P"XP-FE I'IITgEA.STAS f,IIEAUIIDTYIE Y(rcYATAEIA
POTENSI
DETERMINASI POLITIK
ATAS
HUKUM
DALAM
MEKANISME
PEMAKZULAN
PRESIDEN
DI
INDONESIA
Muhammad Inram NaseF
ABSTRAK
Eksistensi pengaturan mekanisme pemakzulan dalam UUD 1945
hasil perubahan membawa angin segar bagi peng-uatan prinsip negara
hukum
di
Indonesia. Mengingat desain mekanisme pemakzulan tidakhanya melibatkan lembaga politik DPR dan MP& tetapi juga melibatkan
MK
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakimandi
Indone.;ia, sehingga terdapat dua proses yaitu prosespolitik
dan proses l-'ukrrn. Namun, apabila dilihat secara lebih komprehensif ternyata proses politik lebih dominan, sementara proses hukum tidak memiliki peran yiing signifikan karena putusan MK tidak mengikat bagi MPR dalam proses akhir pemakzulan presiden. Hal tersebut tentunya memunculkan potensideterminasi
politik
atas hukum dalam prosesnya, sehingga menarik untuk dikaji faktor penyebab politik berpotensi determinan atas huki:rndalam mekanisme pemakzulan. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan
terdapat tiga faktor penyebab yaitu: pertnmn, sebagi implikasi diairutnya
sistem politik demokratis di lndor:resia. Kedua,konsekuensi dari pene-rapzm
sistem pemerintahan campuran
yaitu
presidensial"ala"
parlementerdan presidensial-multipartai. Ketiga, dasar hukum pemakzulan yang multitafstu dan tidak memberikan kepastian hukum.
Key zoorils: determinasi, politik, hukurr, pemakzulan, presiden.
1 Staf Peneliti pada Pusat Studi Hukun Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UniveBitas Islam Indonesia.
P2XP.FE I'NISERSITAS rI'EAUIAI'IYAE YOCYAI<IIRTA
A.
PENDAHULUANPerubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001 menghasilkan ketentuan mekanisrne pemakzulan2 presiden dalam konstitusi. Regulasi tersebut
diatur dalam Pasal 7A dan 78. Pasal 7A menyatakan "Presiden dan/atau
Wskli Presiden dapat iliberhentiknn dnlam mast jabatannya oleh MPR atas
usul DPR,. . ..." .3 Kemudian dalam Pasal 78 dikatakan " Usul pemberhentinn
Presidzn dan/atau Wakil Presiden dnpat diajukan oleh DPR kepada MPR hnnya ilengan terlebih ilalrulu mengajukan permintann kepada MaI*amah Konstitusi untirk memeiksa, mengailili dan memutus penilapat DPR...".4
Secara sederhana alur proses pemakzulan berawal di DPR kemudian dilanjutkan
di
Mahkamah Konstitusi dan proses akhirnya berada di MPR. DPR melalui fungsi pengawasannya melakukan penyelidikansatas indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil ftesiden sebagaimana tertera dalam Pasal 7A UUD 1945 perubahan.6 Setelah itu, DPR melakukan rapat paripurna untuk memberikan putusan
apakah Presiden danlatau Wakil Presiden dapat dikategorikan telah
melanggar ketentuan-ketentuan sebagairnana tertera dalam Pasal 7A UUD 1945 tersebut atau tidak. Apabila hasil paripuma menyatakan telah
terjadi pelanggaran, maka putusan tersebut dilanjutkan ke
MK
untuk2 Penulis lebih memilih menggunakan istilah "pemakzulan" daipada "impeachmetlf" dengan alasan sebagai berklul: petuunn, pemakzulan telah menjadi bahasa Indonesia yang baku dengan dimuahya kata teEebut dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa lndonesia), ke.hta, daii sisi bahasa
pemakzulan berasal dari kata "makzul" yang berarti berhenti memegangiabatan, turun dari talrta"
sehilgg.a "memakzulkan" berarti menumnkan dari tahta, memberhentikan da iabata& istilah ini lebit ' memenuhi pengertian atas objek tulisan inj. Ileign, sesuai dengan pasal 7A UUD 1945
istilah vang digunakan adalah pemberhentian yang memiliki arti yang sama dengan pemakzulan Sedangkan kata " impeadmrezf" tidak digunakan karena merupakan istilai asing dan memilikr arti
yang lebih sempit yaitu sebatas pendakwaan, sehingga kurang representatif atas objek tulisan ini.
Lihat dalam Hamdan 7t>elv+ 2n11, Peatakzulan Presiden di lruIonesra, Jakarta: Sinar Grafika, hlm- 2.
3 Lebih lengkapnya lihat pasal 7A IJIJD 1945 setelah perubahan. 4 Lenih lengkapnya lihat pasal 7B UUD 1945 setelah perubahan.
5 ,lirrly Asshiddiqie memberi istilah "investigasi" untuk menyebut proses penyelidikan yang dilakukan DPR atas dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Selengkapnya lihat dalam Soimin,
2VJ9, Impenchment Presiden dnn Wakil Presiden dt htclonena, logyakarta: UII press, hlm 7.
6 Berlasarkan pasal 7A UUD 1945 ada dua alasan pemberhentian presiden dan/atau Wakil
Presiden da iabatanny4 yait'o. perht n, melakukar pelaaggaran hukum berupa: Pengkhianatan ieihadap negara" korupsi, penyuapan, tindak pidana barat lainnya dan perbuatan tercela.Kedun,
ierbukti tidak lagi menenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
P8EP-I.E IINTVEBSITAS UIIEAMUADTYAE YOGYAXA.ETA
diperiksa secara hukum dalam suatu proses peradilan. Selanjutnya MK
akan memberikan hasil putusannya ke DPR untuk diteruskan ke I\,IPR
yang akan menentukan nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai
proses akhir pemakzulan.
Berdasarkan
alur
tersebut diketahui bahwa proses pemakzulansebagaimana diatur dalam IJUD 1945 pasca perubahan mengkolaborasikan
antara proses
politik
dan proses hukum. Prosespolitik
pemakzulanberada
di
parlemen sementara proses hukumnya beradadi
MK. Menurut Hamdan Zoelva secara holistik dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pemakzulan merupakan suatu peradilan yang bersifat politis.Artinya
secara keselurahan proses-proses pemakzulan yang diaturdalam konstitusi merupakan suatu rangkaian proses hukum yaitu
peradilan ketatanegaraan. Mulai dari penyelidikan dan penuntutan oleh
DPR kemudian pengujian hukum dan konstitusional oleh
Ml!
serta pengambilan keputusan hukum dan politik final oleh MPR.Menurutnya keputusan MPR berlaku sebagai res judicata, yaitu putusan pengadilan sekaligus keputusan politik tertinggi.TNamun. menurut penulis apabila
dilihat dari
entitas lemb;,:ga-lembaga yang terlibat dalam pemakzulan beserta indikator-in lik;rtor yang digunakan dalam pengambilan suatu putusandi
setiap lembaga, sebenarnya tetap saja pemakzulal terdiri dari dua proses yaitu politik dan hukum. DPR sebagai lembagapolitik
cenderung lebih banyak mendasarkan pertimbangan-pertimbangannya dalam mengarnbilkeputusan pada indikator-indikator yang bersifat politis. Sementara MK
sebagai lembaga hukum tentunya pertimbangan-pertimbangannyadalam
mengeluarkan suatu putusan didasarkan pada indikator-indikator F,ukum.
Oleh karena itu, walaupun secara keseluruhan pemakzulan merupakan
proses peradilan dalam
hal
ini
peradilan ketatanegaraan tetapi didalamnya terdapat dua proses yang berbeda yaitu proses politik dan proses hukum.
7 Hamdan tuElv42071, Pemakzulon Presiden... Op. Cit., tnm- 2j5.
P'IEP-FE IINIVERSTTAS UI'EAMUADTTAE YOGYAXARTA
Dikolaborasikannya proses
politik
dengan proses hukum dalam mekanisme pemakzulan tentunya dengan harapan agar proses hukum dapat mengawal secara hukum proses pemakzulary sehingga tidak keluar dari koridor hukum. Karena berdasarkan sejarah pelaksanaan pemakzulan terhadap Presiden Soekarno dan Gus Dur, menunjukkan bahwa sebelum perubahan UUD 1945 dimana mekanisme pemakzulannyahanya melalui proses politik semata, ternyata lebih banyak didominasi
oleh permaian
poll[k
(political gnne) dari para politisi, sehingga kebijakanuntuk memakzulakan presiden sangat dipengaruhi oleh subyektivitas
pendapat para
politisi.
Mekanismeini
temyata menimbulkan eksesnegatil salah satunya terjadinya instabilitas politik dan pemerintahan.
Namun, harapan
di
atas sangat berpotensi menjadi isapan jempolsemata, mengingat apabila dilihat dari alur proses pemakzulary tampak
adanya kekurang seimbangan antara proses
politik
dan hukum di dalamnya. Secara sederhana dapat diakatakan bahwa proses politik "mengapit" proses hukum. Halini
dapat dilihat dari alur mekanismepemakzulan yang bermula
dari
prosespolitik
di
DPR kemudian dilanjutkan dengan proses hukum di MK dan pada akhirnya kembali ke proses politik lagi di MPR sebagai proses final, sehingga proses hukumberada ditengah-tengah proses politik dan membuat proses politik lebih
dominan. Dominasi tersebut menimbulkan adanya indikasi bahwa proses
politik
berpotensi determinan daripada proses hukum dalampemakzulan, apalagi putusan hukum
MK
tidak memiliki kekuataanmengrkaf untuk ditaati dalam proses akhir
di
MPR. Berdasarkan haldi
atas, tulisan singkatini
mengkaji dan menganalisis faktor-faktorpenyebab politik berpotensi determinan atas hukum dalam mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia.
8 Satu-satunya putusan MK yang tidak memiliki kekuatanfnal and binding (hnal dan mengikat) adalah putusan terhadap dugaan DPR dalam proses pemakzulan. Lihat Pasal 24C ayat (1) dan (2) tlUD 1945 jb Pasal 10 UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 24 Tahun 2003
isrtr.ng Mahkamah Konstitusi.
P2P.FE I'NTVEN,SIIAS IUI'EA trI.lIDfTAE YOGYAXABTA
B.
HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA HUKUM DAN POLITIKHukum
danpolitik
merupakan bagiandari
kehidupan sosial,keberadaan keduanya sangatlah erat seolah seperti
dua
sisi matauang yang tidak akan mungkin terpisahkan. Oleh karena
itu
Curzon menyatakan bahwa: " the close connections behneen law and polifics, befweenlegal principles and the institutions of the law, between political ideclogies
and goaernment institutions are obaious . . . . ." Curzon dalam pandangannya
tersebut menyatakan bahwa hukum dan politikmempunyai kedekatan yang sangat prinsip dan nyata serta hukum tidak dapat dipisalkaa dari
pengaruh politik.'
Hukum
danpolitik
memang duahal
yang sangatsulit
untukdipisahkan.Keduanya
memiliki
hubungan timbal-balik yang tidak mungkin dapat dihindari.Di
satu sisi hukum berkepentingan dengan hasil yang akan diperolehnya melalui pengaturan itu, dan oleh karenanya ia harus paham tentang seluk beluk masalah yang diafurnya, sedangkandi sisi lain ia juga harus menyadari, bahwa faktor-faktor dan
kei<uatan-kekuatan
di
luar hukum akan memberikan beban pengaruhnya pula terhadap hukum serta proses bekerjanya.loApabila dilakukan kajian tentang hubungan kausaiitas aniara hukum dan politik, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas
politik
dalam arti bahwa kegiatan-kegiatanpolitik
diatur oleh dan harus tunduk padaaturan-aturan hukum. Kedua,
politlk
determinan atas hukum, karenahukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak pciitik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, polink
dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang
derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi
9
Achmad Ab, 2002, Menguk Tabir Hukum (Suatu Kajian Filorof.s dan Sosiologis), Jalarta: pTGunung Agung, cetakan ke-Z hlm. 98.
10 Satiipto Rahardjo, 7979, Hukum dan MasVnrakat, Bandung: Angkasa, hlm. 16.
P2aP-FE UNISEIIS|I!'8'f,TIEAIf,TAI'IIAE YOGYAEARTA
begitu hukum ada maka semua kegiatan
politik
harus tunduk pada aturan-aturan hukum.lrMahfud MD mengatakan untuk melihat derajat determinasi politik
dan hukum dapat ditelaah dari perspektif das sollen dan das sein. Dari
perspektif das sollen hukum determinan atas politik karena setiap agenda
politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.l2 Tesis
ini
diperkuat oleh pandangan kaum idealis yang mengatakan bahwahukun
harusmarnpu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat,
tern'rasuk kehidupan politilcrya. Penulis seperti Roscue Pound telah lama
berbicara tentang law as a tool of social engineering. Sebagai keinginan tentu saja wajar
jika
ada upayauntuk
meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum unt'.rk menjarrrin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatakar menjadi lebih relevan.l3
Sementara dari perspektif das sein
politik
deterrninan atas hukumkarena pada faktanya hukum merupakan produk politik, sehingga hukum
apapun yang ada dihadapan kita tak lain merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling bersiangan.la Pada dasarnya hal ini sudah menjadi pemahaman klasik sebagaimana dikatakan oleh John
Austin bahwa "Iaw is a ammand of the laztgiaey''. Bertolak dari pandangan
ini
maka, setiap karakterproduk hukum
akan sangat ditentukan atau diwamai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasipolitik
yang meiahirkannya.ls Oleh karena itu, dalam hal ini sangat jelas politik akan sangat determinan atas hukum.11 Mahfud MD, 2009, Pditik Huknm tli Indonesia, Jakafial. LI3ES, hlm. 16.
12 Mahtud MD, Hukum, Moral dn Politik, Makalah dalam Studium Geflerale w\h* Mahikulasi
Prograrn Doktor Bidang IImu Hukum di Universitas Diponegoro, S€maran& 23 Agustus 2008, hlm- Z
13 Mahfud MD,1999, Pergulaton Pditik dm Hukum di Indonesin,Yogyalarta: Gama Media, hlnl
7GZ-14 Mahfnd MD, Hukum...Lo€. Cit.
15 Lihat dalam Todrmg Mulya bfiis, Mcnuju Hukum Responsif: Indonesia tli Perstmpangnn ldan,
jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1, November 201O Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, hlm. 31-32
PzE.FE IINTVEBSIIAS II'EAUUADTYAE YOGYA.EANTA
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBABPOTENSI DETERMINASI
POLITIK ATAS HUKI.JM DALAM MEKANISME PEMAKZULAN PRESIDEN
DI
INDONESIASebagai Implikasi Dianutnya Sistem Politik Demokratis di Indo:resia
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem
politik
demokratis yang kemudian diperkuat implementasinyapasca reformasi. Apabila dikaitkan dengan mekanisme pemakzulan
sebagaimana
diatur
dalam Pasal7A
dan 78 UUD
1945 hasilperubahan, dimana proses politik dominan dan bahkan berpr:tensi determinan atas hukum, maka hal tersebut dapat dipahami sebagai
implikasi dianutnya sistem
politik
demokratisdi
atas. Terkait hal tersebut, setidaknya dapat dikemukakan tiga alasan. Pertama, sistempolitik demokratis menghendaki partispasi rakyat yang sangat besar
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Termasuk dalam hal pemakzular! dominasi
politik dalam pemakzulan tidak lain akibat pemberian ruang yang besar bagi partisipasi rakyat melalui lembaga perwakilan seperti DPR dan MPR. Namun, dorninasi tersebut berpotensi menjadij:an
politik determinan mengingat meknisme kerja DPR dan MPrl pada kenyataannya lebih didominasi oleh mekanisme kerja politik, sehin*ga
dalam mengambil kebijakan dan keputusan lebih mengedepankan
logika-logika dan pertimbangan politik.
Selain
itu,
mekanisme pemilihan presiden setelah perubalranUUD
1945 dilakukan secara langsung oleh rakyat. Logika;ryapresiden bertanggungjawab kepada pemberi mandat dalam hal ini
adalah rakyat. Karena Indonesia menganut demokrasi perwakilan,
maka pertanggungjawaban tersebut disampaikan kepada lembaga
perwakilan rakyat dalam
hal
ini
DPR dan MPR. Sebagaimanadipraktekkan
di
Amerika yang pemilihan presidennya dilakukansecara langung, dalam hal pemakzulan presiden dilakukan melalui
P2NP-I'E IINIVEN.SIEA.S UIIEAUUADIrIE IOGYIE/IRtrA
senat. Menurut suwoto mulyosudarmo senat atau MPR merupakan
lembaga yang melakukan kedaulatan rakyat tertinggi.l6 HaI tersebut
dapat dilihat misalnya dari kewenang.lnnya merubah UUD 19t15 dan
mengangkat presiden, sehingga proses pemberhentian presiden akan
didominasi oleh MPR. Mengingat anggota MPR mayoritas berasal DPR yang notabene anggotanya adalah orang-orang parpol, tentu
politik akan menjadi determinan dalam prosesnya.
Keilua, sistem politik domokratis telah menstimulasi penguatan
lembaga perwakilan rakyat, seiring dengan
hal
tersebut fungsipengawas,rn Iembaga perwakilan terhadap pet{ormance administrafur
dalam melaksanakan tugasnya semakin menguat.rT
Hal
yang wajar karena dalam sistem politik yang demokratis, meniscayakan penyelenggaraan negara yang selalu beradadi
bawah kontrol.ls Setelah perubahanUUD
1945 yangingin
memperkuat sistempolitik
demokratis, fungsi pengawasan tersebut diperkuat dengandiberikarurya beberapa instrumen hak kepada DPR, meliputi hak
angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Beberapa
hak dalam rangka penguatan fungsi pengawasan tersebut dapat berujung pada mekanisme pemakzulan, sehingga wajar kalau posisi lembaga perwakilan khususnya DPR memiliki posisi yang dominan
dalam pemakzulan.
Dominasi DPR dalam pemakzulan dapat dipahami sebagai efek
dari penguatan tersebut. Dengan menyandang gelar sebagai wakil
rakyat, DPR sangat menentukan dalam mekanisme pemakzulan
sebagai ultimate process dari adanya kewenangan pengawasan DPR.
Kekuatan politik di DPR akan sangat berpotensi determinan untuk dapat terlaksana atau tidaknya pemakzulan, sehingga presiden dituntut untuk selalu memperhatikan dukungan politiknya di DP&
16 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang dasai Negara Republik Indr:esia Tahun
1945, lakarta: Sekretariat Jendml dan Kepeniteiaan Mahkamah Konstitnsi, hlm-
494-17 Jimly Asshiddiqie, 2005, Huk m Tata Negara dan Pilar-Pilu Dernokrasi; Setpihnn Pemikiran
Hukum Media dan IIAM, lakafia: Konstitusi Prest hlm. ,18.
18 Denny Indrayana, 201,1, Indoflesia Optimis, Iakafta:. Bhuana Ilmu Populer, hlm-
PgBP-FE I'NIVENSTTIS IIIEAUUADTYAS YOGYAKARIA
karena kalau
tidak
posisinya bisa terancarn. Dengan demikian nyatalah sistempolitik
demokratis berkontribusi bagi terjadinyadeterminasi politik dalam mekansime pemakzulan.
Ketiga, sistem
politik
demokratis sebagaimana dikatakan oleh Henry B. Mayo ialah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasisecara e{ektif oleh rakyat. Samuel P. Huntington mengatakan sistem
politik
dikatakan demokratis apabila keputusan kolektif mernilikiposisi yang sangat kuat.le Berdasarkan
dua
pandangan pakartersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar dalam sistem politik
demokratis ialah pengarrbilan keputusan didasarkan pada majority rule (srara mayoritas).
Implementasi mnjonty rule dapat dilihat mulai dari proses awal sebagai cikal bakal pemakzulan, yaitu pelakasanaan hak angket.
Berdasarkan LIU Susduk usul hak angket harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1-/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih
d,ari 1,/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Selarrjut:rya
dalam penyampaian hak menyatakan pendapat, proses pengambilan putusan dalam proses tersebut juga menggunakan rnakansme r,ujority
rule. DaTarn Pasal 184 ayat (4) UU Susduk dikatakan usul tersebut
baru akan menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil
dengan persetujuan paling sedikit 3rl4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPR yang hadir. Pada dasarnya mekanisme suara terbanyak
dalam setiap pengambilan keputusan DPR juga diatur dalam Pasal 275 dan 276 Pent:n;an DPR RI Nomor 1/DPR Rl / 2009-2010 tentan€i
Tata Tertib DPR RI.
19 Moh. Maifud, MD,7999, Htkltm d$a Pilar-Pilar Donokrasi, yoevakarta: Penerbit Gama Media bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The fotd Foundatior! hlm. 8.
FgBP-FEUf,I9E.SITAS XI'EAXIAIIIIAE YOGYAXAETA
Bahkan dalam proses akhir sidang istirnewa di MPR mekanisme
yang digunakanpun iaTah majority rule. kbagaimana diatur dalam
Pasd
78
ayatQ)
LJLID 1945 bahwa keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalan rapat paripuma MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya3/4
danjunlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya2/3 dari iunlah anggota yang hadir. Ketentuan tersebut merupakan pengejawantahan dari Pasal 2 (3)
truD
1945 hasil perubahan yang mengatur bahwa segala pufusan Majelis Permusyawaratan Rakyatditetapkan dengan suara yang terbanyak. Berdasarkan mekanisme pengarnbilan keputusan mulai dari hak angket, hak menyatakan pendapat sampai sidang istimewa semuanya menggunakan
nujon!
ruIe.Artinya suara mayoritas yang dijadikan dasar untuk pelaksanaantahapan-tahapan tersebut sekaligus menjadi dasar pengambilan
kepufusan.
Dengan mekansirne suara terbanyak tersebut jelas politik sangat
berpotensi deterrrrinan dalam mekanisme pemakzulan. Sebab
walaupun setelah perubahan
MK
dilibatkan untuk menguji secarahukurn pendapat DP& tetapi pengambilan putusan akhir berada di
ranah politik MPR Dalam hubungan ini Hamdan Zoelva mengatakan
ranah politik merupakan medan yang bebas untuk bertarung, dan
yang menang adalah yang memiliki kekuatan mayoritas.z0
I
Gede Pasek mengatakan dalam logika suara mayoritas apa yang dianggapbenar oleh
hukurr
belum tenfu benar secara politis, karena yang menetukan benar dan salah tergantung kepentingan pihak mayoritas.2lDengan demikiarv jelas mekanisme suara terbanyak dalam sistern
politik
demokratis menjadi salah satufaktor
penyebab potensideterminasi politik dalarn pemakzulan.
Zl flamdan Zelva, 2sl0, Pema*zulan... Op. Cit., hkn- 226.
Zl I Gede Pasek merupakan salah satu anggota DPR Periode 2009-2014, kutipan tersebut diambil
dalam wawancara derrgan TVOne, 13 Januari
PAP-I"E IINTTEBSIXIS ]XIIE,IIXII}TTAEY.Eg,IR'FTA
2.
Sebagai Konsekuensidari
Penerapan Sistem Presidensial " ala'"Parlementer dan Presidensial-Multipartai
Salah satu
faktor
dan penyebab potensi determinasipolitik
dalam mekanisme pemakzulan
di
Indonesia ialah karena adanya kerancuan sistem pemerintahan- Pertamn, lndonesia menganut sistempresidensial dengan kekuasaan parlemen yang bear, sehingga rnuncul
istilah presidensial " ala" parlementer. Di satu sisi setelah perubahan
UUD 1945, ada upaya untuk memperkuat sistem presidensial tetapi
di
sisi lain otoritas konstitusional kekuasaan legislatif (.perlemen) sangat besar,a sebagaimana dalam kajian terdahulu, sehingga prosespemakzulan akan sangat ditentukan oleh besar-kecilnya kekuatan
politik presiden di parlemen. Oleh karern ih1 politiklah yang akhirnya berpotensi determinan dalam proses pemakzulan.
Secara konseptual, determinasi politik dalaur proses pemakzulan
akan terjadi pada negara yang menganut sistem pernerintahan
parlementer dengan supremasi parlemen di dalamnya- Dalarn sistem yang demikian pemakzulan presiden menonjolkan alasan-alasan dan
pertanggungjawaban
politik
daripada pelanggaran hukum.Ha} inidisebabkan karena eksekutif (perdana menteri) bertanggundan ab kepada parlemen. Berbeda dengan hal itu, sebalilrrya dalam sistem
pemerintahan presidensial dimana presiden tidak bertanggungjarvab
secara langsung pada parlemery proses pemakzulan presiden dalam sistem ini mengelirninir determinasi politik di dalamnya- Mengingat
yang ditonjolkan dalam pemakzulan dalam sistem presiden;ial
22 Ketika te4adi amandemen terhadap UUD 1945 muncul beberapa kesepakaran rlasrr. salah satunya mempertegas dan memperkuat bagunan sistem presidensial-Namun, pada kenyataannya kesepkatan teEebut tidak ditaati dan dilksaiakan secan konsiisten oleh MPR. Pemhrngkaran konstruksi presiderLsialisme dalam LILID 1945 secara signifikan pada perubahan pertama tal-url 1999,
kemudian pengutan kelembagaan DPR pada perubahan kedua tahun 2000, bukannya melahirkan keseimbangan kekuasaan antara Presiden dan DP& iustru menimbulkan ketidal<ielasan sistem presiclensral yang ctbangun rnelalur UUD 1945 karena kesan "parlementerrrya" sangat kuat. Lihai Ni'matul Huda, Srsteri Pefieintnhmr Llitt Sisten Kepottiin alal.tm Perspektif lQtatnnegnrntm Inilonesia
makalah dalam Seminar "Membedah Undang-Undang Partai Politik" yang diselengganlan oleh PSHK FH UII bekerjasama dengan Harlns Seidel Foundation Yoryakarta,9 April 2011, hlm. 3
PzBP-EE ITXIYESIIAA II'EAXIAIIIYAE YOGYAXABTA
ialah pelanggaran hukum, bukan alasan-alasan yang bersifat politis. Berdasarkan
hal
tersebut, idealnya dalam sistem pemerintahanpresidensial Indonesia determinasi
politik
tidak berpotensi terjadidalam proses pemakzulan, namun karena sistem presidensial yang
dianut dikawinkan dengan sistem parlementer akhirnya berpotensi
terjadi sebalikrya.
Keilua, sisirln presidensial disandingkan dengan sistem multipartai yang berakibat pada inefektivitas dan instabilitas pemerintahaan. Sebenarnya persoalan inkompatibilitas antara sistem multipartai
dengan sistem presidensial bukan sesuatu yang baru, karena telah lama menjadi wacana akademik. Juan Linz yang kemudian diperkuat oleh penelitian Scott Mainwaring berpendapat bahwa peneraptrn sistem presidensial dalam konteks multipartai bukan kombinasi yang
cocok karqra akhirnya akan berujung pada apa yang disebutnya
"breakdoum of democratic regime" .T
Ari Dwipayana mengatakan pandangan di atas menriliki beberapa
argunren pokok,
y
sebagai berikut:Pertama,
karena pemilihan presiden dan
parlemen diselenggarakan secaraterpisah
maka kemungkinanpresiden yang
terpilih
adalah presiden
yang tidak
mendapatkan dukungan mayodtas
di
parlemen (minority gooernment). Kedua, koalisipolitik
yang terbentuk dalam sistem Presidensilalisme cenderung bersi{atrapuh
dan mudah retak karena ketidakdisiplinan partai politik koalisi.IQtiga, untt:Jr. membangrm loyalitas koalisi pendukungnya,
Presiden cenderung bersikap lunak-akomodatif dengan nremberikan insentif bagi partai-partai koalisi pendukungnya.
Kosekuensiny+ Presiden tidak leluasa menganrbil keputusan
sendiri karena lebih banyak "tersandera" oleh kepentingan
koalisi partai yang mendukr:ngnya.
B lbid.
24 AA GN Ari DrMipayana, M ltipsrtai, Presidensialismc d^fl Efektivitas Pemnintal&n, n].ekilah
P"X?-rE UXICEBSTAS rt E^rr^nlyrEyoc ftxlt
Dalam konteks Indonesia pandangan Linz
di
atas nampaknyaterbukti.
Pemilihan presiden yang dilakukan terpisah denganpemilihan legislatif berimplikasi pada lemahnya dukr:ngan politik presiden
di
parlemen.Akhirnya
partai pengusung presiden berkoalisi dengan partai-partai lain untuk menjaga stabilitasdukungan
politik
di
parlemen. Karena sebagaimana dijelaskansebelurnnya posisi parlemen setelah arnanderrren kedua sangat kuat,
maka bukan tidak mungkin kalau dukungan politik presiden lemah,
kekuasaamya akan selalu terganggu balrkan dapat berujung pada pemakzulan.
Namun, pada dasarnya dengan tipologi parpol
di
Indonesia yang dalarn perkembangan sepuluh tahun terakhir masih berkarakterzsote seeking dan offrce seeking, kodisipun masih sangat rapuh.E Votu seeking r\embluat partai hanya
hadir
pada saat momen-momen pemilihan, baik pemilu lokal maupunperrilu
nasional, sehingga lebih berorientasi pada aspek elektoralis.s $sdangkan oiertasi officeseeking membttat perilaku partai lebih pragmatis-jangka pendek
terutama dalam mengejar posisi-posisi strategis dalam pemerintaharr-Kosekuensinya, partai-partai tidak bisa dibedakan satu dengan y:mg
lairmya dari sisi orientasi kebijakannya.u Berdasarkan hal tersebut
muncul anggapan bahwa koalisi parpol
di
Indonesia saatini
lebihkepada hanya untuk mendapatkan kekuasaan atau "bagi-bagi kue", dibandingkan karena kesamaan ideologi,
visi
dan misi.a Dengandemikian koalisi akan sangat rapuh apabila tuiuan elektorai'is rlan
mendapatkan kekuasaan
tidak terwuju4
bahkan dalam keadaandalam Seminar "Membedah Undarg-Undaag Partai Politik" yang a;+elq'egarakan oleh ISHK FH UII beke4asama dengan Hanns Seidel Foundation Yo6nkarta, 9 April 2IIf1, hlm- 2
25 Perilaku partai di Indonesia dapat dikasifikasikan dengan menggunakan tiga
dimensi yang disampaikan Steven B. Wolinetz: pcncti-suata (oote-sekitg), pencari-jabatan (office seeking), dan pencori-kebijakan (polic! seek;ng)- Lihat dalam llid.. hlm. 4.
25 Ibid.
77 lbid.
28 Andy Ramses dan La Bakry, 2009, Politik dan PanErithilrmt Indor€sA. dalam Ni'mah Hud4 Sistefi Pefieifitahan... Op. CiL, hlr..4.
P'IBP-FE IINTVEBSTTAS MI]EA MADTYAE YOGYAXAIIIA
yang sangat buruk bukan tidak mungkin parpol bermanuver untuk mengambilalih kekuasaan dari presiden.
Terkait
hal
tersebutAri
Dwipayana lebih lanjut berpendapat bahwa:Manuver-manuver
patpol
di
parlemen seringkalite{adi
karena dihadapkan pada kepentingan membangun popu-laritasuntuk
memenangkan kompetisi berikutnya (elektoralis)maupun terikat keharusan merepreserrtasi aspirasi konstituen
pendukungnya.Ketidakdisiplinan partai yang berada dalam
koalisi, membuat setiap saat dukungan partai
di
palemen melemah, dan selanjutnya bisa hadir "minoity yu)ernment"-Akibatnya, Presiden yang merupakan single chief of executioe
dalam sistem Presidensialisme tidak bisa bekerja secara efektif karena terganggu dengan konfigurasi
politik
di
parlemenyang sangat fluktuatif.Berbagai manuver yang dilakukan partai-partai melalui wakilnya
di
parlemen sering berakhirpada instabilitas pemerintahan yang bisa saja berujung pada pemakzulan seorzrng presiden.'
Dengan demikian apabila
dikaitkan
dengan kemungkinanpemakzulan, maka dalam sistem presidensial-multipartai hal tersebut
akan sangat bergantung pada konfigurasi politik parpol di
parlemen-Dengan desain presidensial-multipartai, maka dapat dikatakan bola pemakzulan berada di wilayah politik. Karena kemungkinan terjadi
atau tidaknya pemakzulan sangat bergantung pada peta kekuatan
politik presiden
di
parlemen. Apabila kekuatan politik pendukung presidendi
parlemen besar, maka sulit untuk terjadi pemakzulanwalaupun misalnya secara hukum presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum. Begitu
juga
sebaliknya" apabila kekuatan politik pendukung presiden di parlemen lemah, maka kemungkinanPzIE-FI{ ITNTVERSTTAS IUEAXIIIIDITAE YOGYAXABTA
terjadi pemakzulan sangat besar walaupun misalnya tidak patut
diduga secara hukum melakukan pelanggaran, karena mencari celah
untuk
ifu
bukan merupakan perkara yang sulit. Oleh karena itu,kekuatan konfigurasi politik berpotensi menjadi penentu dalam hal kemungkinan terjadi atau tidaknya pemakzulan. Sedangkan kekuatan
konfigurasi politik tersebut menjadi sangat labil dengan dianutnya
sistem presidensial-multipartai. Dalam keadaan ini presiden
ditultut
untuk selalu memperhatikan dukungan politiknya di parlemen dengan
memelihara koalisi sebaik mungkin agar terlepas
dari
ancaman pemakzulan. Berdasarkan kajiandi
atas dapat disimpulkan bahwa desain presidensial-multipartai juga menjadi salah satu penyebabpolitik berpotensi determinan dalam mekanisme pemakzulan.
a)
Dasar Hukum Pemakzulan Presiden yangMulti
Tafsir danTidak Berkepastian Hukum
Dasar hukum pemakzulan presiden secara umum diatur dalam Pasal
7A
dan'78UUD
1945 hasil perubahan. DalamPasal 7A diatur mengenai alasan-alasan pernakzulan presiderl
sedangkan dalam Pasal 78 diatur tata cara dan mekanisrnenya.
Pengaturan lebih rigzd mengenai tata cara pemakzulan di lembaga-lembaga negara yang terlibat diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan seperti
UU No.
8 Tahun 2011 tentangPerubahan atas
UU
No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkarnah Konstitusi, UU 27 Tahun 2009 tentang Majelis PermusyawaratanRakyaf Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Penrrakilan Dacrah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PMK Nomor 21 Tahun
2009 tentang Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden
dan/atau Wakil Presiden, Peraturan DPR
RI
Nomor 1/DpRRI12009-2010 tentang Tata Tertib DPR RI dan Keputusan MpR RI Nomor 7 /l\/FR/ 2004 tentang Peraturan Tata Tertib MpR RI
P2{P.fS UNTVEBSTTAS III]EA UAIITYIE YI)GYA.TARTA
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan MPR RI Nomor
13/MPRrl20M tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI.
Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 ada dua alasan pemakzulan
presiden dari jabatannya" yaitu:
1.
Melakukan pelanggaran hukum berupa: 1) Pengkhianatanterhadap Negara, dalam
UU
MK
dijelaskanyaitu
tindakpidana terhadap kearnanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.s 2) Korupsi, dalam UU MK dijelaskan yaitu tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang.3i 3) Penyuapan, dalam
UU
MK
dijelaskan yaitutindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam
undang-undang.32 4) Tindak pidana barat lainnya, dalam
UU
MKdijelaskan yaitu tindak pidana yang diancarn dengan pidana penjara 5 (linra) tahun atau lebih.s 5) Perbuatan tercela, dalam
LIU MK merurng tidak dijelaskan secara detail cakupan dari
makna "perbuatan tercela" tersebut.
2.
Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dalam UU MK dijelaskan bahwa syarat
yang dimaksud adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.s Dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa:
Calon ftesiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara lndonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan
lain
karena kehendaknya30 Lihat pasal 10 ayat (3) huruf a uU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi-31 Lihat pasal 10 ayat (3) huruf b tru No- 8 Tahnn 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkarnah Konstitusi.
32 lbltl.
33 Lihat pasal 10 ayat (3) huruf c UU No- 8 Tahun 2011 tentang Pembahan atas lru No. 24
Tahun 2003 tentanS Mahkanah Konstitusi.
34 Lihat pasal 10 ayat (3) huruf e UU No- 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
P2IIP.FE I'NTVERIITTAfI IIiIIIEAMIIAI'TYA.E YOGYAXABTA
sendiri, tidak pemah mengkhianati negara/ serta m;unPu
secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajibalnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan syarat-syarat untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. UU yang dimaksud adalah UU No.
42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan beberapa alasan yang disebutkan
di
atas, terdapatklausul yang multitafsir, yaitu alasan "perbuatan tercela". LIU MK
tidak
mengatur lebihrinci
perbuatan-perbuatan yang termasukkategori perbuatan tercela tersebut. Pasal 10 ayat (3) huruf
d
UU MK hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatantercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden d,anf atau Wakil Presiden. Definisi dari konsep perbuatan tercela
yang dijabarkan oleh UU MK
ini
masih mengandung multitafsir.Mengenai
tafsir
"perbuatan tercela" dalam pasal7A
UUD1945 tersebut, Handan Zoelva mengatakan bahwa yang dirnaksud dengan "perbuatan tercela" ialah perbuatan pidana yang ancaman
hukumarmya
di
bawah5
(lima tahun) sebagaimana diatur dalamhukum
pidana danjuga
termasuk perbuatan yang melanggarmoral, agama dan norma adat.35 Sementara itu, M. Laica Marzuki
mengatakan perbuatan tercela yang dimaksud pada pasal konstitusi itu harus dipahami dalam makna perbuatan tercela menurut hukum, artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan aturan-atlrtan
hukum tertulis.e
Menurut penulis tafsir yang dikemukakan oleh dua orang pakar
di
atas sebenamya masih sangat luas. Pertama, perbuatan yang35 Lihat Hamdan Zoelva,2m/S,Impenchnlent PrcsidaL Alasan Tindak Pidma Pemberhentian Presiden
Menu t LIIfD 1.945,Iakaftaj Konstihrsi Press, hlm. 69.
36 M. Laica Marzuki,2O7O, Pemakzltl\n Prcsidm,tVlakil Ptesiden Menurut UUD 1945, dalam Jumai
Konstitusi, Vol. 7, No. 1, Februari, Jakaita: Mahkamah Konstitusi, hlm. 18
'[trdtuffdlEl
PCXP-IE UIIIgE.SEAS IIIXAXIAI'jIXAE YOGYATASIA
melanggar
moraf
agama dan norma adat merupakan rumusanyang multi-interpretatif. Walaupun terdapat nilai-nilai moral, agama
dan adat yang sifatnya universaf tetapi terhadap keadaan tertentu
kelompok masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda-beda, sehingga berpotensi menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda pula. Keilua, perbratan tercela berkaitan dengan hukum-hukurrr tertulis- Tafsir
ini
pun sebenamya masih sangat luas karenacalupan hukum tertulis itu sangat luas, dapat berbentuk ULID, UU, PP, Perda dan lain sebagainya.
Klausul
alasan pemakzulan yangmultitafsir
di
atas dapatdiinterpretasikan secara subjektif untuk kepentingan-kepentingan t€rtentu non-hukum, sehingga tidak memberikan kepastian hukum.
Terutama
oleh lembaga politik di DPR yang di dalamnyaterdapat banyak
wakil
partai
politik
dengan berbagai macam kepentingan. Terrtu saja masing-masing partai memiliki kepetinganpolitik yang menjadi ego untuk dipertahankan dengan berbagai cara.
Alasan pemakzulan yang memancing banyak tafsiran bisa menjadi celah untuk memuluskan hasrat politik tersebut. Apalagi kalau di
sudah mencuat isu pemakzulan terhadap presidery alasan perbuatan tercela bisa menjadi alasan yang sangat mudah dicari celahnya. Berdasarkan
hal
tersebut, maka adanya klausul multitafsir yang tidak berkepastian hukumdi
atas dapat menjadifaktor pendukung potensi determinasi politik dalam pemakzulan.
Selanjutnya terkait tata cara dan mekanisme pemakzulan diatu-r
dalam Pasal 78 LJLJD 194,5. Satu hal yang menarik untuk dikaji ialah berkaitan dengan sifut putusan MK terhadap dugaan DPR dikaitkan
dengan proses akhir pemakzulan
di
MPR yang tidak terikat oleh putusan MK tersebut- Dalam Pasal 78 ayat (7) dikatakan Keputusan Majelis Permuqrawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil d"lam rapat paripurna MajelisP2IIP-trIE IINTVEBSIIAS III'EAIf,ADIYAE T()CXT'trAEA
Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangrg,a 3/4
dari jurrlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kur angnya 2/ 3 dan
jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil hesiden
diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalan rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketenfuan ini menyiratkan bzrhwa
keputusan
akhir
pemakzulandi
MPR didasarkan pada suara mayoritas MPR bukan pada putusan hukum yang dikeluarkan olehMK. Ketentuan
ini
menimbulkan anggapan bahwa putusan MKdalam rnemutus dugaan DPR tidak bersifat mengikat, karena apabila menggurrakan argumentum n contraio, maka seandainya putusan
MK
mengika! MPR seharusnyawajib
mengeluarkan keputusanberdasarkan putusan MK tersebut.
Apabila dilihat dari UUD 1945 hasil perubahan maupun UU MK
memang otoritas MK dalam hal memutus dugaan DPR diatur secara
terpisah dan menggunakan redaksi yang berbeda dengan otoritas lainnya. Dalam hal memutus dugaan DPR sebagaimana diatur pasal
24C UUD 1945 redaksi yang digunakan adalah "wajiV', sedangkan terkait otoritas MK lainnya seperti menguji konstitusionalitas undang-urrdan& memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus
pembubaran partai
politik
dan memutus sengketa tentang hasil pemilu sebagairnana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) menggunakankata "berwenang". Penafsiran atas pemisahan pancantuman keterrfuan dan penggunaan redaksi yang berbeda tersebut adalah bahwa MK
' memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban.
Terhadap empat kewenangan MK sebagaimarn diatur dalam pasal
24C ayat (1), I\fl( mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Sedangkan dalam hal memutus perrdapat
DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (2) hanya disebutkan
bahwa MK wajib memberikan putusan, dengan tidak menyebutkan
sifat putusannya. Dengan demikian, apakah hal
ini
berarti bahwaPSIIP-FE I'IIT[9EB.SI!I3 XTIEAI TADTr|E Y(rcYT8,ITif,T
kewajiban
MK
untuk memberi putusan atas pendapat DPR tidak pada tingkat pertama dan terakhir? dan apakah Putusan MK ataspendapat DPR tidak bersifat final?
Ada dua kelompok pendapat yang merrafsirkan hal
ini
Kelompokpertama yarrg melihat bahwa pemisahan kewajiban dari
kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat
putusan tersebut tidaklah final dan mengikat. I-andasan
kelompok pertama
ini
adalah karena apabila putusanMK
adalah membenarkan pendapat DP& maka DPR akan meneruskan proses pemakzulan ke MPR yang berarti bahwa ada institusi lain setelah MI'.. yang menilai pendapat DPR tersebut, sehingga putusan MK bukanlah kata akhfu dalam proses pemakzulan- MPR-lah yang memiliki kata akhir atas proses pemakzulan melalui keputusan yangdiambil dengan suara terbanyak.3T
Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan
MK
atas pendapat DPR bersifat final dan mengikat. Artinya bahwa putusanMK
atas pendapat DPRitu
adalahfinal dari
segiyuridis
danseharusnya mengikat semua pihak yang terkait derrgan putusan ini.
fadi meskipun ada institusi lain yang melanfutkan proses penrakzulan
yaitu MPR, maka institusi
ini
tidak melakukan runieu atasMK yang bersifat yuridis tapi merrjatuhkan keputusan dari sisi politis karena menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak
sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuddis.
Mengenai kekuatan mengikat dari putusan MK nraka sesungguhnya
putusan
MK
ini
juga memiliki kekuatan mengikat kepadaMPR-Namun ada semacam celah dalam kelompok
i.i y*g
berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini juga bersifat non-executable.n37 Laporan Penelitian, 2005, Mek nisme lmpeachfient tlan Hukum A cara Mahkomah Konstitusi, Jakarta: Ke{asama MKRI dengan Konrad Adenauer Stiftun& hlm- 85-86-38 lbiti.
PA.XP-FE IIIIIVEA,STIAS III'EAUUADIYAE YOGYAIIANTA
Terkait pro-kontra tersebut beberapa pakar memiliki
pandangan-pandangan sebagai berikut. Maruarar Siahaan berpendapat tidak tepat penafsiran yang mengatakan bahwa putusan
MK
dalamperkara pemakzr an tidak bersifat final dan mengikat. Sebab harus dibedakan antara proses hukum dan proses politik. Putusan yang
bersi{at final artinya putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat
ditempuh seperti bandin& kasasi atau peninjauan kembali. Ukuran
unfuk
menentukan suatu putusan pengadilan bersifatfinal
danmemiliki kekuatan hukum mengikat adalah pada ada tidaknya badan
yang berwenang secara hukum meninjau ulang (reoiew) pttusan pengadilan tersebut, serta ada tidaknya mekanisme hukum acara
tentang siapa dan bagaimana peninjauan ulang tersebut dilakukan. Kedua hal tersebut tidak ditemukan baik dalam UUD 1945 maupun
undang-undang MK, sehingga walaupun dalam Pasal 24C ayat (2)
tidak disebutkan secara eksplisit sifat putusan MK dalam memutus pendapat DPR" terhadap hal
ini
Pasal 47 undang-undang MK tetapberlaku bahwa putusan MK merniliki kekuatan hukum tetap selak
diucapkan dalam siding pleno. Dengan kata lain, putusan MK dalam perkara pemakzulan secara y.uridis tetap bersifat final dan mengikat.3e
Harjono berpendapat putusan
MK
bersifatfinal
karena tidak dimu4gkiankan adanya upaya banding.Menurutnya kalau ada banding berarti harus ada institusi di atasnya, sedangkan UUD 1945tidak mengaturnya. Kalaupun hal itu diadakan tentu akan meniadi
suatu ketidak laziman karena
MK
adalahMI(
tidak ada institusi di atasnya atau di bawahnya" kecuali Indonesia menerapkan sistem yang dianut di Amerika di lrrana judicial rettiew bisa diperkarakan disetiap tahapan peradilan sehingga prosesnya sama dengan
perkara-perkara biasa.a
39 Maruarar Siahaan, 2008, Untlang-Undang Dasar 7945, Konstitusi yang Hidup, Jakafia: Seicetadat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 409.
40 Harjono, 2008, Konsifdsi sebagai Rntnh Bangsn Pemikrran Hukum Dt. Hnio o, SH , MCL, Wakil Ketun MK, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, l]Jlr.r.. 1,26-127.
PgP-FE I'NIVERSTII.S XIIEA.IIUAIITYAS Y()GYAIq\RIA
Sementara
itu,
Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa putusanMK
dalam perkara pemakzulan hanya memastikan ada tidaknyakesalahan yang terbukti atau tidak, sedangkan yang menjatuhkan
sanksi adalah
forum
MPR. Oleh karenaitu,
putusanMK
tetap bersifat final sepanjang menyangkut kewenangannya. Adapun yang memberi sanksi adalah forum politik, karena memang dalam perkarape,"nakzulan terdapat campuran antara hukum dan politik.ar
Penulis sepakat dengan para pakar
di
atas bahwa putusan MKdaiam hal memutus pendapat DPR bersifat final karena UUD 1945
tidak mengatur adanya institusi
di
atas MK yang dapat meniniau ulang putusan tersebut secara hukum, sehingga tidak dimungkinkan adanya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Terkait denganMPR sebagai penentu akhir proses pemakzulan harus dipahami daiam konteks bahwa proses yang berlangsung
di
MPR bukanmerupakan proses hukum tetapi proses politik, sehingga tidak dapat
dikualifikasikan sebagai institusi di atas MK yang dapat melakukan
peninjauan ulang secara hukum, mengingat juga
tidak
terdapat hukum acara tentang tata cara peninjauan putusan MK di MPR. Selainitu, adanya pemisahan pengaturan dan perbedaan redaksi dalam hal kervajiban MK memutus pendapat DP& hal
itu
tidak berimplikasi pada sifat putusan MK, karena dalam membaca dan menafsirkan pasal-pasal dalam IJUD 1945 tidak dapat dilakukan secara parsialrrelainkan harus dalam satu kesafuan yang integral dan ufuh.
Sifat putusan MK yang final dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat di atas, sejatinya berkonsekuensi bahwa pihak yang terkait putusan
itu
harus menanggung akibatnya, dalam artian pihak-pihak tersebut terikat dengan putusan itu. Namun, dalam perkarapemakzulan presiden,
hal
tersebut dapat disimpangi oleh MPR karena rumusan PasalT ayat (7) dapat ditafsirkan bahwa MPR tidak41 Hasil wawancara orline dengan Jiarly Asshiddiqie rnelalui httpJ / jfily.cor./ la yajawab?page=1l pada tanggal 03 Januari 2O'12 / 10:03:\8.
PzrP-rII I'I{IVTRSrIAS UI'EAXf,ADTTAE YOGYAXANTA
terikat dengan putusan
MK
dalam menentukan apakah presiden diberhentikan atau tidak, karena dasar keputusan MPR menggunakansuara mayoritas, yang memungkinkan urrtuk tidak tunduk pada
putusan MK. Adanya ketentuan yang multitafsir tersebut tentunya
berpotensi menyebabkan
politik
determinan atas hukum, karena putusan hukum berpotensi urrtuk disimpangi oleh keputusan politik.Berkaitan dengan
hal ini,
Harjonodari
fraksi
PDIP dalam perunusan pasal pemakzulan ketika proses amandemen UUD 1945berlangsung mengatakan bahwa terdapat tiga persoalan yang harus
diperhatikan dalam mekanisme pemakzulan, pertama issue of Jitct yaitu berkaitan dengan faktanya. Kedua" Issue of Imo yaitu berkaitan dengan hukumnya dan ketiga political process atau proses politiknya-Menurutnya
untuk
lssze oflaw
akan diserahkanke
Mahkamah Konstitusi unfuk memeriksa apakah dugaan atau dakwaan DPR bahwa presiden telah melanggar hukum terbukti secara hukum atautidak. Kalau dalam putusannya MK menyimpulkan terbukti, proses selanjutnya diserahkan kepada proses politik di MPR. Di MPR akan
diputuskan secara politik apakah presiden yang hrsangkutan akan diberhentikan atau tidak. Dalam arena politik segala sesuatunya bisa
terjadi misalnya walaupun presiden yang bersangkutan telah terbukti korupsi, tetapi karena korupsinya kecil, MPR berpendapat tidak perlu dilakukan pemberhentian atau pencopotan dari jabatannya.a
Berdasakan hal tersebut, Harjono sebenamya sudah memberikan "sinyall' bahwa ada kemungkinan putusan hukurn MK dikesampingkan dalam mekansime pemakzulan. Sinyal tersebut semakin kuat karena
pasal-pasal dalam
UUD
1945 yang mengatur sifat putusan MK dalam memutus pendapat DPR dan dasar keputusan MPR dalam proses akhir pemakzulan menimbulkan multitafsir, sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Kondisi tersebut memungkinkankeputusan politik MPR sebagai proses akhir pemakzulan tidak linier
42 Naskah Komprehensif...Op Cif., hlm. 520.
PIXP.FE I'NTgERSIIAS UI'EA UAITIYAE TOGYAXA.RTA
dengan putusan hukum MK. Dalam hal ini keputusan politik dapat menyimpangi keputusan hukum. Oleh karena ih+ dapat disinrpulkan
bahwa dasar hukum yang multitafsir dan tidak ber*epastian hukum
di
atas menjadi salah satu penyebab kekuatan Politik berPotensi determinan atas hukum.D.
PENUTUPBerdasarkan pemaparan
di
atas,dapat
bahwa potensideterminasi politik atas hukum dalam mekanisme pernkzulan presiden dapat ditelaah setidaknya dari tiga aspek (a) sistem politik; (b) sistem pemerintahan; dan (c) dasar hukum pemakzulan Berdasarkan ketiga aspek tersebut teridenffikasi tiga faktor penyebab potensi determinasi
politik
atashukum
dalam mekanisme pernakzulan yaitu: pertama,sebagai implikasi dianutnya sistem
politik
demolcatisdi
Indonesia-Kedua, konsekttersi dari penerapan sistem pemerintahan carnpuran yaitu presidensial "ala" parlernenter dan presidensial-nultipartai Ketiga, dasarhukum yang multitafsir dan tidak memberikan kePasdan
hukum-Sehubungan dengan kesimpulan
di
atas, penulis merryampaikan beberapa saran sebagai berikut:1.
Dominasi kekuasaan lembagapolitik
(DPRdan
MPR) dalammekanisme pemakzulan hendaknya diimbangai dengan
lembaga hukurrr melalui penguatan daya ikat putusan MIC Hal
ini
d*akukan untuk megetiminasi potensi deterrrinasi politik atas hukurt
dalam mekanisme pemazkulan presiden
2.
Perlu adanya revitalisasi eksistensi lembaga perwakilan rakyat agar benar-benar bertindak sebagaiwakil
ra\rat
bukan hanyawakil
partai
politik,
sehingga kepentingan-kepentingan yangdiperjuangkan merupakan benar-benar kepentingan rakyatdalam arti yang sesunggunya (bukan rakyat yang hanya terafiliasi pada
parpol tertentu).
P2EP.FE II]|IVEBSIIIIA TUEAUUADTYAE YOGYAEAn|IA
J.
4.
Perlu dilaklkan penguatan sistem pemerintahan presidensial dengan
membatasi kekuasaan parlemen dan menyederhanakan sistem
kepartaian yang
diiringi
dengan revitalisasi orientasi dan tipologipartai-partai politik.
Perlu dipertegas dan diperinci aturan mengenai perbuatan yang termasuk kategori "perbuatan tercela" dan "sifat putusan MK,, agar tidak teqadi multi tafsir dan memberikan kepastian hukum, sehingga
tidak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis dan oportunis.
PgF-TE IINTgEASTIAS lllIIEAIxlllAD[YIE Y(rcYATABTA
DAF'TAR PUSTAKA
Bukr+ Makalah, furnal dan Sunber Ekektronik
Achmad
Ali,
2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kaiian Filosofisdar
Sosiologis),fakarta: PT
Gunung
Agung,
cetakan ke-2.AA
GN
Ari
Dwipayana, Multipartai, Presidensialisme dnn Efektiaitas PeuerintaLan, makalah dalam Serninar "Membedah Undang-Undang Paltai Politik" yang diselenggarakan oleh ISHK FH UII bekerjasama dengan Hanns Seidel Foundation Yogyakarta,9April
2011.Derny Indrayana, 2011., Indonesia Optimis, Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.
Flarndan Zoelv
a,
2005, Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pefirberhentian Presiilen MenurutUUD
7945, Jakarta: Konstitusi
Press-,
207L, Pemakzulan Presidendi
Inilonesia, Jakarta: Sinar Grafika.Hariono, 2008, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Pemikiran Hukum Dr-Harjono, SH., MCL, Wakil Ketua MK, fakarta: Sekretariat Jenderal dan KeJraniteraan Mahkamah Konstitusi.
http:/ /jirrrly.com/ tanyajawab?page=11 pada tanggal 03 Jan:uari 2012
/
10:03:18.jimly
Asshiddiqi e, 2O05, Hukum Tata Negaru ilnn Pilat-Pilar Demokrnsi;Serpihan Pemikiran Hukum Media dan
HAM,
Jakarta: KonstitusiP-.ess.
Laporan Penelitian, 20O5, Mekanisme Impeachment den Hukum Acara Ntahkamah Konstitusi, fakarta: Kerjasama
MKRI
dengan KonradAdenauer Stiftung.
Mahfud, MD, 1999, Hukum ilnn PilatPilar Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Gama Media bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The
ford Foundation.
PzI(P-FE ItNMtLS:Irr$l IIIEAUUADTYA.u YOGIABAITTA
,1999, Pergulotnn Politik dsn Hukum di Indonesin, Y ogyakafta: Gama Media.
, Hukum, Moral dan Polifik, Makalah dalam Studium Generale
untuk Matrikulasi Program Doktor Bidang Ilmu Hukum di Univcrsitas Diponegoro, Semarang, 23 Agustus
2008-2009, Politik Hukum di Inilonesia, Jakarta: LRIES.
Maruarar Siahaan, 2008, Undang-Unilang Dasar 1945, Konstitusi yang
Hidup, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
M.
Laica Marzuki, 201,0, Pemakzulan PresidenlWakil Presiden Menurut UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1, Februari, Jakarta:Mahkamah Konstitusi.
Naskah Komprehersif Perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indoesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi.
Ni'matul Huda, Sistem Pemerintahan dan Sistan Kepartnian ilalant Perspektif Ketdtnnegarwn Indonesia, makalah dalam Serninar "Membedah
Undang-Undang Partai
Politik"
yang diselenggarakan oleh PSHKFH
UIIbekerjasama dengan Halns Seidel Foundation Yogzakarta, 9 April 2011.
Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa.
Soimin, 2009, lmpeachment Presiden dan Wakil Presiilen
di
Inrloncsin, Yogyakarta: UII press.Todung Mulya Lubis, Menuju Hukum Responsif: Inilonesia di Persinipatgnn
lalan, Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1, November 2010, j.rkarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas lndonesia.
PEXP.FE I'NTYERATf,AS UI'EATIAIIIYAE YOGYAXARTA
Perafuran Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesiatahun
1945.Undang-Undang Nomor 27 Tahr:n 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-UnCang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan DPR RI Nomor 1/DPR RI/2009-2010 tentang Tata Tertib DPR
RI-Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau
WakilPresiden.