• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan alat bukti elektronik dalam pandangan hukum islam dan hukum positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kekuatan alat bukti elektronik dalam pandangan hukum islam dan hukum positif"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Muhamad Hilmi Farid

NIM 104045101557

Di bawah bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

H. Zubir Laini, SH. Sri Hidayati. M.Ag

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAM HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 02 Desember 2008

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan

taufiq-Nya yang tak terhingga. Salam sejahtera semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi

Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, karya tulis ini dapat penulis rampungkan, bahagia bercampur haru

mengiringi atas karunia ini, yang tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati nan

dalam. Pertama penulis haturkan terimakasih dan sayang yang dalam buat abi H. OOM

ZAENAL ABIDIN. Alm. walaupun keras mendidik tapi penuh kasih sayang untuk terus

maju, seiring doaku akan selalu datang pada mu dan semoga Allah SWT menerima amal

ibadah abi. Amin

ucapan terima kasih kepada keluarga. Umi Hj. ACIH, kakak-kakaku: Teh Mumuf

& suami, Teh Ulfah & suami, A Emi, adik-adik: Idan dan Apid. Yang telah mendukung

moril dan imoril kepada penulis yang hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan

pendidikan. Rasa terima kasih bercampur haru penulis kepada mereka tak bisa diwakili

dengan untaian kata-kata. Merekalah yang mengantar penulis hingga sampai pada suatu

tahapan ini.

Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih kepada rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. H. Komarudin hidayat, M.A., Dekan fakultas Syar’iah dan Hukum, prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M,A., M.M., beserta jajaranya yang telah memberikan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama menjadi mahasiswa. Ucapan terima kasih

(4)

Program Studi Sri Hidayati M.Ag., yang telah tulus ikhlas meluang kan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.

Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada H. Zoebir Laini SH dan Sri Hidayati M.Ag., yang secara kritis dan sadar meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dari tahap awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini. Melalui pena

dan pikiran beliau, penulis banyak memperoleh pelajaran-pelajaran berharga.

Terima kasih kepada Pengurus Perpustakaan Syariah dan Hukum, Pengurus

Perpustakaan Utama, yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan penulis.

Ucapan terima kasih ku pun sampaikan kepada para dosen yang dengan ikhlas

membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan

terima kasih kepada teman-teman seangkatan yaitu PI-2004: Amin, Pay, Zaelani, Husni,

Nandez, Evi, Haris, Zulfah, Novi, Irna, Puti, Reva, Aziz, Ozi, Ricko, Johan dan tiga

bersaudara (Thomp, Vito dan Devison)

Terakhir penulis ucapkan, Semoga amal baik mereka semua diterima oleh Allah

SWT. amin

Ciputat, 20 Oktober 2008 21 Syawal 1429 H

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara alamiah manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang

tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya, secara alamiah pula manusia tidak

mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya adalah menjaga eksistensi

keberadaannya. Bagi manusia, teknologi tanpa disertai dengan hukum akan berakibat

pada kekacauan (Chaos), yang pada giliranya akan merusak pada kehidupan manusia itu

sendiri. Sebaliknya hukum yang semata-mata membatasi kemajuan teknologi akan

memasung keberadaban manusia. Di sinilah perlunya keseimbangan antara hukum dan

teknologi.1

Perkembangan teknologi informasi yang melanda dunia dewasa ini tidak dapat

dihindari dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa perkembangan tersebut mempengaruhi

tatanan aktifitas manusia. Kurang diimbangi dengan pemahaman yang baik dan memadai

mengenai teknologi khususnya dalam perspektif hukum. Hal ini disebabkan, penekanan

yang digunakan dewasa ini sangat Technologie Minded (mengandalkan teknologi),

padahal idealnya kita harus melihatnya secara holistik dengan berbagai sudut pandang

tentunya, baik dari sudut teknologi, hukum, bisnis, maupun sosial. Sehingga transformasi

teknologi dan industri yang kita harapkan dapat terlaksana.

Internet dengan berbagai kelebihannya ternyata banyak pula diperdebatkan.

Perdebatan-perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya mengenai istilah-istilah

hukum yang terkait dengan telematika itu sendiri, pendekatan apakah yang digunakan

1

(6)

untuk menjawab perdebatan-perdebatan semacam ini apakah pendekatan formulatif atau

aplikatif. Kemudian masalah pembuktian data elektronik, yang baru dikenal dalam sistem

hukum kita yaitu Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masalah

yuridiksi tentang pembajakan hak intelektual di internet dan permasalahan-permasalahan

lainnya.

Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia

lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce)2 yang diprediksikan sebagai “bisnis besar masa depan”(the next big thing). E-commerce ini

bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju, tetapi juga telah

menjadi model transaksi termasuk Indonesia.3

Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan

normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam

kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian,

tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang

berkaitan dengan kegiatan cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak

lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara. Aksesnya dengan mudah dapat dilakukan

dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik bagi pelaku internet maupun

orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana

kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian

merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik baru saja terakomodasi

dalam sistem hukum acara Indonesia. Dalam kenyataannya data yang dimaksud juga

2

E-commerce adalah perniagaan secara elektronik

3

(7)

ternyata sangat rentan untuk diubah, di sadap, di palsukan dan di kirim ke berbagai

penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun

bisa demikian cepat. Teknologi informasi telah menjadi instrument efektif dalam

perdagangan global.

Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena

saat ini transaksi e-commerce (perniagaan secara elektronik) telah menjadi bagian dari

perniagaan nasional dan internasional.4 Contoh kongkrit adalah untuk membayar zakat, atau berkorban pada saat Idhul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat

pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah

orang juga dapat membayar tidak dengan uang, tapi cukup dengan mendebit pulsa

telepon seluler melalui fasilitas SMS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di

bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukan

hak cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi.

Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat,

karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktifitasnya,

terutama dalam pemanfaatan informasi. Akan tetapi, fenomena tersebut dapat memicu

lahirnya berbagai bentuk konflik di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang

tidak bertanggung jawab.

Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikatagorikan sebagai tindakan

dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber sudah tidak pada

tempatnya lagi untuk mengkatagorikan sesuatu dengan ukuran kualifikasi hukum

4

(8)

konvensional untuk dapat dijadikan dan objek perbuatan, sebab jika cara ini yang

ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan

cyber sangat berdampak nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan

demikian subjek pelakunya harus diklasifikasikan pula sebagai orang yang telah

melakukan perbuatan hukum yang nyata.

Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace,

pertama adalah pendekatan teknologi, kedua adalah pendekatan sosial budaya-etika, dan

ketiga pendekatan hukum.5

Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan,

terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi

komputer menyebabkan munculnya juga jenis kegiatan-kegiatan baru, yaitu dengan

memanfaatkan komputer sebagai modus operandi.6 Penyalahgunaan komputer dalam perkembangannya menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, terutama kaitannya

dengan proses pembuktian tindak pidana (factor yuridis). Apalagi penggunaan komputer

untuk tindak kejahatan itu memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan

kejahatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional). Perbuatan atau

tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan

mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan

menggunakan komputer.

Kemudahan yang diperoleh melalui internet tentunya tidak menjamin jaminan

bahwa aktifitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman dan tidak melanggar

5

Ahmad M Ramli, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung, 2004 ; Refika aditama).hal 3

6

(9)

norma. Di situlah kita harus jeli dalam melihat permasalahan yang berkembang di dalam

masyarakat. Pengaturan cyberlaw Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan

negara-negara lain. Seperti di Asia Tenggara, Indoensia merupakan Negara yang baru

memiliki perundang-undangan yang khusus mengenai cyberlaw. Salah satu isu dari

cyberlaw yang semakin marak akhir-akhir ini adalah cybercrime atau kejahatan yang

memiliki keterkaitan erat dengan teknologi informasi. Kejahatan yang terjadi melalui

jaringan publik (internet) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari suatu dunia yang

tidak mengenal batas yurisdiksi. Kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime ataupun

computer cryme Indonesia sebenarnya masih dapat ditangani dengan

perundang-undangan pidana Indonesia yang masih berlaku (KUHP). Namun seringkali timbul

pertanyaan mengenai relevansi pengaturan tersebut dengan jenis tindak pidana yang

berkembang sekarang. Salah satu kasus lama di Indonesia yang masuk dalam ruang

lingkup kejahatan komputer yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 363 K/PID/1984

Tanggal 25 Juni 1984 mengenai penggelapan uang di bank melalui komputer. Perbuatan

pidana itu merupakan kerjasama antara orang luar dengan oknum pegawai BRI cabang Brigjen Katamso Yogyakarta dari tanggal 15 September-12 Desember 1982, yaitu

dengan cara mentransfer uang melalui kliring, kemudian warkat kliring yang diterima

dari keliring tersebut oleh oknum pegawai BRI secara melawan hukum dan tanpa

sepengetahuan bagian kartu dibebankan pada rekening orang lain yang bukan ke rekening

yang tertulis pada warkat keliring dengan cara membukukan melalui komputer tanpa

kartu atau strook mesin. Perbuatan ini berlangsung 44 kali mencapai jumlah Rp.

815.000.000.00,- serta Rp. 10.000.000.00,- melalui validasi tunai tanpa dilakukan mutasi

(10)

Yogyakarta dengan keputusannya Nomor. 33/1983/PID/PN tanggal 20 September 1983

menjatuhkan hukuman atas terdakwa bersalah melakukan perbuatan korupsi dan menghukum penjara 10 tahun dipotong masa tahanan, harus membayar biaya perkara Rp. 100.000.00,- Keputusan ini diperkuat oleh keputusan Pengadilan Tinggi

Yogyakarta Nomor 41/1983/Pid/PTy, Tanggal 6 Maret 1984 dan Mahkamah Agung

dengan keputusan Nomor. 363/K/PID/1984 tanggal 25 Juli 1984 menolak permohonan

kasasi yang diajukan jaksa karena hak permohonan kasasi telah gugur, disebabkan tidak

ada memori kasasi. Adapun landasan hukum penuntutan adalah Pasal 55 (1) jo. Pasal 64

(1) KUHP Pidana jo Pasal 1 (1a) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi yang pada intinya perbuatan tersebut dilakukan

bersama-sama antara terdakwa dan oknum pegawai BRI dan merugikan Negara.7 Perbuatan melawan hukum di dunia cyber sangat tidak mudah diatasi dengan

mengandalkan hukum positif konvensional, Indoensia saat ini baru mereflesikan diri

dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau Negara maju seperti

Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan

regulasi hukum cyber ke dalam hukum fositif nasionalnya.8

Salah saru implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah

pengaruhnya terhadap eksistensi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) disamping

terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis (elektronik) kegiatan

e-government(sistem informasi pemerintah), dan lain-lain, Kasus-kasus terkait dengan

7

Dikutip dari buku Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta; PT Raja Grapindo Persada, 2005). hal. 418

8

(11)

pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainya

adalah contoh yang marak terjadi saat ini.9

Pembuktian tentang benar tidaknya melakukan perbuatan yang didakwakan,

merupakan bagian yang terpenting secara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia

dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti

melakukan perbuatan yang didakawakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai

keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan

untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas

dengan kebenaran formil.

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa

sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan, sistem atau teori

pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat.

Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain,

menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang di ajukan dengan keyakinan nya

sendiri dan bukan dari juri seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon, Di

Negara-negara tersebut, belakangan juri yang umum nya terdiri dari orang awam itulah

yang menentukan salah tidak nya seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin

sidang dan menjatuhkan pidana.10

Hukum pembuktian, yang tercantum dalam buku IV (keempat) dari Burgelijk

Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengandung segala aturan

pokok pembuktian dalam perdata, pembuktian dalam BW semata-mata hanya

berhubungan dengan perkara saja, ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para

9

Ibid.,h. 4

10

(12)

sarjana hukum yang dapat dijadikan acuan, menurut Pitlo pembuktian adalah suatu cara

yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan

kepentingannya, menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakakn oleh

para pihak dalam dalam suatu persengketaan.

Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1867

KUHPer dikenal dengan pembagian katagori “tertulis” yakni : a) Akta otentik dan b) Akta di bawah tangan.11 Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kakuatan, pembuktian formil,

pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini mengingat bahwa dalam pasal

1868 KUHPer dinyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk

undang-undang, oleh dan di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat

itu.(contoh akta jual beli tanah). dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi

Elektronik No 11 Tahun 2008, menyatakan akan keabsahan alat bukti yang bersifat

elektronik yaitu terangkum dalam Bab III pasal 5 ayat 1 : “Informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah ”. dan

pasal 5 ayat 2 :” informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagamana dimaksud

pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di

indonesia”. Dalam pada pasal itu ada yang membahas tentang “informasi elektronik

merupakan alat bukti yang sah” di sini dapat digarisbawahi bahwa yang merupakan alat

bukti yang sah dan mempunyai kekuatan seperti apa yang dimaksudkan dengan pasal

1868 tersebut yaitu sama dengan akta otentik, hal ini diperinci oleh pasal 16 ayat 1 point

11

(13)

(b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik12 yaitu “Dapat melindungi ketersediaan keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam

penyelenggaraan sistem elektronik tersbut“.

Pembuktian dalam hukum acara pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam

acara perdata, di mana dalam acara pidana pembuktian bersifat materil sedangkan untuk

acara perdata bersifat formil. Oleh karena itu, sekiranya dicurigai terhadap alat bukti telah

dipalsukan. Persidangan acara perdata akan menunggu diputuskanya dulu kasus pidana

tersebut, Dalam hukum acara perdata pembuktian formil yang dimaksud pada pokok nya

adalah cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan

hubungan hukum dari para pihak.

Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR yang macam nya sebagai berikut :

a. Keterangan saksi/kesaksian-kesaksian

b. Surat-surat

c. Pengakuan

d. Petunkuk/isyarat-isyarat13

Lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Alat-alat bukti14 yang dikenal hukum acara pidana adalah :

a. Surat

b. Keterangan saksi

12

Depkominfo. RI. UU NO 11 TAHUN 2008.h.11

13

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indoenesia, (jakarta : Fadya Indah Mandiri, 2008).h.16

14

(14)

c. Petunjuk

d. Keterangan ahli, dan

e. Sumpah 15

Sementara itu, untuk acara perdata pasal 164 HIR (Herizein Inlands Reglement),

atau RIB (Reglement Indonesia yang Diperbarui) staatsblaad 1941 No. 44 dan 1866

KUHPer adalah (a) Surat, (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Bukti saksi, dan (e)

Sumpah.16 Berdasarkan hal tersebut, Jika kita cermati keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem

tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir

sebagaimana mestinya.

Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem informasi yang baik, maka

secara tidak langsung akan dibedakan dengan dua jenis kekuatan pembuktian, valid dan

tidak valid, atau layak atau tidak untuk di percaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek

akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri, jika ia memenuhi kriteria standar,

sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, Sistem telah dapat dijamin

sebagaimana mestinya dan output informasi dapat dinyatakan valid dan outentik secara

substansial sehingga informasi tekstual tersebut dapat diakui di persidangan dan layaknya

diterima paling tidak sebagai alat bukti surat atau bukti tulisan.17

Dalam literatur bahwa ada kajian konsepsi berkaitan alat bukti pada zaman

sahabat Nabi dan yang dianut oleh para imam Mazhab yaitu yang berkaitan dengan

15KUHAP dan KUHP.

Jakarta : Sinar Grafika. 2006 cet, ke-6

16

R. Soesilo. HIR dan RIB dengan penjelasan.Bogor : Politea. Hal 121

17

(15)

sumpah. Ada beberapa pendapat para ulama berkaitan akan sumpah yang di ucapkan oleh

tergugat yaitu :

Pertama.menetapkan, Bahwasanya sumpah itu adalah keterangan yang lemah,

tidak dapat menyelesaikan sengketa secara memuaskan kedua belah pihak. Karena itu

hakim boleh menerima saksi yang dapat di ajukan oleh si penggugat, sesudah sitergugat

bersumpah, Umar Ibn Al Khatab berpegang pada pandapat ini juga segolongan hakim

salaf.

Kedua. Pendapat Imam Malik, beliau membolehkan si penggugat mengajukan

saksinya untuk membenarkan gugatannya. Sesudah si tergugat bersumpah. Akan tetapi

dengan syarat, si penggugat tidak mengetahui ada saksinya sebelum dilakukan sumpah.

Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama Syafi’iyah, seperti Al Ghazali.

Ketiga.Sumpah di anggap alat menyelesaikan perkara, maka tidak boleh

mendengar keterangan saksi sipenggugat sesudah si tergugat bersumpah, Karena sumpah

si tergugat telah membatalkan hak si penggugat, Karenanya tidak lagi diterima

kesaksianya. Pendapat ini dipegang oleh Ahluzh Zhahir, Ibnu Laila, dan Abu Ubaid.18 Kebanyakan perundang-undangan barat yang membolehkan sumpah mengambil

jalan tengah. Sesuai dengan mazhab Hanafi, yaitu dapat memenangkan si penggugat

apabila si tergugat tidak mau bersumpah. Tetapi pihak tergugat boleh meminta supaya

pihak penggugat bersumpah. Apabila terjadi hal yang demikian, maka si penggugat

dihukum benar. Tetapi apabila dia juga enggan bersumpah, maka gugatannya ditolak19

18

Ibid.hal 152-153

19

(16)

Ternyata pemerintah Indonesia dengan serius akan menindaklanjuti kesetiap

wibesite (situs informasi) untuk selalu menjaga norma-norma dan etika dalam

penggunaan fasilitas dunia maya (cyber space) ini terlihat dari berbagai situs-situs yang

oleh pemerintah Indonesia di blockir, dengan hal tersebut, banyak pengguna Internet

mengganggap situs resmi pemilik saham.

Salah satu konsep pembuktian dalam hukum islam adalah adanya alat bukti

petunjuk (karinah) dan keterangan saksi (syahadah). Dari teori tersebut akan terlihat jelas

bagaimana hukum pidana islam ternyata sudah mempunyai alur sistem pembuktian

hingga zaman kemajuan dalam teknologi.

Dalam berbagai kasus cybercrime di Indonesia seperti sejumlah pemuda dari

Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal “yahoo” yaitu dengan menjual

mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat

seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja

dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA).

Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun

penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah

nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id.

Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang

sedang berlangsung pada saat itu.20 Dan terakhir adalah kasus Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas

20

(17)

dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan

nasabah.21 Semua pelaku tersebut diatas ditangkap oleh kepolisian dengan petunjuk. Dari berbagai permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk membahas

akan permasalahan tersebut dengan membuat sekripsi dengan judul. “KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berawal dari banyaknya permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang

perkara Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis membatasi ruang lingkup

skripsi ini hanya pada beberapa pokok masalah terpenting saja baik dari segi Normatif

yaitu : hanya membahas tentang kekuatan bukti-bukti elektronik yang tertuang dalam

Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum Islam, Serta peraturan

lain yang di anggap relevan, Maupun dari segi aplikasinya atau penerapan pasal-pasal

tersebut dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini.

Untuk mencapai hasil yang maksimal, perlu adanya rumusan-rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Pembuktian elektronik ?

2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik tersebut dalam hukum positif ?

3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap alat bukti elektronik tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

21

(18)

1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan alat-alat bukti elektronik dalam

hukum positif dan hukum Islam

2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat-alat bukti elektronik dalam proses

peradilan serta dampaknya bagi kehidupan manusia

3. Memperoleh gambaran relevansi Normatif dari Perundang-undangan yang mengatur

masalah alat-alat bukti elektronik.

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Segi Teoritis

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pandangan hukum

positif dan hukum Islam tentang alat-alat bukti Elektronik yang terus berkembang di

Indonesia.

b. Segi Praktis

Mengetahui bagaimana korelasi pasal-pasal dalam hukum positif dan hukum Islam

mengenai implementasi penerapan alat bukti elektronik diperadilan

D. MetodePenelitian

Jenis penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif yang memakai deskriftif

analisis

1. Sumber Data

Penulisan skripsi ini merupakan penelitian kepustkaan (library research) yaitu

penelitian yang mengacu pada literatur-literatur dan referensi yang berkenaan dan

berhubungan dengan judul skripsi ini.

(19)

a. Sumber data bahan hukum primer yaitu berupa kitab Al-Qur’an, Hadist, kitab

undang-undang hukum acara pidana.(KUHAP),Undang-Undang Informasi Dan

Transaksi Elektronik. .

b. Sumber data bahan hukum sekunder berupa makalah-makalah, artikel, jurnal,

dokumen-dokumen, dan referensi lainya yang berhubungan dengan masalah

alat-alat bukti Elektronik.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Penulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library reseach)

yaitu penelitian yang mengacu pada literatrue-literatur dan referensi yang ada lalu dibaca

dan ditelaah secara akurat untuk memperoleh sumber-sumber yang berkaitan dengan

skripsi ini.

3. Metode Analisis Data

Setelah data-data yang diperlukan telah terpenuhi maka langkah berikutnya

adalah mengadakan identifikasi yang mengkaji secara analisis dengan menggunakan

pendekatan yang akurat yaitu :

a Metode induktif yaitu metode berfikir yang bertitik tolak pada data-data yang

bersifat khusus, yang mempunyai kesamaan, kemudian diimplikasikan menjadi

kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode deduktif yaitu logika bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum

kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai suatu fakta yang bersifat khusus dan

(20)

Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi yang disusun oleh. Tim Fakultas Syariah Dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.2007”

E. SistematikaPenulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai

berikut :

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika

penulisan.

BAB II Menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum

tentang alat-alat bukti elektronik,sistem pembuktian, dan alat-alat bukti dalam kaedah

hukum positif dan hukum islam .

BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pembuktian alat bukti

elektronik dalam perkara pidana, sekilas tentang elektronik, alat bukti elektronik, modus

operandi kejhatan dunia maya (cyber crime), penyidikan tindak pidana, dan berbagai

kebijakan/ peraturan alat bukti elektronik.

BAB IV Dalam bab ini penulis meguraikan kajian hukum yang berkaitan tentang,

Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif. Kekuatan alat bukti elektronik

dalam hukum islam, Pendapat para imam mazhab berkaitan dengan alat bukti elektronik.

Dan pendapat penulis berkaitan dengan kekuatan alat bukti elektronik.

BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran

(21)

BAB II

TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM POSITIF 1. Pengertian Pembuktian

Dalam rambu-rambu hukum, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa

melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting hukum

acara, sebab pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan

pembuktian yang ada, dalam hal ini hak asasi manusia di pertaruhkan. Bagaimana

akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan

yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal

tidak benar. Untuk inilah maka hakim harus mempunyai pengetahuan yang cukup

tentang hukum pembuktian.

Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut kamus besar bahasa

Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang

pembuktian itu sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha

menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.22

Beberapa ahli hukum memberikan komentar berbeda-beda tentang arti

pembuktian, sesuai dengan pandangan mereka, di antaranya :

22

(22)

a. Menurut R, Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan.23

b. Menurut TM, Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang

dapat menampakkan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain. 24 c. Menurut A, Mukti Arto, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan artinya

mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa

berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang

berlaku.25

2. Beban Pembuktian

Dalam hukum acara, pembagian pembuktian merupakan bagian dari dasar

hukum, pembuktian yang diatur oleh undang-undang, akan tetapi dalam pengaturan

undang-undang tidak banyak memberikan penjelasan secara mendetail, Namun

persoalan ini sangatlah penting untuk dipahami, karena menyangkut soal hukum di

pengadilan yang mengakibatkan batalnya putusan pengadilan, pembuktian dilakukan

para pihak dan bukan oleh hakim, hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak

untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan

pembuktian (bewijslast, burden of proof) 26

23

Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII,h.7

24

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Jakarta: bulan bintang, 1975), h.139

25

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1998), Cet. Ke-II, h. 135

26

(23)

Beban pembuktian dalam hukum perdata, seperti dalam pasal 163 HIR (ps. 283

Rbg, 1865 KUHPer) dapat disingkat sebagai berikut: ”Siapa yang mengemukakan

sesuatu, mesti membuktikan”. Dengan dasar ini saja, tidak berbuat apa-apa. Pasal ini

mengatakan siapa yang mengatakan mempunyai hak, mesti membuktikan haknya itu.

dan siapa yang mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk

membantah hak orang lain, mesti membuktikan adanya peristiwa itu..

Nampaknya. Penjelasan yang terdapat pada pasal 1865 tidak berbeda dengan pasal 163 HIR yang mengatakan bahwa: “Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.27

Atau pasal 1865 bahwa ”Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak,

atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah

suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang di

kemukakan itu”.28

Dari pasal-pasal di atas adanya suatu variable yang terkait yang menggaris

bawahi “Apabila ada suatu hak, atau apabila ada suatu peristiwa. Maka para pihak

harus membuktikan akan adanya semua itu di persidangan”.

Berbeda dengan beban pembuktian yang terdapat dalam hukum acara pidana

positif, yang harus diingat adalah adanya azas presumption innocence dalam hukum

acara pidana positif, yang secara tegas azas tersebut tercantum dalam

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004, pasal 8 :”Setiap orang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap

27

R.Tresna, komentarHIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.139

28

(24)

tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.29

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 66:

”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.30 Hanyalah merupakan penjelmaan azas “Praduga tak bersalah”.

Dengan demikian berarti bahwa beban pembuktian ini diletakkan di pundak

jaksa penuntut umum selaku pihak yang mendakwa. Jadi, pihak penuntut umumlah

yang mempunyai beban pembuktian, artinya ia harus membuktikan kebenaran tentang

apa yang tersusun dalam surat dakwaannya. Adapun yang harus dibuktikan adalah

semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa.31

3. Macam-Macam Teori Pembuktian

Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Sering dikatakan,

bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah

kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari

kebenaran materil, ini tidak berarti bahwa dalam perdata hakim mencari kebenaran

yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim

tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Jadi tidak

melihat bobot isi, akan tetapi kepada luas dari pada pemerikasaan oleh hakim32. Pasal

29

Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5

30KUHP dan KUHAP

,(Jakarta : Sinar Grafika. 2006), cet ke-VI.h.226

31

Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.191

32

(25)

178 ayat 3 HIR atau pasal 183 ayat 3 Rbg. Adapun pasal 178 ayat 3, HIR33 adalah : “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat,

atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. Sedang bagi hakim pidana dalam

mencari kebenaran materil peristiwanya harus terbukti.

Dalam sistem pembuktian yang ada di Indonesia dalam setiap peradilanya,

setidaknya mempunyai teori-teori tersendiri dalam penamaannya. Atas berbagai teori

tersebut hingga para pakar sarjana hukum menyepakati bahwa ada beberapa sistem

dalam peradilan yang ada di Indonesia dan menjadi acuan prakteknya. Di antara dari

teori-teori tersebut adalah :

a. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

Keberadaan dari sistem atau teori ini berasal dari pemikiran bahwa alat bukti

berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran.

Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah

melakukan perbuatan yang didakawakan. Oleh Karen aitu, bagaimanapun juga

diperlukan keyakinan hakim sendiri. Maka teori ini disebut juga conviction intime,

yaitu pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam

undang-undang.34

b Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis

Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “Keyakinan hakim” tetap memegang

peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam

sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yaitu keyakinan hakim harus didukung

33

R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya,(Bogor: politie),h.131.

34

(26)

dengan “Alasan-alasan yang jelas”. Maka sistem ini disebut juga sebagai sistem

conviction raisonee, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa

yang mendasari keyakinan nya atas kesalahan terdakwa.35

c Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang di

sebut undang-undang, disebut juga sistem atau teori pembuktian berdasarkan

undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan

kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai

dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh Undang-undang, maka keyakinan hakim

dalam sistem ini tidak diperlukan lagi. Dalam sistem ini disebut juga teori

pembuktian formal.36

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Negatif

Teori ini merupakan keseimbangan antara dua sistem yang saling bertolak

belakang secara ekstream. Dari keseimbangan tersebut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif “Menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu

sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut

undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem itu, terwujudlah suatu

“Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusan berbunyi :

salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan

kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.37

35

M. Yahya Harahap, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar grafika, 2000), cet. Ke-I, h.256

36

Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,h.247

37

(27)

4. Sistem Pembuktian

Berbicara masalah sistem pembuktian dalam hukum acara postif, tidak terlepas

dari pembicaraan pembuktian, macam-macam bukti, dan kekuatan masing-masing

alat bukti itu. Begitu pula tidak terlepas dari teori sistem pembuktian yang ada. Oleh

karena itu, dalam uraian selanjutnya sedikit banyak akan dibicarakan kembali

mengenai sistem-sistem pembuktian yang telah dikemukakan di atas.

Untuk mencari dan menemukan kebenaran di sidang pengadilan, hakim harus

berpedoman pada pasal 183 KUHAP jo pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004 jo pasal 294 ayat (1) HIR tentang

pembuktian, yang masing-masing berbunyi:

Pasal 183 KUHAP berbunyi :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukanya”. 38

Pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) berbunyi :“Tidak seorang pun

dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah

menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang di anggap dapat

bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.39 Pasal 294 ayat (1) HIR berbunyi :“Tiada seorang pun boleh dikenakan

hukuman, selain jika mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar

38

KUHAP dan KUHP.(Jakarta : Sinar Grafika. 2006),cet.ke-6.h.271

39Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(28)

telah menjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah

yang salah tentang perbuatan itu”.40

Dari bunyi pasal di atas, sama-sama menganut sistem “Pembuktian menurut

undang-undang secara negatif”. Perbedaan antara ketiganya, hanya terletak pada

penekanan saja. Pada pasal 183 KUHAP, syarat “Pembuktian menurut cara-cara

yang sah”. Berbeda dengan pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) yang hanya

menyebutkan “Alat pembuktian” tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti yang

digunakan kemudian pada pasal 294 ayat (1) HIR yang selalu menekankan dasar

“Keyakinan hakim“ untuk memutuskan salah tidaknya seseorang tertuduh, meskipun

dengan pembuktian. Akan tetapi tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti.

Dengan melihat ketentuan pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1) HIR

tersebut di atas, terkandung beberapa hal pokok, yaitu :

a. Sekurang-kurang nya harus ada dua alat bukti yang sah menurut

undang-undang yang berlaku

b. Dan atas dasar alat bukti yang sah tersebut, hakim berkeyakinan bahwa

tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah.41

Pengertian dari kata sekurang-kurang nya tersebut, di atas kalau di

hubungkan dengan alat bukti yang sah, seperti yang termaktub dalam psal 184 ayat

(1) KUHAP maka perkataan sekurang-kurang nya itu berarti merupakan dua di

antara lima alat bukti, yakni: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,dan

Keterangan terdakwa.

40

R.Tresna, komentarHIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.237

41

(29)

Dengan sekurang-kurang nya alat bukti menurut sistem pembuktian yang

dianut KUHAP di negara Indonesia adalah negatief wettelijk. maka syarat tersebut

hanya memenuhi wettelijk saja. Sedangkan syarat negatifnya adalah keyakinan dari

hakim terhadap terdakwa, apakah tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa

benar-benar dilakukan terdakwa atau tidak. Jadi sangat tepat untuk membuktikan

tindak pidana di dalam sidang pengadilan, di samping memenuhi syarat

sekurang-kurang nya dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, harus ada keyakinan

hakim bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang

didakwakan. Serta tidak mengenal adanya alat bukti yang tersebut di luar

undang-undang. Hal ini dimaksud untuk menjaga dan melindungi hak-hak si terdakwa.

5. Alat-Alat Bukti

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungan

nya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dapat dipergunakan

sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran

adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.42

Sebagaimana di uraikan terlebih dahulu, pasal 184 ayat (1) KUHAP telah

menentukan secara “limitatif“ alat bukti yang sah menurut undang-undang, di luar

alat bukti itu, tidak di benarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan

terdakwa, ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan

terbatas hanya di perbolehkan mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya

42

(30)

di luar alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana dan dibenarkan mempunyai

“kekuatan pembuktian”, alat-alat bukti tersebut dalah :

a. Keterangan saksi

Pada pasal 1 butir (27) KUHAP, yang menyatakan: “Keterangan saksi adalah

salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu”.

Sedangkan pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti, di jelaskan dalam

pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan;“keterangan saksi sebagai alat bukti

ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”

Kemudian dari kesaksian itu sendiri ada dua macam, yaitu saksi yang

kebetulan mengetahui dan saksi yang sengaja untuk menyaksikan suatu perbuatan.

Kesaksian harus terbatas kepada peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri,

mengetahui sendiri dengan mata kepala sendiri (ratio sciandi). Pendapat atau

persangkaan yang di peroleh secara berfikir (ratio concludendi), bukan merupakan

kesaksian.

b. Keterangan Ahli

keterangan ahli terdapat dalam pasal 1 butir (28) KUHAP, yang dimaksud

dengan keterangan ahli, adalah: “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Pengertian keterangan ahli ini, diperjelas lagi oleh pasal 120 KUHAP yang

(31)

khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang

sebaik-baiknya”

Sedangkan keterangan ahli dinilai sebagai alat bukti, dinyatakan dalam pasal

186 KUHAP, yaitu: “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di

sidang pengadilan”.

Dari beberapa pemahaman tentang pengertian keterangan ahli dalam KUHAP

tersebut, maka bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli tersebut adalah untuk

menjelaskan tentang bukti-bukti yang ada, setiap orang yang diminta pendapatnya

sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli-ahli lainya. Wajib

memberikan keterangan demi keadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji

akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya

menurut pengetahuan dalam bidang kehlianya. Hal tersebut terangkum dalam bunyi

pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c. Surat

Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat

tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan

dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang

tidak memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran,

bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat.

Surat sebagaimana dalam 187 ayat (1) huruf c, ternyata dibuat atas sumpah

jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : “Berita acara dan surat lain dalam

bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat

(32)

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas

dan tegas tentang keterangan itu.”

Potret atau gambar, peta, denah, meskipun ada tanda-tanda bacaan, tetapi

tidak mengandung suatu buah pikiran atas isi hati seseorang. Itu semua hanya

sekedar merupakan barang atau benda untuk meyakinkan.43 d. Petunjuk

Menurut pasal 188 KUHAP bahwa petunjuk adalah :“Perbuatan, kejadian,

atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,

maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya”.

Petunjuk bukanlah merupakan alat pembuktian yang langsung, tatapi pada

dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang

menurut pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari : Keterangan saksi,

Surat dan Keterangan terdakwa

Selanjutnya dalam ayat (3) dari pasal yang sama menekankan bahwa

penilaian atas kekuatan dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan

oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan

penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Lain halnya dengan hukum acara pidana yang lama (HIR) yang mengenal

pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah, maka dalam KUHAP dipakai

istilah keterangan terdakwa, apakah perbedaanya?

43

(33)

Menurut Ansori Sabuan, bahwa pengakuan terdakwa (bekentenis) ialah

pernyataan terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana dan menyatakan dialah

yang bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa (erkentenis) tidak usah merupakan

pengakuan bersalah, pemungkiran pun dapat dijadikan bukti, sehingga

pengertianya lebih luas dari pengakuan terdakwa.44

Hal ini serupa dijelaskan pula oleh Andi Hamzah, bahwa dalam pengakuan

terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat yaitu:

1). Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan.

2) Mengaku ia bersalah

Dari kedua syarat inilah yang membedakan bagi keterangan terdakwa yang

memberikan arti lebih luas pengertiannya dari pada pengakuan terdakwa itu

sendiri.45

Kemudian dalam KUHAP secara definitif dijelaskan pada pasal 189 ayat (1)

yang menyatakan:“Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa menyatakan di

sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri”.

Jadi, keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti harus dinyatakan di sidang.

Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dapat di

pergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan

didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

kepadanya dan keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri.

44

Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana, (Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.196

45

(34)

Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti

yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan

berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat

bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang pasal 164 HIR,

284 Rbg, 1866 BW) ialah alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,

persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

f. Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR dan 1867-1894 BW.

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan

yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

g. Pembuktian dengan saksi

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan

1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di

persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan

secara lisan dan peribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,

yang dipanggil di persidangan.

h. Persangkaan-persangkaan

Persangkaan-persangkaan diatur dalam pasal 164 HIR dan 1866 BW, dalam

penejelasan HIR 173 menguraikan tentang persangkaan, namun tidak memberi

perumususan apa yang dinamakan “persangkaan” itu, pasal itu hanya memberikan

ketentuan, bahwa persangkaan-persangkaan saja, yang tidak didasarkan atas suatu

(35)

perkara, kalau persangkaan-persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan

bersesuaian satu sama lain.46

Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak lain adalah

alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada

ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan

membuktikan kehadiranya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan

demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat

menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.47 i. Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR

dan 1923 -1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan

atau di luar persidangan.

Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)

merupakan keterangan sepihak. baik tertulis maupun lisan yang tegas dan

dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan. Yang

membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau

hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan

pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.

j. Sumpah

Alat bukti sumpah di atur dalam pasal 155-158, 177 HIR dan 1929-1945

BW. Yang pada umum nya diartikan sebagai suatau pernyataan yang khidmat

46

Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, (Bogor: politie),h.127

47

(36)

yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan

mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang

memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya. Jadi pada

hekekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan

dalam peradilan.

B. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ISLAM 1. Pengertian Pembuktian

Dalam hukum Islam, pembuktian disebut juga

(Al-Itsbat),48 yang artinya membuktikan atau menetapkan adanya suatu peristiwa, Muhamad Salam

Madzkur mengartikan pembuktian dengan kata (Al-Bayyinah),49 yang artinya menjelaskan atau membuktikan, perbedaan tersebut adalah hanya karena

perbedaan ruang lingkup arti kata itu sendiri, di mana di satu pihak berarti umum

dan di pihak lain bersifat khusus, yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang

sama. Di dalam buku Ensiklopedi hukum Islam, kata bayyinah diartikan secara

etimologis berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

menjelaskan yang hak (benar), sedangkan dalam istilah teknis, berarti alat-alat

bukti dalam sidang pengadilan.50

Selanjutnya Ibnu Al-Qayyim memberi definisi tentang al-bayyinah (

)

atau pembuktian sebagai berikut:

48

Subhi Mahmassany, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380 H), h. 291

49

Muhamad Salam Madzkur, Al-Qadha’u Fi Al-Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah Al-Arabiyah, tanpa tahun), h.83

50

(37)

ی

!"ی#

Artinya :“Pembuktian adalah suatu nama bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan perkara yang benar dan menampakkan nya”

Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim pun pada dasarnya tidak

menitikberatkan kepada alat-alat bukti, akan tetapi meliputi segala sesuatu apapun

wujudnya, maka dapat dianggap sebagai katagori alat bukti.

Sedangkan menurut Subhy Mahmassany bayyinah adalah sebagai berikut:

!ی # $

Artinya:“Pembuktian adalah mengemukakan alasan dan memberikan dalil suatu perkara sehingga kepada meyakinkan”.

Pendapat Subhy Mahmassany tersebut sama dengan pendapat para ahli

hukum lainya bahwa pembuktian tidak terbatas pada alat-alat bukti tertentu,

hanya saja ia menambahkan harus dengan keyakinan hakim, keyakinan

menurutnya adalah “apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atau dasar

penelitian dari dalil-dalil itu”. 51

Dari uraian di atas dapatlah dikompromikan karena mempunyai tujuan

yang sama, sehingga antara definisi yang satu dengan yang lainya saling kuat

menguatkan, dan akan menghasilkan pengertian yang lebih sempurna, yang

berarti pembuktian adalah usaha menghadirkan keterangan mengajukan alasan

untuk menjelaskan yang benar dari suatu peristiwa hingga mencapai keyakinan

hakim tentang dalil-dalil yang diajukan ke persidangan. Sehingga masing-masing

pihak mempunyai hak yang sama dalam melakukan pertarungan hukum di muka

hakim.

2. Sistem Pembuktian

51

(38)

Terlintas dalam pikiran kita bahwa dari berbagai teori pada bab-bab

sebelumnya yaitu tentang konsep teori pembuktian menurut hukum positif,

begitu lengkapnya hingga pada akhirnya yaitu tentang sistem pembuktian. Lalu

bagaimanakah dengan konsep hukum acara Islam ? Kalau kita amati bersama,

dalam hukum acara Islampun menganut sistem pembuktian berdasarkan

undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat dilihat dari beberapa

indikasi pada masa Rasulullah, sahabat dan para ulama, indikasi-indikasi tersebut

adalah:

a. bahwa ternyata seluruh alat bukti yang dianggap sah oleh fuqaha berorientasi

kepada memperkuat keyakinan hakim, untuk lebih jelasnya, berikut ini akan

diuraikan alat-alat bukti yang mengarah kepada keyakinan hakim yaitu:

1) Kesaksian (

%& !'

$

pengertian persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zahaili adalah

sebagai berikut:

%& '( ﺏ *+ $

*,- . */ 0 1

2 3 4 5

6-“Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafadz syahadat di depan pengadilan”.52

Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan

cara yang lazim dan umum. Karena nya persaksian merupakan cara

pembuktian yang sangat penting dalam mengungkapkan suatu jarimah.

Dasar hukum untuk persaksian sebagai bukti terdapat dalam Al-Qur’an

dan As-Sunah. Dalam Al-Qur’an antara lain tercantum dalam:

52

(39)

1. Surah Al-Baqarah ayat 282

!

"

#

$%&

'

()*+ ,

./02 "

342 5%&

#

% 789 :

;<

# )=> 5%

8

*?

@

AB

# 7

C4DE%

<

FG

/ H

5DIJK L %&

<

FG

/ H

+M 58NO

P

$

% (

)

*

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu, jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya”.(QS. Al-Baqarah: 282)

2. Surah At-Thalaq ayat 2:

7

M

%Q

RS

T*+U

V

) <W

! 7

/X

Y

FZ

[?

)

+,-* )

“….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena allah..”(QS. Ath-Thalaq: 2)

Sebagaimana diketahui kesaksian *

$

merupakan alat bukti yang

bersifat personal *

./0'

$, oleh karenanya benar atau salahnya

keterangan yang dikemukakan para saksi, sepenuhnya diserahkan kepada

keyakian hakim. Dalam hubungan ini ada satu kaidah fiqhiyah yang

menyatakan:

“Pada dasarnya tidak dapat ditetapkan sesuatu yang disaksikan atau

diceritakan (oleh saksi), kecuali berdasarkan keyakinan atau dugaan yang

dipegang teguh oleh syara’ sesuai dengan dasar tersebut”.53 2) Petunjuk * ی ( $

Pengertian Qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:

53

(40)

1 23 4567 8 9:ﺥ 9< ﺵ >? (@ A B C A%?

D EB ی (

“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”.54

Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk

tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang

lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya

qarinah sudah dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukum nya. Salah

satu contoh qarinah dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang

perempuan yang tidak bersuami. Dalam jarimah syarbul khamr (meminum

minuman keras), yang dapat dianggap sebagai qarinah, misalnya bau

minuman keras dari mulut tersangka. Dalam tindak pidana pencurian,

ditemukanya barang curian di rumah tersangka merupakan suatu qarinah yang

menunjukkan bahwa tersangkalah yang mencuri barang tersebut.55

Petunjuk yang diketahui oleh hakim selam dalam sidang atau luar sidang

merupakan indikasi yang menguatkan keyakinan hakim.56 Karena hanya berdasarkan indikasai tersebut hakim tidak dapat mengambil keputusan

kecuali apabila ia telah yakin bahwa peristiwa itu telah terjadi. Hal ini sesuai

dengan definisi qarinah itu sendiri berupa “tanda-tanda untuk memperoleh

keyakinan”.

3) Pengakuan Terdakwa */ 78 $

54

Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu.h 391

55

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I.h.244

56Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayat Islam

, Penerjemah: Drs. Usman Hasyim, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), Cet. Ke-1, h.96

(41)

Menurut arti bahasa adalah penetapan, sedangkan menurut syara’, pengakuan

didefinisikan sebagai berikut:

? F

GGG

1ﺏ I 63 #9 ﺡ 3? ﺥ KB 93 ﺵ

57

“Pengakuan menurut syara adalah sesuatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut”.

Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, Sunah,

dan Ijma’.adapun sumber dari Al-Qur’an

1. Surah An-Nisa’ ayat 135

@

\

]^Y ,

!'?

)_

*

)L()*`

.

ab)%!

DcdeH

f

*?

@

[?

)%

A/ 

*+Dd

g( 7

7

a )

.

f 5 ! O

P

$GGGG L M * )

“ Wahai orang-orang beriman, jadilah kami oprang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu….”(QS.An-Nisaa’:135)

Penyaksian seseorang atas dirinya sendiri ditafsirkan sebagai suatu pengakuan

atas perbuatan yang dilakukannya.58 2. Surah Ali Imran

Q

H

K %O 7

h?

iY%N

8 j

W

kC_

?

<%

Llm%

*

V

R0Y lDJ

n@

<+

p

qTrT

J *?!

3S)

"

3s t =uv

<

w

*+

r

; _

%Ll%

x

p

f

yLp^(5cu_ l%

P

S

%!

Tr " 5 ! 7 *

zr %O 7

PA/ 

*+

a%Q

M{5 

H

})*

%!

( " 5 ! 7

P

S

%!

@

%&

T

( 7

*+

r

8

V

FYZ

57

Abd al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy,Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi, t,tp.h.303

58

(42)

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya",Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".

Pengakuan yang dapat diterima sebagai alat bukti adalah pengakuan yang

jelas, terperinci, dan pasti. Sehingga tidak bisa ditafsirkan lebih kecuali

perbuatan pidana yang dilakukanya. Kejelasan dan rincian dari pengakuan

tersebut didasarkan kepada sunah Rasulullah saw, ketika beliau mengintrogasi

Ma’iz yang mengaku berzina dan mengulangi pengakuan nya itu sebanyak

empat kali, dalam introgasinya nabi menyatakan:

4 F8 "ﻥ#

OPQ# R2 F S02T

)

U 4K ? ی 8V

$

W? /

#?

*

Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau hanya memandangnya? Ma’iz menjawab: Tidak, ya Rasulullah”. (Hadist Riwayat Bukhari)59

Selain persyaratan pengakuan di atas, selain itu untuk syarat sah nya

pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan tidak dipaksa (terpaksa),

pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang berakal dan

mempunyai kebebasan (pilihan).dengan demikian, pengakuan yang datang

dari orang gila, atau hilang akal nya, dan orang yang dipaksa hukum nya tidak

sah dan tidak dapat diterima.60

b. Bahwa dalam hukum Islam, terdapat prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam

menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana, prinsip ini menyatakan

59

Muhamad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salim, (Mesir: Maktabah Mustafa al-baby al-halaby. 1960), Juz IV.h.8

60

(43)

bahwa hukuman had harus dihindari manakala terdapat “keragu-raguan”. Hal

ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah.

#L?&

#5

&

' ﺏ

!

G

Artinya :“Hukuman had harus dihindari berdasarkan keragu-raguan” . Pengakuan syubhat di sini adalah seluruh keadaan yang menyebabkan

keraguan-raguan bagi hakim untuk memutuskan perkara, baik ditinjau dari

segi maksud dilakukan tindak pidana

(

Xﻥ Y 5.F

$

,

ataupun karena

syarat-syarat yang ditentukan tidak dipenuhi. Seperti mendakwakan seorang berbuat

zina, berdasarkan bukti dua orang saksi saja. Sedangkan trdakwa tidak

mengakui dakwaan itu. Atau melakukan pencurian dalam keadaan kelaparan

merajalela atau melakukan pencurian harta milik orang hanya sendiri. Dalam

keadaan seperti ini, hakim ti

Gambar

grafika, 2000), cet. Ke-I

Referensi

Dokumen terkait

Adapun upaya untuk merealisasikan ide penyimpanan Protokol Notaris dalam bentuk elektronik ini dapat dilihat dari pengalihan bentuk dokumen kedalam bentuk mikrofilm

Pemberantasan Perusakan Hutan dalam pembuktian di persidangan yaitu Pengaturan alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 37 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pemahaman “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya ialah bahwa sama seperti alat bukti yang diatur dalam KUHAP harus memenuhi persyaratan baik formil

Kedudukan surat elektronik dalam bentuk informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagai salah satu jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana

bukti dalam pembuktian perkara pidana saat ini terdiri dari lima (5) alat bukti yang diatur Pasal 184 KUHAP dan Pasal 5 UU ITE yaitu sebagai berikut: keterangan saksi, keterangan

bukti dalam pembuktian perkara pidana saat ini terdiri dari lima (5) alat bukti yang diatur Pasal 184 KUHAP dan Pasal 5 UU ITE yaitu sebagai berikut: keterangan saksi, keterangan

Kekuatan Surat Elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan perkara perdata telah diatur dengan jelas dalam undang-undang no 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik,

Dari hasil penelitian ini, alat bukti elektronik dikualifikasikan menjadi alat bukti yang sah, pembuktian secara elektronik telah dapat dikatakan sama dengan alat bukti yang diatur di