• Tidak ada hasil yang ditemukan

Izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan Jiwa : studi analisis terhadap putusan perkara nomor 0284/pdt.G/2008/pa..jt.di pengadilan agama jakarta timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan Jiwa : studi analisis terhadap putusan perkara nomor 0284/pdt.G/2008/pa..jt.di pengadilan agama jakarta timur"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Fauziah Fitriani 106044101368

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

v

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia, hidayah dan inayah-Nya, sehingga sampai saat ini hamba masih diberi kesempatan untuk dapat hidup di muka bumi ini. Dengan rahmat, karunia, hidayah dan inayahNya kepada hamba dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Shalawat serta salam selalu hamba curahkan kepada Nabi Muhammad SAW., beliau sebagai seorang suri tauladan bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini sepanjang hayat. Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa umat manusia dari tidak mengenal Allah SWT., sampai mengenal-Nya, serta menjalankan seluruh perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari tanpa bantuan moril dan materil, penulisan ini akan sulit untuk dapat diselesaikan. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu membimbing sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, antara lain:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Bapak Kamarusdiana, S. Ag., MH., selaku sekertaris. 3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku dosen pembimbing yang telah

(3)

vi studi di Kampus tercinta ini.

5. Terima kasih yang tak terhingga untuk keluarga terutama Ibuku, Samilah dan Ayahku, Zulherzal atas dukungan, perjuangan dan doa yang telah menjadikan saya seperti sekarang ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya untuk kalian semua.

6. Terima kasih untuk Makhsus Bilmajdi atas segala dukungan, waktu dan doa yang ditujukan kepada saya selama dalam proses penulisan skripsi ini sampai selesai.

7. Teman-teman alumni PP. Darul Arqam, khususnya angkatan 11 & 23, Nenden (temen never gone), maju terus!.

8. Terakhir, untuk teman-teman seperjuangan di jurusan PA angkatan 2006, Sa’dah, Lulu, Ewi, Hesti, Anis, Stephy, Eli, Aminah, Arud, Maul and all

friends of Peradilan Agama, moga kita semua menjadi insan yang bermanfaat,

jangan pernah berhenti belajar, keep our friendship and sukses!.

9. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan sarannya senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 24 Mei 2010

(4)

vii

DAFTAR ISI...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Studi Review Terdahulu...10

E. Metode dan Teknik Penelitian...11

F. Sistematika Penulisan ...14

BAB II POLIGAMI DAN GANGGUAN JIWA A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami …………....…...16

B. Sebab-Sebab Terjadinya Poligami………...22

C. Teori Umum Gangguan Jiwa………..….24

D. Pengaruh Gangguan Jiwa Terhadap Kewajiban Sebagai Isteri...30

BAB III POLIGAMI DALAM FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN A. Ketentuan Poligami dalam Fikih………..………...40

(5)

viii

B. Pertimbangan Hakim Pada Perkara Nomor. 0284/Pdt.G/2008/Pa.Jt...60

C. Analisis Penulis………..………..67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...75

B. Saran-Saran...76

DAFTAR PUSTAKA...77 LAMPIRAN

1. Surat Keterangan...81

2. Laporan Perkara Tahun 2008...83

3. Laporan Perkara Tahun 2009...85

4. Laporan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2008…..87

5. Laporan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2009…..88

6. Pedoman Wawancara...89

(6)

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Segala sesuatu di alam wujud ini, diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan. Al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia (pria) secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama. Untuk memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis itu. Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui, yaitu perkawinan.1

Tujuannya adalah agar manusia itu tidak seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara lawan jenisnya secara anarki dan tidak ada satu aturan. maka demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya, bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks).2

Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian di antara dua belah pihak, yakni suami isteri. Kedamaian dan

1 M.Ali Hasan, Pedoman Hidup berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet .ke-1, h.266.

(7)

kebahagiaan suami isteri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan dalam perjanjian tersebut.3

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah membentuk keluarga dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah tangga dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang menjadi dasar kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui kesadaran bahwa seseorang dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya sebagai suami maupun istri dan anggota keluarga lainnya dalam membina rumah tangga yang bahagia.4

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5

Maksud dari “ikatan lahir” ialah bahwa hubungan suami isteri tidak hanya berupa ikatan lahiriah saja, dalam arti hubungan suami istri hanya sebatas ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin. Jalinan ikatan lahir dan batin itulah yang menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Kemudian

3 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ-SP, 1999),

h.9.

4 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 27-28.

(8)

dilihat dari kalimat “berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa” ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dalam pembentukan keluarga.

Dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan (baik arti maupun tujuan) tidak semata-mata hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial dan adat istiadat.

Pada praktiknya perjalanan suami isteri dalam membina rumah tangga tidak selalu harmonis, karena menyamakan persepsi antara dua karakter yang berbeda tidaklah mudah. Terlebih lagi jika terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari suami isteri dalam kehidupan rumah tangga tersebut, maka akibatnya akan memunculkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan kehidupan rumah tangga. Kemudian jika konflik tersebut berkelanjutan dan tak kunjung ada penyelesaian secara tuntas maka umumnya munculah dua pilihan, yaitu perceraian atau poligami. Dari dua pilihan tersebut, penulis menjadikan poligami sebagai fokus permasalahan dalam penelitian ini.

Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.6

(9)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.7

Poligami tidak dilarang dan tidak diperintahkan, hanya dibolehkan dengan syarat yang ketat. Meminjam istilah M.Quraish Shihab, poligami ibarat emergency exit dalam pesawat yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency saja. Dia hanyalah pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh mereka yang menginginkannya ketika mengalami kasus atau keadaan darurat.8

Dalam Islam syarat mutlak poligami yang harus diperhatikan terdapat dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 3, yakni berlaku adil. Dalam ayat ini terdapat kata “khiftum”, yang biasa diartikan “takut” dan juga bisa berarti “mengetahui”, menunjukkan bahwa siapa saja yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga dirinya tidak akan bisa berlaku adil, tidak diperkenankan untuk berpoligami.

Meskipun Islam telah mengatur masalah poligami, namun kerap kali timbul permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan para pelaku poligami dalam penerapannya, disebabkan karena kekurangfahaman mereka terhadap ajaran agama atau keburukan akhlaq mereka. Dengan demikian yang salah bukan hukum

7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h.885.

(10)

Islamnya, tetapi para pelaku poligami yang dalam penerapannya tidak sesuai dengan syari’at Islam.

Sedangkan pelaksanaan poligami di Indonesia harus berdasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan.

Seorang suami yang akan berpoligami harus memenuhi salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif, syarat alternatif di antaranya apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah persetujuan isteri/isteri-isteri, ada kepastian bahwa suami mampu akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka serta ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.9

Dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) prinsip monogami tetap dianut. Prinsip tersebut diungkapkan dalam kalimat Pada azasnya dalam

suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.

(11)

Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Demikianlah yang

tertuang dalam pasal 3 ayat (1) UUP tersebut. 10

Monogami menjadi salah satu azas tapi dengan pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami boleh beristeri lebih dari satu. Tentang pengecualian itu selanjutnya Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan perkawinan yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan.11

Dari uraian di atas, mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikabulkannya permohonan izin poligami dari Pengadilan Agama, maka yang menjadi perhatian penulis yaitu putusan hakim yang mengabulkan izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan kejiwaan.

Pada kasus ini isteri mengidap penyakit skizofrenia, sejenis penyakit gangguan jiwa di mana penderita menunjukkan berbagai gejala terpecahnya kepribadian sehingga “kerjasama” antara pikiran, perasaan dan tingkah laku tidak serasi lagi.

Mengingat Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan gangguan jiwa sebagai alasan poligami maka yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah gangguan jiwa tersebut dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yaitu “isteri tidak dapat

10 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.60-61.

(12)

menjalankan kewajibannya sebagai isteri” atau “isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan”

Berdasarkan kasus tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui keadaan sebenarnya dalam menyelesaikan perkara tersebut, untuk itu diperlukan penelitian dan analisa terhadap hasil putusan dari Pengadilan Agama dalam bentuk skripsi dengan judul “Izin Poligami dengan Alasan Isteri Mengalami Gangguan Jiwa (Studi Analisis Putusan Perkara Nomor 0284/Pdt.G/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

1. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai obyek penelitian, mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan mengenai izin poligami dengan perkara Nomor: 0284/Pdt.G/2008/PA.JT yang berkaitan dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa.

(13)

2. Perumusan Masalah

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan lainnya, gangguan jiwa bukan menjadi salah satu alasan diizinkannya poligami, tetapi pada kenyataannya terdapat kasus di mana hakim mengabulkan permohonan poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa.

Rumusan masalah di atas penulis rinci ke dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana tinjauan Undang-Undang Perkawinan terhadap perkara izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa?

b. Bagaimana tinjauan fikih terhadap izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa?

c. Apa dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami karena isteri mengalami gangguan jiwa?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

(14)

a. Untuk mengetahui tinjauan Undang-Undang Perkawinan terhadap perkara izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa.

b. Untuk mengetahui tinjauan fikih terhadap izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa.

c. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami karena isteri mengalami gangguan jiwa.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai ketentuan izin poligami dalam peraturan Perundang-Undangan.

(15)

D. STUDI REVIEW TERDAHULU

No Nama Penulis/ Judul/Tahun

Substansi Pembeda

1 Restyaningrum, Izin Poligami (Kajian terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Fakultas Syariah dan Hukum, 1430 H/2009 M

Skripsi ini menjelaskan pertimbangan hakim dalam permohonan izin poligami ditinjau dari hukum Islam dan peraturan Perundang-Undangan.

Di sini alasan yang digunakan dalam permohonan izin poligami adalah isteri kurang dapat menjalankan

kewajibannya untuk memenuhi

kebutuhan biologis sedangkan penulis membahas poligami dengan alasan isteri mengalami ganguan jiwa.

2 Ahmad Faozi, izin poligami “ Kasus Putusan Pengadilan Agama Cianjur No: 290/Pdt.G/2008/PA. Cjr, fakultas Syariah

Skripsi ini menjelaskan pertimbangan hakim dalam permohonan izin poligami ditinjau dari fiqh dan Hukum Islam (KHI)

(16)

dan Hukum 1430/2009 M

biologisnya.

Sedangkan penulis mengkaji mengenai poligami dengan alasan isteri mengalami

gangguan jiwa.

E. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan cara mendeskripsikan sejumlah varibel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti12. Sedangkan Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.

(17)

2. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam skripsi ini terbagi menjadi dua sumber yaitu data primer yang diperoleh dari lapangan dengan mengadakan tinjauan langsung pada obyek yang diteliti berupa berkas putusan perkara izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara mengenai izin poligami tersebut. Untuk menjelaskan data primer maka dibutuhkan data-data pendukung atau data sekunder. Data-data sekunder diperoleh melalui studi pustaka berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau kitab-kitab yang memuat ketentuan poligami, kumpulan tulisan serta lain-lain yang berkaitan dengan penelitian.

Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Studi dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai permasalahan yang ada relevansinya dengan obyek yang diteliti, dengan cara membaca dan menelaah buku literatur, peraturan perundang-undangan, kumpulan tulisan serta lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

b. Interview/wawancara

(18)

yang diperoleh dari studi dokumentasi. Wawancara akan dilakukan terhadap hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara mengenai izin poligami yang dimaksud.

3. Tekhnik Pengolahan Data

a. Seleksi data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik melalui studi dokumentasi maupun wawancara, lalu diperiksa kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.

b. Klasifikasi data: setelah data dan bahan diperiksa lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan.

4. Analisis Data

Tekhnik analisis yang digunakan adalah content analysist. Dalam hal ini, penulis mempelajari putusan perkara nomor: 0284/Pdt.G/2008/PA.JT, mengungkapkan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut kemudian dipadukan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum terkait dalam memutuskan perkara, disimpulkan kemudian digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.

5. Pedoman Penulisan Skripsi

(19)

Hukum UIN Syarif Hidayatullah dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama b. Terjemahan al-Quran dan Hadits ditulis 11/2 spasi walaupun

kurang dari enam baris.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika digunakan untuk memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, di mana antara bab yang satu dengan bab yang lain saling berkaitan. Masing-masing bab akan diuraikan lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, studi review terdahulu, metode dan teknik penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua ini memuat konsep dasar yang berkenaan dengan pokok masalah yaitu poligami, didalamnya meliputi pengertian dan dasar hukum poligami, sebab-sebab terjadinya poligami dan juga berisi tentang teori umum gangguan jiwa yang meliputi pengertian, macam-macamnya dan pengaruhnya terhadap pemenuhan kewajiban isteri.

(20)

Bab keempat membahas tentang analisis terhadap putusan perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang izin poligami yang merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini yakni deskripsi dan analisis yang meliputi gambaran umum perkara, dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kemudian analisa penulis terhadap putusan tersebut.

(21)

16

A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami a. Pengertian

Ada tiga bentuk poligami, yang pertama poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan. Kedua, poliandri yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan dan ketiga, poligami yaitu sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.1

Walaupun dalam pengertian di atas ditemukan kalimat “salah satu pihak”, akan tetapi istilah perempuan yang mempunyai banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami di sini adalah ikatan perkawinan seorang suami yang mempunyai beberapa orang isteri sebagai pasangan hidupnya dalam waktu yang bersamaan. Kata poligami berasal dari bahasa yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti “suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan yang lebih dari seorang”, baik pria maupun wanita. Dalam bahasa Arab poligami dikenal

1

(22)

dengan istilah Ta’adudu Zaujah yang artinya berbilangnya isteri.2 Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya memiliki satu orang isteri.

b. Dasar Hukum

Islam membolehkan poligami berdasarkan Firman Allah SWT

÷

β

Î

)

u

ρ

÷

Λ

ä

ø Å

z

ā

ω

r

&

(

ä

Ü

Å

¡

ø

)

è

?

Î

û

4

u

Κ≈

t

G

u

ø

9

$

#

(

ß

s

Å

$

$

s

ù

$

t

Β

z

>$

s

Û

Ν

ä

3

s

9

z

Ïi

Β

Ï

!

$

|

¡

Ïi

Ψ9

$

#

4

o

_

÷

W

t

Β

y

]≈

n

=

è

O

u

ρ

y

ì≈

t

/

â

u

ρ

(

÷

β

Î

*

s

ù

ó

Ο

ç

F

ø Å

z

ā

ω

r

&

(

ä

9

Ï

÷

è

s

?

¸

ο

y

Ï

n≡

u

θ

s

ù

÷

ρ

r

&

$

t

Β

ô

M

s

3

n

=

t

Β

ö

Ν

ä

3

ã

Ψ≈

y

ϑ

÷

ƒ

r

&

4

y

7

Ï

9≡

s

Œ

#

o

Τ

÷

Š

r

&

ā

ω

r

&

(

ä

ã

è

s

?

)

ﺀﺎﺴﻨﻝﺍ

:

٣

(

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3)

Ayat tersebut diturunkan segera setelah perang Uhud usai (3H/628M), ketika itu laki-laki muslim banyak berguguran di medan perang. Tujuannya adalah untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak yatim yang ditinggal wafat oleh suami dan ayah yang merawat mereka serta memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan. Pada saat itu para pengasuh

(23)

anak yatim mengawini anak-anak yang mereka asuh bukan karena menyayangi atau mencintai anak yatim tersebut, melainkan hanya tertarik pada kecantikan atau harta mereka, inilah yang memicu para pengasuh anak yatim tidak dapat berlaku adil kepada mereka (anak yatim). Maka itulah Allah SWT membolehkan untuk mengawini mereka, tetapi jika merasa takut akan menelantarkan mereka dan tidak sanggup memelihara harta anak yatim tersebut, maka dibolehkan mencari perempuan lain untuk dikawini sampai empat orang.3

Dalam ringkasan Ibnu Katsir dikatakan bahwa maksud dari “Apabila

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil…” adalah jika ada perempuan

yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang memadai maka beralihlah kepada wanita lainnya, sebab wanita lain juga masih banyak dan Allah tidak mempersulitnya. Sedangkan “dua,

tiga atau empat” nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain anak yatim.

Jika kamu mau nikahilah dua, tiga atau empat. Sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah SWT menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh selain Rasulullah SAW, menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah SAW.4

Imam Asy-Syafi’i berkata, “sunnah Rasulullah SAW yang memberikan penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan

3

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999), jilid I, cet.ke-3, h.1187.

(24)

bagi seseorang selain Rasulullah untuk menghimpun lebih dari empat isteri”. Pendapat yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’i ini telah disepakati oleh para ulama kecuali pendapat dari sebagian penganut Syi’ah yang menyatakan bolehnya menggabung isteri lebih dari empat hingga sembilan orang. Bahkan sebagian mereka berpendapat tanpa batas.5

Menurut Quraish Shihab ayat poligami ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.6

s

9

u

ρ

(

#

þ

θ

ã

è‹

Ï

Ü

t

F

ó

¡

n

@

β

r

&

(

ä

9

Ï

÷

è

s

?

t

÷

t

/

Ï

!

$

|

¡

Ïi

Ψ9

$

#

ö

θ

s

9

u

ρ

ö

Ν

ç

F

ô

¹

t



y

m

(

Ÿ

ξ

s

ù

(

è

Ï

ϑ

s

?

¨

à

2

È

ø

Šyϑ

ø

9$

#

$

yδρ

â

x

t

G

s

ù

Ï

πs)

=y

è

ß

ϑ

ø

9$

$

x.

4

β

Î

)

(

ß

s

Î

=

ó

Á

è

?

(

à

)

G

s

?

€

χ

Î

*

s

ù

©

!

$

#

tβ%

x.

#

Y

‘θ

à

x

î

$

V

ϑŠ

Ï

m

§

)

ﺎﺴﻨﻝﺍ

:

١٢٩

(

Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,

5

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 144-145.

(25)

Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.

An-Nisa:129)

Firman Allah Ta’ala “dan sekali-kali tidak akan dapat berlaku

adil…” menurut penafsiran Ibnu Abbas dan sejumlah tabi’in, bahwa manusia

tidak akan mampu berlaku secara sama terhadap isteri-isterinya dalam segala aspek walaupun gambaran lahiriahnya sama, misalnya setiap isteri mendapat giliran satu malam untuk masing-masing, pastilah hal itu mengandung perbedaan dalam hal cinta, syahwat dan jimak.7

Quraish Shihab menafsirkan, ayat ini memberikan kelonggaran kepada para suami sehingga keadilan yang dituntut bukanlah keadilan mutlak. Ditegaskan juga bahwa para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hatinya secara terus-menerus, keadilan dalam hal cinta di antara isteri-isteri, walaupun sangat ingin berbuat demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya, karena itu berbuat adillah sekuat kemampuan yakni dalam hal-hal yang bersifat material dan kalaupun hati lebih mencintai salah seorang di antara mereka (isteri), maka sedapat mungkin suami mengatur perasaan, sehingga tidak terlalu cenderung kepada isteri yang lebih dicintai, dan membiarkan isteri yang lain terkatung-katung, sehingga tidak merasa dilakukan sebagai isteri dan tidak

(26)

juga dicerai. Jika suami setiap saat berkesinambungan mengadakan perbaikan dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Allah dan bertakwa, yakni menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran-pelanggaran kecil yang dia lakukan, karena sesungguhnya Allah selalu Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.8

Selain terdapat dalam Al-Qur’an, ketentuan poligami juga terdapat dalam hadits Nabi, salah satunya mengenai batas jumlah isteri adalah sampai empat orang saja.

ﻥﻋ

ﺎﺴ

ﹴﻡِﻝ

ﻥﻋ

ﹺﺒﹶﺍ

ﻴ

ﻪ

ﻲﻀﺭ

ﷲﺍ

ﻪﻨﻋ

ﻥﹶﺍ

ﻥﹶﻼﻴﹶﻏ

ﻥﺒﺍ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺴ

ﻡﹶﻠﺴﹶﺍ

ﻭ

ﻪﹶﻝ

ﺭﹾﺸﻋ

ﺓﻭﺴﻨ

ﻥﻤﹶﻠَﺴﹶﺎﹶﻓ

ﻪﻌﻤ

َﹶﺎﹶﻓ

ﻩﺭﻤ

ﻲﹺﺒّﹶﻨﻝﺍ

ﻰّﹶﻠﺼ

ُﷲﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻭ

ﻡﹶﻠﺴ

ﻥﹶﺍ

ّﻴﹶﺨﹶﺘّﻴ

ﺭ

ّﻥﻬﹾﻨﻤ

ﺎﻌﺒﺭﹶﺍ

)

ﻭﺭ

ﺍﻩ

ﺩﻤﺤ

ﺫﻤﺭﺘﻭ

9

(

Artinya : “Dari Salim dari ayahnya RA bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW menyuruh agar ia memilih empat orang dari isteri-isterinya.”

8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet-1, h. 581.

(27)

B. Sebab-Sebab Terjadinya Poligami

Ketika poligami telah menjadi suatu pilihan maka sudah dipastikan adanya beberapa hal yang menyebabkan poligami tersebut dilakukan. Hal-hal umum yang menyebabkan timbulnya poligami adalah sebagai berikut10:

1. Isteri mandul, kadang-kadang wanita tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup suami isteri, karena dia mandul atau tidak bisa melahirkan anak sehingga tidak bisa memberikan keturunan. Dalam situasi seperti ini, poligami akan lebih dapat diterima daripada suami menceraikan isteri tersebut dan mencari wanita lain. Dengan demikian, isteri yang mandul tersebut tetap menjadi isteri yang sah dan tetap berada dalam pemeliharaan suami sehingga terpenuhi hak-haknya sebagai isteri.

2. Adanya keinginan seorang laki-laki untuk menikah lagi dengan wanita lain karena isteri terkena penyakit kronis yang lama sembuhnya atau penyakit menular sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri. Dalam kasus ini, poligami jauh lebih baik daripada menceraikan isteri yang sedang sakit dan sangat membutuhkan perlindungan serta pertolongan dari suaminya itu. Hal ini juga akan lebih bisa diterima daripada laki-laki tersebut memiliki “affair” dengan wanita lain di luar ikatan perkawinan.

10

(28)

3. Sebagai kebutuhan sosial, ketika jumlah kaum perempuan melebihi jumlah kaum laki-laki sebagai akibat dari suatu perang. Karena bukan hanya banyak wanita yang kehilangan suaminya tetapi juga banyak anak yatim yang membutuhkan kehadiran seorang ayah. Atau banyaknya jumlah wanita yang tidak menikah, janda dan wanita-wanita yang diceraikan suaminya sehingga menyebabkan terjadinya semacam kekosongan hidup berkeluarga dikalangan sejumlah besar kaum wanita. Dan kekosongan ini mengakibatkan ekses-ekses yang membahayakan, yang kadang-kadang menjurus kepada merosotnya moral masyarakat secara merata.

4. Adanya suatu sebab yang bersifat ekonomis, seperti yang terdapat pada masyarakat yang agraris sifatnya, maka kebutuhan untuk mempunyai banyak isteri dan banyak anak lebih membantu dalam usaha memperoleh pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup suatu keluarga.

5. Sebab-sebab yang ada pada laki-laki itu sendiri, misalnya ia seorang yang mempunyai kemauan seksual yang sangat kuat sehingga tidak cukup hanya seorang isteri, ataupun dua orang isteri. Maka ia memilih poligami karena dianggap dapat menjaganya agar tidak terjerumus dalam kesesatan dan beberapa malapetaka yang akan timbul darinya untuk menimpa diri, keluarga dan masyarakatnya. Atau ia seorang yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan dan ia sanggup serta mampu memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka.

(29)

ketika itu adalah jalan yang ideal, tetapi sekali perlu diingat bahwa ini bukan seperti anjuran apalagi kewajiban kerena semuanya diserahkan menurut pertimbangan masing-masing. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, masih banyak kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang juga merupakan syarat yang tidak ringan.11

C. Teori Umum Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik. Keabnormalan dapat dibagi atas dua golongan yaitu: gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).12

Menurut Zakiah Daradjat terdapat perbedaan antara neurose dan

psychose yaitu orang yang kena neurose masih mengetahui dan merasakan

kesukarannya, sebaliknya yang kena psychose tidak. Di samping itu orang yang kena neurose kepribadiannya tidak jauh dari realitas, sedangkan orang yang kena psychose, kepribadiannya dari segala segi (tanggapan, perasaan atau emosi dan dorongan-dorongannya) sangat terganggu, tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan. Neurose merupakan gangguan kepribadian yang ringan sebagai akibat ketegangan psikis karena terjadi

11 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 199.

(30)

konflik terus-menerus dalam pribadi orang yang bersangkutan. Contoh dari beberapa jenis gangguan jiwa (neurose) di antaranya sebagai berikut13 : 1) Neurasthenia

Penyakit Neurasthenia adalah penyakit yang membuat penderitanya merasa payah. Penderita tidak sanggup berfikir tentang sesuatu persoalan, sukar mengingat dan memusatkan perhatian. Ia juga apatis, acuh tak acuh terhadap persoalan luar karena ia merasa seolah-olah akan ambruk saja sewaktu-waktu, sangat sensitif terhadap cahaya dan suara sehingga detik jam bisa menyebabkan tidak bisa tidur. Sebab terpenting dari penyakit

Neurasthenia adalah ketidaktenangan jiwa, kegelisahan, tekanan,

pertentangan batin dan persaingan.

2) Hysteria

Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar.

(31)

3) Psychastenia

Gangguan jiwa yang bersifat paksaan, yang berarti kurangnya kemampuan jiwa untuk tetap dalam integrasi yang normal. Gangguan ini memiliki beberapa bentuk yaitu phobia, obsesi dan kompulsi.

4) Psychopath

Psychopath ialah apabila penderita mempunyai kepribadian menyimpang

sehingga selalu bertentangan dengan dunia luar dan dirinya sendiri. Dalam bahasa jawa penyakit semacam ini disebut gendeng. Macam Psychopath yang kini banyak terdapat dalam masyarakat ialah insania moralis. In yaitu tidak, sania yaitu sehat, moralis yaitu akhlaq, insania moralis adalah tidak sehat akhlaqnya. Penderita tidak dapat mengendalikan nafsunya dan penyakit ini dinamai sesuai nafsunya. Misalnya tidak dapat menahan nafsu untuk menyiksa atau membunuh disebut sadisme. Pada saat ini sadisme sedang merajalela di dalam masyarakat Indonesia. Perlu dicatat, meskipun penyakit jiwa tetapi para psychopat dapat dikenai hukuman.14

Sedangkan psychose adalah gangguan jiwa yang bersifat menyeluruh atau gangguan jiwa berat yang meliputi seluruh kepribadian penderita, sehingga kehilangan orientasi terhadap lingkungannya, bahkan penderita tidak dapat memahami tingkah lakunya sendiri (terjadi disorientasi pikiran, gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang dan orang).15

14 Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 93.

(32)

Adapun ciri-ciri dari psychose ini adalah:16

1. Delusi atau waham yaitu timbulnya suatu fantasi atau khayalan yang diyakini penderita sebagai kenyataan. Contoh: merasa dirinya diawasi, diejek atau dimusuhi.

2. Halusinasi: penderita seolah-olah mendengar, mencium atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia seakan-akan mendengar orang lain membicarakannya atau melihat sesuatu yang menakutkannya.

3. Tidak dapat berkomunikasi seperti biasanya, contoh: tidak mampu mengurus rumah tangga, bekerja dan bergaul dalam masyarakat.

4. Tidak menyadari bahwa dirinya menderita gangguan jiwa (lack of illness

insight).

Kemudian terdapat dua macam faktor penyebab penyakit jiwa (psychose), yaitu17:

Pertama, yang disebabkan pada kerusakan pada anggota tubuh

misalnya otak, saraf pusat atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar, saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh keracunan akibat minuman keras, obat-obat perangsang atau narkotik atau karena penyakit kotor dan lain-lain.

Kedua, disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah

berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian yang wajar.

16 Syidat Zubair, Gangguan Jiwa (Mental Disorder), artikel diakses 19 Maret 2010, dari http://medicblueprint.blogspot.com/2009/06/gangguan-jiwa-mental-disorder.html.

(33)

Dapat pula disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh akibat suasana lingkungan yang sangat menekan dan adanya ketegangan batin. Di antara penyakit jiwa yang terkenal salah satunya adalah schizophrenia.

Mengingat kasus yang diangkat penulis dalam penulisan skripsi ini adalah permohonan izin poligami yang dilakukan seseorang dengan alasan isteri mengalami sejenis penyakit gangguan jiwa yaitu schizophrenia, maka penjelasan mengenai penyakit ini sedikit lebih luas.

Skizofrenia (schizophrenia) merupakan gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, juga sering terlihat adanya perilaku menarik diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi. Pada suatu saat, orang-orang dengan skizofrenia berpikir dan berkomunikasi dengan sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realitas, dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata mereka terbalik-balik, mereka kehilangan sentuhan dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri, bahkan dalam banyak cara yang mendasar.18

Skizofrenia menyentuh setiap aspek kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai dengan waham, halusinansi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku aneh. Di antara episode-episode akut, orang yang mengalami skizofrenia mungkin tetap tidak dapat berfikir secara jernih dan mungkin kehilangan respon

(34)

emosional yang sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Mereka mungkin berbicara dengan nada yang mendatar dan menunjukkan sedikit (jika ada) ekspresi.19

Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi

dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya. Skizofrenia juga merupakan gangguan mental yang cukup luas yang dialami di Indonesia, di mana sekitar 99% pasien di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia. Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya, tapi juga bagi orang-orang yang terdekat kepadanya. Biasanya keluargalah yang paling terkena dampak dari hadirnya skizofrenia di keluarga mereka.20

Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya yang menimbulkan penyakit Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat karena keturunan atau kerusakan kelenjar-kelenjar tertentu dari tubuh mulai menyerang setelah orang menghadapi satu peristiwa yang menekan, yang akibatnya muncul penyakit yang mungkin tersembunyi di dalam diri orang itu.21

Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa yang membuktikan betapa besar akibatnya bila terganggunya kesehatan mental seseorang, yang akan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.

19

Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, judul asli: Abnormal Psychology in a

Changing World, Alih bahasa: Tim Fakultas Psikologi UI, (Jakarta: Erlangga, 2005), jilid 2, h. 103

20 Iman Setiadi Arif, Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2006), cet-1, h. 4.

(35)

D. Pengaruh Gangguan Jiwa terhadap Kewajiban sebagai Isteri

Seseorang yang mengalami kesehatan mental yang buruk berbeda dalam hal tingkat kesehatan dibandingkan dengan seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Pada orang yang mengalami kesehatan mental yang buruk, perasaan-perasaaan bersalah kadang-kadang menguasainya, kecemasan-kecemasan tidak produktif sangat mengancamnya. Ia biasanya tidak mampu menangani krisis-krisis dengan baik dan ketidakmampuan ini mengurangi kepercayaan dan harga dirinya. Terkadang ancaman-ancaman dari dalam dan dari luar begitu kuat sehingga ia mengembangkan gangguan tingkah laku.22

Para ahli psikologi Eropa mengatakan bahwa segala sesuatu harus dilihat dari pangkal atau yang melandasi tingkah laku, yaitu jiwanya (psyche). Kalau jiwanya rusak, maka perilakunya pun terganggu, sebaliknya kalau perilakunya rusak maka pasti kerusakan itu hanya akibat dari jiwanya yang kacau.23

Gangguan kesehatan jiwa dapat mempengaruhi perasaan, fikiran, tingkah laku dan kesehatan tubuh. Pengaruh terhadap perasaan misalnya berupa cemas, takut, iri, dengki dan lain sebagainya. Juga sedih tak beralasan, bimbang, marah oleh hal-hal remeh, merasa diri rendah dan sebagainya. Demikian pula sombong, tertekan, pesimis, putus asa dan apatis. Pengaruh terhadap fikiran misalnya berupa kemampuan berfikir berkurang, sukar

22

Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 1, Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 10.

(36)

memusatkan fikiran, mudah lupa, tidak dapat melanjutkan rencana dan sebagainya.24

Sedangkan pengaruh terhadap perbuatan misalnya menganiaya diri atau menyakiti orang atau hatinya dan berbagai kelakuan yang menyimpang, perbuatan ini disebabkan oleh ketidakharmonisan fungsi-fungsi jiwa yaitu tidak ada keserasian dan kerjasama antara pikiran, perasaaan dan sikap jiwa manusia. Terakhir, pengaruh terhadap kesehatan tubuh, penyakit ini dinamakan psychosomatic yaitu kesehatan mental dapat menentukan kesehatan tubuh. Jika jiwa berada dalam kondisi kurang normal seperti cemas, gelisah, takut, putus asa dan lain-lain maka dapat menimbulkan terjadinya gangguan pada organ-organ tubuh seperti gangguan pada jantung, lambung, kadar gula, tekanan darah dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya, jika jiwa dalam kondisi normal maka badan juga sehat.25

Apabila gangguan jiwa dialami oleh salah satu anggota keluarga, dalam kasus ini yaitu isteri, maka akan berpengaruh terhadap keharmonisan antar anggota keluarga, terutama dalam hubungan suami isteri. Karena isteri yang mengalami gangguan jiwa, dalam hal ini Schizophrenia, secara umum tidak mampu menjalankan kewajibannya secara total seperti ketika dia dalam keadaan sehat baik fisik maupun mental. Hal seperti ini jika tidak dihadapi dengan bijaksana maka akan menimbulkan konflik yang berakibat fatal terhadap kehidupan keluarga selanjutnya.

24 Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, h. 100.

(37)

Dalam hubungan suami isteri, seorang suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si isteri mempunyai beberapa kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat dalam beberapa ayat Qur’an, umpamanya pada surat al-Baqarah ayat 228:

....

£

å

κ

ç

J

s9θ

ã

è

ç

/

,y

m

r

&

£

Ï

δ

Ïj

Š

t



Î

/

Î

û

y7

Ï

9≡s

Œ

÷

β

Î

)

(

#

ÿ

ρ

ß

Š#

u

r

&

$

[

s≈n=

ô

¹

Î

)

4

£

ç

λm;uρ

ã

÷

W

Ï

Β

Ï ©

$

#

£

Í

κ

ö

Žn=tã

Å

∃ρ

á



÷

èp

ù

$$

Î

/

4

É

Α$y_

Ìh

=

Ï

9uρ

£

Í

κ

ö

Žn=tã

×

πy_u‘yŠ

3

ª!$#uρ

î

“ƒ

Í

•tã

î

Λ

Å

3ym

)

ﺓﺭﻘﺒﻝﺍ

:

٢٢٨

(

Artinya : “…. dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.

al-Baqarah:228)

(38)

setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.26

Ketika perempuan menyatakan bersedia untuk menikah, dia yakin bahwa dia akan mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti, tetapi bukan hanya perempuan saja yang membutuhkan perlindungan, laki-laki juga membutuhkannya. Dalam kehidupan rumah tangga nanti, bukan saja pada waktu suami sakit, tetapi suami juga membutuhkan bantuan dan perlindungan isterinya pada saat ia menghadapi aneka kesulitan dalam pekerjaannya. Di sini, suami membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari isteri yang dapat menjadi perisai kesulitan yang ia hadapi. Sekaligus pendorong untuk mencapai sukses dalam segala perjuangannya, ia juga memerlukan ketenangan lahir dan batin yang seharusnya ia peroleh dalam rumah tangganya.27

Kewajiban isteri sebenarnya sebagai konsekuensi logis dari hak yang diterimanya dari suami. Kewajiban isteri kepada suami mempunyai kaitan yang tak terpisahkan dengan kewajiban suami terhadap isteri. Di antara kewajiban isteri terhadap suami adalah28:

26 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 159.

27

M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 129.

(39)

1. Taat kepada Allah SWT dan suami

Kewajiban seorang isteri untuk taat kepada Allah dan taat kepada suami, antara lain tertuang dalam firman Allah SWT:

ã

Α%y`

Ìh

9$#

šχθ

ã

Β≡

§

θs%

’n?tã

Ï

!$|¡

Ïi

Ψ9$#

$yϑ

Î

/

Ÿ≅āÒsù

ª!$#

ó

Ο

ß

γŸÒ

÷

èt/

4’n?tã

<

Ù

÷

èt/

!$yϑ

Î

/uρ

(

à

)

x

Ρ

r

&

ô

Ï

Β

ö

Ν

Î

γ

Ï

9≡

u

θ

ø

Β

r

&

4

à

M≈

y

s

Î

=≈

¢

Á9

$

$

s

ù

ì

M≈

t

G

Ï

Ζ≈

s

%

×

M≈

s

à

Ï

y

m

É

=

ø

t

ó

ù

=

Ïj

9

$

y

ϑ

Î

/

x

á

Ï

y

m

ª

!

$

#

4

É

L≈

©

9

$

#

u

ρ

t

βθ

è

ù$

s

ƒ

r

B

€

è

δ

y

—θ

à

±

è

Σ

€

è

δθ

Ý

à

Ï

è

s

ù

£

è

δρ

ã



à

f

÷

δ

$

#

u

ρ

Î

û

Æ

ì

Å

_$

Ÿ

Ò

y

ϑ

ø

9

$

#

£

è

δθ

ç

/

Î

Ž

ô

Ñ

$

#

u

ρ

(

÷

β

Î

*

s

ù

ö

Ν

à

6

u

Ζ

÷

è

s

Û

r

&

Ÿ

ξ

s

ù

(

ä

ó

ö

7

s

?

£

Í

κ

ö

Ž

n

=

t

ã

¸

ξ‹

Î

6

y

3

¨

β

Î

)

©

!

$

#

š

χ%

x

.

$

w

Š

Î

=

t

ã

#

Z

Ž

Î

6

Ÿ

2

)

ﺎﺴﻨﻝﺍ

:

٣٤

(

(40)

Wanita yang baik yaitu wanita yang taat kepada Allah dan suaminya, yang senantiasa menunaikan hak-hak suaminya, memelihara diri mereka dari kekejian, dan menjaga harta suaminya dari pemborosan.

2. Menjaga kehormatan suami.

Seorang isteri harus menjaga kehormatan dirinya, baik di saat suaminya berada di rumah, lebih-lebih apabila suaminya tidak ada di rumah.

3. Melayani kebutuhan biologi suami dengan baik.

Salah satu dorongan kuat laki-laki untuk mengadakan perkawinan ialah agar dapat menyalurkan nafsu birahinya (nafsu seksnya) secara sah dan terhormat. Dalam kondisi objektif, baik biologis maupun psikologis, syariat Islam telah mewajibkan kepada setiap isteri untuk melayani suaminya dengan baik, apabila diajak bersenggama. Isteri dilarang menolak ajakan itu, kecuali ketika haid, nifas, dan shaum (puasa) bulan Ramadhan.

4. Mengurus rumah tangga dengan baik.

(41)

ﹸﺓَﺃﺭﻤﹾﻝﹶﺍ

ﹲﺔﻴﻋﺍﺭ

ﻰﹶﻠﻋ

ﺕﻴﺒ

ﺎﻬﹺﺠﻭﺯ

،ﻩﺩﹶﻝﻭﻭ

ﻡﹸﻜﱡﻠﹸﻜﹶﻓ

ﹴﻉﺍﺭ

ﻡﹸﻜﱡﻠﹸﻜﻭ

ٌلﻭََﺌﺴﻤ

ﻥﻋ

ﻪﺘﻴﻋﺭ

ِ)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻝﺍ

(

29

Artinya : “Tiap-tiap wanita (isteri) adalah pengurus bagi rumah tangga suaminya dan akan ditanyakan (diminta pertanggungjawaban) tentang kepemimpinaanya itu” (H.R. al-Bukhari)

Selain yang disebutkan sebelumnya, perlu diketahui juga bahwa gangguan jiwa yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan pengaruh pada aktivitas hidup sehari-hari. Penderita dengan gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya pada aktivitas kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi. Penderita seperti ini banyak yang ditolak oleh keluarga dan masyarakat. Pengucilan penderita dari lingkungan, kurangnya dukungan keluarga, dan gangguan fungsi dari penderita dapat menyebabkan kurangnya kesempatan menyelesaikan masalah dengan tepat dalam menghadapi stres pada kehidupannya. Hal ini dapat menyebabkan penderita mudah kambuh dan masuk ke rumah sakit lagi. Selanjutnya penderita mempunyai kebutuhan pengobatan yang lama. Sebagian penderita gangguan jiwa tidak lepas dari obat untuk membantu menjaga keseimbangan dalam tubuhnya. Banyak di antara mereka yang bosan sehingga putus obat yang akhirnya menurun kondisinya setelah ada di rumah. Selain itu penderita gangguan jiwa mempunyai harga diri rendah, khususnya dalam hal identitas dan perilaku.

(42)

Penderita menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal), dan tidak berani mencapai sukses.30

Diketahui dari beberapa pengaruh gangguan jiwa terhadap fikiran, perasaan, tingkah laku penderita, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang menderita gangguan jiwa tidak dapat melakukan aktivitas apapun secara normal. Begitu juga dengan isteri yang mengalami gangguan kejiwaan, ia tidak mampu untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri. Hal ini disebabkan karena seseorang yang terkena penyakit jiwa, kepribadiannya akan terganggu sehingga penderita kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemnya. Penyakit ini juga mengganggu akalnya, sehingga akal tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai oleh kebingungan dan kekacauan fikiran, orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang baik dan yang buruk.31

Pada orang yang keadaan akalnya terganggu, maka dirinya tidak mampu untuk menerima beban hukum. Artinya , ia tidak mampu dikenai hukum dan berbuat hukum karena adanya halangan yaitu keadaan akalnya yang terganggu. Halangan tersebut dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ‘awaridh al-ahliyah atau halangan taklif. Halangan taklif itu dapat

30

Juliansyah, Peran Keluarga Menangani Penderita Gangguan Jiwa, artikel diakses 19 Maret 2010, dari http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=30254.

(43)

dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ‘awaridh samawiyah yaitu halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Kedua, ‘awaridh muktasabah atau

‘awaridh ikhtiyari, yaitu halangan yang timbul dari dirinya atau tersebab

kehendaknya sendiri. Di sini pengertian kelainan yang terdapat pada akal yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang menurut yang semestinya disebut dengan gila. Gila termasuk salah satu macam dari

‘awaridh samawiyah. Keadaan gila dapat dipisahkan pada dua hal, yaitu

gila yang lama dan berketerusan atau muabbad dan gila sementara atau

ghair muabbad yang terjadi dalam waktu tertentu dan tidak berketerusan.32

Melihat dari pembagian gila tersebut, keadaan isteri pada kasus dalam pembahasan skripsi ini, maka termasuk pada gila sementara atau ghair

muabbad. Pada satu saat ia dapat berfungsi secara baik dalam kehidupan

sehari-hari, tapi pada saat lain ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan berperilaku aneh serta jauh dari realita.

Keadaan akal yang terganggu menyebabkan ia terhalang sebagai subjek hukum, di mana syarat subjek hukum yang pertama adalah “baligh dan berakal”. Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak berlaku padanya tuntutan hukum atau taklif hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:

32

(44)

ﻥﻋ

ﻲﻠﻋ

ﻲﻀﺭ

ﻪﱠﻠﻝﺍ

ﻪﹾﻨﻋ

ﻥَﺃ

ﻲﹺﺒﱠﻨﻝﺍ

ﻰﱠﻠﺼ

ﻪﱠﻠﻝﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻡﱠﻠﺴﻭ

َلﺎﹶﻗ

ﻊﻓﺭ

ﻡﹶﻠﹶﻘﹾﻝﺍ

ﻥﻋ

ﺔﹶﺜﺎﹶﻠﹶﺜ

ﻥﻋ

ﹺﻡِﺌﺎﱠﻨﻝﺍ

ﻰﱠﺘﺤ

ﹶﻅﻘﻴﹶﺘﺴﻴ

ﻥﻋﻭ

ﻩﻭﹸﺘﻌﻤﹾﻝﺍ

ﻭَﺃ

َلﺎﹶﻗ

ﹺﻥﻭﹸﻨﺠﻤﹾﻝﺍ

ﻰﱠﺘﺤ

َلﻘﻌﻴ

ﻥﻋﻭ

ﺭﻴﻐﺼﻝﺍ

ِ

ﺤ

ﻰﱠﺘ

ﺏﺸﻴ

“Dari Ali ra., sesunguhnya Nabi SAW bersabda: Diangkat tuntutan

dari tiga hal, yaitu dari orang tidur sampai ia terjaga, dari orang yang kurang akal atau gila sampai ia berakal (waras), dari anak kecil sampai ia dewasa”

33

(45)

40 A. Poligami dalam Fikih

Poligami sejak dulu telah dilakukan dan tidak ada pembatasan jumlah perempuan yang boleh dijadikan isteri oleh seorang laki. Seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan setiap wanita yang dikehendakinya berapapun jumlahnya. Praktek poligami ini dilakukan baik oleh kalangan kaum Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab jahiliah, bangsa Romawi, maupun bangsa di berbagai daerah Eropa dan Asia Barat. Sebagai salah satu sistem perkawinan tertentu, poligami membawa nasib yang menyedihkan bagi kaum wanita. Derajat wanita dianggap jauh lebih rendah dari derajat pria.1

Pada abad ke-7, agama Islam datang dengan Muhammad SAW sebagai Nabi yang membawa berita gembira antara lain dengan membawa perbaikan terhadap masalah poligami. Kedatangan Islam mengubah konsep poligami dan didefinisikan ulang sampai keakar-akarnya. Beberapa bentuk poligami yang lazim berlaku di Arabia dilarang oleh Islam, seperti menikahi dua orang perempuan yang bersaudara secara bersamaan atau menikahi seorang perempuan dengan bibinya secara bersamaan dan sebagainya.2

1Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), cet.ke-5, h.107.

2

(46)

Berdasarkan hadits Nabi SAW

ﻰﹺﺒﹶﺍ ﻥﻋ

َلﺎﹶﻗ ﻪﹾﻨﻋ ُﷲﺍ ﻲﻀﺭ ﹶﺓﺭﻴﺭﻫ

:

ﹺﻊﺒﺭَﺃ ﻥﻋ ﻰﻬﹶﻨ ﻡ ﺹ ُﷲﺍ ُلﻭﺴﺭ ّﻥَﺃ

ّﻥﻬﹶﻨﻴﺒ ﻊﻤﺠﻴ ﻥَﺃ ﺓﻭﺴﻨ

:

ﺎﻬﹸﺘﹶﻝ ﺎﹶﺨ ﻭ ﹸﺓَﺃﺭﻤﹾﻝﺍﻭ ﹾﺎﻬﹸﺘﻤﻋ ﻭ ﹸﺓ َﺃﺭﻤﹾﻝﺍ

.

ـﺔﻋﺎﻤﺠﻝﺍ ﻩﺍﻭﺭ ـ

3

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang empat wanita untuk berpoligami. yaitu, seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah dan seorang bibinya dari jalur ibu.” (HR.Jamaah).

Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi paling banyak empat orang saja (itupun dengan beberapa persyaratan tertentu) dan mengenalkan monogami sebagai salah satu bentuk perkawinan yang ideal.4 Allah SWT berfirman:

÷

β

Î

)

u

ρ

÷

Λ

ä

ø Å

z

ā

ω

r

&

(

#

θ

ä

Ü

Å

¡

ø

)

è

?

Î

û

4

u

Κ≈

t

G

u

ø

9

$

#

(

#

θ

ß

s

Å

$

$

s

ù

$

t

Β

z

>$

s

Û

Ν

ä

3

s

9

z

Ïi

Β

Ï

!

$

|

¡

Ïi

Ψ9

$

#

4

o

_

÷

W

t

Β

y

]

n

=

è

O

u

ρ

y

ì

t

/

â

u

ρ

(

÷

β

Î

*

s

ù

ó

Ο

ç

F

ø Å

z

ā

ω

r

&

(

#

θ

ä

9

Ï

÷

è

s

?

¸

ο

y

Ï

n

u

θ

s

ù

÷

ρ

r

&

$

t

Β

ô

M

s

3

n

=

t

Β

ö

Ν

ä

3

ã

Ψ≈

y

ϑ

÷

ƒ

r

&

4

y

7

Ï

9≡

s

Œ

#

o

Τ

÷

Š

r

&

ā

ω

r

&

(

#

θ

ä

ã

è

s

?

)

ﺀﺎﺴﻨﻝﺍ

:

٣

(

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3)

3

Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bierut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2004), h. 562.

(47)

Di antara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan pembatasannya dengan empat orang, datang dan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan yatim. 5 Ketika turunnya ayat ini Rasulullah memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan isterinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperisterikan empat orang wanita. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.

ﻋ

َلﺎﹶﻗ ﺙﹺﺭﺎﺤﹾﻝﺍ ﹺﻥﺒ ﹴﺱﻴﹶﻗ ﻥ

:

ﻰﻠﺼ ﻲﹺﺒﱠﻨﻝﺍ ﹸﺕﻴﹶﺘَﺄﹶﻓ ،ﺓﻭﺴﻨ ﻥﺎﻤﹶﺜ ﻯﺩﹾﻨﻋ ﻭ ﹸﺕﻤﹶﻠﺴﹶﺍ

ﹶﻘﹶﻓ ،ﻪﹶﻝ ﻙِﻝﺍﹶﺫ ﹸﺕﺭﹶﻜﹶﺫﹶﻓ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ

َلﺎ

:

ﺎﻌﺒ ﺭﹶﺍ ﻥﻬﹾﻨﻤ ﺭﹶﺘﺤﺍ

.

6

Artinya : “Dari Qais bin al-Harits, Ia berkata: Aku masuk Islam sedangkan aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku datang mengunjungi Nabi SAW Dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Pilihlah di antara mereka itu empat’ ”.

Sabda Nabi SAW Kepada Ghailan bin Salamah pada waktu masuk Islam sementara isterinya berjumlah sepuluh:

ﻥﻫﺭِﺌﺎﺴ ﹾﻕﹺﺭ ﺎﹶﻓ ﻭ ﺎﻌﺒﺭَ ﺃ ﻙﺴﻤَﺃ

َ

7

Artinya : “Pertahankanlah yang empat dan ceraikanlah yang lain

Menurut Wahbah az-Zuhaili, alasan pembatasan poligami sampai empat orang adalah karena pada lahirnya kemampuan suami dalam berlaku

5

Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007), h.20.

6 Abdillah Muhammad bin Yazin Ibnu Majah al-Qozwi, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2004), hadits nomor 195, h. 2122.

7

(48)

adil, membayar nafkah, pembagian waktu dan sebagainya hanya sampai empat orang isteri dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan. Lebih dari itu, disangsikan suami tidak mampu memberi perhatian sempurna dan tidak sanggup menunaikan hak-hak isteri-isterinya. Karena itu kebolehan berpoligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, berlaku adil antara isteri-isteri dan anak-anaknya. Kedua, kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW tentang perlunya biaya nikah (al-ba’ah) bagi calon suami. (HR.al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)8

Islam juga membatasi alasan poligami, di mana poligami hanya dibolehkan dalam keadaan darurat dan dengan syarat-syarat yang berat serta dilakukan berdasarkan keadilan, bukan dalam kerangka memuaskan nafsu biologis semata.9

Muhammad Abduh, seorang ilmuwan Mesir berpendapat bahwa mengambil isteri lebih dari

Referensi

Dokumen terkait