i
EKOSISTEM PULAU KECIL
ADI SUTRISNO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi Pemulihan
Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2011
Adi Sutrisno
iii
Protection Forest as the Ecosystem Buffer of Small Islands. Supervised by Hariadi
Kartodihardjo, Dudung Darusman and Bramasto Nugroho.
The Background that prompted this research was the damages of Tarakan Protection
Forest (in Indonesian,
Hutan Lindung Pulau Tarakan
or HLPT), which is a common
pool resource of state property. The main purpose of this research was to formulate
recovery-functioned institutional development of HLPT as a buffering ecosystem for
small islands. The main objectives were achieved through the following sub-objectives:
(1) to understand the capacity organization and to find priority areas in improving
management organization capacity, (2) to find the main cause for the failure of
inter-government agency coordination in the management of HLPT, (3) to find causes of
disharmony the users community behavior with the purposes of HLPT management
based on the perceptions and motivations, (4) to find the well-defined spatial
boundaries, stakeholders, authority (rights and responsibilities) and incentive structure
on function recovery of HLPT.
The analysis was conducted using organizational
capacity analysis technique, inter-government agency coordination analysis, qualitative
analysis of content, descriptive analysis of perception and motivation, land cover
analysis, stakeholder analysis, taxonomic and componential analysis and analysis of
payments for environmental services, while the synthesis was carried out using the
technique of discovering cultural themes. Based on the study conducted, the results
were as follows: (1) The capacity of Technical Implementation Unit of Protection
Forest Management as a site organizer was low (nil-moderate), suggesting low ability
of the unit to achieve the objectives of HLPT management; (2) The coordination
capacity of inter-government agency within the management of HLPT was considerably
low since of the ambiguous regarding jurisdiction, lack of information and consultation.
On the other hand, coordination tended to use the vertical coordination mechanism
which was characterized by the coordination undertaken by the highest leadership levels
of government organizations (ministers, governors, regents/mayors, district secretary).
The consequences are coordination status failure among government agencies in the
management of HLPT due to the inabililty to eliminite redundancies, incoherencies and
untackled urgent issues. This suggest minimum coodination to field-spatial based
programs and coordination system among government agencies that hasn’t embodied
yet; (3) The low level of users’ community perception of functional and optional
benefits, low levels of economic and environment motivation, and the high social
motivation of the users’ community in utilization Protection Forest Resource of Tarakan
Island had become the primary causes of disharmony among behavior of users’
community and the management objectives of HLPT. This refers to perception and
motivation that didn’t support the main purpose of HLPT management; (4) In general,
HLPT ecosystem consists of forest and non-forest ecosystems, which, if the HLPT
function recovery efforts were to be done, would involve 13 key stakeholders.
Furthermore, it was identified that the water users community were the beneficiaries
who had the willingness to pay Rp 300 m
-3
which is a potential source of funding of
forest and land rehabilitation.
iv
Pulau Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil.
Dibimbing oleh Hariadi
Kartodihardjo, Bramasto Nugroho dan Dudung Darusman.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kerusakan sumberdaya Hutan Lindung Pulau
Tarakan (HLPT) yang merupakan sumberdaya bersama milik negara yang berada pada
sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan pengembangan institusi
pemulihan fungsi HLPT sebagai penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama
dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: (1) mengetahui kapasitas organisasi dan
menemukan wilayah prioritas perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT; (2)
menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam
pengelolaan HLPT; (3) menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat
pemanfaat dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan
motivasinya; dan (4) menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT,
stakeholders
pemulihan fungsi HLPT, otoritas (hak dan kewajiban)
stakeholders
pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik
observasi berpartisipasi, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder, dengan
sumber data responden, informan kunci dan dokumen. Teknik pengambilan sampel
yang diterapkan dalam penelitian terdiri atas teknik pengambilan sampel secara sengaja
(
purposive sampling
), pengambilan sampel bola salju (
snowball sampling
) dan
pengambilan sampel quota (
quota sampling
).
Sedangkan variabel yang ditelaah
meliputi: kapasitas organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, persepsi
dan motivasi masyarakat pemanfaat, substansi peraturan perundangan tentang
koordinasi, tutupan lahan,
stakeholders
, kepentingan dan pengaruh
stakeholders
, hak
dan kewajiban stakeholders, transaksi jasa lingkungan, keinginan membayar dan bentuk
insentif.
v
1) Kapasitas UPT-KPHL Model Tarakan sebagai organisasi pengelola HLPT tingkat
tapak adalah rendah (
nil-moderate
) dengan kelemahan-kelemahan organisasi sebagai
berikut: (1) kerjasama dengan organisasi pemerintah dan non pemerintah; (2)
perencanaan strategis bidang keuangan dan diversifikasi sumber pendanaan
organisasi; (3) pendelegasian wewenang pengambilan keputusan; (4) kepatuhan
terhadap kebijakan dan prosedur (standar operasional); (5) proses rekruitmen,
orientasi dan pengembangan staf, supervisi dan evaluasi; dan (6) penilaian
pencapaian misi organisasi dan penilaian dampak serta relevansi program. Hal ini
berarti UPT-KPHL Model Tarakan memiliki kemampuan yang rendah untuk
mencapai tujuan pengelolaan HLPT.
2) Kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT rendah
yang disebabkan oleh permasalahan ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan
kurang dalam hal konsultasi. Di sisi lain, kebijakan koordinasi cenderung
menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang dicirikan oleh
pengkoordinasian yang dilakukan oleh level pimpinan organisasi pemerintah
(menteri, gubenur, bupati/walikota, sekretaris daerah). Akibatnya status koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT gagal karena belum dapat
ditiadakannya pemborosan, inkonsistensi dan tidak tertanganinya isu penting. Hal
ini bermakna tidak adanya koordinasi kebijakan program berbasis spasial lapangan
dan belum dilembagakannya sistem koordinasi antar lembaga pemerintah.
3) Rendahnya tingkat persepsi masyarakat pemanfaat terhadap manfaat fungsional dan
pilihan HLPT, rendahnya tingkat motivasi lingkungan dan tingginya tingkat motivasi
sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan HLPT
merupakan
faktor
pendorong/stimulus ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat dengan tujuan
pengelolaan HLPT. Hal ini berarti persepsi dan motivasi tidak mendukung tujuan
pengelolaan HLPT.
4) Ekosistem HLPT sebagian besar telah berubah menjadi areal dengan tutupan lahan
non hutan, yang dalam upaya pemulihannya dapat melibatkan 13
stakeholders
kunci.
Dimana, hak
stakeholders
subjek mengarah pada hak untuk memanfaatkan/
menggunakan dan memperoleh izin pemanfaatan sumberdaya HLPT dengan
kewajiban berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pendanaan dalam pemulihan
fungsi HLPT. Hak
stakeholders
pemain dan penghubung mengarah pada hak untuk
mengelola, mengawasi, memfasilitasi dan menilai program pemulihan fungsi HLPT
dengan kewajiban mewujudkan program pemulihan fungsi HLPT. Selanjutnya,
teridentifikasi bahwa masyarakat pengguna air bersih merupakan penerima manfaat
yang memiliki kesediaan membayar dengan nilai Rp 300 m
-3
yang merupakan
potensi sumber pendanaan rehabilitasi hutan dan lahan, sedangkan UPT-KPHL
Model Tarakan sebagai penyedia jasa layanan lingkungan dan masyarakat pengguna
lahan sebagai pihak yang dapat berperan menggunakan lahan yang dikuasainya
untuk kepentingan konservasi sumber air.
vi
vii
viii
EKOSISTEM PULAU KECIL
ADI SUTRISNO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Progran Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ix
NRP
: P062070061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo,
MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr
x
Dr. Ir. Iin Ichwandi (Staf Pengajar Bagian
Kebijakan Kehutanan IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Hendrayanto (Staf Pengajar Bagian Hidrologi
Hutan dan Daerah Aliran Sungai IPB)
xi
dan karunia-Nya disertasi yang berjudul “Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi
Hutan Lindung Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil” ini dapat
diselesaikan.
Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bimbingan komisi
pembimbing, yang telah memberikan pemahaman dan pengarahan kepada penulis
tentang bagaimana seharusnya mengkaji permasalahan yang terkait dengan institusi
pengelolaan sumberdaya alam. Disamping itu, peran yang cukup besar juga diberikan
oleh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
khususnya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam proses studi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS serta Bapak
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu
penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak
pengelola program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor.
Disertasi ini masih belum sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran
membangun sangat penulis harapkan, guna perbaikan disertasi ini.
Bogor, maret 2011
xii
1964 sebagai anak sulung dari pasangan Saderi bin Amir (
Alm
) dan Satiyem binti Sadir
(
Alm
). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian
Universitas Mulawarman. Pada Tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Ilmu
Kehutanan Program Pascasarjana Universitas Mulawarman dan menamatkannya pada
tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007 melalui Beasiswa Program Pascasarjana
dari Diretorat Pendidikan Tinggi. Penulis telah berkeluarga pada tahun 1992 dengan
Siti Julaiha dan telah dikaruniai tiga anak, Nindya Adiasti (19 tahun), Windya
Anjastantri (15 tahun) dan Trisna Erhandi (9 tahun).
Penulis pernah bekerja pada PT. Tanjung Buyu Perkasa, PT. Cita Laras, CV.
Mardawa, CV. Agroteknik Konsultama dan CV. Agrotrimitra Konsultama. Sejak
tahun 2000 hingga saat ini penulis berkerja di Universitas Borneo Tarakan, sebuah
Universitas swasta di wilayah Utara Kalimantan Timur yang saat ini oleh pemerintah
diubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP).
……….
(xviii)
……….
(xix)
.
...
………...
1
1.1 Latar Belakang
…
………...
1
1.2 Kerangka Pemikiran...
4
1.3
Perumusan Masalah……….
7
1.4 Tujuan Penelitian…. ...
9
1.5 Manfaat Penelitian ...
1.6 Kebaruan (Novelty)………..
10
10
.
..
………...
11
2.1 Hutan Lindung………... ...
11
2.1.1 Konsep hutan lindung di Indonesia ..……….………
…....
11
2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung...
12
2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia...
2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia...………..
15
17
2.2 Sumberdaya Hutan Lindung sebagai Sumberdaya Bersama Milik
Negara… ………
19
2.3 Institusi, Hak Pemilikan, Batas Kewenangan dan Aturan
Keterwakilan ………...………...
22
2.4 Organisasi dan Kapasitas Organisasi..……….
2.5 Koordinasi Antar Organisasi/Lembaga………
27
31
2.6 Persepsi dan Perilaku Individu………...
36
2.7 Motivasi dan Perilaku Individu…...
37
2,8 Prinsip Disain Institusi dan Prinsip Disain Rezim Hak Pemilikan…..
38
2.9 Pembayaran Jasa Lingkungan………..
2.10 Kinerja Institusi dan Kinerja Rezim Hak Pemilikan….………...
40
42
2.11 Pengembangan Institusi………...
2.12 Bentuk-Bentuk Institusi: Kasus Institusi Pengelolaan Hutan……….
43
44
53
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian………...
53
3.2 Pendekatan Studi………..
54
3.3 Metode pengumpulan data………
54
3.4 Data/Informasi Penelitian, Jenis Data dan Sumber Data……….
56
3.5 Teknik penentuan responden dan informan kunci………
57
3.6 Analisis Data………
58
3.6.1 Analisis kapasitas organisasi pengelola HLPT ………...
58
3.6.2 Analisis koordinasi antar lembaga…….………..
60
3.6.3 Analisis deskriptif persepsi dan motivasi masyarakat
Pemanfaat……….
61
3.6.4 Analisis isi kualitatif……….………
65
xiv
3.3.9 Sintesis……….
71
)
V
KARAKTERISTIK SUMBERDAYA HLPT DAN KARAKTERISTIK
MASYARAKAT PEMANFAAT SUMBERDAYA HLPT
……….
74
4.1 Karakteristik Sumberdaya HLPT……….
74
4.2 Karakteristik Kelompok Pemanfaat Sumberdaya HLPT……….
81
4.3 Pemanfaatan Sumberdaya HLPT………..
83
V
HASIL DAN PEMBAHASAN
……….
88
5.1 Kapasitas Organisasi Pengelola HLPT ………..
5.2 Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah dalam Pengelolaan HLPT…
88
90
5.3 Kebijakan Koordinasi dalam Pengelolaan Hutan………
95
5.4 Persepsi dan Motivasi Masyarakat Pemanfaat Terhadap Sumberdaya
HLPT………
99
5.5 Tutupan Lahan, Minat
* !"#$%& '#(, Distribusi Otoritas dan Struktur
Insentif dalam Pemulihan Fungsi HLPT………..
104
5.6 Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi HLPT………..
117
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
……….
127
6.1 Kesimpulan……….
127
6.2 Saran………...
129
DAFTAR PUSTAKA
……….
131
xv
1
Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan………
13
2
Tipologi barang dan jasa……….
20
3
Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan
kewajiban pemilik………
24
4
Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat
………..
26
5
6
Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif
kapasitas utama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti
yang dinilai………...
Skala kapasitas koordinasi………
31
35
7
Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan
sumberdaya milik bersama (
3455467 4489 :; 4< 9 3 :;) hasil
identifikasi Wade, Ostrom, Baland dan Platteau yang disintesis
oleh Agrawal (2001)……….
40
8
9
Skala kapasitas organisasi untuk penilaian kapasitas organisasi..
Modus nilai, kekuatan dan wilayah perbaikan kapasitas
organisasi………..
59
59
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Status koordinasi dan lembaga yang terlibat berdasarkan
kegiatan dalam pengelolaan HLPT………..
Permasalahan dan tahapan kegagalan koordinasi………
Objek dan butir-butir penilaian persepsi masyarakat pemanfaat
terhadap manfaat sumberdaya HLPT (persepsi terhadap objek)..
Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsinya terhadap
manfaat HLPT………..
Butir-butir pernyataan penilaian motivasi ekonomi masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT……….
Butir-butir pernyataan penilaian motivasi sosial masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………
Butir-butir pernyataan penilaian motivasi lingkungan
masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT..
Distribusi responden berdasarkan tingkat motivasi dalam
pemanfaatan sumberdaya HLPT………..
Hasil analisis minat, tingkat kepentingan dan pengaruh
;= >?:@48A:9;
dalam pemulihan fungsi HLPT………...
Keinginan untuk membayar……….
Estimasi biaya konservasi HLPT berdasarkan kegiatan yang
dilaksanakan……….
Data/informasi, jenis data, sumber data, teknik penentuan
sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan
metode analisis berdasarkan tujuan penelitian………
60
60
62
63
63
64
64
64
67
70
71
73
22
Rataan temperatur, kelembaban, curah hujan dan hari hujan…..
75
23
Jenis pohon, jumlah pohon, kerapatan seluruh jenis, kerapatan
suatu jenis dan kerapatan relatif suatu jenis pada HLPT……..
76
24
Kondisi vegetasi pada kawasan HLPT berdasarkan koordinat
xvi
28
Rata-rata lebar sungai, kedalaman sungai dan kecepatan aliran
air pada beberapa sungai di sekitar HLPT………
81
29
Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat
berdasarkan jumlah anggota rumah tangga………..
81
30
Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat
sumberdaya HLPT (responden) berdasarkan pendidikan, asal
daerah, pekerjaan dan pendapatan rumah tangga……….
82
31
Jumlah tenaga kerja PDAM Kota Tarakan berdasarkan status
pepegawaian pada tahun 2007 - 2009………...
83
32
Penggunaan lahan di dalam kawasan HLPT oleh kelompok
masyarakat pemanfaat……….
84
33
Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat
(responden) berdasarkan perijinan pemilikan lahan/tanah dan
cara memperoleh lahan/tanah………...
85
34
Kapasitas terpasang instalasi air, jumlah produksi air, jumlah
distribusi air dan jumlah pelanggan PDAM Kota Tarakan tahun
2007 – 2009………..
86
35
Skala kapasitas organisasi dan wilayah prioritas perbaikan
kapasitas organisasi………..
88
36
Status koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam
pengelolaan HLPT, permasalahan dan kegagalan koordinasi
berdasarkan skala kapasitas koordinasi Metcalfe (1997) ………
91
37
Distribusi masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT
berdasarkan tingkat persepsinya terhadap manfaat HLPT …….
99
38
Distribusi persentase masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT
menurut persepsinya terhadap manfaat HLPT………
100
39
Distribusi frekuensi masyarakat pemanfaat berdasarkan tingkat
motivasi ekonomi, sosial dan lingkungan dalam pemanfaatan
sumberdaya HLPT………...
101
40
41
Distribusi persentase menurut motivasi ekonomi masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………
Distribusi persentase responden menurut motivasi ekonomi
masyarakat pemanfaat bermata pencaharian sebagai petani
dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………..
102
102
42
Distribusi persentase menurut motivasi lingkungan masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT
103
43
Distribusi persentase menurut motivasi sosial masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………..
104
44
Luas tutupan lahan pada kawasan HLPT berdasarkan kelas
penutupan lahan………..
106
45
Tingkat kepentingan dan pengaruh
BC DEFGH I JF KBpemulihan
ekosistem DTA Danau Toba……….
110
46
Distribusi responden berdasarkan kesediaan untuk membayar
xvii
48
Estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan per hektar
berdasarkan standar biaya teknis rehabilitasi hutan dan
lahan Kota Tarakan………..
116
xviii
1
Kerangka pemikiran penelitian………...
6
2
3
Perumusan masalah penelitian………..
Aspek-aspek kunci kapasitas organisasi………
9
30
4
5
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi……….
Struktur Hirarki State Forest Enterprise Jerman………...
Struktur Organisasi Forest Management Units (FMU)……….
36
45
47
7
Tempat penelitian………..
53
8
9
10
Diagram matriks
^_ `abcdef bg ^berdasarkan kepentingan dan
pengaruh……….
Tahapan analisis data dengan teknik analisis taksonomik dan
komponensial……….
Diagram tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan
fungsi HLPT………...
68
69
72
11
12
Tutupan lahan di Hutan Lindung Pulau Tarakan………...
Matriks kepentingan dan pengaruh
^_`a bcd ef bg ^pemulihan
fungsi HLPT………...
105
109
13
Alternatif pengembangan institusi pemulihan fungsi Hutan Lindung
xix
1
2
Hasil analisis skala kapasitas organisasi, kekuatan dan wilayah
prioritas perbaikan lembaga pengelola HLPT (Dishutamben)
………..
Hasil analisis skala kapasitas organisasi, kekuatan dan wilayah
prioritas perbaikan lembaga pengelola HLPT (UPT-KPHL
Model Tarakan)……….
141
143
3
Hasil analisis koordinasi antar lembaga pemerintah
berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci……..
145
4
Hasil analisis
rs tuvwx yz v{ r, minat, kepentingan dan
pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT………
155
5
Hasil analisis distribusi otoritas (hak dan kewajiban)
rstuvwxyzv{ r
dalam pemulihan fungsi HLPT…...………….
157
6
Hasil wawancara tentang keinginan membayar masyarakat
pengguna air.……….
158
7
Tabel jumlah anggota keluarga, status pernikahan,
pendidikan, asal daerah masyarakat (responden) pemanfaat
sumberdaya HLPT………
167
8
Pekerjaan dan pendapatan masyarakat pemanfaat
Hutan Lindung Pulau Tarakan (HLPT) ditunjuk berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor: 175/Kpts/Um/3/1979, tanggal 13 Maret 1979 dengan
luas 2.400 ha atau kurang lebih 10% dari luas Pulau Tarakan (Sutrisno 2003).
Kemudian pada tanggal 22 April 2003 HLPT ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: 143/Kpts-II/2003, juga dengan luasan
2.400 ha (BPKH Wilayah IV Samarinda 2009).
Hutan Lindung Pulau Tarakan berada pada sebuah pulau kecil karena
menurut BPS Kota Tarakan (2007) Pulau Tarakan hanya memiliki luas daratan
250,08 km
2
dan luas perairan/laut seluas 406,53 km
2
. Menurut Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama
dengan 2.000 km
2
. Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil menurut
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang
Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat, adalah sebagai berikut: 1) pulau yang ukuran luasnya kurang atau
sama dengan 10.000 km
2
, dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan
200.000 orang; 2) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (
),
memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga
bersifat insular; 3) mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman
yang tipikal dan bernilai tinggi; 4) daerah tangkapan air (
) relatif
kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
dan 5) dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat
khas dibandingkan dengan pulau induknya.
Memperhatikan karakteristik pulau kecil tersebut, maka keberadaan HLPT
adalah sangat penting. Keberadaan HLPT menjadi semakin penting karena HLPT
merupakan daerah hulu dari 73 sungai yang ada di Kota Tarakan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Bappeda Kota Tarakan (2004) berdasarkan penelusuran
Tarakan. Sungai-sungai tersebut membentang dari wilayah perbukitan di
tengah-tengah Pulau Tarakan dan kemudian bermuara di pantai.
Kawasan HLPT juga memiliki fungsi penting jika ditinjau dari aspek sosial
ekonomi, karena masyarakat di sekitar HLPT menjadikan HLPT sebagai tempat
untuk melakukan aktivitas pertanian, peternakan bahkan pemukiman.
Hutan
Lindung Pulau Tarakan juga dimanfaatkan sebagai tempat melakukan aktivitas
olah raga, tempat bagi aktivitas pencinta alam serta sebagai objek bagi aktivitas
pendidikan dan penelitian oleh kelompok masyarakat tertentu.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
HLPT merupakan kawasan hutan yang pengelolaannya diatur berdasarkan
peraturan perundangan. Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung
meliputi kegiatan: (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2)
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (3) rehabilitasi dan reklamasi
hutan; dan (4) perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pada tahun 1998 sesuai dengan semangat desentralisasi, Daerah Tingkat II
diberi kewenangan dalam sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan, hal
ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun
1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan
Kepada Daerah (sudah tidak berlaku). Berdasarkan peraturan pemerintah ini,
urusan pengelolaan yang dapat dilaksanakan pemerintah daerah meliputi kegiatan
pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi,
pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada
kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Pada tahun 2007
peraturan pemerintah tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi, dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini, sebagian urusan pemerintah bidang
kehutanan
yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada
Kabupaten/Kota.
Namun, di kawasan HLPT dijumpai fakta-fakta sebagai berikut: (1) pada
kawasan HLPT tercatat tinggal 1.347,74 ha lahan berhutan, sedangkan sisanya
(Sutrisno 2003). Kawasan HLPT dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai
bentuk pemanfaatan mengakibatkan perubahan fisik hutan lindung (seluas 2.400
ha) menjadi lahan terbuka (non hutan) ± 1.316 ha (Dishutbun Kota Tarakan
2008); (2) berdasarkan observasi, sebagian areal HLPT telah dikonversi ke
berbagai peruntukan seperti pertanian (khususnya tanaman sayuran) dan kebun
(Dishutbun Kota Tarakan 2008); (3) kawasan HLPT menjadi pemukiman untuk
dua kelompok masyarakat, masing-masing sebanyak 40 KK dan 80 KK. Bahkan
sebagian areal pemukiman tersebut sudah terlanjur memiliki sertifikat (Dishutbun
Kota Tarakan 2008); (4) pada kawasan HLPT terdapat infrastruktur jalan yang
dibangun oleh Pemerintah Kota Tarakan; dan (5) Pada kawasan HLPT terdapat
bangunan embung dan instalasi air minum milik Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM), yang menurut Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kota
Tarakan pemanfaatan atas sumberdaya air di kawasan HLPT belum dilengkapi
dengan perizinan.
Kerusakan HLPT berakibat pada terjadinya penurunan fungsi HLPT
diantaranya (Irawan 2002
¡Sutrisno 2003): (1) meningkatnya erosi yang
dicirikan oleh Tingkat Bahaya Erosi (TBE) berat dan sangat berat telah terjadi di
masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di kawasan HLPT; dan
(2) perbedaan fluktuasi debit air minimum dan maksimum cukup besar, yang
mengindikasikan sedikitnya air yang terserap sehingga debit air setelah beberapa
hari tidak turun hujan rendah dan menjadi tinggi ketika turun hujan. Hal sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Bratawinata (1997) hutan yang rusak lebih-lebih
yang kondisinya gundul (tidak bervegetasi), menyebabkan air hujan berinfiltrasi
sedikit sekali dan air hujan jatuh langsung kepermukaan tanah. Sehingga pada
musim hujan masalah banjir, erosi dan sedimentasi ke tempat yang lebih rendah
meningkat. Menurut Dudley dan Stolton (2003) hutan pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) umumnya menghasilkan air dengan kualitas tinggi, dari alternatif
penggunaan lainnya. Hutan alam punya hubungan yang rumit dengan aliran air
dan beberapa dapat menambah tingkat aliran air.
Fakta-fakta yang terjadi di dalam kawasan HLPT tersebut merupakan
indikasi ketidakberhasilan pengelolaan HLPT yang dilaksanakan oleh lembaga
ketidakberhasilan tersebut diduga adalah aspek institusi. Pembuktian atas dugaan
ini dapat dilakukan melalui sebuah penelitian, oleh karenanya penelitian tentang
hal tersebut patut dilakukan.
¢ £¤ ¥¦ §¨©ª« ¨
P
¦ ¬« § ¨©Hutan Lindung Pulau Tarakan merupakan sumberdaya bersama (
®¯°°¯ ±²¯¯ ³´ µ¶ ¯· ´®µ¶
) yang berada pada sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting
sebagai sistem penyangga kehidupan. Pengelolaan terhadap sumberdaya HLPT
didasarkan pada peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang terkait
dengan pengelolaan sumberdaya HLPT antara lain, adalah: (1) Undang-Undang
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; (4) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; dan (5)
Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT tidak hanya tergantung pada
tersedianya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya
HLPT, tetapi terdapat aspek lain yang sangat menentukan tingkat efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan peraturan perundangan, yaitu institusi.
Menurut
Kartodihardjo (2008) institusi dicirikan oleh: (1) hak pemilikan (
² ´¯ ² µ´¸¹ ´º» ¼¸¶);
(2) batas yurisdiksi (
½· ´º¶¾ º®¸º¯±¿³ À¯·±¾¿´¹); dan (3) aturan representasi (
´· ³ µ¯f
representation
).
Sumberdaya HLPT adalah sumberdaya milik negara, dimana menurut
Schlager dan Ostrom (1992) dan Hanna
et al.
(1995) hak pemilikan
(property
rights)
sumberdaya eksis dibawah pemilikan negara (
state property
), bilamana
jaminan klaim berada pada pemerintah. Menurut Ellsworth (2004) hak pemilikan
negara adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya adalah
lembaga publik atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak
pemerintah, yang mana pengaturan oleh pemerintah harus menjamin masyarakat
untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan.
Sumberdaya HLPT memiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara
bersama, sehingga dengan demikian persoalan batas kewenangan menjadi penting
dalam merefleksikan keinginan pengguna sumberdaya HLPT. Menurut Schmid
(1988) dalam Suhaeri (2005) batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah
kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya alam.
Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan
mekanisme pengambilan keputusan organisasi (Kartodihardjo 2008). Hal ini
berarti bahwa dalam pengelolaan sumberdaya HLPT keputusan apa yang diambil
dan apa akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai ditentukan oleh
kaidah-kaidah aturan representasi ini.
Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur
perilaku individu (North 1990). Menurut Agrawal (2001) salah satu faktor kritis
penentu kesuksesan tata kelola sumberdaya milik bersama adalah saling hubungan
antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok. Konsep yang
dikemukakan oleh North (1990) dan Agrawal (2001) tersebut menjelaskan bahwa
aturan formal dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam
hubungannya
dengan
sumberdaya,
dimana
perilaku
individu/organisasi
merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya,
tak terkecuali dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. Hal ini berarti bahwa
perilaku organisasi pengelola dan perilaku individu/kelompok masyarakat
pemanfaat/pengguna sumberdaya HLPT berperan dalam keberhasilan pengelolaan
sumberdaya HLPT.
Terkait dengan dengan sumberdaya bersama (
common pool resources
)
Ostrom (1990) mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya bersama
terdapat prinsip disain untuk merancang agar institusi dapat berlangsung secara
berkelanjutan. Menurut Hanna
et al.
(1995) penelitian mengenai hak pemilikan
dan sumberdaya lingkungan haruslah memperhatikan komponen kritis pada
struktur rezim hak pemilikan dan fungsinya. Komponen tersebut tercakup dalam
Menurut Pratiwi (2008) berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat
diperlukan oleh masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya
dipertanyakan, maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur
menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui:
pengembangan institusi (
institutional development
), penguatan institusi
(
institutional strengthening
) atau perubahan institusi (
institutional change
).
Memperhatikan penjelasan Pratiwi (2008), maka satu diantara beberapa upaya
untuk memperbaiki kinerja institusi adalah dengan pengembangan institusi.
Menurut Nasution (1999) yang dikutip Karyana (2007) pengembangan
kelembagaan (institusi) merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan
hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang
dikehendaki.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengembangan institusi dalam penelitian
ini dimaksudkan untuk memperbaiki institusi (dalam arti aturan dan organisasi)
yang mengarahkan prilaku individu atau organisasi untuk memulihkan fungsi
HLPT. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam bentuk
Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Umpan
balik
Keberhasilan pengelolaan sumberdaya
HLPT ditentukan oleh institusi
Aturan keterwakilan
Pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT
sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil
Hak pemilikan
Prinsip disain rezim
hak pemilikan
Peraturan
perundangan
Sumberdaya HLPT:
1) Sumberdaya bersama
2) Berada pada pulau kecil
3) Sistem penyangga kehidupan
Umpan
balik
Batas kewenangan
Á ÂÃ
P
Ä ÅÆÇÆÈ ÉÊËÉÈ ÉÌÉ ÍBerdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang disampaikan
sebelumnya, dapat diketahui bahwa fakta di lapangan menunjukan sumberdaya
HLPT sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah yang berada pada sebuah
pulau kecil yang memiliki fungsi penting sebagai penyangga ekosistem telah
mengalami kerusakan. Hal ini merupakan indikasi rendahnya kinerja pengelolaan
sumberdaya HLPT. Jika perilaku organisasi pengelola sumberdaya HLPT
berperan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT, maka kerusakan
sumberdaya HLPT menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya HLPT yang
dilakukan oleh lembaga pengelola dengan tujuan untuk melestarikan fungsi HLPT
tidak berhasil, hal ini merupakan indikasi adanya permasalahan dalam kapasitas
organisasi/lembaga pemerintah pengelola HLPT.
Menurut
The Society of
Obstetricians and Gynaecologists of Canada
yang dikutip Bateson
et al.
(2008)
kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau sebuah
sistem) melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah direncanakan.
Fakta penguasaan tanah/lahan di dalam kawasan HLPT yang dilengkapi
dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat maupun bukti-bukti lain yang
dikeluarkan pemerintah merupakan satu indikasi adanya permasalahan koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. Menurut
Uphoff (1986a) kinerja suatu institusi dapat diukur bagaimana institusi dapat
menyelesaikan tugas pokoknya, antara lain adalah koordinasi.
Permasalahan lain yang mempengaruhi kerusakan sumberdaya HLPT
diduga adalah perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya
HLPT yang tidak selaras dengan tujuan pengelolaan HLPT. Perilaku masyarakat
pemanfaat sumberdaya HLPT dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap manfaat
sumberdaya HLPT dan motivasi mereka dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibsons
et al.
(1996) faktor individual seperti
persepsi mempengaruhi perilaku. Motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja,
motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan
dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam diri seseorang individu yang
Mengacu pada pendapat Nort (1990) dan Agrawal (2001) permasalahan
yang juga harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan
formal (kebijakan) yang mengatur saling hubungan antar kelompok dalam
hubungannya dengan sumberdaya HLPT dan saling hubungan antara kelompok
dengan sumberdaya hutan, karena aturan formal menentukan perilaku kelompok.
Oleh karenanya untuk mengembangkan institusi, permasalahan yang terkait
dengan aturan formal juga patut untuk diketahui, khususnya aturan formal yang
mengatur tentang koordinasi antar lembaga pemerintah.
Pengembangan institusi dalam rangka memperbaiki kinerja institusi
pengelolaan HLPT tidak hanya ditentukan oleh bagaimana dapat mengatasi
permasalahan terkait dengan kapasitas lembaga pemerintah pengelola HLPT,
koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT dan perilaku
individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT, tetapi juga
ditentukan oleh komponen kritis rezim hak pemilikan yang tercakup dalam prinsip
disain rezim hak pemilikan. Mengutip pendapat beberapa ahli, menurut Hanna
et
al.
(1995) hal yang fundamental pada disain hak pemilikan (
property rights
design
) adalah mendefinisikan kepentingan (
interests
) individu-individu atau
kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya. Syarat disain selanjutnya
adalah kepastian struktur insentif (
incentive structure
). Kemudian, untuk
menjamin rezim hak pemilikan memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas
adalah keharmonisan spasial (
spatial congruence
). Selain itu, disain juga harus
menyangkut distribusi otoritas.
Secara ringkas uraian rumusan masalah penelitian ini disajikan pada
Gambar 2 dan berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
(
research
questions
),
sebagai
berikut:
(1)
bagaimanakah
kapasitas
organisasi/lembaga pengelola HLPT?; (2) apakah penyebab kegagalan koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT?; (3) apakah penyebab
ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT dengan tujuan
pengelolaan HLPT ditinjau dari persepsi dan motivasinya?; dan (4) bagaimanakah
kondisi tutupan lahan (spasial), tingkat kepentingan dan pengaruh
stakeholders
,
hak dan kewajiban
stakeholders
dan struktur insentif dalam pemulihan fungsi
Gambar 2 Perumusan masalah penelitian.
Î ÏÐ ÑÒ
juan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan institusi pemulihan
fungsi HLPT sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama
tersebut dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut:
1)
Mengetahui kapasitas organisasi dan menemukan wilayah prioritas perbaikan
kapasitas organisasi pengelola HLPT.
2)
Menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam
pengelolaan HLPT.
3)
Menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat
dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan
motivasinya.
4)
Menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT,
stakeholders
pemulihan fungsi HLPT, otoritas (hak dan kewajiban)
stakeholders
Kerusakan
Sumberdaya HLPT
Pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT
sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil
Prinsip disain:
1) Kepentingan kelompok
(
stakeholders
)
2) Keharmonisan spasial
(ruang)
3) Struktur insentif
4) Distibusi otoritas
Permasalahan
ketidakselarasan perilaku
individu/kelompok
masyarakat pemanfaat
Permasalahan dalam
peraturan perundangan
tentang koordinasi antar
lembaga pemerintah
Sumberdaya Hutan Lindung Pulau Tarakan:
sumberdaya bersama, milik negara, berada
pada pulau kecil, sebagai sistem penyangga
kehidupan
Umpan
balik
Rendahnya kinerja
pengelolaan HLPT
Permasalahan
koordinasi antar
lembaga
pemerintah
Umpan
balik
Permasalahan
pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi
HLPT.
Ó ÔÕ Ö×Ø
faat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik pada tataran
akademis (keilmuan) maupun praktis, sebagai berikut:
1.5.1. Manfaat dalam tataran akademis/keilmuan
1)
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengembangan institusi pengelolaan
sumberdaya bersama milik negara dengan mempertimbangkan kapasitas
organisasi pengelola,
koordinasi antar lembaga pemerintah dan perilaku
masyarakat pemanfaat sumberdaya bersama milik serta prinsip disain rezim
hak pemilikan.
2)
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengelolaan sumberdaya bersama
milik negara yang memerlukan aksi terkoordinasi (bersama) para pihak untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki.
1.5.2. Manfaat dalam tataran praktis
1) Sebagai tambahan informasi kepada para pengambil kebijakan dalam
merumuskan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung.
2) Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang
berkenaan dengan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung.
1.6 Kebaruan (Novelty)
Penelitian mengenai pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan
lindung sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah belumpernah dilakukan,
khususnya jika ditinjau berdasarkan hal-hal berikut secara menyeluruh, yaitu:
kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, perilaku
individu/kelompok masyarakat pemanfaat dan prinsip disain rezim hak pemilikan.
Berdasarkan hal tersebut, kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya
rumusan pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT yang didasarkan pada
kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat
dalam
pengelolaan,
perilaku
individu/kelompok
masyarakat
pemanfaat
ã äå æç
t
èéêëéìé íu
2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia
Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan
yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat
membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 1997).
Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam
pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam
persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah (Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan). Menurut Riyanto (2005) hutan lindung adalah kawasan hutan yang
karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem
penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses
keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) poin (b) Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan
lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
1) Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah
nilai (skor) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;
2) Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau
lebih;
3) Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 (dua ribu) meter atau lebih
4) Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapang lebih dari 15% (lima belas per seratus);
5) Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;
6) Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
2.1.2
Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung
Fungsi hutan di antaranya ialah sebagai berikut (Suparmoko 1997): (1)
mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara
kesuburan tanah; (2) menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada
umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor
sehinga menunjang pembangunan ekonomi; (3) melindungi suasana iklim dan
memberi daya pengaruh yang baik; dan (4) memberikan keindahan alam pada
umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar. Menurut Iskandar (2008) sebagai
dampak panjang pantai dengan luas daratan dan dekatnya jarak antara kawasan
daratan dengan kawasan pantai, FAO menilai bahwa hutan pada pulau kecil
mempunyai kontribusi penting terhadap kelestarian lingkungan, yaitu: (1)
konservasi tanah dan air; (2) perlindungan pantai; (3) konservasi keanekaragaman
hayati; dan (4) terkait dengan ekosistem laut.
Menurut Sardjono (2004) fungsi hutan meliputi: (1) fungsi produksi yang
memberi manfaat langsung hasil hutan kayu, hasil hutan nir kayu dan areal untuk
bercocok tanam bagi masyarakat lokal. Selain itu juga memberikan manfaat tak
langsung bagi masyarakat lokal berupa penghasilan, pelestarian kegiatan budaya
lokal yang berbasiskan produk hutan dan pelestarian dan perkembangan industri
rumah tangga masyarakat; (2) fungsi lindung yang memberi manfaat langsung
berupa kesuburan tanah, keanekaragaman hayati (flora, fauna, mikroorganisme)
serta manfaat tak langsung berupa keterjaminan produktivitas pertanian dan
kemandirian pangan, kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, pelestarian
pengetahuan dan teknologi tradisional; (3) fungsi tata klimat yang memberi
manfaat langsung bagi masyarakat lokal berupa iklim mikro dan udara bersih,
juga memberi manfaat tak langsung berupa kenyamanan dan kedamaian
kehidupan pedesaan, mendukung kehidupan yang sehat sejahtera dan mengurangi
dampak bencana alam; dan (4) fungsi lain-lain, seperti memberi manfaat untuk
pelestarian identitas kelembagaan lokal, melestarikan etika konservasi dan
pergaulan hidup antar anggota masyarakat.
Pearce dan Turner (1990) mengidentifikasi secara rinci total nilai
sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dalam hal ini produksi
kayu merupakan nilai penggunaan langsung (
ext
îï ðtive
u
se v
ïlu
e
), sedangkan
fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan
tidak langsung (
n
o
n
extr
ï ðtive
u
se v
ïlu
e
). Sementara itu, nilai tanpa penggunaan
(
n
o
n
ñu
se v
ïlu
e)
meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya
(
òeq
u
est v
ïlu
e
) dan nilai karena keberadaannya (
exist
ïn
ðe v
ïlu
e
).
Tabel 1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan
Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna
Nilai Non Guna
Nilai guna
Langsung
Nilai guna
tak langsung
Nilai
Pilihan
Nilai
pilihan
Nilai
Keberadaan
Nilai
Non-guna lainnya
(Hasil yg
dapat
dikonsumsi
langsung)
(Manfaat
Fungsional)
(Nilai
pilihan
penggunaan)
(Nilai pilihan
Non
penggunaan)
(Nilai
Pengetahuan)
(Nilai non
penggunaan
lainnya)
a) Kayu
b) Buah, biji
c) Getah
d) Rotan
e) Pakan
f) Hewan
g) Tumbuhan
obat
a) Fungsi
ekologis
b)
Pengenda-lian banjir
c) Perlindu
-ngan
terhadap
angin
Rekreasi
a) Ekosistem
b) Suaka
marga
satwa
a) Habitat
b) Spesies
Langka
a) Biodiversiti
b)
Pemandang-an
Sumber: Pearce dan Turner (1990).
Menurut Noordwijk
et
ïl
. (2004) h
utan lindung mempunyai makna fungsi
perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir. Dalam istilah Belanda
hutan lindung atau “
óðh
erm
òo
s
” berarti hutan yang berfungsi sebagai “payung
atau lindung”. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi
lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan.
Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air
dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan (
h
illslo
p
e
).
Memperhatikan uraian tentang fungsi dan nilai guna atau manfaat hutan dan
hutan lindung di atas dapat dinyatakan keberadaan hutan lindung sangat
kehidupan.
Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak dijelaskan
maksud dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tetapi, dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dijelaskan bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan suatu
proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin
kelangsungan kehidupan manusia (Pasal 7). Sedangkan perlindungan sistem
penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan (Pasal 8).
Menurut
Noordwijk
et
ôl
. (2004)
f
ungsi perlindungan pada daerah hulu
sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama
sistem tersebut mampu dalam: (1) mempertahankan lapisan seresah di permukaan
tanah; (2) mencegah terbentuknya alur dan parit-parit akibat erosi; dan (3)
menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap
digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi
lainnya, seharusnya fungsi lindung tersebut masih tetap ada. Sistem pembukaan
lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan
fungsi lindung. Pada transformasi hutan secara perlahan menjadi sistem
agroforestri, tidak dilakukan penebangan hutan pada skala luas sehingga dalam
proses regenerasinya fungsi hutan masih dapat dipertahankan.
Dalam konsep Indonesia, kata hutan adalah lahan yang kepemilikan dan
pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Sedang lahan
milik petani yang menyerupai hutan atau “agroforest”, umumnya disebut kebun.
Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu
“fungsi produksi dan fungsi lindung”.
Dalam kaitannya dengan kriteria dan
indikator hidrologi, beberapa macam kebun telah dievaluasi dan hasilnya
menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, “parak”
(suatu sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di
Sumatra Barat), kebun buah-buahan pekarangan (
m
ixe
õfru
it tree
h
o
m
eg
ôöõ
en
s
),
dan sistem “repong damar” merupakan sistem yang masih dapat memenuhi
pantas dinamakan sebagai “kebun lindung” karena dapat berfungsi ganda yaitu
fungsi produksi dan fungsi lindung (
Noordwijk
et
÷l
. 2004)
.
2.1.3
Pengelolaan hutan lindung di Indonesia
Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain
adalah:
1)
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3).
2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (tahun 1967-1999).
3)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
5)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang (tahun
1992-1999).
6)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
7)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah.
8)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan.
9)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan.
10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan.
11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan.
12) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada
Daerah (sudah tidak berlaku).
13) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
14) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan:
a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d)
perlindungan hutan dan konservasi alam (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Pasal 21). Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif
untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi
pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan
hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung
dilaksanakan dengan pemberian
izin
pemanfaatan kawasan,
izin
usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
(Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2).
Izin usaha pemanfaatan kawasan diberikan kepada perorangan dan
koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan diberikan kepada perorangan,
koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik Negara dan
badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan
kepada perorangan dan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Ayat (1, 2 dan
3).
Rehabilitasi
hutan
dan
lahan
dimaksudkan
untuk
memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40).
Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi; b.
penghijauan; c. pemeliharaan; d. pengayaan tanaman; e. penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak
produktif (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 41). Sedangkan
reklamasi hutan, meliputi usaha usaha untuk memperbaiki dan memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukanya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi,
Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 44 Ayat (1) dan (2). Selanjutnya pada Pasal 46
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan “penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan
dan likungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998
tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah
(sudah tidak berlaku sejak tahun 2007), dinyatakan bahwa sebagian urusan
pemerintah di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II antara
lain adalah pengelolaan hutan lindung (Pasal 5 huruf e). Selanjutnya dijelaskan
pada Pasal 6 Ayat (5) urusan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksudkan pada
Pasal 5 huruf e mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas,
mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam
rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa
lingkungan.
Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 62/1998 tersebut diganti
dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini,
urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan
lindung yang diserahkan kepada kabupaten/kota, diantaranya:
pertimbangan
penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan
hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh
tahunan (jangka panjang) unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL),
pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka
menengah) unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan
tahunan (jangka pendek) unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan
hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan
pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota.
2.1.4
Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia
Hutan Lindung Pulau Marsegu telah dijadikan tempat untuk berladang dan
daerah berpasir sebelah timur (Irwanto 2007). Khusus di daerah hutan lindung di
pegunungan, azas kelestarian pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan
baik, yang terbukti dengan adanya kerusakan-kerusakan hutan, bahkan
lahan-lahan kosong yang cukup luas. Salah satu penyebabnya ialah kebutuhan rakyat
setempat yang mendesak dari hutan, antara lain kayu bangunan, hijauan makanan
ternak, dan kesempatan kerja tidak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan baik
dan teratur (Kartasubrata 1986). Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani
subsisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten
khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan
pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung
bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non
kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan
mengabaikan pertanian konservasi (Budiono 2006).
Dideskripsikan dalam hasil penelitian Sidu (2006) tentang kerusakan hutan,
kerusakan Hutan Jati di Kawasan Hutan Lindung Jompi didorong oleh
meningkatnya kebutuhan masyarakat, keinginan atas penguasaan lahan, adanya
isu bahwa sebagian wilayah Kawasan Hutan Lindung Jompi akan menjadi
wilayah perluasan kota, adanya klaim masyarakat bahwa kawasan Kontu
merupakan tanah adat, adanya komoditi kayu yang bernilai ekonomi tinggi,
meningkatnya jumlah pengangguran, kurangnya lapangan kerja dan lemahnya
penegakan hukum.
Lebih lanjut dikemukakan di dalam hasil penelitian Sidu
(2006) bahwa: 1) kondisi modal sosial masyarakat sekitar Kawasan Hutan
Lindung Jompi mengalami penurunan/lemah, terutama disebabkan oleh
rendahnya tingkat kepercayaan (
tru
st
) antar warga masyaraka