• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan napza pada residen badan narkotika nasional BNN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan napza pada residen badan narkotika nasional BNN"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PADA RESIDEN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)

Oleh:

Ziyad

106070002331

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

(B)Mei 2010 (C)Ziyad

(D)Hubungan Antara Adversity Quotient Dengan Intensi Untuk Pulih Dari Ketergantungan NAPZA Pada Residen Badan Narkotika Nasional

(E)68 halaman, 14 tabel + lampiran

Ketika residen menjalani program di BNN, maka mereka dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan. Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan program-program yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti, yaitu untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN. Subjek dalam penelitian ini adalah residen BNN yang berada di program Primary House yang berjumlah 58 orang yang ditentukan dengan teknik

nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling karena responden dalam penelitian ini adalah yang berada di fase Primary House, karena pada fase ini menjalankan TC (Therapeutic Community) yang sangat berat. Instrumen penelitian yang digunakan berupa skala yang terdiri dari skala Adversity Quotient

dan skala Intensi Pulih dengan model skala Likert.

Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih pada residen BNN. Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih pada residen BNN. Untuk menguji hipotesa peneliti menggunakan teknik statistik Pearson Product Moment

dan Uji Regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara adversity quotient dengan intensi pulih pada residen BNN dan pengaruh

(3)

(4)

Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas kememudahan yang diberikan-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW , keluarganya, para sahabat dan pengikutnya.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh kaena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Jahja Umar Ph.D Dekan Fakultas Psikologi UIN dan Para Wakil Dekan. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, MA dan Ibu Yufi Adriani, M.Psi sebagai

pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Dosen-dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, dari awal perkuliahan hingga selesai skripsi ini. Ibu Solicha, M.Psi selaku Dosen

Pembimbing Akademik. Para pegawai bidang akademik dan kemahasiswaan serta civitas akademika Fakultas Psikologi atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai penulis menyelasaikan studi di Universitas Islam Negeri Jakarta.

(5)

6. Untuk Adiyo, Isni, Wirda dan Amir terima kasih atas bantuan dan masukannya. Afit, Nurul Layali, Tari, Laila, dan Eka terimakasih atas buku-bukunya.

7. Fika dan Ade yang mau membantu serta meminjamkan buku. Berkat kalian teoriku menjadi sempurna. Dan buat Afif yang sudah mebantu try out dan field test sehingga penelitian berjalan dengan baik.

8. Dan mahasiswa- mahasiswi Psikologi angkatan 2006 khususnya kelas D. Terima kasih untuk kebersamaan yang indah, masa ini tak akan terlupakan.

Selain itu, terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas semua bantuan, saran dan motivasi. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Seluruh isi skripsi ini adalah tanggung jawab penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak Amien.

(6)

MOTTO ... iv

DEDIKASI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 9

1.3.1. Perumusan Masalah ... 9

1.3.2. Pembatasan Masalah ... 9

1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian... 10

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 10

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 10

1.5 Sistematika Penulisan Skripsi... 11

(7)

2.1.2.3. Perceived Behavioral Control ... 17 2.2. Adversity Quotient ... 20 2.2.1. Definisi Adversity Quotient... 20 2.2.2. Fungsi Adversity Quotient danTipe-Tipe Orang

menurut Adversity Quotient... 21 2.2.3. Dimensi-dimensi Adversitity Quotient... 27 2.2.4 Pohon Kesuksesan... 31 2.2.4. Penanganan Penyalahgunaan dan

Ketergantungan Zat untuk Pulih ... 34 2.4. Kerangka Berpikir... 39 2.5. Hipotesis... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian ... 43 3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 43 3.1.2. Metode Penelitian ... 43 3.2. Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan

(8)

3.3.1. Populasi ... 45

3.3.2. Sampel Penelitian... 45

3.3.3. Teknik Sampling ... 46

3. 4. Pengumpulan Data ... 47

3. 4.1 Teknik Pengumpulan Data... 47

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data ... 48

3. 5. Uji Instrumen Penelitian ... 50

3. 5. 1. Uji Validitas ...51

3.5.1.1 Validitas Adversity Quotient... 51

3.5.1.2 Validitas Intensi Pulih ... 51

3. 5. 2. Uji Reliabilitas ... 52

3. 6. Metode Analisis Data... 53

3.7. Prosedur Penelitian... 53

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 56

(9)

4.3.1. Uji Persyaratan ... 61

4.3.2. Uji Normalitas... 61

4.3.3. Uji Hipotesis ... 62

4.3.4. Uji Regresi ... 63

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Diskusi ... 65

5.3 Saran... 67

(10)

Tabel 3.2 Blue Print Skala Try OutAdversity Quotient ... 49

Tabel 3.3 Blue Print Skala Try Out Intensi Pulih ... 50

Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas ... 53

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Tingkatan Fase ... 56

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 57

Tabel 4.3 Kategorisasi Adversity Quotient ... 59

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Adversity Quotient ... 59

Tabel 4.5 Kategorisasi Intensi Pulih ... 60

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Intensi Pulih ... 60

Tabel 4.7 Uji Normalitas ... 62

Tabel 4.8 Uji Correlations ... 63

Tabel 4.9 Tabel Anova ... 63

(11)

Barang siapa yang bersungguh-sunguh, dalam mengerjakan sesuatu, maka dia akan berhasil.

(Al-Hadits)

Jauh di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang masih tertidur nyenyak;

kekuatan yang akan membuat mereka takjub, dan yang tidak pernah mereka bayangkan

bahwa mereka memilikinya; kekuatan yang apabila digugah dan ditindaklanjuti akan

mengubah kehidupan mereka dengan cepat.

(12)

Ku persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku, Ayahku H Rifai dan umi HJ

Halimah Hanum Terimakasih telah mendidik aku dengan penuh kasih sayang sampai aku

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian non medical narkotik dan obat-obatan

adiktif yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia pemakainya.

Berbagai jenis narkoba yang mungkin disalahgunakan adalah tembakau, alkohol,

obat-obat terlarang dan zat yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang diisap

dari asapnya. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan ketergantungan zat

narkoba, jika dihentikan maka si pemakai akan “sakaw” (sakit). (Willis, 2005).

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin memprihatinkan. Sasarannya bukan

lagi remaja dan orang dewasa, namun telah merambah sampai ke anak-anak Sekolah

Dasar (SD). Hingga Juni 2007, angka penyalahgunaan narkoba di tingkat anak-anak

SD tercatat 3.853 kasus, lebih banyak dibandingkan pada tingkat perguruan tinggi

yang 764 kasus data Badan Narkotika Nasional (BNN). Peredaran narkoba di

kalangan siswa SD diduga dilakukan oleh bandar narkoba dengan cara merekrut

tenaga kurir dari siswa-siswa SD untuk menembus lapisan remaja dan anak-anak.

Dalam peredarannya, narkoba tersebut dicampur dengan makanan (permen) yang

(14)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rutter (1980) (dalam Hawari, 2002) bahwa

penyebab remaja terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA antara lain; Kedua

orangtua bercerai atau berpisah (broken home by divorce or separation): resiko pada

anak lak-laki 50%, pada anak perempuan 20%. Hubungan kedua orangtua (ayah dan

ibu) tidak harmonis (poor marriage): resiko pada anak laki-laki 40%, pada anak

perempuan 15%. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension): resiko pada anak

laki-laki 50%, pada anak perempuan 20%.

Dari hasil kalkulasi diperkirakan jumlah penyalahguna sebanyak 3,1 juta sampai 3,6

juta orang atau sekitar 1,99% dari total seluruh penduduk Indonesia yang berisiko di

tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26% coba pakai,

27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan 7% pecandu suntik.

Penyalahgunaan narkoba pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa (60%) lebih tinggi

dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (40%). Menurut jenis kelamin, laki-laki

(88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). Penyalahguna coba pakai lebih banyak

di kelompok pelajar (90%), sedangkan pada teratur pakai dan pecandu lebih banyak

terjadi di bukan pelajar/mahasiswa. (BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI, 2008).

Penelitian (Hawari, 1990) membuktikan bahwa penyalahgunaan NAZA

menimbulkan dampak antara lain; merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan

(15)

kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan

lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif. (Hawari,1997).

Hawari menjelaskan bahwa selain mengganggu jiwa, zat narkoba juga merusak organ

fisik seperti lever, otak, paru, janin, pankreas, pencernaan, otot, endokrin dan libido.

Zat tersebut juga mengganggu nutrisi, metabolisme tubuh, dan menimbulkan inveksi

virus. Jika putus dari narkoba si pemakai akan mengalami ”sakaw” (sakit). Pada

peristiwa ini timbul gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung

berlebihan (rhinorea), pupil mata melebar, keringat berlebihan, mual, muntah, diare,

bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia,

agresif. (Willis, 2005).

Di tahun 1964 Badan Kesehatan Dunia menyatakan istilah “adiksi” tidak lagi menjadi

istilah ilmiah dan menganjurkan menggantinya dengan istilah “ketergantungan obat.”

Konsep ketergantungan zat mempunyai banyak arti yang dikenali secara resmi dan

banyak arti yang digunakan selama beberapa dekade. Pada dasarnya, dua konsep

telah diminta tentang definisi ketergantungan — ketergantungan perilaku dan

ketergantungan fisik. Ketergantungan perilaku telah menekankan aktifitas

mencari-cari zat (substance-seeking behavior) dan bukti-bukti pola penggunaan patologis, dan

ketergantungan fisik telah menekankan efek fisik (yaitu, fisiologis) dari episode

(16)

adanya toleransi atau putus zat dalam kriteria klasifikasinya. (Kaplan, Sadock, dan

Greeb, 1997).

Narkotika menurut Konversi Tunggal Narkotika 1961 adalah seluruh bagian dari

tanaman papaver, koko dan ganja dengan tidak memandang apakah bagian tanaman

tersebut mengandung zat aktif yang tergolong narkotika ataupun tidak (Ma’sum,

1987). Sedangkan menurut menurut UU no 22, tahun 1997 Narkoba adalah singkatan

dari Narkotika dan obat berbahaya. NAPZA adalah singkatan dari Narkotika Alkohol

Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika secara farmakologik adalah opioida,

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan. (Balai pengobatan sehat, 2010).

Penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba perlu melakukan berbagai pendekatan.

Terutama bidang psikiatri, psikologi, dan konseling. Jika terjadi ketergantungan

narkoba maka bidang yang paling bertanggung jawab adalah psikiatri, karena akan

terjadi gangguan mental dan perilaku yang disebabkan zat narkoba mengganggu

sinyal penghantar syaraf yang disebut sistem neurotransmitter didalam susunan

syaraf sentral (otak). Gangguan neurotransmitter ini akan mengganggu (1) fungsi

(17)

psikomotorik (perilaku gerak), (4) komplikasi medik terhadap fisik seperti kelainan

paru-paru, lever, jantung, ginjal, pancreas dan gangguan fisik lainnya. (Willis, 2005).

Dari hasil observasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa sebelum para residen

masuk ke BNN menjalani proses rehabilitasi. Mereka waktu itu masih memakai

narkoba, dan ketika itu mereka tidak memiliki aturan dalam hidupnya dan memiliki

kepribadian yang buruk. Ketika mereka menjalani program di BNN, maka mereka

dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi

tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi

kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan.

Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan program-program

yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah.

Faktor yang menyebabkan pecandu susah lepas dari ketergantungan narkoba menurut

Hawari (2002) terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyebutkan

sebagai faktor kritis dan faktor menegangkan. Faktor sugesti (craving) adalah di

mana residen tidak mampu menahan keinginan (sugesti) untuk memakai lagi NAZA.

Selain itu faktor internal yang lain adalah stres, dalam hal ini residen tidak tahan

terhadap tekanan-tekanan dalam menjalankan program. Stres membuat mereka

menjadi seseorang yang mudah menyalahkan diri sendiri dan orang lain, kepribadian

yang nekat, mudah frustrasi dan bingung, dan tidak mampu mengurus diri sendiri.

(18)

pemakai dulu, maka residen sangat mudah sekali terbujuk untuk memakai kembali

narkoba.

Fishben dan Ajzen (1975) menyebutkan bahwa intensi ditentukan oleh keyakinan

mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan, keyakinan ini

dapat berasal dari pengalaman perilaku seseorang di masa lalu, atau dapat juga

dipengaruhi oleh informasi tidak langsung mengenai perilaku tersebut. Jadi intensi

pulih adalah niat seseorang untuk pulih yang berdasarkan keyakinan dan sumber yang

diperlukan untuk pulih, dan juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya atau

orang lain.

Intensi pulih ini haruslah bersumber dari dalam diri residen. Atau dengan kata lain

atas keinginan mereka sendiri dalam menjalani program-program yang ada di BNN

yang sangat berat. Bila intensi bersumber dari dalam diri mereka sendiri, maka

mereka memiliki keyakinan bahwa dirinya akan mampu terlepas dari ketergantungan

narkoba, karena diasumsikan mereka yang datang untuk menjalankan pemulihan

karena keinginan sendiri akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi

dibandingkan mereka yang datang karena paksaan orang lain.

Menurut Hawari (2002) kendala terberat dari para pecandu adalah adanya craving,

yaitu keinginan yang kuat untuk menggunakan NAPZA masih sering muncul, selain

(19)

Salah satu faktor yang mempengaruhi intensi pulih pada pecandu narkoba adalah

adversity quotient, karena adversity quotientmempunyai tiga bentukkonsep.

Pertama, adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk

memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient

adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Ketiga,

adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar untuk

memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki

efektifitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Karena ketiga konsep ini

sebagai pengetahuan, tolak ukur, dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket

yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki kehidupan seseorang dalam

sehari-hari dan seumur hidup. Pengertian adversity quotient adalah respon seseorang dalam

menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya. (Stoltz, 2007).

Stoltz (2007) membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan

mendaki gunung: Pertama, Quitters yaitu mereka berhenti di tengah jalan dalam

proses pendakian. Quitters ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan.

Yang kedua adalah para Campers yaitu mereka yang tidak mencapai puncak, tetapi

sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Orang-orang dalam tipe campers

sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari tipe

(20)

orang-orang dalam tipe terakhir ini, merekalah yang akan mencapai puncak dan meraih

keberhasilan.

Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki sifat mendaki, Pendakian ini

maknanya adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Secara naluri,

dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan,

tantangan dan kesulitan, dan AQ yang memperlihatkan bagaimana seseorang

merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya. AQ memiliki peran

dalam memberi tahu individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan

kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan. Orang yang memiliki AQ tinggi

tidak akan menyerah dalam situasi sulit dalam proses pendakiannya, individu akan

terus melewati situasi sulit dan rintangan-rintangan yang menghadang sampai ia

menuju puncak yang diinginkan. (Stoltz, 2007). Residen yang memiliki adversity

quotient yang tinggi maka ia akan memiliki kepribadian yang tahan banting, memiliki kontrol pribadi yang baik, serta memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan

berbagai tantangan hidup selama menjalani proses pemulihan dan setelah selesai

proses pemulihan.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan

(21)

2. Aspek-aspek apa saja dalam adversity quotient yang dapat mempengaruhui

intensi pulih?

3. Faktor apa dalam intensi pulih yang paling mempengaruhui adversity

quotient?

1.3. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1.3.1. Perumusan Masalah

Adapun masalah yang ingin dikaji lebih jauh dalam penelitian ini dirumuskan sebagai

berikut :

“Apakah ada hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih

dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN?”

1.3.2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak meluas, maka diperlukan pembatasan

masalah dari masalah-masalah yang hendak diteliti. Adapun batasan masalah dalam

penelitian ini adalah sabagai berikut:

1. Adversity Quotient adalah respon seseorang dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.

2. Intensi adalah proses dari diri seseorang sebelum melakukan suatu tindakan,

yang dipengaruhui oleh belief dan significant others.

3. Pulih adalah keadaan pulih menjadi sehat kembali berhubungan dengan orang

(22)

4. Intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna

narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.

5. Residen adalah mantan pecandu narkoba yang sedang melakukan pemulihan.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah ingin menguji ”Apakah ada

hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari

ketergantungan NAPZA pada residen BNN”?

1.4.2 Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi literatur

sebagai khazanah kajian psikologi, khususnya tentang intensi pulih para residen

BNN.

2) Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

(23)

1.5. Sistematika Penulisan Skripsi

Pada penulisan tugas ini penulis menggunakan kaidah American Psychologycal

Association (APA) style. Dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini akan dibahas tentang; latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab 2 Landasan Teoritis

Pada bab ini akan dibahas tentang; konsep-konsep teoritis yang mendasari

dilakukannya penelitian ini, yaitu: pengertian intensi pulih, aspek-aspek intensi,

pengertian adversity quotient, fungsi adversity quotient dan tipe-tipe orang menurut

adversity quotient, dimensi-dimensi dalam adversity quotient, pohon kesuksesan dalam adversity quotient, penanganan penyalahgunaan dan ketergantungan zat untuk

pulih, kerangka berpikir dan hipotesis.

Bab 3 Metode Penelitian

Pada bab ini akan dibahas tentang; pendekatan dan metode penelitian, definisi

variabel dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, instrumen penelitian,

(24)

Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini akan disajikan presentasi dan analisis data yang meliputi gambaran

umum subjek dan hasil penelitian.

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Pada bab ini akan disajikan tentang; kesimpulan, diskusi dan saran berdasarkan hasil

(25)

BAB 2

KAJIAN TEORITIS

2.1 Intensi Pulih

2.1.1 Definisi Intensi Pulih

Fishben dan Ajzen mengatakan tentang intensi di dalam bukunya sebagai berikut:

… intention as a person’s location on subjective probability dimension involving a relation

between himself and some action.

A behavioral intention refers to a person’s subjective probability that he will perform some

behavior. (Fishben & Ajzen, 1975)

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa intensi merupakan suatu penempatan

seseorang atau dimensi kemungkinan subjektif yang melibatkan suatu hubungan

antara dirinya dengan tindakan. Pengertian lain dari intensi adalah merupakan bagian

konatif dari tingkah laku, juga merupakan kemungkinan subjektif seseorang di mana

ia akan menampilkan beberapa tingkah laku. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada

(26)

Informational base

• Variations of time

• Individual

differences

• Characteristics of

references

Bagan 1.Skema terbentuknya intensi menurut Fishben dan Ajzen (1975).

Menurut Fishben dan Azen (1975) intensi memiliki empat elemen dasar, yaitu:

perilaku, target objek yang mengarahkan tingkah laku, situasi di mana tingkah laku

ditampilkan, waktu (saat) tingkah laku ditampilkan. Untuk setiap level spesifikasi,

intensi ditentukan oleh sikap terhadap perilaku serta norma subjektif. Untuk

mendapatkan ketepatan peramalan mengenai intensi dapat diperoleh jika komponen

sikap dan normatif diukur pada level spesifikasi yang sama dengan intensinya.

Jadi intensi adalah proses dari diri seseorang sebelum melakukan suatu tindakan,

yang dipengaruhui oleh belief dan significant others. Sedangkan pulih menurut

(27)

sembuh atau baik kembali. Jadi intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau

tujuan seorang pengguna narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.

2.1.2 Aspek-aspek Intensi

2.1.2.1 Attitude towards behavior (Sikap terhadap perilaku)

Sikap seseorang terhadap suatu tingkah laku tertentu merupakan fungsi dari belief

orang tersebut tentang konsekuensi dari tingkah laku dan evaluasinya terhadap

konsekuensi tersebut. Dengan perkataan lain, sikap terhadap tingkah laku tertentu

(AB) merupakan jumlah dari perkalian beliefnya di mana penampilan tingkah laku

tertentu (Bi) dengan evaluasi hasil tingkah laku (Ei) berdasarkan jumla beliefnya.

(Fishben & Ajzen, 1975).

Timbulnya suatu sikap terhadap tingkah laku dipengaruhi oleh belief yang

dimilikinya. Belief menurut Fishben dan Ajzen (1975), mengarah pada penilaian

subjektif seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di sekitarnya. Belief merupakan

kemungkinan subjektif dari hubungan antara objek belief dan sejumlah objek nilai,

konsep, atau atribut. Belief seseorang terhadap suatu objek akan menentukan

sikapnya terhadap objek sikap. Belief yang membentuk sikap ini dinamakan

behavioral belief.

Fishben dan Ajzen (1975) mengatakan bahwa keyakinan (belief) terhadap suatu

(28)

It can therefore be argued that a person’s attitude toward an object is primarily determined

by no more than five to nine beliefs about the object, these are the beliefs that are salient at a

given point in time. (Fishben & Ajzen, 1975).

Pengertian salient belief, yaitu belief-belief terhadap objek yang dimiliki seseorang

yang berfungsi sebagai determinan (penentu) sikapnya pada waktu tertentu.

2.1.2.2 Subjektif Norm (Norma Subjektif)

Fishben & Ajzen (1975) menerangkan bahwa:

“the subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him

think he should or should not perform the behavior in question”.

Definisi ini menerangkan keyakinan-keyakinan atau persepsi individu yang

berhubungan dengan harapan atau keinginan orang lain mengenai sebuah tingkah

laku yang mempengaruhi seseorang individu untuk melakukan tingkah laku tersebut.

Dengan kata lain, bahwa norma subjektif ini merupakan persepsi seseorang individu

mengenai pengaruh lingkungan sosial yang mempengaruhi keyakinan terhadap

individu untuk melakukan tingkah laku tertentu.

Menurut Fishben & Ajzen (1975) bahwa norma subjektif ditentukan oleh dua hal;

1. Normative belief, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh

panutan (significant others) tentang apakah subjek harus melakukan atau tidak

(29)

2. Motivation to comply, yaitu seberapa jauh motivasi individu untuk mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut.

2.1.2.3 Perceived Behavioral Control (Ajzen, 1988)

Selanjutnya Icek Ajzen pada tahun 1988 mengembangkan teori Reasoned Action di

atas dengan menambahkan faktor perceived behavioral control sebagai faktor ketiga

yang berpengaruh terhadap intensi seseorang. Penambahan faktor ketiga ini dilakukan

Ajzen, karena menurutnya teori Reasoned Action tahun 1975 belum dapat

menjelaskan tingkah laku yang seratus persen tidak dapat dikendalikan sendiri.

Perceived behavioral control adalah kemudahan atau kesulitan yang dirasakan atau dipersepsikan oleh individu untuk menampilkan tingkah laku. Perceived behavioral

control merupakan bentuk umum dari teori sikap Fishbein dan Ajzen (1975), dan dipakai untuk tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol kemauan

subjek sendiri. Pada penelitian ini, tingkah laku berhenti menggunakan drugs

diasumsikan sebagai tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol

kemauan subjek sendiri, sebab untuk mewujudkan intensinya ini ada beberapa faktor

dari luar yang dapat menjadi penghambat. Faktor-faktor yang dapat menjadi

penghambat itu antara lain: hubungan keluarga yang tidak harmonis, ajakan kembali

memakai drugs dari teman-teman sesama pemakai dahulu. Bilamana tingkah laku

sepenuhnya berada di bawah subjek sendiri, maka Perceived behavioral control dapat

(30)

Ada dua jenis perceived behavioral control. Pertama adalah perceived behavioral

control believe (PBCB). PBCB terbentuk dari belief yang disebut control belief yaitu persepsi seseorang yang lebih menekankan atau mempertimbangkan beberapa

hambatan realistis yang ada dalam menampilkan tingkah laku yang diinginkan.

Variabel ini diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu dan

rintangan-rintangan yang diantisipasikan dari tingkah laku.

Sedangkan yang kedua disebut sebagai perceived behavioral control direct (PBCD),

yaitu sejauh mana kontrol yang dimiliki seseorang terhadap tingkah laku yang

dilakukannya. Variabel ini memiliki pengaruh langsung terhadap intensi tingkah laku.

Oleh karena itu, dapat menjadi pengganti untuk mengukur keterampilan kontrol

sebenarnya, maka variabel ini memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah

laku.

Ajzen (1988) dalam theory of planned behavior mengemukakan bahwa intensi

dipengaruhi oleh tiga determinan atau penentu, yaitu sikap terhadap tingkah laku,

norma subjektif, dan perceived behavioral control. Pendapat ajzen ini untuk lebih

(31)

Sikap terhadap tingkah laku

Norma Subjektif Intensi Tingkah laku

Perceived Behavioral Control

Bagan 2. Skema terbentuknya intensi menurut Ajzen (1988).

Dari bagan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, PBC mempunyai implikasi

motivasional terhadap intensi. Seseorang yang memiliki banyak hambatan untuk

melakukan suatu tingkah laku akan berpengaruh terhadap intensinya untuk

melakukan tingkah laku itu. PBC dapat pula mempengaruhi tingkah laku secara

langsung (via intensi) dan dapat digunakan untuk meramalkan tingkah laku tertentu.

Tetapi jika seseorang memiliki informasi yang sedikit, kebutuhan dan sumber

dayanya berubah, maka PBC menjadi tidak realistis lagi untuk dipakai meramalkan

(32)

2.2 Adversity Quotient

2.2.1 Definisi Adversity Quotient

Stoltz (2007), mendefinisikan Adversity Quotient dalam tiga bentuk, yaitu;

Adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.

Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.

Adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat

memperbaiki efekstifitas pribadi dan professional seseorang secara

keseluruhan.

Menurut Ginanjar (2004) Adversity Quotient diibaratkan sebagai sa’i, karena sa’i

melambangkan suatu persistensi (ketetapan hati), atau upaya tiada kenal lelah dan

tiada kenal henti. Hal ini telah dicontohkan oleh sikap Siti Hajar, kemudian

diabadikan oleh Allah SWT untuk mengajarkan manusia tentang pentingnya suatu

sikap “Istiqomah”, atau upaya yang tiada kenal henti. Dorongan suatu hati dari

Al-Matin atau Yang Maha Menggenggam Kekuatan telah meneguhkan hatinya untuk

kuat menghadapi berbagai rintangan.

(33)

kesulitan, sedangkan orang sukses tidak berhenti pada saat ia belum berhasil. Bagi

orang yang sukses, kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda. Dan

Rasulullah pun mengalami serta melalui berbagai masalah yang sangat berat sebelum

Islam mendunia. Kegagalan harus diterima sebagai sebuah upaya pembelajaran yang

membuat individu menemukan sebuah pemikiran, penyempurnaan, metode dan

tujuan yang lebih jelas.

Menurut Ginanjar (2004) Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki

seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Dengan Adversity

Quotient seseorang bagai diukur kemampuannya dalam mengatsi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa.

Dari beberapa pengertian maka dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah

respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.

2.2.2 Fungsi Adversity Quotient dan Tipe-tipe Orang Menurut Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2007) fungsi Adversity Quotient adalah:

Adversity Quotient memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya.

(34)

Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal.

Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan

Menurut Stoltz (2007) keberhasilan seseorang dalam mencapai suatu tujuan atau

kesuksesan tidak hanya cukup IQ dan EQ, tetapi yang paling terpenting adalah AQ.

Karena menurutnya banyak orang yang memiliki IQ atau EQ tinggi gagal dalam

menunjukkan kemampuannya, tetapi ada orang yang memiliki IQ atau EQ biasa saja

mereka berhasil mencapai tujuannya.

Stoltz menggambarkan tentang kesuksesan seseorang seperti dibawah ini:

AQ

EQ IQ

Stoltz (2007) mengatakan bahwa untuk memahami peran Adversity Quotient dalam

melanjutkan pendakian disaat orang lain telah menyerah, maka haruslah terlebih

(35)

tantangan-Menurut Stoltz (2007) sesorang dilahirkan mempunyai dorongan inti yang manusiawi

untuk terus mendaki. Menurutnya mendaki adalah menggerakan tujuan hidup ke

depan, apa pun tujuan itu. Dalam hal ini adalah tujuan para residen untuk pulih.

Dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki tersebut merupakan perlombaan

naluriah residen melawan jam dalam menyelesaikan program-program yang ada di

BNN semampu mereka dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka mereka bisa

merasakan dorongan ini untuk pulih. Hal ini sesuai dengan orang-orang yang selamat

dari maut karena penyakit kankernya. Tinjauan kembali yang seketika mengenai

seluruh kehidupan para penderita kanker dan mengetahui “apa yang sebenarnya

penting” dalam hidup ini, sering mengubah tingkah laku mereka menjadi sangat

berbeda. Orang-orang tersebut membangkitkan energi yang baru ditemukan pada

hal-hal yang benar-benar penting dalam hidupnya, yang berkaitan dengan tujuan mereka.

Stoltz (2007).

Stoltz (2007) mengelompokkan orang ke dalam tiga tipe pendaki puncak

keberhasilan, yaitu quitter (mereka yang berhenti), camper (mereka yang berkemah),

dan climber (para pendaki), yaitu;

1. Quitters menurut definisinya, menjalani kehidupan yang tidak terlalu

menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan

yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Mereka juga memilih untuk

(36)

dengan berlalunya waktu, Quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih

pedih daripada yang ingin mereka elakan dengan memilih tidak mendaki. Dan

saat yang paling memilukan dan menyedihkan adalah sewaktu mereka

(Quitters) menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang telah

dijalani ternyata tidak menyenangkan.

• Ciri-ciri Quitters, yaitu; mereka sering menjadi sinis, murung, dan mati

perasaannya. Atau, mereka menjadi pemarah dan frustasi, menyalahkan

semua orang di sekelilingnya, dan membenci orang-orang yang terus

mendaki. Quitters sering juga menjadi pecandu, entah itu pecandu

alkohol, narkoba, atau acara-acara televisi yang tidak bermutu. Quitters

mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran. Quitters juga

selalu melarikan diri dari pendakian, yang berarti juga mengabaikan

potensi yang mereka miliki dalam kehidupan ini. Quitters memperlihatkan

sedikit ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Mereka

juga mengambil risiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif,

kecuali saat mereka harus menghindari tantangan-tantangan yang besar.

Quitters cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen-komitmen yang sesungguhnya. Quitters kalah dalam

wilayah-wilayah pertumbuhan dan pemenuhan yang paling kaya, yaitu

hubungan-hubungan yang mendalam dan bermakna. Para Quitters menggunakan

(37)

2. Campers menurut definisinya adalah menghindarkan dari pengalaman yang mungkin dapat menimbulkan perubahan besar dalam hidupnya. Campers

adalah satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi). Mereka

(Campers) puas dengan mencukupkan diri, dan tidak mau mengembangkan

diri. Campers berhasil mencukupi kebutuhan dasar mereka, yaitu makanan,

air, rasa aman, tempat berteduh, nahkan rasa memiliki. Mereka telah melewati

kaki gunung. Dengan berkemah, emreka mengorbankan bagian puncak

Hirarki Masllow, yaitu aktualisai diri, dan bertahan pada apa yang telah

mereka miliki. Akibatnya, Campers menjadi sangat termotivasi oleh

kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak, dan

mencari rasa aman.

Ciri-ciri Campers, yaitu; menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit

semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apa

pun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan

yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu

dikerjakan. Campers bisa melakukan pekerjaan yang menutut kreatifitas

dan mengambil risiko dengan penuh perhitungan, tetapi biasanya mereka

mengambil jalan yang aman. Kreatifitas dan kesedian mengambil resiko

hanya dilakukan dalam bidang-bidang yang ancamannya kecil sekali. Para

(38)

3. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan

kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat

fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.

Climbers selalu menjalani hdupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan bisa

merasakan gairahnya. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang

sesungguhnya, dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas

pendakian yang telah dilakukan. Climbers sering merasa sangat yakin pada

sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat

mereka bertahan manakala tantangan terasa menakutkan dan sulit ditaklukan,

serta setiap harapan untuk maju mendapat tantangan baru. Climbers yakin

bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap

negatif dan sudah memutuskan bahwa jalanya tidak mungkin ditempuh.

Ciri-ciri Climbers, yaitu; Climbers selalu menyambut baik terhadap

tantangan-tantangan yang ada, dan mereka hidup dengan pemahaman

bahwa hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka juga

bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang sangat tinggi, dan

bertjuan untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers merupakan

katalisator tindakan; mereka cenderung membuat segala sesuatunya

terwujud. Climbers selalu membangkitkan diri pada pertumbuhan dan

(39)

inspirasi dan, sebagai akibatnya, menjadi pemimpin-pemimpin yang baik.

Climbers selalu menemukan cara untuk membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers selalu menerima tantanga-tantangan dan terus berjuang

walaupun resiko yang ada sangat berat. Climbers juga menyambut baik

perubahan yang terjadi.

2.2.3 Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2007) Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang dapat mengukur

kemampuan individu dan dapat mengevaluasi dimensi-dimensi yang dimilikinya.

Dimensi-dimensi pembentuknya adalah CO2RE, yaitu;

a. C = Control (Kendali)

C mempertanyakan: “Berapa banyak kendali yang individu rasakan terhadap sebuah

peristiwa yang menimbulkan kesulitan?” Dimensi C menunjukkan bagaimana

seseorang merasa memiliki kendali terhadap peristiwa yang dialaminya. Mereka

yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan merasakan kendali yang lebih

besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya daripada mereka yang memiliki

adversity quotient lebih rendah. Akibatnya, mereka yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak lagi

kendali dibandingkan mereka yang memiliki adversity quotient lebih rendah mereka

lebih sedikit menghasilkan kendali.

Semakin rendah adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar

(40)

berada di luar kendali (locus of control eksternal), dan sedikit orang mampu

mencegahnya atau membatasi kerugian-kerugiannya. Rendahnya kendali yang

dirasakan memiliki pengaruh yang sangat merusak terhadap kemampuan seseorang

untuk mengubah situasi. Orang-orang yang sangat rendah kemampuan pengendalinya

sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan. Sebaliknya orang yang

memiliki dimensi C yang tinggi merasa bahwa pada setiap kejadian ia memiliki

kendali didalamnya, sehingga ia dapat mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik

sesuai dengan keinginannya (locus of control internal).

b. O2 = Origin dan Ownership (Asal usul dan Pengakuan)

O2 mempertanyakan dua hal: “Siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan?” dan

Sampai sejauh manakah individu mengakui akibat-akibat kesulitan itu?” Orang yang

adversity quotientnya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak

semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, seseorang

melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin)

kesulitan tersebut.

Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah itu membantu

individu belajar. Dengan menyalahkan diri sendiri, individu cenderung merenungkan,

belajar, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Yang kedua, rasa bersalah itu menjurus

(41)

mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang dilakukan idividu itu menyakiti hati

orang lain.

Semakin tinggi adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar

kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai pekerjaannya dan

kesulitan sebagai sesuatu yang terutama berasal dari pihak luar. Dengan kata lain

mencerminkan kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri

yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya.

Semakin rendah adversity quotient individu dalam dimensi ini, maka semakin besar

kemungkinannya menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang terutama merupakan

kesalahannya dan mengangap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai keberuntungan

yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Individu menganggap dirinya

sebagai asal mula peristiwa-peristiwa buruk bisa berakibat parah pada tingkat stres,

ego, dan motivasi. Mereka juga menolak pengakuan, dengan menghindarkan diri dari

tanggung jawab untuk menagani situasi.

c. R = Reach (jangkauan)

Dimensi ini mempertanyakan: “sejauh manakah kesulitan akan menjangkau

bagian-bagian lain dari kehidupan saya?” Respon-respon dengan adversity quotient yang

(42)

Jadi, semakin rendah adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka

semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan sebagai sesuatu yang

merasuki wilayah-wilayah lain kehidupannya.

Sedangkan semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini,

maka semakin besar kemungkinannya individu merespon kesulitan sebagai sesuatu

yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi

jangkauan kesulitan, individu akan merasa semakin lebih berdaya dan perasaan

kewalahan akan berkurang.

d. E = Endurance (daya tahan)

Dalam dimensi ini pertanyaannya adalah “ Berapa lamakah kesulitan akan

berlangsung?” “dan Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?”

Semakin rendah skor E seseorang semakin besar kemungkinannya menganggap

kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya orang yang memiliki skor E yang tinggi

akan mengganggap bahwa kesulitan dan penyebabnya hanya bersifat sementara,

sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesulitan yang dihadapi.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lorraine Johnsons dan Stuart

Biddle (dalam Stoltz, 2007) menunjukkan bahwa individu yang melihat kemampuan

mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang

bertahan dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha

(43)

Oleh karena itu semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi

ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai

sesuatu yang berlangsung lama, atau bahkan permanen. Individu juga akan

mengangap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat

sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan

meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan individu untuk bertindak.

Sebaliknya individu yang memiliki adversity quotient dan skor dalam dimensi ini

yang rendah, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan

dan penyebab-penyebabnya sebagai peristiwa yang berlangsung lama, dan

mengaggap peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Ini

bisa menunjukkan jenis respon-respon yang memunculkan perasaan tak berdaya atau

hilangnya harapan. Lama-kelamaan, individu akan merasa sinis terhadap aspek-aspek

tertentu dalam hidupnya. Individu mungkin akan cenderung kurang bertindak

melawan kesulitan sebagai sesuatu yang permanen.

2.2.4 Pohon Kesuksesan

Menurut Stoltz (2007) hampir kebanyakan orang mengetahui apa yang dibutuhkan

agar dapat sukses. Karena menurutnya setiap manusia diberkahi berbagai macam

unsur penting untuk mencapai kesuksesan. Tetapi, kenyataannya adalah, jika

seseorang memiliki adversity quotient yang relatif rendah dan karenanya tidak

(44)

kerdil. Sebaliknya, orang dengan adversity quotient yang cukup tinggi akan

berkembang pesat seperti pohon di gunung. Oleh karena itu Stoltz membagi potensi

yang seseorang miliki seperti bagian- bagian dari pohon dibawah ini;

a. Daun : Kinerja

Daun diberi label kinerja karena merujuk pada bagian dari individu yang paling

mudah terlihat oleh orang lain. Bagian ini yang paling sering dinilai atau dievaluasi.

Namun daun tidak begitu saja tumbuh tanpa adanya cabang pohon.

b. Cabang : Bakat dan Kemauan

Cabang pertama dapat disebut sebagai bakat yang menggambarkan keterampilan,

kompetensi, dan pengetahuan individu. Cabang kedua disebut hasrat yang

menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat

individu.

Kedua cabang ini saling mempengaruhi kesuksesan, seseorang yang memiliki bakat

akan tetapi tidak mempuyai kemauan sulit untuk menjadi sukses. Seorang harus

mempunyai kemauan yang mungkin disertai bakat untuk mencapai kesuksesan.

c. Batang : Kecerdasan, Kesehatan, dan Karakter

Kecerdasan

Howard Gardner (dalam Stoltz, 2007) memperluas pengertian kecerdasan bahwa

kecerdasan mempunyai tujuh bentuk; Linguistic, kinestetik, spasial, logika matematis,

(45)

dominan. Kecerdasan yang lebih dominan tersebutlah yang mempengaruhi karir,

pelajaran-pelajaran yang dipilih, dan hobi-hobi yang dinikmati. Ini berkaitan dengan

cabang pohon yang akan mempengaruhi kesuksesan seseorang.

Kesehatan

Kesehatan emosi dan fisik mempengaruhi kemampuan individu dalam menggapai

kesuksesan. Jika individu sakit, penyakitnya akan mengalihkan perhatian individu

dari gunung yang sedang didaki atau tujuan yang akan dicapai. Karena sakit itu

pendakian individu bisa menjadi sekedar perjuangan hari demi hari untuk bertahan

hidup. Emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian diri individu.

Karakter Positif

Karakter positif juga mempengaruhi kesuksesan individu, menurut Aristoteles

(dalam Stoltz, 2007) kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan,

keberanian, dan kedermawanan, semuanya penting untuk menuju kesuksesan dan

hidup berdampingan secara damai.

d. Akar :Genetika, Pendidikan, dan Keyakinan.

Genetika

Meskipun genetis tidak akan menentukan nasib seseorang namun menurut penelitian

yang telah ada ternyata menunjukkan pengaruh terhadap tingkah laku seseorang.

Dalam satu contoh, sepasang anak kembar yang terpisah selama empat puluh tahun

saling menceritakan tentang diri mereka, dan ternyata mereka memiliki

(46)

Pendidikan.

Seperti genetika, pendidikan bisa juga mempengaruhi kecerdasan, pembentukan

kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keteramplian, hasrat, dan kinerja yang

dihasilkan.

Keyakinan

Menurut Peck dalam the call to community (dalam Stoltz, 2007) menganggap

keyakinan sebagai hal yang sangat penting demi kelangsungan hidup masyarakat.

Apa pun jenis keyakinannya, sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki

faktor akar ini. Sedangkan menurut Herbert Benson (dalam Stoltz, 2007) seorang

peneliti yang mempelopori riset tentang peran keyakinan dalam kesehatan seseorang.

Menurutnya berdoa akan mempengaruhi epinefrin dan hormon-hormon

kortikosteroid pemicu stres, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernapasan lebih santai.

2.3.2 Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat untuk Pulih

Dalam banyak kasus, bahkan mungkin hampir semua, orang dengan ketergantungan

obat tidak benar-benar ingin menghentikan penyalahgunaan zat tersebut. Kebanyakan

orang yang menyalahgunakan kokain, misalnya, seperti para penyalahgunaan alkohol

dan obat-obatan, tidak berusaha mencari penanganan bagi diri mereka sendiri.

Mereka yang tidak berusaha mendapatkan penanganan cenderung menjadi

(47)

terperangkap dalam lingkungan sosial yang gagal mendukung mereka untuk sembuh.

(Nevid, Rathus, dan Greene, 2005).

Menurut Nevid, dkk (2005) bahwa ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan agar

dapat memulihkan seorang pecandu dari ketergantungan narkoba, pendekatan itu

antara lain;

a. Pendekatan Residential

Pendekatan residential adalah penanganan dengan melibatkan perawatan di rumah

sakit atau tempat terapi. Perawatan di rumah sakit direkomendasikan bila

penyalahguna obat tidak dapat mengendalikan diri bila berada dalam lingkungan

mereka, atau tidak tahan terhadap gejala putus zat, dan saat perilaku mereka bersifat

self-destructive atau berbahaya bagi orang lain. Penanganan rawat jalan lebih murah dan disarankan bila gejala putus zat tidak terlalu parah, klien teguh pada perubahan

perilaku mereka, dan sistem dukungan lingkungan, seperti; keluarga, turut berjuang

untuk membantu klien berubah menuju gaya hidup bebas obat.

Sejumlah komunitas terapeutik residensial juga digunakan. Beberapa dari mereka

memilih staf ahli paruh waktu atau tetap. Residen diharapkan untuk tetap bebas obat

dan bertanggung jawab untuk tindakan mereka. Residen sering dikonfrontasi

sehubungan dengan alsan-alasan mereka gagal bertanggung jawab untuk diri sndiri

(48)

Mereka berbagi pengalaman hidup untuk saling membantu mengembangkan cara

yang lebih produktif untuk mengatasi stres.

b. Pendekatan Behavioral

Penggunaan terapi perilaku atau modifikasi perilaku dalam menangani

penyalahgunaan dan ketergantungan zat menekankan pada modifikasi pola perilaku

penyalahgunaan dan dependen. Aliran ini memfokuskan kepada apakah

penyalahguna dapat belajar untuk mengubah perilaku mereka saat dihadapkan dengan

godaan.

Strategi Self-Control

Pelatihan self-control berfokus pada membantu penyalahguna mengembangkan

keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk mengubah perilaku mereka. Terapis

perilaku menekankan pada tiga komponen penyalahgunaan zat:

1. Isyarat anteseden, atau stimuli (A) yang memicu penyalahgunaan,

2. Perilaku penyahgunaan (B) itu sendiri, dan

3. Kosekuensi hukuman atau penguatan (C) yang mempertahankan atau

mencegah penyalahgunaan.

c. Pelatihan Keterampilan Sosial

Pelatihan ini membantu orang untuk mengembangkan respon interpersonal yang

(49)

menyelesaikan masalah untuk membebaskan stres rumah tangga yang dapat menjadi

pemicu penyalahgunaan. Bukti yang tersedia mendukung manfaat pendekatan

pelatihan keterampilan sosial dan terapi perkawian behavioral dalam menangani

alkoholisme dan ketergantungan zat (Finney & Monahan, 1996 dalam Nevid, dkk,

2005).

d. Pelatihan Pencegah Kambuh

Kata kambuh (relaps) berasal dari bahasa Latin yang berarti ”tergelincir kembali.”

Karena ada prevalensi kambuh, para terapis beraliran behavioral mendesain sejumlah

metode yang disebut pelatihan pencegahan kambuh (relaps-prevention training).

Pelatihan semacam ini membantu orang dengan masalah penyalahgunaan zat

mengatasi situasi beresiko tinggi dan mencegah mereka relaps (Marlatt & Gordon,

1985 dalam Nevid, dkk, 2005).

Penelitian menegaskan bahwa adanya jaringan sosial yang kuat (bersifat mendukung)

itu berhubungan secara positif dengan kesehatan. Hal ini akan menguatkan hipotesis

bahwa dukungan sosial itu merupakan variabel lingkungan. Definisi operasional

tentang dukungan sosial dalam konteks ini berasal dari Gottlieb (1983) (dalam Smet,

1994): ”.... Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau

non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau

didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek

(50)

Untuk menjelaskan konsep dukungan sosial, kebanyakan penelitian sependapat untuk

membedakan jenis-jenis yang berlainan (Defares & De Soomer, 1988 dalam Nevid,

dkk, 2005). Hal ini sangat berguna, karena nampak beberapa situasi (penuh stress)

yang berbeda memerlukan jenis bantuan atau dukungan yang sama sekali berbeda.

House membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial (Winnubst dkk., 1988;

Sarafino, 1990 dalam Nevid, dkk, 2005):

• Dukungan emosional: mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik,

penegasan).

• Dukungan penghargaan: terjadi lewat ungkapan homat (penghargaan)

positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan

atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan

orang-orang lain, seperti misalnya oran-orang-orang yang kurang mampu atau lebih

buruk keadannya (menambah penghargaan diri).

• Dukungan instrumental: mencakup bantuan langsung, seperti menolong

pekerjaan pada waktu mengalami stres.

• Dukungan informatif: mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk,

(51)

2.4 Kerangka Berpikir

Menurut Oullete (dalam Stoltz, 2007) orang yang memiliki sifat tahan banting tidak

terlalu mederita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Sifat yang

dimiliki seseorang merujuk pada kemampuannya menghadapi kondisi-kondisi

keadaan yang keras.

Oullete (dalam Stoltz, 2007) juga melakukan penelitian yang menunjukkan kesulitan

akibat reorganisasi massal, ketidakpastian, dan stres memperlihatkan sifat tahan

banting − suatu perasaan tentang tantangan, komitmen, dan pengendalian yang dapat

diukur − menderita separo penyakit yang diderita oleh para responden yang

responnya kurang tahan banting. Sifat tahan banting merupakan peramal kesehatan

dan kualitas secara keseluruhan. Orang-orang yang memiliki tahan banting yang baik

cenderung tidak terlalu menderita, dan kalaupun menderita, tidak akan lama.

Seorang mantan pengguna narkoba yang sedang menjalani tahap pemulihan bila

memiliki adversity quotient yang tinggi, maka intensi untuk pulih dari

ketergantungan narkobanya sangat tinggi, karena ia mampu merespon kesulitan

sebagai suatu peluang dengan memiliki suatu tujuan dan dapat memegang kendali

atas dirinya. Sehingga ia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa perasaan

cemas, stres, frustasi dan depresi. Ia mampu mengontrol dirinya sendiri tanpa

dominasi dari pihak luar. Sedangkan mantan pengguna narkoba yang memiliki

(52)

mereka merespon kesulitan dengan perasaan cemas, stres, frustasi dan depresi. Dan

mereka juga didomonasi oleh pihak luar.

Stoltz (2007) mengilustrasikan keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan

dengan menggunakan pohon, dimana pohon mempunyai cabang yang berarti

menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat

individu. Bila seorang residen memiliki motivasi, gairah, dorongan, ambisi dan

semangat yang kuat untuk menjalani program-program yang di Primary House maka

intensi pulihnya akan tinggi. Kesehatan emosi dan fisik mempengaruhi kemampuan

individu dalam menggapai kesuksesan. Jika individu sakit, penyakitnya akan

mengalihkan perhatian individu dari gunung yang sedang didaki atau tujuan yang

akan dicapai. Karena sakit itu pendakian individu bisa menjadi sekedar perjuangan

hari demi hari untuk bertahan hidup. Emosi dan fisik yang sehat dapat sangat

membantu pendakian diri individu. Bila emosi dan fisik residen sehat, maka para

residen akan fokus dalam menjalankan program tanpa ada suatu hambatan yang akan

menhalangi mereka dalam mencapai kepulihan. Akar juga merupakan bagian pohon

yang diilustrasikan sebagai keyakinan menurut Peck dalam the call to community

(dalam Stoltz, 2007) menganggap keyakinan sebagai hal yang sangat penting demi

kelangsungan hidup masyarakat. Apa pun jenis keyakinannya, sebagian besar orang

yang sangat sukses memiliki faktor akar ini. Sedangkan menurut Herbert Benson

(53)

epinefrin dan hormon-hormon kortikosteroid pemicu stress, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernapasan lebih santai.

Residen yang memiliki motivasi, antusiasme, gairah dan keyakinan untuk

sembuh,maka intensi pulihnya akan tinggi. Selain itu bila mereka mendekatkan diri

kepada Tuhan, maka mereka akan lebih tenang dalam menjalani rehabilitasi.

Adversity Quotient menurut Stolz (2007), merujuk pada kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang

dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Dimensi-dimensi dari

adversity quotient yaitu Control , Origin and Ownership, Reach, Endurance (CO2RE) diperlukan untuk menentukan secara keseluruhan adversity quotient

seseorang. Residen yang sedang menjalani program rehabilitasi yang memiliki

adversity quotient tinggi mereka akan merasa mempunyai kendali atas hidupnya dikemudian hari, ia tidak akan terpuruk dalam penggunaan narkoba lagi dan akan

berusaha lebih baik lagi untuk hari esok.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa residen yang tidak mudah menyerah,

tidak mudah putus asa, tidak mudah stres, tidak mudah cemas serta mampu

menghadapi berbagai kesulitan dalam menjalani program-program yang ada,

menganggap bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya maka intensi untuk

(54)

2. 5 Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi

untuk pulih pada residen BNN.

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi untuk

(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.

Pendekatan penelitian kuantitatif menurut sugiyono (2008) yaitu penelitian yang data

penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik.

3.1.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode korelasional, menurut Hasan (2002) metode

kolerasional adalah mencari hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti.

Hubungan antara variabel diteliti kemudian dijelaskan. Adapun alasan peneliti

menggunakan penelitian korelasional karena sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu

untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu hubungan adversity quotient

(56)

3.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian

Menurut Sevilla (1993), variabel adalah suatu karakteristik yang memiliki dua atau

lebih nilai atau sifat yang berdiri sendiri-sendiri. Variabel terbagi menjadi dua

macam, yaitu variabel bebas (Idependent Variable) dan variabel terikat (Dependent

Variable).

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Variabel bebas (independent variable) adalah Adversity Quotient.

b. Variabel terikat (dependent variable) adalah Intensi Pulih.

3.2.2 Definisi Konseptual

Definisi konseptual dari kedua variabel ini adalah :

1. Adversity Quotient adalah respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.

2. Intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna

narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.

3.2.3 Definisi Operasioanal

Definisi Operasional kedua variabel dalam penelitian ini adalah :

(57)

2. Intensi pulih yang dilakukan oleh residen merupakan hasil skor yang

diperoleh dari skala intensi pulih yang meliputi tiga aspek antara lain; sikap

terhadap perilaku, norma subjektif, dan perceived behavioral control.

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 3.3.1 Populasi

Menurut Hasan (2002) populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang

memiliki karakteristik tertentu, jelas, lengkap yang akan diteliti. Populasi dalam

penelitian ini adalah mantan pecandu (residen) yang melakukan rehabilitasi di BNN

yang berjumlah 250 pada tanggal 5 Mei 2010.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga

memiliki karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa mewakili

populasi (Hasan, 2002) . Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang akan diambil

adalah 58 orang yang terdiri dari (1) fase younger yaitu pada tahap ini residen sudah

mulai mengikuti program dengan proaktif, artinya ia telah dengan aktif mengikuti

program yang telah ditetapkan oleh lembaga, (2) fase middle, yaitu pada tahap ini

residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan operasional

panti/lembaga, dan (3) fase older, yaitu pada tahap ini residen sudah bertanggung

jawab pada staf dan lebih bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasional panti

(58)

Departemen Sosial, 2004). Hal ini mengacu pada pendapat Bailey yang menyebutkan,

bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel

yang paling minimum adalah 30. Selain itu, Gay berpendapat bahwa ukuran

minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan metode penelitian yang

digunakan, dalam penelitian ini menggunakan metode korelasional, dengan minimal

subyek 30 (dalam Hasan, 2002).

3.3.3 Teknik Sampling

Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan di tempat rehabilitasi BNN yang

terletak di daerah Lido, Sukabumi. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan

secara nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Menurut Hasan

(2002), nonprobability sampling adalah cara pengambilan sampel yang tidak

berdasarkan probabilitas atau peluang. Dalam semua nonprobability sampling,

kemungkinan atau peluang setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sampel

tidak sama atau tidak diketahui. Sedangkan teknik purposive sampling adalah

penilaian dan upaya cermat untuk memperoleh sampel representatif dengan cara

meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok yang diduga sebagai anggota

sampelnya. Responden dalam penelitian ini adalah yang berada di fase Primary

(59)

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat pengumpul

data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh jawaban dari reponden.

Skala yang digunakan bersifat langsung dan tertutup.

Pernyataan terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan negatif (unfavorable).

Dalam merespon item tesebut subjek diminta untuk memilih jawaban yang paling

mewakili dirinya, dengan cara memilih sistem rating kategori yang merentang dari

“sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”. Penskoran untuk pernyataan positif

dilakukan dengan memberi skor tertinggi pada pilihan “sangat setuju” dan terendah

pada pilihan “sangat tidak setuju” dan sebaliknya.

Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian, yaitu :

a. Bagian pengantar, berisi tentang, tujuan dari penelitian, kerahasiaan jawaban

yang diberikan oleh responden, ucapan terima kasih peneliti dan nama

peneliti.

b. Bagian inti, berisi dua alat ukur penelitian ini yaitu alat ukur Adversity

Quotient dan intensi pulih.

c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti nama, tingkatan

(60)

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian

ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan untuk pengumpulan

data dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala adversity quotient dan intensi pulih.

1. Skala adversity quotient dalam penelitian ini disusun peneliti menggunakan skala

model Likert dengan aspek-aspek yang diukur berdasarkan teori Stoltz, yaitu

aspek control, origin dan ownership, reach, dan endurance yang berjumlah 50

item pernyataan yang terbagi atas 31 item favorabel dan 19 item unfovorabel.

Pada skala ini subjek diharuskan memilih salah satu dari pilihan jawaban, yaitu;

SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak

Sesuai).

Cara skoring dari skala Adversity Quotient ini adalah sebagai berikut :

No Jawaban Favorable Unfavorable 1. Sangat Sesuai (SS) 4 1

2. Sesuai (S) 3 2

3. Tidak Sesuai (TS) 2 3

4. Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

(61)

Tabel 3.2

Blue Print Skala Try Out Adversity Quotient

Variabel Indikator Favorabel Unfavorabel Total

Control 1*,3,4,7,8,10,11,14* 2,5,6,9,12*,13 14

Origin and

Dari tabel 3.2 dapat kita lihat bahwa ada 28 item yang valid, yang terbagi dalam item

Control 11 item, Origin and Ownership 4 item, Reach 3 item, dan Endurance 10 item.

2. Skala intensi pulih

Berdasarkan teori intensi Fishben dan Ajzen (1975), maka dibuat juga skala untuk

melihat faktor penentu intensi, yaitu (1) Skala sikap, (2) Skala norma subjektif, dan

(3) Skala Kontrol Perilaku yang Dipersepsi dengan menggunakan skala model Likert

yang terdiri dari 37 item.

Pada skala ini subjek diharuskan memilih salah satu dari pilihan jawaban, yaitu; SS

(62)

Tabel 3.3

Blue Print Skala Try Out Intensi Pulih

Aspek Indikator Item Total

Behavioral belief 1, 2, 3, 4, 5* 5

Attitude towards the

behavior Out come evaluations

PBC Belief about ease or difficulty of

Dari tabel 3.4 dapat kita lihat bahwa ada 21 item yang valid, yang terbagi dalam

Behavioral belief 4 item, Out come evaluations 2 item, Normative Belief 4 item, Motivation to comply 4 item, dan Belief about ease or difficulty of control behavior 7 item.

3. 5. Uji Instrumen Penelitian

Gambar

Tabel 3.1 Distribusi skor
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
+6

Referensi

Dokumen terkait