• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik pengolahan dan penyajian ikan belut, Monopterus albus ISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik pengolahan dan penyajian ikan belut, Monopterus albus ISI"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN IKAN BELUT

(

Monopterus albus

) ISI

Oleh :

Hariyani

C 34101012

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

HARIYANI (C34101012). Teknik pengolahan dan penyajian ikan belut

(Monopterus albus) isi. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan ELLA SALAMAH.

Belut sebagai salah satu produk perikanan baik untuk kesehatan. Namun bentuk belut yang menyerupai ular menjadi suatu kendala mengapa belut belum begitu populer dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Penelitian ini bertujuan menyusun formulasi bumbu dalam pembuatan belut isi, mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap belut isi dalam berbagai bentuk pe nyajian, dan memperluas diversifikasi produk hasil perikanan.

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari komposisi bumbu yang disukai panelis dalam pembuatan belut isi berdasarkan uji organoleptik dengan perlakuan penambahan kelapa sangrai sebanyak 10, 20, dan 30 gram atau dalam persentase terhadap daging belut adalah 6,66 %, 13,33 %, dan 20 %. Hasil dari penelitian pendahuluan dilanjutkan pada penelitian utama dengan berbagai bentuk penyajian seperti bentuk sosis, rolade, dan sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng. Data yang diperoleh diolah dengan statistik non-parametrik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dan jika hasil analisis berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisson.

Hasil uji sensori belut isi pada penelitian pendahuluan menunjukkan penilaian panelis terhadap belut isi dari netral sampai agak suka. Perlakuan penambahan kelapa sangrai 10, 20, dan 30 gram tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur belut isi. Dari penampakan produk maka penambahan 10 gram kelapa sangrai merupakan formulasi terbaik, akan tetapi dari warna produk maka penambahan 10 dan 20 gram kelapa sangrai merupakan formulasi terbaik. Dari hasil penelitian ini dengan mempertimbangkan faktor ekonomis dapat disimpulkan bahwa pena mbahan kelapa sangrai 10 gram merupakan formulasi bumbu terbaik dalam pembuatan belut isi.

(3)

TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN IKAN BELUT

(

Monopterus albus

) ISI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Hariyani C 34101012

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Judul : TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN IKAN BELUT

(Monopterus albus) ISI Nama : Hariyani

NRP : C 34101012

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil Dra. Ella Salamah MSi NIP. 131 474 001 NIP. 131 788 597

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi

NIP. 130 805 031

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Teriring doa keselamatan penulis pada pembawa risalah kebenaran Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan seluruh umat di seluruh penjuru dunia yang setia mengikuti ajaranNya hingga akhir zaman.

Skripsi hasil penelitian ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan studi tentang teknik pengolahan dan penyajian ikan belut (Monopterus albus ) isi.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ir. Ruddy Suwandi M.S.,M.Phil dan Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen

pembimbing yang banyak memberikan kritik dan saran dalam penelitian dan penulisan skripsi.

2. Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran, masukan, dan perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dosen, staf dan Laboran Departemen THP atas bantuan dan kerjasama selama penelitian.

4. Papa, mama, wo aris, kak ote atas semangat, doa, kasih sayang dan dukungan yang tiada hentinya.

5. Tanti, M’eny, Baldep, Rina, Anggun, Uli, Intan, Indah, Istanti, Nurul dan THP 38,39,40.

6. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi, yang tidak sempat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Februari 2006

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 02 Oktober 1983 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri dari pasangan Bapak Lukman Pikir dan Ibu Horaini.

Penulis mengawali pendidikan di SDN 188/VI Bangko – Jambi dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1995. Pada tahun 1995 penulis diterima di SLTPN 3 Bangko - Jambi dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMU 1 Bangko - Jambi dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan.

Semasa kuliah, penulis pernah aktif pada Ikatan Mahasiswa Kerinci (IMK) tahun 2002/2003 dan anggota HIMASILKAN (Himpunan Mahasiswa Pengolahan Hasil Perikanan). Penulis pernah menjadi asisten luar biasa mata kuliah Dasar-dasar Mikrobiologi Akuatik tahun ajaran 2003/2004, Program Studi Budidaya Perairan. Penulis juga pernah menjadi panelis lomba karya ilmiah teknologi perikanan tepat guna pelajar dan mahasiswa tahun 2005.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada program studi Teknologi Hasil Perikanan, penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul ”Teknik Pengolahan dan Penyajian Ikan Belut

(7)

DAFTAR

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Belut ... 3

2.2 Diversifikasi Pengolahan Ikan ... 5

2.3 Pengolahan Ikan Belut ... 6

2.3.1 Penggorengan ... 6

2.3.2 Dendeng belut ... 7

2.3.3 Selai belut ... 7

2.4 Belut Isi ... 8

2.4.1 Bahan baku utama ... 9

2.4.2 Bahan tambahan ... 9

2.4.2.1 Garam ... 9

2.4.2.2 Bawang putih ... 10

2.4. 2.3 Bawang merah ... 10

2.4.2.4 Ketumbar ... 11

2.4.2.5 Jintan ... 11

2.4.2.6 Cabai merah ... 12

2.4.2.7 Kemiri ... 13

2.4.2.8 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)... 13

2.4.2.9 Kelapa ... 14

2.5 Penilaian Organoleptik ... 15

2.6 Pengolahan dan Penyajian ... 15

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Bahan dan Alat ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 18

(8)

3.4 Uji Organoleptik ... 20

3.5 Rancangan Percobaan ... 21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan ... 22

4.1.1 Penampakan ... 22

4.1.2 Aroma ... 23

4.1.3 Rasa ……… ... 25

4.1.4 Warna ………. ... 26

4.1.5 Tekstur ………... 28

4.2 Penelitian Utama ……… ... 29

4.2.1 Penampakan ………. ... 30

4.2.2 Warna ………... ... 34

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……….. ... 36

5.2 Saran ………... 36

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi zat gizi belut (Monopterus albus), telur ayam,

daging sapi, ikan mas(Cyprinus carpi... 5

2. Kandungan gizi cabai merah besar per 100 gram bahan ... 12

3. Kandungan gizi per 100 gram daging biji kemiri ... 13

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ikan belut (Monopterus albus) ... 3

2. Jintan (Coleus ambonicus) ... 12

3. Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)... 14

4. Diagram alir proses pembuatan belut isi ... 20

5. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan pada penelitia n pendahuluan... 23

6. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma pada penelitian pendahuluan ... 24

7. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa pada penelitian pendahuluan... 26

8. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada penelitian pendahuluan ... 27

9. Perubahan komponen warna belut isi... 28

10. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur pada penelitian pendahuluan... 29

11. Histogram nilai rata -rata kesukaan terhadap penampakan pada penelitian utama ... 30

12. Produk belut isi dengan bentuk sosis yang dikukus dan dikukus goreng ... 31

13. Produk ikan belut isi dengan bentuk rolade yang dikukus dan dikukus goreng... 32

14. Produk belut isi dengan bentuk sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng ... 32

15. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada penelitian utama ... 34

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi pada

penelitian pendahuluan ... 41

2. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi pada penelitia n utama ... 42

3. Hasil uji organoleptik penampa kan pada penelitian pendahuluan... 43

4. Hasil uji organoleptik aroma pada penelitian pendahuluan ... 44

5. Hasil uji organoleptik rasa pada penelitian pendahuluan... 45

6. Hasil uji organoleptik warna pada penelitian pendahuluan ... 46

7. Hasil uji organoleptik tekstur pada penelitian pendahuluan ... 47

8a. Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian pendahuluan... 48

8b. Hasil uji Kruskal Wallis aroma pada penelitian pendahuluan... 48

8c. Hasil uji Kruskal Wallis rasa pada penelitian pendahuluan ... 49

8d. Hasil uji Kruskal Wallis warna pada penelitian pendahulua n... 49

8e. Hasil uji Kruskal Wallis tekstur pada penelitian pendahuluan... 50

9a. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian pendahuluan ... 51

9b. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap warna ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian pendahuluan... 52

10. Hasil uji organoleptik penampakan pada penelitian utama... 53

11. Hasil uji organoleptik warna pada penelitian utama ... 54

12a.Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian utama ... 55

12b.Hasil uji Kruskal Wallis warna pada penelitian utama ... 55

13a. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian utama ... 56

(12)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bidang perikanan merupakan salah satu bidang dalam pembangunan yang mempunyai prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan. Luas perairan laut nasional yang dimiliki Indonesia diperkirakan sebesar 5,8 juta km2, termasuk ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan juga meliputi panjang pantai sekitar 81.000 km2. Dari perairan laut saja Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan lestari sebesar 6,6 juta ton per tahun. Namun sampai saat ini potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik karena faktor sumber daya manusia, teknologi maupun kebijakan yang belum terarah (Sudarisman dan Elvina 1996).

Indonesia mempunyai potensi perikanan yang cukup besar, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimum. Selain itu, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga perlu suatu upaya untuk meningkatkan konsumsi ikan dan meningkatkan nilai ekonomis ikan dengan cara diversifikasi produk perikanan.

Ikan merupakan salah satu hasil perikanan yang banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelebihannya. Ikan dan produk-produk perikanan merupakan protein yang relatif murah dibandingkan dengan sumber-sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi, daging ayam, susu, dan telur. Salah satu jenis hasil perikanan adalah ikan air tawar. Dilihat dari aspek biologi, fisika dan lingkungannya, ikan air tawar memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

dengan ikan air laut. Belut merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak dihasilkan dan belum dikenal dikalangan masyarakat sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti ikan mas (Cyprinus carpio). Belut banyak dijumpai di tanah berlumpur, terutama di sawah, di tepi empang, atau sungai. Belut banyak diperjualbelikan seperti ikan air tawar. Sekarang belut dapat diternakkan dalam kolam, sehingga mudah diperoleh di pasar.

(13)

karena berharga mahal dan terdapat di restoran-restoran kelas atas

(Sundoro 2002). Di Indonesia, belut yang dapat dimakan dan belakangan dijadikan obat biasanya berasal dari sawah atau di tepi empang. Belut yang berukuran besar sering disebut moa.

Belut merupakan bahan pangan hewani yang baik untuk kesehatan manusia, belut memang cocok dijadikan pangan baru. Namun bentuk dari belut yang menyerupai ular tersebut menjadi suatu kendala mengapa belut belum begitu populer dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Hal ini menyebabkan respon yang kurang baik di masyarakat. Masalah respon yang kurang baik dari masyarakat terhadap penampakan belut dapat diatasi dengan mengolahnya ke dalam bentuk makanan yang lezat dan dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu alternatif untuk mengubah kesan seperti ular tadi adalah dengan mengubah atau memberi nilai tambah dalam bentuk pengolahan belut isi dan penyajiannya berupa bentuk sosis, rolade, dan sosis belah sehingga dihasilkan penampakan yang menarik.

Belut isi diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang dipilih untuk menarik konsumen dalam upaya meningkatkan konsumsi terhadap belut yang kurang diterima jika dilihat dari segi penampakannya. Dengan adanya produk ini diharapkan dapat memperbaiki gizi masyarakat dengan mengkonsumsi ikan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

(14)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Belut

Klasifikasi ikan belut (Monopterus albus) menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Toleostei

Ordo : Synbranchoidea

Famili : Synbranchoidae Genus : Monopterus

Spesies : Monopterus albus

Belut (Monopterus albus) tersebar luas di Asia Tenggara dan Cina. Ikan ini di Pulau Jawa dikenal dengan nama belut, lindung, dan welut. Sedangkan di

Madura dikenal dengan nama beludi dan di Sumatera disebut belan (Sarwono 1999). Bentuk belut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan Belut (Monopterus albus)

(15)

sebagaimana anggapan banyak orang yang enggan mengkonsumsinya. Hewan air

ini merupakan ikan darat yang tidak bersirip. Bentuk badannya bulat panjang dan berlendir banyak sehingga tidak mudah ditangkap kecuali oleh mereka yang sudah mengetahui cara penangkapannya (Sundoro 2002).

Pada umumnya belut betina mempunyai panjang 25-30 cm sedangkan belut jantan 35-40 cm. Dalam kehidupan sehari-hari belut kecil memakan jasad renik yang merupakan zooplankton dan zoobenthos dibagian perairan yang dangkal. Belut berukuran sedang panjangnya 20-40 cm dengan diameter badan 1,5 cm, sedangkan moa bisa mencapai 50-70 cm. Bahkan, moa bisa mencapai ukuran satu meter, dengan diameter mulai dari 3 sampai 5 cm (Rahman 2004).

Ikan belut hidupnya di lumpur sehingga bau lumpur akan mempengaruhi produk olahan ikan ini. Untuk menghilangkan bau lumpur, maka perut ikan belut harus dikosongkan dengan membiarkan berada dalam air bersih yang mengalir selama satu hari (Peranginangin dan Yunizal 1992).

Belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi garam 3 %. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang masih terikat pada kulit. Untuk membersihkan lendir pada belut membutuhkan tiga kali pemberian abu gosok (Rusiana 1988). Pengkulitan daging belut menurut

Sarwono (1999) dapat dilakukan bagi yang ahli. Lain halnya pendapat Rusiana (1988) menyatakan bahwa pengkulitan sulit dilakukan karena ikatan

antara kulit dan daging sangat kuat sehingga apabila ditarik dagingpun ikut tertarik.

Komposisi zat gizi belut (Monopterus albus) tidak kalah jika dibandingkan

dengan sumber protein hewani lainnya. Selain kadar protein yang tinggi, belut juga memiliki kandungan lemak yang tinggi. Komposisi zat gizi belut dapat dilihat pada Tabel 1.

(16)

Tabel 1. Komposisi zat gizi belut (Monopterus albus), telur ayam, daging sapi, ikan mas (Cyprinus carpio)

Zat gizi Belut Daging sapi Telur ayam Ikan Mas

Protein (gram) 14,0 18,8 12,8 16,0

Lemak (gram) 27,0 14,0 11,5 2,0

Karbohidrat(gram) 0,0 0,0 0,7 0,0

Kalori (kal) 303 207 162 36

Kalsium (mg) 20 11 54 20

Fosfor (mg) 200 170 180 150

Besi (mg) 1,0 2,8 2,7 2,0

Vitamin A (SI) 1600 20 900 150

Kadar Air (gram) 58,0 66,0 74,0 80,0

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)

2.2 Diversifikasi Pengolahan Ikan

Diversifikasi merupakan salah satu cara penganekaragaman jenis produk olahan hasil perikanan dari bahan baku yang belum atau sudah dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan faktor mutu dan gizinya sebagai usaha peningkatan konsumsi produk perikanan baik kualitas maupun kuantitas dan peningkatan nilai jualnya. Salah satu bentuk diversifikasi pengolahan ikan yaitu dalam bentuk produk sosis ikan dan bandeng isi.

Sosis merupakan produk daging giling yang bersifat kenyal dan berbentuk silinder dengan pembungkusan khusus yang disebut casing. Produk ini sangat popular terutama di Jepang dan dipasarkan dalam berbagai kemasan seperti dalam kantong plastik, kaleng, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri sosis ini dikenal baik hanya oleh golongan masyarakat tertentu saja karena mempunyai harga yang relatif mahal (BPPP 1991). Sosis ikan merupakan daging ikan cincang atau sebagian besar daging ikan cincang yang dicampur dengan daging babi cincang, sapi, kuda, kelinci atau unggas yang ditambahkan minyak, bumbu dan pati sebagai pengisi. Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam casing dan diikat,

setelah itu diuapkan atau direbus (Tanikawa 1971).

(17)

aneka variasi, karena Semarang merupakan penghasil bandeng yang besar dan

terkenal. Ikan bandeng, selain enak digoreng dan dipindang, juga dapat dimasak dengan cara lain, yaitu menjadi bandeng isi. Cara membuatnya antara lain sebagai berikut: bahan yang digunakan yaitu 1 ekor ikan bandeng ukuran sedang, sisik dan

bagian perut dibersihkan tanpa merobek bagian perutnya. Seratus gram kelapa parut, sangrai sebentar saja dengan api sedang (2-3 menit). Sedangkan bumbu yang digunakan adalah cabai merah, bawang putih, bawang merah, ketumbar sangrai, jintan sangrai, kemiri sangrai, dan garam secukupnya. Tulang ekor ikan dipatahkan dengan cara menekukkan ekor ikan. Setelah itu ikan dipukul-pukul dengan sendok kayu agar dagingnya lunak. Daging ikan dikeluarkan dengan perlahan-lahan agar kulit ikan tidak robek dan bersihkan daging dari duri-duri ikan. Daging ikan di campur dengan bumbu halus dan kelapa sangrai, lalu dimasukkan ke dalam kulit ikan sambil dipadatkan. Alumunium foil atau daun pisang yang sudah diolesi minyak digunakan untuk membungkus bandeng tersebut. Ikan dimasak dengan cara dikukus selama kurang lebih 30 menit.

2.3 Pengolahan Belut

Daging belut dapat diolah menjadi berbagai macam jenis masakan. Daging-daging belut tersebut dapat diolah dengan cara yang sampai saat ini dikenal yaitu dengan cara digoreng, dibuat dendeng belut, selai belut, dan lain-lain.

2.3.1 Penggorengan

Menurut Dogerskog (1977), penggorengan merupakan proses transfer panas melalui medium minyak, dimana suhu permukaan dapat mencapai lebih dari 100oC. Menggoreng ditandai dengan terjadinya proses dehidrasi permukaan, pengerasan bentuk dan reaksi pencoklatan (browning) bila selesai digoreng dan diletakkan pada lingkungan kering. Dengan menggoreng, permukaan (kulit)

(18)

mempengaruhi penampakan, flavor, lemak yang terserap, dan stabilitas

penyimpanan, serta faktor ekonomi (Ketaren 1986).

Secara umum semakin lama makanan digoreng makin banyak minyak yang terserap. Suhu minyak yang rendah akan menyebabkan terjadinya kekerasan yang

tidak diinginkan pada makanan (bantat). Semakin luas permukaan bahan ya ng digoreng makin banyak minyak yang terserap (Suman 1983). Bahan pangan yang digoreng mempunyai permukaan luar yang berwarna coklat keemasan. Munculnya warna ini disebabkan karena reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama, suhu menggoreng, dan komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan, sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap warna permukaan bahan pangan (Ketaren 1986).

2.3.2 Dendeng belut

Dendeng merupakan produk semi basah yang banyak diminati oleh masyarakat, produk ini terbuat dari daging yang dibumbui lalu dikeringkan. Cara membuatnya antara lain sebagai berikut: belut dibersihkan dengan cara membuang bagian kepala, isi perut dan insangnya. Potongan badan belut ditelentangkan di atas talenan, kemudian ditumbuk agar bentuknya menipis dan melebar (Sarwono 1999). .

Belut dicuci bersih, kemudian belut direndam dalam bumbu dendeng yang terbuat dari bawang merah, ketumbar, jintan, gula, asam, dan bawang putih. Setelah direndam dalam bumbu selama 20 menit, daging belut dikeringkan di bawah panas matahari. Untuk menghindari kerumunan lalat dan kerusakan oleh mikroba, sebaiknya dibuatkan pengeringan khusus dari plastik (rumah plastik) (Sarwono 1999).

2.3.3 Selai belut

(19)

Daging dikeluarkan dari air rebusan, lalu ditiriskan sampai semua airnya

tidak la gi menetes ke bawah. Dalam air perebusan masukan bumbu yang terdiri dari merica, cengkeh, daun salam, sepotong kulit sitrun dan garam, ditambahkan sedikit agar-agar. Bumbu direbus selama 15 menit. Selanjutnya air masakan

bumbu disaring. Potongan-potongan belut ditaruh dalam botol penyimpanan, lalu dituangi daging tersebut dengan air bumbu yang telah dingin. Selanjutnya botol ditutup baik-baik (Sarwono 1999).

2.4 Belut Isi

Belut isi merupakan makanan yang dibuat dari daging belut cincang yang dicampur bumbu-bumbu seperti garam, bawang putih, bawang merah, cabai merah, jintan, kemiri, ketumbar, kelapa sangrai dan dimasukkan kedalam kulit belut dan diikat, setelah itu dimasak dengan dikukus. Langkah-langkah yang harus

dilakukan dalam pembuatan belut isi adala h mengacu pada pembuatan bandeng isi, yaitu sebagai berikut (Hermawan 2004).

(1) Persiapan bahan

Belut dimatikan dengan cara memukul bagian kepalanya dan dibersihkan dari kotoran disekitar kulit. Lendir yang melekat pada belut dicuci sampai bersih. Untuk memudahkan menghilangkan lendir bisa dengan cara memberikan abu gosok. Belut yang telah dibersihkan direndam dalam larutan air jeruk nipis dengan konsentrasi 5 % dan lama perendaman selama 5 menit.

(2) Pengkulitan

Proses pelepasan kulit dengan daging dapat dilakukan dengan cara menyayat kulit dibagian bawah kepala dan menariknya ke arah ekor.

(3) Pelumatan

Ikan dicuci kemudian disiangi. Isi perut, kepala dan ekor harus dibuang. Setelah dicuci dibuat daging fillet dan membuang tulangnya. Fillet kemudian dimasukkan ke dalam alat penggiling untuk mendapatkan daging lembut yang homogen.

(4) Pemberian bumbu

(20)

(5) Penggorengan

Belut yang sudah dikukus digoreng dengan minyak sampai berwarna kecoklatan. Penggorengan dilakukan pada keadaan api konstan dan sama.

2.4.1 Bahan baku utama

Belut yang masih hidup atau baru saja ditangkap sangat bagus untuk diawet atau diasap. Belut yang masih baru padat dagingnya, mata jernih, insang merah, dan bagus warnanya (Sarwono 2003).

Sebelum diolah atau diawetkan daging belut perlu dibersihkan dulu dari lendirnya. Untuk memudahkan menghilangkan lendir dapat dilakukan dengan cara memberi abu atau menetesinya dengan air jeruk, selanjutnya belut tersebut dicuci bersih (Sarwono 2003).

2.4.2 Bahan tambahan

Setelah belut dibersihkan, daging dilepaskan dari kulit dimana kulit jangan sampai robek. Kemudian daging belut dihancurkan dengan terlebih dahulu membuang tulang dari ikan tersebut, lalu dicampur dengan bumbu-bumbu yang telah ditentukan, terakhir daging belut dimasukkan kembali ke dalam kulit ikan belut.

Bumbu atau rempah-rempah adalah bahan yang berasal dari tumbuhan yang biasa dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberikan flavor dan dapat membangkitkan selera makanan (Somaatmadja 1985). Selain itu menurut Winarno (1997), bumbu juga dapat meningkatkan mutu seperti aroma, warna, tekstur dan lain -lain pada waktu pengolahan makanan.

2.4.2.1 Garam

Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan digunakan sebagai penegas cita rasa, bahan pengawet dan bahan untuk melepaskan adonan pada industri roti. Garam mungkin terdapat secara alamiah dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % garam akan terasa hambar dan tidak disukai (Winarno et al. 1980).

(21)

mikroorganisme (germisidal) tetapi hanya sebagai bumbu yang akan memberi cita

rasa gurih pada bahan pangan yang ditambahkan (Zaitsev et al. 1969 ). Garam yang dicampurkan ke dalam daging ikan harus mempunyai konsentrasi tertentu. Suzuki (1981) menyatakan ba hwa garam yang ditambahkan berkisar antara 2-3 %

dari berat ikan yang digunakan.

2.4.2.2 Bawang putih (Allium longicuspis)

Bawang putih (Allium longicuspis) telah dikenal sebagai bumbu maupun obat-obatan. Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih merupakan bahan alami yang biasanya ditambahkan ke dalam makanan. Bau khas bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih akan muncul apabila terjadi pemotongan atau pengrusakan jaringan (Palungkun dan Budiarti 1992).

Allicin adalah komponen utama yang berperan memberi aroma bawang putih dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman penyakit (bersifat anti bakteri). Allicin berperan ganda membunuh bakteri, yaitu bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif karena mempunyai gugus

asam amino para amino benzoat (Palungkun dan Budiarti 1992).

2.4.2.3 Bawang merah (Allium cepa, L)

Bawang merah banyak dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap makanan. Adanya kandungan minyak atsiri dapat menimbulkan aroma yang khas dan memberikan cita rasa yang gurih serta mengundang selera. Disamping memberikan cita rasa, kandungan minyak atsiri juga berfungsi sebagai pengawet karena bersifat fungisida untuk bakteri dan cendawan tertentu (Rahayu dan Berlian 1994).

Bawang merah (Allium cepa, L) juga berfungsi sebagai bahan pengawet dan

(22)

bereaksi dengan vitamin B1 berubah menjadi alitiamin. Zat ini membentuk

vitamin B1 menjadi lebih efisien dimanfaatkan oleh tubuh (Wibowo 1991).

2.4.2.4 Ketumbar (Coriandrum sativum L.)

Rempah-rempah seperti ketumbar sering ditambahkan dalam campuran

curing untuk pemberian aroma yang diinginkan. Manfaat ketumbar untuk menghilangkan bau anyir, menimbulkan bau sedap, menimbulkan rasa pedas yang gurih dan menyedapkan makanan (Zaitsev et al. 1969). Biji ketumbar dapat dimanfaatkan sebagai obat peluruh dahak, penambah nafsu makan, pusing dan

masuk angin. Minyak dari biji ketumbar terutama mengamdung d-linalol (60-70 %) yang menjadi penyebab bau, geraniol, borneol, strironelol,

bermacam-macam ester, keton, dan aldehida (Syukur dan Hernani 1999).

Daunnya yang dikenal dengan nama wansui (Cina) digunakan untuk bumbu dalam makanan Tionghoa bersama-sama bawang cina dan kucai. Ketumbar banyak ditanam di daerah pegunungan untuk diambil buahnya yang biasanya untuk bumbu daging, kari, dan kimlo. Biasanya biji ketumbar dijual bersama biji jintan dan dikenal dengan nama ketumbar jintan (Soediarto et al. 1978).

2.4.2.5 Jintan (Coleus amboinicus)

Jintan (Coleus amboinicus) merupakan suatu tumbuhan jenis rumput-rumputan, mempunyai batang dan tangkai berkayu. Jintan biasanya ditanam di kebun-kebun di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Batangnya lunak dan berair, dan tepinya bergerigi. Daun jintan memiliki bau yang khas dan bermanfaat untuk pengobatan. Pengembangbiakan tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek dan dapat ditanam dalam pot maupun ditanam langsung di tanah. Jintan tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak kena sinar matahari dan airnya cukup (tidak terlalu kering).

Sifat kimia dan efek farmakologis dari jintan adalah sebagai berikut: rasa

(23)

Gambar 2. Jintan (Coleus amboinicus)

2.4.2.6 Cabai merah (Capsium annum var. longum)

Cabai merah (Capsium annum var. longum) merupakan suatu komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain berguna sebagai penyedap masakan, cabai juga mengandung zat gizi yang

sangat dip erlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin dan mengandung senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavonoid, dan minyak essensial (Prajnanta 1995). Kandungan gizi cabai merah besar per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Rasa pedas pada cabai ditimbulkan oleh zat capsaicin. Capsaicin terdapat pada biji cabai dan pada plasenta, yaitu kulit cabai bagian dalam yang berwarna putih tempat melekatnya biji. Rasa pedas tersebut bermanfaat untuk mengatur peredaran darah, memperkuat jantung, nadi, dan syaraf (Prajnanta 1995).

Tabel 2. Kandungan gizi cabai merah besar per 100 gram bahan Kandungan gizi Cabai merah

segar

Cabai merah kering

Kadar air (%) 90,9 10,0

Kalori (kal) 31,0 311

Protein (g) 1,0 15,9

Lemak (g) 0,3 6,2

Karbohidrat (g) 7,3 61,8

Kalsium (mg) 29,0 160

Fosfor (mg) 24,0 370

Besi (mg) 0,5 2,3

Vitamin A (SI) 470 576

Vitamin C (mg) 18,0 50,0

Vitamin B1 (mg) 0,05 0,4

(24)

2.4.2.7 Kemiri (Aleurites moluccana, Willd)

Menurut Dali dan Ginting (1981), tanaman kemiri mempunyai tinggi 25-70 meter dan beranting banyak. Bunga kemiri merupakan bunga majemuk berumah satu, berwarna putih dan bertangkai pendek. Buah kemiri berkulit tebal,

berdiameter sekitar 5 cm, di dalamnya terdapat satu atau dua biji yang diselubungi kulit biji (tempurung) yang keras dengan permukaan kasar dan beralur. B iji kemiri merupakan bagian tanaman yang paling bernilai ekonomis dan paling banyak digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Daging biji kemiri memiliki kadar gizi dan energi yang sangat tinggi. Data mengenai kandungan gizi yang terdapat pada daging biji kemiri selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Buah kemiri tidak dapat langsung dimakan mentah karena beracun yang disebabkan oleh toxolbumin. Persenyawaan toxolbumin dapat dihilangkan dengan cara pemanasan dan dapat dinetralkan dengan penambahan bumbu lainnya seperti garam, merica, dan terasi (Ketaren 1986).

Tabel 3. Kandungan gizi per 100 gram daging biji kemiri

Komponen Gizi Jumlah terkandung

Energi (kal) 636

Protein (g) 19

Lemak (g) 63

Karbohidrat (g) 8

Kalsium (mg) 80

Fosfor (mg) 200

Besi (mg) 2

Vitamin B (mg) 0,06

Air (g) 7

Sumber : Ketaren (1986)

2.4.2.8 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

(25)

Gambar 3. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)

Jeruk nipis mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat,

misalnya: limonen, linalin asetat, geranil asetat, fellandren, dan sitral. Di samping itu jeruk nipis mengandung asam sitrat. Seratus gram (100 gram) buah jeruk nipis mengandung: vitamin C 27 miligram, kalsium 40 miligram, fosfor 22 miligram, hidrat arang 12,4 gram, vitamin B 1 0,04 miligram, zat besi 0,6 miligram, lemak 0,1 gram, kalori 37 gram, protein 0,8 gram dan air 86 gram (IPTEK Net 2002).

2.4.2.9 Kelapa (Cocos nucifera L)

Daging buah kelapa adalah jaringan yang berasal dari inti lembaga yang dibuahi sel kelamin jantan dan membelah diri. Daging buah kelapa berwarna

putih, lunak, dan tebalnya 8-10 mm. Daging buah ini merupakan sumber protein yang penting dan mudah dicerna. Jumlah protein terbesar terdapat pada kelapa yang setengah tua. Sedangkan kandungan kalorinya mencapai maksimal ketika buah sudah tua, demikian pula dengan kandungan lemaknya. Buah kelapa akan maksimal kandungan aktivitas vitamin A dan thiaminnya ketika buah setengah tua (Palungkun 1993).

Buah kelapa yang sudah tua mengandung kalori yang tinggi, sebesar 359 kal per 100 gram; daging kelapa setengah tua mengandung 180 kalori

(26)

Mineral yang terkandung pada air kelapa ialah zat besi, fosfor dan gula yang

terdiri dari glukosa, fruktosa dan sukrosa. Kadar air yang terdapat pada buah kelapa sejumlah 95,5 gram dari setiap 100 gram (IPTEK Net 2002).

2.5 Penilaian Organoleptik

Penilaian organoleptik yaitu suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk mengungkapkan, mengukur, menganalisis dan menginterpretasikan reaksi-reaksi seseorang terhadap karakteristrik pangan atau bahan lainnya yang dinyatakan oleh penglihatan, perasa, dan peraba (Prell 1976, diacu dalamNasoetion 1988).

Pengujian organoleptik mempunyai macam-macam cara pengujian yang paling populer. Selain itu, terdapat dua pengujian yang lain yaitu pengujian skalar dan pengujian deskripsi. Pada uji skalar, panelis diminta menyatakan besaran kesan yang diperolehnya. Besaran itu dapat dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Pengujian deskripsi merupakan penilaian sensorik yang berdasarkan sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks, meliputi banyak sifat sensorik. Pengujian skalar dan pengujian deskripsi banyak digunakan dalam pengawasan mutu (quality control). Parameter yang diuji dalam penilaian

organoleptik meliputi penampakan, aroma, warna, rasa dan teks tur

(Soekarto 1985).

2.6 Pengolahan dan Penyajian

Menurut Wirakusumah (1991), pengolahan adalah suatu proses perubahan dari bahan makanan mentah atau makanan setengah jadi menjadi makanan yang siap dihidangkan. Pengolahan adalah suatu proses kegiatan pemasakan seperti membakar, merebus, menggoreng, mengetim, dan menumis.

Teknik yang digunakan untuk memasak ikan menurut Direktorat Bina Gizi

Masyarakat 1990, diacu dalam Sudaryani 2004 adalah sebagai berikut : (1) merebus (boiling), yaitu memasak bahan makanan dalam cairan mendidih;

(27)

dengan temperatur 200oC; dan (6) sistem bakar, yaitu memasak bahan makanan

dalam bara api.

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Pengukusan

sebelum pengeringan terutama untuk menginaktifkan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Harris dan Karmas 1989).

Proses pemanfaatan panas merupakan salah satu tahap penting dalam pengolahan ikan. Pemanasan yang diupayakan pada ikan adalah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti mempertahankan mutu ikan,

perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna (Harikedua 1992).

Perlakuan dengan cara pemanasan dapat menyebabkan protein ikan terdenaturasi, demikian juga dengan enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan (Lovern 1962). Pada suhu 100oC protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan akan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa bernitrogen, ammonium dan hidrogen sulfida dalam daging. Pada daging tidak terjadi pemecahan vitamin D, riboflavin, tiamin atau asam nikotin, tetapi jelas kehilangan vitamin A (Zaitsev et al. 1969).

Adapun tujuan dilakukan pengukusan adalah untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Dalam pengukusan diterapkan proses suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan proses gelatinasi pati (Harris dan Karmas 1989).

Menurut [Depdikbud] 1988, penyajian adalah proses, perbuatan, atau cara menyajikan atau mengatur penampilan. Saat tuntutan konsumen untuk

(28)

lagi menggunakan piring biasa, tapi dilapisi dengan daun layaknya tradisi

(29)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2005, bertempat di Laboratorium Fisika-Kimia Hasil Perikanan dan Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan belut (Monopterus albus) dengan berat 150 gram per ekor. Selain itu digunakan bahan tambahan lainnya seperti kelapa sangrai, jeruk nipis, garam, bawang putih, bawang merah, ketumbar, cabai merah, jintan dan kemiri.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kompor, baskom, wajan, pisau, kukusan, alat penggiling (blender), sodet, sendok kayu, dan alumunium foil. Sedangkan alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah lembaran score sheet, ballpoint dan piring-piring untuk penyajian.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari komposisi bumbu yang disukai panelis dalam pembuatan belut isi berdasarkan uji organoleptik. Perlakuan yang dilakukan adalah penambahan kelapa sangrai sebayak 10 gram, 20 gram, dan 30 gram. Komposisi bumbu yang digunakan dalam pembuatan belut (Monopterus albus) isi dapat dilihat pada Tabel 4.

Ikan belut segar dimatikan dengan cara memukul bagian kepalanya. Belut yang sudah mati dibersihkan dari lendir dan kotoran di sekitar kulit. Lendir tersebut dapat dihilangkan dengan menggunakan abu gosok. Setelah bersih dari lendir, kepala ikan belut dipotong. Perendaman belut (Monopterus albus) dalam larutan jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dengan konsentrasi 5 % dan lama

(30)

Tabel 4. Komposisi bumbu yang digunakan dalam pembuatan belut (Monopterus albus) isi

Bahan Jumlah

Daging belut 150 gram

Kelapa parut(sangrai) 10 ;20 ;30 gram

Cabai merah 2 gram

Bawang merah 5 gram

Bawang putih 3,8 gram

Ketumbar (sangrai) 1,4 gram

Jintan (sangrai) 0,3 gram

Kemiri (sangrai) 1,9 gram

Garam 3,5 gram

Ikan dikuliti dengan cara terlebih dahulu menyayat kulit pada daging bagian kepala dengan menggunakan pisau tajam. Kulit yang sedikit terpisah dari daging itu kemudian ditarik mengarah ke belakang dan ke bawah dengan menggunakan tangan secara hati-hati agar kulit tidak robek. Daging yang diperoleh dibersihkan kemudian diiris bagian punggung mulai dari bagian kepala menuju ekor. Pengirisan dilanjutkan kearah bagian dalam mengikuti tulang belakang menuju perut. Sesampai di perut isinya dikeluarkan hingga tulang belakang mudah dikeluarkan. Daging belut yang sudah bersih dihaluskan dengan mesin penggiling dan dicampur dengan bumbu-bumbu yang telah disiapkan. Daging yang telah tercampur dengan bumbu dimasukkan kembali kedalam kulit belut dan dikukus. Proses pembuatan belut isi dapat dilihat pada diagram alir Gambar 4.

3.2.1 Penelitian utama

(31)

3.2.2 Uji Organoleptik (Soekarto 1985)

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan yang menyangkut penilaian panelis terhadap sifat produk. Dalam uji ini panelis diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan dan ketidaksukaannya. Skor penilaian organoleptik

adalah 1 sampai 9 yang dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Uji organoleptik ini dilaksanakan dengan cara menyajikan belut isi berdasarkan kode tertentu dan panelis diminta untuk memberikan penilaiannya pada score sheet

yang telah disediakan. Parameter organoleptik yang diamati meliputi penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Untuk penelitian utama uji organoleptik khusus ditekankan pada penampakan dan warna.

Ikan belut

Pencucian

Perendaman dalam larutan jeruk nipis (konsentrasi 5%, lama perendaman 5 menit)

Pemukulan ikan dengan sendok kayu

Pengeluaran daging ikan

Pencampuran daging dengan bumbu

Pemasukkan daging dalam kulit ikan, pemadatan.

Desain penampilan produk(sosis dan sosis belah, kecuali bentuk rolade)

Pengukusan(± 30 menit)

Penggorengan

Belut isi

(32)

3.3.2 Rancangan Percobaan

Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap belut isi, maka data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik non-parametrik. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian utama meliputi bentuk sosis, rolade,

dan sosis belah dengan cara dikukus dan dikukus goreng. Analisis non parametik dilakukan untuk pengujian organoleptik dengan skala hedonik menggunakan uji

Kruskal Wallis (Steel dan Torrie 1991) dan jika hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisson. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Jika H’ >X2 tabel, maka tolak HO dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisson dengan rumus sebagai berikut :

6

Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i RJ = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j K = Banyaknya ulangan

(33)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui formulasi bumbu yang disukai oleh panelis berdasarkan uji organoleptik (uji hedonik) pada produk ikan belut isi. Uji organoleptik pada produk ikan belut isi meliputi parameter penampakan, aroma, rasa, warna dan tekstur dengan kriteria 1-9 (Lampiran 1).

Jumlah panelis yang diikutsertakan pada pengujian organoleptik ini adalah 30 orang dengan spesifikasi panelis semi terlatih. Nasoetion (1988)

mengemukakan bahwa faktor -faktor yang mempengaruhi kualitas suatu hidangan tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan digambarkan sebagai lingkaran kualitas inderawi suatu hidangan.

4.1.1 Penampakan

Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan produk baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat karakteristik yang lainnya (aroma, rasa dan seterusnya). Meskipun penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Konsumen biasanya menyukai produk dengan bentuk utuh, permukaan rata dan warna yang menarik sesuai dengan karakteristik produk tersebut (Soekarto 1985). Hasil penelitian pendahuluan terhadap parameter penampakan adalah sebagai berikut dengan nilai rata-rata penilaian panelis terhadap penampakan ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 5.

Berdasarkan uji organoleptik, diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan ikan belut isi adalah antara 2-8, yang secara deskriptif berkisar antara amat tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 3). Nilai rata-rata tertinggi pada penampakan terletak pada ikan belut isi perlakuan K10G (penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus goreng) dengan nilai rata -rata organoleptik 6,16 (agak suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K10K (penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai

(34)

memiliki nilai tertinggi karena memiliki penampakan yang kering dibandingkan

dengan perlakuan K10K yang penampakannya agak basah.

6,16 Gambar 5. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan pada

penelitian pendahuluan.

Dari hasil uji Kruskal Wallis, diketahui bahwa perbedaan kelapa sangrai pada formulasi bumbu mempengaruhi kesukaan panelis terhadap penampakan. Hasil uji Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap penampakan dapat dilihat pada Lampiran 8a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa ikan belut isi dengan perlakuan K10G berbeda nyata dengan K10K, tapi K10G tidak berbeda nyata dengan K20G, K20K, K30G dan K30K. Artinya penampakan K10G, K20G, K20K, K30K, dan K30G cenderung sama. Panelis lebih menyukai perlakuan K10G karena memiliki penampakan dan tekstur yang tidak terlalu padat dan kering serta lebih mempertimbangkan faktor ekonomis. Menggoreng ditandai dengan terjadinya proses dehidrasi permukaan, pengerasan bentuk, dan reaksi pencoklatan bila selesai digoreng dan diletakkan pada lingkungan kering. Dengan menggoreng produk akan menjadi coklat dan menarik (Dogerskog 1977). Hasil uji lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 9a.

4.1.2 Aroma

(35)

industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan

cepat memberikan hasil penilaian apakah produk disukai atau tidak (Soekarto 1985). Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap aroma ikan belut isi

dapat dilihat pada Gambar 6.

5,83

K30K K30G K20K K20G K10K K10G

Kode perlakuan

rata-rata kesukaan terhadap aroma

Keterangan :

K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelap a 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 6. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma pada

penelitian pendahuluan.

Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap aroma ikan belut isi adalah antara 3-9, yang secara deskriptif berkisar antara tidak suka sampai amat sangat suka (Lampiran 4). Nilai rata-rata tertinggi pada aroma terletak pada ikan belut isi perlakuan K20K (penambahan kelapa sangrai 20 gram kukus) dengan nilai rata-rata organoleptik 6,33 (agak suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K10K (penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai rata -rata organoleptik 5,8 (biasa).

Hasil analisis statistik terhadap data organoleptik aroma ikan belut isi dengan metode Kruskal-wallis (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap aroma ikan belut isi. Hal ini disebabkan panelis menganggap aroma yang timbul dari produk ikan belut isi memiliki aroma yang hampir sama. Penambahan bumbu-bumbu seperti cabai merah, bawang putih, bawang merah, ketumbar, kemiri, jintan dan pemakaian jeruk nipis dapat menetralisir bau amis dari ikan belut, sehingga panelis lebih mencium aroma spesifik jeruk dan bawang putih daripada kelapa

(36)

aroma dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh

kuman-kuman penyakit. Karakteristik bawang putih akan muncul apabila terjadi pemotongan atau pengrusakan jaringan (Palungkun dan Budiarti 1992). Selain itu, jeruk nipis yang masih dalam keadaan segar tanpa adanya kerusakan karena panas

(suhu dibawah 40oC) dapat digunakan untuk membumbui daging dan ikan, membantu menghilangkan bau amis dan tak sedap, juga dapat mengempukkan daging yang alot (daging yang keras) (Sarwono 1986).

4.1.3 Rasa

Rasa memegang peranan penting dari keberadaan suatu produk. Dalam kehidupan sehari-hari konsumen lebih menghargai dan bersedia membayar tinggi makanan enak atau yang mereka senangi, tanpa mempertimbangkan komposisi gizi atau sifat obyektif lainnya. Menurut Winarno (1997), rasa lebih banyak dinilai

menggunakan indera pengecap. Penginderaan cecapan dibagi menjadi 4 cecapan utama yaitu asin, asam, manis, dan pahit. Rasa dipengaruhi

oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain. Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap aroma ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 7.

Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap rasa ikan belut isi adalah antara 3-8, yang secara deskriptif berkisar antara tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 5). Nilai rata-rata tertinggi pada

rasa terletak pada ikan belut isi perlakuan K30G (penambahan kelapa sangrai 30 gram kukus goreng) dengan nilai rata-rata organoleptik 6,43 (agak suka),

sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K20G (penambahan

kelapa sangrai 20 gram kukus goreng) dengan nilai rata-rata organoleptik 5,93 (biasa). Hal ini disebabkan produk ikan belut isi dengan perlakuan K30G

(penambahan kelapa sangrai 30 gram yang dikukus goreng) memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

(37)

penambahan kelapa sangrai. Jadi karena penambahan bumbu untuk setiap

perlakuan relatif sama, maka rasa belut isi dinilai sama oleh panelis.

6,26 K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 7. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa pada

penelitian pendahuluan.

4.1.4 Warna

Warna merupakan hasil indera mata yang biasa menjadi petimbangan dalam memilih produk. Faktor warna penting bagi kebanyakan makanan baik yang diproses maupun yang tidak diproses. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan bersama -sama dengan bau, rasa, tekstur dan penampakan. Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap aroma ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 8.

(38)

6,06

K30K K30G K20K K20G K10K K10G

Kode perlakuan

rata-rata kesukaan terhadap warna

Keterangan :

K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 8. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada

penelitian pendahuluan.

Hasil uji Kruskal Wallis diketahui bahwa perbedaan kelapa sangrai pada formulasi bumbu mempengaruhi kesukaan panelis terhadap warna. Hasil uji

(39)

Gambar 9. Perubahan komponen warna belut isi

Warna kulit belut pada saat dikukus berwarna kuning cerah, setelah

dilakukan penggorengan warna kulit menjadi kecoklatan. Daging belut berwarna putih keabuan, setelah ditambahkan bumbu dan kelapa sangrai warna dari daging menjadi warna coklat. Warna dari produk yang digoreng berwarna coklat tapi setelah dipotong warna bagian dalam berwarna kecoklatan.

4.1.5 Tekstur

Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen terhadap suatu produk pangan. Tekstur terkadang lebih penting dari penampakan, aroma, rasa, karena dapat mempengaruhi cita rasa makanan. Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 10.

Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur ikan belut isi adalah antara 2-8, yang secara deskriptif berkisar antara amat tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 7). Nilai rata-rata tertinggi pada tekstur terletak pada ikan belut isi perlakuan K30K (penambahan kelapa

sangrai 30 gram kukus) dengan nilai rata-rata organoleptik 5,96 (agak suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K10K (penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai rata -rata organoleptik 5,13 (biasa).

Hal ini dapat disebabkan penambahan kelapa sangrai pada produk

(40)

5,96

K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 10. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur pada

penelitian pendahuluan.

Hasil analisis statistik terhadap data organoleptik tekstur ikan belut isi dengan metode Kruskal-wallis (Lampiran 8e) menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap tekstur ikan belut isi. Hal ini disebabkan penambahan kelapa sangrai menghasilkan tekstur daging yang tidak padat pada semua perlakuan, sehingga tekstur dari belut isi dianggap sama oleh panelis.

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian pendahuluan. Dari hasil penelitian pendahuluan diperoleh satu formulasi bumbu yang disukai oleh panelis dengan cara organoleptik yaitu dengan memperhatikan parameter penampakan, warna, aroma, rasa, dan tekstur. Dari parameter tersebut diperoleh formulasi bumbu yang disukai oleh panelis yaitu formulasi bumbu dengan penambahan kelapa sangrai sebanyak 10 gram. Hasil tersebut kemudian diaplikasikan dalam bentuk penyajian ikan belut isi.

Penyajian bentuk belut isi meliputi tiga macam bentuk penyajian yaitu bentuk sosis yang dikukus (a101), sosis yang dikukus goreng (a102), bentuk rolade yang dikukus (a103), bentuk rolade yang dikukus goreng (a104), bentuk

sosis belah yang dikukus goreng (a105), dan bentuk sosis belah yang dikukus (a106). Untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap penyajian ikan belut

(41)

lebih ditekankan pada penampakan dan warna dari belut isi yang disajikan.

Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih

4.2.1 Penampakan

Penampakan merupakan parameter pertama yang dilihat oleh konsumen sebelum membeli suatu produk makanan. Penginderaan tentang penampakan biasanya berasal dari sentuhan yang dapat ditangkap oleh seluruh permukaan kulit. Rangsangan sentuhan dapat bermacam-macam diantaranya rangsangan mekanik, fisik, dan kimiawi (Soekarto 1985). Penampakan penyajian ikan belut isi yang menarik akan menambah selera makan konsumen.

Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap penampakan ikan belut isi adalah antara 3-8, yang secara deskriptif berkisar antara tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 10). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan bentuk penyajian ikan belut isi mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan. Hasil uji Kruskal Wallis dapat dilihat pada Lampiran 12a. Nilai rata-rata tertinggi pada penampakan terletak pada ikan belut isi bentuk rolade yang dikukus dengan nilai rata -rata organoleptik 6,90 (suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi

dengan bentuk sosis belah yang dikukus goreng nilai rata-rata organoleptik 5,60 (biasa). Nilai rata -rata penilaian panelis terhadap penampakan ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 11.

a101 a102 a103 a104 a105 a106

p a r a m e t e r p e n a m p a k a n

rata-rata kesukaan terhadap

produk

Keterangan :

(42)

Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 13a) menunjukkan

perlakuan a103 berbeda nyata dengan a105, tapi tidak berbeda nyata dengan a101, a102, a104, dan a106. Artinya a103, a101, a102, a104, dan a106 cenderung sama. Panelis lebih menyukai penyajian belut isi dengan bentuk yang berbeda dari

bentuk awal belut isi yaitu belut isi dengan bentuk rolade yang dimasak dengan dikukus yang terdapat pada perlakuan a103.

Penyajian produk belut (Monopterus albus) isi dengan bentuk sosis, bentuk rolade, dan bentuk sosis dibelah yang dimasak dengan dikukus dan dikukus goreng tanpa menggunakan aksesoris dalam penyajiannya, dapat dilihat pada Gambar 12,13, dan 14.

Gambar 12. Produk belut isi dengan bentuk sosis yang dikukus dan dikukus goreng

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan penampakan antara produk yang dikukus dengan produk yang dikukus goreng. Panelis lebih menyukai penampakan produk belut isi yang dimasak dengan dikukus dibandingkan dengan produk belut isi yang dimasak dengan dikukus goreng. Produk yang dikukus memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan warna produk yang dikukus goreng. Menggoreng ditandai dengan terjadinya proses dehidrasi permukaan, pengerasan bentuk dan rea ksi pencoklatan (browning) bila selesai digoreng dan diletakkan pada lingkungan kering (Dogerskog 1977).

(43)

Gambar 13. Produk belut isi dengan bentuk rolade yang dikukus dan dikukus goreng

Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan penampakan antara produk dengan bentuk rolade yang dikukus dengan produk yang dikukus

goreng. Secara deskriptif panelis lebih menyukai penampakan ikan belut isi yang dimasak dengan dikukus dibandingkan dengan produk belut isi yang dimasak dengan dikukus goreng. Pada produk yang dimasak dengan dikukus terlihat

bentuk gulungan dari rolade belut isi, sedangkan pada produk yang dikukus goreng bentuk gulungan tidak terlalu jelas.

Gambar 14. Produk belut isi dengan bentuk sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng

Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan penampakan antara produk dengan bentuk sosis belah yang dikukus dengan produk yang dikukus

(44)

penggorengan juga mempengaruhi penampakan dari produk karena menyebabkan

terjadinya pengkerutan pada kulit ikan belut isi.

Secara deskriptif dari bentuk sosis, rolade dan bentuk sosis belah yang dimasak dengan dikukus dan dikukus goreng, dapat diketahui bahwa penampakan

ikan belut isi dengan bentuk rolade kukus lebih disukai dibandingkan dengan bentuk-bentuk penyajian yang lain. Hal ini disebabkan bentuk rolade yang dikukus bentuknya lebih menarik atau jauh dari bentuk belut utuh yang menyerupai bentuk ular, selain itu adanya bentuk gulungan pada produk menambah daya tarik pada produk tersebut.

4.2.2 Warna

Warna merupakan salah satu parameter organoleptik untuk mendapatkan penilaian paling awal, karena pada saat pelaksanaan penilaian mata merupakan indera pertama yang memberikan reaksi. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik atau tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Winarno 1997).

Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap warna ikan belut isi adalah antara 3-9, yang secara deskriptif berkisar antara tidak suka sampai amat sangat suka (Lampiran 11). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa per bedaan bentuk penyajian ikan belut isi mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap warna. Hasil uji Kruskal Wallis

dapat dilihat pada Lampiran 12b. Nilai rata -rata tertinggi pada warna terletak pada ikan belut isi bentuk rolade yang dikukus dengan nilai rata-rata organoleptik 6,53 (suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi dengan bentuk sosis dibelah yang digoreng nilai rata-rata organoleptik 5,30 (biasa) . Nilai rata -rata penilaian panelis terhadap warna ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 16.

(45)

serta memiliki bentuk penyajian yang berbeda dari bentuk awal belut isi yaitu

yang terdapat pada perlakuan a103.

6,03

a101 a102 a103 a104 a105 a106

parameter warna

rata-rata kesukaan terhadap

produk

Keterangan :

a101 : bentuk sosis, kukus a104 : bentuk rolade, kukus goreng a10 2 : bentuk sosis, kukus goreng a105 : bentuk sosis belah, kukus goreng a103 : bentuk rolade, kukus a106 : bentuk sosis belah, kukus

Gambar 15. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada penelitian utama

Secara deskriptif warna ikan belut isi dengan bentuk rolade kukus lebih

banyak disukai dibandingkan dengan warna dari bentuk-bentuk penyajian yang lain. Hal ini disebabkan warna dari rolade yang dikukus bentuknya cerah daripada warna dari rolade dikukus goreng yang berwarna kecoklatan.

Dari segi fisio-psikologik warna adalah respon mata manusia terhadap rangsangan sinar. Putih adalah tanggapan warna yang disebabkan oleh gabungan seluruh spektrum terlihat, sedangkan warna gelap (warna hitam) adalah jika tidak

ada sama sekali spektrum terlihat dari suatu benda terpancar ke mata (Soekarto 1985). Semakin lama waktu pengukusan warna yang terbentuk semakin

tambah pekat. Hal ini diduga akibat terjadinya reaksi pencoklatan pada lapisan luar produk akibat proses pema nasan yang dilakukan.

(46)

Penyajian produk belut (Monopterus albus) isi dengan bentuk sosis, rolade,

dan sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng dengan menggunakan aksesoris seperti tomat merah, cabai merah dan sayur salada dalam penyajiannya, dapat dilihat pada Gambar 16.

A B

C D

E F Gambar 15. Bentuk penyajian ikan belut isi :

A : bentuk sosis yang dikukus B : bentuk sosis yang dikukus goreng C : bentuk rolade yang dikukus

(47)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil uji sensori belut isi pada penelitian pendahuluan menunjukkan penilaian panelis terhadap belut isi dengan penambahan kelapa sangrai dari netral sampai agak suka. Perlakuan penambahan kelapa sangrai 10, 20, dan 30 gram tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur belut isi. Dari penampakan produk maka penambahan 10 gram kelapa sangrai merupakan

formulasi terbaik, akan tetapi dari warna produk maka penambahan 10 dan 20 gram kelapa sangrai merupakan formulasi terbaik. Dari hasil penelitian ini

dengan mempertimbangkan faktor ekonomis dapat disimpulkan bahwa penambahan kelapa sangrai 10 gram merupakan formulasi bumbu terbaik dalam pembuatan belut isi.

Hasil uji sensori belut isi pada penelitian utama menunjukkan penilaian panelis terhadap penyajian belut isi dari netral sampai agak suka. Parameter penampakan dan warna dari belut isi dengan bentuk penyajian rolade yang dimasak dengan dikukus merupakan bentuk penyajian terbaik dari belut isi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan :

1. Variasi la in pada belut isi bentuk sosis dengan menggunakan telur dan tepung dalam proses penggorengan sehingga dihasilkan penampilan yang lebih baik. 2. Formulasi jenis bumbu untuk mendapatkan rasa yang lebih baik.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

[BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, ARMP 1991/1992, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Sub Balai Penelitian Perikanan Laut SLIPI. 1991. Teknologi Pe manfaatan Ikan Cucut. Jakarta: BPPP.

Dali J, Ginting A Ng. 1981. Cara Penanaman Kemiri. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan.

[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed ke – 2. Jakarta: Balai Pustaka.

[Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI]. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Dogerskog, M. 1977. Time Temperature Relationship in Industrial Cooking and Frying. Di dalam Tore Hoyem and Oscar Kvale(Ed). Physical, Chemical and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing. London: Applied Science Publishers Limited. 398.

Harikedua, J W. 1992. Pengaruh perebusan terhadap komponen zat gizi daging

ikan layang ( Decapterus ruselli) khususnya asam lemak tidak jenuh omega-3. [tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. IPB.

Harris R S, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Van Pangan. Bandung: Penerbit ITB.

Hermawan. 2004. Bandeng isi. [terhubung berkala]. http://forum.hermawan.com/index.php?showtopik=367-23k. html [17 Juni 2004].

[IPTEK NET] Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Internet. 2002. Tanaman Obat Indonesia.[te rhubungberkala].http://www.ipteknet.id/ind/cakra

obat/tanaman obat. Php?id-131. html [Kamis, 25 Agustus 2005].

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Lewis Y S. 1984. Species and Herbs for The Food Industry. England: Food Trade Press. Orpington.

(49)

Nasoetion H. 1988. Cara Penilaian Kualitas Hidangan dan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi

Palungkun R, Budiarti A. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Peranginangin dan Yunizal. 1992. Pengolahan Belut. Di dalam F. Cholik (Ed.).Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Perikanan. Jakarta :

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Prajnanta, F. 1995. Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Rahayu E, Nur Berlian VA. 1994. Bawang Merah. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Rahman S. 2004. Belut untuk nyeri ulu hati hingga vitalitas. [terhubung berkala]. htpp://www.kompas.co.id. [Minggu, 05 September 2004, 12: 23 WIB].

Rusiana.1988. Pembuatan dendeng gepuk belut dan daya terima konsumen.[skripsi]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB.

Sarwono B. 1999. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

. 2003. Budidaya Belut dan Sidat, edisi revisi. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Jakarta: Penerbit Bina cipta.

Soediarto A., Edi Guhardja, Sudarnadi H. 1978. Bumbu dan Rempah. Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor: IPB Press.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Bogor: IPB Press.

Somaatmadja D. 1985. Rempah-rempah Indonesia (The spices of Indonesia). Bogor: Komunikasi Departemen Perindustrian. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Perikanan. Bogor. No. 219.

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. B Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(50)

Sudaryani A. 2004. Evaluasi teknik penyajian ikan nila (Oreochromis niloticus). [skripsi]. Bogor: Fakulta s Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Suman M. 1983. Pengaruh pemberian telur terhadap kerupuk udang. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Sundoro SRM. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Budidaya dan Pemanfaatan Belut. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Tokyo: Applied Science Publisher Ltd.

Syukur C ,Hernani. 1999. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: PT. Penebar Swada ya.

Tanikawa. 1971. Marine Product in Japan. Tokyo: Kosissha Koseikaku Co., Ltd.

Wibowo S. 1991. Budidaya Bawang, Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia.

Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Wirakusumah ES. 1991. Manajemen Makanan dan Gizi Institusi. Bogor : PAU Pangan dan Gizi. IPB.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V.1969.

(51)
(52)

Lampiran 1. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi penelitian pendahuluan

Uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi Nama panelis :

Tanggal :

Nama produk : belut isi

Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan kolom berikut dan berilah nilai pada setiap sampel sesuai dengan kesukaan Anda.

Kode sample

Penampakan Tekstur Aroma Rasa Warna K30k

K30g K20k K20g K10k K10g Saran :

________________________________________________________ Keterangan :

9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka

8 = sangat suka 3 = tidak suka

7 = suka 2 = sangat tidak suka

(53)

Lampiran 2. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi penelitian utama

Uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi Nama panelis :

Tanggal :

Nama produk : belut isi

Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan kolom berikut dan berilah nilai pada setiap sampel sesuai dengan kesukaan Anda.

Kode sample Penampakan Warna A101

A102 A103 A104 A105 A106 Saran :

_________________________________________ Keterangan :

9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka

8 = sangat suka 3 = tidak suka

7 = suka 2 = sangat tidak suka

(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)

Lampiran 8a. Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian

(60)

Lampiran 8c. Hasil uji Kruskal Wallis rasa pada penelitian

Gambar

Gambar 1. Ikan Belut (Monopterus albus)
Gambar 2. Jintan (Coleus amboinicus)
Tabel 3. Kandungan gizi per 100 gram daging biji kemiri
Gambar 3. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
+7

Referensi

Dokumen terkait