• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN BUDAYA MELAUT MASYARAKAT PESISIR SUKU

BAJOE AKIBAT VARIABILITAS IKLIM

(Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nurmujahidah Syamsuddin

(4)

ABSTRAK

NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN. Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh Yon Sugiarto.

Kehidupan suku Bajoe yang sepenuhnya bergantung dengan laut sangat rentan terhadap dinamika-dinamika laut yang terjadi akibat dari variabilitas iklim akan membuat kondisi pesisir dan laut semakin parah dan berdampak terhadap aktivitas ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerentanan budaya melaut suku Bajoe akibat variabilitas iklim. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah analisis hubungan unsur iklim dan unsur oseanografi dengan hasil produksi, juga dilakukan analisis kerentanan budaya melaut yang diperoleh dari wawancara langsung dengan 55 responden nelayan. Dari hasil kuisioner yang terdiri dari jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan dibuat kelas kerentanan budaya melaut meliputi kerentanan rendah, kerentanan sedang, dan kerentanan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa unsur iklim seperti curah hujan, suhu udara, arah dan kecepatan angin serta unsur oseanografi seperti tinggi gelombang dan suhu permukaan laut mempengaruhi aktivitas melaut dan jumlah tangkapan nelayan. Tahun 1996-2002 jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan rendah, sedangkan jumlah tangkapan ikan nelayan berada pada kerentanan tinggi. Tahun 2003-2008 jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan sedang, sedangkan jumlah tangkapan ikan berada pada kerentanan tinggi. Tahun 2009-2013 jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan tinggi, sedangkan jumlah tangkapan ikan berada pada kerentanan rendah.

Kata kunci: Variabilitas Iklim, suku Bajoe, kerentanan budaya melaut

(5)

ABSTRACT

NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN. Shipping tradition vulnerability of Bajoe Tribe coastal area society caused by The Climate Variability (case study Bajoe village, Bone Regency, South Sulawesi). Supervised by Yon Sugiarto

Bajoe tribe life is entirely depend on the sea which is particularly vulnerable to ocean dynamics that occur as a result of climate variability will make coastal and ocean conditions getting worse and give impact on economic activity. This study aims to determine the shipping tradition vulnerability of Bajoe due to climate variability. The methods used to collect this data are relationship analysis of climate and oceanographic elements with production, and analysis of shipping tradition vulnerability obtained from interviews with 55 respondents. The result of questionnaire consists of the distance on fishing, the length time of fishing and the number of catches which are made into culture vulnerability classification. Based on the survey showed that the climate element such as precipitation, air temperature, wind direction, wind speed, and oceanographic element such as wave height and sea surface temperature affected the activity of fishing and fishermen catch number. The distance on fishing and the length time of fishing are at low vulnerability, while the number of catch fishing is at high vulnerability in 1996-2002. The distance on fishing and the length time of fishing are at moderate vulnerability, while the number of catch fishing is at moderate vulnerability in 2003-2008. The distance on fishing and the length time of fishing are at high vulnerability, while the number of catch fishing is at low vulnerability in 2009-2013.

(6)
(7)

KERENTANAN BUDAYA MELAUT MASYARAKAT PESISIR

SUKU BAJOE AKIBAT VARIABILITAS IKLIM

(Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN

Skipsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

Nama : Nurmujahidah Syamsuddin

NIM : G24100008

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, SSi MSc Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Tania June Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah kerentanan, dengan judul Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe terhadap Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Yon Sugiarto, SSi MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Saharuddin dari sah bandar pelabuhan Bajoe yang membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik, keluarga cendana, serta teman-teman seperjuangan GFM 47 atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 3

Tempat dan Waktu 3

Alat dan Bahan 3

Metode Penelitian 3

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Keadaan Umum Desa Bajoe 5

Sejarah Kehidupan Suku Bajoe 5

Variabilitas Iklim Desa Bajoe 6

Analisis Kerentanan Ekonomi 9

Tingkat Kerentanan Budaya Melaut 15

Strategi Adaptasi Nelayan Bajoe 17

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 19

LAMPIRAN 20

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kelas kisaran nilai kerentanan jarak melaut nelayan 3 2 Kelas kisaran nilai kerentanan lama melaut nelayan Bajoe 3 3 Kelas kisaran nilai kerentanan jumlah tangkapan nelayan Bajoe 4 4 Persentase perubahan jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan 16

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram tahapan analisis kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir

suku Bajoe 4

2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber:

www.maps.google.com/) 5

3 Pembagian wilayah Indonesia berdasarkan pembagian pola hujan

(sumber: www.bmkg.go.id/) 6

4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013 7 5 Variabilitas curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1996-2013 7 6 Variabilitas curah hujan dan tinggi gelombang tahun 2011-2013 8

7 Suhu pemukaan laut rata-rata tahun 1996-2013 8

8 Distribusi frekuensi angin pada musim penangkapan ikan 9 9 Hubungan kecepatan angin dan produksi ikan di Teluk Bone tahun

2011-2013 10

10 Hubungan curah hujan dan produksi ikan di perairan Teluk Bone tahun

2011-2013 10

11 Fluktuasi jumlah produksi ikan nelayan Bajoe pada musim penangkapan

ikan tahun 2011-2013 11

12 Hubungan tinggi gelombang laut dengan jumlah produksi ikan nelayan

Bajoe di Teluk Bone tahun 2011-2013 12

13 Jumlah dan Nilai produksi ikan nelayan Bajoe di perairan Teluk Bone tahun 2002-2013 (tidak terdapat data untuk Tahun 2009-2010) 13 14 Hubungan suhu permukaan laut dengan jumlah produksi ikan nelayan

Bajoe tahun 2011-2013 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil wawancara nelayan Bajoe mengenai aktivitas melaut 20 2 Akumulasi jumlah produksi nelayan Bajoe berdasarkan musim

penangkapan ikan tahun 2011-2013 22

3 Curah hujan bulanan Desa Bajoe tahun 2011-2013 22 4 Suhu permukaan laut Perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 22 5 Arah dan kecepatan angin perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 23 6 Arah dan tinggi gelombang perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 23 7 Jumlah dan produksi hasil perikanan laut nelayan Bajoe tahun

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki variabilitas iklim yang tinggi. Variabilitas iklim dapat mempengaruhi berbagai aktifitas kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Variabilitas iklim dapat diidentifikasi melalui penyimpangan atau anomali unsur-unsur iklim seperti curah hujan, suhu udara atau unsur lainnya sebagai akibat pengaruh dari berbagai faktor pengendali iklim dalam skala global, regional maupun lokal.

Variabilitas iklim diprediksi akan mempegaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (Klein dan Nicholls 1999). Salah satu hal yang akan berubah adalah perubahan proses-proses ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir (Klein dan Nicholls 1999).

Variabilitas iklim ini mempengaruhi aktivitas ekonomi, yaitu aktivitas melaut nelayan. Iklim memiliki pengaruh yang relatif kuat terhadap ekonomi di suatu Negara dalam skala Internasional. Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, resiko iklim akan menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakan diperkirakan bisa mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al 2002).

Variabilitas iklim juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi masyarakat pesisir, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan, akses, serta pemanfaatan pangan. Variabilitas iklim berdampak terhadap sistem mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan. Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.

(16)

2

Secara geografis Bajoe adalah desa pantai yang terletak 6 km dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dengan tipe iklim tropis basah, dan didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian seperti nelayan. Aktivitas yang homogen ini ditunjang oleh suatu permukiman yang didominasi oleh rumah panggung dan material pendukung lainnya berasal dari alam. Berbeda dengan pemukiman Bajoe daerah lain, rumah di Kampung Bajoe sebagian besar berdiri diatas perairan laut yang permukaan lahannya selalu digenangi air laut pada hampir sepanjang waktu tetapi sebagian rumah pula telah berdiri diatas daratan berpasir yang telah mengalami penimbunan.

Penghuni permukiman ini merupakan suatu etnik (suku Bajoe). Suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Suku ini terkenal dengan mata pencaharian pokok adalah menangkap ikan dengan perahu-perahu layar namun dalam 10 tahun belakangan ini suku Bajoe telah tersentuh oleh peradaban modern, mereka tidak lagi menangkap ikan menggunakan layar, melainkan menggunakan mesin. Mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya diatas perahu, sehingga

dikenal dengan sebutan “manusia perahu”, seiring berjalannya waktu manusia

perahu ini menetap dalam suatu hunian yang berkelompok tetapi kehidupannya masih dipengaruhi budaya laut.

Kehidupan suku Bajoe yang bergantung dengan laut ini sangat rentan terhadap dinamika-dinamika laut yang terjadi akibat variabilitas iklim (Klein and Nicholls 1999). Kenyataannya masyarakat harus menangkap ikan dengan jarak yang lebih jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya, hasil yang nelayan peroleh pun mengalami perubahan jumlah dan jenis tangkapan, selain itu perubahan alat penangkapan yang digunakan nelayan juga mengalami perubahan. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir suku Bajoe.

Perumusan Masalah

Berdasarkan gambaran yang telah diuraikan pada latar belakang, permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana pengaruh variabilitas iklim terhadap budaya melaut suku Bajoe

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerentanan budaya melaut suku Bajoe akibat variabilitas iklim.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini meliputi

1. Memberikan gambaran perubahan budaya melaut suku Bajoe

2. Memberikan gambaran keadaan ekonomi masyarakat suku Bajoe di Kampung Bajoe

3. Memberikan langkah-langkah adaptasi untuk nelayan Bajoe

(17)

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga bulan Februari di Kampung Bajoe, Desa Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah antara lain perangkat lunak Microsoft Office 2010, WRPLOT View. Data yang digunakan dalam penenlitian ini berupa data unsur iklim Kecamatan Tanete Riattang Timur yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, meliputi data curah hujan bulanan untuk tahun 1996-2013, data suhu udara tahun 1996-2013. Data arah dan kecepatan angin tahun 2011-2013, serta data tinggi gelombang tahun 2011-2013 yang diperoleh di Stasiun Meterologi Maritim Paotere. Data aktivitas melaut nelayan Bajoe. Data jumlah dan nilai produksi ikan Kampung Bajoe tahun 2011-2013 dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone. Data suhu permukaan laut tahun 1996-2013 yang diperoleh dari http://iridl.Ideo.columbia.edu/ERSST.

Metode Penelitian

Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer berupa data budaya melaut nelayan Bajoe yang terdiri dari data jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan dilakukan dengan penyebaran kuisioner secara acak kepada nelayan-nelayan Bajoe, namun pengisian kuisioner dilakukan dengan teknik wawancara terbuka sebanyak 55 responden. Dari hasil wawancara dibuat kelas kerentanan budaya melaut nelayan seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 Kelas kisaran nilai kerentanan jarak melaut nelayan Kisaran Nilai Nilai

0 - 25 km Kerentanan rendah 26 - 85 km Kerentanan sedang ≥ 86 km Kerentanan tinggi

Kelas kerentanan jarak melaut dibuat berdasarkan kondisi perairan dan peluang terjadinya bencana-bancana dilautan pada selang jarak yang tertera pada tabel seperti ketinggian gelombang antara, hujan badai, angin kencang, dan kondisi-kondisi ekstrim yang lain.

Tabel 2 Kelas kisaran nilai kerentanan lama melaut nelayan Bajoe Kisaran Nilai Nilai

(18)

4

Kelas kerentanan lama melaut dipengaruhi oleh jarak melaut. Saat nelayan melaut pada jarak yang cukup dekat maka lama melaut berada pada kerentanan rendah, begitupun sebaliknya.

Tabel 3 Kelas kisaran nilai kerentanan jumlah tangkapan nelayan Bajoe Kisaran Nilai Nilai

≥ 15 kg/orang/trip Kerentanan rendah 15-10 kg/orang/trip Kerentanan sedang 9 kg/orang/trip Kerentanan tinggi

Kelas kerentanan jumlah tangkapan nelayan dibuat berdasarkan jumlah tangkapan nelayan dalam sekali melaut (trip) dibagi dengan jumlah orang dalam Semua data tersebut dianalisis untuk mengetahui variabiltas iklim yang terjadi di sekitar perairan Teluk Bone, juga untuk mengetahui hubungan antara parameter iklim dan oseanografi tersebut dengan hasil produksi.

Prosedur Analisis Data

(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Desa Bajoe

Secara geografis Desa Bajoe terletak pada posisi 4ᵒ33 11.86 LS dan

120ᵒ23 09.27 BT dengan batasan wilayah sebelah selatan berbatasan dengan

Desa Kading, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cellu, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Lonrae, dan sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone. Jarak Kelurahan Bajoe dari ibukota kecamatan 0.5 km, jarak dari ibukota kabupaten 9 km, sedangkan jarak dari ibukota provinsi 179 km. Topografi kelurahan Bajoe merupakan daratan atau wilayah yang landai (Bone dalam angka 2006).

Gambar 2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber: www.maps.google.com/)

Kelurahan Bajoe memiliki luas 5.58 km2. Menurut klafisikasi iklim Koppen Kelurahan Bajoe termasuk daerah beriklim tropik basah (Af), suhu udara harian berkisar antara 26ᵒC-27ᵒC. Suhu tertinggi dapat mencapai 30ᵒC dan suhu terendah 24ᵒC. Kelembaban udara berkisar antara 70%-80% dengan curah hujan rata-rata tahunan 1700 mm-2500 mm (Bone dalam angka 2006).

Sejarah Kehidupan Suku Bajoe

Dahlan (1986) mencatat bahwa nenek moyang suku Bajoe memasuki pulau Sulawesi sekitar tahun 1898. Penyebaran suku Bajoe yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup suku Bajoe sebagai manusia perahu dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat, suku Bajoe memasuki perairan Teluk Bone sekitar tahun 1950. Hal ini didasarkan potensi laut diperairan Teluk Bone yang melimpah sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka.

(20)

6

rumah-rumah panggung diatas laut. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Alat ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional.

Awalnya Suku Bajoe merupakan masyarakat yang hidup secara tradisional, mulai dari bentuk rumah sampai penggunaan alat tangkap. Namun pada tahun 1998 masyarakat mulai menggunakan perahu bermesin namun masih banyak masyarakat yang masih menggunakan perahu layar (Soesangobeng 1977). 1960 masyarakat mulai membangun rumah disepanjang pantai, untuk mengurangi pelapukan kayu yang diakibatkan oleh hantaman air laut, masyarakat memanfaatkan batu karang sebagai fondasi rumah, kesadaran masyakat akan kondisi tersebut timbul tahun 1970. 1985 masyarakat mulai menimbun kolong rumah dengan menggunakan pasir dan batu karang. Tahun 1990 dibangun jalanan menuju daratan untuk mempermudah akses masyarakat Bajoe. Awalnya nelayan melaut secara individual, namun memasuki tahun 2008 mayoritas nelayan Bajoe melaut secara berkelompok.

Variabilitas Iklim Desa Bajoe

Variabilitas iklim disebabkan oleh faktor pengendali berupa interaksi antara atmosfer, lautan, dan daratan. Karakteristik dan spesifikasi variabilitas iklim dan keragaman curah hujan dapat dimanfaatkan untuk menunjang atau menghambat berbagai kegiatan yang akan ditimbulkan (Harijono 2008). Indonesia memiliki variabilitas iklim yang tinggi. Berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dibagi dalam tiga klasifikasi pola hujan, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal.

(21)

Gambar 4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013

Sulawesi Selatan memiliki tipe hujan yang beragam, beberapa daerah memiliki tipe hujan ekuatorial, dan beberapa daerah lainnya memiliki tipe hujan lokal dan monsunal. Berdasarkan gambar curah hujan rata-rata Desa Bajoe, dapat dilihat bahwa Desa Bajoe memiliki tipe hujan lokal.

Variabilitas iklim dapat dilihat dari keragaman curah hujan suatu wilayah. Suhu udara, suhu permukaan laut (SPL) dan unsur oseanografi lain seperti ketinggian gelombang merupakan variabel lain yang dapat menyebabkan variabilitas iklim. Suhu udara merupakan energi kinetis rata-rata dari pergerakan molekul udara (Handoko 1994). Suhu udara memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan curah hujan, ketika suhu udara tinggi maka curah hujan akan rendah, dan begitupun sebaliknya. SPL di wilayah tropis memiliki variasi yang tinggi baik dalam skala ruang maupun waktu (As-Syakur 2011).

(22)

8

Gambar 6 Variabilitas curah hujan dan tinggi gelombang tahun 2011-2013 Gambar diatas memperlihatkan hubungan curah bulanan dengan ketinggian gelombang di perairan Teluk Bone. Gelombang tinggi terjadi pada bulan Juni-September. Tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada rata-rata ketinggian gelombang dari tahun 2011-2103 di perairan Teluk Bone. Namun terjadi varibilitas curah hujan yang cukup tinggi pada tahun 2011-2013. Seperti yang terlihat pada grafik, tahun 2013 curah hujan cukup tinggi pada bulan Juli, berbeda pada tahun 2011 dan 2012 dimana curah hujan normal pada bulan tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan akhir BMKG yang menyatakan bahwa diindikasikan terjadi La Nina lemah pada tahun 2013, dan Kabupaten Bone merupakan salah satu daerah yang terkena oleh dampak La Nina (BMKG 2013).

Gambar 7 Suhu pemukaan laut rata-rata tahun 1996-2013

Suhu permukaan laut (SPL) rata-rata tahunan di perairan Teluk Bone berkisar antara 28.5ᵒC-29.5ᵒC. Pada grafik terlihat suhu permukaan laut tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 29.5 dan tahun 2010 sebesar 29.3. Dari grafik tersebut diperoleh persamaan garis y=-0.003x + 29.22 dan R2 sebesar 1.5%. Hal ini menunjukkan bahwa pada perairan Teluk Bone untuk tahun 1996-2013 mengalami penurunan suhu permukaan laut namun tidak terlalu signifikan

0

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

T

Tinggi Gelombang Tahun 2011 Tinggi Gelombang Tahun 2012 Tinggi Gelombang Tahun 2013

(23)

sehingga dapat dikatakan suhu permukaan laut tersebut bersifat konstan. Jika dikaitkan dengan kejadian curah hujan, maka terlihat adanya hubungan antara curah hujan yang tinggi dengan peningkatan suhu permukaan laut.

Pengaruh kejadian La Nina ini ditandai dengan terjadinya peningkatan durasi dan intensitas upwelling serta menaikkan lapisan termoklin sehingga produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal (Susanto dan Gordon, 2005 dalam Qu et al., 2005)

Analisis Kerentanan Ekonomi

Analisis kerentanan ini merupakan analisis kerentanan kondisi sosial ekonomi penduduk. Analisis ini dilakukan terhadap kondisi sosial ekonomi yang dikaitkan dengan unsur cuaca dan iklim serta unsur oseanografi yang berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat, yang didasarkan pada variabel jumlah produksi hasil melaut, jarak melaut, dan frekuensi melaut. Variabel jumlah produksi hasil melaut, jarak melaut, dan frekuensi melaut ini mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat yang akan mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam menyikapi bencana yang akan terjadi.

Hubungan Curah Hujan dan Kecepatan Angin dengan Jumlah Produksi

Arah dan kecepatan angin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktifitas nelayan saat berada di perairan. Berdasarkan data yang diperoleh, kecenderungan arah mata angin di Teluk Bone tahun 1996-2013 pada bulan Desember hingga bulan Maret arah mata angin cenderung kearah Barat, dan pada bulan April hingga November arah mata angin cenderung kearah tenggara.

Musim penangkapan ikan di Indonesia terbagi dalam empat musim yaitu musim barat, musim peralihan awal tahun, musim timur, dan musim peralihan akhir tahun. kedua musim peralihan tersebut sering disebut sebagai musim pancaroba (Nontji 1987).

(Musim Barat) (Peralihan awal) (Musim Timur) (Peralihan akhir) Gambar 8 Distribusi frekuensi angin pada musim penangkapan ikan

(24)

10

Kecepatan angin disekitar Teluk Bone berkisar antara 4 knot hingga 15 knot, dimana pada bulan Desember hingga April tidak terjadi perubahan kecepatan angin yang signifikan, yaitu berkisar antara 4 knot- 8 knot. Peningkatan kecepatan angin yang cukup signifikan terjadi pada bulan Mei yaitu 7 knot-11 knot sedangkan pada bulan September kecepatan angin mencapai 11 knot-15 knot. Berdasarkan data kecepatan angin yang diperoleh, diketahui bahwa kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus, September dimana pada bulan tersebut merupakan angin musim timur.

Gambar 9 Hubungan kecepatan angin dan produksi ikan di Teluk Bone tahun 2011-2013

Gambar 10 Hubungan curah hujan dan produksi ikan di perairan Teluk Bone tahun 2011-2013

Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa pola kecepatan angin dan curah hujan tahun 2011 hingga tahun 2013 berbeda setiap tahunnya. Perbedaan kecepatan angin dan curah hujan menyebabkan keadaan produksi ikan nelayan Bajoe tidak menentu setiap tahun. Tahun 2011, curah hujan dan kecepatan angin rendah pada bulan Januari sehingga jumlah produksi ikan tinggi, tetapi pada bulan Agustus kecepatan angin tinggi sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh walaupun curah hujan rendah pada bulan tersebut, sehingga jumlah produksi tidak terlalu tinggi.

Tahun 2012, curah hujan dan kecepatan angin tinggi pada bulan Februari, sehingga jumlah produksi sedikit. Pada bulan Agustus jumlah produksi cukup tinggi dikarenakan curah hujan yang sedikit dan kecepatan angin yang berada

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

k

Produksi Ikan Tahun 2011 Produksi Ikan Tahun 2012 Produksi Ikan Tahun 2013

Kecepatan Angin Tahun 2011 Kecepatan Angin Tahun 2012 Kecepatan Angin Tahun 2013

0

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

C

(25)

dalam batas angin normal bagi nelayan sehingga memungkinkan nelayan untuk tetap melaut dengan jarak yang jauh.

Tahun 2013, telihat jumlah produksi tinggi pada bulan Februari, Maret dan Desember. Pada bulan tersebut kecepatan angin dan curah hujan rendah. Sedangkan pada bulan November, curah hujan dan kecepatan angin tinggi, dan sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh, menyebabkan jumlah produksi sedikit.

Berdasarkan data curah hujan, kecepatan angin, dan hasil tangkapan di perairan Teluk Bone diketahui bahwa kecepatan angin dan curah hujan sangat mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan, karena kecepatan angin dan curah hujan menentukan melaut tidaknya nelayan.

Gambar 11 Fluktuasi jumlah produksi ikan nelayan Bajoe pada musim penangkapan ikan tahun 2011-2013

Musim penangkapan ikan nelayan terbagi menjadi musim barat, musim peralihan awal, musim timur, dan musim peralihan akhir (Nontji 1987). Bulan Desember hingga bulan Maret merupakan musim barat, bulan April-Mei merupakan musim peralihan awal, bulan Oktober-November merupakan musim peralihan akhir, dan bulan Juni-September merupakan musim timur (nontji 1987).

Hasil tangkapan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Akumulasi dari jumlah produksi ikan seperti yang terlihat pada gambar diatas menunjukkan bahwa tahun 2011 akumulasi tangkapan nelayan tinggi pada musim timur. Pada musim timur (Juni-September) kedaan perairan biasanya tenang, jarang terjadi hujan dan ombak relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut dan biasanya pada musim ini merupakan musim puncak ikan (Nurhayati 2006). Terjadi perbedaan pada tahun 2012, jumlah tangkapan cukup tinggi pada musim peralihan awal dikarenakan curah hujan yang tidak terlalu tinggi dan kecepatan angin yang rendah. Terlihat adanya pola yang berbeda antara jumlah produksi tahun 2012 dengan tahun 2011, 2013 pada bulan Desember-Maret. Hal ini disebabkan curah hujan pada bulan Maret-Desember lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Maret-Desember pada tahun 2011 dan 2013 yang cukup rendah sehingga menyebabkan jumlah produksi ikan menururn pada musim barat di tahun 2012. Tahun 2013 menunjukkan jumlah tangkapan pada musim barat lebih tinggi dibandingkan musim timur, hal ini dikarenakan curah hujan disertai kecepatan angin yang tinggi pada musim timur.

0

(26)

12

Hubungan Tinggi Gelombang dengan Jumlah Produksi

Gelombang merupakan faktor yang sangat penting dalam operasi penangkapan ikan. Keadaan gelombang suatu perairan sangat mempengaruhi lokasi penangkapan nelayan di daerah tersebut (Sastrawidjaya dan Manadiyanto 2002). Berdasarkan data yang diperoleh, arah pergerakan gelombang disekitar Teluk Bone cenderung berubah-ubah. Terjadinya perubahan arah gelombang permukaan tersebut dipengaruhi oleh pola arah angin yaitu peralihan dari angin musim barat menjadi angin musim timur, begitupun sebaliknya (Hutabarat dan Evans 1985). Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pola pergerakan arah gelombang permukaan dimana terjadi siklus perubahan arah gelombang dari arah barat daya kearah tenggara dan kembali kearah barat daya.

Gambar 12 Hubungan tinggi gelombang laut dengan jumlah produksi ikan nelayan Bajoe di Teluk Bone tahun 2011-2013

Berdasarkan data pengamatan ketinggian gelombang, diketahui bahwa ketinggian gelombang pantai disekitar Teluk Bone berkisar antara 1 meter hingga 2.5 meter dimana gelombang tertinggi cenderung pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dimana pada saat tersebut merupakan angin musim timur. Nelayan Bajoe melaut pada kisaran gelombang 0.5 meter-2.5 meter. Pada ketinggian gelombang 3 meter tidak memungkinkan nelayan Bajoe untuk melaut lagi (Hafid et al 1996).

Berdasarkan data pengamatan selama tiga tahun, diketahui bahwa antara ketinggian gelombang dengan hasil produksi cenderung terjadi hubungan yang saling berlawanan. Pada tahun 2011, terlihat jumlah produksi ikan tertinggi pada bulan April dan Mei, dengan tinggi gelombang mencapai 1.5 meter-1.7 meter. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa nelayan Bajoe yang menyatakan bahwa, jumlah produksi ikan tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei, dimana pada bulan tersebut merupakan musim peralihan menuju musim kemarau. Jumlah produksi terendah terjadi pada bulan Juli, Agustus, September, dimana gelombang tertinggi terjadi pada bulan-bulan tersebut, dan telah memasuki musim kemarau. Namun ketika memasuki musim penghujan, jumlah produksi ikan yang dihasilkan oleh nelayan Bajoe pun tidak terlalu tinggi, Pada bulan-bulan tersebut, jarak yang ditempuh nelayan tidak begitu jauh, hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan nelayan untuk melaut dan dengan peralatan yang masih tradisional.

Tahun 2012 juga menunjukkan jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei, sedangkan produksi terendah terjadi pada bulan Januari, yang telah

0

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

Ju

(27)

memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Pada tahun 2013 terlihat jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan Februari, Maret, dan Desember berbeda dengan tahun 2011 dan 2012. Pada bulan Februari, Maret dan Desember, curah hujan dan kecepatan angin di sekitar perairan teluk Bone rendah. Curah hujan bulan Desember 145 mm, bulan Februari curah hujan mencapai 84 mm, dan bulan curah hujan bulan Maret 95 mm, kecepatan angin pada bulan Desember yaitu 2.4 knot, kecepatan angin bulan Februari 1.9 knot, kecepatan angin bulan Maret 1.5 knot, sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut walaupun telah memasuki musim penghujan. Namun jumlah produksi ikan cukup rendah pada bulan Januari, hal ini dikarenakan kecepatan angin tinggi pada bulan Januari yaitu 4.6 knot.

Gambar 13 Jumlah dan nilai produksi ikan nelayan Bajoe di perairan Teluk Bone tahun 2002-2013 (tidak terdapat data untuk tahun 2009-2010)

Berdasarkan gambar diatas terlihat sejak tahun 2002 sampai tahun 2013 produksi ikan yang diperoleh nelayan Bajoe mengalami fluktuasi. Jumlah produksi ikan tahun 2002 hingga tahun 2006 terus mengalami peningkatan, namun pada tahun 2007 dan 2008 jumlah produksi ikan nelayan Bajoe mengalami penurunan. Tahun 2011 jumlah produksi ikan mengalami peningkatan, namun produksi ikan menurun tahun 2012 dan 2013. Besarnya jumlah produksi tidak sepenuhnya mempengaruhi besarnya nilai produksi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan nilai jual atau harga dari masing-masing jenis ikan hasil tangkapan. Jumlah produksi terendah berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 17 479 kg dan terbesar pada tahun 2011 yaitu 27 773 kg. Untuk nilai produksi perikanan laut yang terbesar pada tahun 2013 sebesar Rp489 456 000 walaupun untuk jumlah produksinya berada diurutan tertinggi keempat. Hal ini dikarenakan ikan yang tertangkap merupakan ikan yang memiliki nilai jual tinggi atau karena adanya kenaikan harga jual pada tahun tersebut dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sedangkan nilai jual terendah berada pada tahun 2002 sebesar Rp11 4753 000.

Secara spesifik jenis ikan yang diperoleh oleh nelayan Bajoe didominasi oleh jenis ikan tuna, ekor kuning, kerapu, cakalang, layang, kakap putih. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa tuna merupakan ikan yang nilai produksi dan nilai jual tinggi. Tahun 2011, 2012 dan 2013 menunjukkan nilai produksi tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya dikarenakan jumlah produksi ikan tuna yang dihasilkan oleh masyarakat cukup tinggi.

0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013

(K

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013

(R

p)

(28)

14

Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Produksi

Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme disuatu perairan, khususnya ikan (Nikolsky 1963). Setiap spesies ikan mempunyai toleransi nilai suhu tertentu yang disenangi untuk melangsungkan hidupnya sehingga mempengaruhi keberadaan dan penyebaran ikan di perairan. Setiap spesies memiliki tingkatan suhu optimum dan batas toleransi suhu sekitar 0.1ᵒC (Nikolsky 1963).

Gambar 14 Hubungan suhu permukaan laut dengan jumlah produksi ikan nelayan Bajoe tahun 2011-2013

Kisaran suhu permukaan laut (SPL) di perairan Teluk Bone berkisar antara 28ᵒC-30ᵒC. Distirbusi SPL pada musim barat yaitu bulan November-April berada pada kisaran 28.5ᵒC -29ᵒC. Bulan Mei merupakan musim peralihan awal dengan kisaran SPL 29.5ᵒC-30ᵒC. SPL pada musim timur berkisar antara 28ᵒC-28.5ᵒC. Pada musim peralihan akhir SPL berkisar antara 29.5ᵒC-30ᵒC. Berdasarkan data distribusi SPL tahun 2011-2013 diketahui bahwa distribusi kisaran SPL pada musim timur lebih rendah dibanding pada musim barat. Pada tahun 2011 dan 2012, sebaran nilai SPL berlawanan dengan jumlah produksi ikan di Teluk Bone. Nilai SPL tertinggi pada bulan Maret, April, Mei, November, Desember mencapai 29.5ᵒC dan pada bulan tersebut jumlah produksi ikan cukup rendah di perairan Teluk Bone. Sedangkan kisaran nilai SPL rendah pada bulan Januari, Februari, Juli, Agustus, September mencapai 28.5ᵒC dan pada bulan tersebut jumlah produksi ikan tinggi di perairan Teluk Bone. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2013, saat SPL rendah jumlah produksi ikan di perairan Teluk Bone juga mengalami penurunan. Begitupun saat SPL tinggi jumlah produksi ikan mengalami peningkatan.

Berdasarkan gambar diatas diketahui tinggi rendahnya SPL di perairan Teluk Bone tidak mempengaruhi jumlah produksi ikan, hal ini disebabkan kisaran SPL diperairan Teluk Bone masih berada dalam kisaran suhu yang disukai oleh ikan pelagis (Purba et al 1994). Nilai SPL mengalami fluktuasi bulanan, demikian pula dengan hasil tangkapan bulanan ikan pelagis sepanjang tahun. Berdasarkan gambar, nampak adanya kecenderungan penurunan SPL akan diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan, sebaliknya peningkatan SPL akan diikuti oleh penurunan hasil tangkapan. Namun demikian fluktuasi hasil tangkapan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan SPL dominan.

27

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

S

(29)

Tingkat Kerentanan Budaya Melaut

Variabilitas iklim menyebabkan kondisi nelayan, terutama nelayan kecil seperti nelayan Bajoe menjadi semakin terjepit. Kerusakan ekosistem, perubahan cuaca yang cepat dan tidak menentu menyebabkan nelayan kesulitan melaut dan pendapatannya semakin tidak pasti. UNDP (2007) menyebutkan bahwa variabilitas iklim berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Mereka begantung pada ekosistem yang sangat rentan dengan perubahan kecil saja sudah berdampak besar seperti perubahan suhu air yang dapat merusak terumbu karang. Masyarakat nelayan menurut Pollnack (1988) dalam Satria (2009) mengahadapi sumber daya yang bersifat open access yang menyebabkan nelayan harus bepindah-pindah untuk mendapatkan hasil optimal sehingga resikonya relatif sangat tinggi.

Suku Bajoe merupakan nelayan kecil yang menggunakan perahu 1-2 GT, dengan alat pancing yang masih tradisional berupa alat pancing tonda, alat pancing rawi, pukat cincin, panah atau tombak. Menurut undang-undang perikanan tahun 2004 nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nelayan kecil biasanya belum menggunakan alat tangkap yang maju, umumnya hasil tangkapan nelayan kecil dijual kemudian dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan bukan untuk diinvestasikan kembali untuk melipatgandakan keuntungan (Satria 2009). Oleh karena itu nelayan jenis ini sering disebut sebagai peasant fisher yakni nelayan yang alokasi hasil tangkapannya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan untuk skala usaha (Satria 2001).

Hasil wawancara 55 responden ini dibagi kedalam tiga periode waktu, yaitu tahun 1996-2002, tahun 2003-2008, dan tahun 2009-2013. Periodisasi waktu ini didasarkan atas perubahan pola dan kondisi kehidupan nelayan. Tahun 1996-2002 kondisi terumbu karang disekitar pemukiman suku Bajoe masih sangat bagus, namun tahun 2003 kondisi terumbu kurang telah rusak akibat adanya perubahan iklim yang mengakibatkan terjadi pemutihan karang, karena rusaknya terumbu karang maka pola kehidupan melaut nelayan yang sebelum tahun 2007 masih melaut secara individu memasuki tahun 2008 dan 2009 mayoritas nelayan melaut secara kelompok. Hal ini merupakan suatu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nelayan agar tetap dapat mempertahankan kehidupan.

Parameter yang dikaji untuk menilai tingkat kerentanan suku Bajoe terdiri dari jarak melaut, lama melaut, dan tingkat pendapatan nelayan. Responden berjumlah 55 orang. Hasil wawancara dengan para nelayan suku Bajoe menunjukkan bahwa pada tahun 1996-2002 jarak melaut nelayan bervariasi. Jarak melaut pada tahun 1996-2002 berkisar 2 km hingga 20 km. 80% nelayan Bajoe melaut pada jarak 2 km- 10 km, dan 20% nelayan yang melaut pada jarak 11 km – 20 km. Tahun 2003-2008, 65% nelayan yang melaut pada jarak 35 km, 15 % nelayan melaut pada jarak 55 km, dan 20 % nelayan yang melaut pada jarak 60km-80 km. Tahun 2009-2013 jarak melaut nelayan semakin jauh berkisar antara 68 km-220 km. Sebanyak 65% responden melaut pada jarak 68 km- 90 km, 35% responden melaut pada jarak 120 km-220 km.

(30)

16

berkisar 3 jam hingga 10 jam, 80 % nelayan melaut dengan lama 3 jam-6 jam, 20% nelayan melaut dengan lama 8 jam-10 jam. Tahun 2003-2008 lama melaut nelayan mengalami perubahan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Lama melaut nelayan berkisar 20 jam hingga 3 hari, 60% nelayan melaut dengan waktu 2-3 hari dan 40% nelayan melaut selama 20 jam. Tahun 2009-2013 waktuyang dibuthkan nelayan untuk melaut semakin lama, 80% nelayan yang melaut dengan lama 4 hari - 6 hari dan 20% nelayan melaut dengan lama 3-4 hari. Jenis ikan hasil tangkapan nelayan Bajoe merupakan jenis ikan pelagis seperti ikan tuna, cakalang, kakap putih, tenggiri, layang, ikan merah, ikan bawal, ikan kembung, belanak, dll. Terjadi perubahan jumlah tangkapan nelayan dari tahun ketahun. Tahun 1996-2002 jumlah tangkapan nelayan berkisar antara 6 kg/orang/trip – 10 kg/orang/trip. Tahun 2003-2008 jumlah tangkapan ikan nelayan bervariasi mulai 4 kg/orang/trip - 10 kg/orang/trip. Tahun 2009-2013 jumlah tangkapan nelayan berkisar antara 10 kg/orang/trip-31 kg/orang/trip. Pada tahun 2009-2013 nelayan mayoritas nelayan melaut secara berkelompok. Satu kapal penangkapan ikan terdiri dari 6-7 orang, hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengeluaran selama perjalanan. Berikut persentase perubahan jumlah nelayan pada tiga kelas kerentanan.

Tabel 4 Persentase perubahan jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan

Persentasi jumlah nelayan tahun 1996-2002 masih berada pada kerentanan rendah. Pada tahun 2003-2008, jarak melaut nelayan belum terlalu jauh namun telah berada pada kelas kerentanan sedang. Tahun 2009-2013 jarak melaut nelayan telah berada pada kerentanan tinggi.

Lama melaut nelayan pada tahun 1996-2002 masih berada pada tingkat kerentanan rendah, sedangkan pada tahun 2003-2008 60% nelayan telah berada pada tingkat kerentanan sedang, dan pada tahun 2009-2013 lama melaut nelayan 80% berada pada kerentanan tinggi.

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

Jarak Melaut 100% 100% 20% 80%

Lama Melaut 100% 40% 60% 20% 80%

Jumlah Tangkapan 25% 75% 25% 75% 70% 30%

Parameter 1996-2002 2003-2008 2009-2013

Persentase Jumlah Nelayan pada Kategori Kelas Kerentanan

(31)

Jumlah tangkapan nelayan pada tahun 1996-2002, 70% berada pada tingkat kerentanan tinggi. Hal ini disebabkan alat tangkap nelayan masih bersifat tradisional. Pada tahun 2003-3008, 75% jumlah tangkapan nelayan Bajoe berada pada kelas kerentanan tinggi, dan 25% berada pada kelas kerentanan sedang. Sedangkan pada tahun 2009-2013, 75% jumlah tangkapan nelayan berada pada kelas kerentanan rendah, dan 30% nelayan berada pada kelas kerentanan sedang. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan jumlah tangkapan nelayan adalah alat penangkapan yang digunakan semakin berkembang dibanding tahun sebelumnya, dimana dengan alat penangkapan yang digunakan nelayan sekarang memungkinkan untuk memperoleh jenis ikan dengan nilai jual tinggi.

Perubahan jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan ini disebabkan karena kerusakan terumbu karang yang ada disekitar pemukiman suku Bajoe. Rusaknya terumbu karang disebabkan oleh aktivitas manusia itu sendiri dan karena faktor alam. Salah satu dampak dari perubahan iklim yaitu pada tahun 2003, terjadi pemutihan karang di perairan Teluk Bone, hal ini juga didukung oleh aktivitas masyarakat pesisir yang selalu membuang limbah rumah tangga ke perairan sehingga menambah tingkat keasaman laut, dan kebiasaan nelayan-nelayan komersil yang menangkap ikan dengan cara pengeboman juga memperparah keadaan terumbu karang diperairan tersebut (Brown 1994). Batu karang yang sudah mati digunakan untuk fondasi rumah, pemanfaatan batu karang semakin meningkat, sehingga potensial untuk merusak ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Seiring berjalan waktu kondisi terumbu karang diperairan tersebut semakin rusak, rusaknya terumbu karang berarti ikan karang seperti ikan pelagis juga punah. Hal ini menyebabkan lokasi penangkapan ikan yang lebih jauh sehingga terjadi perubahan jarak dan frekuensi melaut, serta hasil tangkapan nelayan.

Strategi Adaptasi Nelayan Bajoe

Perubahan lingkungan di Kampung Bajoe akibat adanya perubahan kondisi cuaca yang merupakan faktor dominan yang menyebabkan nelayan harus beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan kondisi cuaca ini berdampak pada pola kehidupan dan usaha penangkapan ikan nelayan Bajoe. Ada beberapa pola adaptasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat agar nelayan Bajoe dapat tetap mempertahankan budaya melaut yang mereka anut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu,

1. Mengganti jenis alat tangkap. Dengan penggantian alat tangkap, diharapkan nelayan dapat memperoleh ikan dengan jumlah yang lebih banyak serta lebih bevariasi jenisnya.

2. Mengganti perahu 1-2 GT menjadi perahu dengan mesin yang lebih besar, hal ini memungkinkan nelayan untuk memperluas daerah penangkapan ikan dengan meminimalisir waktu tempuh.

3. Memperbarui alat pendinginan ikan, hal ini dilakukan agar kualitas ikan tetap terjaga saat tiba di daratan, karena selama ini kerugian yang dialami oleh nelayan dikarenakan saat tiba didaratan ikan yang ditangkap telah busuk. 4. Pihak pemerintah harus memperkenalkan dan membimbing masyarakat

(32)

18

ekstrem di perairan Teluk Bone nelayan tetap memperoleh penghasilan walaupun tidak melaut.

5. Membuat terumbu karang buatan (artificial reef) disekitar pemukiman suku Bajoe. Langkah ini merupakan salah satu cara alternatif yang dapat digunakan untuk melestarikan ikan-ikan terumbu sehingga lokasi penangkapan ikan nelayan tidak semakin jauh.

Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Bajoe itu sendiri sampai saat ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok penangkapan ikan. Pengelompokan ini telah berlangsung sejak tahun 2008. Hal ini merupakan suatu upaya untuk mengatasi tingginya pengeluaran yang dikeluarkan nelayan dalam sekali trip penangkapan yang dikarenakan semakin jauhnya jarak tempuh melaut nelayan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Suku Bajoe yang menggantungkan sepenuh hidupnya pada laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berbeda dengan nelayan komersial. Aktivitas melaut nelayan Bajoe telah menjadi suatu budaya dari suku Bajoe itu sendiri. Perubahan cuaca berdampak pada pola kehidupan dan usaha penangkapan ikan nelayan. Kecepatan angin dan curah hujan sangat mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan, karena kecepatan angin dan curah hujan menentukan melaut tidaknya nelayan. Tinggi gelombang juga dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tinggi gelombang berbanding terbalik dengan jumlah produksi. Saat gelombang tinggi tidak memungkinkan nelayan untuk melaut sehingga jumlah produksi ikan menurun, begitupun sebaliknya. Nelayan Bajoe melaut pada ketinggian gelombang 0.5 m-2.5 m. Musim penangkapan ikan nelayan terbagi menjadi musim barat, musim peralihan awal, musim timur, dan musim peralihan akhir. Dari keempat musim penangkapan ikan ini, dapat dilihat bahwa jumlah tangkapan ikan tertinggi pada musim timur, dan terendah pada musim peralihan timur. Kisaran suhu permukaan laut (SPL) diperairan Teluk Bone masih berada dalam kisaran suhu yang disenangi ikan pelagis oleh karena itu, suhu permukaan laut ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap jumlah produksi ikan nelayan.

Budaya melaut nelayan Bajoe dari tahun ketahun berada pada kategori kerentanan tinggi. Berdasarkan kategori kelas kerentanan budaya melaut, jarak melaut dan lama melaut diketahui 80% nelayan Bajoe berada kategori kerentanan tinggi, dan untuk jumlah tangkapan nelayan dari tahun ketahun berada pada kategori kerentanan rendah.

Saran

(33)

DAFTAR PUSTAKA

As-syakur AR. 2011. Pola spasial hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia-Observasi menggunakan data TRMM 3B43. J Bunga Rampai Pengindaraan Jauh Indonesia. Center for Remote Sensing and Ocean Science (CReSOS). Bali (ID): Universitas Udayana.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2008. Curah hujan dan potensi gerakan tanah 2008. (ID)

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Bone dalam angka. Bone (ID): BPS Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.

Brown, Chaterine SJ. 1994. Bajau. Jakarta (ID): Yayasan Sejati.

Dahlan SA. 1986. Profil masyarakat Bajoe di Desa Bajoe, Kabupaten Bone. Ujung Pandang (ID) : Lembaga Penelitian UNHAS.

Dolan AH, Walker IJ. 2003. Understanding vulnerability of coastal communities to climate change related risks. J Coastal Research.

Fussel MH. 2007. Vulnerability: A Generally Applicable Conceptual Framework for Climate Change Research. Global Environment Change 17 : 155-167. Hafid M, Yunus. 1996. Pola pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat Bajoe di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang (ID) : Departemen Pendidikan dan Kebudayan.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Jakarta (ID): Pustaka Jaya

Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Ostfeld RS, Samuel MD. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota.

Science 296:2158-2162.

Hutabarat S, Evans SM. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta (ID) : UI Pr. Klein RJT, Nicholls RJ. 1999. Assesment of coastal vulnerability to climate

change. Ambio, 28(2): 182-187

Nikolsky GV. 1963. The ecology of fisheries. London (NY): Academic Press. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta (ID) :Djambatan.

Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta (ID) :Djambatan.

Nurhayati Y. 2006. Pengaruh kedalaman terhadap komposisi hasil tangkapan pancing ulur (Handline) pada perikanan layur di perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Purba M, Saleh A, Natih IM. 1994. Variasi suhu permukaan laut serta sifat oseanografi lainnya dan kemungkinan aplikasinya dalam penentuan lokasi penangkapan ikan diperairan Selatan Jawa. [Laporan]. IPB

Sastrawidjaja dan Manadiyanto. 2002. Nelayan Nusantara. Jakarta (ID) : Badan Riset kelautan dan Perikanan.

Satria A. 2001. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta (ID): Cidesindo

Satria A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta (ID): LKis Printing Cemerlang

Soesangobeng H. 1997. Perkampungan Bajo di Bajoe. Ujung Pandang (ID): Laporan Penelitian PLPIIS.

(34)

20

LAMPIRAN

(35)
(36)

22

Lampiran 2 Akumulasi jumlah produksi nelayan Bajoe berdasarkan musim penangkapan ikan tahun 2011-2013

Lampiran 3 Curah hujan bulanan Desa Bajoe tahun 2011-2013

Lampiran 4 Suhu permukaan laut Perairan Teluk Bone tahun 2011-2013

Musim Barat Musim Peralihan Awal Musim peralihan akhir Musim Timur

Des-Maret Apr-Mei Okt-Nov Jun-Sept

2011 3645 2692 2024 3758

2012 2039 2402 979 3133

2013 4110 1738 1220 3253

Tahun

Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

2011 116 108 147 180 289 52 157 51 65 81 266 172

2012 37 227 216 390 309 202 309 73 32 97 141 206

2013 95 84 95 280 359 336 603 140 31 50 170 145

Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

2011 28.75 28.71 28.91 29.36 29.49 29.1 28.3 28.24 28.25 28.86 29.53 29.6

2012 29.22 29.17 29.22 29.7 29.75 29.05 28.58 28.33 28.48 29.18 29.77 29.67

(37)

Lampiran 5 Arah dan kecepatan angin perairan Teluk Bone tahun 2011-2013

Lampiran 6 Arah dan tinggi gelombang perairan Teluk Bone tahun 2011-2013

Tahun Bulan Arah Angin Kecepatan Angin Tahun Bulan Arah Angin Kecepatan Angin Tahun Bulan Arah Angin Kecepatan Angin

Januari 272.6 2.3 Januari 285 2.2 Januari 281.3 4.6

Februari 285.4 2.6 Februari 192.3 8.0 Februari 270.6 1.9

Maret 272.5 2.4 Maret 267.7 2.0 Maret 230.8 1.5

April 251.1 1.6 April 134.6 2.2 April 93.87 2.2

Mei 121.3 3.1 Mei 130.3 2.5 Mei 118.1 2.1

Juni 124 5.2 Juni 121.2 4.9 Juni 113.6 2.0

Juli 113.6 5.7 Juli 120.2 5.6 Juli 115.7 4.3

Agustus 119.8 7.1 Agustus 119.8 6.4 Agustus 117.8 5.8

September 116.3 5.2 September 129.8 4.7 September 125.6 5.3

Oktober 121.9 3.1 Oktober 118.6 3.7 Oktober 130.8 3.7

November 139.7 1.6 November 145.7 2.3 November 147.7 8.7

Desember 274.4 2.4 Desember 226 5.2 Desember 265.9 2.4

2011 2012 2013

Tahun Bulan wave dir Htot(m) Tahun Bulan wave dir Htot(m) Tahun Bulan wave dir Htot(m)

Januari 208.4 1.15 Januari 213.1 1.17 Januari 208.8 1.21

Februari 207.6 1.19 Februari 183.7 1.2 Februari 204.7 1.19

Maret 203.7 1.25 Maret 197.2 1.23 Maret 202.2 1.15

April 154.2 1.75 April 130.3 1.48 April 219.7 1.26

Mei 112.5 1.95 Mei 126.2 1.68 Mei 113.4 1.85

Juni 118.7 2.05 Juni 115.8 2.27 Juni 113 2.23

Juli 112.5 2.25 Juli 114.7 2.34 Juli 115.2 2.5

Agustus 113.1 2.32 Agustus 112.8 2.25 Agustus 113.9 2.21

September 113.4 1.79 September 113.7 1.89 September 122.6 1.98

Oktober 128.2 1.58 Oktober 118.5 1.78 Oktober 116.4 1.78

November 158.3 1.45 November 141.9 1.57 November 158.4 1.67

Desember 199.4 1.26 Desember 158.4 1.38 Desember 180.9 1.43

2013

(38)

24

Lampiran 7 Jumlah dan produksi hasil perikanan laut nelayan Bajoe tahun 2002-2013

Jumlah (kg) Nilai (Rp)

2002 19126 114753000

2003 19980 119880000

2004 20855 125127900

2005 21763 163223063

2006 22338 167532188

2007 18364 183635500

2008 17479 174792750

2011 27773 416593275

2012 26271 472878000

2013 22248 489456000

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nurmujahidah Syamsuddin dilahirkan di Ujung Pandang, 28 September 1992. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, anak dari pasangan Drs. H Syamsuddin HS dan Hj. ST Nurliah Y SPd. Penulis telah menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Dharmawanita (1997-1998), SD Negeri Centre No. 57 Mangadu (1998-2004), SMP Negeri 1 Marbo (2004-2007), SMA Negeri 1 Takalar (2007-2010). Kemudian pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi kampus diantaranya staff divisi infokom Cybertron tahun 2010-2011. Sekretaris II club fotografi Shutter tahun 2010-2011. Bendahara komisi 2 Dewan Perwakilan Mahasiswa FMIPA IPB tahun 2011-2012 dan 2012-2013. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan diantaranya staff divisi Acara MIPA Go GREEN tahun 2011, staff divisi Publikasi dan Dokumentasi Musyawarah Cabang IKAMI SULSEL Cabang Bogor tahun 2011, staff divisi publikasi dan dokumentasi Shutter tahun 2011, staff divisi publikasi dan dokumentasi perayaan Hari Kartini tahun 2011, staff divisi acara Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (IPB) IPB, ketua divisi humas dan acara Sidang Umum LK FMIPA IPB tahun 2012, koordinator divisi acara Gebyar Nusantara IPB OMDA Sulsel tahun 2012 dan 2013, ketua pelaksana sekaligus ketus divisi acara Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) tahun 2013.

Penulis juga aktif mengikuti berbagai seminar diantaranya Seminar dengan

tema “see the world and realize your dream for a better life” di International

Scholarship Education Expo (ISEE), Seminar dengan tema “the power of local resources to support food security, food diversification, and food safety di International Association Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) world congress, kuliah umum dan diskusi FEMA TALK dengan tema “Politik Pangan dan Reposisi Bulog Pasca Revisi UU Pangan”, Seminar Meteorologi dan Klimatologi dalam rangka memperingati Hari Meteorologi Dunia yang ke 64,

Seminar dan pelatihan pembuatan film dokumenter Eagle awards 2011.

Tahun 2013 penulis magang dibagian observasi dan instrumentasi Stasiun Meteorologi Penerbangan Bandara Supadio Pontianak. Tahun 2014 penulis sebagai delegasi Sulawesi Selatan dalam acara Future Leader Summit. Tahun 2014 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa, proposal didanai DIKTI

dengan judul “Eureka (Replika Khatulistiwa): Edukasi Jelajah Nusantara sebagai

Gambar

Gambaran umum
Gambar 2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber: www.maps.google.com/)
Gambar 3  Pembagian wilayah Indonesia berdasarkan pembagian pola hujan
Gambar 4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013
+6

Referensi

Dokumen terkait

1Chronicles 29:11 Thine, O LORD, is the greatness, and the power, and the glory, and the victory, and the majesty: for all that is in the heaven and in the earth is thine

Rerata semua butir variabel status penggunaan informasi sebesar 2,80; menunjukkan rendahnya keterpakaian statistik Sipus V3 untuk pengambilan keputusan yaitu penyusunan

Korban Mobil Unit Yang Bertugas Sumber Air (m3) Taksiran Kerugian Keterangan / Luas Areal Yang Terbakar Mati Luka PDAM Lainnya.. J U M L A H Rumah yang terselamatkan 6 (Enam)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Promblem

Rain Sensor Module Sensitive Sensor digunakan untuk mendeteksi banjir, keluaran dari sensor akan diolah pada Arduino Uno.. Data h asil pembacaan pada Arduino

Berdasarkan kesimpulan di atas, serta memperhatikan data-data yang diperoleh, kami tiba pada beberapa rekomendasi pemikiran sebagai saran untuk dikaji dan

Buku ini saya tulis sebagai upaya untuk memperkenalkan salah satu keunikan tradisi Jawa dalam memperingati hari kelahiran seseorang lewat bancakan yang umumnya terdiri atas

Adridzal Abid (2010), hasil penelitianya menyatakna bahwa penyaluran beban dari jaringan distribusi 20 KV GI Lubuk Alung ke GH Pariaman menuju Lubuk Basung