• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Islam terhadap data elektronik sebagai alat bukti Tindak Pidana Hukum Positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Islam terhadap data elektronik sebagai alat bukti Tindak Pidana Hukum Positif"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Muhammad Ilham Fauzi 106043201344

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP DATA ELEKTRONIK

SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai salah satu syarat memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh :

Muhammad Ilham Fauzi 106043201344

Di Bawah Bimbingan,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum Masyrofa, S.Ag., M.Si NIP.196111011993031002 NIP. 197812302001122002

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua Sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika Suatu saat terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 September 2010

Muhammad Ilham Fauzi

(4)

iii

Kata Pengantar









Assalamu’ alaikum Wr. Wb.

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNYA yang berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberi kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penuis hanturkan kepada

revolusioner besar junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan semoga

kita mendapatkan syafaatnya di yamul hisab nanti, amin..

Kini tiba saat dinanti-nantikan, sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan walau dengan tertatih-tatih dan melelahkan, akhirnya penulis mampu menyelesaikan studi di kampus tercinta Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesullitan dan hambatan yang Penulis alami, sehingga penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi hingga jauh dari kesempurnaan. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Alah SWT. Maka dari itu kritik dan saran yang positif dari para pembaca adalah solusi dari kesalahan dan kekurangan penulis.

(5)

iv Ucapan terimakasih kepada keluarga, Ibunda Salmah Nasution, Kakak-kakakku Dessy Hasanah, SE dan suami Edi Wibowo, SH. Evy Suryani S.sos dan suami Ismail Harahap, SH. Yuli Fitriah dan suami Ahmad Basail, dan Ani Khotmanidar. Yang telah mendukung penulis baik berupa materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan tingkan strata satu (S1). Rasa terimakasih bercampur haru penulis sampaikan kepada mereka yang tak bisa diwakili dengan untaian kata-kata, merekalah yang mengantar penulis hingga sampai pada tahap dimana penulis menyelesaikan pendidikan strata I (S1).

Selanjutnya penulis sampaikan rasa terimakasih kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM beserta jajarannya yang telah memberi bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa. Ucapan terimakasih Penulis kepada Ketua Studi Perbandingan Madzhab Hukum (PMH) Dr. KH. Ahmad Mukri Adji. M.A dan Sekretaris Program Studi Dr. H. Muhammad Taufiki. M.Ag yang telah tulus dan ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.

(6)

v Terimakasih kepada pengurus Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, pengurus Perpustakaan Utama yang telah mengizinkan penulis untuk meminjam buku-buku yang penulis butuhkan.

Penulis ucapkan ribuan terimakasih kepada semua Dosen yang tak mungkin penulis tuliskan satu persatu yang telah ikhlas membekali penulis dengan ilmu pengetahuan dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada teman-teman angkatan 2006 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya teman-teman PMH

community angkatan 2006 yang telah memberikan motifasi dan dukungannya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dan teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKS/ Laskar Naringgul) kenangan kita akan selalu tersimpan dalam sanubari yang paling dalam, penulis memohon maaf jika terdapat kekurangan dan kesalahan penulis saat mengemban amanat yang teman-teman berikan pada penulis, terimakasih atas kerjasamanya. Penulis berharap suatu saat nanti kita dapat berkumpul kembali, serta tetaplah semangat untuk mengejar cita-cita kita,

practice makes perfect.

Akhirnya Penulis ucapkan mohon maaf yang sedalam-dalamnya jika penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, karena Penulis sadar tidak ada manusia yang sempurna, melainkan saling mengisi satu sama lain untuk menuju kehidupan yang lebih baik, semoga amal baik kalian diterima dan dibalas oleh Allah

SWT, amin…

Jakarta, 23 September 2010

(7)

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

D. Metode Penelitian 8

E. Review Studi Terdahulu 11

F. Sistematika Penulisan 12

BAB II PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM 14

A. Tindak Pidana dalam Hukum Islam 14

1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam 14

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Islam 15

3. Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum Islam 17

B. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam 18

1. Pengertian Pembuktian 18

(8)

vii

3. Macam-macam Alat Bukti 20

BAB III TEORI PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF 34

A. Pengertian Tindak Pidana 34

B. Pengertian Pembuktian 40

C. Sistem Pembuktian 42

D. Prinsip dan Beban Pembuktian 44

E. Macam-macam alat bukti 46

BAB IV DATA ELEKTRONK SEBAGAI ALAT BUKTI TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DAN ANALISIS HUKUM ISLAM 56

A. Pengertian Data Elektronik 56

B. Data Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Hukum Positif 58

1. Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 62

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi 64

(9)

viii C. Analisi Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana Menurut

Hukum Islam 72

D. Perbedaan Serta Kesamaan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif dalam Menggunakan Data Elektronik Sebagai Alat Bukti BAB V PENUTUP 78

A. Kesimpulan 78

B. Saran-saran 79

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkara hukum merupakan perkara yang amat penting dalam kehidupan, karena dengan adanya hukum kita terbebas dari perbuatan yang dapat merugikan diri kita sendiri bahkan orang lain. Agama dan Negara memiliki aturan hukum yang berbeda satu dengan lainnya akan tetapi tujuannya sama, yakni sama-sama bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, kebahagiaan dunia serta di akhirat nanti.

Di sisi lain perkembangan teknologi informasi yang memudahkan setiap orang mengakses sesuatu dengan menggunakan layanan internet, membuat seseorang bebas melakukan apapun sesuai dengan keinginannya, bahkan terkadang menimbulkan tindakan-tindakan yang tergolong pelanggaran hukum pidana dengan modus yang lebih modern. Hadirnya gambar atau video porno melalui telepon genggam (HP) dan layanan internet yang dapat diakses oleh siapa pun dan di mana pun, menjadi bukti nyata dari tindak pidana yang tergolong lebih modern tersebut.

(11)

2

Baik Agama maupun Negara memiliki aturan hukum tentang pidana, tindak pidana biasanya dikenal dengan kata “Het strafbaar feit” yang berasal dari bahasa Belanda dan mempunyai arti tindakan yang dapat dihukum, peristiwa pidana atau tindak pidana itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang pelakunya dikenakan hukuman pidana.1

Adapun untuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak pidana maka harus diadakan pemeriksaan terlebih dahulu dan melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan, guna memperoleh sebuah putusan yang adil dari seorang qâdhi (hakim)

dengan merujuk kepada aturan yang berlaku.

Karena putusan erat hubungannya dengan sanksi yang akan diterima oleh terdakwa dan betapa fatalnya jika putusan tersebut salah, seperti menghukum orang yang benar, melepaskan orang yang melanggar hukum, atau memberikan seseorang sesuatu yang bukan haknya. Maka salah satu cara untuk meyakinkan qâdhi (hakim) dalam

mengambil putusan yang bersifat adil ialah dengan cara menghadirkan alat bukti dan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut.

Begitu pula dalam upaya pembuktian terhadap orang yang melakukan perzinahan, dimana hukum Islam menyerukan adanya empat saksi yang benar-benar melihat secara langsung telah terjadi perzinahan, hal ini guna kehati-hatian seorang qâdhi dalam

memutuskan perkara tersebut karena berdampak pada hukuman yang akan di tanggung oleh terdakwa. Namun seiringnya perkembangan zaman dan teknologi, sulit untuk kita melihat langsung orang tersebut benar-benar telah melakukan perzinahan, terlebih

1 Djoko Prakoso dan Nurwadina,

(12)

3

maraknya fasilitas yang mudah didapat oleh siapa pun, seperti kamar atau perhotelan yang disewakan dengan bebas. Di sisi lain beredarnya gambar, video yang mempertontonkan gerakan-gerakan erotis menjadi bukti dari tindak pidana yang termasuk kategori perzinahan dalam hukum Islam.

Hal ini mudah jika alat bukti dan barang bukti tersebut berbentuk atau dapat dilihat dengan seksama, namun menjadi berbeda jika alat bukti dan barang bukti tersebut tidak dapat dilihat dengan seksama melainkan dengan bantuan alat lainnya, seperti data elektronik atau document, video, audio, dan gambar.

Dalam tatanan hukum kita, hasil pengabadian atau rekaman yang berupa audio atau video merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana.2 Padahal pembuktian merupakan sebuah proses untuk membuktikan bahwa benar suatu peristiwa telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.3

Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP pasal 184 mengenai alat bukti ialah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa. Sedangkan hukum pidana umum tidak mengatur mengenai penggunaan data elektronik sebagai salah satu alat bukti. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang teknologi memberikan warna baru untuk mengungkap kebenaran dengan informasi yang lebih modern yakni menggunakan data elektronik.

2 Sumber. http://www.endradharmalaksana.com/content/view/119/46/lang,ba. 3 Darwan Prints,

(13)

4

Sebaliknya pembuktian dengan menggunakan data elektronik hanya diatur dalam tidak pidana khusus yang menjadikan data elektronik sebagai alat bukti petunjuk seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun l999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperluas makna dari bukti petunjuk, menjadikan data elektronik sebagai bukti lain yang berupa :

1. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2. Dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Meski demikian, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.4

Sedangkan di dalam hukum Islam sendiri belum ada aturan yang memuat bahwa data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti untuk mengungkap tindak pidana. Ini menjadi permasalahan yang baru bagi penegak hukum untuk menggunakan data

(14)

5

elektronik sebagai alat bukti dalam mencari kebenaran fakta dari sebuah pelanggaran khususnya pelanggaran yang tergolong tindak pidana, dengan memeriksa data elektronik yang di gunakan pelaku dalam aksinya, dan selanjutnya menjadi masukan bagi majelis hakim untuk memutuskan suatu perkara.

Berlandaskan permasalahan yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis bermaksud mengkajinya guna mengetahui data elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dengan merujuk kepada sumber-sumber yang dapat di pertanggungjawabkan serta dapat dikaji kembali di kemudian hari.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan mendapatkan jawaban dari permasalahan di atas dengan benar, maka perlu adanya pembatasan masalah dengan menitik beratkan pada data elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti terkait dalam penegakan hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam sesuai dengan perkembangan masyarakat di saat ini. Berdasarkan pembatasan permasalahan tersebut dan bertitik tolak dari uraian diatas, maka yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah:

1)Bagaimana kedudukan data elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana hukum positif?

2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap data elektronik yang digunakan

(15)

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang antara lain sebagai berikut:

1. Mengetahui kedudukan data elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana hukum positif.

2. Mengetahui dan memahami pandangan hukum Islam terhadap data elektronik yang digunakan sebagai alat bukti tindak pidana hukum positif demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Disamping itu, penulis berharap penulisan ini dapat bermanfaat untuk:

1. Menambah wawasan masyarakat terhadap hukum pembuktian menurut hukum Islam maupun hukum positif terkait dengan data elektronik yang digunakan sebagai alat bukti tindak pidana.

2. Memperkaya khazanah keilmuan intelektualitas penulis di bidang hukum, khususnya mengenai data elektronik sebagai alat bukti tindak pidana.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum terbagi atas dua jenis metode penelitian, yaitu: penelitian hukum normatif atau kepustakaan (library research) dan penelitian hukum

sosiologis atau empiris.5

Untuk mendapat data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan, maka penulis melakukan penelitian ini dengan ketentuan sebagai berikut :

5 Soerjono Soekanto

(16)

7 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif kualitatif, yakni penelitian yang mempelajari dan menganalisis bahan-bahan dari kepustakaan, serta berdasarkan fakta atas permasalahan data elektronik sebagai alat bukti. Sehingga dengan penelitian ini penulis berharap memperoleh jawaban atas permasalahan di atas.

2. Jenis Data

Jenis data yang di gunakan penulis berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang akan digunakaan dalam pembahasan hukum Islam berupa al-Qur’an dan tarjamah, serta al-Hadist. Sedangkan untuk pembahasan hukum Positif, bahan primernya berupa Undang-Undang, peraturan pemerintah, yurisprudensi, dan peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder

(17)

8 c. Bahan Hukum Tertier

Penulis menggunakan bahan hukum tertier yang berupa pendapat para ulama dan para ahli hukum tentang pembuktian yang dituangkan dalam buku, makalah, dan bahan-bahan laporan ilmiah.6

3. Teknik Pengolahan Data

Untuk mengolah data yang telah terkumpul dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan pengolahan data berupa analisa deskriptif kualitatif. Menurut Bambang Sunggono, bahwa pengolahan data deskriptif berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain,7 dalam hal ini data-data terkait dengan data elektronik yang dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak pidana.

Sedangkan penelitian kualitatif menurut Tommy Hendra Purwaka, merupakan analisis yang dilakukan terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk memberi gambaran (deskriptif), uraian-uraian yang berisi penafsiran dan penalaran terhadap gambaran yang diperoleh, guna mendapat jawaban-jawaban atas permasalahan di atas. Dimana kegiatan ini dilakukan dalam perpustakaan dengan membaca buku-buku, literatur,

6 Tommy Hendra Purwaka,

Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), h. 72.

7 Bambang Sunggono,

(18)

9

undangan, serta hasil-hasil penelitian yang menyangkut dengan pokok permasalahan dalam penulisan ini (library research).

4. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

E. Review Studi Terdahulu

Tidak bisa di pungkiri bahwa pembahasan mengenai data elektronik sebagai alat bukti menjadi salah satu topik yang menarik dikalangan peneliti dalam mengkajinya khususnya dalam hal kekuatan hukum data elektronik yang dijadikan salah satu alat bukti dalam mengungkap kebenaran dan keadilan, terlebih hal ini di iringi perkembangan ilmu pengetahuan yang jika dibandingkan zaman dahulu maka zaman sekarang sangatlah maju, sehingga kemajuan tersebut haruslah didungkung dengan peraturan-peratuan yang dapat mencakupnya.

Dan tidak menuntut kemungkinan suatu saat akan muncul penelitian-penelitian yang akan membahas kembali dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Hal inilah yang penulis lihat dari peneliti terdahulu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Siti Widya Ummiyati dengan Judul Rekaman elektronik dalam rangka pembuktian tindak pidana

korupsi menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, Kosentrasi Kepidanaan

(19)

10

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan cara mengumpulkan data berdasarkan study pustaka (library research) dan menganalisis data secara diskritif atau diskritif

analisis. Sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa hasil rekaman pembicaraan

seseorang dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam pengadilan dengan menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun kajian tersebut hanya membahas rekaman elektronik sebagai alat bukti tindak pidana korupsi dengan menggunakan telepon seluler (HP) atau mendengarkan hasil merekam pembicaraan terdakwa dan hanya membahas dari sudut pandang pembuktian tindak pidana korupsi berdasarkan hukum Islam dan hukum positif.

Sedangkan penulis, kali ini menyajikan dengan judul Tinjauan hukum Islam

terhadap data elektronik sebagai alat bukti tindak pidana hukum positif, yang di

(20)

11

terjadi dan membahas tentang kekuatan hukum data elektronik yang dijadikan sebagai alat butki menurut Hukum Islam.

F. Sestematika Penulisan

Secara keseluruhan, permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, yakni:

Bab I, bab ini memuat tentang pendahuluan yang menguraikan tentang batasan dan rumusan masalahan, latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, sistematika penulisan, dan diakhiri dengan penutup.

Bab II, dalam bab ini akan dikemukakan tentang pembuktian tindak pidana menurut hukum Islam yang meliputi pengertian tindak pidana menurut hukum Islam, unsur-unsur tindak pidana menurut hukum Islam, macam-macam tindak pidana menurut hukum Islam, dan pembuktian tindakan pidana menurut hukum Islam dengan memaparkan tentang pengertian, sistem dan macam-macam alat bukti.

Bab III, pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci terkait dengan teori pembuktian tindak pidana menurut hukum positif, yang menguraikan tentang pengertian tindak pidana dan pembuktian menurut hukum pisitif, sistem pembuktian menurut hukum pisitif, prinsip dan beban pembuktian, serta macam-macam alat bukti menurut hukum positif.

(21)

12

sebagai alat bukti tindak pidana menurut hukum Islam. Serta Perbedaan/Kesamaan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif dalam Menggunakan Data Elektronik Sebagai Alat Bukti.

(22)

13

BAB II

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM

A. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam istilah tindak pidana dikelan dengan istilah Jinayah dan

Jarimah, kata jinayah merupakan bentuk masdar

ًاتي انج

ين ي

ينج

yang mengandung

arti berbuat dosa atau berbuat jahat. Kata jinayah dapat juga diartikan dengan memetik, memotong, mengambil, atau memungut.8

Sedangkan menurut istilah, jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan yang merugikan jiwa, harta benda ataupun yang lainya.9 Kebanyakan dikalangan Fuqaha menggunakan kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang dapat mengancam keselamatan jiwa atau anggota badan seperti, membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan, dan sebagainya yang diancam dengan hukuman

hudud atau qishash.10

Sedangkan menurut Abd Qadir Audah, bahwa yang dimaksud dengan kata jarimah, yakni:

ّحب ا نع لا ج ةّع ّت ار ظم ا أب ةّم اسإا ةعي ّلا ىف مئا لا

8 Sayyid Sabiq,

Fiqih Sunah, Jilid III, (Bairut: Daar al-Kitab al-Araby, 1971), h. 426. 9 Ahmad Hanafi,

Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 27.

(23)

14

ي عت أ

Artinya: Jarimah menurut syariat islam yaitu larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau tazir.11

Muhammad Abu Zahrah menambahkan bahwa larangan syara’ adakalanya barupa perbuatan yang dilarang atau meninggalkan yang diperintahkan,12 dalam hai ini adalah perintah dan larangan yang diberikan oleh Allah SWT. Untuk itu penulis lebih condong menggunakan istilah jarimah dari pada istilah jinayah dalam penelitian ini.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Seperti yang telah dipaparkan penulis di atas, bahwa jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ dengan ancaman hukuman had atau tazir. Guna mengetahui perbuatan seseorang merupakan jarimah atau bukan, maka dalam perbuatan tersebut harus terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur Formil (rukun syari)

yakni adanya nas yang melarang melakukan perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman yang telah ditetapkan.13











...

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (al-Baqarah/2 : 286).

11 Abd Qadir Audah,

At-Tasyri’Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Bairut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, t.thn), Juz. II, h. 67.

12 M. Ichsan, M. Endrio Susila,

Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: Lab Hukum

(24)

15

b. Unsur Materil (rukun maddi)

Yaitu adanya tingkah laku atau perbuatan yang membentuk jarimah (tindak pidana), baik berbuat ataupun sikap tidak berbuat. Seperti melakukan pembunuhan, membiarkan seseorang atau menyuruh untuk menganiaya orang lain.

c. Unsur Moril (rukun adabi)

Dalam unsur ini orang yang melakukan perbuatan jarimah adalah orang yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawabannya terhadap perbuatannya. Seperti, orang yang berakal dan sadar terhadap perbuatan yang dilakukannya.

م س ّ عهاى صهال سرلا ق : تلاقةّئاع ىضر هاا نعنَع

قّفي ىتح ن لا ع ظقّتسي ىتح مئانلا ع م تحي ىتح ي صلا ع اث ععفر م قلا

( ئشةعاع اح د( ر اه

Artinya: Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: Dihapuslah ketentuan hukum dari tiga orang, yakni: (1) dari anak di bawah umur sampai ia dewasa, (2) dari orang yang tidur sampai ia bangun, (3) dari orang gila sampai ia sadar (sembuh). (Hadist riwayat Ahmad).14

Ketiga unsur di atas haruslah terdapat pada perbuatan yang tergolong sebagai jarimah (tindak pidana) guna memberikan hukuman bagi pelaku jarimah tersebut. Berdasarkan kaidah-kaidah di atas, maka seseorang yang dapat dikatakan mukallaf adalah orang yang telah memahami dalil dan nas syariat atas hukum dari perbuatan yang dilakukannya guna mempertanggung jawabkannya, karena tidak dikatakan seseorang

14 Jalal Ad-Din As-Suyuthi,

(25)

16

melakukan jarimah manakala orang tersebut tidak mengetahui akan hukum-hukumnya dan tidak adanya larangan atas perbuatan tersebut.

3. Macam-macam Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Untuk menentukan hukuman bagi pelaku jarimah (tindak pidana), terdapat beberapa jenis jarimah dalam hukum Islam, yakni:

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud ialah jarimah yang sanksi hukumannya berupa hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan dan menjadi hak Allah. Adapun yang dimaksud dengan hak Allah adalah hukuman tersebut menjadi kekuasaan penuh bagi Allah yang tidak dapat ditambah-tambahkan atau dikurang-kurangi oleh siapa pun termasuk seorang qâdhi (hakim). Menurut Abd Qadir Audah, yang

dimaksud dengan hudud yakni:

ّحلا ه قعلا ةب ةرّق لا ًاقح ه ىلاعت

Artinya : Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’dan

merupakan hak Allah SWT.15

Jarimah (tindak pidana) yang termasuk ke dalam kategori jarimah hudud seperti perbuatan zina, qadzaf, meminum arak, mencuri, merampok, membunuh, dan murtad.

Yang dimaksud dengan zina menurut ulama hanafiyah adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qudul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil,

15 Audah,

(26)

17

yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak tidak ada syubtah dalam miliknya.16 Menurut Malikiyah yang dimaksud dengan zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap fajri manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan. Sedangkan menurut Syafiíyah yang dimaksud dengan zina adalah memasukkan zakar ke dalam fajzi yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.17

b. Jarimah Qisas dan Diyat

Menurut bahasa, Qisas dapat diartikan memotong, sedangkan menurut istilah qisas adalah jarimah yang dijatuhkan hukumannya setimpal dengan jarimah yang telah dilakukannya. Diyat secara bahasa dapat diartikan ganti, sedangkan secara istilahan arti diyat yaitu mengganti hukuman terdakwa dengan membayar ganti rugi terhadap korban atau keluarga. Menurut Ahmad Hanafi dalam bukunya asas-asas hukum pidana Islam, menyatakan diyat merupakan hukuman pengganti. Adapun berlakunya hukuman diyat saat keluarga korban memaafkannya.

Jadi yang dimaksud dengan jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yanُ sudah ditentutan oleh syara’. Perbedaannya denُan

16Ala’Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash

-Shanai fi Tartib Ash-Syara’, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1996), Juz. VII, h. 49.

17 Audah,

(27)

18

hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah, sedangkan qishash dan diat merupakan hak manusia (hak induvidu).18

Yang termasuk ke dalam katagori jarimah qisas dan diyat, yaitu:

1. Pembunuhan sengaja (

ّ علا تق

), yakni terdakwa benar-benar berniat ingin

membunuh korban dengan cara-cara yang telah direncanakannya sebelum melakukan pembunuhan tersebut.

2. Pembunuhan semi sengaja (

ّ علا ش تق

), hal ini tergambar ketika seseorang

menganiaya korban namun tidak bermaksud membunuhnya akan tetapi korban terbunuh akibat rasa sakit yang dialaminya atas perbuatan terdakwa.

3. Pembunuhan tidak sengaja (

اط لا تق

), pembunuhan tidak sengaja adalah

perbuatan yang benar-benar tidak disengaja oleh terdakwa dengan kata lain terdakwa tidak bermaksud menganiaya korban apa lagi untuk membunuhnya, seperti seorang pemburu yang ingin menembak hewan buruhannya namun terkena orang lain (korban) hingga membuatnya terbunuh.

4. Penganiayaan sengaja (

ّ علا ح ج

), ialah penganiayaan yang telah

direncanakan oleh terdakwa untuk menyakiti korbannya, namun tidak sampai membunuh korban.

5. Penganiayaan tidak sengaja (

اط لا ح ج

), yakni penganiayaan yang

dilakukan terdakwa kepada korban tanpa disengaja melukai korban, contoh

(28)

19

ketika kita bercanda dengan teman kita kemudian tak sengaja tangan kita mencakar teman kita hingga menimbulkan rasa sakit.

c. Jarimah Ta’zir

Secara bahasa pengartian ta’zir adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran.19 Ta’zir juُa diartikan denُan Ar-raddu wal Manú yang artinya menolak dan mencegah.20 Sedangkan menurut istilah jarimah ta’zir adalah hukuman pelaku jarimah diserahkan kepada qâdhi. Hal ini disebabkan adanya larangan terhadap perbuatan tersebut yang dapat disandarkan pada nas, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun belum ada hukuman bagi pelakunya, maka dalam kasus tersebut seorang qâdhi boleh berijtihad untuk memutuskannya.

B. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Pembuktian

Salah satu cara untuk meyakinkan qâdhi dalam mengambil putusan yang bersifat adil dan menghindari kesalahan dalam menghukum seseorang, yakni dengan cara memberikan bukti-bukti kepada qâdhi terkait dengan jarimah yang tengah di kajinya.

Dalam hukum Islam, pembuktian dapat disebut

ا ث إا

(al-isbat) yang artinya

membuktikan atau menetapkan adanya suatu peristiwa jarimah (tindak pidana).

19 Ibid., h.80.

20 Abd Al-Aziz Ámir,

(29)

20

Menurut Subhi Mahmasany, pembuktian adalah mengemukakan alasan dan memberikan dalil hingga meyakinkan.21

ّقّلا ّح ىتح ّ ع ّل ّلا ءاطع ة حلا ميّقت ا ث إا

Dalam ensiklopedia Islam, kata bayinah diartikan secara etimologis berarti keterangan, yakni segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar), sedangkan dalam istilah teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan.22

Menurut TM Hasybi as-Shiddieqie, pembuktian adalah segala yang menampakan kebenaran, baik merupakan saksi atau sesuatu yang lain.23

Sedangkan menurut Ibnu al-Qoyyim mendefinisikan al-bayinah :

ظي قحلا ّب ام ل مس ةنّ لا

Artinya: Pembuktian adalah suatu nama bagi segala sesuatu yang dapat

menjelaskan perkara yang benar dan menempatkannya.

2. Sistem pembuktian

Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum Islam adalah sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif.24 Hal ini terlihat dari beberapa indikasi-indikasi pada masa Rosullah SAW, sahabat dan para ulama. Indikasi-indikasi-indikasi tersebut antara lain:

21 Subhi Mahmassani,

Filsafat Tasyri al-Islam, (Bairut: Dar al-Ilm lil al-Malayi, 1380 H), h. 219. 22 Abdul Aziz Dahlan,

Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 14. 23 TM Hasybi as-Shiddieqie,

Filsafat Hukum Islam, cet. ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 139.

(30)

21

a. Fuqaha menganggap sah seluruh alat bukti yang berorientasi untuk memperkuat keyakinan qâdhi.

b. Dalam hukum Islam, terdapat prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku jarimah, prinsip ini menyatakan bahwa hukuman had harus dihindari manakala terdapat keraguan-keraguan, hal ini sesuai dengan kaidah fiqihyah:

ا ّلاب د ّحلا ا ءرد

Artinya: Hukuman had harus di hindari berdasarkan keragu-raguan.

Keragu-raguan (Syubhat) disini adalah seluruh keadaan yang menyebabkan keraguan bagi qâdhi untuk memutuskan perkara, baik ditinjau dari segi maksud dilakukan tindak pidana, ataupun karena syarat-syarat yang ditentukan tidak terpenuhi. Seperti mendakwakan seseorang melakukan perbuatan zina. Berdasarkan bukti dua orang saksi, sedangkan terdakwa tidak mengakui dakwaan itu. Dalam keadaan seperti ini, qâdhi tidak dapat menjatuhkan hukuman had melainkan menُalihkan kepada hukuman ta’zir yanُ dapat berupa pendidikan

bagi terdakwa dan masyarakat.

3. Macam-macam Alat Bukti

(31)

22

a. Menurut Jumhur Ulama untuk pembuktian jarimah qisas dan diyat dapat dipergunakan tiga cara (alat bukti) pembuktian, yaitu: Pengakuan, Persaksian, dan sumpah.

b. T.M Hasbi ash-Shiddieqy menyatakan, bahwa alat-alat bukti yang dapat dijadikan

hujah (alasan) dalam hal gugat-menggugat ada tiga macam, yaitu: iqrar

(pengakuan), dan saksi, sumpah.25

c. Sebagian para fuqaha, seperti Ibnu al-Qayyim dari kalangan Mazhab Hambali. Mengatakan bahwa untuk membuktikan telah terjadi jarimah qisas dan diyat dapat digunakan empat cara (alat) pembuktian, yakni: pengakuan, persaksian, penolakan sumpah, dan petunjuk.26

d. Ahmad Ad-Daur dalam kitabnya: ahkam al-bayyinah, menyatakan bahwa alat-alat bukti yang diakui oleh nash al-Qur’an dan al-Hadist, yaitu: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan document-document tertulis yang meyakinkan.27

e. Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti adalah iqrar, syahadah, sumpah, surat-surat resmi yang mempunyai kekuatan resmi.28

f. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid mengatakan bahwa alat-alat bukti

itu ialah saksi, sumpah, nukul, pengakuan, atau sesuatu yang tersusun dari salah satu bukti lain.29

25 T.M Hasbi ash-Shiddieqy,

Peradilan dalam Hukum Acara Islam, cet. Ke-I, (semarang, PT

Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 136. 26 Audah.

At-Tasyr’I al-Jnayi al-Islamiy, h. 303. 27 Ahmad Ad-Daur,

Hukum Pembuktian dalam Islam, penerjemah Syamsudin Ramadhan,

(Bogor:Pustaka Thariqul Izzah, 207), h. 7. 28 Sabiq.

(32)

23

Terlepas dari perbedaan para ulama yang telah dikemukakan di atas, tentang alat bukti dalam jumlah maupun macam-macamnya, maka dapat diuraikan bahwa alat-alat bukti yang terdapat dalam hukum pidana Islam, sebagai berikut:

i. Syahadah (kesaksian)

Secara bahasa, arti syahadah adalah kesaksian. Menurut Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas bin Hamza:30

صاخ ظف ب ّش ع خأ يه ةدا ّلا

Artinya: Persaksian itu ialah mengemukakan tentang sesuatu kasus dengan

lafadz tertentu.

Dalam hukum Islam saksi ialah memberi keterangan tentang sesuatu yang ia ketahui (melihat kejadian atau mendengar), sebagaimana firman Allah SWT dalam surah at-Thalaq/65 ayat 2:











Artinya: …dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…

Di sisi lain Allah berfirman dalam surah al-Baqarah/ 2 ayat 282:

























































































29 Ibnu Rusdy,

Bidayah al-Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), Jilid II, h. 462. 30 Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas bin Hamza,

(33)

24

















































































































































































































































Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih

dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah

(34)

25

yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Sedangkan untuk menjadi saksi ada syarat-syarat tertentu yakni islam, adil, balig, berakal, dapat bicara, hafal (kuat ingatannya) dan tidak tumah.31

a. Islam

Untuk menjadi saksi, dalam Agama Islam mengharuskan orang yang menjadi saksi beragamakan Islam, sebagaimana firman Allah SWT di atas yang tercantum dalam surah al-Baqarah/2 ayat 282

b. Adil

Syarat yang ke-dua untuk menjadi saksi adalah adil. Dimana seorang saksi tidak boleh memilih-milih orang yang akan dibelanya melainkan seorang saksi harus adil dalam menyampaikan keterangan-keterangan yang ia ketahui, Allah SWT berfirman dalam surah at-Thalaq/65 ayat 2:













Artinya: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara

kamu.

Menurut Malikiyah, pengertian adil adalah selalu memelihara Agama dengan jalan menjahui dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, dapat dipercaya dan baik perilakunya. Sedangkan menuru Syafiíyah, adil adalah

31Sabiq,

(35)

26

menjahui dosa besar dan tidak senantiasa melakukan dosa kecil. Bila seorang tidak pernah melakukan dosa besar namu melakukan dosa kecil berkepanjangan, maka persaksiaannya tidak di terima.32

c. Balig

Seorang saksi haruslah orang yang sudah balig, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah/2 ayat 289:

















Artinya: …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

lelaki (di antaramu)...

Kata





berasal dari kata rijalun yang berarti laki-laki yang sudah

dewasa dan tidak termasuk di dalamnya anak-anak dibawah umur atau belum balig.

d. Berakal

Seorang saksi disyaratkan harus berakal. Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui kewajiban yang pokok dan yang bukan, yang mungkin dan yang tidak mungkin, serta mudharat dan yang bermanfaat. Dengan demikian persaksian orang yang gila dan kurang sempurna akalnya tidak dapat diterima. Hal ini didasarkan kepada hadist yang telah disebutkan di atas yakni,

قّفي ىتح ن لا ع

(orang gila sampai ia sadar/ sembuh).33

32 Djazuli,

Fiqih Jinayah, h.49. 33 H. Ahmad Wardi Muslich,

(36)

27 e. Dapat berbicara

Dalam hal orang yang dapat berbicara atau tidak sebagai saksi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, seperti Imam Maliki yang berpendapat bahwa orang yang tidak bisa berbicara dapat dijadikan sebagai saksi apabila isyaratnya dapat dipahami, Imam Hambali berpendapat bahwa orang yang tidak bisa berbicara tidak dapat diterima kesaksiannya walaupun isyaratnya dapat dipahami kecuali jika ia dapat menuliskan kesaksiannya tersebut, adapun menurut Imam Hanafi bahwa kesaksian yang di berikan oleh orang yag tidak dapat berbica tidak dapat diterima baik berupa tulisan maupun isyarat, sedangkan Mazhab Syaَi’i dalam hal kesaksian orang yang tidak bisa berbicara terdapat dua persepsi yang berbeda, yakni:

1. Dapat diterima kesaksian orang yang tidak bisa berbicara, karena isyaratnya sama seperti ucapannya. Sebagaimana yang dilaksanakan dalam akad nikah dan talak.

2. Tidak dapat diterima kesaksian orang yang tidak bisa berbicara, karena menganggap bahwa isyarat seperti ucapan hanya berlaku dalam keadaan darurat, dimana tidak dapat digantikan oleh orang lain sedangkan kesaksian bukanlah hal yang darurat karena dapat digantikan oleh yang lainnya.34

(37)

28 f. Hafal

Seorang saksi disyaratkan harus mampu mengingat apa yang disaksikannya dan memahami serta menganalisis apa yang dilihatnya, di samping dapat dipercaya atas apa-apa yang dikatakannya. Dengan demikian apabila saksi pelupa atau pikun maka persaksiannya tidak dapat diterima, namun jika hanya sedikit saja yang ia lupa maka kesaksiaannya masih dapat diterima.35

g. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak tumah ilah saksi tidak boleh yang daya ingatannya lemah, hal ini disebabkan untuk menghindari kesalaha pahaman atas keterangan yang diberikan oleh saksi.

Dalam menentukan jumlah saksi yang harus dihadirkan, para ulama berbeda pendapat. Seperti dalam jarimah yang hukumannya badaniah, menurut Jumhur Fuqaha pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki dan tidak boleh seorang laki-laki dengan dua orang perempuan atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpah korbannya. Ketentuan ini berlaku baik dalam qishash jiwa maupun bukan jiwa, berbeda dengan pendapat Imam Malik, dimana ketentuan dua orang saksi laki-laki hanya berlaku pada qishash atas jiwa saja, sedangkan qishash atas bukan jiwa pembuktiannya bisa dengan seorang saksi laki-laki dan sumpah korbannya.36 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Ath-Thalaaq/65 ayat 2, sebagai berikut:

35Ibid.,

(38)

29

...























...

Artinya: …dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…

Dalam hal ini menurut penulis saksi laki-laki lebih berhak memberi kesaksiaannya dari pada perempuan dengan alasan emosional laki-laki lebih stabil jika dibandingkan perempuan yang emosionalnya terkadang lebih tinggi terlebih jika dalam keadaan haid. Namun penulis beranggapan jika tidak ada saksi laki-laki dan hanya ada saksi perempuan maka seorang qâdhi (hakim) tidak boleh

menolaknya melainkan mengdengarkan persaksiaannya yang kemudian menjadi masukan baga dirinya dalam memutuskan perkara yang sedang dikajinya.

Adapun ketentuan jumlah saksi yang harus membenarkan telah terjadi perzinaan adalah dengan empat orang saksi, hal ini untuk kehati-hatian bagi seorang qâdhi menjatuhkan putusan sehingga berakibat pada sanksi yang akan dijalani terdakwa, Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisa/4 ayat 15:





































































Artinya: dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,

hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang

(39)

30

Terkait dengan jumlah saksi Imam Nasa’i, mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

ظ ىف ّحف ّ ءاّ ش ةعبرأب تي

Artinya: Ajukanlah empat orang saksi, apabila tidak bisa maka hukuman had akan dikenakan terhadapmu.37

ii. Iqrar (pengakuan)

Menurut bahasa iqrar dapat diartikan

تابثِإا

(penetapan), penemuan.

Sedangkan menurut istilah

قتس لا ىف ل ح ىفام ظف لاب ق لا سف ى ع ّغ ل قح

ثب را خأا

Artinya: Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu

sendiri dengan ucapan atau yang bersetatus sebagai ucapan,

meskipun untuk masa yang akan datang.38

Menurut Abu Hanafi mensyaratkan bahwa pengakuan itu harus diucapkan di muka sidang pengadilan. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafií, dan Imam Ahmad pengakuan itu boleh diucapkan di muka sidang dan boleh di luar sidang. Hanya sudah tentu bila pengakuannya diucapkan di luar sidang, maka di dalam persidangan harus ada dua orang saksi atas pengakuannya.39 Berkaitan dengan pengakuan Allah SWT berfirman dalam surah al-Imran/3 ayat 81:

37Muslich,

Hukum Pidana Islam, h. 43.

38 Djazuli,

(40)

31















































































































Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan

Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang

membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".

Jadi iqrar adalah memberitahukan akan adanya hak orang lain pada diri si pelaku, adapun fungsinya adalah menguatkan alasan kepada qâdhi untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang memberikan pengakuan dirinya.

iii. Sumpah

Menurut bahasa sumpah sama dengan al-husna/ al-mamal yang artinya

bagus dan indah, dan bayinah yang artinya sumpah.40 Sedangkan secara istilah sumpah adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan. TM Hasybi as-Shiddieqie mendefinisikan, sumpah adalah mempertegu kebenaran sesuatu yang dimaksud dengan menyebut nama Allah atau sesuatu sifatnya.41

40 Muslich,

Hukum Pidana Islam, h. 243. 41 TM Hasybi as-Shiddieqie,

(41)

32

Adapun mengenai penyebutan nama Allah adalah dalam sumpah yaitu

dengan menggunakan lafadz

لااب

(demi Allah) dan bukan yang lainnya. Hal ini

sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah at-Tahrim ayat 66:























Artinya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian

membebaskan diri dari sumpahmu[1486] dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dan hadist Rosulullah SAW, yang artinya;

“Riwayat Abu daud dan Nasa’i dari Huroiroh r.a. marfu’ : janganlah

kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian atau ibu-ibu kalian dan jangan

pula dengan nama-nama dewa-dewa, dan janganlah kamu bersumpah denagn

nama Allah kecuali kalau kalian sungguh-sungguh”

Berdasarkan pengertian para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa sumpah yang dilakukan oleh para pihak berpekara haruslah bersandarkan kepada Allah SWT dan janganlah bersumpah melainkan dengan sebenar-benarnya.

iv. Qorinah (petunjuk)

Menurut Wahbah Zuhaili, qorinah adalah setiap tanda yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukan kepadanya. Sedangkan Subhi Mahmassani, Qorinah adalah tanda-tanda yang sampai drajat keyakinan.42

42 Subhi Mahmassani,

(42)

33

Dalam hal pembuktian yang berdasarkan pembuktian qorinah haruslah mencakup sekurang-kurangnya dua hal, yakni:

1. terhadap sesuatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan

2. terhadap hubungan yang menunjukan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yang samar (khafi).

Dalam surah Yusuf/12 ayat 26-27, dikisahkan tentang tuduhan pemerkosaan yang dilakukan oleh Juleha terhadap Nabi Yusuf, sebagaimana Allah SWT berfirman:























































































Artinya: 26. Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang yang dusta.

27. dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita Itulah yang dusta, dan Yusuf Termasu43k orang-orang yang benar.

Pada masa sahabat alat bukti petunjuk menjadi salah satu alat bukti yang sah dan telah digunakan sejak zaman dahulu, hal ini tergambar dalam kisah yang menerangkan telah datang seseorang membawa wanita yang melahirkan anaknya dengan umur kandungan enam bulan penuh kehadapan Sayidina Utsman, kemudian Sayidina Utsman

(43)

34

(44)

35

BAB III

TEORI PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF

A. Tindak Pidana

Secara tradisional Hukum pidana dapat diartikan sebagai hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan.44

Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH, berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana, bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan

apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.45

Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi, bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran

44 Samidjo,

Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana, (Bandung: CV Armico, 1985), h 1.

45 Prof. Moeljatno, SH,

(45)

36

dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.46

Sedangkan tindak pidana terdiri dari dua kata, yakni “tindak” dan “pidana”. Kata tindak berarti perbuatan, sedangkan kata pidana memiliki makna kejahatan atau kriminal. Sehingga tindak pidana dalam arti sempit berarti perbuatan kriminal atau melakukan kejahatan.

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.47

Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggu jawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.48

Menurut Soesilo, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan Undang-Undang dan yang dapat dipertanggung jawabkan.49 Atau

46 Pipin Syarifin,

Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h 14.

47 Moeljatno,

Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 54. 48 Evi Hartanti,

(46)

37

suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang- Undang telah dikatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.50

Dalam hukum positif istilah tindak pidana juga dikenal istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum.51 Semua istilah itu merupakan terjemahan dari kata Belanda yakni strafbaar fait.

Istilah strafbaar fait merupakan istilah resmi dalam straff book atau KUHP yang

berlaku di Indonesia, dan istilah tindak pidana ini disebut juga dengan istilah delik, kedua istilah ini diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana.52

Selain itu untuk mengetahui perbuatan apa saja yang dapat dikatakan sebagai perbuatan tindak pidana, perlu kiranya diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana, yaitu:

1. Adanya suatu norma, yaitu adanya suatu larangan atau suruhan (kaidah). 2. Adanya sanksi atas pelanggaran norma itu, berupa ancaman dengan hukuman

pidana.53

Menurut Sahruddi, untuk menentukan perbuatan seseorang, apakah termasuk tindak pidana atau tidak. Undang-Undang merumuskan bahwa tiap-tiap tindak pidana

49 R. Soesilo,

Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor:

Pelita, t.th), h. 26.

50 Adami Chazmi,

Pelajaran Hukum Pidana Bagaian I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), h. 72. 51 M. Ichan, M. Endrio Susilo,

Hukum Islam Sebuah Alternatif, ( Yogyakarta: Lab Hukum

Universitas Yogyakarta, 2008), h. 70. 52 Wirjono Prodjodikoro,

(47)

38

terdapat unsur subyektif dan obyektif.54 Yang dimaksud dengan unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana yang terdiri dari kesalahan apakah seseorang dapat dipersalahkan sehingga akan dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Adapun ukuran seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab menurut Van Eck, yakni:

1. apakah orang tersebut sadar melakukan perbuatannya. 2. apakah ia mengetahui bahwa perbuatannya adalah salah.

3. apakah bertindak setelah berbuatannya dipikirkan dalam tenang.

4. apakah pada kesempatan itu ia mempunyai pertimbangan tanpa perasangka tentang bermacam-macam nilai.55

Untuk unsur subyektif dalam tindak pidana meliputi:

1. Kesengajaan (daus), hal ini terdapat dalam tindak pidana kesusilaan (Pasal 202

KUHP), merampas kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

2. Kealpaan (culpa), hal ini terdapat dalam tindak pidana perampasan kemerdekan

(Pasal 334 KUHP), menyebabkan seseorang terbunuh atau mati (Pasal 359 KUHP).

3. Niat (<

Gambar

gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
gambar (data elektronik) terdapat beberapa cara, diantaranya pendapat dari Pakar TI ITB

Referensi

Dokumen terkait

Fokus yang harus ditingkatkan dalam integrasi transportasi antarmoda di bandar udara antara lain perluasan fasilitas pendaftaran calon penumpang pesawat udara sebelum

Selama Seminggu yang Lalu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bengkayang, 2019 Population 15 Years of Age and Over who Worked During The Previous Week

Dari tabel 3 dapat dilihat perbedaan nilai rata-rata skala nyeri pada ibu post seksio sesaria sebelum dan sesudah diberikan kompres panas yaitu dengan selisih 1,41.. Hasil

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui 1) perencanaan keuangan sekolah, 2) pelaksanaan dalam pengelolaan keuangan sekolah, 3) evaluasi pelaksanaan pengelolaan

Maka untuk dengan menggabungkan ketiga konsep yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo tersebut dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi kejumudan keilmuwan di

FKIP UM Metro dapat terus membatu guru dalam meningkatkan pemahaman guru dan siswa tentang pemanfaatan ruang sejarah (history room) sebagai media pembelajaran

Berdasarkan hasil penelitian tentang Senandung Bertelur Kau Sinangin Pada Masyarakat Melayu di Kota Tanjungbalai (Studi Terhadap Bentuk Musik, Fungsi dan Makna), dapat

Melalui program penelitian partisipatif diharapkan terjadi perubahan pola pikir peternak sehingga diperoleh dampak: (1) Peningkatan managemen sistem pemeliharaan yakni