• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buletin vol. 17 no .2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Buletin vol. 17 no .2 "

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 17 No. 2, Oktober 2011

V

ol.

17

No.

2,

Oktober

201

1

Hlm. Bogor,

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

(2)

ISSN 1979 6080–

Vol. 17 No. 2, Oktober 2011

Buletin Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah bidang hasil hutan, keteknikan hutan dan bidang terkait lainnya yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.

Ketua merangkap anggota : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. (Teknologi Hasil Hutan) Anggota : Prof. Dr. Yusuf Sudohadi, M.Sc. (Fahutan IPB)

Prof. Dr. Elias, M.Sc. (Fahutan IPB)

Drs. M. Muslich, M.Sc. (Biodeteriorasi Kayu) Drs. Paimin Sukartana (Biodeteriorasi Kayu)

1. Prof. Dr. Wasrin Syafii, M.Agr. (Fahutan IPB) 2. Dr. Ir. Ketut N. Pandit (Fahutan IPB)

3. Dr. Ir. Wayan Darmawan (Fahutan IPB)

4. Prof. Dr. Ir. Osly Rachman (Teknologi Hasil Hutan) 5. Prof. Dr. Ir. Djaban Tinambunan (Keteknikan Hutan)

Mitra bestari ( ) :

Forest Product Bulletin is a scientific publication reporting research findings in the field of Forest products properties as well as processing, forest engineering, and other selater fields.

f Penanggungjawab

Dewan Redaksi :

Sekretariat Redaksi :

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Dr. Ir. Han Roliadi, MS., M.Sc. (Teknologi Hasil Hutan)

Ketua merangkap anggota : Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian Anggota : Drs. Lukman Nulhakim, MM.

Drs. Mardiansyah Susy Haryati

Diterbitkan oleh ( ) : o

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan

Alamat : Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Indonesia Telepon : (0251) 8633378, 8633413

Fax : (0251) 8633413 E-mail : pep_p3hh@yahoo.com Percetakan : CV. Sinar Jaya, Bogor

Peer reviewers

The Center on Forest Engineering and Forest Products Processing

Published by

(Forestry Research and Development Agency) (Ministry of Forestry)

( r Research and Development )

PETUNJUK BAGI PENULIS

BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia

FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, font 12, pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas dikosongkan minimal 3,5 cm. Jumlah halaman maksimal sekitar 20 halaman.

JUDUL: Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantumkan di bawah judul tanpa mencantumkan gelar.

ABSTRAK: Abstrak dibuat dalam dua bentuk, yaitu bentuk pertama untuk

, maksimal 50 kata ditulis dalam bahasa Indonesia dan bentuk kedua ( )

maksimal 200 kata berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif.

KATA KUNCI: Kata kunci dicantumkan di bawah abstrak, maksimal 5 entri.

TABEL: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa Indonesia dengan jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing-masing menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu.

GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.

FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA: Daftar pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan nama pengarang, tahun terbit, judul pustaka, media (Vol., No., Hlm.), penerbit dan kota perbit, seperti contoh berikut:

Steel, R. G. D, and J.H. Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistic. Mc. Graw-Hill Book Co. Inc. New York.

Artistien, S. dan Y.I. Mandang. 2002. Anatomi dan kualitas serat kayu

. Roxb. dan Jarret. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20

(3):243-257. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

KONDISI :

Dewan redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan.

Penulis dari luar Instansi Badan Litbang Kehutanan, wajib menyertakan singkat dan alamat yang jelas.

(3)

Vol. 17 No. 2, Oktober 2011

ISSN 1979–6080

Vol. 17 No. 2 71 - 181Hlm. Okt 2011Bogor, Hsl. Htn.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

(4)

DAFTAR ISI

ISSN 1979–6080

Vol. 17 No. 2, Oktober 2011

1. PENGEMBANGAN SONGGA SEBAGAI HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN LOKAL NUSA TENGGARA BARAT

Sentot Adi Sasmuko ...

2. KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTIM TERTUTUP PADA PEMUTIHAN PULP DI INDONESIA

Dian Anggraini & Han Roliadi ...

3. SIFAT FISIK KAYU ANDALAN PAPUA: CEMPAKA ( DANDY)

Susan Trida Salosa & Endra Gunawan ...

4. POTENSI LIGNIN DARI LIMBAH BIOMASSA PADA SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEREKAT ALAMI

Widya Fatriasari ...

5. KAYU LAPIS DARI VENIR LIMBAH BATANG SAWIT

Arif Nuryawan & Osly Rachman ...

6. PRODUKSI GETAH TUSAM PADA BERBAGAI UKURAN DAN JUMLAH KOWAKAN

S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro & Siswo ...

7. PAKOBA: HHBK POTENSIAL LOKAL SPESIFIK SULAWESI UTARA

Sentot Adi Sasmuko ...

8. ANALISIS KERUSAKAN HUTAN AKIBAT PERLADANGAN LIAR DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT, KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

Zakaria Basari ...

(5)

ISSN 1979-6080 Vol. 17 No. 2, Oktober 2011

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya ABSTRAK

UDC (OSDC) 630*892.2 (594.71)

Sentot Adi Sasmuko (Balai Penelitian Kehutanan Mataram) Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan Lokal Nusa Tenggara Barat

BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 71 - 79.

Tanaman songga ( ) yang banyak tumbuh di Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat merupakan komoditi hasil hutan bukan yang potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu unggulan daerah. Masyarakat lokal secara arif hanya memanfaatkan buah songga untuk membantu pengobatan penyakit malaria, demam, sakit gigi, atau untuk meningkatkan stamina tubuh. Potensi dan pengusahaan tanaman songga pada saat ini telah mengalami penurunan, pada hal pedagang dan konsumen masih membutuhkan. Oleh karena itu, kendala-kendala yang ada perlu segera diantisipasi agar pengelolaan tanaman songga dapat berjalan lebih baik untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pengembangan daerah.

Kata kunci: Songga, potensi,unggulan spesifik, tanaman obat, pengembangan

Strychnos ligustrina

Forest Products Bulletin

UDC (OSDC) 630*861.17 (594)

Dian Anggraini & Han Roliadi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan)

Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup pada Pemutihan Pulp di Indonesia

BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 80 - 93.

Pada kegiatan produksi pulp/kertas (khususnya proses kimia), tahapan pemutihan pulp diperlukan guna menghasilkan macam kertas tertentu dan turunan selulosa lain, di mana selain memerlukan volume besar air proses yang besar, juga mengakibatkan terbentuknya volume besar limbah buangan pemutihan yang membahayakan kehidupan mahluk hidup dan dampak negatif lain terhadap lingkungan. Salah satu usaha mengatasi hal tersebut adalah menerapkan sistim pengolahan tertutup pada proses pemutihan pulp. Adanya sistim tertutup tersebut tidak saja berakibat pengurangan drastis volume limbah proses pemutihan, tetapi penghematan volume penggunaan air proses, energi, dan daur ulang sebagian bahan kimia pemutih, sehingga berdampak positif terhadap lingkungan.

Kata kunci: Proses pemutihan, pulp kimia, sistim tertutup, air proses, limbah buangan pemutihan, daur ulang bahan kimia pemutih, dampak, lingkungan

UDC (OSDC) 630*812

Susan Trida Salosa (Balai Penelitian Kehutanan Manokwari). Sifat Fisik Kayu Cempaka( Dandy) Sebagai Kayu Andalan Papua

BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 94 - 110.

Kadar air Cempaka pada kondisi segar dan kering udara rata-rata 124.37% dan 14.36%. Rata-rata berat jenis untuk kondisi segar, kering udara dan kering oven yaitu 0.37; 0.42; 0.41. Penyusutan volumetrik pada kondisi kering udara rata-rata 4.48% dan kering oven rata-rata-rata-rata 7.30%. T/R ratio pada kondisi kering udara 1.37 dan kering oven 1.39.

Kata kunci: Cempaka ( Dandy) kadar air, berat jenis dan penyusutan

elmerilia Papuana

Elmerilia papuana ,

UDC (OSDC) 630*864.4

Widya Fatriasari (UPT Biomaterial LIPI)

Potensi Lignin dari Limbah Biomassa pada Sektor Kehutanan dan Perkebunan sebagai Bahan Baku Perekat Alami BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 111 - 123.

Tujuan penulisan ini untuk mengamati besarnya limbah biomassa berlignoselulosa,berikut lignin dari sektor kehutanan dan perkebunan sebagai bahan baku perekat alami. Potensi limbah sektor kehutanan dan perkebunan berturut-turut sebesar 19,310,299 m /tahun dan 4,862,663.37 ton/tahun (sebagai tandan kosong kelapa sawit). Lebih lanjut potensi lignin dari limbah tersebut adalah 2,431,323 ton/tahun (sektor kehutanan) dan 922,376,22 ton/tahun (sektor perkebunan).

Kata kunci: Potensi lignin, sektor kehutanan dan perkebunan, limbah lignoselulosa, bahan baku perekat alami

3

(6)

UDC (OSDC) 630*832.2

BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 124 - 135.

Nuryawan, A (Universitas Sumatera Utara) & O. Rachman Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit

Penelitian ini menguraikan mengenai penggunaan limbah batang kelapa sawit sebagai bahan baku kayu lapis. Tulisan ini bertujuan memberi informasi ilmiah tentang limbah batang sawit yang telah dimanfaatkan dan diusahakan secara komersial oleh satu perusahaan di Sumatera Utara menjadi kayu lapis yang dikembalikan oleh konsumen. Metode yang dilakukan adalah wawancara dengan manajer operasional industri, studi pustaka, dan membandingkan produk kayu lapis tersebut dengan yang ada di pasaran kota Medan yang dibeli dari satu panglong (toko kayu dan bahan bangunan). Hasil penelitian menunjukkan kayu lapis hybrid yang tersusun atas venir-venir dari batang sawit dan kayu sembarang dari segi keragaan masih memenuhi kelayakan sebuah produk kayu lapis namun perlu mendapat perhatian pemberian bahan pengawet kayu sehingga tidak terserang bubuk atau organisme perusak kayu. Saran untuk industri masih diperlukan suatu penelitian jangka waktu keawetan kayu lapis hybrid setelah diberi bahan pengawet asam borat (H BO ). Pemberian jenis bahan pengawet lainpun perlu dicobakan.

Kata kunci: Limbah batang kelapa sawit, bahan baku, kayu lapis hybrid, organisme perusak kayu, asam borat

3 3

UDC (OSDC) 630*284.9

S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro & Siswo Produksi Getah Tusam pada berbagai Ukuran dan Jumlah Kowakan BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2,

hal. 136 - 141.

Salah satu persoalan dalam penyadapan getah pinus adalah rendahnya produktifitas getah per pohon dan teknik penyadapan yang cenderung merusak pohon. Peluang pohon akan mati, roboh, sakit dan rusak makin besar apabila dalam dan jumlah kowakan yang dibuat penyadap tidak sesuai dengan standar.

Penelitian ini bertujuan mendapatkan koakan optimal meliputi lebar, dalam dan jumlah kowakan sehingga produksi maksimal dan kesehatan pohon terjaga. Perlakuan lebar kowakan (4 cm, 6 cm, 8 cm, 10 cm, 12 cm), kedalaman kowakan 2 cm dan 4 cm, dan jumlah kowakan 1 dan 2. Sampel digunakan dalam penelitian ini 63 pohon, data yang diperoleh dianalisis dengan rancangan acak lengkap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah dan lebar kowakan berpenga signifikan mempengaruhi produksi getah sedangka kedalaman kowakan tidak signifikan. Produksi optimal tercapai pada perlakuan dengan kowakan 2 cm, 4 cm dan lebar kowakan 6 cm, dan jumlah kowakan sebanyak 2 buah. Rentang produksi optimal berada pada lebar kowakan 4 - 8 cm. Hasil penyadapan dengan kowakan optimum meningkatkan produksi getah sebesar 108,87% dan tambahan peningkatan penghasil sebesar Rp 132.500,- untuk setiap kali sadap pinus dibandingkan teknik yang dilakukan sekarang.

UDC (OSDC) 630*899

Sentot Adi Sasmuko (Balai Penelitian Kehutanan Mataram) Pakoba: HHBK Potensial Lokal Spesifik Sulawesi Utara BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 142 - 149.

Tanaman songga ( ) yang banyak tumbuh di Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat merupakan komoditi hasil hutan bukan yang potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu unggulan daerah. Masyarakat lokal secara arif hanya memanfaatkan buah songga untuk membantu pengobatan penyakit malaria, demam, sakit gigi, atau untuk meningkatkan stamina tubuh. Potensi dan pengusahaan tanaman songga pada saat ini telah mengalami penurunan, pada hal pedagang dan konsumen masih membutuhkan. Oleh karena itu, kendala-kendala yang ada perlu segera diantisipasi agar pengelolaan tanaman songga dapat berjalan lebih baik untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pengembangan daerah.

Kata kunci: Songga, potensi,unggulan spesifik, tanaman obat, pengembangan

Strychnos ligustrina

UDC (OSDC) 630*652.9 (594.48)

Zakaria Basari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan)

Analisis Kerusakan Hutan Akibat Perladangan Liar di Kawasan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu

BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 150 - 159.

Tulisan ini memberikan informasi tentang kerusakan hutan akibat perladangan liar di kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat. Pengamatan dilaksanakan di Desa Ktenong 1, Ktenong 2, Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kerusakan hutan akibat perladangan liar di desa Ktenong 1, dan Ketenong 2 masing-masing 4 Ha dan 5,6 Ha. Volume kayu yang hilang dari masing-masing desa tersebut rata-rata 232,96 m dan 436,9 m atau rata-rata 69,77 m /Ha.

Kata kunci: Hutan, pohon, kerusakan hutan.

3 3

3

UDC (OSDC) 630*307

Wesman Endom (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan)

Penelitian Awal Teknis Alat Keruk Sistem Kabel Layang BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, hal. 160 - 179.

Kata kunci:

Ada dua prototipe alat keruk yang diuji coba yaitu alat keruk bentuk kotak dan sayap yang dioperasikan dengan menggunakan teknologi kabel layang. Secara teknis mesin maupun wahana kabel cukup layak digunakan. Produktivitas alat keruk tipe sayap lebih besar dari pada produktivitas tipe kotak. Produktivitas dengan alat keruk sayap adalah ± 2,5 m .hm/jam dengan biaya operasi dan pemilikan sebesar Rp 92.648 m .hm/jam atau Rp 37.059/m .jam Hasil yang dicapai jelas belum maksimal, oleh karena itu agar kinerja alat keruk ini menjadi lebih produktif, efektif dan efisien, maka perbaikan konstruksi mesin maupun sistem alat keruk masih sangat diperlukan.

Pengerukan lumpur, pendangkalan, situ, teknologi kabel layang, antisipasi, banjir.

3

(7)

ISSN 1979-6080

ABSTRACT

UDC (OSDC) 630*892.2 (594.71)

Sentot Adi Sasmuko (Research at the Center of Forestry Research Mataram)

Development of Sanggo Plants as Producer of Locally Superior Non-Wood Forest Products at West Nusa Tenggara Province)

Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 71 - 79.

Songga plant which abundantly grow in Dompu and Bima Regency, West Nusa Tenggara is signifien an a commodity of non-wood forest products which can be potentially developed into one of the regional superior items. Local community there wisely has only used songga fruit to help malaria, feves, toothache, or to increase body stamina. Potency and uses of songga plant nowadays tend to decrease. Ttraders and consumers these still urgently need songga plant. Therefore, all the existing related constrants deserve immediate anticipation in order that the management of songga plants can work out better to assist boosting growth of community and development of region

Key words : Songga, potential, superior specific, medicinal plants, development

(Strychnos ligustrina)

The descriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge

Vol. 17No. 2, October 2011

Forest Products Bulletin

UDC (OSDC) 630*861.17 (594)

Dian Anggraini & Han Roliadi (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing)

Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 80 - 93.

Possibe Implementation of Closed System in the Bleaching Process for Pulp as an Attempt to Save Process Energy/Stuffs and Reduce Negative Environment Impacts

In pulp/paper processing (particularly chemical process), pulp-bleaching stage is needed to produce kinds of particular paper and other cellulose derivatives. That stage besides necessitating considerable volume of process water, also generates large volume of bleach effluents which can endanger living creatures and inflicts other negative environment impacts. In addition, bleaching effluents are corrosive to metal equipment. One way to cope with that problem is to implement the so-called bleaching process with closed system. Such closed system will not only reduce the bleach-effluent volume but also save the use of process water, energy, and afford considerable recovery of bleach chemicals, thereby, alleviating negatif environment impacts.

Keywords: Bleaching process, chemical pulp, closed system, process water, bleach effluents, bleach-chemical recovery, impact, environment

UDC (OSDC) 630*812

Susan Trida Salosa (Research at the Center of Forestry Research Manokwari)

Physical Characteristics of Cempaka (Elmerilia papuana Dandy) as a Mainstay Wood of Papua

Forest Product Bulletin. October 2010, Vol. 16 No 2, pp. 94 - 110.

The rate of fresh water content of Cempaka is 124.37% and 14,3% for air drying. The densities of the wood fresh, air drying and oven are 0,37; 0,42; 0,41. The rate of volume shrinkage in air drying is 4,48% and oven drying is 7,30%. T/R ratio in the air drying and oven are 1,37, and 1,39.

Key words: Cempaka Dandy), water content, densities dan shrinkage

(Elmerilia papuana

UDC (OSDC) 630*864.4

Widya Fatriasari (UPT Biomaterial LIPI

The Potency of Lignin Possibility Derived for Ligno-Cellulosic Wastes Generated by Forestry and Crops-Estate Sectors, as Raw Material for Bio-Adhesive on the Forestry

Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 111 - 123.

)

This scientific writing deals with exploring the potency of ligno-cellulosic wastes generated by forestry and crops-estate sectors, together with that of its corresponding lignin for bio-adhesive synthesis. As such, the waste potency reached consecutively 19.310.299 m /year and 4.604.648 tons/year (an empty oil palm bunches/EOPB). Further, the lignin potency amounted to 2.431.323 tons/year (from forestry sector) and 932,376 tons/year (crops estate sector)

Key words: Lignin potency, forestry and plantation sector, lignocelluloses waste, bio-adhesive raw material

(8)

UDC (OSDC) 630*832.2

Nuryawan, A (The University of Sumatera Utara) & O. Rachman (Center for Forest Products Research and Development)

Plywood Made of Waste of Oil Palm Trunk Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 124 - 135.

This research concerned in using waste of oil palm trunk as plywood raw material. This paper reported the scientific information about costumer complain in quality of plywood which made of waste of oil palm trunk. The methods were interview with the manager of industry operational, literature study, and comparing the plywood with another one in Medan area which bought at the panglong (timber and building materials store). The research result showed that the hybrid plywood which consist of waste of oil palm trunk and lesser known species veneers had been fulfilled rheological properties as plywood. Unfortunately, they must be preserved with wood preservatives in order to avoid the wood destroying organism. The suggestion for the industry, there were researches need on hybrid plywood after preservation treatment especially by borate acid (H BO ). Giving other preservatives may be trialed.

Key words: Waste of oil palm trunk, raw material, hybrid plywood, wood destroying organism, borate acid

3 3

UDC (OSDC) 630*284.9

S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro & Siswa (Research of the Center of Forestry Research Solo)

Pine Resin Yield on Various Sizes and Numbers of Quarres Forest Product Bulletin. October 2010, Vol. 16 No 2, pp. 136 - 141.

There are two important issues faced in pine tapping Yungh. et de Vr.), nemely, low productivity of resin per tree and damaging tree caused by improper tapping techniques. Width, depth and number of tapping quarres do not meet the standard. This studies were aimed at obtaining optimal resin yield by improving tapping techniques, including width, depth and number of quarres without significatly damaging the tree. Treatments employing quarre width of either 4, 6, 8, 10, or 12 cm, and depth of 2 or 4 cm, combined with one or two tapping quarres on each tree were evaluated. Result showed that number and width of tapping quarres significantly affected the resin yield, but not for the depth of quarres. Optimum resin yield was obtained at quarre tapping depth of 2 cm, width of 6 cm with 2 units of quarre per tree. Compared with the existing tapping technique, this system increased resin yield until 108,87% per tapping cycle.

Keywords: Pine resin, optimum yield, tapping technique

(Pinus merkusii

UDC (OSDC) 630*899

Sentot Adi Sasmuko (Research at the Center of Forestry Research Mataram )

Specific Local Potential Non-Timber North Sulawesi Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 142 - 149.

Potential non-timber in Indonesia should continue to be extracted, because there are manytypes of plants that are less well known but provide both social and economic benefits for society. The existence of specific local non-timber them on the island of Sulawesi, have revealed the benefits and prospects of development because there are likely to contribute to local communities. The types of specific local non-timber are generally useful as a medicinal plant and food mterials, as well as pakoba which is on type of plant whose fruits areedible.

Key words: Non-timber, pakoba, development, community economic, North Sulawesi

UDC (OSDC) 630*...

Wesman Endom ( The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing)

Preliminary Study on Technical Implementation of Mud-Dredging Device Operated by the Skyline System

Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 160 - 179.

There are two types of dredger devices which were experimented i.e. box shaped type and wing shaped type. Both types are operated using skyline technology. Technically the engine as well as the cable was feasible to be used. The productivity of wing-typed dredger device was greater than that of box typed dredger device. The productivity of wing dredger device was about 2.5 m .hm/hour with cost of ownership and operation reaching about Rp 92,648 m /hour and Rp 37,059/m .hour respectively. These achievements are not yet maximum, and therefore, to afford better performance, i.e. productive, effective and efficient, the machine construction and the device should be improved.

Key words: Mud dredger, shallow, lake, skyline technology, anticipate, floods.

3

3 3

UDC (OSDC) 630*652.9 (594.48)

Zakaria Basari (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing)

Analysis of Damage to Forests from Illegal Cultivation in Forest Areas Kerinci Seblat National Park, Province of Bengkulu District Rejang Lebong

Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, pp. 150 - 159.

This paper provides information about the damage to forests from illegal cultivation in the area of Kerinci-Seblat National Park. Observation conducted in the Village Ktenong 1, Ktenong 2, Rejang Lebong Bengkulu. The results showed that damage to forests from illegal cultivation in the village Ktenong 1, and Ktenong 2 each of 4 ha and 5.6 ha. The volume of wood is missing from each village average 232.96 m and 436.9 m or an average of 69.77 m /ha.

Key words : Forest, trees, deforestasi

(9)

PENGEMBANGAN SONGGA SEBAGAI HASIL HUTAN BUKAN

KAYU UNGGULAN LOKAL NUSA TENGGARA BARAT

Oleh:

Tanaman songga ( ) yang banyak tumbuh di Kabupaten

Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu yang potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu unggulan daerah. Seluruh bagian tanaman songga baik batang, daun, kulit maupun buah sangat pahit bila dirasa. Perdagangan songga sebagai bahan obat sudah dilakukan masyarakat sejak tahun 2000 berupa kayu utuh dengan batasan diameter 10-20 cm. Masyarakat lokal secara arif hanya memanfaatkan buah songga untuk membantu pengobatan penyakit malaria, demam, sakit gigi, atau untuk meningkatkan stamina tubuh. Potensi dan pengusahaan tanaman songga pada saat ini telah mengalami penurunan, pada hal pedagang dan konsumen masih membutuhkan. Oleh karena itu, kendala-kendala yang ada perlu segera diantisipasi agar pengelolaan tanaman songga dapat berjalan lebih baik untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pengembangan daerah.

Kata kunci : Songga, potensi, spesifik, tanaman obat, pengembangan

Indonesia tidak kurang memiliki 9.606 spesies tanaman biotik dan baru empat persen saja (385 spesies) yang digunakan. Berdasarkan survey keanekaragam hayati, Indonesia memiliki sekitar 940 spesies tanaman obat, tetapi hanya 120 spesies yang masuk dalam bahan obat-obatan Indonesia (Setiawan, 2010). Potensi tanaman obat sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang besar ini seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal, agar perkembangan usaha di bidang biofarmaka dapat lebih maju dan memberikan kontribusi ekonomi bagi pembangunan wilayah serta peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu, merupakan tantangan bagi kita untuk pemanfatan biofarmaka secara maksimal tanpa merusak kelestarian hutan. Selain itu perlu ada kerja sama dengan petani untuk meningkatkan pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut.

Sentot Adi Sasmuko

ABSTRAK

I. PENDAHULUAN

Balai Penelitian Kehutanan Mataram

Jalan Dharma Bhakti No. 7 Langko-Lingsar-Lombok Barat 83371 Telp. (0370) 6573874 Fax. (0370) 6573841 e-mail : bpkmataram@yahoo.co.id

e-mail : sentotadisasmuko@ymail.com 1

(10)

hasil hutanVol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 – 79 BULETIN

Songga ( ) merupakan salah satu jenis tanaman yang

mempunyai potensi sebagai bahan obat. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tanaman songga tumbuh secara dominan di kawasan hutan Kabupaten Dompu dan Bima. Secara etnobotani, masyarakat di dua Kabupeten tersebut sudah sejak lama memanfaatkan keberadaan songga untuk mengobati beberapa penyakit. Mereka memperoleh pengetahuan tentang manfaat songga dari warisan budaya lokal secara turun temurun sejak nenek moyang dan orang-orang tua. Namun, pada satu dekade terakhir yaitu sejak tahun 2000-an, masyarakat di sana sudah mengetahui bahwa tanaman songga di daerahnya diminati oleh konsumen dari luar daerah. Sejak saat itu, mereka mulai menjual kayu songga kepada pembeli (pengumpul) tanpa tahu tujuan pemasarannya. Transaksi tradisional ini telah berlangsung sekian lama, namun sejak tahun 2006 hingga saat ini sudah sepi pembeli, meskipun disinyalir bahwa permintaan pasar masih tinggi.

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab sepinya transaksi kayu songga di Pulau Sumbawa tersebut, diantaranya adalah potensi yang semakin menipis di hutan, harga jual terlalu murah, minimnya pengetahuan masyarakat tentang budidaya dan informasi pasar, dan kendala regulasi terutama perijinan pemungutan songga dari hutan. Oleh karena itu, agar pahitnya songga ini dapat dirasakan kembali oleh konsumen secara terbuka, maka diperlukan upaya bersama dari berbagai

untuk mengembangkan salah satu HHBK unggulan lokal spesifik potensial NTB ini.

Tanaman songga yang berada di Kabupaten Dompu dan Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat tumbuh pada ketinggian 10 sampai 100 meter dari permukaan laut dan biasanya terdapat di daerah yang berbatu (Cunha, 1986). Kebanyakan tumbuh membentuk semak dengan tinggi dapat mencapai 3 m. Berbatang kecil dengan diameter terbesar mencapai 15 cm, berkayu keras, dan kuat.

Nama lokal songga adalah bidara laut, bidara pait, bidara putih, kayu ular, dara laut, dara putih (Jawa); bidara gunong (Madura); aju mapa, bidara mapai (Bugis); ai betek, aihedu, hau feta (Rote); maba putih, elu, ai baku moruk (Timor). Secara botanis klasifikasi songga menurut Heyne (1950) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub kelas : Asteridae

Ordo : Gentianales

Famili : Loganiaceae

Genus : Strychnos

Strychnos ligustrina

stake holders

(11)

Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ... Sentot Adi Sasmuko( )

Spesies : R.Br.

Sinonim : BL.

Nama botanis songga di atas masih menjadi perdebatan karena sebagian masyarakat mengatakan bahwa tanaman songga tidak sama dengan bidara laut. Namun

beberapa artikel ilmiah menggunakan BL. sebagai nama botanis

songga, dan ada yang mensinonimkan dengan R.Br. Pada artikel lain

menulis bidara laut dengan nama botanis S L. yang berarti berbeda

jenis dengan maupun . Oleh karena itu, untuk memastikan nama

botanis songga tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengidentifikasi secara tepat.

Strychnos lucida Strychnos ligustrina

Strychnos ligustrina Strychnos lucida trychnos nux-vomica S. lucida S. ligustrina

(12)

III. SEJARAH DAN MANFAAT SONGGA

Pada prinsipnya asal tumbuhan songga tidak diketahui secara pasti. Hasil wawancara dengan masyarakat di Kecamatan Sape dan Lambu, Kabupaten Bima dan Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, mereka tidak mengetahui asal-usul tanaman songga tersebut. Sebuah artikel mengatakan bahwa di mulai abad ke XI kayu songga sudah dikenal sejak jaman dahulu kala dari mulai pesisir pantai pulau sumatera sampai pada kerajaan kesultanan Abdul Aziz putra Abdullah dari kesultanan kerajaan Dompu NTB. Pada masa dahulu kayu songga merupakan obat yang digunakan untuk menangani penyakit demam tinggi akibat dari serangan nyamuk malaria, selain itu kerajaan-kerajaan yang berasal dari kesultanan Tambora telah menggunakan kayu songga sebagai pengobatan yang dapat merapatkan kembali tulang yang patah akibat peperangan antar kerajaan (Anonim, 2009).

Sedangkan dipulau Jawa nama songga berasal dari madura yang dibuat untuk beberapa campuran adonan jamu, yang rasanya sangat pahit sehingga orang jawa sebahagian mengatakan kayu songga merupakan obat yang seperti setan (kata umpatan), sehingga tidak tahan untuk meminum air rendamannya. Di pulau Sumatera, kayu songga sudah dikenal sebagai obat bidara laut, obat ini sudah digunakan oleh kerajaan melayu islam untuk mengobati dan mengatasi penyakit yang sangat kronis seperti kanker, darah tinggi, kencing manis, kencing batu, mati sebelah/stroke, migrain, diabetes, sesak nafas, wasir, maag, sakit pinggang, demam, impoten dan sakit gigi (Setiawan, 2010).

Diduga kuat bahwa efektifitas pengobatan kayu tersebut bukan berasal dari komponen kimia penyusun dinding selnya (lignin dan selulosa), akan tetapi diakibatkan oleh bahan ekstraktif (bukan penyusun dinding sel). Dengan demikian bahan ekstraktif tersebut dapat dianggap sebagai HHBK pula.

Hasil wawancara dengan masyarakat petani songga di Kabupaten Bima dan Dompu bahwa sejak nenek moyang mereka telah memanfaatkan songga untuk mengobati sakit malaria, demam, lemah badan dan untuk menjaga stamina. Mereka menggunakan buah songga yang sudah tua (berwarna oranye) sebanyak 2-3 buah dikupas kulitnya lalu langsung ditelah. Menurut keterangan mereka, dalam dua sampai tiga hari sudah ada perubahan sakitnya dan tidak ada efek samping. Apabila untuk menjaga stamina tubuh, cukup makan dua buah songga dalam satu minggu satu kali. Bagian lain dari pohon songga jarang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, cukup dengan mengkonsumsi buahnya saja sebagai obat. Seluruh bagian tanaman songga baik batang, daun, kulit, akar maupun buahnya mempunyai rasa yang teramat pahit.

Supriadi (1986), telah melakukan penelitian pengaruh rebusan kayu songga

( ) terhadap penurunan kadar gula darah. Percobaan menggunakan

kelinci ( ) jantan, sehat, berwarna putih berat badan berkisar antara

1,5 - 2 kg. Rebusan kayu songga 5%, 10%, 15% dan 20% diberikan secara oral dengan takaran 5 mL/kg berat badan kepada kelompok yang bcrlainan. Pengambilan darah melalui vena telinga dilakukan pada jam ke 0, 1, 2, 3, 4 sampai jam ke 5 setelah

Strychnos ligustrina

Oryctolagus cuniculus

(13)

pemberian rebusan. Sebagai pembanding digunakan tolbutamid secara oral dengan takaran 250 mg/kg berat badan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian rebusan 5%, 10%, 15% dan 20% dengan takaran 5 mL/kg berat badan menyebabkan penurunan kadar gula masing-masing : 16,49%, 20,23%, 36,04% dan 43,96%. Pada pemberian tolbutamid dengan takaran 250 mg/kg bb. menunjukkan penurunan kadar gula darah sebesar 44,72%. Tidak ada perbedaan bermakna antara rebusan kayu songga 15% dan 20% dengan tolbutamid. Kemanjuran rebusan kayu songga tersebut mengindikasikan bahwa yang berperan efektif adalah bukan komponen penyusun dinding sel kayu, akan tetapi bahan ekstraktifnya (HHBK).

Permintaan pasar (konsumen) terhadap kayu songga masih tinggi, namun ada kendala pada kelangsungan supply bahan baku. Hasil pengamatan di lapangan saat ini terdapat pedagang yang terpaksa menghentikan usahanya mengirim atau souvenir kayu berbentuk gelas ke luar Sumbawa yaitu Bali dan Surabaya. Namun masih ada pula pedagang yang tetap mengirim ke konsumen di Kalimantan meskipun tidak dalam jumlah banyak seperti sebelumnya. Pengusahaan HHBK songga di Kabupaten Dompu dan Bima ini tidak dapat berkembang disebabkan oleh beberapa faktor kendala, antara lain terbatasnya bahan baku, lemahnya pengetahuan masyarakat, lemahnya pemasaran, dan kurangnya dukungan dan pembinaan.

Sejak pertama kayu songga di Kabupaten Dompu dan Bima diperjualbelikan, masyarakat secara sporadis mengambil dari kawasan hutan yang berjarak hanya kurang dari 500 m. Kegiatan pengambilan ini tidak memperhitungkan kelestarian hasil dan legalitasnya. Ukuran kayu songga yang diambil sesuai dengan pesanan pedagang yaitu panjang 1-2 m dengan diameter 10-20 cm. Pada saat ini, untuk memperoleh kayu songga dengan ukuran yang memadai masyarakat harus menempuh perjalanan yang lebih jauh karena kerapatan tanamannya sudah menurun.

Dari sisi pedagang, mereka juga sudah mulai takut memesan kayu songga ke masyarakat karena kayu songga hanya ada dalam kawasan hutan yang mesti dikenakan beban ijin untuk memungutnya. Apabila persyaratan hukum tidak dapat dipenuhi oleh pedagang atau petani dalam memungut songga dalam kawasan hutan, maka hal tersebut termasuk ilegal logging atau melanggar hukum. Keadaan ini sangat memerlukan peran pemerintah agar keberadaan tanaman songga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat tanpa merusak kelestarian dan lingkungan hutan itu sendiri. Selama ini belum dijumpai adanya tanaman songga yang tumbuh di lahan-lahan masyarakat atau hutan rakyat.

IV. KENDALA PENGEMBANGAN

A. Terbatasnya Bahan Baku

(14)

B. Lemahnya Pengetahuan Masyarakat

Beradasarkan keterangan dari masyarakat petani di daerah, bahwa mereka sebenarnya ingin menanam songga sendiri di lahan-lahan kosong atau kebunnya, tetapi mereka tidak tahu teknik budidayanya. Pengamatan di lapangan menunjukkan memang tidak adanya anakan songga di bawah pohon. Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan teknis budidaya kepada masyarakat agar mereka dapat membudidayakan dan mengelola tanaman songga di lahan miliknya sendiri.

Selain kurangnya pengetahuan budidaya, masyarakat juga belum mengetahui pengelolaan pasca panen sehingga mereka hanya mampu menjual batang utuh kayu songga saja. Masih perlu dilakukan pembinaan tentang pengolahan songga sesuai permintaan pasar agar para petani sebagai produsen akan mendapatkan nilai tambah dari barang yang dijual.

Gambar 2. Kayu dan cangkir songga

C. Lemahnya Pemasaran

Pada saat ini, pemasaran kayu songga masih sangat terbatas, hal ini dikarenakan penjualannya masih dalam bentuk kayu utuh, bagian lain seperti daun dan buah belum bisa bernilai ekonomis. Pada saat terjadi transaksi penjualan kayu songga, harga yang diterima para petani sangat murah yaitu Rp. 1.500 5.000 per batang. Harga tersebut tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan petani dalam mengambil songga dari dalam hutan. Mereka mengambil songga karena terpaksa dan hanya pekerjaan sampingan saja. Masyarakat belum mengetahui informasi pasar secara utuh, sehingga harga ditentukan secara sepihak oleh pembeli (pedagang pengumpul).

(15)

D. Kurangnya Dukungan dan Pembinaan

V. POTENSI SEBAGAI HHBK UNGGULAN LOKAL SPESIFIK NTB

A. Peningkatan Potensi Tanaman

Sejak adanya kearifan lokal tentang pemanfaatan tanaman songga oleh masyarakat di Kabupaten Dompu dan Bima, belum pernah ada pembinaan atau dukungan baik teknis maupun motivasi kepada masyarakat petani di sana. Mereka sangat berharap campur tangan pemerintah dan instansi terkait untuk memberikan pembinaan dan pemberdayaan tanaman songga di daerahnya. Para petani menyadari bahwa tanpa dukungan pemerintah, maka potensi tanaman songga akan sulit dikembangkan karena keberadaan tanaman tersebut masih di dalam kawasan hutan. Selain itu, petani juga bersedia dibina untuk mengembangkan tanaman songga di atas lahan milik mereka sendiri.

Songga sangat berpotensi menjadi salah satu HHBK unggulan lokal yang spesifik bagi Provinsi NTB. Di daerah lain belum ada informasi tentang pemanfaatan dan perdagangan songga oleh masyarakat. Kabupaten Dompu dan Bima yang merupakan sentra produksi songga sudah dikenal sehingga para pedagang dari luar daerah seperti Bali, Jawa dan Kalimantan banyak yang datang ke sana untuk mendapatkan kayu songga. Melihat kondisi ini, tanaman songga di kedua kabupaten tersebut sangat berpotensi untuk menjadi komoditi bernilai ekonomis tinggi bagi masyarakat dan daerah setempat. Agar harapan tersebut dapat dicapai dengan baik, maka perlu segera dilakukan beberapa upaya yang melibatkan peran aktif berbagai pihak ( ). Strategi pengembangan yang dapat dilakukan antara lain adalah peningkatan potensi tanaman, peningkatan pembinaan dan bimbingan teknis kepada masyarakat, peningkatan kelembagaan dan pemasaran, serta dukungan kebijakan dan peraturan yang jelas.

Potensi tanaman songga pada saat ini sudah menurun disebabkan pemungutan secara ilegal oleh masyarakat pada tahun 2000 yang tidak dilakukan kegiatan peremajaan atau budidaya tanaman. Apabila mengandalkan perbanyakan alamiah sangat minim hasilnya karena biji songga terbungkus kulit buah yang tebal. Pengamatan di lapangan tidak menemukan anakan di bawah pohon songga, yang terjadi adalah berupa terubusan dari batang dan akar tanaman. Peningkatan potensi tanaman songga dapat dilakukan melalui kegiatan reboisasi dan penanaman di luar kawasan hutan. Hal ini sangat diperlukan agar pada masa yang akan datang tidak akan mengalami kekurangan bahan baku apabila perdagangan kayu songga sebagai bahan obat sudah berkembang.

(16)

B. Peningkatan Pembinaan dan Bimbingan Teknis Kepada Masyarakat

C. Peningkatan Kelembagaan dan Pemasaran

D. Dukungan Kebijakan dan Peraturan yang Jelas

Berdasarkan hasil wawancara di daerah sentra tanaman songga, hampir seluruh responden yang diamati sangat mengharapkan adanya pembinaan dan bimbingan teknis dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Perguruan Tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Mereka menyadari bila selama ini telah melakukan pemungutan secara ilegal, namun tidak dapat berbuat banyak karena keterpaksaan dan kurangnya pengetahuan tentang hukum. Namun, mereka bersedia dibina dan dibimbing untuk mengembangkan tanaman songga dalam lahan mereka (dalam bentuk hutan tanaman atau hutan rakyat). Oleh karena itu, dukungan pemerintah daerah setempat dan pihak terkait sangat dinantikan. Dukungan itu dapat berupa kegiatan penyuluhan, pemberdayaan SDM, pelatihan teknis dan bila memungkinkan adanya pinjaman modal. Dukungan dari lembaga penelitian adalah berupa teknologi mulai dari pengunduhan benih, pembibitan sampai dengan penanaman dan pemungutan hasil serta pengolahan pasca panen.

Selain pemberian akses yang tinggi, masyarakat diberdayakan dalam pemungutan tanaman songga dari kawasan hutan dengan tidak menimbulkan kerusakan. Mereka memperoleh kemudahan dalam pengurusan ijin pemanfaatan HHBK songga. Di sisi lain, masyarakat setempat harus didorong untuk membentuk kelembagaan usaha yang kuat agar pemasaran produknya dapat terjamin. Pemerintah dapat membantu untuk memasarkan hasil songga agar harga bisa lebih baik dan tidak tergantung kepada para pedagang pengepul. Kualitas yang diinginkan oleh pasar perlu disampaikan kepada petani sehingga mereka tidak memungut secara sembarangan.

Kebijakan dan peraturan yang jelas sangat dibutuhkan oleh masyarakat petani songga. Berdasarkan hasil wawancara bahwa belum pernah ada kebijakan dan peraturan yang disampaikan kepada masyarakat tentang tata cara pemungutan songga. Mengingat tanaman songga berpotensi sebagai komoditi HHBK yang dapat memberikan kontribusi ekonomis bagi masyarakat dan daerah, maka perlu segera diambil langkah-langkah kebijakan dan pemberlakuan peraturan yang jelas. Apabila kondisi ini dapat dicapai, maka prinsip pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat disekitarnya dapat berjalan dengan baik tanpa merusak hutan dan lingkungan di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan.

(17)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

1. Tanaman Songga ( ) sangat berpotensi menjadi salah satu

komoditi HHBK obat unggulan lokal yang spesifik di Provinsi Nusa Tenggara Barat karena sudah dikenal masyarakat sejak lama dan bernilai ekonomis.

2. Pemanfaatan songga oleh masyarakat di Kabupaten Dompu dan Bima adalah untuk mengobati sakit malaria, demam, lemah badan dan untuk menjaga stamina. Secara kearifan lokal bagian yang dimanfaatkan adalah buah yang sudah masak (tua). 3. Kendala pengembangan tanaman songga adalah terbatasnya bahan baku, kurangya

pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, sistem pemasaran yang masih tradisional dan kurangnya dukungan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan yang jelas.

1. Secara ilmiah nama botanis songga harus dilakukan identifikasi agar dapat diketahui dengan pasti yang sebenarnya agar tidak terjadi lagi perdebatan di kalangan masyarakat dan ilmuwan.

2. Potensi tanaman songga perlu segera ditingkatkan untuk menjamin kelangsungan bahan baku pada saat dibutuhkan. Budidaya di luar kawasan hutan dan pembinaan teknis kepada masyarakat merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan. 3. Pengembangan pengelolaan tanaman songga dapat berdampak bagi peningkatan

ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangannya dapat dilakukan dengan pola hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau hutan tanaman rakyat akan memberikan hasil yang baik.

Anonim, 2009. Buku Penelitian Departemen Kesehatan RI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Jakarta.

Cunha, T. 1986. Usaha isolasi dan identifikasi kandungan alkaloid kayu bidara laut

( BL.) asal kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.

FMEPA-UNHAS. Makasar.

Heyne, K. 1950. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.

Setiawan, B. 2010. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayatim Biofarmaka Belum Optimal. Formatnews Jakarta 24/5.

Supriadi, 1986. Efek hipoglokemik rebusan kayu songga ( Bl.)

terhadap binatang percobaan kelinci. JF FMIPA-UNHAS. Makasar.

Strychnos ligustrina

species

Strychnos ligustrina

(18)

KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTIM TERTUTUP

PADA PEMUTIHAN PULP DI INDONESIA

Oleh:

Pada kegiatan produksi pulp/kertas (khususnya proses kimia), tahapan pemutihan diperlukan guna menghasilkan macam kertas tertentu dan turunan selulosa lain. Pada umumnya tahapan tersebut menggunakan bahan kimia berdasar khlor. Tahapan tersebut selain memerlukan volume air yang besar, juga mengakibatkan besarnya volume limbah pemutihan yang membahayakan kehidupan mahluk hidup, antara lain AOX, EOCl, dioksin (senyawa kimia yang dicurigai menyebabkan penyakit kanker), sisa bahan pemutih, serta bahan relatif terdegradasi. Selain itu limbah pemutihan tersebut bersifat korosif terhadap peralatan logam. Di Indonesia terdapat lima pabrik pulp/kertas yang menggunakan bahan baku kayu dengan kapasitas produksi di atas 200.000 ton/tahun, termasuk proses pemutihan pulp. Pada tahun 2006 produksi kelima pabrik tersebut mencapai 3 juta ton pulp putih/tahun. Diperkirakan proses pemutihan tersebut membutuhkan volume air sekitar 36-45 juta kiloliter/tahun, dan menghasilkan limbah cair pemutihan 27-30 juta kiloliter/tahun. Hal tersebut

memerlukan dengan biaya tinggi. Salah satu usaha yang dapat

dilakukan adalah menerapkan sistim pengolahan tertutup pada proses pemutihan pulp, sehingga penggunaan air proses dan elati dapat dihemat, bahan pemutih yang digunakan dapat didaur ulang serta akan mengurangi dampak relatif lingkungan.

Kata kunci : Proses pemutihan, sistim tertutup, volume air, limbah buangan pemutihan, dampak lingkungan

Proses pemutihan merupakan salah satu tahap lanjutan pengolahan pulp. Untuk menghasilkan produk kertas tertentu atau turunan selulosa lain. Pemutihan bertujuan merubah bahan penyebab warna yang masih terdapat dalam pulp, sehingga pulp memiliki derajat kecerahan yang tinggi. Terdapat dua cara pemutihan yaitu: menggunakan bahan kimia kuat untuk menghancurkan/menyingkirkan sisa lignin dan zat ekstraktif yang masih terdapat dalam pulp; dan menggunakan bahan kimia selektif untuk menetralisir atau merubah struktur bahan penyebab warna pada pulp, tetapi tidak menyerang lignin secara elativ. Cara pertama banyak digunakan pada pulp kimia

Dian Anggraini & Han Roliadi

ABSTRAK

I. PENDAHULUAN

1

1

Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Tlp. 0251- 8633378, 8633413

E-mail : elisabethdianreza@gmail.com

(19)

dengan bahan khlorin, senyawa lain mengandung khlor, dan oksigen, sedangkan cara kedua dikhususkan untuk pulp semi-kimia dan pulp mekanis dengan bahan borohidrida, hidrosulfit, dan peroksida (Casey, 1980; Sjostrom, 1993; Smook dan Kocurek, 1993).

Proses pemutihan pulp baik cara pertama ataupun cara kedua, banyak mengkonsumsi air. Air dalam proses tersebut digunakan antara lain untuk media pelarut bahan kimia pemutih, media elative pulp, media reaksi antara bahan pemutih dengan relatif pulp, dan pencucian pulp. Air buangan yang dihasilkan proses tersebut mengandung sisa bahan kimia pemutih yang bisa membahayakan manusia dan mahluk hidup lain, antara lain sisa bahan pemutih, hasil reaksi antara bahan pemutih dengan sisa lignin atau ekstraktif dalam pulp, senyawa-senyawa mengandung khlor dan bahan elativ. Di samping itu air buangan hasil proses pemutihan umumnya bersifat korosif pada peralatan logam. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan sistim tertutup pada proses pemutihan pulp, dan diharapkan dapat berdampak pada penurunan konsumsi air proses, pengurangan polusi dan emisi, penghematan elati proses, dan mitigasi aspek elative lain terhadap lingkungan (Anonim, 1997; 2005).

Di Indonesia terdapat lima pabrik pulp/kertas utama yang menggunakan bahan baku kayu dengan proses kimia dan pemutihan pulp. Masing-masing memiliki kapasitas produksi di atas 200.000 ton pulp putih per tahun. Total produksi pulp/kertas dari kelima pabrik tersebut pada tahun 2006 mencapai sekitar 3 juta ton per tahun (Anonim, 2007). Kapasitas produksi riil seluruh pabrik pulp/kertas Indonesia pada tahun yang sama mencapai 4,6 juta ton, dengan demikian produksi tersebut didominir oleh ke lima pabrik pulp/kertas utama (Anonim, 2010). Sampai saat ini pabrik pulp/kertas tersebut belum menerapkan sistim tertutup pada proses pemutihan, tetapi melakukan perlakuan khusus pada limbah buangan pabrik (

), termasuk limbah pemutihan, sehingga limbah pabrik yang dibuang ke air bebas (sungai, danau, atau laut) tidak membahayakan kehidupan mahluk air dan menyebabkan aspek elative terhadap lingkungan (Anonim, 2003; 2008). Jika diperkirakan setiap 1 ton produksi pulp/kertas dihasilkan limbah cair dengan volume 9-10 m (Anonim, 2005a), maka kelima pabrik pulp/kertas Indonesia tersebut berpotensi menghasilkan limbah cair dengan volume 27-30 juta m atau 27-30 juta kiloliter per tahun. Adanya penerapan sistim tertutup diharapkan dapat mengurangi biaya peralatan, bahan kimia utama/pembantu, dan tenaga untuk

tersebut. Diperkirakan sebagian dari volume limbah cair tersebut (27-30 juta kiloliter per tahun), dapat didaur ulang (Anonim, 2005). Dengan demikian, aplikasi sistim tertutup dapat menghemat pemakaian air prosess sebesar 9-10 juta kiloliter per tahun). Tulisan ini menguraikan sistim proses pemutihan pulp kimia dan mekanisme reaksi, penerapan sistim tertutup, kendala yang dihadapi, penanggulangan serta uraian aspek terkait lainnya.

(20)

II. PROSES PEMUTIHAN PULP DAN MEKANISME REAKSINYA

Pemutihan pulp kimia umumnya dilakukan secara bertahap dengan menggunakan bahan pemutih berdasar khlor dan bahan pemutih bukan khlor (seperti peroksida, oksigen, dan ozon). Bahan pemutih khlor lebih umum digunakan karena lebih selektif mendegradasi sisa lignin dalam pulp, sedangkan bahan pemutih bukan khlor selain mendegradasi lignin, juga ikut merusak komponen karbohidrat, dan bahan pemutih peroksida (sebagai oksidator lemah) hanya merusak lignin secara parsial sehingga hanyak dipakai sebagai stabilisasi warna pulp. Tahapan pemutihan pulp yang melibatkan senyawa khlor ditujukan menghasilkan pulp/kertas dengan derajat kemurnian selulosa tinggi, seperti kertas cetak/tulis, pulp rayon, dan kertas untuk keperluan elativeies.

Dalam pemutihan bertahap, digunakan bahan pemutih berdasar khlor, dan bahan pemutih bukan khlor. Biasanya bahan pemutih bukan khlor (oksigen dan ozon) digunakan pada kondisi sisa kadar lignin pulp telah banyak berkurang. Dengan demikian, penggunaannya dapat mempertinggi keefektifan pemutihan, yaitu menghilangkan sisa lignin secara optimal, dan secara bersamaan mengurangi degradasi senyawa karbohidrat pada pulp. Tahapan pemutihan yang umum digunakan

diantaranya adalah: C ( /Cl )-E (ekstraksi alkali)-D (ClO )-E-D, C-E-H

( /NaOCl)-D-E-D, D-E-O (Oksigen/O )-P (Peroksida/H O dalam suasana

alkali)-D-D, Z (Ozon/O )-E-O-D-D. Konsumsi air yang dibutuhkan pada proses pemutihan bertahap elative besar sehingga mengakibatkan limbah buangan yang dihasilkan cukup besar (Anonim, 1997; 2005a).

Untuk senyawa bahan pemutih mengandung khlor (Cl , ClO , dan NaOCl), reaksi yang terjadi antara senyawa tersebut dengan sisa lignin pada pulp mencakup reaksi substitusi dan oksidasi, sebagai berikut (Sjostrom, 1993; Anonim, 2005a):

A. Substitusi:

1. Senyawa mengandung khlor + lignin-OH lignin-Cl (khloro-lignin) + H O --- (I) 2. Khloro-lignin + NaOH (ekstraksi alkali) lignin-O-Na (terlarut) + NaCl --- (II)

B. Oksidasi:

1. Senyawa mengandung khlor + H O HCl + O --- (III) 2. Lignin + O (suasana alkali) lignin terfragmentasi + CO + H O --- (IV) 3. Lignin terfragmentasi lebih mudah larut dalam air (terutama pada suasana alkali)-(V)

Ekstraksi alkali (reaksi II dan V) bertujuan menetralisir HCl yang terbentuk (reaksi III), sehingga mengurangi degradasi fraksi karbohidrat pulp. Mengenai bahan pemutih berdasar khlor, cenderung lebih banyak menggunakan bahan pemutih ClO dibandingkan Cl . Reaksi degradasi sisa lignin oleh ClO berlangsung 2,5 kali lebih cepat dan lebih efektif daripada Cl , sehingga lebih selektif merusak lignin dan akibatnya meminimalisir degradasi karbohidrat pulp. Ini terindikasi bahwa

Chlorination

(21)

penggunaan ClO lebih banyak memicu terjadinya reaksi III dan IV, dan lebih sedikit intensitas reaksi I. Akibatnya, penggunaan ClO cenderung menurunkan terbentuknya AOX, dioksin, dan khloro-lignin, sehingga beban ancaman polusi lebih rendah (Smook dan Kocurek, 1993; Anonim, 1997, 2005a).

Untuk senyawa bahan pemutih tidak mengandung khlor, seperti oksigen (O ), ozon (O ), dan peroksida (H O ), prinsip reaksi dengan lignin adalah oksidasi biasa, sebagai berikut (Sjostrom, 1993; Anonim, 1991; 2005a, 2005b, 2005c):

4. Oksigen: O + sisa lignin lignin terfragmentasi + CO + H O ……..………… (VI) 5. Peroksida: H O (dalam suasana alkali) H O + O …………....……… (VII) 6. Ozon: O (dalam suasana asam) O + O ………...……….. (VIII)

O dan O akan mengoksidasi lignin seperti pada reaksi IV dan VI, menghasilkan lignin terfragmentasi, CO dan H O. Lignin terfragmentasi tersebut lebih mudah larut pada cairan bersuasana alkali (NaOH). Bahan pemutih mengandung oksigen tersebut (O , O , dan H O ) kurang selektif dalam mendegradasi lignin, maka suasana alkali (lemah) digunakan pada proses pemutihan menggunakan bahan mengandung oksigen tersebut. Ini disebabkan suasana alkali membantu degradasi dan pelarutan lignin, sedangkan fraksi karbohidrat lebih tahan terdegradasi pada suasana tersebut. Khusus untuk bahan pemutih ozon (O ), karena hanya aktif pada suasana asam (berbeda dengan oksigen dan peroksida) sehingga pada suasana tersebut bisa merusak karbohidrat pulp selain mendegradasi lignin, maka waktu reaksi harus sesingkat mungkin (sekitar 10 menit), dan sesudahnya diberikan perlakuan alkali guna melarutkan hasil degradasi lignin (seperti halnya bahan pemutih oksigen dan peroksida) (Anonim, 2005c).

Pemutihan untuk pulp semikimia dan pulp mekanis, biasanya menggunakan bahan kimia yang lebih lemah dibandingkan bahan untuk pulp kimia. Pemutihan ini ditujukan untuk menghasilkan pulp/kertas dengan derajat kemurnian selulosa tidak terlalu tinggi, seperti kertas koran, kertas pamflet, karton, dan kertas katalog. Berbeda dengan pemutihan pulp kimia yang dilakukan secara bertahap, pada proses ini pemutihan pulp cukup satu tahap saja, atau sekiranya bertahap maksimum hanya 2-3 tahap. Bahan kimia untuk tujuan tersebut ada yang bersifat oksidator (a.l. peroksida) atau reduktor (senyawa hidrosulfit dan borohidrida), yang digunakan secara tunggal atau kombinasi, seperti P (peroksida)-P (dua tahap), P-P-HS (hidrosulfit), dan P-B (borohidrida). Selanjutnya rincian reaksinya diuraikan berikut ini (Sjostrom, 1993; Zimmermann ., 1991; Anonim, 2005b):

C. Peroksida (H O )

Prinsip reaksinya sama seperti pada reaksi IV, VI, dan VII, dan berbeda dengan oksigen dan ozon, maka peroksida merupakan oksidator lermah. Pada pemutihan ini, aktifitas peroksida terbatas hanya mendegradasi lignin secara parsial dan mentralisir gugus fungsionil penyebab warna.

2

(22)

D. Senyawa Hidrosulfit (Na S O atau Zn S O )

1. S O + 2 H O 2 SO + 4 H + 2 e ... (IX) 2. Gugusan fungsionil penyebab warna pada sisa lignin atau zat ekstraktif (dalam pulp)

biasanya dalam bentuk ikatan rangkap karbonil (-C=O) + 2 H + 2 e dirubah (dinetralisir) menjadi ikatan jenuh sehingga tidak berwarna/putih (-CH-OH) … (X)

E. Senyawa Borohidrida (NaBH )

1. BH + 4 H O B(OH) + 8 H + 8 e ………...……….. (XI) 2. Gugusan fungsionil penyebab warna pada sisa lignin atau zat ekstraktif (dalam pulp) biasanya dalam bentuk ikatan rangkap karbonil (-C=O) bereaksi dengan 8 H + 8 e sehingga berubah menjadi menjadi ikatan jenuh (-C-O-) dan tidak berwarna/putih (prinsipnya sama seperti pada reaksi X).

Proses pemutihan sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan pengolahan pulp/kertas, baik untuk pulp kimia ataupun pulp semi kimia dan mekanis, akan menghasilkan limbah antara lain dalam bentuk cairan. Limbah cair industri pulp/kertas secara keseluruhan terdiri dari sisa air proses, padatan tersuspensi, padatan terlarut, padatan bentuk koloid, cairan (lemak/minyak) teremulsi dengan air, padatan mengendap, dan padatan terapung. Sebelum dibuang atau dilepaskan, limbah cair tersebut harus diberi perlakuan khusus sehingga cairan tersebut dianggap aman dilepaskan ke perairan bebas (danau, sungai, atau laut) sehingga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Perlakuan khusus tersebut mencakup: penyaringan, sedimentasi, dan penjernihan. Untuk tujuan tersebut diperlukan bahan kimia seperti kapur, asam sulfat, tawas/alum, polimer anionik, dan polimer kationik. Disamping itu juga diperlukan tenaga, peralatan, sarana/fasilitas dengan biaya tidak murah. Untuk menekan atau mengurangi segala biaya tersebut, salah satu pemecahannya adalah penerapan sistim tertutup pada proses pemutihan pulp.

Gagasan menerapkan sistim tertutup tersebut sudah lama dicetuskan pada industri pulp/kertas di negara-negara subtropis dan bermusim. Ini didasarkan pada salah satu manfaat dari penerapan sistim tersebut yaitu pengurangan pemakaian air proses, dan seperti diketahui pada musim dingin umumnya sumber air (mata air, sungai, dan danau) membeku, sedangkan pasokan air proses untuk pengolahan pulp/kertas (termasuk proses pemutihan harus kontinu). Pemutihan merupakan salah satu tahap pengolahan pulp/kertas yang banyak mengkonsumsi air. Tercatat bahwa untuk produksi 1 ton pulp putih, keseluruhan tahapan pengolahan pulp/kertas membutuhkan air proses sebanyak 55.000 gallon (sekitar 245 kiloliter) (Haygreen dan

2 2 4 2 2 4

III. PENERAPAN SISTIM TERTUTUP PADA PROSES PEMUTIHAN PULP

(23)

Bowyer, 1989). Dari sejumlah itu, sekitar 5-7% digunakan pada proses pemutihan pulp, yaitu membutuhkan 3.000-3.500 gallon atau 12-15 kiloliter air (Anonim, 2005a). Selanjutnya, jika hal tersebut dihubungkan dengan keberadaan lima pabrik pulp/kertas utama di Indonesia dengan total kapasitas produksinya mencapai 3 juta ton per tahun, maka kelima pabrik tersebut berpotensi mengkonsumsi air proses untuk pemutihan pulp sebanyak 36-45 juta kiloliter per tahun.

Pemutihan pulp dengan sistim tertutup banyak dititik beratkan pada pulp kimia, dan menggunakan bahan pemutih berdasar khlor (karena keselektifan bahan tersebut merusak lignin), yang dikembangkan oleh Rapson dan Reeve (Smook dan Kocurek, 1993; Anonim, 2005a). Pulp kimia yang diputihkan adalah hasil proses sulfat, dan proses tersebut bersifat , dan sesuai untuk mengolah berbagai jenis kayu tropis (Anonim, 2009). Skema sistim tertutup tersebut disajikan pada Gambar 1. Tahapan yang terlibat pada proses ini antara lain: (1) pencucian dengan gerakan saling

berlawanan arah ( ) terhadap aliran suspensi pulp hasil

pemutihan; (2) pengggunaan ClO dan Cl untuk mengefektifkan proses pemutihan; (3) memanfaatkan limbah pemutihan pulp untuk pencucian serpih lunak hasil pemasakan

dan dari digester ( ), dan untuk mengencerkan cairan bahan

kimia segar untuk pemasakan serpih ( ); (4) membersihkan embun yang

terkondensasi dan melekat pada permukaan evaporator dengan cara semburan uap

panas ( ), dan (5) menggunakan air kondensat sebagai pencuci

peralatan proses pemutihan.

Adanya sistim tertutup pada proses pemutihan pulp tersebut diharapkan dapat mengurangi beban limbah buangan berikut daur ulang bahan kimia dan energi:

Bahan pemutih ClO dan Cl akan mendegradasi sisa lignin dalam pulp yang akan diputihkan. Proses degradasi lignin berlangsung menurut persamaan reaksi I-V, di mana alkali (NaOH) juga ikut berperan. Pada sistim tersebut (Gambar 1), diintegrasikan tahapan proses pembuatan (daur ulang) ClO dan Cl , berikut terbentuknya NaCl. Selanjutnya NaCl melalui proses elektrolisa akan menghasilkan NaOH dan Cl , dan Na SO (lihat reaksi XII-XVI). Ketiga macam senyawa tersebut selanjutnya dapat saling dipisahkan melalui evaporasi dan kristalisasi (Gambar 1A dan 1B). Hasil aktifitas pemutihan bertahap DCDED (Gambar 1), menunjukkan pada limbah buangan mengandung senyawa chloro-organik (lignin, ekstraktif, polifenol), lignin terfragmentasi, sisa bahan pemutih, sisa NaOH, dan karbohidrat terdegradasi. Lebih lanjut, reaksi yang terjadi pada sistim pemutihan tertutup (Sjostrom, 1993; Anonim, 2005) adalah:

blow brown stock washing

white water A. Daur Ulang Khlor

(24)

e. Na + H O NaOH + H ………...….…….. (XVI) f. Cl + ClO + sisa lignin dalam pulp khlorolignin + CO + H O …...…… (XVII)

Disarankan pada tahapan pemutihan tersebut (antara lain DCDED), ikut pula dilibatkan tahapan pemutihan dengan oksigen atau ozon (Anonim, 1991; 2005a; 2005b). Hal tersebut terjadi karena akan mengurangi beban penggunaan bahan pemutih ClO dan Cl , sehingga akan menurunkan jumlah sisa bahan pemutih yang mengandung khlor dan senyawa khloro-organik dalam limbah buangannya.

Adanya aliran , akan mengurangi volume limbah

buangan dan sebaliknya meningkatkan konsentrasi padatan organik. Bahan organik tersebut pada proses oksidasi (pada ) akan menghasilkan energi yang bisa dimanfaatkan (Gambar 1; dan reaksi XVIII dan XIX).

Sistim tertutup mengurangi volume penggunaan air proses pada pemutihan pulp. Kelima, sistim tertutup dapat mendaur ulang sebagian bahan kimia (antara lain Cl , ClO , NaOH, dan Na SO ) yang tidak saja bisa digunakan pada proses pemutihan tetapi juga proses lain ( ), sebagaimana diuraikan pada reaksi XX

2 2

2 2 2 2

2 2

2 2 2 4

B. Reduksi Khlor

C. Pemanfaatan Energi Organik

D. Reduksi Air

counter-current washing

furnace

pulping

(25)

A

B

Gambar 1. Gambaran skematik sistim tertutup pemutihan pulp kimia (kraft), berikut daur ulang bahan kimia pemutih (A dan B)

Sumber: Smook dan Kocurek (1993); Anonim (2005b)

(26)

Keterangan gambar: Gambar 1A:

Gambar 1B:

Fresh water = Air tawar untuk proses

ClO2, Cl2, NaOH = Bahan kimia untuk pemutihan pulp (ClO2, Cl2), dan soda api (alkali)

untuk melarutkan senyawa yang terbentuk hasil pemutihan tersebut

Bleaching DcEDED = Pemutihan pulp secara bertahap menggunakan tahapan Dc (ClO2+Cl2) – E (estraksi dengan alkali) – D (ClO2) – E - D

Wood = Bahan serat (kayu)

Cooking = Pemasakan kayu (bentuk serpih) menjadi pulp

Washing = Pencucian serpih kayu lunak hasil proses pemasakan

Pulping chemical (NaOH, Na2S) = Bahan kimia pemasak untuk pengolahan pulp (NaOH, Na2S) Black liquor evaporator = Tempat/alat penguapan fraksi air pada lindi hitam (bekas cairan

pemasak)

Furnace = Tanur (dapur api), dipakai untuk menguapkan/membakar habis lindi hitan sehingga tersisa bahan anorganik (smelt)

Purge CO2& H2O to atmosphere = Membuang/melepaskn gas CO2dan uap H2O ke udara lepas Purges (Dregs / Grits) = Membuang padatan anorganik sebagai hasil samping penyiapan

bahan kimia pemasak danproses pulping (bentuk Dregs dan Grits) ke tempat penampungan (landfill)

Liquor preparation = Penyipana cairan bahan kimia pemasak

White liquor evaporator = Tempat/alat penguapan fraksi air cairan bahan kimia pemasak (siap dimasukkan ke ketel pemasak serpih kayu)

Condensation = Proses pengembunan (kondensasi) uap air menjadi air

Condensate = Air yang terbentuk dari kondensasi (pengembunan) uap air

Condensate stripping = Pengumpulan aircondensate

H2O = Air

Unbleached pulp = Pulp tidak diputihkan

Bleached pulp = Pulp diputihkan

H2SO4 = Asam sulfat

NaClO3 = Natrium khlorat (salah satu macam bahan kimia pemutih) ClO2solution = Larutan ClO2(salah satu macam bahan kimia pemutih) Cl2solution = Larutan Cl2(salah satu macam bahan kimia pemutih )

H2O = Air

NaOH = Soda api (alkali)

Blach plant with countercurrent washing

= Tempat dilakukan proses pemutihan, dan sesudahnya dilakukan terhadap pulp (hasil pemutihan) menggunakan air di mana arah gerakan air berlawanan arah dengan arah gerakan suspensi pulp selama proses pemutihan tersebut

Pulp = Pulp yang telah diputihkan

Condensate = Air yang terbentuk dari kondensasi (pengembunan) uap air

Wash liquor = Cairan bekas pencucian pulp selama proses pemutihan

Digester and Washer = Ketel pemasak serpih kayu dan seperangkat alat pencucian serpih hasil pemasakan

White liquor = Cairan bahan kimia pemasak yang siap dimasukkan ke ketel pemasak untuk memasak serpih kayu

Causticizer = Proses merubah soda abu (Na2CO3) menjadi soda api (NaOH) Furnace = Tanur (dapur api), dipakai untuk menguapkan/membakar habis

lindi hitan sehingga tersisa bahan anorganik (smelt)

Smelt = Bahan anorganik yang terbentuk dari dapur api

Dissolving = Pelarutan bahan kimia yang terbentuk dari dapur api (tanur) hasil hutanVol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 – 93

(27)

Menurut Sjostrom (1993), Zimmermann . (1991) dan Anonim (2005a, 2005b), berkenaan dengan terbentuknya dan terakumulasinya senyawa seperti khloro-organik, padatan khloro-organik, dan Na SO dalam limbah buangan, pada saat aliran limbah

tersebut mencapai yang bersuhu tinggi (Gambar 1) senyawa tersebut

akan mengalami reaksi oksidasi, reduksi, dan asam-basa yaitu:

a. Padatan energy (sisa lignin, karbohidrat) oksidasi/reduksi CO + H O + energy ………...……….. (XVIII) b. Khloro-organik (sisa lignin/ekstraktif, polifenol) + NaOH NaCl + CO + H O +

energy ………...………..………. (XIX) c. Na SO + C (padatan organik) Na S + CO ………...……….. (XX)

Na SO (hasil reaksi XIV) melalui reaksi reduksi pada tanur daur ulang

( ) menghasilkan Na S (reaksi (XX). Na S dan NaOH (reaksi XVI)

merupakan senyawa utama pada cairan pemasak segar ( ) untuk memasak

serpih dalam digester. Disamping itu, energi yang terbentuk pada

(reaksi XVIII dan XIX) bisa dimanfaatkan untuk sumber panas tambahan untuk ketel uap (boiler) guna menghasilkan tenaga listrik untuk keperluan keseluruhan aktifitas di industri pulp/kertas. Selanjutnya, bahan anorganik yang terbentuk dari

tersebut (NaOH, NaCl, dan sisa Na SO ) disalurkan ke , lalu ke

(Gambar 1) di mana mengalami pengenceran dengan air. Setelah pengenceran, NaOH dipakai kembali sebagai pelarut (E) pada tahapan pemutihan DCDED (Gambar 1A dan 1B); sedangkan, NaCl mengalami proses elektrolisa guna menghasilkan NaOH dan Cl (reaksi XV), dan Na SO untuk menghasilkan Na S (reaksi XX).

Mencermati keseluruhan mekanisme sistim tertutup pemutihan pulp (Gambar 1), ternyata sistim tersebut berakibat tidak saja pengurangan pemakaain air proses dan penurunan volume limbah, tetapi juga penghematan pemakaian energi dan daur ulang sebagian bahan kimia. Kendala yang mungkin dihadapi adalah penerapan tersebut memerlukan biaya, peralatan, bahan kimia, dan tenaga pelaksanaan yang tidak murah (mahal) antara lain pengadaan/pembuatan bahan kimia pemutih, peralatan/media reaksi dan ekstraksi alkali, dan sistim penyaluran/ bahan kimia/hasil reaksi dari suatu tahap ke tahap berikut (Gambar 1). Diharapkan adanya manfaat/faedah yang positif dari penerapan sistim tersebut akan dapat mengatasi kendala-kendala tersebut.

Terlihat pada skema bahwa untuk penerapan sistim tertutup proses pemutihan pulp diperlukan masukkan bahan kimia utama berupa ClO , Cl , NaClO , NaOH, dan H SO (Gambar 4). ClO dan Cl dapat disintesa menurut reaksi XIV yang diperlukan antara lain NaClO dan H SO ; NaOH untuk pembentukan NaOCl (reaksi XII), dan NaOCl untuk menghasilkan NaClO (reaksi XIII). Jadi inti utama bahan kimia

et. al

IV. KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTIM TERTUTUP DI INDONESIA

(28)

masukkan adalah NaOH, Cl , dan H SO . NaOH dan Cl sebagian dapat diperoleh kembali (disintesa) dari elektrolisa garam dapur (NaCl dari reaksi XII) menurut reaksi

XV dan XVI. Sintesa H SO membutuhkan bahan baku kimia (FeS ). pada

tahap awal dipanaskan pada suhu tinggi sehingga diperoleh sulfur (S). Selanjutnya, S tersebut direaksikan dengan oksigen murni (O ) menggunakan katalis vanadium (V O ) atau platina (Pt) sehingga terbentuk gas sulfurtriosida (SO ). Selanjutnya SO dilewatkan ke uap air panas (H O) sehingga terbentuk asam sulfat atau H SO (Casey, 1980; Ege, 1986). Adapun rincian reaksinya sebagai berikut:

a. FeS ( ) suhu tinggi (T) FeS + S ………...………. (XXI)

b. 2 S + 3 O (katalis V O atau Pt) 2 SO ………...……….. (XXII) c. SO + H O (uap panas) H SO ………...……… (XXIII)

Sumber (FeS ) dan garam dapur (NaCl) di Indonesia cukup besar (Purba, 2004; Anonim, 2008a dan Anonim 2011), sehingga dapat mendukung penerapan sistim tertutup pemutihan pulp. Belerang/sulfur (S) banyak terdapat di gunung berapi yang masih aktif dan umumnya tidak murni dan terikat dengan unsur lain (Fe) dalam bentuk (FeS ). Di Indonesia banyak gunung berapi yang masih aktif, diantaranya yang terkenal sebagai penghasil belerang adalah Gunung Welirang dan Gunung Ijen di Jawa Timur. Demikian juga untuk NaCL, Indonesia merupakan Negara kepualauan yang dikelilingi oleh lautan sehingga potensi NaCl di Indonesia cukup berlimpah.

Selanjutnya pada tahapan pemutihan bertahap, sekiranya dilibatkan bahan pemutih mengandung oksigen (O , H O , dan O ), dengan demikian diperlukan masukkan masing-masing bahan pemutih tersebut. Salah satu cara yang praktis mendapatkan O adalah melalui eletrolisa air (H O). Untuk pembuatan H O mula-mula diperlukan logam natrium (Na) yang kemudian direaksikan dengan oksigen berlebih sehingga dihasilkan natrium peroksida (Na O ). Kemudian Na O tersebut direaksikan dengan asam kuat (biasanya H SO ) sehingga terbentuk H O . Untuk mendapatkan O , diperlukan O dimana O tersebut dilewatkan medan muatan listrik statis diantara dua elektroda bermuatan tinggi yang saling berlawanan (positif dan negatif). Atas dasar itu sebagian O akan dikonversi menjadi O . Rincian keseluruhan reaksi tersebut diuraikan oleh George, . (1987) sebagai berikut:

a. H O proses elektrolisa H + O …………...……….. (XXIV) b. Na + O (berlebih) Na O ………...……… (XXV) c. Na O + H SO Na SO + H O ………...……… (XXVI) d. O (medan listrik statis antara dua eletroda bermuatan berlawanan) O …... (XXVII)

Ternyata untuk sintesa 3 macam bahan pemutih tersebut (O , H O , dan O ), bahan kimia utama yang diperlukan adalah Na, H SO , dan H O (air). Na dapat diperoleh melalui elektrolisa garam dapur (reaksi XV); sedangkan H SO dapat diperoleh dari reaksi XXI XXIII.

Gambar

Tabel 1. Rata-rata kadar air kayu cempaka (Dandy) menurutarah radial dan longitudinalElmerilia papuana
Gambar 2. Variasi kadar air kering udara kayu cempakamenurut arahlongitudinal
Tabel 3. Rata-rata berat jenis kayu cempaka menurut arah radial dan longitudinal
Gambar 3. Variasi berat jenis kayu cempaka menurut arah radial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 2, terdapat 6 hop yang akan dibuat link fronthaul masing-masing kecamatan menggunakan satu site existing, dan ditambahkan dengan eNodeB baru untuk membuat link

Proses awal berupa perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku yang kemudian disakarifikasi dengan metode hidrolisis menggunakan asam sulfat, sehingga diperoleh

Kandungan zat bioaktif (tanin, saponin, flavonoid, kurkumin dan minyak astiri) yang terdapat dalam bahan herbal pada perlakuan belum memberikan pengaruh terhadap

Kondisi ini menyebabkan ketersediaan benih bawang merah menjadi langka sehingga petani bawang menggunakan benih yang umur simpannya kurang dari 3 bulan (12

Proses pemutihan merupakan suatu proses penghilangan warna dari serat akibat masih tersisanya lignin pada pulp menggunakan bahan kimia. Dalam proses pulping tidak

Kurang lebih setengah dari bahan organik yang terdapat di dalam larutan sisa pemasak pulp kertas adalah lignin dan sisanya terdiri dari asam karboksilik yang terbentuk sebagai

Dengan menggunakan variabel sosial politik dan pariwisata yang terdiri dari Rule of law, Government effectiveness, Political stability, Political rights, Civil liberties, dan

Pada proses pembuatan pulp secara kimia, bahan yang terdapat ditengah lapisan kayu akan dilarutkan agar serat dapat terlepas dari zat-zat yang mengikatnya. Hal yang merugikan