• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kebiasaan Makanan Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) di Perairan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kebiasaan Makanan Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) di Perairan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

Oleh :

FITRI WULAN SARI

C24104016

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

ii

Yunizar Ernawati).

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kebiasaan makanan ikan layur dari ketiga spesies (famili Trichiuridae yaitu Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala, serta famili Gempylidae yaitu Gempylus serpens) dengan parameter yang dikaji adalah hubungan panjang-berat, komposisi jenis makanan, faktor kondisi, indeks bagian terbesar (Index of Preponderance), indeks kepenuhan lambung, luas relung makanan dan tumpang tindih relung makanan. Dari studi ini diharapkan dapat diperoleh informasi dasar yang dapat dijadikan acuan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan ikan layur di Indonesia, khususnya di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai November 2007 di perairan Palabuhanratu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh diperoleh dari nelayan di Palabuhanratu. Lokasi pengambilan ikan contoh ditentukan berdasarkan wilayah penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu. Ikan contoh kemudian dibawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya, ikan dianalisis lebih lanjut mengenai jenis dan makanannya.

Ikan L. savala yang tertangkap memiliki kisaran panjang dan berat yaitu 643,53 ± 100,38 mm dan 242,23 ± 110,32 gram. Adapun nilai kisaran panjang dan berat ikan T. lepturus yang tertangkap yaitu 687,07 ± 164,73 mm dan 240,42 ± 159,00 gram. Pada ikan G. serpens nilai kisaran panjang dan beratnya adalah 728,14 ± 65,51 mm dan 491,03 ± 162,61 gram.

Berdasarkan hasil penelitian, makanan utama dari ketiga spesies ikan layur (L. savala, T. lepturus dan G. serpens) adalah kelompok ikan. Hasil analisis terhadap makanan dan pengamatan terhadap struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan menunjukkan bahwa ikan layur golok, ikan layur melei dan ikan gelang luyung merupakan ikan karnivora. Nilai tumpang tindih relung makanan antara ketiga jenis ikan layur jantan dan betina yang berkisar antara 0,7328 – 0,9607 dan 0,9621 – 0,9988. Nilai ini menunjukkan bahwa dapat terjadi persaingan intraspesifik dan interspesifik pada ikan layur.

(3)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

Oleh :

FITRI WULAN SARI

C24104016

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Judul : STUDI KEBIASAAN MAKANAN IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

Nama Mahasiswa : Fitri Wulan Sari Nomor Pokok : C24104016

Departemen : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui :

I. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS.

NIP. 132 084 932 NIP. 130 808 228

II. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 131 578 799

(5)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul ” Studi Kebiasaan Makanan Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat ”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sadar bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dalam dunia pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan.

Bogor, Agustus 2008

(6)

v

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang

telah sabar dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing II dan pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama penelitian dan kuliah di IPB.

3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan-masukan yang membangun bagi penulis. 4. Ibu Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. selaku dosen penguji Departemen yang

telah memberikan saran dan pengarahan bagi penulis.

5. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti proyek penelitian dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

6. Kedua orang tua, kakak dan abang, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis.

7. Teman satu penelitian (Devi dan Irwan) dan teman-teman seperjuangan di Pondok Annur tercinta (Ayue can, Enta can, Nita can dan tante) yang telah berbagi suka duka selama kita bersama.

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perairan Palabuhanratu adalah perairan yang terletak di selatan Jawa yang merupakan bagian dari kawasan Samudera Hindia. Secara geografis, Palabuhanratu terletak pada posisi 1000 10’ – 1060 30’ BT dan 60 50’ – 70 30’ LS. Perairan ini mempunyai potensi yang baik dalam hal sumberdaya perikanan. Salah satu sumberdaya perikanan yang ditangkap di Palabuhanratu adalah ikan layur. Saat ini harga ikan layur cukup tinggi di pasar ekspor sehingga tingkat eksploitasi ikan ini semakin tinggi. Adapun negara-negara tujuan ekspor ikan layur meliputi Jepang, Korea, Taiwan, dan Amerika (Wewengkang, 2002).

Ikan layur merupakan ikan demersal yang merupakan salah satu komoditas ekspor dan banyak ditemukan di pantai-pantai Jawa dan muara-muara sungai di Sumatera. Ikan demersal adalah jenis ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan dan berenang secara soliter. Daerah penyebaran ikan layur ini meliputi perairan pantai seluruh Indonesia, seperti Tuban, Lawang, Jampang, Palabuhanratu, Cibanteng, Ujung Genteng, dan Sukawayana (www.pipp.dkp). Menurut Nontji (1987), di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan layur. Jenis layur yang banyak terdapat di perairan pantai Pulau Jawa adalah jenis Trichiurus haumela. Selain itu pada beberapa muara sungai di Sumatera umumnya dijumpai pula ikan layur berukuran kecil yaitu Trichiurus glosdon dan Trichiurus savala.

Dalam studi ini, ikan layur yang menjadi fokus kajian terdiri dari dua famili yaitu famili Trichiuridae dan famili Gempylidae. Famili Trichiuridae meliputi ikan Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala dengan nama lokalnya di Palabuhanratu masing-masing adalah ikan layur melei dan layur golok. Adapun spesies yang termasuk famili Gempylidae adalah Gempylus serpens dengan nama lokalnya ikan layur gelang luyung di Palabuhanratu. Secara taksonomis kekerabatan antara 2 jenis pertama dengan layur gelang luyung sangat jauh, namun dalam studi ini dijadikan satu kajian karena memiliki kemiripan dalam nama lokalnya.

(8)

dinamika populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan kondisi ikan (Nikolsky, 1963; Royce, 1972). Adapun jenis makanan ikan biasanya bergantung kepada umur, tempat dan waktu. Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan dan dapat dilihat hubungan ekologi di antara organisme di dalam perairan itu, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan (Effendie, 1997).

Pemanfaatan dan penangkapan ikan layur saat ini sudah banyak namun studi mengenai aspek biologi ikan layur belum banyak dilakukan di Indonesia. Studi yang telah dilakukan mengenai ikan layur di Indonesia lebih fokus kepada teknik penangkapan ikan layur. Oleh karena itu, perlu dilakukannya studi mengenai kebiasaan makanan ikan layur sebagai salah satu aspek biologi ikan layur.

B. Perumusan masalah

Ikan layur memiliki potensi yang baik bagi perikanan di perairan Palabuhanratu. Kondisi ini menyebabkan semakin tingginya tingkat penangkapan ikan ini. Adanya penangkapan pada ikan layur yang berlangsung secara terus-menerus tanpa adanya pengelolaan yang baik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap jumlah populasi ikan layur sehingga dapat mempengaruhi populasi ikan lainnya dalam kaitannya dengan rantai makanan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik agar ikan layur sebagai salah satu sumberdaya perikanan Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimum dan tetap lestari.

Pengelolaan terhadap ikan layur dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan, reproduksi, genetik, makanan, pola migrasi, dan lain-lain. Namun, studi ini difokuskan untuk menelaah kebiasaan makanan ikan layur. Dengan diketahuinya jenis-jenis dan komposisi makanan yang menjadi kebiasaan makanan ikan layur yang berada di Palabuhanratu, diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dasar pertimbangan dalam pengelolaannya.

C. Tujuan dan manfaat penelitian

(9)
(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan morfologi spesies

Penelitian mengenai kebiasaan makanan ikan layur mencakup 2 famili (Trichiuridae dan Gempylidae) dan 3 genus (Trichiurus, Lepturacanthus dan Gempylus). Famili Trichiuridae terdiri dari 2 genus yaitu Trichiurus dan Lepturacanthus. Famili Gempylidae terdiri dari genus Gempylus. Adapun klasifikasi ikan layur menurut Nakamura dan Parin (1993) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidei Superfamili : Trichiuroidea Famili : Trichiuridae Genus : Trichiurus

Lepturacanthus

Spesies : Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Famili : Gempylidae

Genus : Gempylus

Spesies : Gempylus serpens Cuvier, 1829

Ikan layur (T. lepturus) dikenal dengan nama umum kharoda (Oman), largehead hairtail (Inggris), pez sable (Spanyol) dan poisson sabre commun (Perancis). Nama lokal ikan ini adalah ikan melei (Palabuhanratu), ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura), dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

(11)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

Oleh :

FITRI WULAN SARI

C24104016

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

ii

Yunizar Ernawati).

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kebiasaan makanan ikan layur dari ketiga spesies (famili Trichiuridae yaitu Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala, serta famili Gempylidae yaitu Gempylus serpens) dengan parameter yang dikaji adalah hubungan panjang-berat, komposisi jenis makanan, faktor kondisi, indeks bagian terbesar (Index of Preponderance), indeks kepenuhan lambung, luas relung makanan dan tumpang tindih relung makanan. Dari studi ini diharapkan dapat diperoleh informasi dasar yang dapat dijadikan acuan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan ikan layur di Indonesia, khususnya di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai November 2007 di perairan Palabuhanratu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh diperoleh dari nelayan di Palabuhanratu. Lokasi pengambilan ikan contoh ditentukan berdasarkan wilayah penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu. Ikan contoh kemudian dibawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya, ikan dianalisis lebih lanjut mengenai jenis dan makanannya.

Ikan L. savala yang tertangkap memiliki kisaran panjang dan berat yaitu 643,53 ± 100,38 mm dan 242,23 ± 110,32 gram. Adapun nilai kisaran panjang dan berat ikan T. lepturus yang tertangkap yaitu 687,07 ± 164,73 mm dan 240,42 ± 159,00 gram. Pada ikan G. serpens nilai kisaran panjang dan beratnya adalah 728,14 ± 65,51 mm dan 491,03 ± 162,61 gram.

Berdasarkan hasil penelitian, makanan utama dari ketiga spesies ikan layur (L. savala, T. lepturus dan G. serpens) adalah kelompok ikan. Hasil analisis terhadap makanan dan pengamatan terhadap struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan menunjukkan bahwa ikan layur golok, ikan layur melei dan ikan gelang luyung merupakan ikan karnivora. Nilai tumpang tindih relung makanan antara ketiga jenis ikan layur jantan dan betina yang berkisar antara 0,7328 – 0,9607 dan 0,9621 – 0,9988. Nilai ini menunjukkan bahwa dapat terjadi persaingan intraspesifik dan interspesifik pada ikan layur.

(13)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

Oleh :

FITRI WULAN SARI

C24104016

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(14)

Judul : STUDI KEBIASAAN MAKANAN IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

Nama Mahasiswa : Fitri Wulan Sari Nomor Pokok : C24104016

Departemen : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui :

I. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS.

NIP. 132 084 932 NIP. 130 808 228

II. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 131 578 799

(15)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul ” Studi Kebiasaan Makanan Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) Di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat ”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sadar bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dalam dunia pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan.

Bogor, Agustus 2008

(16)

v

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang

telah sabar dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing II dan pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama penelitian dan kuliah di IPB.

3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan-masukan yang membangun bagi penulis. 4. Ibu Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. selaku dosen penguji Departemen yang

telah memberikan saran dan pengarahan bagi penulis.

5. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti proyek penelitian dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

6. Kedua orang tua, kakak dan abang, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis.

7. Teman satu penelitian (Devi dan Irwan) dan teman-teman seperjuangan di Pondok Annur tercinta (Ayue can, Enta can, Nita can dan tante) yang telah berbagi suka duka selama kita bersama.

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perairan Palabuhanratu adalah perairan yang terletak di selatan Jawa yang merupakan bagian dari kawasan Samudera Hindia. Secara geografis, Palabuhanratu terletak pada posisi 1000 10’ – 1060 30’ BT dan 60 50’ – 70 30’ LS. Perairan ini mempunyai potensi yang baik dalam hal sumberdaya perikanan. Salah satu sumberdaya perikanan yang ditangkap di Palabuhanratu adalah ikan layur. Saat ini harga ikan layur cukup tinggi di pasar ekspor sehingga tingkat eksploitasi ikan ini semakin tinggi. Adapun negara-negara tujuan ekspor ikan layur meliputi Jepang, Korea, Taiwan, dan Amerika (Wewengkang, 2002).

Ikan layur merupakan ikan demersal yang merupakan salah satu komoditas ekspor dan banyak ditemukan di pantai-pantai Jawa dan muara-muara sungai di Sumatera. Ikan demersal adalah jenis ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan dan berenang secara soliter. Daerah penyebaran ikan layur ini meliputi perairan pantai seluruh Indonesia, seperti Tuban, Lawang, Jampang, Palabuhanratu, Cibanteng, Ujung Genteng, dan Sukawayana (www.pipp.dkp). Menurut Nontji (1987), di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan layur. Jenis layur yang banyak terdapat di perairan pantai Pulau Jawa adalah jenis Trichiurus haumela. Selain itu pada beberapa muara sungai di Sumatera umumnya dijumpai pula ikan layur berukuran kecil yaitu Trichiurus glosdon dan Trichiurus savala.

Dalam studi ini, ikan layur yang menjadi fokus kajian terdiri dari dua famili yaitu famili Trichiuridae dan famili Gempylidae. Famili Trichiuridae meliputi ikan Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala dengan nama lokalnya di Palabuhanratu masing-masing adalah ikan layur melei dan layur golok. Adapun spesies yang termasuk famili Gempylidae adalah Gempylus serpens dengan nama lokalnya ikan layur gelang luyung di Palabuhanratu. Secara taksonomis kekerabatan antara 2 jenis pertama dengan layur gelang luyung sangat jauh, namun dalam studi ini dijadikan satu kajian karena memiliki kemiripan dalam nama lokalnya.

(18)

dinamika populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan kondisi ikan (Nikolsky, 1963; Royce, 1972). Adapun jenis makanan ikan biasanya bergantung kepada umur, tempat dan waktu. Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan dan dapat dilihat hubungan ekologi di antara organisme di dalam perairan itu, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan (Effendie, 1997).

Pemanfaatan dan penangkapan ikan layur saat ini sudah banyak namun studi mengenai aspek biologi ikan layur belum banyak dilakukan di Indonesia. Studi yang telah dilakukan mengenai ikan layur di Indonesia lebih fokus kepada teknik penangkapan ikan layur. Oleh karena itu, perlu dilakukannya studi mengenai kebiasaan makanan ikan layur sebagai salah satu aspek biologi ikan layur.

B. Perumusan masalah

Ikan layur memiliki potensi yang baik bagi perikanan di perairan Palabuhanratu. Kondisi ini menyebabkan semakin tingginya tingkat penangkapan ikan ini. Adanya penangkapan pada ikan layur yang berlangsung secara terus-menerus tanpa adanya pengelolaan yang baik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap jumlah populasi ikan layur sehingga dapat mempengaruhi populasi ikan lainnya dalam kaitannya dengan rantai makanan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik agar ikan layur sebagai salah satu sumberdaya perikanan Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimum dan tetap lestari.

Pengelolaan terhadap ikan layur dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan, reproduksi, genetik, makanan, pola migrasi, dan lain-lain. Namun, studi ini difokuskan untuk menelaah kebiasaan makanan ikan layur. Dengan diketahuinya jenis-jenis dan komposisi makanan yang menjadi kebiasaan makanan ikan layur yang berada di Palabuhanratu, diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dasar pertimbangan dalam pengelolaannya.

C. Tujuan dan manfaat penelitian

(19)
(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan morfologi spesies

Penelitian mengenai kebiasaan makanan ikan layur mencakup 2 famili (Trichiuridae dan Gempylidae) dan 3 genus (Trichiurus, Lepturacanthus dan Gempylus). Famili Trichiuridae terdiri dari 2 genus yaitu Trichiurus dan Lepturacanthus. Famili Gempylidae terdiri dari genus Gempylus. Adapun klasifikasi ikan layur menurut Nakamura dan Parin (1993) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidei Superfamili : Trichiuroidea Famili : Trichiuridae Genus : Trichiurus

Lepturacanthus

Spesies : Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Famili : Gempylidae

Genus : Gempylus

Spesies : Gempylus serpens Cuvier, 1829

Ikan layur (T. lepturus) dikenal dengan nama umum kharoda (Oman), largehead hairtail (Inggris), pez sable (Spanyol) dan poisson sabre commun (Perancis). Nama lokal ikan ini adalah ikan melei (Palabuhanratu), ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura), dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

(21)

besar, taring kecil berbentuk lengkungan pada ujung rahang atas, penutup insang cekung, mata sangat besar, diameternya 5 - 7 kali pada panjang kepala. Sirip dorsalnya panjang dan tinggi dengan 3 jari-jari sirip lemah mengeras dan 130 - 135 jari-jari sirip lemah, sirip pektoral agak pendek, sirip ekornya tidak ada. Warnanya biru keperakan saat segar, sirip pektoralnya semitransparan, sirip lainnya terkadang berwarna kuning pucat dan terkadang warnanya menjadi perak abu-abu saat mati. T. lepturus memiliki karakter yaitu panjang total maksimum 120 cm, umumnya antara 50 dan 100 cm. Gigi taring pada rahang atas melengkung (Nakamura dan Parin, 1993). Tampilan morfologis dari ikan layur (T. lepturus) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan layur melei (T. lepturus Linnaeus, 1758) (Dokumentasi Pribadi)

Jenis L. savala memiliki nama sinonim antara lain Trichiurus armatus dan Trichiurus roelandti. Nama umum antara lain layor (Malaysia), laying (Filipina), savalai hairtail (Inggris) dan smallhead hairtail (Amerika Serikat). Nama lokalnya adalah ikan golok (Palabuhanratu), ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura) dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

(22)

pendek daripada moncong dengan 1 jari-jari sirip lemah mengeras dan 10 jari-jari sirip lemah. Sirip ventral dan caudal tidak ada. Garis lateral lebih dekat dengan ventral daripada dorsal. Badannya berwarna biru dengan refleksi perak keputihan, bagian tepi anus berwarna pucat, bagian tepi sirip caudal berwarna putih, dan kedua rahang berwarna hitam. L. savala memiliki karakter yaitu moncong yang panjang, panjangnya sekitar 2 - 2,5 kali pada panjang kepala. Panjang maksimum 100 cm, umumnya panjang total 30 - 70 cm. Matanya kecil, diameternya sekitar 7 - 9 kali daripada panjang kepala (Nakamura dan Parin, 1993). Tampilan morfologis dari ikan layur (L. savala) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan layur golok (L. savala Cuvier, 1829) (Dokumentasi Pribadi)

Jenis ikan yang ketiga berbeda dari kedua ikan di atas dan termasuk ke dalam famili Gempylidae. Spesies G. serpens memiliki nama sinonim antara lain Acinacea notha, Lemnisoma thyrsitoides dan Gempylus ophidianus. Nama umumnya antara lain snake mackerel (Kanada), gempyl (Hawai), escolier serpent (Perancis), dan balam (India). Nama lokalnya di Palabuhanratu adalah ikan gelang luyung. Adapun nama lokal lainnya adalah ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura), dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

(23)

lemah. Sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari sirip keras dan 3 – 4 jari-jari sirip lemah. Garis lateralnya berjumlah 2, keduanya dimulai dari sirip dorsal pertama. Garis lateral yang atas mengikuti keliling dorsal dan garis lateral yang bawah secara bertahap turun hingga mencapai bagian tengah badan. Vertebra berjumlah 48 – 55 buah, terdiri dari 24 – 29 precaudal dan 23 – 26 caudal. Badannya berwarna coklat tua dan semua siripnya berwarna coklat tua dengan garis tepi lebih gelap. G. serpens memiliki karakter yaitu panjang maksimum standar sekitar 1 meter, umumnya mencapai 60 cm (Nakamura dan Parin, 1993). Tampilan morfologis dari ikan layur (G. serpens) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Ikan layur gelang luyung (G. serpens Cuvier, 1829) (Dokumentasi Pribadi)

B. Keadaan umum perairan palabuhanratu

Teluk Palabuhanratu merupakan perairan yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk dalam wilayah Sukabumi. Secara geografis perairan Palabuhanratu terletak antara 6050’ – 7030’ LS dan 100010’ – 106030’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Topografi dasar lautnya curam dengan kedalaman 3 - 4 m (muara) pada jarak 200 meter di tengah perairan yang merupakan lereng continental shelf. Kondisi oseanografis pada kedalaman 0 - 200 m seperti suhu, salinitas, dan oksigen terlarut telah diteliti sebelumnya. Suhu berada pada kisaran 140C – 280C, salinitas pada kisaran 35 0/00 – 36 0/00 dan

oksigen terlarut 8,0 ml/L – 2,4 ml/L (Purba dkk., 1994).

(24)

kencang disertai dengan hujan lebat. Angin kencang tersebut menimbulkan gelombang yang relatif besar berkisar antara 1,0 – 1,5 meter. Kondisi perairan yang buruk tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan operasi penangkapan sehingga hasil tangkapan ikan layur menurun.

Jumlah tangkapan ikan layur yang ada di Palabuhanratu berbeda dari tahun ke tahun. Perbedaan jumlah tangkapan ini terjadi karena adanya perubahan kondisi perairan dan perbedaan jumlah operasi tangkapan. Data produksi ikan layur perbulan selama sembilan tahun, yaitu dari tahun 1999 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi ikan layur (kg) di Palabuhanratu dari tahun 1999 sampai tahun 2007

Tahun

Bulan

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata

Januari 13240 902 962 33850 2192 8507 27875 9901 29713 14126.89

Februari 37533 10199 1080 25700 1698 17598 49726 11729 20652 19546.11

Maret 42037 1019 19510 34300 1658 6477 44959 8201 16898 19451.00

April 17586 919 0 0 29908 34329 7391 6542 28095 13863.33

Mei 39780 141 197 18000 4964 5985 5028 9867 17533 11277.22

Juni 5364 0 0 0 5200 10974 369 6339 14539 4753.89

Juli 1150 382 2759 0 13094 5145 2241 11425 9435 5070.11

Agustus 1061 5341 6900 0 32661 7267 1920 58556 6495 13355.67

September 7639 2282 6588 49287 21432 4743 5191 52130 8643 17548.33

Oktober 44688 13186 27566 19886 3683 9231 12812 13695 25014 18862.33

November 72383 9987 20000 6428 100 5960 14476 11940 16661 17548.33

Desember 21616 6712 18083 15551 2681 29321 17005 22317 53013 20699.89

(25)

C. Habitat dan penyebaran ikan layur

Ikan layur tersebar luas pada semua perairan tropis dan subtropis di dunia (Matsuda dkk., 1975 dalam Wewengkang, 2002). Ikan ini di Indonesia tersebar dan dijumpai pada semua perairan pantai Indonesia (Ditjen Perikanan, 1979). Bahrudin dan Wudianto (2004) menyebutkan bahwa habitat ikan layur meliputi perairan laut, estuaria, rawa pantai, mangrove sampai perairan payau. Ikan ini berenang dengan tubuh hampir sepenuhnya vertikal dengan kepala berada di sebelah atas. Populasi ikan layur banyak terdapat pada perairan pantai yang dangkal di sekitar muara-muara sungai.

Ikan layur (T. lepturus, L. savala, dan G. serpens) memiliki habitat dan penyebaran yang berbeda. Habitat dan penyebaran dari ketiga spesies tersebut tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Habitat dan penyebaran ikan layur

Spesies Nama

Lokal Habitat Penyebaran Sumber Acuan

(26)

Habitat ikan layur golok (L. savala) berada pada perairan benthopelagis dengan kedalaman yang berkisar antara 250 – 300 meter. Distribusinya tersebar di daerah samudera Hindia, laut Merah, mulai dari pantai barat India, dan laut Timor (Nakamura dan Parin, 1993).

Habitat ikan layur melei (T. lepturus) yaitu hidup pada perairan benthopelagis, berada di permukaan perairan hingga kedalaman 350 meter atau lebih. Distribusinya tersebar pada perairan tropis dan subtropis (Nakamura dan Parin, 1993). Selain itu, ikan ini juga tersebar pada daerah samudera Pasifik bagian timur yaitu dari California hingga Peru (www.fishbase.org).

Ikan layur gelang luyung (G. serpens) terdapat pada daerah mesopelagis dan benthopelagis, berada pada permukaan perairan hingga kedalaman 200 meter, kadang lebih dalam dari 200 meter (Nakamura dan Parin, 1993). Distribusinya tersebar luas pada perairan tropis dan subtropis (www.fishbase.org).

Nakamura dan Parin (1993) mempelajari korelasi antara tipe habitat dari Gempylidae, Trichiuridae, dan Scombridae. Menurutnya, ikan-ikan Scombridae hidup di daerah epipelagis, mereka hidup di kolom perairan bagian atas dari samudera lepas. Ikan-ikan Trichiuridae hidup di daerah benthopelagis, mereka hidup di atas dasar perairan. Ikan-ikan Gempylidae hidup di daerah benthopelagis dan mesopelagis, mereka hidup di perairan yang lebih dalam pada samudera lepas. Korelasi dari tipe habitat ketiga famili ini dapat dilihat pada Gambar 4.

(27)

D. Tingkah laku dan kebiasaan makanan ikan

Kebiasaan makanan ikan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan ikan. Sedangkan kebiasaan cara makan adalah hal-hal yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan cara mendapatkan makanan tersebut. Ketersediaan makanan di perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie, 1997).

Besarnya populasi ikan di suatu perairan ditentukan oleh makanan yang tersedia. Menurut Royce (1972), setiap organisme membutuhkan energi untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, pemeliharaan, dan berkembangbiak. Energi tersebut diperoleh dari makanan yang dikonsumsinya. Dari sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan kurang lebih hanya 10% yang digunakan untuk tumbuh dan menambah beratnya, sedangkan yang selebihnya digunakan untuk tenaga atau memang tidak dapat dicerna. Hal ini juga berhubungan dengan sistem pencernaan yang terjadi dalam tubuh ikan. Sistem pencernaan pada ikan melibatkan saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Secara umum, saluran pencernaan pada ikan terdiri dari mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pilorus, usus, rektum dan anus. Sedangkan kelenjar pencernaannya terdiri dari hati dan kantong empedu. Di samping itu, saluran pencernaannya (lambung dan usus) juga berfungsi sebagai kelenjar pencernaan (Mujiman, 1995). Saluran pencernaan yang berperan dalam adaptasi makanan adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung dan usus (Lagler, 1972). Namun, lambung pada umumnya digunakan untuk mempelajari studi kebiasaan makanan ikan karena lambung merupakan organ pencernaan yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan organ pencernaan lainnya. Lambung berfungsi sebagai penampung makanan dan mencerna makanan secara kimiawi (Affandi dan Tang, 2002).

(28)

Paracalanus, Acartia, Oncaea dan ikan-ikan kecil pada saat belum dewasa. Adapun makanan T. lepturus saat dewasa umumnya adalah ikan seperti Myctophids, Sardinella, Carangidae, mackerel, dan terkadang memakan cumi-cumi dan crustacea. L. savala memakan ikan-ikan kecil dan crustacea dalam variasi yang luas (terutama udang-udangan dan spesies dari Setipinna, Anchoviella, Harpodon, Trichiurus dan lain-lain pada daerah estuaria) (Nakamura dan Parin, 1993). Selain itu, L. savala juga memakan ikan (Stolephorus, Sardinella, Dussumieria dan Carnax), udang-udangan (Penaeus dan Metapenaeus), Acetes, Squilla, Lucifer, dan Sepia (Bal dan Rao, 1990). G. serpens memakan ikan-ikan (Myctophids, Exocoetids, Sauries, dan Scombrids), cumi-cumi, dan crustacea. Menurut Huet (1971), struktur anatomis dari kategori ikan karnivora dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Struktur anatomis organ pencernaan pada ikan karnivora (Huet, 1971)

Organ Ikan Karnivora

Tulang tapis insang Sedikit, pendek, dan kaku

Rongga mulut Umumnya bergigi tajam dan kuat

Lambung Berlambung dengan bentuk yang bervariasi

Usus Pendek, terkadang lebih pendek dari panjang tubuhnya

Ikan layur memiliki migrasi vertikal diurnal yang berlawanan saat dewasa dan juvenil dalam hal mencari makan. Ikan layur dewasa pada umumnya mencari makan dekat permukaan perairan sepanjang siang hari dan migrasi ke dasar perairan saat malam. Juvenil membentuk kelompok-kelompok pada daerah 100 m di atas dasar perairan sepanjang siang hari dan membentuk kelompok untuk mencari makan saat malam hari di permukaan perairan (www.zipcodezoo.com). Ikan layur lebih dominan memanfaatkan indera penglihatannya daripada indera penciumannya dalam mencari makan sehingga ikan ini lebih peka terhadap cahaya (Setiawan, 2006).

(29)

Trichiuridae beradaptasi pada daerah benthopelagis dan secara khas menangkap mangsa dengan menunggu di perangkap. Spesies dari famili Gempylidae beradaptasi pada daerah mesopelagis, benthopelagis atau pelagis dan kebanyakan dari mereka berenang cepat saat mengejar mangsa, tetapi beberapa spesies dari Gempylidae yaitu Diplospinus dan Paradiplospinus bergerak lebih lambat atau mengapung sementara, menunggu untuk menjebak mangsa (Nakamura dan Parin, 1993). Selain itu, Gempylidae makan lebih sedikit sebelum pemijahan dan lebih banyak setelah pemijahan. Hal ini mempengaruhi proporsi kepenuhan dari lambung ikan (Mehl, 1969).

Pada penelitian sumberdaya perikanan laut menggunakan K.M. Mutiara IV di laut Jawa selama periode tahun 1974 – 1976. Diketahui bahwa konsentrasi ikan layur (Trichiuridae) terdapat pada kedalaman lebih kurang 20 meter. Ikan ini banyak tertangkap antara bulan September-November (Dwiponggo,1977 dalam Herianti dkk., 1992).

Menurut Martin dkk. (2005), ikan layur mencari makan secara nokturnal. Ikan layur saat juvenil dan remaja makan lebih intensif daripada ikan dewasa selama musim hangat. Sedangkan ikan dewasa lebih intensif makan selama musim dingin. Pemangsaan antara ikan layur yang berukuran sama sering terjadi pada saat malam hari selama musim hangat berlangsung.

Jumlah makanan ikan layur meningkat sejalan dengan peningkatan ukuran panjangnya (Bakhoum, 2007). Ukuran ikan layur berhubungan dengan kematangan seksualnya. Ikan betina tumbuh lebih cepat dan berukuran lebih besar dibandingkan ikan jantan. Ikan layur yang sudah dewasa akan mengalami penurunan laju pertumbuhan sampai ukurannya menjadi maksimum (Haweet dan Ozawa, 1996).

E. Luas relung dan tumpang tindih relung makanan

(30)

Relung makanan merupakan salah satu hal yang penting karena bisa menggambarkan kondisi antara spesies di dalam suatu perairan. Apabila terjadi tumpang tindih relung, maka memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan terhadap makanan merupakan hal penting untuk diketahui, karena berkaitan dengan kemampuan suatu organisme untuk mempertahankan keberadaannya di perairan tersebut. Persaingan terjadi antara satu spesies atau intraspesifik dan persaingan spesies dengan spesies yang lain atau interspesifik (Effendie, 1997).

Menurut Effendie (1997), ikan yang kecil menggunakan luas relung yang kecil. Semakin besar ukurannya, maka pola makanannya juga akan berubah dan akan menggunakan luas relung yang besar. Namun, variasi makanan yang besar tidak menjamin akan memberikan kisaran luas relung yang besar, karena nilai luas relung juga dipengaruhi oleh berapa besar ikan tersebut dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.

F. Hubungan panjang-berat

Analisa hubungan panjang-berat dapat digunakan untuk mempelajari pertumbuhan. Ada dua faktor yang berpengaruh dalam studi pertumbuhan yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya faktor keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon, dan kemampuan memanfaatkan makanan. Adapun faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang, dan suhu perairan (Effendie, 1979).

Persamaan hubungan panjang-berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Berat dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga berat melalui panjang (Effendie, 1997).

G. Faktor kondisi

(31)
(32)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai November 2007 di perairan Palabuhanratu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh diperoleh dari nelayan di Palabuhanratu. Lokasi pengambilan ikan contoh ditentukan berdasarkan wilayah penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan Palabuhanratu, wilayah penangkapan nelayan Palabuhanratu mencakup perairan di sekitar Palabuhanratu, Ujung Genteng bahkan mencapai perairan Krakatau dengan operasi penangkapan pada kedalaman sekitar 50 hingga 60 meter. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta lokasi penelitian (www.bakosurtanal.com)

(33)

B. Alat dan bahan

Alat yang digunakan untuk mengambil ikan contoh adalah alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan setempat yaitu adalah pancing rawai dan pancing ulur (Lampiran 1). Alat-alat yang digunakan untuk analisis laboratorium antara lain adalah ember; botol sampel; kertas label; meteran dengan ketelitian 0,1 cm; penggaris ukuran 30 cm; busur; timbangan O’Hauss dengan ketelitian 0,01 gram; satu set alat bedah; alat tulis; baki; sarung tangan; masker; mikroskop binokuler; gelas ukur; tisu; dan cawan petri. Adapun bahan yang digunakan dalam adalah ikan layur sebagai ikan yang diteliti, formalin 10 % untuk ikan mengawetkan ikan, dan formalin 4 % untuk mengawetkan organ dalam alat pencernaan.

C. Metode kerja

1. Metode kerja di lapangan

a. Pengambilan ikan contoh

Pengambilan ikan contoh dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh ditangkap dengan menggunakan pancing rawai dan pancing ulur oleh nelayan di Palabuhanratu pada kedalaman 50 – 60 m, yang dilakukan pada siang hingga malam hari dan disesuaikan dengan kondisi perairan saat itu. Mata pancing yang digunakan berukuran 7 dan 8 (Lampiran 1). Menurut informasi nelayan setempat, penangkapan ikan layur dilakukan di sekitar perairan Palabuhanratu dan terkadang mencapai perairan Krakatau. Hal ini juga disesuaikan dengan kondisi perairan saat itu seperti kondisi cuaca, angin, dan arus perairan.

(34)

pancing adalah memiliki konstruksi yang sangat sederhana, skalanya kecil, dan tidak memerlukan modal yang besar.

b. Penanganan sampel

Ikan layur yang tertangkap didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Kemudian ikan dikumpulkan oleh nelayan pengumpul dan dimasukkan ke dalam cool box yang berisi es. Sampel tersebut dibawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan dimasukkan ke dalam freezer. Selanjutnya, ikan dianalisis lebih lanjut mengenai jenisnya dan kebiasaan makanannya.

2. Metode kerja di laboratorium

a. Identifikasi ikan

Identifikasi ikan mengacu kepada Nakamura dan Parin (1993). Pengidentifikasian dilakukan dengan mengamati ciri-ciri morfologi, morfometrik, dan meristik ikan contoh. Ciri-ciri morfologi yang diamati adalah bentuk tubuh, bentuk gigi, posisi mulut, letak hidung, kelengkapan sirip, sirip ventral, sirip pektoral, bentuk sirip caudal, kelengkapan linear lateralis, finlet, slit (duri-duri kecil) pada sirip anal pertama, warna tubuh, dan warna sirip. Panjang total dan diameter mata merupakan ciri-ciri morfometrik yang diamati. Adapun ciri-ciri meristik yang diamati adalah jumlah jari-jari sirip dorsal dan anal.

b. Pengukuran dan pengamatan ikan contoh

(35)

Ikan layur dibedah menggunakan gunting bedah, dimulai dari bagian anus menuju ke bagian dorsal di bawah linear lateralis sampai ke belakang operkulum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Alat-alat pencernaan makanan ikan yang dianalisis adalah lambung, piloric caeca, dan usus (Lampiran 2). Setelah dibedah, alat pencernaan dipisahkan dari tubuh ikan, untuk selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap panjang usus dan dihitung jumlah piloric caeca. Insang ikan juga dipisahkan dari tubuhnya (Lampiran 3). Alat-alat pencernaan dan insang tersebut diawetkan menggunakan larutan formalin 4 %.

c. Identifikasi makanan ikan

Pada waktu pengamatan, saluran pencernaan dibersihkan dari formalin dengan aquades dan dikeringkan dengan tisu. Isi lambung dipisahkan dari lambung, kemudian diukur berat dan volumenya. Jenis makanan yang berukuran makro diamati secara langsung, kemudian untuk memperjelas dilihat di bawah mikroskop binokuler dan diidentifikasi jenisnya dengan buku identifikasi Holthuis (1980).

D. Analisa data

1. Penentuan kelompok ukuran panjang

Langkah-langkah dalam membuat sebaran frekuensi panjang menurut Walpole (1992) sebagai berikut :

Menentukan banyaknya kelompok ukuran yang diperlukan dengan rumus :

n = 1 + 3,32 log N

Keterangan :

n = Jumlah kelas N = Jumlah ikan

Menentukan lebar kelas setiap kelas ukuran dengan rumus :

C =

n b a

Keterangan :

C = Lebar kelas

(36)

Menentukan batas bawah kelompok ukuran yang pertama kemudian

ditambah dengan lebar kelas dikurangi satu untuk mendapatkan batas atas kelompok ukuran berikutnya.

Melakukan hal yang sama sampai kelompok ke-n.

Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas, yaitu frekuensi dibagi jumlah total dikalikan seratus persen.

2. Hubungan panjang-berat

Analisis hubungan panjang-berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk membandingkan kebiasaan makanan antar ukuran panjang dan aktifitas makan. Hubungan panjang-berat ikan digambarkan dengan menggunakan rumus umum (Effendie, 1979) :

W = aLb Keterangan :

W = Berat ikan (gram) L = Panjang total ikan (mm) a, b = Konstanta

Nilai b digunakan untuk menduga pola pertumbuhan kedua parameter yang dianalisis, dengan hipotesis :

1. Nilai b = 3 menunjukkan pola pertumbuhan isometrik. 2. Nilai b ≠ 3 menunjukkan pola pertumbuhan allometrik.

jika b > 3, maka allometrik positif (pertumbuhan bobot lebih cepat). jika b < 3, maka allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih cepat).

Penentuan nilai b dilakukan dengan uji t pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05), dengan hipotesis (Steell dan Torie, 1989):

H0 : b = 3 (pola pertumbuhan isometrik)

H1 : b ≠ 3 (pola pertumbuhan allometrik)

t hitung = Sb b13

(37)

Nilai t hitung dibandingkan dengan t tabel:

Apabila t hitung < t tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesis nol.

Apabila t hitung > t tabel maka keputusannya adalah menerima hipotesis nol.

Keeratan hubungan antara panjang dan berat ikan ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) yang diperoleh. Nilai r mendekati satu menunjukkan hubungan yang sangat erat antara kedua peubah tersebut, akan tetapi apabila r mendekati nol, maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada (Walpole, 1992).

3. Faktor kondisi

Faktor kondisi (K) dianalisis berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Bila nilai b ≠ 3 analisis faktor kondisi menggunakan rumus :

K = b

aL W

Keterangan :

K = Faktor kondisi relatif setiap ikan W = Berat ikan (gram)

L = Panjang total ikan (mm) a, b = konstanta

Untuk b = 3 maka rumus untuk analisisnya adalah :

K = 3

5

10

L W

4. Indeks kepenuhan lambung (Index of Stomach Content)

Indeks isi lambung dianalisa dengan membandingkan berat total ikan dengan berat isi lambung. Nilai yang diperoleh dinyatakan dalam persen. Indeks isi lambung ikan contoh dapat diketahui dengan menggunakan rumus perhitungan menurut Spantura dan Gophen (1982) dalam Sulistiono (1998) sebagai berikut :

ISC (%) = x100 BW

SCW

Keterangan:

(38)

5. Indeks bagian terbesar (Index of Preponderance)

Evaluasi jenis makanan dengan indeks bagian terbesar merupakan gabungan dari dua metode yaitu metode frekuensi dan metode volumetrik. Metode frekuensi kejadian dilakukan dengan cara mencatat jumlah ikan yang ususnya kosong, mencatat keberadaan organisme pada masing-masing ikan yang ususnya berisi. Metode volumetrik dilakukan dengan cara mengukur volume isi alat pencernaan tiap individu. Kemudian keringkan dengan menggunakan kertas saring atau tisu. Memisahkan masing-masing organisme yang sejenis dan ukur volumenya dengan dikeringkan terlebih dahulu. Jenis makanan yang tidak dapat ditentukan dimasukkan ke dalam kelompok makanan yang tidak teridentifikasi. Volume organisme sejenis dibandingkan dengan volume total isi pencernaan makanan dan dinyatakan dalam persen. Volume total keseluruhan jenis makanan adalah 100 %. Metode ini dikembangkan oleh Natarajan dan Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus sebagai berikut:

IP (%) = 100

IP = Indeks bagian terbesar (Index of preponderance) Vi = Persentase volume makanan jenis ke-i

Oi = Persentase frekuensi kejadian makanan ke-i n = Jumlah organisme makanan

6. Luas relung makanan

Luas relung makanan digunakan untuk mengetahui tingkat selektivitas ikan terhadap makanannya. Perhitungan luas relung makanan menggunakan ”Levin’s Measure” (Levins, 1968 dalam Krebs, 1989 ) :

Bi =

Bi = Luas relung makanan kelompok ikan ke-i

Pij = Proporsi organisme makanan ke-j yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan ke-i

n = Jumlah kelompok ikan

(39)

Nilai luas relung yang diperoleh kemudian distandarisasi agar nilai yang dihasilkan berkisar antara 0-1. Standarisasi nilai tersebut menggunakan rumus Hulbert (1978) dalam Krebs (1989) :

Ba =

Ba = Standarisasi luas relung Levins (kisaran 0-1)

Bi = Luas relung Levins

n = Jumlah jenis organisme makanan yang dimanfaatkan

7. Tumpang tindih relung makanan

Tumpang tindih relung makanan digunakan untuk menghitung kesamaan makanan antara ikan jantan dan betina serta antar kelompok ukuran ikan. Perhitungan tumpang tindih relung makanan menggunakan indeks Morisita yang disederhanakan dan diusulkan oleh Horn (1966) dalam Krebs (1989) :

CH =

CH = Indeks Morisita-Horn

n = Jumlah sumberdaya makanan yang dimanfaatkan

(40)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi hasil tangkapan ikan layur

Lokasi penangkapan ikan layur golok (L. savala), ikan layur melei (T. lepturus) dan ikan layur gelang luyung (G. serpens) berada di sekitar perairan Palabuhanratu, Ujung Genteng bahkan mencapai perairan Krakatau. Hasil tangkapan ikan layur yang ditangkap pada bulan Juli, September, dan November 2007 tercantum dalam Tabel 4.

(41)

memilih ikan lain yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi walaupun ikan layur merupakan salah satu komoditas ekspor tetapi ada kriteria tertentu yang harus dimiliki ikan layur agar bisa diekspor dan terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini didukung dengan pernyataan Anita (2003) bahwa ikan layur yang biasa di ekspor dari Palabuhanratu adalah ikan layur jenis Trichiurus savala dengan kisaran berat 200 – 700 gram/ekor, tidak boleh berada dalam keadaan cacat berupa ekor putus lebih dari 15 cm, perut pecah serta luka-luka pada tubuhnya. Oleh karena pertimbangan mengenai karakteristik yang harus dipenuhi serta pertimbangan lainnya seperti biaya operasi yang mahal dalam sekali penangkapan, maka nelayan lebih memilih untuk menangkap ikan lain yang lebih ekonomis tinggi sehingga bisa mendapatkan untung lebih.

Berdasarkan total penangkapan dari ketiga spesies ikan layur, ikan layur gelang luyung memiliki jumlah tangkapan yang paling sedikit. Ikan layur gelang luyung yang tertangkap merupakan ikan dewasa dengan kisaran panjang dan berat (728,14 ± 65,51 mm; 491,03 ± 162,61 gram). Hal ini diduga pada saat penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pada sore hingga malam hari dengan kedalaman operasi penangkapan sekitar 50 – 60 meter, ikan gelang luyung sedang bermigrasi ke habitatnya yang tersebar pada kedalaman sekitar 200 meter. Ini didukung dengan pernyataan dalam www.zipcodezoo.com, bahwa ikan layur dewasa umumnya mencari makan di sekitar permukaan perairan sepanjang siang hari dan bermigrasi ke dasar perairan saat malam hari. Selain itu, diduga saat penangkapan berlangsung ikan layur gelang luyung dapat menghindar dari pancing rawai yang dipasang oleh nelayan sehingga tidak tertangkap. Hal ini didukung oleh Nakamura dan Parin (1993) yang menyatakan bahwa G. serpens merupakan perenang cepat. Jika dikaitkan dengan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan G. serpens yang berupa ikan dan cumi-cumi, kemungkinan ikan ini lebih menyukai untuk berada di habitat mangsanya sehingga tidak berada di habitatnya seperti biasa.

(42)

± 164,73 mm; 240,42 ± 159,00 gram). Dilihat dari kisaran panjang-berat kedua ikan ini, dapat dikatakan bahwa ikan yang tertangkap terdiri dari ikan layur remaja dan dewasa. Ini merujuk pada Martin dkk. (2005) bahwa ikan layur dibagi kedalam 4 kategori berdasarkan ukurannya, yaitu juvenil (5 – 30 cm ), remaja (30 – 70 cm), dewasa (70 – 100 cm), dan tua (> 100 cm). Ikan layur remaja dan dewasa memiliki tingkah laku yang berlawanan. Ikan layur remaja secara berkelompok tersebar di dekat permukaaan perairan untuk mencari makan pada malam hari dan menyebar secara berkelompok dari dasar hingga permukaan perairan pada siang hari, sedangkan ikan layur dewasa sebaliknya (www.zipcodezoo.com). Hal ini mungkin bisa menjadi salah satu penyebab kenapa total penangkapan ikan layur golok paling besar dengan komposisi tangkapan (ikan remaja sebesar 76 ekor dan ikan dewasa sebesar 25 ekor) jika dibandingkan dengan ikan layur lainnya. Ikan layur golok remaja yang berkelompok untuk mencari makan pada malam hari tertangkap oleh nelayan yang sedang beroperasi pada sore hingga malam hari di sekitar permukaan perairan. Adapun ikan layur golok dewasa diduga tertangkap saat bermigrasi ke dasar perairan pada sore hari. Selain itu, musim penangkapan bisa menjadi salah satu pendugaan terhadap kuantitas penangkapan ikan ini. Penangkapan ikan pada penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, September, dan November. Dari bulan-bulan tersebut, bisa dikatakan bahwa penangkapan berlangsung pada musim timur (Juli-September) yang merupakan musim banyak ikan dikarenakan keadaan perairan cukup baik sehingga mendukung operasi penangkapan nelayan.

(43)

B. Kebiasaan makanan ikan

1. Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan

Ikan layur secara keseluruhan memiliki struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan yang hampir sama. Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan yang dianalisis berupa tinggi kepala, panjang usus ikan, lebar bukaan mulut ikan, struktur gigi dan komponen pakan yang dikonsumsi ikan. Beberapa perbedaan struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan serta kebiasaan makanan dari ketiga spesies ikan layur terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai kisaran TK/TB, nilai kisaran LBM/LK, struktur gigi, nilai kisaran PU/PT, dan komponen pakan dominan

(44)
(45)

memiliki nilai kisaran PU/PT yang paling besar jika dibandingkan dengan kedua ikan layur lainnya. Jika dihubungkan antara nilai PU/PT dengan ukuran makanan yang dikonsumsi oleh ikan ini, ukuran makanan ikan ini lebih besar dibandingkan dengan ukuran makanan ikan layur lainnya yaitu berkisar antara 0,74 – 17,07 gram.

2. Tingkat kepenuhan lambung

Indeks isi lambung merupakan indikasi untuk menentukan aktifitas makanan ikan per waktu penangkapan. Lambung dari ketiga spesies ikan layur pada setiap bulan penangkapan memiliki komposisi yang berbeda-beda. Pada ikan L. savala, kepenuhan lambung terbesar terdapat pada bulan November. Nilai indeks kepenuhan lambung untuk ikan ini dari bulan Juli hingga November secara signifikan meningkat. Hal ini diduga karena ikan ini sedang aktif mencari makan sehingga lambung lebih banyak yang berisi. Adapun pada ikan T. lepturus menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan ikan L. savala yaitu nilai indeks kepenuhan lambungnya dari bulan Juli hingga November menurun. Pada ikan G. serpens, indeks kepenuhan lambung hanya diperoleh pada bulan September dan tidak ditemukan pada bulan Juli dan November. Hal ini diduga karena jumlah sampel untuk ikan ini paling sedikit jika dibandingkan dengan kedua jenis ikan layur lainnya.

(46)

kondisi lambung dari ikan. Cara penanganan yang kurang baik dapat memberikan tekanan pada ikan sehingga mengganggu jalannya proses pencernaan dalam tubuh khususnya pada lambung. Proporsi lambung ikan yang kosong dari ketiga spesies mungkin disebabkan oleh ketersediaan makanan yang terbatas pada habitat masing-masing ikan. Adapun indeks kepenuhan lambung ikan layur berdasarkan waktu penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

J u l i

Gambar 6. Indeks kepenuhan lambung ikan layur di perairan Palabuhanratu Lepturacanthus savala

Trichiurus lepturus

(47)

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan layur golok (L. savala) yang ditangkap selama tiga bulan, lambung berisi yang terbesar adalah pada bulan September. Hal ini diduga karena ikan layur yang tertangkap sedang melakukan aktifitas mencari makan saat tertangkap dan ikan ini belum matang gonad sehingga intensitas makannya aktif untuk mendukung proses pertumbuhannya. Pengamatan yang dilakukan terhadap lambung ikan layur golok yang berisi makanan terdiri dari ikan, udang dan organisme yang tidak teridentifikasi (terdiri dari organisme tercerna dan organisme tidak teridentifikasi).

Proporsi lambung ikan layur melei (T. lepturus) diperoleh dari 71 ekor ikan contoh. Kebanyakan kondisi lambung dari ikan contoh yang diperoleh berada dalam keadaan yang baik. Berdasarkan pengamatan terhadap lambung yang berisi makanan, jenis makanan ikan layur melei terdiri dari ikan, udang, cumi-cumi dan organisme yang tidak teridentifikasi (terdiri dari organisme tercerna dan organisme tidak teridentifikasi).

(48)

BULAN SEPTEMBER

Berdasarkan proporsi lambung yang terdapat pada ikan layur, dapat dibagi berdasarkan waktu penangkapannya. Proporsi lambung ikan layur yang berisi dapat dilihat pada Gambar 7. Adapun proporsi lambung yang kosong dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7. Proporsi lambung ikan layur yang kosong berdasarkan waktu penelitian di Palabuhanratu

(49)

3. Komposisi makanan ikan layur berdasarkan waktu penangkapan

(50)

SEPTEMBER

komposisi makanan ikan L. savala, T. lepturus, dan G. serpens berdasarkan waktu penelitiannya, masing-masing dapat dilihat pada Gambar 9, 10, dan 11.

Gambar 9. Komposisi makanan ikan L. savala berdasarkan waktu penelitian

Gambar 10. Komposisi makanan ikan T. lepturus berdasarkan waktu penelitian

Gambar 11. Komposisi makanan ikan G. serpens berdasarkan waktu penelitian

(51)

4. Komposisi makanan ikan layur berdasarkan kelas ukuran panjang

Makanan utama ikan L. savala jantan berdasarkan selang kelas ukuran panjang adalah ikan. Makanan pelengkap berupa udang terdapat pada kelas ukuran panjang 351 - 431 mm, 594 - 674 mm, 675 – 755 mm. Namun pada kelas ukuran 756 – 836 mm, makanan utamanya berupa udang dan makanan pelengkapnya berupa ikan. Makanan yang diperoleh pada ikan ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran panjangnya maka semakin seragam jenis makanan yang dikonsumsinya. Adapun komposisi makanan dari ikan L. savala jantan berdasarkan kelas ukuran panjang dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Komposisi makanan ikan L. savala jantan berdasarkan kelas ukuran

(52)

Ikan L. savala betina berdasarkan kelas ukuran panjangnya memiliki makanan utama berupa ikan. Makanan pelengkap berupa udang terdapat pada kelas ukuran 594 – 674 mm. Secara umum, makanan dari ikan ini seragam pada setiap kelas ukuran panjangnya. Hal ini diduga karena ikan ini masih satu spesies sehingga makanan yang dikonsumsi cenderung sama pada kelas ukuran panjang yang berbeda. Adapun komposisi makanan ikan L. savala betina berdasarkan kelas ukuran panjangnya dapat dilihat pada Gambar 13.

Berdasarkan kelas ukuran panjang, ikan T. lepturus jantan memiliki makanan utama berupa ikan pada kelas ukuran 351 – 431 mm, 594 – 674 mm dan 756 – 836 mm. Adapun pada kelas ukuran panjang 270 – 350 mm, makanan utamanya berupa udang dan pada kelas ukuran panjang 513 – 593 mm, makanan utamnya berupa cumi-cumi. Makanan dari masing-masing kelas ukuran panjang ikan T. lepturus jantan ini relatif berbeda jika dilihat dari kelas ukuran panjangnya. Secara umum, makanan yang dikonsumsi oleh ikan ini berupa ikan,

513-593 mm

(53)

udang dan cumi-cumi. Adapun komposisi makanan ikan T. lepturus jantan berdasarkan kelas ukuran panjangnya dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Komposisi makanan ikan T. lepturus jantan berdasarkan kelas ukuran

Komposisi makanan ikan T. lepturus betina berdasarkan kelas ukuran panjang terdiri dari empat kelompok ukuran. Kelompok ukuran panjangnya masing-masing adalah 513 – 593 mm, 594 – 674 mm, 837 – 917 mm, dan 756 – 836 mm. Secara umum, makanan utama dari masing-masing kelas ukuran panjang berupa ikan namun pada kelas ukuran 594 – 674 mm, makanan utamanya berupa udang. Hal ini diduga karena udang merupakan salah satu makanan yang disukai oleh ikan layur sehingga memungkinkan untuk menjadi makanan utama

(54)

dari ikan layur. Adapun komposisi makanan ikan T. lepturus betina berdasarkan kelas ukuran panjangnya dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Komposisi makanan ikan T. lepturus betina berdasarkan kelas ukuran

Pada ikan G. serpens jantan, makanan utama berdasarkan kelas ukuran panjangnya relatif sama yaitu berupa ikan. Komposisi makanan pada ikan ini terbagi dalam tiga kelompok ukuran yaitu 594 – 674 mm, 675 – 755 mm, dan 756 – 836 mm. Jenis makanan dari ikan G. serpens jantan semakin seragam bila ukurannya semakin panjang. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan ikan dalam mengkonsumsi makanan dan bukaan mulutnya. Adapun komposisi makanan G. serpens jantan berdasarkan kelas ukuran panjang terlihat pada Gambar 16.

594-674 mm

udang 68% ikan

3% tidak

teridentifikasi 29%

513-593 mm

ikan 70% tidak

teridentifikasi 30%

756-836 mm

ikan 55% tidak

teridentifikasi 45%

837-917 mm

tidak teridentifikasi

10%

(55)

Gambar 16. Komposisi makanan ikan G. serpens jantan berdasarkan kelas ukuran berukuran besar dan dewasa sehingga ikan ini lebih cenderung mencari makanan yang berukuran besar untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Adapun komposisi makanan ikan G. serpens betina berdasarkan kelas ukuran panjangnya dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Komposisi makanan ikan G. serpens betina berdasarkan kelas ukuran

(56)

5. Luas relung makanan

a. Luas relung makanan berdasarkan jenis ikan

Berdasarkan pengamatan ketiga spesies ikan layur, nilai luas relung makanan ikan layur tertinggi terdapat pada ikan layur melei (T. lepturus) yaitu 1,7922. Hal ini mungkin disebabkan oleh jenis organisme makanan yang terdapat pada ikan layur melei lebih beragam dibandingkan dengan ikan layur lainnya. Ukuran tubuh dari ikan layur melei yang tertangkap diduga berhubungan dengan luas relung makanan yang diperoleh. Ikan layur melei yang tertangkap banyak yang dewasa dan ukurannya besar-besar sehingga membutuhkan makanan yang banyak pula. Menurut Effendie (1997), semakin besar ukuran ikan, maka pola makanannya berbeda dengan ikan kecil dan akan menggunakan luas relung yang besar. Luas relung makanan yang terendah diperoleh pada ikan layur golok (L. savala), yaitu sebesar 1,2228. Nilai ini diduga dikarenakan ikan layur golok lebih menyukai mengkonsumsi ikan daripada memilih makanan lain. Selain itu, diduga bahwa ikan layur golok yang tertangkap masih remaja sehingga ukuran lebar bukaan mulutnya tidak memungkinkan untuk mengkonsumsi makanan lain. Luas relung makanan dari ketiga spesies ikan layur selama penelitian di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas relung makanan ketiga spesies ikan layur selama penelitian di Palabuhanratu

No Nama local Nama latin Luas relung

(Bi)

Standarisasi (Ba)

1 layur golok L. savala 1,2228 0,0446

2 layur melei T. lepturus 1,7922 0,1320

3 layur gelang luyung G. serpens 1,4956 0,1652

b. Luas relung makanan ikan layur golok

(57)

organisme makanan yang hampir sama. Latar belakang yang sama yaitu berasal dari spesies yang sama memungkinkan kedua ikan ini memiliki luas relung makanan yang sama. Nilai luas relung makanan yang relatif sama bisa mengindikasikan terjadinya persaingan intraspesifik pada spesies ini. Apabila kedua ikan ini mendiami habitat yang sama dan memanfaatkan makanan yang sama, maka persaingan dalam mengambil makanan tidak dapat dihindari. Nilai luas relung makanan ikan layur golok (L. savala) berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas relung makanan ikan layur golok (L. savala) berdasarkan jenis kelamin ikan selama penelitian

Jenis kelamin Luas relung (Bi) Standarisasi (Ba)

Jantan 1,2204 0,0441

Betina 1,2166 0,0722

c. Luas relung makanan ikan layur melei

(58)

Tabel 8. Luas relung makanan ikan layur melei (T. lepturus) berdasarkan jenis kelamin ikan selama penelitian

Jenis kelamin Luas relung (Bi) Standarisasi (Ba)

Jantan 1,7286 0,1214

Betina 1,6925 0,1731

d. Luas relung makanan ikan gelang luyung

Luas relung makanan ikan gelang luyung jantan dan betina masing-masing sebesar 2,0630 dan 1,1284. Ikan gelang luyung jantan memiliki luas relung yang lebih besar daripada ikan betina. Penyebabnya diduga karena ikan gelang luyung jantan memanfaatkan jenis organisme makanan yang lebih beragam dibandingkan ikan gelang luyung betina. Menurut Colwell dan Futuyma (1971) bahwa luas relung makanan yang besar menunjukkan ikan mengkonsumsi jenis makanan yang beragam, sedangkan luas relung yang kecil menunjukkan ikan lebih spesifik dalam memilih makanannya. Ikan jantan diduga lebih kuat dalam bersaing mencari makan dibandingkan ikan betina sehingga memperoleh makanan yang lebih beragam. Selain itu, ikan jantan yang tertangkap lebih banyak yang remaja sehingga diduga ikan ini sedang aktif mencari makan untuk mendukung proses pertumbuhannya. Adapun nilai luas relung makanan ikan gelang luyung (G. serpens) berdasarkan jenis kelaminnya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Luas relung makanan ikan gelang luyung (G. serpens) berdasarkan jenis kelamin ikan selama penelitian

Jenis kelamin Luas relung (Bi) Standarisasi (Ba)

Jantan 2,0630 0,3543

Betina 1,1284 0,0642

e. Luas relung makanan ikan layur berdasarkan jenis kelamin

(59)

memiliki pola grafik yang sama yaitu ikan betina memiliki luas relung yang lebih tinggi dibandingkan ikan jantannya. Namun untuk ikan G. serpens berbeda dari kedua jenis layur lainnya, luas relung ikan betina lebih rendah daripada ikan jantannya. Hal ini diduga karena ikan L. savala dan T. lepturus berasal dari famili yang sama yaitu famili Trichiuridae. Luas relung makanan ketiga spesies ikan layur berdasarkan jenis kelaminnya dapat dilihat pada Gambar 18.

0.00

Lepturacanthus savala Trichiurus lepturus Gempylus serpens

Jenis ikan

Gambar 18. Luas relung ketiga spesies ikan layur berdasarkan jenis kelamin

f. Luas relung makanan ikan berdasarkan distribusi frekuensi panjang

(60)

10, bahwa secara umum nilai luas relung makanan ikan yang berada pada kelas ukuran yang lebih besar akan lebih besar daripada ikan yang berada pada kelas ukuran yang lebih kecil, sebagai contoh yaitu nilai luas relung makanan ikan jantan pada kelas ukuran 351 – 431 mm lebih besar daripada nilai luas relung makanan pada kelas ukuran 270 – 350 mm (yaitu 1,22 dan 1,00). Luas relung makanan ikan layur golok berdasarkan kelas ukuran panjang dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas relung makanan ikan layur golok berdasarkan kelas ukuran panjang

Betina Jantan

Kelompok

Ukuran (mm) Luas Relung Standarisasi Luas Relung Standarisasi

270-350 0,00 0,00 1,00 0,00

351-431 0,00 0,00 1,22 0,22

432-512 0,00 0,00 1,91 0,91

513-593 1,32 0,32 1,27 0,27

594-674 1,33 0,17 1,31 0,16

675-755 1,54 0,54 1,32 0,16

756-836 1,07 0,07 2,23 0,62

837-917 0,00 0,00 0,00 0,00

918-998 1,55 0,55 0,00 0,00

Gambar

Gambar 5. Peta lokasi penelitian
Tabel 4.  Komposisi hasil tangkapan ikan layur selama penelitian di perairan Palabuhanratu
Tabel 5. Nilai kisaran TK/TB, nilai kisaran LBM/LK, struktur gigi, nilai kisaran PU/PT, dan komponen pakan dominan
Gambar 6.  Indeks kepenuhan lambung ikan layur di perairan Palabuhanratu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terhadap ikan ini bertujuan untuk mengetahui salah satu aspek biologi yaitu kebiasaan makanan yang meliputi tingkat konsumsi makanan, komposisi jenis makanan,

Penelitian ini ditujukan untuk : (1) mengetahui pengaruh ukuran mata jaring terhadap h a d tangkapan ikan tongkol (Auxis thazard), jumlah total, berat total, dan ukuran

Penelitian ini ditujukan untuk : (1) mengetahui pengaruh ukuran mata jaring terhadap h a d tangkapan ikan tongkol (Auxis thazard), jumlah total, berat total, dan ukuran

Berdasarkan kedua tabel tersebut terlihat bahwa selama pemeliharaan, ketiga kelompok ukuran ikan gurame mengalami pertumbuhan baik panjang maupun berat.. Hal ini

Dari hasil perhitungan total IRP seluruh kelas ukuran, dapat ditentukan jenis makanan utama ikan gelodok (Mudskipper) di perairan pantai kota Dumai adalah Holometopus

selanjutnya adalah jenis ikan sarden dan paling sedikit dari jenis kakap putih. Sedangkan dari perairan Tawang, Kendal, jenis makanan yang paling banyak dijumpai

Perubahan makanan seiring dengan ber- tambahnya ukuran panjang tubuh terjadi pada ikan bilis di perairan Pantai Mayangan.. Gambar 4 menunjukkan bahwa jenis makanan

Peluang pasar ekspor komoditas ikan layur, merupakan peluang besar untuk perkembangan perikanan layur. Sistem rantai pasok yang efektif perlu dibangun untuk dapat