• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KEBIASAAN MAKANAN IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KEBIASAAN MAKANAN IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

Oleh :

FITRI WULAN SARI

C24104016

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

ii

Yunizar Ernawati).

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kebiasaan makanan ikan layur dari ketiga spesies (famili Trichiuridae yaitu Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala, serta famili Gempylidae yaitu Gempylus serpens) dengan parameter yang dikaji adalah hubungan panjang-berat, komposisi jenis makanan, faktor kondisi, indeks bagian terbesar (Index of Preponderance), indeks kepenuhan lambung, luas relung makanan dan tumpang tindih relung makanan. Dari studi ini diharapkan dapat diperoleh informasi dasar yang dapat dijadikan acuan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan ikan layur di Indonesia, khususnya di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai November 2007 di perairan Palabuhanratu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh diperoleh dari nelayan di Palabuhanratu. Lokasi pengambilan ikan contoh ditentukan berdasarkan wilayah penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu. Ikan contoh kemudian dibawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya, ikan dianalisis lebih lanjut mengenai jenis dan makanannya.

Ikan L. savala yang tertangkap memiliki kisaran panjang dan berat yaitu 643,53 ± 100,38 mm dan 242,23 ± 110,32 gram. Adapun nilai kisaran panjang dan berat ikan T. lepturus yang tertangkap yaitu 687,07 ± 164,73 mm dan 240,42 ± 159,00 gram. Pada ikan G. serpens nilai kisaran panjang dan beratnya adalah 728,14 ± 65,51 mm dan 491,03 ± 162,61 gram.

Berdasarkan hasil penelitian, makanan utama dari ketiga spesies ikan layur (L. savala, T. lepturus dan G. serpens) adalah kelompok ikan. Hasil analisis terhadap makanan dan pengamatan terhadap struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan menunjukkan bahwa ikan layur golok, ikan layur melei dan ikan gelang luyung merupakan ikan karnivora. Nilai tumpang tindih relung makanan antara ketiga jenis ikan layur jantan dan betina yang berkisar antara 0,7328 – 0,9607 dan 0,9621 – 0,9988. Nilai ini menunjukkan bahwa dapat terjadi persaingan intraspesifik dan interspesifik pada ikan layur.

(3)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

JAWA BARAT

Oleh :

FITRI WULAN SARI

C24104016

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(4)

Judul : STUDI KEBIASAAN MAKANAN IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

Nama Mahasiswa : Fitri Wulan Sari Nomor Pokok : C24104016

Departemen : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui :

I. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS.

NIP. 132 084 932 NIP. 130 808 228

II. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 131 578 799

(5)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul ” Studi Kebiasaan Makanan Ikan

Layur (Superfamili Trichiuroidea) Di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sadar bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dalam dunia pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

(6)

v

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang

telah sabar dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing II dan pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama penelitian dan kuliah di IPB.

3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan-masukan yang membangun bagi penulis. 4. Ibu Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. selaku dosen penguji Departemen yang

telah memberikan saran dan pengarahan bagi penulis.

5. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti proyek penelitian dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

6. Kedua orang tua, kakak dan abang, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis.

7. Teman satu penelitian (Devi dan Irwan) dan teman-teman seperjuangan di Pondok Annur tercinta (Ayue can, Enta can, Nita can dan tante) yang telah berbagi suka duka selama kita bersama.

8. Teman-teman MSP, khususnya angkatan 41, serta semua pihak yang telah memberikan kenangan terindah buat penulis dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perairan Palabuhanratu adalah perairan yang terletak di selatan Jawa yang merupakan bagian dari kawasan Samudera Hindia. Secara geografis, Palabuhanratu terletak pada posisi 1000 10’ – 1060 30’ BT dan 60 50’ – 70 30’ LS. Perairan ini mempunyai potensi yang baik dalam hal sumberdaya perikanan. Salah satu sumberdaya perikanan yang ditangkap di Palabuhanratu adalah ikan layur. Saat ini harga ikan layur cukup tinggi di pasar ekspor sehingga tingkat eksploitasi ikan ini semakin tinggi. Adapun negara-negara tujuan ekspor ikan layur meliputi Jepang, Korea, Taiwan, dan Amerika (Wewengkang, 2002).

Ikan layur merupakan ikan demersal yang merupakan salah satu komoditas ekspor dan banyak ditemukan di pantai-pantai Jawa dan muara-muara sungai di Sumatera. Ikan demersal adalah jenis ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan dan berenang secara soliter. Daerah penyebaran ikan layur ini meliputi perairan pantai seluruh Indonesia, seperti Tuban, Lawang, Jampang, Palabuhanratu, Cibanteng, Ujung Genteng, dan Sukawayana (www.pipp.dkp). Menurut Nontji (1987), di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan layur. Jenis layur yang banyak terdapat di perairan pantai Pulau Jawa adalah jenis Trichiurus haumela. Selain itu pada beberapa muara sungai di Sumatera umumnya dijumpai pula ikan layur berukuran kecil yaitu Trichiurus glosdon dan Trichiurus savala.

Dalam studi ini, ikan layur yang menjadi fokus kajian terdiri dari dua famili yaitu famili Trichiuridae dan famili Gempylidae. Famili Trichiuridae meliputi ikan Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala dengan nama lokalnya di Palabuhanratu masing-masing adalah ikan layur melei dan layur golok. Adapun spesies yang termasuk famili Gempylidae adalah Gempylus serpens dengan nama lokalnya ikan layur gelang luyung di Palabuhanratu. Secara taksonomis kekerabatan antara 2 jenis pertama dengan layur gelang luyung sangat jauh, namun dalam studi ini dijadikan satu kajian karena memiliki kemiripan dalam nama lokalnya.

Makanan sebagai komponen lingkungan merupakan faktor ekologis yang memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kepadatan populasi,

(8)

dinamika populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan kondisi ikan (Nikolsky, 1963; Royce, 1972). Adapun jenis makanan ikan biasanya bergantung kepada umur, tempat dan waktu. Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan dan dapat dilihat hubungan ekologi di antara organisme di dalam perairan itu, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan (Effendie, 1997).

Pemanfaatan dan penangkapan ikan layur saat ini sudah banyak namun studi mengenai aspek biologi ikan layur belum banyak dilakukan di Indonesia. Studi yang telah dilakukan mengenai ikan layur di Indonesia lebih fokus kepada teknik penangkapan ikan layur. Oleh karena itu, perlu dilakukannya studi mengenai kebiasaan makanan ikan layur sebagai salah satu aspek biologi ikan layur.

B. Perumusan masalah

Ikan layur memiliki potensi yang baik bagi perikanan di perairan Palabuhanratu. Kondisi ini menyebabkan semakin tingginya tingkat penangkapan ikan ini. Adanya penangkapan pada ikan layur yang berlangsung secara terus-menerus tanpa adanya pengelolaan yang baik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap jumlah populasi ikan layur sehingga dapat mempengaruhi populasi ikan lainnya dalam kaitannya dengan rantai makanan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik agar ikan layur sebagai salah satu sumberdaya perikanan Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimum dan tetap lestari.

Pengelolaan terhadap ikan layur dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pertumbuhan, reproduksi, genetik, makanan, pola migrasi, dan lain-lain. Namun, studi ini difokuskan untuk menelaah kebiasaan makanan ikan layur. Dengan diketahuinya jenis-jenis dan komposisi makanan yang menjadi kebiasaan makanan ikan layur yang berada di Palabuhanratu, diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dasar pertimbangan dalam pengelolaannya.

C. Tujuan dan manfaat penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan layur dari ketiga spesies (famili Trichiuridae yaitu T. lepturus dan L. savala, serta famili

(9)

Gempylidae yaitu G. serpens) dengan parameter yang dikaji adalah indeks kepenuhan lambung, komposisi jenis makanan, luas relung makanan, tumpang tindih relung makanan, pola pertumbuhan, dan faktor kondisi. Dari studi ini diharapkan dapat diperoleh informasi dasar yang dapat dijadikan acuan bagi pengelolaan sumberdaya perikanan ikan layur di Indonesia, khususnya di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan morfologi spesies

Penelitian mengenai kebiasaan makanan ikan layur mencakup 2 famili (Trichiuridae dan Gempylidae) dan 3 genus (Trichiurus, Lepturacanthus dan Gempylus). Famili Trichiuridae terdiri dari 2 genus yaitu Trichiurus dan Lepturacanthus. Famili Gempylidae terdiri dari genus Gempylus. Adapun klasifikasi ikan layur menurut Nakamura dan Parin (1993) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidei Superfamili : Trichiuroidea Famili : Trichiuridae Genus : Trichiurus

Lepturacanthus

Spesies : Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Famili : Gempylidae

Genus : Gempylus

Spesies : Gempylus serpens Cuvier, 1829

Ikan layur (T. lepturus) dikenal dengan nama umum kharoda (Oman), largehead hairtail (Inggris), pez sable (Spanyol) dan poisson sabre commun (Perancis). Nama lokal ikan ini adalah ikan melei (Palabuhanratu), ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura), dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

Spesies T. lepturus memiliki ciri-ciri morfologis yaitu badan sangat panjang dan tipis seperti pita, badan menyempit sampai bagian posterior. Mulut sangat

(11)

besar, taring kecil berbentuk lengkungan pada ujung rahang atas, penutup insang cekung, mata sangat besar, diameternya 5 - 7 kali pada panjang kepala. Sirip dorsalnya panjang dan tinggi dengan 3 jari-jari sirip lemah mengeras dan 130 - 135 jari-jari sirip lemah, sirip pektoral agak pendek, sirip ekornya tidak ada. Warnanya biru keperakan saat segar, sirip pektoralnya semitransparan, sirip lainnya terkadang berwarna kuning pucat dan terkadang warnanya menjadi perak abu-abu saat mati. T. lepturus memiliki karakter yaitu panjang total maksimum 120 cm, umumnya antara 50 dan 100 cm. Gigi taring pada rahang atas melengkung (Nakamura dan Parin, 1993). Tampilan morfologis dari ikan layur (T. lepturus) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan layur melei (T. lepturus Linnaeus, 1758) (Dokumentasi Pribadi)

Jenis L. savala memiliki nama sinonim antara lain Trichiurus armatus dan Trichiurus roelandti. Nama umum antara lain layor (Malaysia), laying (Filipina), savalai hairtail (Inggris) dan smallhead hairtail (Amerika Serikat). Nama lokalnya adalah ikan golok (Palabuhanratu), ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura) dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

Ciri-ciri morfologis ikan ini yaitu badan yang memanjang, tipis, seperti pita dan menyempit sampai ke satu titik (penyempitan caudal sangat panjang). Panjang moncong sekitar 2 - 2,5 kali pada panjang kepala. Mata kecil dengan diameter sekitar 7 – 9 kali daripada panjang kepala. Mulut sangat besar dengan dermal di ujung rahang, 2 - 3 taring melengkung dan 2 gigi canine berukuran kecil pada rahang atas. Taring pada bagian anterior rahang bawah tidak melengkung. Penutup insang paling belakang berbentuk cekung. Sirip dorsal tunggal dengan 3 - 4 jari-jari sirip lemah mengeras dan 110 – 120 jari-jari sirip lemah. Sirip analnya merupakan sirip yang kecil (sekitar 75 buah). Sirip pektoral sedikit lebih

(12)

pendek daripada moncong dengan 1 jari-jari sirip lemah mengeras dan 10 jari-jari sirip lemah. Sirip ventral dan caudal tidak ada. Garis lateral lebih dekat dengan ventral daripada dorsal. Badannya berwarna biru dengan refleksi perak keputihan, bagian tepi anus berwarna pucat, bagian tepi sirip caudal berwarna putih, dan kedua rahang berwarna hitam. L. savala memiliki karakter yaitu moncong yang panjang, panjangnya sekitar 2 - 2,5 kali pada panjang kepala. Panjang maksimum 100 cm, umumnya panjang total 30 - 70 cm. Matanya kecil, diameternya sekitar 7 - 9 kali daripada panjang kepala (Nakamura dan Parin, 1993). Tampilan morfologis dari ikan layur (L. savala) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan layur golok (L. savala Cuvier, 1829) (Dokumentasi Pribadi)

Jenis ikan yang ketiga berbeda dari kedua ikan di atas dan termasuk ke dalam famili Gempylidae. Spesies G. serpens memiliki nama sinonim antara lain Acinacea notha, Lemnisoma thyrsitoides dan Gempylus ophidianus. Nama umumnya antara lain snake mackerel (Kanada), gempyl (Hawai), escolier serpent (Perancis), dan balam (India). Nama lokalnya di Palabuhanratu adalah ikan gelang luyung. Adapun nama lokal lainnya adalah ikan baledang (daerah Sibolga dan Bungus), lajuru (Sulawesi selatan), romu (Ambon), jogor (Jawa), lajur (Madura), dan komu kacang (Saparua) (www.pipp.dkp.go.id).

G. serpens memiliki ciri-ciri morfologis yaitu badan panjang dan tipis, panjang kepala 5,5 – 6 kali panjang tubuhnya, rahang pada bagian anterior lebih kecil, pada rahang atas terdapat 3 taring yang tidak dapat digerakkan dan 0 – 3 taring yang dapat digerakkan, tidak ada taring pada rahang bawah. Sirip dorsal pertama berjumlah 116 – 122 buah dan siripnya sangat panjang. Sirip dorsal kedua berjumlah 11 - 14 jari-jari sirip lemah dan diikuti dengan 5 – 6 finlet. Sirip anal dengan 2 jari-jari sirip keras, 1 jari-jari sirip lemah mengeras, 10 – 12 jari-jari sirip lemah dan diikuti dengan 6 - 7 finlet. Sirip pektoral dengan 12 – 15 sirip

(13)

lemah. Sirip ventral terdiri dari 1 jari-jari sirip keras dan 3 – 4 jari-jari sirip lemah. Garis lateralnya berjumlah 2, keduanya dimulai dari sirip dorsal pertama. Garis lateral yang atas mengikuti keliling dorsal dan garis lateral yang bawah secara bertahap turun hingga mencapai bagian tengah badan. Vertebra berjumlah 48 – 55 buah, terdiri dari 24 – 29 precaudal dan 23 – 26 caudal. Badannya berwarna coklat tua dan semua siripnya berwarna coklat tua dengan garis tepi lebih gelap. G. serpens memiliki karakter yaitu panjang maksimum standar sekitar 1 meter, umumnya mencapai 60 cm (Nakamura dan Parin, 1993). Tampilan morfologis dari ikan layur (G. serpens) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Ikan layur gelang luyung (G. serpens Cuvier, 1829) (Dokumentasi Pribadi)

B. Keadaan umum perairan palabuhanratu

Teluk Palabuhanratu merupakan perairan yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk dalam wilayah Sukabumi. Secara geografis perairan Palabuhanratu terletak antara 6050’ – 7030’ LS dan 100010’ – 106030’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Topografi dasar lautnya curam dengan kedalaman 3 - 4 m (muara) pada jarak 200 meter di tengah perairan yang merupakan lereng continental shelf. Kondisi oseanografis pada kedalaman 0 - 200 m seperti suhu, salinitas, dan oksigen terlarut telah diteliti sebelumnya. Suhu berada pada kisaran 140C – 280C, salinitas pada kisaran 35 0/00 – 36 0/00 dan oksigen terlarut 8,0 ml/L – 2,4 ml/L (Purba dkk., 1994).

Sebagian besar nelayan di Palabuhanratu melakukan operasi penangkapan ikan di setiap musim pada sepanjang tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, terdapat empat periode musim penangkapan ikan, yaitu musim barat (Desember-Februari), musim timur (Juni-Agustus), musim peralihan antara musim barat ke musim timur dan musim peralihan antara musim timur ke musim barat. Pada musim barat kondisi teluk Palabuhanratu relatif buruk. Angin bertiup

(14)

kencang disertai dengan hujan lebat. Angin kencang tersebut menimbulkan gelombang yang relatif besar berkisar antara 1,0 – 1,5 meter. Kondisi perairan yang buruk tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan operasi penangkapan sehingga hasil tangkapan ikan layur menurun.

Jumlah tangkapan ikan layur yang ada di Palabuhanratu berbeda dari tahun ke tahun. Perbedaan jumlah tangkapan ini terjadi karena adanya perubahan kondisi perairan dan perbedaan jumlah operasi tangkapan. Data produksi ikan layur perbulan selama sembilan tahun, yaitu dari tahun 1999 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi ikan layur (kg) di Palabuhanratu dari tahun 1999 sampai tahun 2007 Tahun Bulan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata Januari 13240 902 962 33850 2192 8507 27875 9901 29713 14126.89 Februari 37533 10199 1080 25700 1698 17598 49726 11729 20652 19546.11 Maret 42037 1019 19510 34300 1658 6477 44959 8201 16898 19451.00 April 17586 919 0 0 29908 34329 7391 6542 28095 13863.33 Mei 39780 141 197 18000 4964 5985 5028 9867 17533 11277.22 Juni 5364 0 0 0 5200 10974 369 6339 14539 4753.89 Juli 1150 382 2759 0 13094 5145 2241 11425 9435 5070.11 Agustus 1061 5341 6900 0 32661 7267 1920 58556 6495 13355.67 September 7639 2282 6588 49287 21432 4743 5191 52130 8643 17548.33 Oktober 44688 13186 27566 19886 3683 9231 12812 13695 25014 18862.33 November 72383 9987 20000 6428 100 5960 14476 11940 16661 17548.33 Desember 21616 6712 18083 15551 2681 29321 17005 22317 53013 20699.89 Sumber : Statistik perikanan PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara)

(15)

C. Habitat dan penyebaran ikan layur

Ikan layur tersebar luas pada semua perairan tropis dan subtropis di dunia (Matsuda dkk., 1975 dalam Wewengkang, 2002). Ikan ini di Indonesia tersebar dan dijumpai pada semua perairan pantai Indonesia (Ditjen Perikanan, 1979). Bahrudin dan Wudianto (2004) menyebutkan bahwa habitat ikan layur meliputi perairan laut, estuaria, rawa pantai, mangrove sampai perairan payau. Ikan ini berenang dengan tubuh hampir sepenuhnya vertikal dengan kepala berada di sebelah atas. Populasi ikan layur banyak terdapat pada perairan pantai yang dangkal di sekitar muara-muara sungai.

Ikan layur (T. lepturus, L. savala, dan G. serpens) memiliki habitat dan penyebaran yang berbeda. Habitat dan penyebaran dari ketiga spesies tersebut tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Habitat dan penyebaran ikan layur

Spesies Nama

Lokal Habitat Penyebaran Sumber Acuan

L. savala layur golok Benthopelagis, di perairan dalam dengan kisaran kedalaman antara 250 – 350 meter Daerah samudera Hindia, laut Merah, mulai dari pantai barat India dan laut Timor. Nakamura dan Parin (1993) T. lepturus layur melei Benthopelagis, di permukaan perairan hingga kedalaman 100 meter

Tersebar luas pada perairan tropis dan subtropis, samudera Pasifik bagian timur, yaitu dari California hingga Peru Nakamura dan Parin (1993), www.fishbase. org G. serpens layur gelang luyung Mesopelagis dan benthopelagis, permukaan perairan hingga kedalaman 200 meter, kadang lebih dalam

Tersebar luas pada perairan tropis dan subtropis

Nakamura dan Parin (1993), www.fishbase. org

(16)

Habitat ikan layur golok (L. savala) berada pada perairan benthopelagis dengan kedalaman yang berkisar antara 250 – 300 meter. Distribusinya tersebar di daerah samudera Hindia, laut Merah, mulai dari pantai barat India, dan laut Timor (Nakamura dan Parin, 1993).

Habitat ikan layur melei (T. lepturus) yaitu hidup pada perairan benthopelagis, berada di permukaan perairan hingga kedalaman 350 meter atau lebih. Distribusinya tersebar pada perairan tropis dan subtropis (Nakamura dan Parin, 1993). Selain itu, ikan ini juga tersebar pada daerah samudera Pasifik bagian timur yaitu dari California hingga Peru (www.fishbase.org).

Ikan layur gelang luyung (G. serpens) terdapat pada daerah mesopelagis dan benthopelagis, berada pada permukaan perairan hingga kedalaman 200 meter, kadang lebih dalam dari 200 meter (Nakamura dan Parin, 1993). Distribusinya tersebar luas pada perairan tropis dan subtropis (www.fishbase.org).

Nakamura dan Parin (1993) mempelajari korelasi antara tipe habitat dari Gempylidae, Trichiuridae, dan Scombridae. Menurutnya, ikan-ikan Scombridae hidup di daerah epipelagis, mereka hidup di kolom perairan bagian atas dari samudera lepas. Ikan-ikan Trichiuridae hidup di daerah benthopelagis, mereka hidup di atas dasar perairan. Ikan-ikan Gempylidae hidup di daerah benthopelagis dan mesopelagis, mereka hidup di perairan yang lebih dalam pada samudera lepas. Korelasi dari tipe habitat ketiga famili ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Distribusi horizontal dan vertikal dari Scombridae (epipelagis), Gempylidae (mesopelagis dan benthopelagis) dan Trichiuridae (benthopelagis) (Nakamura dan Parin, 1993)

(17)

D. Tingkah laku dan kebiasaan makanan ikan

Kebiasaan makanan ikan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan ikan. Sedangkan kebiasaan cara makan adalah hal-hal yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan cara mendapatkan makanan tersebut. Ketersediaan makanan di perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie, 1997).

Besarnya populasi ikan di suatu perairan ditentukan oleh makanan yang tersedia. Menurut Royce (1972), setiap organisme membutuhkan energi untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, pemeliharaan, dan berkembangbiak. Energi tersebut diperoleh dari makanan yang dikonsumsinya. Dari sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan kurang lebih hanya 10% yang digunakan untuk tumbuh dan menambah beratnya, sedangkan yang selebihnya digunakan untuk tenaga atau memang tidak dapat dicerna. Hal ini juga berhubungan dengan sistem pencernaan yang terjadi dalam tubuh ikan. Sistem pencernaan pada ikan melibatkan saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Secara umum, saluran pencernaan pada ikan terdiri dari mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pilorus, usus, rektum dan anus. Sedangkan kelenjar pencernaannya terdiri dari hati dan kantong empedu. Di samping itu, saluran pencernaannya (lambung dan usus) juga berfungsi sebagai kelenjar pencernaan (Mujiman, 1995). Saluran pencernaan yang berperan dalam adaptasi makanan adalah mulut, gigi, tapis insang, lambung dan usus (Lagler, 1972). Namun, lambung pada umumnya digunakan untuk mempelajari studi kebiasaan makanan ikan karena lambung merupakan organ pencernaan yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan organ pencernaan lainnya. Lambung berfungsi sebagai penampung makanan dan mencerna makanan secara kimiawi (Affandi dan Tang, 2002).

Ikan layur adalah ikan karnivora dengan ikan sebagai makanan kesukaannya, tetapi kadang mereka kanibalistik. Adakalanya mereka cenderung menjadi pemakan yang rakus. Secara umum, semua ikan layur adalah piscivorous semasa hidupnya (Bal dan Rao, 1990). Jika dilihat dari spesies ikan layur yang ada (T. lepturus, L. savala dan G. serpens), terdapat persamaan jenis makanan yang dimakannya. T. lepturus memakan Euphausiidae, crustacea kecil seperti

(18)

Paracalanus, Acartia, Oncaea dan ikan-ikan kecil pada saat belum dewasa. Adapun makanan T. lepturus saat dewasa umumnya adalah ikan seperti Myctophids, Sardinella, Carangidae, mackerel, dan terkadang memakan cumi-cumi dan crustacea. L. savala memakan ikan-ikan kecil dan crustacea dalam variasi yang luas (terutama udang-udangan dan spesies dari Setipinna, Anchoviella, Harpodon, Trichiurus dan lain-lain pada daerah estuaria) (Nakamura dan Parin, 1993). Selain itu, L. savala juga memakan ikan (Stolephorus, Sardinella, Dussumieria dan Carnax), udang-udangan (Penaeus dan Metapenaeus), Acetes, Squilla, Lucifer, dan Sepia (Bal dan Rao, 1990). G. serpens memakan ikan-ikan (Myctophids, Exocoetids, Sauries, dan Scombrids), cumi-cumi, dan crustacea. Menurut Huet (1971), struktur anatomis dari kategori ikan karnivora dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Struktur anatomis organ pencernaan pada ikan karnivora (Huet, 1971)

Organ Ikan Karnivora

Tulang tapis insang Sedikit, pendek, dan kaku

Rongga mulut Umumnya bergigi tajam dan kuat

Lambung Berlambung dengan bentuk yang bervariasi

Usus Pendek, terkadang lebih pendek dari panjang tubuhnya

Ikan layur memiliki migrasi vertikal diurnal yang berlawanan saat dewasa dan juvenil dalam hal mencari makan. Ikan layur dewasa pada umumnya mencari makan dekat permukaan perairan sepanjang siang hari dan migrasi ke dasar perairan saat malam. Juvenil membentuk kelompok-kelompok pada daerah 100 m di atas dasar perairan sepanjang siang hari dan membentuk kelompok untuk mencari makan saat malam hari di permukaan perairan (www.zipcodezoo.com). Ikan layur lebih dominan memanfaatkan indera penglihatannya daripada indera penciumannya dalam mencari makan sehingga ikan ini lebih peka terhadap cahaya (Setiawan, 2006).

Ikan-ikan Trichiuroidea adalah ikan karnivora buas yang terutama tersebar di perairan tropis dan hangat pada kedalaman 50 - 1500 meter. Spesies dari famili

(19)

Trichiuridae beradaptasi pada daerah benthopelagis dan secara khas menangkap mangsa dengan menunggu di perangkap. Spesies dari famili Gempylidae beradaptasi pada daerah mesopelagis, benthopelagis atau pelagis dan kebanyakan dari mereka berenang cepat saat mengejar mangsa, tetapi beberapa spesies dari Gempylidae yaitu Diplospinus dan Paradiplospinus bergerak lebih lambat atau mengapung sementara, menunggu untuk menjebak mangsa (Nakamura dan Parin, 1993). Selain itu, Gempylidae makan lebih sedikit sebelum pemijahan dan lebih banyak setelah pemijahan. Hal ini mempengaruhi proporsi kepenuhan dari lambung ikan (Mehl, 1969).

Pada penelitian sumberdaya perikanan laut menggunakan K.M. Mutiara IV di laut Jawa selama periode tahun 1974 – 1976. Diketahui bahwa konsentrasi ikan layur (Trichiuridae) terdapat pada kedalaman lebih kurang 20 meter. Ikan ini banyak tertangkap antara bulan September-November (Dwiponggo,1977 dalam Herianti dkk., 1992).

Menurut Martin dkk. (2005), ikan layur mencari makan secara nokturnal. Ikan layur saat juvenil dan remaja makan lebih intensif daripada ikan dewasa selama musim hangat. Sedangkan ikan dewasa lebih intensif makan selama musim dingin. Pemangsaan antara ikan layur yang berukuran sama sering terjadi pada saat malam hari selama musim hangat berlangsung.

Jumlah makanan ikan layur meningkat sejalan dengan peningkatan ukuran panjangnya (Bakhoum, 2007). Ukuran ikan layur berhubungan dengan kematangan seksualnya. Ikan betina tumbuh lebih cepat dan berukuran lebih besar dibandingkan ikan jantan. Ikan layur yang sudah dewasa akan mengalami penurunan laju pertumbuhan sampai ukurannya menjadi maksimum (Haweet dan Ozawa, 1996).

E. Luas relung dan tumpang tindih relung makanan

Luas relung (niche breath) makanan menunjukkan adanya selektifitas kelompok ukuran ikan antar spesies maupun antar individu dalam suatu spesies yang sama terhadap sumberdaya makanan (Krebs dan Davies, 1987). Relung terjadi karena ruang yang ditempati tidak hanya untuk 1 spesies tetapi untuk spesies lainnya juga. Relung bisa terjadi dalam hal ruang, makanan dan lain-lain.

(20)

Relung makanan merupakan salah satu hal yang penting karena bisa menggambarkan kondisi antara spesies di dalam suatu perairan. Apabila terjadi tumpang tindih relung, maka memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan terhadap makanan merupakan hal penting untuk diketahui, karena berkaitan dengan kemampuan suatu organisme untuk mempertahankan keberadaannya di perairan tersebut. Persaingan terjadi antara satu spesies atau intraspesifik dan persaingan spesies dengan spesies yang lain atau interspesifik (Effendie, 1997).

Menurut Effendie (1997), ikan yang kecil menggunakan luas relung yang kecil. Semakin besar ukurannya, maka pola makanannya juga akan berubah dan akan menggunakan luas relung yang besar. Namun, variasi makanan yang besar tidak menjamin akan memberikan kisaran luas relung yang besar, karena nilai luas relung juga dipengaruhi oleh berapa besar ikan tersebut dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.

F. Hubungan panjang-berat

Analisa hubungan panjang-berat dapat digunakan untuk mempelajari pertumbuhan. Ada dua faktor yang berpengaruh dalam studi pertumbuhan yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya faktor keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon, dan kemampuan memanfaatkan makanan. Adapun faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang, dan suhu perairan (Effendie, 1979).

Persamaan hubungan panjang-berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Berat dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga berat melalui panjang (Effendie, 1997).

G. Faktor kondisi

Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam bentuk angka. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari

(21)

kapasitas fisik akan bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi dapat dipengaruhi oleh makanan, umur ikan, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Dengan mengetahui nilai faktor kondisi tersebut, apabila terjadi suatu perubahan mendadak pada suatu populasi ikan maka penyebabnya akan cepat diketahui (Effendie, 1997). Diperkuat oleh Wooton dan Potts (1984), ikan cenderung menggunakan energinya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, mengakibatkan ikan mengalami penurunan kondisi. Menurut Lagler dkk. (1962), nilai faktor kondisi (K) antara 1 - 3 dimiliki oleh ikan-ikan yang mempunyai bentuk tubuh pipih.

(22)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai November 2007 di perairan Palabuhanratu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh diperoleh dari nelayan di Palabuhanratu. Lokasi pengambilan ikan contoh ditentukan berdasarkan wilayah penangkapan ikan oleh nelayan Palabuhanratu. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan Palabuhanratu, wilayah penangkapan nelayan Palabuhanratu mencakup perairan di sekitar Palabuhanratu, Ujung Genteng bahkan mencapai perairan Krakatau dengan operasi penangkapan pada kedalaman sekitar 50 hingga 60 meter. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta lokasi penelitian (www.bakosurtanal.com)

Lokasi Penelitian

(23)

B. Alat dan bahan

Alat yang digunakan untuk mengambil ikan contoh adalah alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan setempat yaitu adalah pancing rawai dan pancing ulur (Lampiran 1). Alat-alat yang digunakan untuk analisis laboratorium antara lain adalah ember; botol sampel; kertas label; meteran dengan ketelitian 0,1 cm; penggaris ukuran 30 cm; busur; timbangan O’Hauss dengan ketelitian 0,01 gram; satu set alat bedah; alat tulis; baki; sarung tangan; masker; mikroskop binokuler; gelas ukur; tisu; dan cawan petri. Adapun bahan yang digunakan dalam adalah ikan layur sebagai ikan yang diteliti, formalin 10 % untuk ikan mengawetkan ikan, dan formalin 4 % untuk mengawetkan organ dalam alat pencernaan.

C. Metode kerja

1. Metode kerja di lapangan a. Pengambilan ikan contoh

Pengambilan ikan contoh dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2007. Ikan contoh ditangkap dengan menggunakan pancing rawai dan pancing ulur oleh nelayan di Palabuhanratu pada kedalaman 50 – 60 m, yang dilakukan pada siang hingga malam hari dan disesuaikan dengan kondisi perairan saat itu. Mata pancing yang digunakan berukuran 7 dan 8 (Lampiran 1). Menurut informasi nelayan setempat, penangkapan ikan layur dilakukan di sekitar perairan Palabuhanratu dan terkadang mencapai perairan Krakatau. Hal ini juga disesuaikan dengan kondisi perairan saat itu seperti kondisi cuaca, angin, dan arus perairan.

Nelayan Palabuhanratu umumnya menangkap ikan layur menggunakan pancing rawai dasar. Pancing rawai ini terdiri dari komponen utama yaitu tali utama, tali cabang, mata pancing, tali penarik, penampung, dan pemberat. Rawai secara harfiah dapat diartikan dengan tali panjang. Hal ini dikarenakan konstruksi alat tangkap terdiri dari rangkaian tali utama yang disambung-sambung sehingga merupakan tali yang panjang dengan beratus-ratus tali cabang. Adapun pancing ulur adalah salah satu alat tangkap yang paling umum dikenal masyarakat dengan komponen utama yaitu tali dan mata pancing. Ciri khas dari penangkapan

(24)

pancing adalah memiliki konstruksi yang sangat sederhana, skalanya kecil, dan tidak memerlukan modal yang besar.

b. Penanganan sampel

Ikan layur yang tertangkap didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Kemudian ikan dikumpulkan oleh nelayan pengumpul dan dimasukkan ke dalam cool box yang berisi es. Sampel tersebut dibawa ke Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan dimasukkan ke dalam freezer. Selanjutnya, ikan dianalisis lebih lanjut mengenai jenisnya dan kebiasaan makanannya.

2. Metode kerja di laboratorium a. Identifikasi ikan

Identifikasi ikan mengacu kepada Nakamura dan Parin (1993). Pengidentifikasian dilakukan dengan mengamati ciri-ciri morfologi, morfometrik, dan meristik ikan contoh. Ciri-ciri morfologi yang diamati adalah bentuk tubuh, bentuk gigi, posisi mulut, letak hidung, kelengkapan sirip, sirip ventral, sirip pektoral, bentuk sirip caudal, kelengkapan linear lateralis, finlet, slit (duri-duri kecil) pada sirip anal pertama, warna tubuh, dan warna sirip. Panjang total dan diameter mata merupakan ciri-ciri morfometrik yang diamati. Adapun ciri-ciri meristik yang diamati adalah jumlah jari-jari sirip dorsal dan anal.

b. Pengukuran dan pengamatan ikan contoh

Ikan layur yang telah diawetkan dengan larutan formalin 10% diukur panjang total dan ditimbang bobotnya sehingga kebiasaan makanannya dapat dibandingkan berdasarkan kelompok ukuran panjang dan jenis kelamin. Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor yang paling belakang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1 cm. Selanjutnya berat total ditimbang dengan menggunakan timbangan O’Hauss dengan ketelitian 0,01 gram.

(25)

Ikan layur dibedah menggunakan gunting bedah, dimulai dari bagian anus menuju ke bagian dorsal di bawah linear lateralis sampai ke belakang operkulum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Alat-alat pencernaan makanan ikan yang dianalisis adalah lambung, piloric caeca, dan usus (Lampiran 2). Setelah dibedah, alat pencernaan dipisahkan dari tubuh ikan, untuk selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap panjang usus dan dihitung jumlah piloric caeca. Insang ikan juga dipisahkan dari tubuhnya (Lampiran 3). Alat-alat pencernaan dan insang tersebut diawetkan menggunakan larutan formalin 4 %.

c. Identifikasi makanan ikan

Pada waktu pengamatan, saluran pencernaan dibersihkan dari formalin dengan aquades dan dikeringkan dengan tisu. Isi lambung dipisahkan dari lambung, kemudian diukur berat dan volumenya. Jenis makanan yang berukuran makro diamati secara langsung, kemudian untuk memperjelas dilihat di bawah mikroskop binokuler dan diidentifikasi jenisnya dengan buku identifikasi Holthuis (1980).

D. Analisa data

1. Penentuan kelompok ukuran panjang

Langkah-langkah dalam membuat sebaran frekuensi panjang menurut Walpole (1992) sebagai berikut :

 Menentukan banyaknya kelompok ukuran yang diperlukan dengan rumus :

n = 1 + 3,32 log N

Keterangan :

n = Jumlah kelas N = Jumlah ikan

 Menentukan lebar kelas setiap kelas ukuran dengan rumus :

C = n b a Keterangan : C = Lebar kelas

a = Panjang maksimum ikan layur b = Panjang minimum ikan layur n = Jumlah kelas

(26)

 Menentukan batas bawah kelompok ukuran yang pertama kemudian ditambah dengan lebar kelas dikurangi satu untuk mendapatkan batas atas kelompok ukuran berikutnya.

 Melakukan hal yang sama sampai kelompok ke-n.

 Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas, yaitu frekuensi dibagi jumlah total dikalikan seratus persen.

2. Hubungan panjang-berat

Analisis hubungan panjang-berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk membandingkan kebiasaan makanan antar ukuran panjang dan aktifitas makan. Hubungan panjang-berat ikan digambarkan dengan menggunakan rumus umum (Effendie, 1979) :

W = aLb Keterangan :

W = Berat ikan (gram) L = Panjang total ikan (mm) a, b = Konstanta

Nilai b digunakan untuk menduga pola pertumbuhan kedua parameter yang dianalisis, dengan hipotesis :

1. Nilai b = 3 menunjukkan pola pertumbuhan isometrik. 2. Nilai b ≠ 3 menunjukkan pola pertumbuhan allometrik.

jika b > 3, maka allometrik positif (pertumbuhan bobot lebih cepat). jika b < 3, maka allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih cepat).

Penentuan nilai b dilakukan dengan uji t pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05), dengan hipotesis (Steell dan Torie, 1989):

H0 : b = 3 (pola pertumbuhan isometrik) H1 : b ≠ 3 (pola pertumbuhan allometrik)

t hitung =

Sb b13

(27)

Nilai t hitung dibandingkan dengan t tabel:

Apabila t hitung < t tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesis nol. Apabila t hitung > t tabel maka keputusannya adalah menerima hipotesis nol.

Keeratan hubungan antara panjang dan berat ikan ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) yang diperoleh. Nilai r mendekati satu menunjukkan hubungan yang sangat erat antara kedua peubah tersebut, akan tetapi apabila r mendekati nol, maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada (Walpole, 1992).

3. Faktor kondisi

Faktor kondisi (K) dianalisis berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Bila nilai b ≠ 3 analisis faktor kondisi menggunakan rumus :

K = b

aL W

Keterangan :

K = Faktor kondisi relatif setiap ikan W = Berat ikan (gram)

L = Panjang total ikan (mm) a, b = konstanta

Untuk b = 3 maka rumus untuk analisisnya adalah :

K = 3

5

10 L

W

4. Indeks kepenuhan lambung (Index of Stomach Content)

Indeks isi lambung dianalisa dengan membandingkan berat total ikan dengan berat isi lambung. Nilai yang diperoleh dinyatakan dalam persen. Indeks isi lambung ikan contoh dapat diketahui dengan menggunakan rumus perhitungan menurut Spantura dan Gophen (1982) dalam Sulistiono (1998) sebagai berikut :

ISC (%) = x100 BW

SCW

Keterangan:

SCW = Berat isi lambung (gram) BW = Berat tubuh (gram)

(28)

5. Indeks bagian terbesar (Index of Preponderance)

Evaluasi jenis makanan dengan indeks bagian terbesar merupakan gabungan dari dua metode yaitu metode frekuensi dan metode volumetrik. Metode frekuensi kejadian dilakukan dengan cara mencatat jumlah ikan yang ususnya kosong, mencatat keberadaan organisme pada masing-masing ikan yang ususnya berisi. Metode volumetrik dilakukan dengan cara mengukur volume isi alat pencernaan tiap individu. Kemudian keringkan dengan menggunakan kertas saring atau tisu. Memisahkan masing-masing organisme yang sejenis dan ukur volumenya dengan dikeringkan terlebih dahulu. Jenis makanan yang tidak dapat ditentukan dimasukkan ke dalam kelompok makanan yang tidak teridentifikasi. Volume organisme sejenis dibandingkan dengan volume total isi pencernaan makanan dan dinyatakan dalam persen. Volume total keseluruhan jenis makanan adalah 100 %. Metode ini dikembangkan oleh Natarajan dan Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus sebagai berikut:

IP (%) = 100 ) ( 1 x Oi x Vi Oi x Vi n i

 Keterangan:

IP = Indeks bagian terbesar (Index of preponderance) Vi = Persentase volume makanan jenis ke-i

Oi = Persentase frekuensi kejadian makanan ke-i n = Jumlah organisme makanan

6. Luas relung makanan

Luas relung makanan digunakan untuk mengetahui tingkat selektivitas ikan terhadap makanannya. Perhitungan luas relung makanan menggunakan ”Levin’s Measure” (Levins, 1968 dalam Krebs, 1989 ) :

Bi =

  n i m j Pij 1 1 2 1 Keterangan:

Bi = Luas relung makanan kelompok ikan ke-i

Pij = Proporsi organisme makanan ke-j yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan ke-i

n = Jumlah kelompok ikan

(29)

Nilai luas relung yang diperoleh kemudian distandarisasi agar nilai yang dihasilkan berkisar antara 0-1. Standarisasi nilai tersebut menggunakan rumus Hulbert (1978) dalam Krebs (1989) :

Ba = 1 1   n Bi Keterangan :

Ba = Standarisasi luas relung Levins (kisaran 0-1) Bi = Luas relung Levins

n = Jumlah jenis organisme makanan yang dimanfaatkan

7. Tumpang tindih relung makanan

Tumpang tindih relung makanan digunakan untuk menghitung kesamaan makanan antara ikan jantan dan betina serta antar kelompok ukuran ikan. Perhitungan tumpang tindih relung makanan menggunakan indeks Morisita yang disederhanakan dan diusulkan oleh Horn (1966) dalam Krebs (1989) :

CH =

 

 

  

      

n j m i n k m i k k n j m i

Pik

Pij

Pik

Pij

1 1 1 1 2 2 1 1 1

2

Keterangan: CH = Indeks Morisita-Horn

n = Jumlah sumberdaya makanan yang dimanfaatkan

Pij, Pik = Proporsi jenis organisme makanan ke-i yang digunakan oleh kelompok ikan ke-j dan ke-k (i = 1,2,3,...,n)

(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi hasil tangkapan ikan layur

Lokasi penangkapan ikan layur golok (L. savala), ikan layur melei (T. lepturus) dan ikan layur gelang luyung (G. serpens) berada di sekitar perairan Palabuhanratu, Ujung Genteng bahkan mencapai perairan Krakatau. Hasil tangkapan ikan layur yang ditangkap pada bulan Juli, September, dan November 2007 tercantum dalam Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi hasil tangkapan ikan layur selama penelitian di perairan Palabuhanratu

Jumlah (ekor) Kisaran

No Nama lokal Nama latin

Jantan Betina Panjang (mm) Berat (gram) Total tangkapan 1 layur golok L. savala 57 44 643,53 ± 100,38 242,23 ± 110,32 101

2 layur melei T. lepturus 44 27 687,07 ± 164,73 240,42 ± 159,00 71

3 layur gelang luyung G. serpens 14 8 728,14 ± 65,51 491,03 ± 162,61 22

Jumlah ikan terbanyak yang diperoleh dari hasil tangkapan ikan layur di perairan Palabuhanratu adalah ikan layur golok (L. savala). Ikan layur golok (L. savala) yang tertangkap sejak bulan Juli 2007 hingga bulan November 2007 berjumlah 101 ekor, terdiri dari 57 ekor ikan jantan dan 44 ekor ikan betina. Ikan layur melei (T. lepturus) berjumlah 71 ekor, terdiri dari 44 ekor ikan jantan dan 27 ekor ikan betina. Berbeda dengan kedua spesies sebelumnya, pengambilan ikan gelang luyung (G. serpens) dimulai sejak bulan September 2007 hingga November 2007. Ikan ini berjumlah 22 ekor, terdiri dari 14 ekor ikan jantan dan 8 ekor ikan betina. Perbedaan jumlah hasil tangkapan dari ketiga spesies tersebut dikarenakan ikan contoh yang diperoleh, berasal dari nelayan di Palabuhanratu yang tidak menjadikan ikan layur sebagai tangkapan utamanya. Nelayan lebih

(31)

memilih ikan lain yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi walaupun ikan layur merupakan salah satu komoditas ekspor tetapi ada kriteria tertentu yang harus dimiliki ikan layur agar bisa diekspor dan terjual dengan harga yang tinggi. Hal ini didukung dengan pernyataan Anita (2003) bahwa ikan layur yang biasa di ekspor dari Palabuhanratu adalah ikan layur jenis Trichiurus savala dengan kisaran berat 200 – 700 gram/ekor, tidak boleh berada dalam keadaan cacat berupa ekor putus lebih dari 15 cm, perut pecah serta luka-luka pada tubuhnya. Oleh karena pertimbangan mengenai karakteristik yang harus dipenuhi serta pertimbangan lainnya seperti biaya operasi yang mahal dalam sekali penangkapan, maka nelayan lebih memilih untuk menangkap ikan lain yang lebih ekonomis tinggi sehingga bisa mendapatkan untung lebih.

Berdasarkan total penangkapan dari ketiga spesies ikan layur, ikan layur gelang luyung memiliki jumlah tangkapan yang paling sedikit. Ikan layur gelang luyung yang tertangkap merupakan ikan dewasa dengan kisaran panjang dan berat (728,14 ± 65,51 mm; 491,03 ± 162,61 gram). Hal ini diduga pada saat penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pada sore hingga malam hari dengan kedalaman operasi penangkapan sekitar 50 – 60 meter, ikan gelang luyung sedang bermigrasi ke habitatnya yang tersebar pada kedalaman sekitar 200 meter. Ini didukung dengan pernyataan dalam www.zipcodezoo.com, bahwa ikan layur dewasa umumnya mencari makan di sekitar permukaan perairan sepanjang siang hari dan bermigrasi ke dasar perairan saat malam hari. Selain itu, diduga saat penangkapan berlangsung ikan layur gelang luyung dapat menghindar dari pancing rawai yang dipasang oleh nelayan sehingga tidak tertangkap. Hal ini didukung oleh Nakamura dan Parin (1993) yang menyatakan bahwa G. serpens merupakan perenang cepat. Jika dikaitkan dengan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan G. serpens yang berupa ikan dan cumi-cumi, kemungkinan ikan ini lebih menyukai untuk berada di habitat mangsanya sehingga tidak berada di habitatnya seperti biasa.

Ikan layur golok memiliki total penangkapan yang paling besar yaitu 101 ekor ikan dan diikuti dengan total penangkapan ikan layur melei sebesar 71 ekor ikan. Kisaran panjang dan berat dari kedua ikan ini masing-masing: ikan layur golok (643,53 ± 100,38mm; 242,23 ± 110,32 gram) dan ikan layur melei (687,07

(32)

± 164,73 mm; 240,42 ± 159,00 gram). Dilihat dari kisaran panjang-berat kedua ikan ini, dapat dikatakan bahwa ikan yang tertangkap terdiri dari ikan layur remaja dan dewasa. Ini merujuk pada Martin dkk. (2005) bahwa ikan layur dibagi kedalam 4 kategori berdasarkan ukurannya, yaitu juvenil (5 – 30 cm ), remaja (30 – 70 cm), dewasa (70 – 100 cm), dan tua (> 100 cm). Ikan layur remaja dan dewasa memiliki tingkah laku yang berlawanan. Ikan layur remaja secara berkelompok tersebar di dekat permukaaan perairan untuk mencari makan pada malam hari dan menyebar secara berkelompok dari dasar hingga permukaan perairan pada siang hari, sedangkan ikan layur dewasa sebaliknya (www.zipcodezoo.com). Hal ini mungkin bisa menjadi salah satu penyebab kenapa total penangkapan ikan layur golok paling besar dengan komposisi tangkapan (ikan remaja sebesar 76 ekor dan ikan dewasa sebesar 25 ekor) jika dibandingkan dengan ikan layur lainnya. Ikan layur golok remaja yang berkelompok untuk mencari makan pada malam hari tertangkap oleh nelayan yang sedang beroperasi pada sore hingga malam hari di sekitar permukaan perairan. Adapun ikan layur golok dewasa diduga tertangkap saat bermigrasi ke dasar perairan pada sore hari. Selain itu, musim penangkapan bisa menjadi salah satu pendugaan terhadap kuantitas penangkapan ikan ini. Penangkapan ikan pada penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, September, dan November. Dari bulan-bulan tersebut, bisa dikatakan bahwa penangkapan berlangsung pada musim timur (Juli-September) yang merupakan musim banyak ikan dikarenakan keadaan perairan cukup baik sehingga mendukung operasi penangkapan nelayan.

Komposisi tangkapan ikan layur di Palabuhanratu selama penelitian bervariasi setiap bulannya. Hasil tangkapan ikan layur golok pada bulan Juli, September, dan November masing-masing sebesar 23, 46 dan 32 ekor ikan. Adapun pada ikan layur melei, hasil tangkapan perbulannya masing-masing sebesar 34, 31 dan 6 ekor ikan. Ikan gelang luyung memiliki hasil tangkapan perbulan masing-masing sebesar 12 dan 10 ekor ikan untuk bulan September dan November. Pada bulan Juli tidak didapatkan ikan contoh. Hal ini diduga karena pada bulan ini nelayan lebih berminat untuk menangkap ikan lain yang lebih bernilai ekonomis penting.

(33)

B. Kebiasaan makanan ikan

1. Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan

Ikan layur secara keseluruhan memiliki struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan yang hampir sama. Struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan yang dianalisis berupa tinggi kepala, panjang usus ikan, lebar bukaan mulut ikan, struktur gigi dan komponen pakan yang dikonsumsi ikan. Beberapa perbedaan struktur morfologis dan anatomis alat pencernaan serta kebiasaan makanan dari ketiga spesies ikan layur terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai kisaran TK/TB, nilai kisaran LBM/LK, struktur gigi, nilai kisaran PU/PT, dan komponen pakan dominan

Jenis Ikan Nilai kisaran TK/TB Nilai kisaran LBM/LK Struktur gigi Nilai kisaran PU/PT Komponen pakan dominan layur golok (L. savala) 0,61 – 1,08 0,37 – 1,94 Canine (gigi taring anterior tidak melengkung) dengan kisaran ukuran 1,5 – 15 mm 0,11 – 0,35 Ikan dengan kisaran ukuran 0,34 – 15,05 g layur melei (T. lepturus) 0,70 – 1,15 0,35 – 4,15 Canine (gigi taring atas merlengkung) dengan kisaran ukuran 1,5 – 11 mm 0,10 – 0,28 Ikan dengan kisaran ukuran 0,17 – 7,97 g layur gelang luyung (G. serpens) 0,85 – 1,07 0,80 – 2,00 Canine (gigi taring kecil) dengan kisaran ukuran 3 – 6 mm 0,25 – 0,45 Ikan dengan kisaran ukuran 0,74 – 17,07 g

Keterangan : TK = Tinggi kepala ikan (mm) TB = Tinggi badan ikan (mm) LBM = Lebar bukaan mulut ikan (mm) LK = Lebar kepala ikan (mm)

PU = Panjang usus ikan (mm) PT = Panjang total ikan (mm)

(34)

Kebiasaan makanan ikan dapat dikaitkan dengan beberapa hal seperti perbandingan tinggi kepala dengan tinggi badan, perbandingan nilai lebar bukaan mulut terhadap lebar kepala ikan, struktur gigi, perbandingan panjang usus dengan panjang tubuh, dan komponen pakan dominan. Rasio tinggi kepala terhadap tinggi badan yang diperoleh pada masing-masing spesies ikan layur memiliki kaitan terhadap ukuran makanan yang dikonsumsi oleh ikan. Pada tabel di atas terlihat bahwa semakin besar rasio tinggi kepala terhadap tinggi badan ikan, maka ukuran makanan yang dikonsumsi ikan. Selain itu, ukuran makanan yang dikonsumsi dapat dikaitkan dengan rasio lebar bukaan mulut terhadap lebar kepala ikan. Rasio lebar bukaan mulut terhadap lebar kepala ikan gelang luyung memiliki kisaran yang paling besar (0,80 – 2,00) dibandingkan kedua jenis layur lainnya. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa semakin besar ukuran lebar bukaan mulut ikan, maka semakin besar pula ukuran makanan yang bisa dikonsumsi ikan. Adapun komponen lain yang juga terkait pemangsaan makanan adalah struktur gigi dari ikan itu sendiri. Secara umum, struktur gigi dari ketiga jenis layur tidak berbeda jauh. Ketiga ikan ini sama-sama memiliki gigi canine pada kedua rahangnya yang berfungsi untuk mencengkram dan mengoyak daging mangsanya. Namun perbedaannya terletak pada bentuk gigi taring pada bagian anterior rahang atas. Pada ikan layur golok, gigi taring anteriornya tidak melengkung, sedangkan pada ikan layur melei gigi taringnya melengkung dan pada ikan layur gelang luyung gigi taringnya berukuran kecil dibandingkan ikan layur lainnya. Dengan memperhatikan gigi taring yang dimiliki ketiga jenis ikan layur ini, timbul suatu dugaan bahwa ukuran gigi taring ikan layur gelang luyung yang lebih kecil dibandingkan dengan layur lainnya dikompensasi dengan rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT) yang lebih besar daripada ikan lainnya, sehingga kemampuan ikan gelang luyung akan lebih banyak untuk menampung makanan yang sudah ditangkapnya dalam tubuh dan ini juga didukung dengan terdapatnya ukuran ikan yang lebih besar pada lambungnya. Rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT) ketiga ikan layur memiliki nilai < 1. Hal ini menunjukkan bahwa ikan layur merupakan ikan karnivor. Pernyataan ini sesuai dengan Huet (1971) yang menyatakan bahwa panjang usus ikan karnivora lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Ikan layur gelang luyung

(35)

memiliki nilai kisaran PU/PT yang paling besar jika dibandingkan dengan kedua ikan layur lainnya. Jika dihubungkan antara nilai PU/PT dengan ukuran makanan yang dikonsumsi oleh ikan ini, ukuran makanan ikan ini lebih besar dibandingkan dengan ukuran makanan ikan layur lainnya yaitu berkisar antara 0,74 – 17,07 gram.

2. Tingkat kepenuhan lambung

Indeks isi lambung merupakan indikasi untuk menentukan aktifitas

makanan ikan per waktu penangkapan. Lambung dari ketiga spesies ikan layur pada setiap bulan penangkapan memiliki komposisi yang berbeda-beda. Pada ikan L. savala, kepenuhan lambung terbesar terdapat pada bulan November. Nilai indeks kepenuhan lambung untuk ikan ini dari bulan Juli hingga November secara signifikan meningkat. Hal ini diduga karena ikan ini sedang aktif mencari makan sehingga lambung lebih banyak yang berisi. Adapun pada ikan T. lepturus menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan ikan L. savala yaitu nilai indeks kepenuhan lambungnya dari bulan Juli hingga November menurun. Pada ikan G. serpens, indeks kepenuhan lambung hanya diperoleh pada bulan September dan tidak ditemukan pada bulan Juli dan November. Hal ini diduga karena jumlah sampel untuk ikan ini paling sedikit jika dibandingkan dengan kedua jenis ikan layur lainnya.

Indeks kepenuhan lambung dari ketiga spesies ikan layur yang berbeda dari bulan Juli hingga bulan November diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu waktu penangkapan yang tidak bertepatan dengan aktifitas ikan mencari makan, cara penanganan saat ikan tertangkap, ketersediaan dari makanan yang ada di sekitar habitat ikan ini. Waktu penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari sore hingga malam hari diduga tidak bertepatan dengan waktu ikan mencari makan bagi ikan dewasa dan ikan remaja. Ikan dewasa mencari makan saat siang hari sedangkan ikan remaja mencari makan saat malam hari. Oleh karena ikan layur yang tertangkap lebih banyak yang remaja, kemungkinan ikan ini lebih dulu terjaring oleh perangkap nelayan sebelum sempat mencari makan pada malam hari sehingga proporsi lambung yang kosong lebih besar pada masing-masing spesies. Cara penanganan saat ikan tertangkap diduga juga bisa mempengaruhi

(36)

kondisi lambung dari ikan. Cara penanganan yang kurang baik dapat memberikan tekanan pada ikan sehingga mengganggu jalannya proses pencernaan dalam tubuh khususnya pada lambung. Proporsi lambung ikan yang kosong dari ketiga spesies mungkin disebabkan oleh ketersediaan makanan yang terbatas pada habitat masing-masing ikan. Adapun indeks kepenuhan lambung ikan layur berdasarkan waktu penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

J u l i In d e k s Ke p e n u h a n L a m b u n g ( % ) 0 2 4 6 8 S e p t e m b e r N o v e m b e r J u l i In d e k s K e p e n u h a n L a m b u n g ( % ) 0 2 4 6 8 S e p t e m b e r N o v e m b e r J u l i In d e k s K e p e n u h a n L a m b u n g ( % ) 0 2 4 6 8 S e p t e m b e r N o v e m b e r Waktu Penelitian

Gambar 6. Indeks kepenuhan lambung ikan layur di perairan Palabuhanratu Lepturacanthus savala

Trichiurus lepturus

(37)

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan layur golok (L. savala) yang ditangkap selama tiga bulan, lambung berisi yang terbesar adalah pada bulan September. Hal ini diduga karena ikan layur yang tertangkap sedang melakukan aktifitas mencari makan saat tertangkap dan ikan ini belum matang gonad sehingga intensitas makannya aktif untuk mendukung proses pertumbuhannya. Pengamatan yang dilakukan terhadap lambung ikan layur golok yang berisi makanan terdiri dari ikan, udang dan organisme yang tidak teridentifikasi (terdiri dari organisme tercerna dan organisme tidak teridentifikasi).

Proporsi lambung ikan layur melei (T. lepturus) diperoleh dari 71 ekor ikan contoh. Kebanyakan kondisi lambung dari ikan contoh yang diperoleh berada dalam keadaan yang baik. Berdasarkan pengamatan terhadap lambung yang berisi makanan, jenis makanan ikan layur melei terdiri dari ikan, udang, cumi-cumi dan organisme yang tidak teridentifikasi (terdiri dari organisme tercerna dan organisme tidak teridentifikasi).

Demikian pula halnya pada ikan gelang luyung (G. serpens), proporsi lambung yang kosong lebih besar dibandingkan yang berisi. Proporsi lambung yang lebih banyak kosong ini diduga berkaitan dengan kematangan gonad dari ikan yang tertangkap. Ikan yang tertangkap belum matang gonad dan belum siap untuk memijah. Tingkat kematangan gonad ini mempengaruhi aktifitas makan dari ikan ini. Menurut Mehl (1969), Gempylidae makan lebih sedikit sebelum pemijahan dan lebih banyak makan setelah pemijahan. Berdasarkan pengamatan terhadap lambung yang berisi makanan, jenis makanan ikan gelang luyung terdiri dari ikan, cumi-cumi dan organisme yang tidak teridentifikasi (terdiri dari organisme tercerna dan organisme tidak teridentifikasi). Pada bulan Juli terjadi kekosongan karena ketiadaan ikan contoh yang diperoleh pada bulan tersebut. Ada beberapa dugaan yang bisa dijadikan sebagai penyebab pada bulan Juli tidak ditemukan ikan ini, yaitu penyebaran ikan gelang luyung yang terlalu jauh ke arah samudera lepas sehingga tidak terjangkau oleh nelayan yang masih menggunakan peralatan sederhana, pergerakan ikan ini yang lebih cepat dibandingkan dengan layur lainnya sehingga bisa menghindar dari alat tangkap dan nelayan lebih memilih menangkap ikan lain yang lebih bernilai ekonomis tinggi.

(38)

BULAN SEPTEMBER Gempylus serpens, 2 ekor, 5% Trichiurus lepturus, 18 ekor, 45% Lepturacanthus savala, 20 ekor, 50% BULAN NOVEMBER Lepturacanthus savala, 20 ekor, 55% Gempylus serpens, 10 ekor, 28% Trichiurus lepturus, 6 ekor, 17% BULAN JULI Lepturacanthus savala, 7 ekor, 29% Gempylus serpens, 0 ekor, 0% Trichiurus lepturus, 17ekor, 71% BULAN SEPTEMBER Trichiurus lepturus, 13 ekor, 27% Gempylus serpens, 10 ekor, 20% Lepturacanthus savala, 26 ekor, 53% BULAN NOVEMBER Gempylus serpens, 0 ekor, 0% Trichiurus lepturus, 0 ekor, 0% Lepturacanthus savala, 12 ekor, 100%

Berdasarkan proporsi lambung yang terdapat pada ikan layur, dapat dibagi berdasarkan waktu penangkapannya. Proporsi lambung ikan layur yang berisi dapat dilihat pada Gambar 7. Adapun proporsi lambung yang kosong dapat dilihat pada Gambar 8. BULAN JULI Gempylus serpens, 0 ekor, 0% Lepturacanthus savala, 16 ekor, 48% Trichiurus lepturus, 17ekor, 52%

Gambar 7. Proporsi lambung ikan layur yang kosong berdasarkan waktu penelitian di Palabuhanratu

Gambar 8. Proporsi lambung ikan layur yang berisi berdasarkan waktu penelitian di Palabuhanratu

(39)

3. Komposisi makanan ikan layur berdasarkan waktu penangkapan

Jenis makanan berupa ikan memiliki nilai Index of Preponderance yang tertinggi pada ikan layur golok (L. savala), ikan layur melei (T. lepturus) dan ikan gelang luyung (G. serpens) sehingga ikan menjadi makanan utama pada ketiga spesies tersebut (Gambar 9, 10, dan 11). Menurut Bal dan Rao (1990), bahwa secara umum semua ikan layur adalah piscivorous semasa hidupnya. Berdasarkan pengamatan terhadap isi lambung, ikan layur melei memiliki ragam makanan yang cukup banyak karena lambung yang berisi makanan pada ikan ini merupakan yang terbanyak diantara ketiga spesies. Hal ini diduga bahwa fase hidup ikan tersebut berkaitan dengan makanan kesukaannya. Ikan layur melei yang tertangkap terdiri dari ikan remaja dan ikan dewasa dengan komposisi yang tidak berbeda jauh. Menurut Nakamura dan Parin (1993), T. lepturus saat remaja memakan udang, kemudian saat dewasa ikan ini umumnya memakan ikan dan terkadang cumi-cumi. Adapun pada ikan layur golok dan gelang luyung terdapat perbedaan pada jenis makanan udang dan cumi-cumi. Nakamura dan Parin (1993) menyatakan bahwa L. savala memakan ikan-ikan dan crustacea dalam variasi yang luas (terutama udang-udangan), adapun G. serpens memakan ikan-ikan, cumi-cumi dan crustacea. Perbedaan jenis makanan mungkin dikarenakan faktor ketersediaan makanan yang ada pada habitatnya, ukuran mangsa, kesukaan ikan terhadap mangsa yang diinginkannya dan daerah penyebaran mangsa yang berdekatan dengan daerah penyebaran ikan itu sendiri. Ketersediaan makanan yang terbatas dapat menyebabkan ikan untuk memangsa makanan yang tersedia dihabitatnya. Ukuran mangsa dapat dikaitkan dengan ukuran ikan, diduga ikan yang berukuran besar akan menginginkan mangsa yang berukuran besar pula sehingga bisa memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tubuhnya. Hal ini yang mungkin terjadi pada ikan gelang luyung yang memiliki ukuran tubuh yang besar (728,14 ± 65,51 mm; 491,03 ± 162,61 gram) lebih memilih memangsa cumi-cumi yang ukurannya lebih besar dibanding udang sehingga tidak ditemukan makanan berupa udang pada lambung ikan ini. Selain itu, diduga dikarenakan cumi-cumi memiliki daerah penyebaran yang sama dengan ikan gelang luyung, sehingga ikan ini lebih memilih untuk memangsanya. Adapun

(40)

SEPTEMBER ikan 59.17% udang 0.45% tidak teridentifikasi 40.38% JULI ikan 27% udang 4% cumi-cumi 0% tidak teridentifikasi 69% SEPTEMBER cumi-cumi 0% udang 2% ikan 49% tidak teridentifikasi 49%

komposisi makanan ikan L. savala, T. lepturus, dan G. serpens berdasarkan waktu penelitiannya, masing-masing dapat dilihat pada Gambar 9, 10, dan 11.

Gambar 9. Komposisi makanan ikan L. savala berdasarkan waktu penelitian

Gambar 10. Komposisi makanan ikan T. lepturus berdasarkan waktu penelitian

Gambar 11. Komposisi makanan ikan G. serpens berdasarkan waktu penelitian

JULI ikan 35.56% udang 8.89% tidak teridentifikasi 55.56% NOVEMBER ikan 62.88% udang 1.75% tidak teridentifikasi 35.37% SEPTEMBER ikan 97% cumi-cumi 0% tidak teridentifikasi 3%

(41)

4. Komposisi makanan ikan layur berdasarkan kelas ukuran panjang

Makanan utama ikan L. savala jantan berdasarkan selang kelas ukuran panjang adalah ikan. Makanan pelengkap berupa udang terdapat pada kelas ukuran panjang 351 - 431 mm, 594 - 674 mm, 675 – 755 mm. Namun pada kelas ukuran 756 – 836 mm, makanan utamanya berupa udang dan makanan pelengkapnya berupa ikan. Makanan yang diperoleh pada ikan ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran panjangnya maka semakin seragam jenis makanan yang dikonsumsinya. Adapun komposisi makanan dari ikan L. savala jantan berdasarkan kelas ukuran panjang dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Komposisi makanan ikan L. savala jantan berdasarkan kelas ukuran

270-350 mm ikan 100% 351-431 mm ikan 90% udang 10% 432-512 mm ikan 39% tidak teridentifikasi 61% 513-593 mm ikan 89% tidak teridentifikasi 11% 594-674 mm ikan 86% udang 1% tidak teridentifikasi 13% 675-755 mm ikan 87% tidak teridentifikasi 7% udang 6% 756-836 mm ikan 31% udang 59% tidak teridentifikasi 10%

(42)

Ikan L. savala betina berdasarkan kelas ukuran panjangnya memiliki makanan utama berupa ikan. Makanan pelengkap berupa udang terdapat pada kelas ukuran 594 – 674 mm. Secara umum, makanan dari ikan ini seragam pada setiap kelas ukuran panjangnya. Hal ini diduga karena ikan ini masih satu spesies sehingga makanan yang dikonsumsi cenderung sama pada kelas ukuran panjang yang berbeda. Adapun komposisi makanan ikan L. savala betina berdasarkan kelas ukuran panjangnya dapat dilihat pada Gambar 13.

Berdasarkan kelas ukuran panjang, ikan T. lepturus jantan memiliki makanan utama berupa ikan pada kelas ukuran 351 – 431 mm, 594 – 674 mm dan 756 – 836 mm. Adapun pada kelas ukuran panjang 270 – 350 mm, makanan utamanya berupa udang dan pada kelas ukuran panjang 513 – 593 mm, makanan utamnya berupa cumi-cumi. Makanan dari masing-masing kelas ukuran panjang ikan T. lepturus jantan ini relatif berbeda jika dilihat dari kelas ukuran panjangnya. Secara umum, makanan yang dikonsumsi oleh ikan ini berupa ikan,

513-593 mm ikan 86% tidak teridentifikasi 14% 594-674 mm ikan 86% udang 1% tidak teridentifikasi 13% 675-755 mm ikan 77% tidak teridentifikasi 23% 756-836 mm ikan 97% tidak teridentifikasi 3% 918-998 mm ikan 77% tidak teridentifikasi 23%

Gambar

Tabel  1.      Perkembangan  produksi  ikan  layur  (kg)  di  Palabuhanratu  dari  tahun  1999 sampai tahun 2007      Tahun  Bulan  1999  2000  2001  2002  2003  2004  2005  2006  2007  Rata-rata  Januari  13240  902  962  33850  2192  8507  27875  9901  2
Tabel 2. Habitat dan penyebaran ikan layur  Spesies  Nama
Gambar  4.  Distribusi  horizontal  dan  vertikal  dari  Scombridae  (epipelagis),  Gempylidae  (mesopelagis  dan  benthopelagis)  dan  Trichiuridae  (benthopelagis) (Nakamura dan Parin, 1993)
Tabel 3. Struktur anatomis organ pencernaan pada ikan karnivora (Huet, 1971)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu

Untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak bencana alam kenaikan muka laut tersebut, maka manajemen risiko bencana alam perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam

Hasil ini sesuai dengan teori yang ada dimana semakin banyak zat yang terlarut dalam suatu larutan maka semakin menurun titik beku larutannya karena pergerakan molekul

Activity Diagram View Fasilitas pada Gambar 4.6 muncul setelah guest memilih icon Profil Sekolah pada menu bar di website yang sistem kemudian akan merespon dengan

Kesulitan guru dalam menyusun instrumen penilaian autentik terletak pada cara mengembangkan indikator dari Kompetensi Dasar, yaitu dalam menentukan kata kerja

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1). Ketersediaan media pembelajaran 2). Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru, 4). Upaya yang dilakukan oleh guru geografi

pembelajaran IPA Kelas VI di Sekolah Dasar Katolik Kecamatan Langke Rembong pada umumnya sudah memadai untuk terlaksananya kegiatan pembelajaran, tetapi dari

Sesuai dengan paparan data penelitian mengenai eksistensi MTs Mambaus Sholihin yang sudah diakui di kalangan masyarakat luas dan dasar penggunaan cadar dalam kegiatan