PADA RESIDEN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
Oleh:
Ziyad
106070002331
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(B)Mei 2010 (C)Ziyad
(D)Hubungan Antara Adversity Quotient Dengan Intensi Untuk Pulih Dari Ketergantungan NAPZA Pada Residen Badan Narkotika Nasional
(E)68 halaman, 14 tabel + lampiran
Ketika residen menjalani program di BNN, maka mereka dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan. Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan program-program yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti, yaitu untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN. Subjek dalam penelitian ini adalah residen BNN yang berada di program Primary House yang berjumlah 58 orang yang ditentukan dengan teknik
nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling karena responden dalam penelitian ini adalah yang berada di fase Primary House, karena pada fase ini menjalankan TC (Therapeutic Community) yang sangat berat. Instrumen penelitian yang digunakan berupa skala yang terdiri dari skala Adversity Quotient
dan skala Intensi Pulih dengan model skala Likert.
Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih pada residen BNN. Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih pada residen BNN. Untuk menguji hipotesa peneliti menggunakan teknik statistik Pearson Product Moment
dan Uji Regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara adversity quotient dengan intensi pulih pada residen BNN dan pengaruh
Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas kememudahan yang diberikan-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW , keluarganya, para sahabat dan pengikutnya.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh kaena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Jahja Umar Ph.D Dekan Fakultas Psikologi UIN dan Para Wakil Dekan. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, MA dan Ibu Yufi Adriani, M.Psi sebagai
pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
3. Dosen-dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, dari awal perkuliahan hingga selesai skripsi ini. Ibu Solicha, M.Psi selaku Dosen
Pembimbing Akademik. Para pegawai bidang akademik dan kemahasiswaan serta civitas akademika Fakultas Psikologi atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai penulis menyelasaikan studi di Universitas Islam Negeri Jakarta.
6. Untuk Adiyo, Isni, Wirda dan Amir terima kasih atas bantuan dan masukannya. Afit, Nurul Layali, Tari, Laila, dan Eka terimakasih atas buku-bukunya.
7. Fika dan Ade yang mau membantu serta meminjamkan buku. Berkat kalian teoriku menjadi sempurna. Dan buat Afif yang sudah mebantu try out dan field test sehingga penelitian berjalan dengan baik.
8. Dan mahasiswa- mahasiswi Psikologi angkatan 2006 khususnya kelas D. Terima kasih untuk kebersamaan yang indah, masa ini tak akan terlupakan.
Selain itu, terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas semua bantuan, saran dan motivasi. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Seluruh isi skripsi ini adalah tanggung jawab penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak Amien.
MOTTO ... iv
DEDIKASI ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 8
1.3 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 9
1.3.1. Perumusan Masalah ... 9
1.3.2. Pembatasan Masalah ... 9
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian... 10
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 10
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 10
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi... 11
2.1.2.3. Perceived Behavioral Control ... 17 2.2. Adversity Quotient ... 20 2.2.1. Definisi Adversity Quotient... 20 2.2.2. Fungsi Adversity Quotient danTipe-Tipe Orang
menurut Adversity Quotient... 21 2.2.3. Dimensi-dimensi Adversitity Quotient... 27 2.2.4 Pohon Kesuksesan... 31 2.2.4. Penanganan Penyalahgunaan dan
Ketergantungan Zat untuk Pulih ... 34 2.4. Kerangka Berpikir... 39 2.5. Hipotesis... 42
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitian ... 43 3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 43 3.1.2. Metode Penelitian ... 43 3.2. Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan
3.3.1. Populasi ... 45
3.3.2. Sampel Penelitian... 45
3.3.3. Teknik Sampling ... 46
3. 4. Pengumpulan Data ... 47
3. 4.1 Teknik Pengumpulan Data... 47
3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data ... 48
3. 5. Uji Instrumen Penelitian ... 50
3. 5. 1. Uji Validitas ...51
3.5.1.1 Validitas Adversity Quotient... 51
3.5.1.2 Validitas Intensi Pulih ... 51
3. 5. 2. Uji Reliabilitas ... 52
3. 6. Metode Analisis Data... 53
3.7. Prosedur Penelitian... 53
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 56
4.3.1. Uji Persyaratan ... 61
4.3.2. Uji Normalitas... 61
4.3.3. Uji Hipotesis ... 62
4.3.4. Uji Regresi ... 63
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65
5.2 Diskusi ... 65
5.3 Saran... 67
Tabel 3.2 Blue Print Skala Try OutAdversity Quotient ... 49
Tabel 3.3 Blue Print Skala Try Out Intensi Pulih ... 50
Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas ... 53
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Tingkatan Fase ... 56
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 57
Tabel 4.3 Kategorisasi Adversity Quotient ... 59
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Adversity Quotient ... 59
Tabel 4.5 Kategorisasi Intensi Pulih ... 60
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Intensi Pulih ... 60
Tabel 4.7 Uji Normalitas ... 62
Tabel 4.8 Uji Correlations ... 63
Tabel 4.9 Tabel Anova ... 63
Barang siapa yang bersungguh-sunguh, dalam mengerjakan sesuatu, maka dia akan berhasil.
(Al-Hadits)
Jauh di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang masih tertidur nyenyak;
kekuatan yang akan membuat mereka takjub, dan yang tidak pernah mereka bayangkan
bahwa mereka memilikinya; kekuatan yang apabila digugah dan ditindaklanjuti akan
mengubah kehidupan mereka dengan cepat.
Ku persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku, Ayahku H Rifai dan umi HJ
Halimah Hanum Terimakasih telah mendidik aku dengan penuh kasih sayang sampai aku
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian non medical narkotik dan obat-obatan
adiktif yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia pemakainya.
Berbagai jenis narkoba yang mungkin disalahgunakan adalah tembakau, alkohol,
obat-obat terlarang dan zat yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang diisap
dari asapnya. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan ketergantungan zat
narkoba, jika dihentikan maka si pemakai akan “sakaw” (sakit). (Willis, 2005).
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin memprihatinkan. Sasarannya bukan
lagi remaja dan orang dewasa, namun telah merambah sampai ke anak-anak Sekolah
Dasar (SD). Hingga Juni 2007, angka penyalahgunaan narkoba di tingkat anak-anak
SD tercatat 3.853 kasus, lebih banyak dibandingkan pada tingkat perguruan tinggi
yang 764 kasus data Badan Narkotika Nasional (BNN). Peredaran narkoba di
kalangan siswa SD diduga dilakukan oleh bandar narkoba dengan cara merekrut
tenaga kurir dari siswa-siswa SD untuk menembus lapisan remaja dan anak-anak.
Dalam peredarannya, narkoba tersebut dicampur dengan makanan (permen) yang
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rutter (1980) (dalam Hawari, 2002) bahwa
penyebab remaja terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA antara lain; Kedua
orangtua bercerai atau berpisah (broken home by divorce or separation): resiko pada
anak lak-laki 50%, pada anak perempuan 20%. Hubungan kedua orangtua (ayah dan
ibu) tidak harmonis (poor marriage): resiko pada anak laki-laki 40%, pada anak
perempuan 15%. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension): resiko pada anak
laki-laki 50%, pada anak perempuan 20%.
Dari hasil kalkulasi diperkirakan jumlah penyalahguna sebanyak 3,1 juta sampai 3,6
juta orang atau sekitar 1,99% dari total seluruh penduduk Indonesia yang berisiko di
tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26% coba pakai,
27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan 7% pecandu suntik.
Penyalahgunaan narkoba pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa (60%) lebih tinggi
dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (40%). Menurut jenis kelamin, laki-laki
(88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). Penyalahguna coba pakai lebih banyak
di kelompok pelajar (90%), sedangkan pada teratur pakai dan pecandu lebih banyak
terjadi di bukan pelajar/mahasiswa. (BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI, 2008).
Penelitian (Hawari, 1990) membuktikan bahwa penyalahgunaan NAZA
menimbulkan dampak antara lain; merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan
kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan
lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif. (Hawari,1997).
Hawari menjelaskan bahwa selain mengganggu jiwa, zat narkoba juga merusak organ
fisik seperti lever, otak, paru, janin, pankreas, pencernaan, otot, endokrin dan libido.
Zat tersebut juga mengganggu nutrisi, metabolisme tubuh, dan menimbulkan inveksi
virus. Jika putus dari narkoba si pemakai akan mengalami ”sakaw” (sakit). Pada
peristiwa ini timbul gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung
berlebihan (rhinorea), pupil mata melebar, keringat berlebihan, mual, muntah, diare,
bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia,
agresif. (Willis, 2005).
Di tahun 1964 Badan Kesehatan Dunia menyatakan istilah “adiksi” tidak lagi menjadi
istilah ilmiah dan menganjurkan menggantinya dengan istilah “ketergantungan obat.”
Konsep ketergantungan zat mempunyai banyak arti yang dikenali secara resmi dan
banyak arti yang digunakan selama beberapa dekade. Pada dasarnya, dua konsep
telah diminta tentang definisi ketergantungan — ketergantungan perilaku dan
ketergantungan fisik. Ketergantungan perilaku telah menekankan aktifitas
mencari-cari zat (substance-seeking behavior) dan bukti-bukti pola penggunaan patologis, dan
ketergantungan fisik telah menekankan efek fisik (yaitu, fisiologis) dari episode
adanya toleransi atau putus zat dalam kriteria klasifikasinya. (Kaplan, Sadock, dan
Greeb, 1997).
Narkotika menurut Konversi Tunggal Narkotika 1961 adalah seluruh bagian dari
tanaman papaver, koko dan ganja dengan tidak memandang apakah bagian tanaman
tersebut mengandung zat aktif yang tergolong narkotika ataupun tidak (Ma’sum,
1987). Sedangkan menurut menurut UU no 22, tahun 1997 Narkoba adalah singkatan
dari Narkotika dan obat berbahaya. NAPZA adalah singkatan dari Narkotika Alkohol
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika secara farmakologik adalah opioida,
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. (Balai pengobatan sehat, 2010).
Penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba perlu melakukan berbagai pendekatan.
Terutama bidang psikiatri, psikologi, dan konseling. Jika terjadi ketergantungan
narkoba maka bidang yang paling bertanggung jawab adalah psikiatri, karena akan
terjadi gangguan mental dan perilaku yang disebabkan zat narkoba mengganggu
sinyal penghantar syaraf yang disebut sistem neurotransmitter didalam susunan
syaraf sentral (otak). Gangguan neurotransmitter ini akan mengganggu (1) fungsi
psikomotorik (perilaku gerak), (4) komplikasi medik terhadap fisik seperti kelainan
paru-paru, lever, jantung, ginjal, pancreas dan gangguan fisik lainnya. (Willis, 2005).
Dari hasil observasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa sebelum para residen
masuk ke BNN menjalani proses rehabilitasi. Mereka waktu itu masih memakai
narkoba, dan ketika itu mereka tidak memiliki aturan dalam hidupnya dan memiliki
kepribadian yang buruk. Ketika mereka menjalani program di BNN, maka mereka
dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi
tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi
kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan.
Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan program-program
yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah.
Faktor yang menyebabkan pecandu susah lepas dari ketergantungan narkoba menurut
Hawari (2002) terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyebutkan
sebagai faktor kritis dan faktor menegangkan. Faktor sugesti (craving) adalah di
mana residen tidak mampu menahan keinginan (sugesti) untuk memakai lagi NAZA.
Selain itu faktor internal yang lain adalah stres, dalam hal ini residen tidak tahan
terhadap tekanan-tekanan dalam menjalankan program. Stres membuat mereka
menjadi seseorang yang mudah menyalahkan diri sendiri dan orang lain, kepribadian
yang nekat, mudah frustrasi dan bingung, dan tidak mampu mengurus diri sendiri.
pemakai dulu, maka residen sangat mudah sekali terbujuk untuk memakai kembali
narkoba.
Fishben dan Ajzen (1975) menyebutkan bahwa intensi ditentukan oleh keyakinan
mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan, keyakinan ini
dapat berasal dari pengalaman perilaku seseorang di masa lalu, atau dapat juga
dipengaruhi oleh informasi tidak langsung mengenai perilaku tersebut. Jadi intensi
pulih adalah niat seseorang untuk pulih yang berdasarkan keyakinan dan sumber yang
diperlukan untuk pulih, dan juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya atau
orang lain.
Intensi pulih ini haruslah bersumber dari dalam diri residen. Atau dengan kata lain
atas keinginan mereka sendiri dalam menjalani program-program yang ada di BNN
yang sangat berat. Bila intensi bersumber dari dalam diri mereka sendiri, maka
mereka memiliki keyakinan bahwa dirinya akan mampu terlepas dari ketergantungan
narkoba, karena diasumsikan mereka yang datang untuk menjalankan pemulihan
karena keinginan sendiri akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi
dibandingkan mereka yang datang karena paksaan orang lain.
Menurut Hawari (2002) kendala terberat dari para pecandu adalah adanya craving,
yaitu keinginan yang kuat untuk menggunakan NAPZA masih sering muncul, selain
Salah satu faktor yang mempengaruhi intensi pulih pada pecandu narkoba adalah
adversity quotient, karena adversity quotientmempunyai tiga bentukkonsep.
Pertama, adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk
memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient
adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Ketiga,
adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar untuk
memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki
efektifitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Karena ketiga konsep ini
sebagai pengetahuan, tolak ukur, dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket
yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki kehidupan seseorang dalam
sehari-hari dan seumur hidup. Pengertian adversity quotient adalah respon seseorang dalam
menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya. (Stoltz, 2007).
Stoltz (2007) membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan
mendaki gunung: Pertama, Quitters yaitu mereka berhenti di tengah jalan dalam
proses pendakian. Quitters ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan.
Yang kedua adalah para Campers yaitu mereka yang tidak mencapai puncak, tetapi
sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Orang-orang dalam tipe campers
sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari tipe
orang-orang dalam tipe terakhir ini, merekalah yang akan mencapai puncak dan meraih
keberhasilan.
Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki sifat mendaki, Pendakian ini
maknanya adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Secara naluri,
dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan,
tantangan dan kesulitan, dan AQ yang memperlihatkan bagaimana seseorang
merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya. AQ memiliki peran
dalam memberi tahu individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan
kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan. Orang yang memiliki AQ tinggi
tidak akan menyerah dalam situasi sulit dalam proses pendakiannya, individu akan
terus melewati situasi sulit dan rintangan-rintangan yang menghadang sampai ia
menuju puncak yang diinginkan. (Stoltz, 2007). Residen yang memiliki adversity
quotient yang tinggi maka ia akan memiliki kepribadian yang tahan banting, memiliki kontrol pribadi yang baik, serta memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan
berbagai tantangan hidup selama menjalani proses pemulihan dan setelah selesai
proses pemulihan.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan
2. Aspek-aspek apa saja dalam adversity quotient yang dapat mempengaruhui
intensi pulih?
3. Faktor apa dalam intensi pulih yang paling mempengaruhui adversity
quotient?
1.3. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1.3.1. Perumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin dikaji lebih jauh dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut :
“Apakah ada hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih
dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN?”
1.3.2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak meluas, maka diperlukan pembatasan
masalah dari masalah-masalah yang hendak diteliti. Adapun batasan masalah dalam
penelitian ini adalah sabagai berikut:
1. Adversity Quotient adalah respon seseorang dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.
2. Intensi adalah proses dari diri seseorang sebelum melakukan suatu tindakan,
yang dipengaruhui oleh belief dan significant others.
3. Pulih adalah keadaan pulih menjadi sehat kembali berhubungan dengan orang
4. Intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna
narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.
5. Residen adalah mantan pecandu narkoba yang sedang melakukan pemulihan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah ingin menguji ”Apakah ada
hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari
ketergantungan NAPZA pada residen BNN”?
1.4.2 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi literatur
sebagai khazanah kajian psikologi, khususnya tentang intensi pulih para residen
BNN.
2) Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai
1.5. Sistematika Penulisan Skripsi
Pada penulisan tugas ini penulis menggunakan kaidah American Psychologycal
Association (APA) style. Dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Pada bab ini akan dibahas tentang; latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab 2 Landasan Teoritis
Pada bab ini akan dibahas tentang; konsep-konsep teoritis yang mendasari
dilakukannya penelitian ini, yaitu: pengertian intensi pulih, aspek-aspek intensi,
pengertian adversity quotient, fungsi adversity quotient dan tipe-tipe orang menurut
adversity quotient, dimensi-dimensi dalam adversity quotient, pohon kesuksesan dalam adversity quotient, penanganan penyalahgunaan dan ketergantungan zat untuk
pulih, kerangka berpikir dan hipotesis.
Bab 3 Metode Penelitian
Pada bab ini akan dibahas tentang; pendekatan dan metode penelitian, definisi
variabel dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, instrumen penelitian,
Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini akan disajikan presentasi dan analisis data yang meliputi gambaran
umum subjek dan hasil penelitian.
Bab 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Pada bab ini akan disajikan tentang; kesimpulan, diskusi dan saran berdasarkan hasil
BAB 2
KAJIAN TEORITIS
2.1 Intensi Pulih
2.1.1 Definisi Intensi Pulih
Fishben dan Ajzen mengatakan tentang intensi di dalam bukunya sebagai berikut:
… intention as a person’s location on subjective probability dimension involving a relation
between himself and some action.
A behavioral intention refers to a person’s subjective probability that he will perform some
behavior. (Fishben & Ajzen, 1975)
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa intensi merupakan suatu penempatan
seseorang atau dimensi kemungkinan subjektif yang melibatkan suatu hubungan
antara dirinya dengan tindakan. Pengertian lain dari intensi adalah merupakan bagian
konatif dari tingkah laku, juga merupakan kemungkinan subjektif seseorang di mana
ia akan menampilkan beberapa tingkah laku. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada
Informational base
• Variations of time
• Individual
differences
• Characteristics of
references
Bagan 1.Skema terbentuknya intensi menurut Fishben dan Ajzen (1975).
Menurut Fishben dan Azen (1975) intensi memiliki empat elemen dasar, yaitu:
perilaku, target objek yang mengarahkan tingkah laku, situasi di mana tingkah laku
ditampilkan, waktu (saat) tingkah laku ditampilkan. Untuk setiap level spesifikasi,
intensi ditentukan oleh sikap terhadap perilaku serta norma subjektif. Untuk
mendapatkan ketepatan peramalan mengenai intensi dapat diperoleh jika komponen
sikap dan normatif diukur pada level spesifikasi yang sama dengan intensinya.
Jadi intensi adalah proses dari diri seseorang sebelum melakukan suatu tindakan,
yang dipengaruhui oleh belief dan significant others. Sedangkan pulih menurut
sembuh atau baik kembali. Jadi intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau
tujuan seorang pengguna narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.
2.1.2 Aspek-aspek Intensi
2.1.2.1 Attitude towards behavior (Sikap terhadap perilaku)
Sikap seseorang terhadap suatu tingkah laku tertentu merupakan fungsi dari belief
orang tersebut tentang konsekuensi dari tingkah laku dan evaluasinya terhadap
konsekuensi tersebut. Dengan perkataan lain, sikap terhadap tingkah laku tertentu
(AB) merupakan jumlah dari perkalian beliefnya di mana penampilan tingkah laku
tertentu (Bi) dengan evaluasi hasil tingkah laku (Ei) berdasarkan jumla beliefnya.
(Fishben & Ajzen, 1975).
Timbulnya suatu sikap terhadap tingkah laku dipengaruhi oleh belief yang
dimilikinya. Belief menurut Fishben dan Ajzen (1975), mengarah pada penilaian
subjektif seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di sekitarnya. Belief merupakan
kemungkinan subjektif dari hubungan antara objek belief dan sejumlah objek nilai,
konsep, atau atribut. Belief seseorang terhadap suatu objek akan menentukan
sikapnya terhadap objek sikap. Belief yang membentuk sikap ini dinamakan
behavioral belief.
Fishben dan Ajzen (1975) mengatakan bahwa keyakinan (belief) terhadap suatu
It can therefore be argued that a person’s attitude toward an object is primarily determined
by no more than five to nine beliefs about the object, these are the beliefs that are salient at a
given point in time. (Fishben & Ajzen, 1975).
Pengertian salient belief, yaitu belief-belief terhadap objek yang dimiliki seseorang
yang berfungsi sebagai determinan (penentu) sikapnya pada waktu tertentu.
2.1.2.2 Subjektif Norm (Norma Subjektif)
Fishben & Ajzen (1975) menerangkan bahwa:
“the subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him
think he should or should not perform the behavior in question”.
Definisi ini menerangkan keyakinan-keyakinan atau persepsi individu yang
berhubungan dengan harapan atau keinginan orang lain mengenai sebuah tingkah
laku yang mempengaruhi seseorang individu untuk melakukan tingkah laku tersebut.
Dengan kata lain, bahwa norma subjektif ini merupakan persepsi seseorang individu
mengenai pengaruh lingkungan sosial yang mempengaruhi keyakinan terhadap
individu untuk melakukan tingkah laku tertentu.
Menurut Fishben & Ajzen (1975) bahwa norma subjektif ditentukan oleh dua hal;
1. Normative belief, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh
panutan (significant others) tentang apakah subjek harus melakukan atau tidak
2. Motivation to comply, yaitu seberapa jauh motivasi individu untuk mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut.
2.1.2.3 Perceived Behavioral Control (Ajzen, 1988)
Selanjutnya Icek Ajzen pada tahun 1988 mengembangkan teori Reasoned Action di
atas dengan menambahkan faktor perceived behavioral control sebagai faktor ketiga
yang berpengaruh terhadap intensi seseorang. Penambahan faktor ketiga ini dilakukan
Ajzen, karena menurutnya teori Reasoned Action tahun 1975 belum dapat
menjelaskan tingkah laku yang seratus persen tidak dapat dikendalikan sendiri.
Perceived behavioral control adalah kemudahan atau kesulitan yang dirasakan atau dipersepsikan oleh individu untuk menampilkan tingkah laku. Perceived behavioral
control merupakan bentuk umum dari teori sikap Fishbein dan Ajzen (1975), dan dipakai untuk tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol kemauan
subjek sendiri. Pada penelitian ini, tingkah laku berhenti menggunakan drugs
diasumsikan sebagai tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol
kemauan subjek sendiri, sebab untuk mewujudkan intensinya ini ada beberapa faktor
dari luar yang dapat menjadi penghambat. Faktor-faktor yang dapat menjadi
penghambat itu antara lain: hubungan keluarga yang tidak harmonis, ajakan kembali
memakai drugs dari teman-teman sesama pemakai dahulu. Bilamana tingkah laku
sepenuhnya berada di bawah subjek sendiri, maka Perceived behavioral control dapat
Ada dua jenis perceived behavioral control. Pertama adalah perceived behavioral
control believe (PBCB). PBCB terbentuk dari belief yang disebut control belief yaitu persepsi seseorang yang lebih menekankan atau mempertimbangkan beberapa
hambatan realistis yang ada dalam menampilkan tingkah laku yang diinginkan.
Variabel ini diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu dan
rintangan-rintangan yang diantisipasikan dari tingkah laku.
Sedangkan yang kedua disebut sebagai perceived behavioral control direct (PBCD),
yaitu sejauh mana kontrol yang dimiliki seseorang terhadap tingkah laku yang
dilakukannya. Variabel ini memiliki pengaruh langsung terhadap intensi tingkah laku.
Oleh karena itu, dapat menjadi pengganti untuk mengukur keterampilan kontrol
sebenarnya, maka variabel ini memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah
laku.
Ajzen (1988) dalam theory of planned behavior mengemukakan bahwa intensi
dipengaruhi oleh tiga determinan atau penentu, yaitu sikap terhadap tingkah laku,
norma subjektif, dan perceived behavioral control. Pendapat ajzen ini untuk lebih
Sikap terhadap tingkah laku
Norma Subjektif Intensi Tingkah laku
Perceived Behavioral Control
Bagan 2. Skema terbentuknya intensi menurut Ajzen (1988).
Dari bagan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, PBC mempunyai implikasi
motivasional terhadap intensi. Seseorang yang memiliki banyak hambatan untuk
melakukan suatu tingkah laku akan berpengaruh terhadap intensinya untuk
melakukan tingkah laku itu. PBC dapat pula mempengaruhi tingkah laku secara
langsung (via intensi) dan dapat digunakan untuk meramalkan tingkah laku tertentu.
Tetapi jika seseorang memiliki informasi yang sedikit, kebutuhan dan sumber
dayanya berubah, maka PBC menjadi tidak realistis lagi untuk dipakai meramalkan
2.2 Adversity Quotient
2.2.1 Definisi Adversity Quotient
Stoltz (2007), mendefinisikan Adversity Quotient dalam tiga bentuk, yaitu;
• Adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
• Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.
• Adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat
memperbaiki efekstifitas pribadi dan professional seseorang secara
keseluruhan.
Menurut Ginanjar (2004) Adversity Quotient diibaratkan sebagai sa’i, karena sa’i
melambangkan suatu persistensi (ketetapan hati), atau upaya tiada kenal lelah dan
tiada kenal henti. Hal ini telah dicontohkan oleh sikap Siti Hajar, kemudian
diabadikan oleh Allah SWT untuk mengajarkan manusia tentang pentingnya suatu
sikap “Istiqomah”, atau upaya yang tiada kenal henti. Dorongan suatu hati dari
Al-Matin atau Yang Maha Menggenggam Kekuatan telah meneguhkan hatinya untuk
kuat menghadapi berbagai rintangan.
kesulitan, sedangkan orang sukses tidak berhenti pada saat ia belum berhasil. Bagi
orang yang sukses, kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda. Dan
Rasulullah pun mengalami serta melalui berbagai masalah yang sangat berat sebelum
Islam mendunia. Kegagalan harus diterima sebagai sebuah upaya pembelajaran yang
membuat individu menemukan sebuah pemikiran, penyempurnaan, metode dan
tujuan yang lebih jelas.
Menurut Ginanjar (2004) Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki
seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Dengan Adversity
Quotient seseorang bagai diukur kemampuannya dalam mengatsi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa.
Dari beberapa pengertian maka dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah
respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.
2.2.2 Fungsi Adversity Quotient dan Tipe-tipe Orang Menurut Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2007) fungsi Adversity Quotient adalah:
• Adversity Quotient memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya.
• Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal.
• Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan
Menurut Stoltz (2007) keberhasilan seseorang dalam mencapai suatu tujuan atau
kesuksesan tidak hanya cukup IQ dan EQ, tetapi yang paling terpenting adalah AQ.
Karena menurutnya banyak orang yang memiliki IQ atau EQ tinggi gagal dalam
menunjukkan kemampuannya, tetapi ada orang yang memiliki IQ atau EQ biasa saja
mereka berhasil mencapai tujuannya.
Stoltz menggambarkan tentang kesuksesan seseorang seperti dibawah ini:
AQ
EQ IQ
Stoltz (2007) mengatakan bahwa untuk memahami peran Adversity Quotient dalam
melanjutkan pendakian disaat orang lain telah menyerah, maka haruslah terlebih
tantangan-Menurut Stoltz (2007) sesorang dilahirkan mempunyai dorongan inti yang manusiawi
untuk terus mendaki. Menurutnya mendaki adalah menggerakan tujuan hidup ke
depan, apa pun tujuan itu. Dalam hal ini adalah tujuan para residen untuk pulih.
Dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki tersebut merupakan perlombaan
naluriah residen melawan jam dalam menyelesaikan program-program yang ada di
BNN semampu mereka dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka mereka bisa
merasakan dorongan ini untuk pulih. Hal ini sesuai dengan orang-orang yang selamat
dari maut karena penyakit kankernya. Tinjauan kembali yang seketika mengenai
seluruh kehidupan para penderita kanker dan mengetahui “apa yang sebenarnya
penting” dalam hidup ini, sering mengubah tingkah laku mereka menjadi sangat
berbeda. Orang-orang tersebut membangkitkan energi yang baru ditemukan pada
hal-hal yang benar-benar penting dalam hidupnya, yang berkaitan dengan tujuan mereka.
Stoltz (2007).
Stoltz (2007) mengelompokkan orang ke dalam tiga tipe pendaki puncak
keberhasilan, yaitu quitter (mereka yang berhenti), camper (mereka yang berkemah),
dan climber (para pendaki), yaitu;
1. Quitters menurut definisinya, menjalani kehidupan yang tidak terlalu
menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan
yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Mereka juga memilih untuk
dengan berlalunya waktu, Quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih
pedih daripada yang ingin mereka elakan dengan memilih tidak mendaki. Dan
saat yang paling memilukan dan menyedihkan adalah sewaktu mereka
(Quitters) menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang telah
dijalani ternyata tidak menyenangkan.
• Ciri-ciri Quitters, yaitu; mereka sering menjadi sinis, murung, dan mati
perasaannya. Atau, mereka menjadi pemarah dan frustasi, menyalahkan
semua orang di sekelilingnya, dan membenci orang-orang yang terus
mendaki. Quitters sering juga menjadi pecandu, entah itu pecandu
alkohol, narkoba, atau acara-acara televisi yang tidak bermutu. Quitters
mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran. Quitters juga
selalu melarikan diri dari pendakian, yang berarti juga mengabaikan
potensi yang mereka miliki dalam kehidupan ini. Quitters memperlihatkan
sedikit ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Mereka
juga mengambil risiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif,
kecuali saat mereka harus menghindari tantangan-tantangan yang besar.
Quitters cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen-komitmen yang sesungguhnya. Quitters kalah dalam
wilayah-wilayah pertumbuhan dan pemenuhan yang paling kaya, yaitu
hubungan-hubungan yang mendalam dan bermakna. Para Quitters menggunakan
2. Campers menurut definisinya adalah menghindarkan dari pengalaman yang mungkin dapat menimbulkan perubahan besar dalam hidupnya. Campers
adalah satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi). Mereka
(Campers) puas dengan mencukupkan diri, dan tidak mau mengembangkan
diri. Campers berhasil mencukupi kebutuhan dasar mereka, yaitu makanan,
air, rasa aman, tempat berteduh, nahkan rasa memiliki. Mereka telah melewati
kaki gunung. Dengan berkemah, emreka mengorbankan bagian puncak
Hirarki Masllow, yaitu aktualisai diri, dan bertahan pada apa yang telah
mereka miliki. Akibatnya, Campers menjadi sangat termotivasi oleh
kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak, dan
mencari rasa aman.
• Ciri-ciri Campers, yaitu; menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit
semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apa
pun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan
yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu
dikerjakan. Campers bisa melakukan pekerjaan yang menutut kreatifitas
dan mengambil risiko dengan penuh perhitungan, tetapi biasanya mereka
mengambil jalan yang aman. Kreatifitas dan kesedian mengambil resiko
hanya dilakukan dalam bidang-bidang yang ancamannya kecil sekali. Para
3. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan
kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat
fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.
Climbers selalu menjalani hdupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan bisa
merasakan gairahnya. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang
sesungguhnya, dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas
pendakian yang telah dilakukan. Climbers sering merasa sangat yakin pada
sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat
mereka bertahan manakala tantangan terasa menakutkan dan sulit ditaklukan,
serta setiap harapan untuk maju mendapat tantangan baru. Climbers yakin
bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap
negatif dan sudah memutuskan bahwa jalanya tidak mungkin ditempuh.
• Ciri-ciri Climbers, yaitu; Climbers selalu menyambut baik terhadap
tantangan-tantangan yang ada, dan mereka hidup dengan pemahaman
bahwa hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka juga
bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang sangat tinggi, dan
bertjuan untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers merupakan
katalisator tindakan; mereka cenderung membuat segala sesuatunya
terwujud. Climbers selalu membangkitkan diri pada pertumbuhan dan
inspirasi dan, sebagai akibatnya, menjadi pemimpin-pemimpin yang baik.
Climbers selalu menemukan cara untuk membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers selalu menerima tantanga-tantangan dan terus berjuang
walaupun resiko yang ada sangat berat. Climbers juga menyambut baik
perubahan yang terjadi.
2.2.3 Dimensi-dimensi Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2007) Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang dapat mengukur
kemampuan individu dan dapat mengevaluasi dimensi-dimensi yang dimilikinya.
Dimensi-dimensi pembentuknya adalah CO2RE, yaitu;
a. C = Control (Kendali)
C mempertanyakan: “Berapa banyak kendali yang individu rasakan terhadap sebuah
peristiwa yang menimbulkan kesulitan?” Dimensi C menunjukkan bagaimana
seseorang merasa memiliki kendali terhadap peristiwa yang dialaminya. Mereka
yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan merasakan kendali yang lebih
besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya daripada mereka yang memiliki
adversity quotient lebih rendah. Akibatnya, mereka yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak lagi
kendali dibandingkan mereka yang memiliki adversity quotient lebih rendah mereka
lebih sedikit menghasilkan kendali.
Semakin rendah adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar
berada di luar kendali (locus of control eksternal), dan sedikit orang mampu
mencegahnya atau membatasi kerugian-kerugiannya. Rendahnya kendali yang
dirasakan memiliki pengaruh yang sangat merusak terhadap kemampuan seseorang
untuk mengubah situasi. Orang-orang yang sangat rendah kemampuan pengendalinya
sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan. Sebaliknya orang yang
memiliki dimensi C yang tinggi merasa bahwa pada setiap kejadian ia memiliki
kendali didalamnya, sehingga ia dapat mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik
sesuai dengan keinginannya (locus of control internal).
b. O2 = Origin dan Ownership (Asal usul dan Pengakuan)
O2 mempertanyakan dua hal: “Siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan?” dan
Sampai sejauh manakah individu mengakui akibat-akibat kesulitan itu?” Orang yang
adversity quotientnya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak
semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, seseorang
melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin)
kesulitan tersebut.
Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah itu membantu
individu belajar. Dengan menyalahkan diri sendiri, individu cenderung merenungkan,
belajar, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Yang kedua, rasa bersalah itu menjurus
mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang dilakukan idividu itu menyakiti hati
orang lain.
Semakin tinggi adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar
kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai pekerjaannya dan
kesulitan sebagai sesuatu yang terutama berasal dari pihak luar. Dengan kata lain
mencerminkan kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri
yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya.
Semakin rendah adversity quotient individu dalam dimensi ini, maka semakin besar
kemungkinannya menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang terutama merupakan
kesalahannya dan mengangap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai keberuntungan
yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Individu menganggap dirinya
sebagai asal mula peristiwa-peristiwa buruk bisa berakibat parah pada tingkat stres,
ego, dan motivasi. Mereka juga menolak pengakuan, dengan menghindarkan diri dari
tanggung jawab untuk menagani situasi.
c. R = Reach (jangkauan)
Dimensi ini mempertanyakan: “sejauh manakah kesulitan akan menjangkau
bagian-bagian lain dari kehidupan saya?” Respon-respon dengan adversity quotient yang
Jadi, semakin rendah adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka
semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan sebagai sesuatu yang
merasuki wilayah-wilayah lain kehidupannya.
Sedangkan semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini,
maka semakin besar kemungkinannya individu merespon kesulitan sebagai sesuatu
yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi
jangkauan kesulitan, individu akan merasa semakin lebih berdaya dan perasaan
kewalahan akan berkurang.
d. E = Endurance (daya tahan)
Dalam dimensi ini pertanyaannya adalah “ Berapa lamakah kesulitan akan
berlangsung?” “dan Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?”
Semakin rendah skor E seseorang semakin besar kemungkinannya menganggap
kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya orang yang memiliki skor E yang tinggi
akan mengganggap bahwa kesulitan dan penyebabnya hanya bersifat sementara,
sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesulitan yang dihadapi.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lorraine Johnsons dan Stuart
Biddle (dalam Stoltz, 2007) menunjukkan bahwa individu yang melihat kemampuan
mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang
bertahan dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha
Oleh karena itu semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi
ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai
sesuatu yang berlangsung lama, atau bahkan permanen. Individu juga akan
mengangap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat
sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan
meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan individu untuk bertindak.
Sebaliknya individu yang memiliki adversity quotient dan skor dalam dimensi ini
yang rendah, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan
dan penyebab-penyebabnya sebagai peristiwa yang berlangsung lama, dan
mengaggap peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Ini
bisa menunjukkan jenis respon-respon yang memunculkan perasaan tak berdaya atau
hilangnya harapan. Lama-kelamaan, individu akan merasa sinis terhadap aspek-aspek
tertentu dalam hidupnya. Individu mungkin akan cenderung kurang bertindak
melawan kesulitan sebagai sesuatu yang permanen.
2.2.4 Pohon Kesuksesan
Menurut Stoltz (2007) hampir kebanyakan orang mengetahui apa yang dibutuhkan
agar dapat sukses. Karena menurutnya setiap manusia diberkahi berbagai macam
unsur penting untuk mencapai kesuksesan. Tetapi, kenyataannya adalah, jika
seseorang memiliki adversity quotient yang relatif rendah dan karenanya tidak
kerdil. Sebaliknya, orang dengan adversity quotient yang cukup tinggi akan
berkembang pesat seperti pohon di gunung. Oleh karena itu Stoltz membagi potensi
yang seseorang miliki seperti bagian- bagian dari pohon dibawah ini;
a. Daun : Kinerja
Daun diberi label kinerja karena merujuk pada bagian dari individu yang paling
mudah terlihat oleh orang lain. Bagian ini yang paling sering dinilai atau dievaluasi.
Namun daun tidak begitu saja tumbuh tanpa adanya cabang pohon.
b. Cabang : Bakat dan Kemauan
Cabang pertama dapat disebut sebagai bakat yang menggambarkan keterampilan,
kompetensi, dan pengetahuan individu. Cabang kedua disebut hasrat yang
menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat
individu.
Kedua cabang ini saling mempengaruhi kesuksesan, seseorang yang memiliki bakat
akan tetapi tidak mempuyai kemauan sulit untuk menjadi sukses. Seorang harus
mempunyai kemauan yang mungkin disertai bakat untuk mencapai kesuksesan.
c. Batang : Kecerdasan, Kesehatan, dan Karakter
Kecerdasan
Howard Gardner (dalam Stoltz, 2007) memperluas pengertian kecerdasan bahwa
kecerdasan mempunyai tujuh bentuk; Linguistic, kinestetik, spasial, logika matematis,
dominan. Kecerdasan yang lebih dominan tersebutlah yang mempengaruhi karir,
pelajaran-pelajaran yang dipilih, dan hobi-hobi yang dinikmati. Ini berkaitan dengan
cabang pohon yang akan mempengaruhi kesuksesan seseorang.
Kesehatan
Kesehatan emosi dan fisik mempengaruhi kemampuan individu dalam menggapai
kesuksesan. Jika individu sakit, penyakitnya akan mengalihkan perhatian individu
dari gunung yang sedang didaki atau tujuan yang akan dicapai. Karena sakit itu
pendakian individu bisa menjadi sekedar perjuangan hari demi hari untuk bertahan
hidup. Emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian diri individu.
Karakter Positif
Karakter positif juga mempengaruhi kesuksesan individu, menurut Aristoteles
(dalam Stoltz, 2007) kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan,
keberanian, dan kedermawanan, semuanya penting untuk menuju kesuksesan dan
hidup berdampingan secara damai.
d. Akar :Genetika, Pendidikan, dan Keyakinan.
Genetika
Meskipun genetis tidak akan menentukan nasib seseorang namun menurut penelitian
yang telah ada ternyata menunjukkan pengaruh terhadap tingkah laku seseorang.
Dalam satu contoh, sepasang anak kembar yang terpisah selama empat puluh tahun
saling menceritakan tentang diri mereka, dan ternyata mereka memiliki
Pendidikan.
Seperti genetika, pendidikan bisa juga mempengaruhi kecerdasan, pembentukan
kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keteramplian, hasrat, dan kinerja yang
dihasilkan.
Keyakinan
Menurut Peck dalam the call to community (dalam Stoltz, 2007) menganggap
keyakinan sebagai hal yang sangat penting demi kelangsungan hidup masyarakat.
Apa pun jenis keyakinannya, sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki
faktor akar ini. Sedangkan menurut Herbert Benson (dalam Stoltz, 2007) seorang
peneliti yang mempelopori riset tentang peran keyakinan dalam kesehatan seseorang.
Menurutnya berdoa akan mempengaruhi epinefrin dan hormon-hormon
kortikosteroid pemicu stres, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernapasan lebih santai.
2.3.2 Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat untuk Pulih
Dalam banyak kasus, bahkan mungkin hampir semua, orang dengan ketergantungan
obat tidak benar-benar ingin menghentikan penyalahgunaan zat tersebut. Kebanyakan
orang yang menyalahgunakan kokain, misalnya, seperti para penyalahgunaan alkohol
dan obat-obatan, tidak berusaha mencari penanganan bagi diri mereka sendiri.
Mereka yang tidak berusaha mendapatkan penanganan cenderung menjadi
terperangkap dalam lingkungan sosial yang gagal mendukung mereka untuk sembuh.
(Nevid, Rathus, dan Greene, 2005).
Menurut Nevid, dkk (2005) bahwa ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan agar
dapat memulihkan seorang pecandu dari ketergantungan narkoba, pendekatan itu
antara lain;
a. Pendekatan Residential
Pendekatan residential adalah penanganan dengan melibatkan perawatan di rumah
sakit atau tempat terapi. Perawatan di rumah sakit direkomendasikan bila
penyalahguna obat tidak dapat mengendalikan diri bila berada dalam lingkungan
mereka, atau tidak tahan terhadap gejala putus zat, dan saat perilaku mereka bersifat
self-destructive atau berbahaya bagi orang lain. Penanganan rawat jalan lebih murah dan disarankan bila gejala putus zat tidak terlalu parah, klien teguh pada perubahan
perilaku mereka, dan sistem dukungan lingkungan, seperti; keluarga, turut berjuang
untuk membantu klien berubah menuju gaya hidup bebas obat.
Sejumlah komunitas terapeutik residensial juga digunakan. Beberapa dari mereka
memilih staf ahli paruh waktu atau tetap. Residen diharapkan untuk tetap bebas obat
dan bertanggung jawab untuk tindakan mereka. Residen sering dikonfrontasi
sehubungan dengan alsan-alasan mereka gagal bertanggung jawab untuk diri sndiri
Mereka berbagi pengalaman hidup untuk saling membantu mengembangkan cara
yang lebih produktif untuk mengatasi stres.
b. Pendekatan Behavioral
Penggunaan terapi perilaku atau modifikasi perilaku dalam menangani
penyalahgunaan dan ketergantungan zat menekankan pada modifikasi pola perilaku
penyalahgunaan dan dependen. Aliran ini memfokuskan kepada apakah
penyalahguna dapat belajar untuk mengubah perilaku mereka saat dihadapkan dengan
godaan.
Strategi Self-Control
Pelatihan self-control berfokus pada membantu penyalahguna mengembangkan
keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk mengubah perilaku mereka. Terapis
perilaku menekankan pada tiga komponen penyalahgunaan zat:
1. Isyarat anteseden, atau stimuli (A) yang memicu penyalahgunaan,
2. Perilaku penyahgunaan (B) itu sendiri, dan
3. Kosekuensi hukuman atau penguatan (C) yang mempertahankan atau
mencegah penyalahgunaan.
c. Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan ini membantu orang untuk mengembangkan respon interpersonal yang
menyelesaikan masalah untuk membebaskan stres rumah tangga yang dapat menjadi
pemicu penyalahgunaan. Bukti yang tersedia mendukung manfaat pendekatan
pelatihan keterampilan sosial dan terapi perkawian behavioral dalam menangani
alkoholisme dan ketergantungan zat (Finney & Monahan, 1996 dalam Nevid, dkk,
2005).
d. Pelatihan Pencegah Kambuh
Kata kambuh (relaps) berasal dari bahasa Latin yang berarti ”tergelincir kembali.”
Karena ada prevalensi kambuh, para terapis beraliran behavioral mendesain sejumlah
metode yang disebut pelatihan pencegahan kambuh (relaps-prevention training).
Pelatihan semacam ini membantu orang dengan masalah penyalahgunaan zat
mengatasi situasi beresiko tinggi dan mencegah mereka relaps (Marlatt & Gordon,
1985 dalam Nevid, dkk, 2005).
Penelitian menegaskan bahwa adanya jaringan sosial yang kuat (bersifat mendukung)
itu berhubungan secara positif dengan kesehatan. Hal ini akan menguatkan hipotesis
bahwa dukungan sosial itu merupakan variabel lingkungan. Definisi operasional
tentang dukungan sosial dalam konteks ini berasal dari Gottlieb (1983) (dalam Smet,
1994): ”.... Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau
non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau
didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek
Untuk menjelaskan konsep dukungan sosial, kebanyakan penelitian sependapat untuk
membedakan jenis-jenis yang berlainan (Defares & De Soomer, 1988 dalam Nevid,
dkk, 2005). Hal ini sangat berguna, karena nampak beberapa situasi (penuh stress)
yang berbeda memerlukan jenis bantuan atau dukungan yang sama sekali berbeda.
House membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial (Winnubst dkk., 1988;
Sarafino, 1990 dalam Nevid, dkk, 2005):
• Dukungan emosional: mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik,
penegasan).
• Dukungan penghargaan: terjadi lewat ungkapan homat (penghargaan)
positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan
atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan
orang-orang lain, seperti misalnya oran-orang-orang yang kurang mampu atau lebih
buruk keadannya (menambah penghargaan diri).
• Dukungan instrumental: mencakup bantuan langsung, seperti menolong
pekerjaan pada waktu mengalami stres.
• Dukungan informatif: mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk,
2.4 Kerangka Berpikir
Menurut Oullete (dalam Stoltz, 2007) orang yang memiliki sifat tahan banting tidak
terlalu mederita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Sifat yang
dimiliki seseorang merujuk pada kemampuannya menghadapi kondisi-kondisi
keadaan yang keras.
Oullete (dalam Stoltz, 2007) juga melakukan penelitian yang menunjukkan kesulitan
akibat reorganisasi massal, ketidakpastian, dan stres memperlihatkan sifat tahan
banting − suatu perasaan tentang tantangan, komitmen, dan pengendalian yang dapat
diukur − menderita separo penyakit yang diderita oleh para responden yang
responnya kurang tahan banting. Sifat tahan banting merupakan peramal kesehatan
dan kualitas secara keseluruhan. Orang-orang yang memiliki tahan banting yang baik
cenderung tidak terlalu menderita, dan kalaupun menderita, tidak akan lama.
Seorang mantan pengguna narkoba yang sedang menjalani tahap pemulihan bila
memiliki adversity quotient yang tinggi, maka intensi untuk pulih dari
ketergantungan narkobanya sangat tinggi, karena ia mampu merespon kesulitan
sebagai suatu peluang dengan memiliki suatu tujuan dan dapat memegang kendali
atas dirinya. Sehingga ia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa perasaan
cemas, stres, frustasi dan depresi. Ia mampu mengontrol dirinya sendiri tanpa
dominasi dari pihak luar. Sedangkan mantan pengguna narkoba yang memiliki
mereka merespon kesulitan dengan perasaan cemas, stres, frustasi dan depresi. Dan
mereka juga didomonasi oleh pihak luar.
Stoltz (2007) mengilustrasikan keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan
dengan menggunakan pohon, dimana pohon mempunyai cabang yang berarti
menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat
individu. Bila seorang residen memiliki motivasi, gairah, dorongan, ambisi dan
semangat yang kuat untuk menjalani program-program yang di Primary House maka
intensi pulihnya akan tinggi. Kesehatan emosi dan fisik mempengaruhi kemampuan
individu dalam menggapai kesuksesan. Jika individu sakit, penyakitnya akan
mengalihkan perhatian individu dari gunung yang sedang didaki atau tujuan yang
akan dicapai. Karena sakit itu pendakian individu bisa menjadi sekedar perjuangan
hari demi hari untuk bertahan hidup. Emosi dan fisik yang sehat dapat sangat
membantu pendakian diri individu. Bila emosi dan fisik residen sehat, maka para
residen akan fokus dalam menjalankan program tanpa ada suatu hambatan yang akan
menhalangi mereka dalam mencapai kepulihan. Akar juga merupakan bagian pohon
yang diilustrasikan sebagai keyakinan menurut Peck dalam the call to community
(dalam Stoltz, 2007) menganggap keyakinan sebagai hal yang sangat penting demi
kelangsungan hidup masyarakat. Apa pun jenis keyakinannya, sebagian besar orang
yang sangat sukses memiliki faktor akar ini. Sedangkan menurut Herbert Benson
epinefrin dan hormon-hormon kortikosteroid pemicu stress, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernapasan lebih santai.
Residen yang memiliki motivasi, antusiasme, gairah dan keyakinan untuk
sembuh,maka intensi pulihnya akan tinggi. Selain itu bila mereka mendekatkan diri
kepada Tuhan, maka mereka akan lebih tenang dalam menjalani rehabilitasi.
Adversity Quotient menurut Stolz (2007), merujuk pada kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang
dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Dimensi-dimensi dari
adversity quotient yaitu Control , Origin and Ownership, Reach, Endurance (CO2RE) diperlukan untuk menentukan secara keseluruhan adversity quotient
seseorang. Residen yang sedang menjalani program rehabilitasi yang memiliki
adversity quotient tinggi mereka akan merasa mempunyai kendali atas hidupnya dikemudian hari, ia tidak akan terpuruk dalam penggunaan narkoba lagi dan akan
berusaha lebih baik lagi untuk hari esok.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa residen yang tidak mudah menyerah,
tidak mudah putus asa, tidak mudah stres, tidak mudah cemas serta mampu
menghadapi berbagai kesulitan dalam menjalani program-program yang ada,
menganggap bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya maka intensi untuk
2. 5 Hipotesis
H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi
untuk pulih pada residen BNN.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi untuk
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.
Pendekatan penelitian kuantitatif menurut sugiyono (2008) yaitu penelitian yang data
penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik.
3.1.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode korelasional, menurut Hasan (2002) metode
kolerasional adalah mencari hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti.
Hubungan antara variabel diteliti kemudian dijelaskan. Adapun alasan peneliti
menggunakan penelitian korelasional karena sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu
untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu hubungan adversity quotient
3.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian
Menurut Sevilla (1993), variabel adalah suatu karakteristik yang memiliki dua atau
lebih nilai atau sifat yang berdiri sendiri-sendiri. Variabel terbagi menjadi dua
macam, yaitu variabel bebas (Idependent Variable) dan variabel terikat (Dependent
Variable).
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Variabel bebas (independent variable) adalah Adversity Quotient.
b. Variabel terikat (dependent variable) adalah Intensi Pulih.
3.2.2 Definisi Konseptual
Definisi konseptual dari kedua variabel ini adalah :
1. Adversity Quotient adalah respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.
2. Intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna
narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.
3.2.3 Definisi Operasioanal
Definisi Operasional kedua variabel dalam penelitian ini adalah :
2. Intensi pulih yang dilakukan oleh residen merupakan hasil skor yang
diperoleh dari skala intensi pulih yang meliputi tiga aspek antara lain; sikap
terhadap perilaku, norma subjektif, dan perceived behavioral control.
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 3.3.1 Populasi
Menurut Hasan (2002) populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang
memiliki karakteristik tertentu, jelas, lengkap yang akan diteliti. Populasi dalam
penelitian ini adalah mantan pecandu (residen) yang melakukan rehabilitasi di BNN
yang berjumlah 250 pada tanggal 5 Mei 2010.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga
memiliki karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa mewakili
populasi (Hasan, 2002) . Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang akan diambil
adalah 58 orang yang terdiri dari (1) fase younger yaitu pada tahap ini residen sudah
mulai mengikuti program dengan proaktif, artinya ia telah dengan aktif mengikuti
program yang telah ditetapkan oleh lembaga, (2) fase middle, yaitu pada tahap ini
residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan operasional
panti/lembaga, dan (3) fase older, yaitu pada tahap ini residen sudah bertanggung
jawab pada staf dan lebih bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasional panti
Departemen Sosial, 2004). Hal ini mengacu pada pendapat Bailey yang menyebutkan,
bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel
yang paling minimum adalah 30. Selain itu, Gay berpendapat bahwa ukuran
minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan metode penelitian yang
digunakan, dalam penelitian ini menggunakan metode korelasional, dengan minimal
subyek 30 (dalam Hasan, 2002).
3.3.3 Teknik Sampling
Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan di tempat rehabilitasi BNN yang
terletak di daerah Lido, Sukabumi. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan
secara nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Menurut Hasan
(2002), nonprobability sampling adalah cara pengambilan sampel yang tidak
berdasarkan probabilitas atau peluang. Dalam semua nonprobability sampling,
kemungkinan atau peluang setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sampel
tidak sama atau tidak diketahui. Sedangkan teknik purposive sampling adalah
penilaian dan upaya cermat untuk memperoleh sampel representatif dengan cara
meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok yang diduga sebagai anggota
sampelnya. Responden dalam penelitian ini adalah yang berada di fase Primary
3.4 Pengumpulan Data
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat pengumpul
data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh jawaban dari reponden.
Skala yang digunakan bersifat langsung dan tertutup.
Pernyataan terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan negatif (unfavorable).
Dalam merespon item tesebut subjek diminta untuk memilih jawaban yang paling
mewakili dirinya, dengan cara memilih sistem rating kategori yang merentang dari
“sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”. Penskoran untuk pernyataan positif
dilakukan dengan memberi skor tertinggi pada pilihan “sangat setuju” dan terendah
pada pilihan “sangat tidak setuju” dan sebaliknya.
Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian, yaitu :
a. Bagian pengantar, berisi tentang, tujuan dari penelitian, kerahasiaan jawaban
yang diberikan oleh responden, ucapan terima kasih peneliti dan nama
peneliti.
b. Bagian inti, berisi dua alat ukur penelitian ini yaitu alat ukur Adversity
Quotient dan intensi pulih.
c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti nama, tingkatan
3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data
Metode yang akan digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan untuk pengumpulan
data dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala adversity quotient dan intensi pulih.
1. Skala adversity quotient dalam penelitian ini disusun peneliti menggunakan skala
model Likert dengan aspek-aspek yang diukur berdasarkan teori Stoltz, yaitu
aspek control, origin dan ownership, reach, dan endurance yang berjumlah 50
item pernyataan yang terbagi atas 31 item favorabel dan 19 item unfovorabel.
Pada skala ini subjek diharuskan memilih salah satu dari pilihan jawaban, yaitu;
SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak
Sesuai).
Cara skoring dari skala Adversity Quotient ini adalah sebagai berikut :
No Jawaban Favorable Unfavorable 1. Sangat Sesuai (SS) 4 1
2. Sesuai (S) 3 2
3. Tidak Sesuai (TS) 2 3
4. Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4
Tabel 3.2
Blue Print Skala Try Out Adversity Quotient
Variabel Indikator Favorabel Unfavorabel Total
Control 1*,3,4,7,8,10,11,14* 2,5,6,9,12*,13 14
Origin and
Dari tabel 3.2 dapat kita lihat bahwa ada 28 item yang valid, yang terbagi dalam item
Control 11 item, Origin and Ownership 4 item, Reach 3 item, dan Endurance 10 item.
2. Skala intensi pulih
Berdasarkan teori intensi Fishben dan Ajzen (1975), maka dibuat juga skala untuk
melihat faktor penentu intensi, yaitu (1) Skala sikap, (2) Skala norma subjektif, dan
(3) Skala Kontrol Perilaku yang Dipersepsi dengan menggunakan skala model Likert
yang terdiri dari 37 item.
Pada skala ini subjek diharuskan memilih salah satu dari pilihan jawaban, yaitu; SS
Tabel 3.3
Blue Print Skala Try Out Intensi Pulih
Aspek Indikator Item Total
Behavioral belief 1, 2, 3, 4, 5* 5
Attitude towards the
behavior Out come evaluations
PBC Belief about ease or difficulty of
Dari tabel 3.4 dapat kita lihat bahwa ada 21 item yang valid, yang terbagi dalam
Behavioral belief 4 item, Out come evaluations 2 item, Normative Belief 4 item, Motivation to comply 4 item, dan Belief about ease or difficulty of control behavior 7 item.
3. 5. Uji Instrumen Penelitian