaktif untuk meningkatkan efektivitas manajemen dan mengurangi kerugian jiwa dan material. Manajemen bencana yang proaktif membutuhkan partisipasi yang lebih dari berbagai pihak baik pemerintah, LSM, swasta dan partisipasi masyarakat (Tingsanchali 2011).

Kegiatan penanggulangan banjir di Indonesia hampir sama seperti di negara berkembang lainnya. Dimana, peran pemerintah masih sangat dominan pada setiap tahap bencana. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat kurang. Partisipasi masyarakat yang merupakan critical player pada tahap sebelum bencana, memiliki pengaruh sangat kecil dalam proses dan implementasi kebijakan. Tingkat partisipasi terbaik yang terjadi baru pada tingkat consultation. Pada beberapa kegiatan masih pada tingkat information. Di tahap ini masyarakat masih sebagai obyek program/kegiatan pemerintah. Partisipasi telah dimulai pada tingkat

partnership pada lingkup lingkungan setempat yang dilaksanakan secara spontan. Kegiatan tanggap darurat, di saat bencana banjir datang, partisipasi masyarakat seimbang dengan stakeholder lainnya. Tingkat partisipasi yang dicapai adalah

partnership, baik secara individu maupun kelompok organisasi sosial. Pada tahapan rehabilitasi setelah bencana, pemerintah kembali dominan, terutama dalam kegiatan fisik. Partisipasi masyarakat hanya sebatas konsultasi. Tingkat partisipasi risk sharing

dan partnership dilakukan lingkup lingkungan setempat (Direktorat Pengairan dan Irigasi 2008).

Bahaya (Hazard)

Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PB 2002) bahaya (hazard) adalah suatu fenomena alam atau buatan manusia yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda hingga kerusakan lingkungan. Berdasarkan United Nation International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), bahaya dibedakan menjadi lima kelompok yaitu:

1. Bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunung api, dan longsor.

2. Bahaya beraspek hidrometereologi antara lain banjir, kekeringan, angin topan, dan gelombang pasang

3. Bahaya beraspek biologi, antara lain wabah penyakit, hama, dan penyakit tanaman.

4. Bahaya beraspek teknologi, antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, dan kegagalan teknologi.

5. Bahaya beraspek lingkungan, antara lain kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, dan pencemaran limbah

Indeks Bahaya/Ancaman

(30)

Indeks bahaya banjir disusun dengan variabel – variabel curah hujan, liputan lahan, lereng, sistem lahan, dan elevasi (Hariyani et al. 2012). Pemakaian variabel tersebut mengacu pada penelitian yang sudah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah penelitian. Variabel – variabel kemudian digabungkan data historis kejadian banjir. Dalam pembuatan model bahaya banjir diperlukan bobot dari setia variabel tersebut. Setelah bobot setiap variabel didapatkan maka indeks bahaya banjir didapatkan dengan rumus :

Indeks Bahaya Banjir = (Wch x Sch) + (Wl x Sl) + (We x Se) + (Wlc x Slc) + (Wlfx Slf) Keterangan :

Wi = bobot untuk masing – masing variabel E = elevasi

Si = skor untuk masing – masing variabel Lc = Tutupan Lahan (Land Cover)

Ch = curah hujan Lf = Bentuk Lahan (Land Form)

L = lereng

Penentuan wilayah rawan banjir/ genangan pada lahan sawah, digunakan parameter kondisi morfologi wilayah termasuk kondisi relief/topografi, curah hujan, dan drainase tanah. Berdasarkan parameter tersebut kemudian dibuat skor dan pembobotan (Balittanah 2005).

Kerentanan

Konsep kerentanan mempunyai sejarah akademik yang muncul dari penelitian pada risiko, bahaya, dampak dari perubahan iklim, ketahanan pangan (Adger 2006). Sehubungan dengan kemajuan teori pada bagaimana kerentanan dikonseptualisasi, telah datang suatu jangkauan yang luas dari aplikasi konsep kerentanan pada berbagai disiplin ilmu untuk berbagai bidang ilmu atau tujuan praktek. Kecenderungan yang tumbuh cepat baru – baru ini telah menjadikan integrasi antara kerentanan dengan ilmu keberlanjutan dan penelitian lingkungan global. Pendekatan ini terhadap kerentanan lebih empiris dan praktis untuk mendiagnosis dan mengevaluasi cara untuk membantu kelompok rentan atau mengurangi risiko sektor atau mencegah sistem rapuh dalam menghadapi perubahan lingkungan (Kwan Hui –Lin dan Chang Yi-Chang 2013).

(31)

Kerentanan didefinisikan sebagai sejauh mana sebuah komunitas, struktur, jasa atau wilayah geografis mungkin akan rusak atau terganggu oleh dampak bahaya tertentu, karena sifatnya, konstruksi dan dekat dengan medan berbahaya atau daerah yang rawan bencana. Kerentanan dapat dikategorikan ke dalam kerentanan sosial-ekonomi dan fisik. Kerentanan fisik meliputi pengertian tentang siapa dan apa yang mungkin rusak atau hancur oleh bencana alam seperti kekeringan, banjir dan gempa bumi. Hal ini didasarkan pada kondisi fisik orang dan elemen berisiko, misalnya bangunan, alam dan kedekatan bahaya. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan teknis dari subyek untuk melawan gaya yang bekerja pada mereka. Sedangkan, kerentanan sosial ekonomi berarti sejauh mana populasi manusia dipengaruhi oleh bahaya; itu tidak akan hanya tergantung pada komponen fisik dari kerentanan tetapi juga pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, orang-orang miskin yang tinggal di pantai laut tidak memiliki uang untuk membangun rumah-rumah beton yang kuat. Mereka kehilangan tempat tinggal mereka setiap kali ada angin kencang atau badai di dekat pantai laut.Karena kemiskinannya, mereka tidak mampu untuk membangun kembali rumah-rumah beton yang kuat untuk memerangi bahaya seperti siklon dan angin kencang (Himayatullah dan Abuturab 2008).

Indikator kerentanan menyediakan suatu pengertian yang berguna secara potensial untuk pemantauan kerentanan sepanjang ruang dan waktu, mengidentifikasi proses yang berkontribusi terhadap kerentanan, memprioritaskan strategi untuk mengurangi kerentanan dan mengevaluasi keefektifan strategi tersebut dalam perbedaan sosial da pengaturan ekologi. Namun, sampai hari ini definisi dan penilaian sering diaplikasikan secara inkonsisten. The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyediakan suatu kegunaan tipologi, mengusulkan bahwa kerentanan merupakan suatu fungsi dari tiga komponen yaitu adaptive capacity, sensitivity, dan exposure. Adaptive capacity menggambarkan kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan terhadap kondisi aktual atau yang diharapkan terhadap tekanan iklim, atau untuk mengatasi dengan konsekuensi – konsekuensinya. Pertimbangannya suatu fungsi dari kekayaan, teknologi, pendidikan, informasi, kemampuan, akses terhadap sumberdaya, stabilitas dan kemampuan manajemen.

Sensitivity menunjukkan derajat dimana suatu sistem akan merespon terhadap suatu perubahan dari iklim, baik secara positif maupun negatif. Exposure berhubungan dengan derajat tekanan iklim suatu unit analisis utama., diwakili dengan salah satu perubahan iklim jangka panjang dalam kondisi iklim termasuk besarnya dan frekuensi kejadian ekstrim (Shah et al. 2013).

Indeks Kerentanan Banjir

Kerentanan banjir didefinisikan sebagai ukuran dari daerah atau penduduk terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh banjir. Secara keseluruhan kerentanan banjir merupakan kombinasi dari kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Nilai rata – rata dari empat komponen kerentanan dianggap sebagai kerentanan banjir secara keseluruhan. Gabungan dari keempat jenis kerentanan dapat memberikan estimasi yang lebih baik dari kerentanan banjir secara keseluruhan (Peck et al. 2007)

(32)

infrastruktur. Setiap nilai dari masing – masing komponen kerentanan diperoleh dari rata – rata indikator banjir dalam setiap deskriptor, di situasi yang tidak ada bobot yang lebih besar atau masing – masing kerentanan memiliki arti yang sama maka nilai kerentanan dapat ditentukan dengan merata – ratakan keempat komponen tersebut sehingga nilai kerentanan diperoleh dengan rumus :

Dimana VulPhy, VulSoc, VulEco, dan VulInfra adalah nilai rata – rata dari kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan infrastruktur.

Kerentanan Nafkah

Menurut Ellis (2000), nafkah (livelihood) adalah mata pencaharian terdiri dari aset (alam, manusia, finansial, dan modal sosial), kegiatan dan akses masuk (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu atau rumahtangga. Modal alam merujuk pada sumber daya alam dasar (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan hidup mereka. Modal fisik merujuk pada aset-aset yang dibawa ke dalam eksistensi proses produksi ekonomi, sebagai contoh, alat-alat, mesin, dan perbaikan tanah seperti teras atau saluran irigasi. Modal manusia merujuk pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi. Modal finansial merujuk pada persediaan uang tunai yang dapat diakses untuk membeli barang-barang konsumsi atau produksi, dan akses pada kredit dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Modal sosial merujuk pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan dari mana mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi terhadap penghidupan mereka.

Pada dasarnya nafkah merupakan konsep multidimensi yang menunjukkan hasil dan aktivitas. Pemahaman kata nafkah selalu dikaitkan dengan konteks, aset, institusi, proses maupun keluaran dalam sistem penghidupan. Dengan demikian konsep penghidupan dalam pengertian kontemporer bukanlah konsep yang dapat berdiri sendiri, tetapi harus dipahami secara spesifik dan konstekstual dalam hubungan dengan komponen lain dalam sistem penghidupan (Rijanta dalam Saleh 2014).

(33)

dilakukan oleh rumahtangga untuk mewujudkan alternatif kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan yang diperlukan untuk hidup (Saleh 2014)

Penelitian kerentanan nafkah mengadopsi dari Suistanable Livelihood Framework (SLF) untuk memandu kerentanan masyarakat terhadap banjir dan bencana alam lainnya (Ngyuyen et al. 2013). SLF merupakan suatu alat konseptual yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman tentang kesejahteraan masyrakat miskin. Hal ini terlihat dari 5 tipe modal rumah tangga yaitu modal manusia, modal social, modal alam, modal finansial, dan modal fisik untuk menilai keterpaparan terhadap bencana alam dan variabilitas iklim, karakteristik sosial dan ekonomi rumah tangga yang mempengaruhi kapasitas adaptasi mereka, dan kesehatan saat ini, makanan dan karakteristik sumber daya air yang menentukan sensitivitas mereka terhadap dampak perubahan iklim (Chambers dan Conway 1992 dalam Shah et al.

2013). Mengacu pada SLF Hahn et al. (2009) mengembangkan Livelihood Vulnerability Index (LVI) yang bertujuan untuk dapat digunakan dalam menginformasikan perencanaan strategis masyrakat sampai pada tingkat rumah tangga.

Analisis LVI pertama kali diaplikasikan di Mozambik. Analisis ini digunakan untuk menguji dua komunitas masyarakat di Mozambik dalam menghadapi kerentanan terhadap perubahan iklim. Analisis tersebut mebuktikan adanya perbedaan kerentanan nafkah pada masyarakat akibat adanya perubahan iklim. Selanjutnya analisis ini sudah diaplikasikan di negara lain seperti Nepal, Ghana, Trinidad dan Tobago, dan Vietnam.

Dalam penelitian Ngyuyen et al. (2013), LVI digunakan untuk menilai kerentanan masyarakat yang berada di daerah rawan banjir. Lokasi daerah banjir yang dijadikan penelitian juga dibedakan antara daerah awal yang terkena banjir dengan daerah yang biasanya terakhir terkena banjir. Hasil penelitian Ngyuyen et al. (2013) LVI menujukkan adanya perbedaan kerentanan nafkah pada masyarakat di kedua lokasi tersebut. Masyarakat yang berada di lokasi awal terkena banjir kerentanan nafkahnya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang berada di lokasi akhir terkena banjir.

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
(34)

oleh Sungai Citarum. Wilayah Kabupaten Karawang yang dilairi oleh Sungai Citaru meliputi 18 kecamatan yaitu Batujaya, Ciampel, Cibuaya, Cikampek, Jayakerta, Karawang Barat, Karawang Timur, Klari, Pakisjaya, Pangkalan, Pedes, Rawamerta, Rengasdengklok, Tegalwaru, Telukjambe Barat, Telukjambe Timur, dan Tirtajaya.

Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi literatur yang terkait dengan lokasi, data primer dan juga data sekunder. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari wawancara dan kuesioner. Data sekunder didapatkan dari instansi terkait seperti BPS, BNPB,, Dinas Pertanian, dll. Peta yang dibutuhkan antara lain administrasi, curah hujan, tanah, dan topografi yang bersumber dari Badan Informasi Geospasial. Adapun alat yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak Arc Gis 10.2, Microsoft Office Word dan Excel.

Teknik Pengumpulan Data

(35)

digunakan untuk menganalisis kerusakan DAS Citarum Hulu sedangkan untuk analisis bahaya banjir dan kerentanan digunakan data primer dan sekunder.

Data sekunder yang digunakan dalam menganalisis kerusakan DAS Citarum Hulu antara lain adalah data debit sungai, tutupan lahan,data curah hujan, dan data erosi dan sedimentasi. Data debit sungai digunakan untuk menilai KRS sungai dan Koefisien Aliran Permukaan DAS Citarum Hulu. Data tutupan lahan digunakan untuk menilai luas vegetasi permanen yang terdapat di DAS Citarum Hulu. Data curah hujan digunakan untuk menilai Koefisien Aliran Permukaan di DAS Citaru Hulu. Data erosi digunakan untuk menilai indeks erosi kumulatif yang terjadi di DAS Citarum Hulu. Data sedimentasi digunakan unutuk menilai laju sedimentasi yang terdapat di DAS Citarum Hulu. Data – data tersbut didapatkan dari berbagai sumber diantaranya BPDAS Citarum – Ciliwung, BBWS Citarum, dan Dinas PSDA Jabar.

Data sekunder yang digunakan dalam menganalisis tingkat bahaya banjir adalah data curah hujan , data drainase tanah, dan data historis banjir. Data curah hujan digunakan untuk menilai kelas curah hujan berdasarkan tingkat bahaya banjir. Data curah hujan didapatkan dari Dinas PSDA Jawa Barat. Data drainase tanah digunakan untuk menilai kelas drainase tanah berdasarkan kriteria tingkat bahaya banjir. Data drainase tanah didapatkan dari peta tanah RBI Indonesia tahun 2012. Data drainase dalam analisis ini berdasarkan sifat pada masing – masing jenis tanah. Data historis banjir yang digunakan dalam menilai tingkat bahaya banjir adalah tinggi genangan, lama genangan, dan frekuensi banjir. Data – data tersebut dilihat kelasnya sesuai dengan kriteria tingkat bahaya banjir.

Penentuan petani responden dilakukan dengan metode penarikan stratified random sampling. Dengan metode tersebut, petani yang diambil sampel adalah petani yang berada di daerah dengan tingkat bahaya banjir tinggi yaitu Kecamatan Jayakerta dan Kecamatan Telukjambe Barat. Di kecamatan tersebut dipilih masing – masing 1 desa yang paling sering terkena banjir Desa yang terpilih adalah Desa Ciptamarga untuk Kecamatan Jayakerta dan Desa Karangligar untuk Kecamatan Telukjambe Barat. Di desa tersebut dipilih daerah – daerah yang sering mengalami banjir. Daerah tersebut dikelompokkan ke dalam dusun. Dusun yang sering mengalami banjir di Desa Karangligar adalah Dusun Pengasinan dan Dusun Kampek. Di Desa Ciptamarga, Dusun yang sering terkena banjir adalah Dusun Peundeuy. Responden dalam penelitian ini diambil dari ketiga dusun tersebut. Responden diambil masoing – masing 30 petani dari setiap dusun. Data responden ini kemudian akan digunakan untuk menganalisis kerentanan nafkah petani di ketiga dusun tersebut. Analisis ini akan membandingkan kerentanan nafkah petani di masing – masing dusun.

(36)

Tabel 3. Metode dan Prosedur Analisis Data

Tujuan

Penelitian Parameter Variabel Keterangan

Jenis Data

Sumber

Data Metode

1. Menganalisis Tingkat Kerusakan DAS Citarum Hulu Fisik Tutupan Lahan Persentase luas tutupan lahan hutan di wilayah DAS Citarum Hulu

Sekunder BPDAS

Analisis Tingkat Kerusakan DAS Citarum Hulu Tingkat Erosi Perbandingan pendugaan erosi dengan erosi yang diperbolehkan

Sekunder BPDAS

Sedimentasi Laju sedimentasi DAS Citarum

Sekunder PSDA

Hidrologi

KRS

Perbandingan debit harian rata – rata maksimum dan minimum tahunan

Sekunder PSDA

Koefisien Aliran Permukaan (C) Koefisien aliran permukaan DAS Citarum hulu tahunan

Sekunder PSDA

2. Menganalsis Tingkat Bahaya Banjir Kabupaten Karawang Curah Hujan Curah Hujan Tahunan

Rata – rata curah hujan tahunan setiap wilayah

Sekunder PSDA

Analisis

Tingkat Bahaya Banjir

Drainase Drainase tanah

Keadaan

drainase tanah Sekunder

Peta Tanah BIG Historis Banjir Tinggi Genagan Tinggi genangan air di lahan sawah saat terjadi banjir

Sekunder Dinas Pertanian Lama Genangan Lama genangan di lahan sawah saat terjadi banjir

(37)

Tabel 3. Metode dan Analisis Data (lanjutan) Historis Banjir Frekuensi Banjir Banyaknya

kejadian banjir dari tahun 2009 - 2014

Sekunder Dinas

Pertanian

Analisis Tingkat Bahaya Banjir

3. Menganalisis Tingkat Kerentanan Nafkah Rumah Tangga Petani di Daerah Dengan Tingkat Bahaya Banjir Tinggi Modal Manusia Tingkat pendidikan petani Persentase petani yang tingkat pendidikan hanya lulus SD dan tidak pernah sekolah Primer Kuesioner dan wawancara Analisis tingkat kerentanan nafkah petani Sumber pendapatan utama Persentase petani yang sumber pendapatan utama dari pertanian Primer Kuesioner dan wawancara Sumber nafkah lain Persentase petani yang tidak memiliki sumber nafkah lain di luar pertanian

Primer

Kuesioner dan wawancara

Usia Persentase petani dengan usian > 50 tahun Primer Kuesioner dan wawancara Modal Alam Tidak memiliki lahan sawah Persentase petani yang tidak memilki lahan sawah Primer Kuesioner dan wawancara Memiliki lahan sedikit Persentase petani yang memiliki lahan sawah 0,1 – 0,5 ha Primer Kuesioner dan wawancara Lahan garapan sedikit Persentase petani dengan lahan garapan 0,1 – 0,5 ha Primer Kuesioner dan wawancara Modal Fisik Tidak memiliki hewan ternak Persentase petani yang tidak memiliki hewan ternak Primer Kuesioner dan wawancara Tidak memiliki

traktor Persentase petani yang tidak memiliki traktor

Primer

(38)

Tabel 3 . Metode dan Prosedur Analisis Data (lanjutan) 3.Menganalisis Tingkat Kerentanan Nafkah Rumah Tangga Petani di Daerah Dengan Tingkat Bahaya Banjir Tinggi Modal Fisik Tinggal di rumah semi permanen Persentase petani yang tinggal di rumah semi permanen Primer Kuesioner dan wawancara Analisis tingkat kerentanan nafkah petani Tidak memiliki mesin pompa Persentase petani yang tidak memiliki mesin pompa Primer Kuesioner dan wawancara Modal Sosial Tidak aktif organisasi masyarakat Persentase petani yang tidak aktif organisasi masyarakat Primer Kuesioner dan wawancara Tidak dapat bantuan bibit Persentase petani yang tidak dapat bantuan bibit ketika banjir Primer Kuesioner dan wawancara Tidak bisa memanfaatkan hutang Persentase petani yang tidak bisa memanfaatkan hutang dengan tetangga Primer Kuesioner dan wawancara Modal Finansial Tidak memiliki tabugan di lembaga keuangan Persentase petani yang tidak memiliki tabungan di lembaga keuangan Primer Kuesioner dan wawancara Tingkat pendapatan rendah Persentase petani dengan tingkat pendapatan < 15 juta per tahun Primer Kuesioner dan wawancara Kehilangan pendapatan Persentase petani yang kehilangan pendaptan ketika banjir Primer Kuesioner dan wawancara Hutang Persentase petani

(39)

Prosedur Analisis Data

Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan analisis pada Gambar 9 menunjukkan penelitian dimulai dengan studi literatur/pustaka. Setelah dilakukan studi literatur atau pustaka selanjutnya dilakukan pengumpulan data. Data

– data yang dikumpulkan kemudian dikelompokan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data tersebut adalah kerusakan DAS Citarum Hulu, kerawanan banjir, eksposur, sensitivitas dan kapasitas.

Data kerusakan DAS Citarum Hulu kemudian dibutuhkan untuk mengetahui tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu. Data kerawanan banjir yang dibutuhkan yaitu historis banjir, curah hujan dan drainase tanah untuk analisis bahaya banjir. Setelah didapatkan tingkat bahaya banjir masing – masing daerah maka didpilih daerah yang memiliki tingkat bahaya banjir tinggi. Data modal nafkah yang terdiri dari modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal sosial, dan modal alam digunakan untuk analisis kerentanan nafkah. Analisis kerentanan nafkah akan menghasilkan indeks kerentanan nafkah. Setelah ketiga analisis tersebut dilakukan maka dilakukan suatu perumusan strategi mengurangi kerentanan dalam menghadapi bahaya banjir.

Gambar 9 . Tahapan Analisis Penelitian Studi

Literatur/Pustaka

Pengumpulan Data

Pengelompokan Data

Kerawanan Banjir

Analisis Bahaya Banjir

Indeks Bahaya Banjir

Peta Tingkat Bahaya Banjir

Analisis Kerentanan Nafkah

Indeks Kerentanan Nafkah Peta Kerentanan Nafkah

Strategi Menghadapi Bahaya Banjir

(Sintesis Penelitian) Kerusakan DAS

Citarum Hulu

(40)

Analisis Data

Analisis Kerusakan DAS Citarum Hulu

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan parameter hidrologi dan fisik DAS Citarum Hulu. Parameter hidrologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah KRS (Koefisien Regim Sungai) dan Koefisien Aliran Permukaan. Parameter fisik DAS Citarum Hulu yang digunakan adalah tutupan lahan, erosi, dan sedimentasi. Tahapan dalam penelitian pada Gambar 10 dilakukan dengan menghitung nilai dari parameter – parameter tersebut kemudian diberi skor sesuai dengan paduan monitoring dan evaluasi DAS (BPDAS). Setelah skoring semua kriteria dihitung maka nilai skor tersebut dijumlahkan kemudian dibagi dengan bobot total. Hasil dari analisis ini akan menghasilkan nilai tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu.

Gambar 10. Analisis Kerusakan DAS Citarum Hulu

1. Koefisien Regim Sungai (KRS)

Koefisien Regim Sungai (KRS) adalah perbandingan debit aliran (Q) maksimum dengan debit aliran minimum dalam suatu DAS/Sub DAS dalam satu tahun pengamatan. Maka untuk mendapatkan nilai KRS didapatkan dengan rumus

KRS = Qmaks/Qmin

Setelah nilai KRS didapatkan maka nilai KRS di skoring berdasarkan kriteria pada Tabel 4.

Data Hidrologi Data Fisik

1. KRS = Qmax/Qmin 2. Aliran Permukaan (Run-off)

1. Penggunaan Lahan 2. Tingkat Erosi

3. Sedimentasi

Skor

(41)

Tabel 4. Kriteria Nilai KRS dalam Penilaian Kerusakan DAS

Sumber : Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial 2009

2. Koefisien Aliran Permukaan (C)

Koefisien Aliran Permukaan merupakan perbandigan tinggi limpasan dengan tinggi curah hujan. Menurut Asdak (1995) dan Suripin (2002) Koefisien Aliran Permukaan adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dengan curah hujan yang bilamana C = 0,x artinya sejumlah x % dari curah hujan mengalir menjadi aliran permukaan yang menuju sungai atau outlet DAS yang bersangkutan dan sisanya terpakai pada proses infiltrasi dan evaporasi. Nilai Koefisien Aliran Permukaan didapatkan dengan rumus :

Kriteria nilai Koefisien Aliran Permukaan dalam monitoring dan evaluasi adalah seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Kriteria Nilai Koefisien Aliran Permukaan (C) dalam Penilaian Kerusakan DAS

Skor Nilai C Kriteria

1 < 0,25 Baik

3 0,25 – 0,5 Sedang

5 0,51 - 1 Buruk

Sumber : Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial 2009

3. Laju Sedimentasi

Sedimentasi adalah jumlah material tanah berupa kadar lumpur dalam air oleh aliran air sungai yang berasal dari hasil proses erosi di hulu, yang diendapkan pada suatu tempat di hilir dimana kecepatan pengendapan butir-butir material suspensi telah lebih kecil dari kecepatan angkutannya.

Laju sedimentasi didapatkan dengan membagi beban sedimen tahunan (ton/ tahun) dengan luas DAS sehingga didapatkan laju sedimentasi dalam jumlah

Skor Nilai KRS Kriteria

1 < 50 Baik

3 50 - 75 Sedang

(42)

ton/ha/tahun. Laju sedimentasi tersebut kemudian dibagi lagi dengan berat jenis tanah sehingga didapatkan laju sedimentasi dalam mm/tahun. Berat jenis tanah ditentukan berdasarkan tekstur tanah sesuai dengan kriteria pada Tabel 6. Setelah laju sedimentasi didapatkann dalam satuan mm/tahun maka penilaian kerusakan disesuaikan denga kriteria pada Tabel .

Tabel 6. Berat Jenis Tanah pada Berbagai Tekstur Tanah

Tekstur Tanah Berat Jenis

Pasir (sandy) 1,65 (1,55 – 1,80)

Lempung berpasir (sandy loam) 1,50 (1,40 – 1,60)

Lempung (loam) 1,40 (1,35 – 1,50)

Lempung berliat (clay loam) 1,35 (1,30 – 1,40)

Liat berdebu (silky clay) 1,30 (1,25 – 1,35)

Liat (clay) 1,25 (1,20 – 1,30)

Sumber : Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial 2009

Tabel 7. Kriteria Nilai Laju Sedimentasi (Qs) dalam Penilaian Kerusakan DAS

Skor Laju sedimentasi (mm/tahun) Kriteria

1 < 2 Baik

3 2 - 5 Sedang

5 > 5 Buruk

Sumber : Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial 2009

4. Indeks Erosi (IE)

Indeks erosi (IE) pada DAS bertujuan untuk mengetahui besarnya erosi aktual terhadap nilai batas erosi yang bisa ditoleransi di DAS. Indeks erosi (IE) diperoleh dengan cara membagi besaran erosi actual (E) dengan besara erosi yang diperkenankan (T). Nilai Erosi Aktual diperoleh dari laju sedimentasi tahunan (ton/ha/tahun) hasil pengamatan SPAS dibagi denganSDR (Sedimen Delivery Ratio). Nilai erosi aktual dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

E = Qs/ SDR Ket :

E = nilai erosi aktual (mm/th atau ton/th)

Qs = laju sedimentasi tahunan (mm/th atau ton/th) SDR = nilai estimasi berdasarkan luas DAS (%)

(43)

sampai di daerah outlet dari partikel erosi tersebut lebih cepat terjadi pengendapan di daerah dengan lua DAS yang lebih kecil.

Tabel 8. Nilai SDR berdasarkan Luas DAS

Sumber : Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial 2009

<

Gambar

Gambar 2. Curah Hujan Kabupaten Karawang Tahun 2009 – 2013
Tabel 1. Bencana Banjir Kabupaten Karawang Tahun 2007  – 2014
Tabel 2. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum Hulu  Tahun 2001 dan 2011
Gambar 6. Rata - Rata Luas Sawah Gagal Panen di Kabupaten Karawang Musim  Tanam 2008/2009 – 2013/2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KEMITRAAN ANTARA PT PERTANI (PERSERO) DENGAN PETANI PENANGKAR BENIE PAD1.. DI KAIIUPATEN

ANALISIS KEMITRAAN ANTARA PT PERTANI (PERSERO) DENGAN PETANI PENANGKAR BENIE PAD1. DI KAIIUPATEN

Faktor ekonomi yang berkaitan dengan motivasi petani antara lain modal, penerimaan, biaya, keinginan menambah penerimaan dan rangsangan harga, merupakan unsur

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi kondisi modal petani benih padi di Desa Sako Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin ditinjau dari modal

Kelompok Petani padi di Kabupaten Kediri yang telah menerapkan tanam padi organik , pada umumnya petani yang cukup memiliki modal dan lahan cukup luasDengan lahan yang luas petani

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah modal mata pencaharian yang dimiliki rumah tangga petani agroforestri berupa modal alam, modal manusia, modal sosial,

Hubungan Modal Sosial dan Modal Manusia dengan Tingkat Pendapatan Petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, tujuan dari penelitian ini adalah

Kemudahan dalam mendapatkan pinjaman modal juga mempengaruhi keputusan petani untuk budidaya melon, karena modal yang dibutuhkan untuk budidaya melon cukup besar dan